• Tidak ada hasil yang ditemukan

otensi Imunomodulator Ekstrak Bubuk Kakao Bebas Lemak sebagai Produk Substandar secara in vitro pada Sel Limfosit Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "otensi Imunomodulator Ekstrak Bubuk Kakao Bebas Lemak sebagai Produk Substandar secara in vitro pada Sel Limfosit Manusia"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI IMUNOMODULATOR

BUBUK KAKAO BEBAS LEMAK SEBAGAI PRODUK SUBSTANDAR SECARA IN VITRO PADA SEL LIMFOSIT MANUSIA

Oleh

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN F24102113

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

POTENSI IMUNOMODULATOR

BUBUK KAKAO BEBAS LEMAK SEBAGAI PRODUK SUBSTANDAR SECARA IN VITRO PADA SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN F24102113

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR POTENSI IMUNOMODULATOR

BUBUK KAKAO BEBAS LEMAK SEBAGAI PRODUK SUBSTANDAR SECARA IN VITRO PADA SEL LIMFOSIT MANUSIA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN F24102113

Dilahirkan di Bogor tanggal 18 Desember 1984 Tanggal lulus 29 Juni 2006

Menyetujui, Bogor, Juli 2006

drh. Bambang Pontjo P., MS, P.hD Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, Msi

(4)

SYARIFAH ZARINA ZAIRISMAN. F24102113. Potensi Imunomodulator Ekstrak Bubuk Kakao Bebas Lemak sebagai Produk Substandar secara in vitro pada Sel Limfosit Manusia. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria, MSc dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, P.hD. (2006)

ABSTRAK

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia, namun belum dikaji potensinya secara maksimal. Berdasarkan penelitian terdahulu, kakao diketahui memiliki kandungan polifenol yang tinggi sehingga berpotensi sebagai antioksidan yang baik. Dari fakta ini, diduga terdapat pula potensi bubuk kakao sebagai imunomodulator yang ditandai dengan responnya terhadap proliferasi limfosit pada darah manusia. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari potensi imunomodulator ekstrak bubuk kakao secara in vitro terhadap proliferasi sel limfosit, sehingga dapat diketahui potensi bubuk kakao sebagai pangan yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Penelitian dilakukan dengan melakukan ekstraksi terhadap 10 jenis bubuk kakao yang dipilih berdasarkan jenis spesies kakao, tingkat kematangan buah kakao, serta kakao yang terkena serangan hama pada beberapa tingkat serangan. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut air pada konsentrasi 0,08 g/ml, untuk kemudian dilakukan pengenceran bertingkat untuk memperoleh tiga tingkatan konsentrasi yang akan diujikan secara in vitro. Ketiga konsentrasi tersebut adalah 1,66 mg/ml (C1), 6,64 mg/ml (C2), dan 13,28 mg/ml (C3). Konsentrasi C1 ditentukan berdasarkan konsumsi normal minuman bubuk kakao sehari-hari bila masuk ke dalam 6 liter darah di tubuh manusia. Sementara itu dua konsentrasi lainnya merupakan peningkatan konsentrasi untuk mengetahui signifikansi peningkatan konsentrasi terhadap respon proliferatif sel limfosit. Dari kesepuluh jenis ekstrak bubuk kakao yang diperoleh dilakukan juga analisis kandungan total polifenol.

(5)

dengan nilai absorbansi yang tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif. Selain itu penambahan beberapa jenis ekstrak bubuk kakao yaitu sampel bulk masak serta ekstrak buah kakao yang terserang P. palmivora tingkat serangan sedang dan berat, menimbulkan respon proliferatif yang positif karena nilai absorbansinya lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kontrol negatif (p<0.05). Jenis sampel bulk masak ini memang memiliki senyawa fenolik yang cukup tinggi yaitu sebesar 35.534 ppm. Meskipun demikian ekstrak buah kakao yang terserang P. Palmivora tingkat serangan sedang dan berat kandungan polifenolnya termasuk rendah. Dari hasil ini diduga kandungan senyawa fenolik bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan respon proliferasi ekstrak. Selain itu komposisi senyawa fenolik di setiap jenis ekstrak bubuk kakao juga diduga mempengaruhi respon imunostimulan maupun imunosuppresifnya.

(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Zairisman dan Sri Rachmawati, dilahirkan di Bogor, 18 Desember 1984. Penulis memiliki seorang kakak laki-laki bernama Ari Rachman dan seorang adik laki-laki bernama Arman Rafik. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Negeri Papandayan 1 Bogor (1990-1996), SLTP Negeri 1 Kota Bogor (1996-1999), SMU Negeri 1 Kota Bogor (1999-2002), dan melalui jalur SPMB, penulis melanjutkan jenjang pendidikannya ke perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Institut Pertanian Bogor (2002-2006). Selain pendidikan formal, penulis juga mengikuti pendidikan non-formal lainnya seperti kursus bahasa inggris di Lembaga Bahasa - LIA Bogor.

Selama menempuh pendidikan formalnya baik di SD, SLTP, maupun SMU penulis aktif mengikuti berbagai organisasi seperti Unit Pramuka Wijaya Kusuma SLTP Negeri 1 Bogor, OSIS SMU Negeri 1 Bogor, termasuk menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Intern SMU Negeri 1 Bogor “Bullet’s”. Selama menempuh pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, penulis juga aktif menjadi pengurus di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) IPB dalam Divisi Informasi dan Komunikasi, serta mengikuti berbagai kepanitiaan seperti dalam Kompetisi Basket antar Perguruan Tinggi (INVASI 2003), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP 2004), dan National Student’s Paper Competition (NSPC 2005). Untuk menunjang pendidikan formal, penulis juga mengikuti berbagai seminar serta pelatihan yang diadakan di kampus maupun di luar kampus.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan baik serta menyusun karya tulis ini dengan baik pula. Dalam penyusunan karya tulis ini banyak sekali pihak yang mendukung dan banyak berperan, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc dan drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, phD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan tugas akhir dan penulisan karya tulis ini.

2. Ayahanda Zairisman, Ibunda Sri Rachmawati, Uda Ari Rachman dan Adik Arman Rafik tercinta atas segala limpah kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan kehangatan keluarga yang selalu diberikan pada penulis.

3. Yessica Meiriana, Mba Femi Olivia, Mba Erniati, dan Bapak Sukirno, teman senasib seperjuangan yang telah banyak bekerjasama dan saling membantu serta berperan sebagai teamwork terbaik selama pelaksanaan penelitian.

4. Dr. Ir. M. Arpah, MSi sebagai dosen penguji atas saran kritik serta koreksinya terhadap karya tulis ini sehingga dapat menjadi yang terbaik dan bermanfaat. 5. Dr. Ir. Sri Wahyuni, Ir. Didah Nur Faridah, MSi, Bapak Ibnu Wachid, Bapak

Sobirin, Bapak Abdul Rojak dan para laboran di laboratorium ITP Fateta serta para petugas perpustakaan Fateta, PAU, dan LSI IPB yang telah banyak membantu, memfasilitasi, dan memberikan pengetahuan selama melaksanakan penelitian.

6. Ir. Ria Suryani, my second mother, yang telah banyak mengajari penulis dalam menjalani hidup dengan ikhlas,”NODIE” (dita, neo, ona, nda, indi) yang telah mendampingi penulis menjadi sahabat terbaik sepanjang masa.

(8)

8. Rekan-rekan TPG 39 terutama Ribka d’hippo yang dalam waktu singkat telah mampu menjadi sahabat terbaik dengan memberikan semangat, support mental maupun fisik, termasuk melindungi d’little bug dari penindasan

, thanx also dedicated to Putra, Tono, dan Inal abang-abangku yang telah banyak memberikan pelajaran hidup serta warna-warni kehidupan selama 4 tahun penulis di TPG, Dadik (thanx udah banyak membantu ’mengangkat beban’ penulis dengan jasa antar jemputnya serta memberikan keceriaan setiap saat selama penelitian), Ajeng (thanx untuk penyediaan fasilitas ’penginapan’ dan pengolahan datanya, serta bantuan tanpa pamrihnya selama ini...), Randy, Woro, Didin, Nanda, Qky, Stut, Aponk, Deddy, Izal, Ulik, Prasna serta semua anggota JoJoPy (thanx atas hiburan rutinnya setiap bulan, setiap minggu, bahkan setiap hari selama pelaksanaan tugas akhir), Kelompok D2 (Nanda, Dian, Beta dan Randy) what a great team work we are!

9. Ka Irfan yang dalam 5 tahun terakhir telah banyak memberikan pengetahuan, bantuan menentukan pilihan, serta membantu penulis agar selalu dapat menjadi yang terbaik; rekan-rekan KOMA (kaka nyoi, mas upank, abang sofyan, kang abul, aa bayu, mas santo, putu, sani, rita, dan vika); panitia INVASI 2003 (ganjar, fadli, wachyu, tyas, dadot, kiki, ginna, deka, komenk, idong, dll); serta roommate penulis di asrama putri TPB (renny, mba sus, dan diah) termasuk para tetangga (vina, pipit, dilla, isti, ayu, nova, dkk) yang telah menghiasi hari-hari penulis di IPB sehingga menjadi tak terlupakan.

10.Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang telah tulus ikhlas berperan serta membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan karya tulis ini baik langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan penyusunan karya-karya selanjutnya sangat diharapkan penulis. Penulis mengharapkan semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Hipotesis ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Kakao dan Konsumsi Masyarakat ... 4

B. Komponen Bioaktif Tanaman Pangan ... 4

C. Imunomodulator Bahan Pangan ... 6

D. Khasiat Biologis Tanaman Kakao ... 7

E. Darah ... 7

F. Mekanisme Respon Imun ... 9

G. Limfosit ... 10

1. Limfosit T (sel T) ... 11

2. Limfosit B (sel B)... 11

H. Kultur Sel ... 12

I. Uji Penentuan Jumlah sel ……….. 15

J. Proliferasi Sel Limfosit ………. 15

(10)

III. BAHAN DAN METODE ... 18

A. Bahan dan Alat ... 18

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

C. Metode Penelitian ... 19

1. Ekstraksi ... 19

2. Analisis Total Polifenol ... 20

3. Persiapan Media Kultur Sel ... 20

4. Pengujian Ekstrak terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia .... 21

4.1. Isolasi limfosit darah tepi ... 21

4.2. Pengujian aktivitas proliferasi menggunakan MTT ... 22

4.3. Pengujian aktivitas proliferasi menggunakan biru trifan ... 23

D. Rancangan Percobaan ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

A. Ekstraksi ... 26

B. Analisis Total Polifenol ... 27

C. Aplikasi Kultur Sel ... 30

D. Pengujian Aktivitas Proliferasi Sel Limfosit ... 32

1. Perhitungan sel dengan metode biru trifan ... 32

2. Pengukuran aktivitas proliferasi dengan metode MTT ... 33

3. Hubungan kadar total polifenol dengan proliferasi yang ditimbulkan oleh penambahan ekstrak bubuk kakao metode MTT ... 39

4. Penentuan aktivitas imunomodulator dan mekanismenya ... 40

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Sel-sel dalam sirkulasi darah ... 8 Tabel 2. Persentase normal tipe sel darah putih ... 9 Tabel 3. Pengaruh penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur terhadap

proliferasi limfosit yang ditunjukkan oleh nilai absorbansi kultur ... 35 Tabel 4. Pengaruh konsentrasi terhadap proliferasi limfosit yang ditunjukkan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Darah perifer dan Ficoll hypaque sebelum disentrifugasi ... 21 Gambar 2. Hasil pemisahan leukosit ... 22 Gambar 3. Kurva standar asam tannat ... 28 Gambar 4. Diagram kadar total polifenol rata-rata pada ekstrak bubuk

kakao ... 29 Gambar 5. Grafik jumlah sel limfosit mati setelah masa inkubasi 72 jam

yang dihitung dengan metode biru trifan ... 32 Gambar 6. Grafik absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak bubuk

kakao secara keseluruhan setelah inkubasi selama 72 jam dan diukur dengan metode MTT ... 38 Gambar 7. Kemungkinan mekanisme biokimia aktivasi sel T oleh

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kandungan medium RPMI-1640 ... 51 Lampiran 2. Contoh perhitungan penentuan konsentrasi ekstrak bubuk kakao .. 52 Lampiran 3. Kadar total polifenol ekstrak bubuk kakao (0.8mg/ml) ... 53 Lampiran 3. Data jumlah sel limfosit mati yang diberi perlakuan ekstrak

kakao konsentrasi 2x dosis normal (C2 = 6,64 x 10-3 g/ml) ... 54 Lampiran 4. Data nilai absorbansi hasil pembacaan plat mikro yang

menunjukkan jumlah sel limfosit hidup pada perlakuan penambahan ekstrak bubuk kakao terhadap suspensi limfosit dari darah manusia (metode MTT) ... 55 Lampiran 5. Analisis sidik ragam jumlah sel limfosit dengan pengaruh

penambahan ekstrak bubuk kakao (metode MTT)... 56 Lampiran 6. Analisis sidik ragam (ANOVA) jumlah sel limfosit yang mati

(metode biru trifan) ... 57 Lampiran 7. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah limfosit dengan penambahan

ekstrak bubuk kakao (metode MTT)... 58 Lampiran 8. Hasil uji Duncan rata-rata jumlah limfosit yang mati (metode

(14)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) banyak tumbuh di perkebunan-perkebunan di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang membudidayakan tanaman kakao paling luas di dunia. Indonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi tahunan mencapai 435 ribu ton (Ed dan F. Man, 2004). Luas areal penanaman kakao di Indonesia pada tahun 2002 telah mencapai 776.900 hektar yang tersebar di seluruh propinsi, kecuali DKI Jakarta (Misnawi, 2005). Kakao (coklat) merupakan bahan pangan yang jika telah diolah menjadi produk seperti bubuk kakao memiliki citarasa yang enak sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Lemak kakao merupakan produk yang banyak diambil dari tanaman ini karena bernilai ekonomis tinggi. Sementara lemaknya dimanfaatkan, bubuk kakao itu sendiri tertinggal menjadi produk substandar yang tidak banyak dimanfaatkan atau menjadi produk sisa. Pada penelitian kali ini, bubuk kakao yang digunakan sebagai sampel adalah bubuk kakao bebas lemak sebagai produk substandar dari biji kakao. Dengan diketahuinya potensi imunomodulator bubuk kakao bebas lemak ini, diharapkan penggunaannya sebagai produk substandar dapat meningkat karena harganya yang murah dan tentunya sehat karena tidak mengandung lemak (tidak mengakibatkan kegemukan).

(15)

Banyak komponen bioaktif pangan saat ini diketahui mempunyai efek positif terhadap kesehatan, oleh karena itu penggunaan pangan yang diketahui mengandung senyawa bioaktif atau pangan fungsional merupakan hal yang sangat bermanfaat. Pangan yang kita konsumsi sehari-hari pada kenyataannya mengandung ribuan senyawa bioaktif, banyak diantaranya yang memiliki cukup potensi untuk meningkatkan kesehatan contohnya adalah kurkumin, likopen, dan polifenol yang merupakan agen chemopreventive yang telah terbukti (Elliot dan Ong, 2002).

Saat ini penggunaan pangan fungsional untuk kesehatan telah berkembang pesat, salah satu faktor pendukungnya adalah keinginan banyak orang untuk meningkatkan kesehatan dengan cara yang alami. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai efek samping yang merugikan dari konsumsi obat-obatan kimiawi yang telah banyak terbukti, sehingga timbul keinginan untuk menggunakan bahan-bahan dari alam untuk meningkatkan kesehatan. Selain faktor tersebut, konsumsi makanan yang tidak seimbang juga telah terbukti menjadi kunci dari faktor eksternal yang berpengaruh pada kejadian penyakit-penyakit kronis.

Mengingat biji kakao mengandung polifenol yang cukup tinggi dan pembentukannya telah dimulai sejak awal pembentukan biji, maka peluang untuk memanfaatkannya sebagai imunomodulator atau meningkatkan sistem kekebalan tubuh sangat besar. Senyawa fenolik terbentuk pada biji kakao ketika dilakukan proses pemeraman dan pengeringan. Senyawa ini mempunyai cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil (OH), yang cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau air.

(16)

potensi imunomodulator terhadap bubuk kakao bebas lemak yang diperoleh langsung dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember.

B. PERMASALAHAN

Pola makan masyarakat dewasa ini mengarah pada konsumsi pangan dengan ”food for health” sebagai acuan. Pola hidup sehat yang didukung oleh konsumsi makanan sehat banyak dilakukan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, mengingat begitu banyak penyakit-penyakit degeneratif yang timbul akibat konsumsi makanan tidak sehat. Dengan demikian pangan fungsional sebagai pangan yang tidak hanya memberikan nilai gizi tetapi juga memberikan efek positif terhadap kesehatan banyak dipilih oleh masyarakat. Dalam hal ini, bubuk kakao bebas lemak tentunya dapat menjadi alternatif pangan yang sehat karena sifatnya yang tidak mengandung lemak sehingga memberikan persepsi positif di mata masyarakat. Selain itu, jika terbukti potensinya sebagai imunomodulator, salah satu produk substandar hasil olahan biji kakao ini, dapat berfungsi sebagai pangan fungsional yang memberikan efek positif bagi kesehatan tubuh manusia yang mengkonsumsinya.

Berdasarkan hal tersebut, dilihat dari segi potensi ketersediaan bahan baku kakao di Indonesia serta kandungan total polifenolnya yang tinggi, maka perlu diteliti lebih lanjut kemampuan imunomodulator dari tanaman kakao, terutama bubuk kakao sebagai salah satu hasil olahan kakao yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam penelitian ini bubuk kakao bebas lemak diujikan terhadap sel limfosit manusia kemudian dilihat kemampuan proliferasi selnya dengan metode MTT dan biru trifan.

C. TUJUAN PENELITIAN

(17)

diharapkan dapat memberikan penilaian lebih terhadap bubuk kakao bebas lemak sebagai produk substandar hasil olahan tanaman kakao. Dimana produk ini tidak hanya sehat karena tidak mengandung lemak, murah karena posisinya sebagai produk substandar, tetapi juga berpotensi memberikan efek positif bagi kesehatan.

D. HIPOTESIS

1. Ekstrak bubuk kakao berpotensi dalam memicu proliferasi sel limfosit, yang menunjukkan aktivitas imunomodulator.

2. Potensi ekstrak bubuk kakao sebagai imunomodulator disebabkan oleh kandungan polifenolnya yang cukup tinggi.

3. Ekstrak dengan pelarut air tidak bersifat toksik terhadap sel dan dapat mempertahankan viabilitas sel limfosit karena ekstrak tersebut sudah sering dikonsumsi di masyarakat.

4. Pengaruh ekstrak bubuk kakao terhadap proliferasi sel limfosit tergantung pada konsentrasi ekstrak dan kondisi limfosit dalam kultur.

5. Bubuk kakao yang diperoleh dari buah kakao yang terserang hama penggerak buah dan Phytophtora palmivora masih memiliki potensi imunomodulator karena masih memiliki kandungan polifenol.

6. Bubuk kakao dari buah kakao yang masih muda maupun yang telah masak mampu memberikan respon proliferatif yang positif terhadap sel limfosit manusia. Respon ini bergantung pada kandungan polifenolnya.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KAKAO DAN KONSUMSI MASYARAKAT

Tanaman kakao berasal dari lembah Amazon, Amerika Selatan. Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Daerah utama penanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah (Siregar et al., 2003). Tanaman kakao ini digolongkan ke dalam kelompok tanaman caolifloris, termasuk dalam Genus Theobroma, Famili Sterculiaceae, dan Spesies Theobroma cacao LINN. (Susanto, 1994).

Kakao di Indonesia dikenal dua jenis, yaitu kakao mulia atau edel kakao (fine/flavour cocoa) berasal dari varietas criollo dengan buah berwarna merah dan kakao lindak (bulk cocoa) berasal dari varietas forestero dan trinitario dengan warna buah hijau. Kakao lindak merupakan kakao kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer (pelengkap) dalam mengolah kakao mulia. Meskipun termasuk kualitas kedua dan digunakan sebagai bahan komplementer, kakao lindak mendominasi seluruh perkebunan kakao di Indonesia.

Seperti yang kita ketahui, coklat merupakan jenis produk pangan yang banyak disukai di masyarakat dari berbagai kalangan usia. Meskipun demikian, banyak pula isu-isu negatif mengenai coklat misalnya efeknya dalam mengakibatkan kegemukan. Sampel bubuk kakao bebas lemak yang diujikan dalam penelitian ini tentunya dipandang sehat karena tidak mengandung lemak. Selain itu karena posisinya sebagai produk substandar hasil pengolahan biji kakao tentu menjadikan harganya murah di pasaran.

Bubuk kakao adalah produk kakao berbentuk bubuk yang diperoleh dari pasta kakao setelah dihilangkan sebagian lemaknya dengan atau tanpa perlakuan alkalisasi. Warna bubuk kakao akan semakin terang apabila kandungan lemak yang ada pada bubuk kakao semakin sedikit.

(19)

minuman dengan cara melarutkan sejumlah bubuk kakao didalam air. Pendekatan cara ekstraksi inilah yang digunakan pada penelitian kali ini.

B. KOMPONEN BIOAKTIF TANAMAN PANGAN

Banyak di antara jenis senyawa yang bukan merupakan zat gizi namun dianggap berkhasiat bagi tubuh karena dapat memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis di dalam tubuh jika dikonsumsi, senyawa tersebut sering digunakan sebagai komponen makanan fungsional.

Pada tahun 1950 dan 1960-an dikenal komponen pangan selain zat gizi yang disebut secondary plants product atau phytochemicals meliputi senyawa fenol, alkaloid, turunan isoprene, terpene, steroid, dan zat kimia lainnya (San Lin, 1994). Dalam beberapa tahun terakhir ini senyawa fitokimia menjadi topik penelitian yang sangat penting karena di antaranya dapat memberikan fungsi-fungsi fisiologis yang luar biasa menguntungkan bagi kesehatan termasuk dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif (Hendrich et al., 1994). Beberapa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi fisiologis diantaranya karotenoid, polifenol, asam fitat, dan lain sebagainya. Fungsi fisiologis yang dipunyai antara lain sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, anti-radang, merangsang sistem daya tahan tubuh, mengatur tekanan darah, mengatur kadar gula darah, dan menurunkan kolesterol (Watzl, 1996).

Senyawa fenolik meliputi senyawa fenol sederhana, asam fenolat, turunan asam hidroksinamat dan flavonoid. Senyawa fenol sederhana terdiri dari monofenol, difenol dan trienol. Turunan asam hidroksinamat berasal dari p-koumarin, asam kafeat dan ferulat, sedangkan flavonoid terdiri dari katekin, proantosianidin, antosianidin, flavon, flavonol dan glikosidanya (Ho et al., 1991).

(20)

substitusi gugus alkil posisi 2, 4 dan 6 pada senyawa fenol meningkatkan reaktivitas terhadap radikal lemak (Gordon, 1990).

Flavonoid adalah komponen regular diet yang terdapat pada buah dan sayur, bersifat nontoksik, ”inert” atau ”semi-essensial” untuk kesehatan. Penelitian mengenai aktivitas imunosuppresif dari flavonoid telah dilakukan secara in vitro (Middleton dan Kandaswarni, 1993). Flavonol quercetin dapat menghambat pertumbuhan limfosit, proses selular terhadap antigen dan pelepasan histamin dari sel mastosit yang teraktivasi. Diduga bahwa mekanisme yang terjadi dari pengaruh flavonol tersebut adalah berupa penghambatan langsung terhadap enzim seperti protein seperti kinase C dan fosfolipase A2 oleh quercetin dan quercetin glikosida (Watzl and Leitzman, 1995).

Polifenol dalam kakao diantaranya adalah katekin, prosianidin, dan antosianidin. Kornponen-komponen tersebut merupakan pembentuk rasa kelat. Dengan menurunnya kadar polifenol berarti rasa kelat berkurang dan rasa gula meningkat. Produk olahan cokelat yang mengandung katekin hampir 65 persen dari total polifenol, terdiri dari DL-katekin, epikatekin, teogallin, epigallokatekin dan prosianidin. Katekin ini diyakini dapat meningkatkan sistem perbaikan DNA, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit kanker. (Burda dan Oleszek, 2001)

C. IMUNOMODULATOR BAHAN PANGAN

Berbagai bahan pangan telah diteliti mengenai aktivitasnya sebgai imunostimulan, beberapa diantaranya dipercaya mampu menstimulasi proliferasi sel limfosit untuk meningkatkan sistem imunitas. Menurut Zakaria et al. (1997), senyawa fenol glikosida yang diisolasi dari tanaman Cynanchum Hancockianum diketahui bersifat antitumor dan mempunyai aktivitas imunomodulator. Selain itu karotenoid juga mempunyai sifat sebagai pemacu sistem imun yaitu pencegah kanker yang didasarkan pada kemampuannya meningkatkan distribusi subset limfosit seperti sel T dan sel NK.

(21)

dapat menekan proliferasi sel kanker leukimia (K-562) serta mempunyai fungsi imunomodulator yang besar. Tanaman sayuran, rempah dan bumbu telah banyak diketahui berpengaruh terhadap respon imun. Senyawa flavonoid, triterpen atau alkaloid pada tanaman kumis kucing (Uncaria guianensis dan U. Tomentosa) bersifat imunostimulan (Rizzi et al., 1993).

Beberapa ekstrak tanaman juga dilaporkan memiliki kemampuan memperbaiki sistem imun dan bersifat antikanker, antara lain hasil penelitian dari Konda et al. (1997) yang melaporkan bahwa senyawa fenol glikosida yang diisolasi dari tanaman Cynanhum hancockianum diketahui bersifat anti tumor dan mempunyai aktivitas imunomodulator. Ekstrak tanaman Uncaria tomentosa dilaporkan tidak bersifat toksik (Maria et al., 1997), serta menginduksi proliferasi limfosit (Wum et al., 1998).

Kakao juga diduga dapat berperan sebagai imunomodulator karena mengandung senyawa fenolik akibat proses pemeraman dan pengeringan. Senyawa fenolik mempunyai cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil (OH), yang cenderung mudah larut dalam pelarut organik atau air. Polifenol dalam kakao diantaranya adalah katekin, prosianidin, dan antosianidin (Siregar et al., 2003).

D. KHASIAT BIOLOGIS TANAMAN KAKAO

(22)

Hasil penelitian lain yang mengejutkan mengenai aspek kesehatan coklat atau bubuk kakao adalah bahwa coklat mengandung senyawa polifenol yang dapat melindungi tubuh manusia melawan penyakit jantung. Konsumsi polifenol yang cukup tinggi dipercaya dapat mengatasi serangan radikal bebas yang dapat merusak pembuluh darah dan meningkatkan jumlah kolesterol LDL dalam tubuh. Ada pula penelitian yang mencoba mengetahui bagaimana komponen polifenol dapat melindungi tubuh dari penyakit jantung serta mengurangi inflamasi (radang) (Van Heerden, 2006).

Komponen fenolik pada kakao terdiri dari berbagai jenis molekul seperti katekin, epikatekin, antosianin, proantosianidin, asam fenolik, condensed tannin, dan flavonoid lainnya (Williamson dan Manach, 2005). Prosianidin, oligomer katekin yang terikat secara kovalen satu sama lain banyak ditemui dalam konsentrasi tinggi pada kakao. Flavonoid ini telah diketahui memiliki efek terhadap sistem vaskuler termasuk aktivitas antioksidan plasma. Efek pada sistem vaskuler yang timbul akibat perlakuan penambahan prosianidin pada plasma mengakibatkan peningkatan antioksidan plasma, penurunan agregasi platelet, dan penurunan konsentrasi LDL kolesterol dalam plasma (Murphy et al., 2003).

(23)

E. DARAH

Menurut Williams (1987) darah adalah suspensi yang terdiri dari elemen-elemen atau sel-sel, dan plasma yaitu larutan yang mengandung berbagai molekul organik dan anorganik. Volume darah manusia dewasa rata-rata adalah 12-24 pints (6,816-7,952 liter).

Plasma darah adalah larutan yang berisi molekul organik dan anorganik. Terdapat tiga jenis sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Leukosit berbentuk seperti bola (spherical), dengan diameter 7-20 μm dan terdapat kurang dari 1 % volume total darah. Sel ini mempunyai struktur internal, termasuk nukleus dan mitokondria, dan mempunyai fungsi yang berbeda dari sel darah merah (Williams, 1987). Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu sel dalam sistem pertahanan tubuh, dan apabila dibandingkan dengan eritrosit, leukosit memiliki ukuran molekul yang lebih besar (Roitt, 1991).

Darah manusia normal mengandung 4,5 – 5,5 milyar eritrosit/ml, diameter sel ini + 7,5 μm dan tebalnya + 2 μm. Sel ini dibentuk dalam sumsum tulang panjang dan umur rata-ratanya dalam sirkulasi adalah 100 – 120 hari. Menurut Chein (1988) darah manusia normal mengandung kira-kira 7 juta leukosit per mililiter, yang hanya sekitar 1/700 dari konsentrasi eritrosit. Tabel 1. Sel-sel dalam sirkulasi darah *)

(24)

Leukosit terdiri dari 75 % sel granulosit dan 25 % sel agranulosit yang terbentuk dari dalam sumsum tulang belakang (Baratawidjaya, 1994). Yang termasuk kelompok agranulosit adalah sel limfosit dan monosit, sedangkan basofil, neutrofil, dan eosinofil termasuk ke dalam kelompok granulosit (bergranula) (Roitt, 1991).

Tabel 2. Persentase normal tipe sel darah putih *)

Tipe Sel Darah Putih Persentase

Neutrofil 62 %

Eosinofil 2,3 %

Basofil 0,4 %

Limfosit 30 %

Monosit 5,3 %

*) Gayton (1987)

F. MEKANISME RESPON IMUN

Tubuh manusia memiliki suatu sistem yang berfungsi melindungi tubuh dari unsur-unsur patogen yaitu sistem imun. Sistem imun terdiri dari komponen genetik, molekuler, dan seluler yang berinteraksi secara luas dalam merespon terhadap antigen endogenus dan eksogenus (Baratawidjaya, 1994). Salah satu sel yang berfungsi merespon antigen adalah sel darah putih.

Respon imun menjalankan tiga fungsi yaitu pertahanan (defense), homeostasis dan pengawasan (surveillance). Fungsi pertahanan bertujuan untuk melawan invasi mikroorganisme dan senyawa asing lainnya. Fungsi homeostatis untuk menjaga keseimbangan isi tubuh secara normal, meliputi degenerasi dan fungsi katabolik normal seperti pemusnahan sel-sel yang tidak berguna atau rusak. Sedangkan fungsi pengawasan bertujuan untuk memonitor jenis-jenis sel yang abnormal atau sel mutan (Bellanti, 1993). Menurut Bellanti (1993), respon imun adalah suatu reaksi tubuh terhadap benda asing yang mencakup interaksi seluler yang dapat dilihat dengan adanya zat-zat yang disekresikan oleh sel.

(25)

nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dapat dibagi menjadi pertahanan fisik dan mekanik, serta pertahanan biokimiawi (Baratawidjaya, 1991).

Respon imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya. Respon imun spesifik meliputi respon imun seluler dan humoral. Leukosit khususnya limfosit berperan penting dalam respon imun spesifik. Respon imun seluler memberikan pertahanan terhadap mikroorganisme intra dan ekstraseluler melalui sekresi limfokin seperti interferon dan interleukin, sedangkan respon imun humoral memberi pertahanan melalui produksi antobodi terhadap antigen spesifik (Roitt, 1991).

Uji aktivitas sel limfosit dapat dilakukan secara in vitro dan merupakan indikator kualitas respon imun. Penelitian menggunakan sel imun khususnya sel limfosit memberikan gambaran pertahanan tubuh. Berbagai jenis bahan pangan seperti jahe, kunyit, bawang putih, telah diketahui dan diteliti memiliki aktivitas imunostimulan yang antara lain meningkatkan kemampuan proliferasi limfosit (Zakaria, 1996).

G. LIMFOSIT

Limfosit adalah sel darah putih yang mampu menghasilkan respon imun spesifik terhadap berbagai jenis antigen yang berbeda. Limfosit merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Kuby, 1992).

(26)

Limfosit merupakan inti dalam proses respon imun spesifik karena sel-selnya dapat mengenal setiap jenis antigen. Sel limfosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi limfosit T dan B di dalam jaringan bursa fabricus (kelenjar timus) (Bellanti, 1993).

Sel limfosit terdiri atas sel T dan sel B yang keduanya bertanggumg jawab dalam respon imun spesifik untuk mengenali antigen melalui reseptor antigen. Sel ini juga mampu membedakan antigen dengan komponen tubuh sendiri atau berfungsi sebagai pengontrol sistem imun (Bellanti, 1993). Selain sel B dan sel T adapula sel Natural Killer sebanyak + 10 % dari sel limfosit dalam darah, yang turut berperan serta dalam sistem imun.

1. LIMFOSIT T (SEL T)

Sel T merupakan 65 – 85 % dari semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop, morfologi sel T tidak dapat dibedakan dengan sel B. Limfosit T berasal dari sel hematopoetik di sumsum tulang belakang, sel ini kemudian pindah ke timus dan menjadi dewasa. Di organ timus sel T sangat cepat membelah diri. Pada proses pendewasaannya sel ini mengalami diferensiasi menjadi sel Thelper (Th), sel Tsupressor (Ts), dan sel Tcytotoxic (Tc) (Bellanti, 1993). Sel berproliferasi menjadi sel T memori dan berbagai sel efektor yang mensekresi berbagai limfokin. Limfokin ini berpengaruh pada aktivasi sel B, sel Tc, sel NK dan sel lain yang terlibat dalam respon imun (Roitt, 1991).

Limfosit T berperan penting dalam imunitas seluler dengan cara merespon benda asing melalui reseptor permukaan secara langsung. Setelah interaksi antara benda asing dengan sel limfosit T, terjadi suatu seri peristiwa morfologik, biologik, dan biokimia dimana sel dapat berfungsi secara langsung atau melalui pelepasan produk limfokin.

2. LIMFOSIT B (SEL B)

(27)

B membentuk sel plasma yang dapat mensekresi antibodi, selain itu sel B juga dapat berdiferensiasi membentuk sel memori (Baratawidjaya, 1994).

Sel B adalah sel yang dapat membentuk immunoglobulin (Ig) dan merupakan 5 – 15 % dari limfosit dalam sirkulasi darah (Kresno, 1996). Sel B bisa menjadi satu sel besar dengan metabolisme aktif, menjadi sel blast atau limfoblast dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi (Bellanti, 1993).

Sel B perawan yang terangsang oleh antigen, dengan bantuan sel Th (sel T helper), akan mengalami proses perkembangan melalui 2 jalur, yaitu berdiferensiasi menjadi sel plasma yang membentuk immunoglobulin dan membelah lalu kembali istirahat sebagai sel B memori. Bila sel B memori terstimulasi dengan antigen yang sama, maka akan mengalami proliferasi lebih cepat membentuk sel plasma untuk membentuk antibodi spesifik (Roitt, 1991).

Satu sel plasma dapat mensekresi beribu-ribu molekul antibodi setiap detik. Sel B yang teraktivasi di dalam darah mengalami serangkaian proses pembelahan dan diferensiasi sel setiap 24 jam selama periode 5 hari (Albert et al., 1994).

H. KULTUR SEL

(28)

demikian untuk mempertahankannya, kondisi kultur sel harus dibuat semirip mungkin dengan keadaan lingkungan awal di dalam tubuh (Freshney, 1994).

Menurut Freshney (1994), terdapat beberapa perbedaan karakteristik sel di dalam kultur dengan sel di dalam tubuh. Interaksi yang spesifik antar sel pada jaringan secara in vitro hilang karena sel tersebar dan mudah bergerak, laju pertumbuhan sel meningkat karena ada kemungkinan berproliferasi. Lingkungan kultur kekurangan beberapa komponen yang mempengaruhi pengaturan homeostatik tubuh seperti sistem syaraf dan sistem endokrin, tanpa pengaturan ini, metabolisme selular in vitro menjadi lebih konstan dari in vivo. Kondisi ini kurang mewakili jaringan tempat sel tersebut berasal sehingga dibutuhkan penambahan hormon dalam kultur.

Energi yang dibutuhkan dalam metabolisme sel in vitro berasal dari glikolisis sedangkan metabolisme sel secara in vivo berasal dari glikolisis, daur krebs dan transpor elektron. Menurut Malole (1990), sel memerlukan media penumbuh yang dapat membuat sel tersebut bertahan hidup, berkembang, dan berdiferensiasi. Faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan, serum janin sapi, dan kondisi lingkungan.

Menurut Freshney (1994), pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. pengaturan pH media dapat dilakukan dengan kondisi 5 % CO2 pada ruangan diatas media. Keseimbangan pH dijaga dengan menambahkan NaHCO3 konsentrasi 24 mMsebagai buffer (Cartwright dan Shah, 1994). Suhu kultur dipertahankan 37 oC dengan konsentrasi CO2 5 % dan O2 95 %. Temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO2 (Freshney, 1994).

(29)

FBS (Fetal Bovine Serum) ditambahkan sejumlah 5 – 20 % yang berfungsi sebagai faktor hormonal untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas sel, faktor yang membantu terjadinya pelekatan sel dan penyebaran sel pada susbstrat (biomatrik), protein pembawa hormon, mineral, lemak, dam lainnya (Malole, 1990). Menurut Junge et al.(1970), terdapat lima faktor yang harus diperhitungkan untuk memilih serum sebagai suplemen media, yaitu : a. Makromolekul yang dapat melindungi atau mendorong pertumbuhan

dalam kondisi yang kurang menguntungkan.

b. Mikromolekul seperti nukleotida, vitamin, hormon, co-enzyme sebagai nutrisi essensial yang tidak terdapat dalam media.

c. Faktor-faktor yang menetralisir atau berkombinasi dengan stimulan, termasuk antibodi.

d. Kehadiran antibodi ke sisi antigen dengan reseptor permukaan antigen pada antibodi. Hal ini bisa bersifat sebagai stimulator atau sitotoksik. e. Antigen asing. Serum heterolog akan memberikan banyak tenaga untuk

antigen potensial.

Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyaknya faktor pertumbuhan, perlindungan sel dan faktor nutrisi yang dikandungnya. Kandungan tersebut dapat dibagi dalam beberapa polipeptida spesifik yang menstimulasi pertumbuhan sel (growth factor), protein pengangkut, agen pelindung sel, faktor pelekatan, dan nutrisi. Beberapa growth factor bersifat essensial karena ketidakberadaannya dapat menginisiasi peristiwa apoptosis (Cartwright dan Shah, 1994).

Menurut Junge, et al.(1970), limfosit tidak dapat bertahan hidup dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah (kurang dari 105 sel/ml). Indikator paling nyata bila media telah habis adalah nilai pH yang rendah dimana hal tersebut menjadi indikasi laju glikolisis.

(30)

untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Agen antibakteri yang banyak digunakan adalah campuran penicillin (100 IU/ml) dan streptomycin (50 μg/ml). Gentamycin 50 μg/ml sering digunakan untuk mencegah kontaminasi mikroba yang daya tahannya lebih besar. Agen antifungi yang banyak digunakan adalah amphotericin B (2,5 μg/ml) dan nystatin (25 μg/ml) (Cartwright dan Shah, 1994).

I. UJI PENENTUAN JUMLAH SEL

Metode yang cukup sederhana untuk penghitungan jumlah sel yang berproliferasi adalah metode pewarnaan MTT (3-(4,5-dimethyl-2-thyazolyl)-2,5-diphenyl-2H-tetrazolium bromide). Prinsip metode MTT adalah konversi MTT menjadi senyawa formazan yang berwarna ungu oleh aktivitas enzim suksinat dehidrogenase dari mitokondria sel hidup (Kubota, 2003). Jumlah senyawa formazan yang terbentuk adalah proporsional dengan jumlah sel limfosit yang hidup. Selain dengan metode MTT, perhitungan sel dapat dilakukan dengan metode pewarnaan biru trifan, yang hanya dapat mewarnai jika membran sel telah rusak, sehingga dapat digunakan untuk membedakan sel hidup dan mati atau rusak. Sel yang hidup tidak akan berwarna (bening) dan berbentuk bulat, sedangkan sel mati akan berwarna biru dan mengkerut (Bird dan Forester, 1981).

J. PROLIFERASI SEL LIMFOSIT

(31)

klon menunjukkan secara tidak langsung kemampuan respon imunologik atau tingkat kekebalan.

Uji proliferasi limfosit dapat dilakukan melalui pengukuran kemampuan sel limfosit yang ditumbuhkan dalam kultur sel jangka pendek yang mengalami proliferasi klonal ketika dirangsang secara in vitro oleh antigen atau mitogen (Valentine dan Lederman, 2000). Bila sel dikultur dengan senyawa mitogen, maka limfosit akan berproliferasi secara tidak spesifik. Begitupula bila limfosit dikultur dengan antigen spesifik maka limfosit akan berproliferasi secara spesifik.

Beberapa senyawa yang telah diketahui mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit adalah vitamin C dan E (Budiharto, 1997), ekstrak bawang putih (Lastari, 1998), ekstrak jahe (Zakaria et al., 1997), ekstrak tanaman cincau hijau (Pandoyo, 2000), ekstrak air kayu secang (Caesalpinia sappan Linn) (Puspaningrum, 2003), teh daun dan serbuk gel cincau hijau (Setyawati, 2003), bunga kumis kucing (Orthosimphon stmineus benth) dan bunga knop (Gomphrena globosa L.) (Aquarini, 2005). Senyawa-senyawa tersebut bekerja melalui mekanisme menginduksi proliferasi sel limfosit.

K. MITOGEN

Mitogen adalah agen yang mampu menginduksi pembelahan sel limfosit baik sel T maupun sel B dalam persentase yang sangat tinggi. Mitogen merupakan sumber ligan polipeptida yang dapat berikatan dengan reseptor yang terdapat pada permukaan sel. Beberapa mitogen merupakan faktor pertumbuhan yang mengaktivasi tirosin kinase. Aktivitas tersebut diawali oleh mitogen yang mengakibatkan adanya urut-urutan sinyal yang berpengaruh terhadap berbagai faktor transkripsi dan berpengaruh terhadap aktivitas gen di dalam sel (Decker, 2001).

(32)

aktivasi poliklonal. Beberapa mitogen hanya mampu menginduksi proliferasi sel B, beberapa hanya berpengaruh pada sel T, dan ada juga yang mampu menginduksi keduanya. Beberapa mitogen disebut antigen T-independen, karena mampu menginduksi sel B untuk mensekresi antibodi tanpa ada bantuan dari sel Th (Decker, 2001).

Lektin pada umumnya adalah mitogen yang merupakan protein yang berikatan dengan senyawa karbohidrat. Concavalin A (Con A) adalah protein yang berasal dari bibit jack bean (Canavalia ensiformis) yang berikatan dengan gula yang mengandung α-D-mannose atau α-D-glucose. Con A mempunyai struktur tetramer dengan setiap monomernya memiliki satu situs pengikat karbohidrat, sehingga dapat mengikat glikoprotein pada permukaan sel. Lektin con A adalah mitogen asal legum yang bersifat sebagai imunomodulator karena dapat merangsang proliferasi limfosit. Menurut Kresno (1996) sebanyak 50 – 60 % sel limfosit T mampu memberikan respon terhadap stimulasi dengan mitogen Con A. Con A dapat merangsang transformasi blast sub populasi sel T (Bellanti, 1993).

Tidak semua mitogen adalah lektin. Lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen dari dinding sel bakteri gram negatif juga mampu berfungsi sebagai mitogen, tetapi pengaruhnya hanya pada sel B. Aktivitas mitogenik LPS berasal dari bagian lipidnya yang berinteraksi dengan membran plasma, kemudian menghasilkan aktivasi selular (Kuby, 1992).

(33)

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah bubuk biji kakao bebas lemak yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, yaitu:

A. Kakao Mulia/Edel (A)

1. Edel Muda (Umur 90 s/d 100 hari) (A1) 2. Edel Masak (Umur 150 s/d 160 hari ) (A2) B. Kakao Lindak/Bulk (B)

1. Bulk Muda (Umur 90 s/d 100 hari) (B1) 2. Bulk Masak (Umur 150 s/d 160 hari ) (B2) C. Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora (C)

1. Tingkat Serangan Ringan (C1) 2. Tingkat Serangan Sedang (C2) 3. Tingkat Serangan Berat (C3)

D. Buah Terserang Penggerak Buah Kakao (D) 1. Tingkat Serangan Ringan (D1)

2. Tingkat Serangan Sedang (D2) 3. Tingkat Serangan Berat (D3)

(34)

(Sigma Chemical, USA), serta alkohol 70 %. Sel limfosit didapat dan diisolasi dari darah responden laki-laki dewasa yang sehat.

2. Alat

Alat untuk analisis kultur sel dan pengujian kandungan total fenolik meliputi, laminar flow (lab.gard Class II, Type A/B2, model NU-407-600), inkubator (C02 water jacketed incubator, model NU-2700E), sentrifuse jenis swing dengan tipe CR412 dari Jouan, hemasitometer (Neubauer), I3-counter (Beckman), mikroskop (Zeiss ID03, Germany), mikropipet, neraca analitik, tabung reaksi, pipet Mohr 2ml dan 10 ml, corong, vorteks, lampu spiritus, serta spektrofotometer. Pengamatan dari foto sel menggunakan inverted microscope tipe 1x70 dari Olympus dengan pembesaran lensa obyektif 100x. Pembacaan absorbansi jumlah sel menggunakan alat microplate reader (Benchmark, Bio-Rad).

Peralatan habis pakai yaitu lempeng sumur mikrotiter 96 (Nunc), tabung Falcon 5 ml, tabung 1,5 ml (Eppendorf), tabung vakum vacutaener 9 ml, syringe dengan jarum butterfly No. 23, membran filter 0,22 μm, mikrotip biru dan kuning, alumunium foil, kertas saring Whatman no.1.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai Mei 2006. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP), Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan Laboratorium Kultur Jaringan, Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

C. METODE PENELITIAN 1. Ekstraksi

(35)

filtrat sampel dijadikan larutan stok dan disterilkan secara aseptis dengan penyaringan membran 0,22 μm. Kemudian dilakukan pengenceran bertingkat dalam media RPMI 1640 untuk mendapatkan larutan stok dengan tingkat konsentrasi masing-masing 1,66 mg/ml (C1), 3,32 mg/ml (C2) dan 6,64 mg/ml (C3). Tingkatan konsentrasi ini ditentukan berdasarkan konsumsi normal minuman bubuk kakao murni perhari yang terserap ke dalam darah manusia, dimana konsentrasi tersebut diatas berturut-turut merupakan analogi dari 1x, 2x, dan 4x dosis normal per hari. Contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2.

2. Analisis Total Polifenol

Penetapan kandungan total fenol dilakukan secara spektrofotometri berdasarkan metode Folin-Dennis dengan menggunakan asam tanat sebagai standar. Dua mililiter filtrat ekstrak bubuk kakao (0,8 mg/ml) dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ke dalamnya ditambahkan berturut-turut 1 ml pereaksi Folin yang telah diencerkan 10 kali dengan akuades dan 1 ml larutan Na2CO3 (60g/L). Kurva standar dibuat dari sederet larutan standar asam tanat dengan konsentrasi 0 ppm hingga 50 ppm. Masing-masing 2 ml larutan standar dipipet, kemudian diperlakukan sama seperti contoh di atas. Blanko dibuat dari 2 ml akuades sebagai pengganti filtrat sampel. Masing-masing campuran sampel, standar maupun blanko divorteks kemudian dibiarkan selama 30 menit pada suhu ruang. Selanjutnya diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 760 nm.

3. Persiapan Media Kultur Sel

(36)

1970). Larutan tersebut disterilkan dengan membran steril 0,22 μm. Jika digunakan sebagai media pertumbuhan, komposisi medium ditambahkan 10% FBS steril (Zakaria, 1997).

4. Pengujian Ekstrak terhadap Proliferasi Sel Limfosit Manusia 4.1. Isolasi Limfosit Darah Tepi

Pengambilan darah perifer dilakukan di Klinik Herba Dr. Effi Afifah Kampus Darmaga oleh seorang asisten tranfusi darah pada jam 09.30. Setelah diberi inform of concern (lampiran 9), darah diambil dari seorang responden pria dewasa sehat secara aseptis dengan syringe dan jarum butterfly No. 23 sekali pakai. Sampel darah ditempatkan dalam tabung vakum vacutaener steril.

Limfosit manusia diisolasi dari darah perifer dengan sentrifugasi berdasarkan perbedaan densitas larutan ficoll-hypaque sebesar 1,77 ± 0,001 g/ml. Pertama dilakukan pemisahan komponen seluler dengan sentrifugasi sampel darah pada 1500 rpm selama 5 menit. Bagian darah yang lebih berat (sel darah merah) berada di bagian bawah, sedangkan plasma darah terpisah di bagian atas. Lapisan buffy coat yang sebagian besar berisi sel limfosit dan berada diantara kedua lapisan itu diambil lalu ditambahkan media RPMI basal hingga 14 ml.

Pada tahap pemisahan selanjutnya suspensi limfosit dalam media dilewatkan diatas larutan ficoll-hypaque secara perlahan sehingga terbentuk dua lapisan yang tidak bercampur. Kemudian disentrifugasi pada 1800-2000 rpm selama 30 menit.

(37)

1500 rpm selama 5 menit, sehingga limfosit (dalam presipitat) terpisah dari platelet, monosit, plasma dan ficoll (dalam supernatan).

Gambar 1. Darah perifer dan Ficoll hypaque sebelum disentrifugasi Keterangan : (A) Darah perifer (B) ficoll hypaque

Gambar 2. Hasil pemisahan leukosit Sel limfosit tersebut dihitung dengan pewarnaan biru trifan pada hemasitometer. Suspensi limfosit dengan jumlah sel yang hidup di atas 95 % tersebut disiapkan dan dilakukan pengenceran dengan media basal yang mengandung serum sebanyak 10 %. Hasil isolasi sel limfosit dibuat menjadi suspensi dengan konsentrasi 106 sel/ml.

4.2. Pengujian Aktivitas Proliferasi Menggunakan MTT

(38)

ditambahkan berturut-turut ke setiap sumur masing-masing sejumlah 20 µl ekstrak senyawa polifenol yang telah disiapkan dengan konsentrasi 1,66 mg/ml (C1), 3,32 mg/ml (C2) dan 6,64 mg/ml (C3). Volume akhir setiap sumur lempeng mikro adalah 100µl. Sebagai kontrol ditambahkan 20 µl medium RPMI-1640 sebagai penganti ekstrak sampel sehingga mencapai volume yang sama, sedangkan sebagai kontrol positif ditambahkan 20 µl mitogen LPS dengan konsentrasi dalam kultur sebesar 5 μg/ml sebagai pengganti ekstrak sampel. Sumur lempeng mikro kemudian diinkubasi selama 72 jam dalam inkubator suhu 37oC. Sekitar 4-5 jam sebelum masa inkubasi berakhir, pada setiap sumur ditambahkan MTT (5 mg/ml) sebanyak 10 µl lalu dilanjutkan inkubasi selama 4 jam. Sumur lempeng kemudian dibaca oleh alat microplate reader setelah sebelumnya ditambahkan HCl-isopropanol 0,04 N sebanyak 100 µl pada setiap sumur untuk menghentikan reaksi. Nilai absorbansi hasil pembacaan menggunakan microplate reader bersifat proporsional terhadap jumlah sel yang hidup.

4.3. Pengujian Aktivitas Proliferasi Menggunakan Biru Trifan

Metode isolasi dan pembuatan kultur untuk pengujian aktivitas proliferasi menggunakan metode biru trifan sama dengan metode MTT, namun penghitungan jumlah sel dilakukan dengan bantuan pewarnaan biru trifan menggunakan hemasitometer. Penghitungan jumlah sel hanya dilakukan terhadap sel mati.

Rumus perhitungan sel limfosit dengan menggunakan hemasitometer adalah sebagai berikut :

N (sel/ml) = A x FP x 104 Keterangan : N = jumlah sel limfosit per ml

A = jumlah sel rata-rata per bidang pandang FP = faktor pengenceran (=2), diperoleh dari

(39)

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini untuk analisis dengan metode MTT adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan tiga ulangan. Model rancangannya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + Ai + Bj + (AB)ij + éijk Dimana :

Yij = variabel respon yang dipengaruhi µ = nilai rata-rata perlakuan

Ai = pengaruh taraf i faktor A Bj = pengaruh taraf j faktor B

(Ab)ij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B éij = galat perlakuan akibat tiga kali ulangan

i = jenis konsentrasi

j = jenis ekstrak bubuk kakao

Sementara itu rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis dengan metode biru trifan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor dan dua ulangan. Model rancangannya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + τi + εij Dimana :

Yij = variabel respon yang dipengaruhi µ = nilai rata-rata perlakuan

τi = pengaruh ekstrak bubuk kakao taraf ke-i i = jenis ekstrak bubuk kakao

εij = galat perlakuan akibat dua kali ulangan

(40)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. BUBUK KAKAO

Pada penelitian ini sampel kakao yang digunakan telah berbentuk bubuk hasil pengolahan dari bagian biji kopi yang telah melalui proses pemeraman dan pengeringan. Sebelum dilakukan pengujian secara in vitro, dilakukan ekstraksi terhadap sampel bubuk kakao dengan tujuan untuk mengekstrak komponen polifenol yang dipercaya mampu memicu aktitivitas proliferasi sel tersebut.

Bubuk kakao bebas lemak merupakan produk substandar hasil pengolahan biji kakao, dengan demikian nilai ekonomisnya relatif rendah jika dibandingkan dengan cocoa butter atau lemak coklat yang banyak diambil dan dimanfaatkan dari tanaman kakao. Meskipun demikian, bubuk kakao bebas lemak ini diketahui tetap memiliki kandungan polifenol yang tinggi. Hal ini mengakibatkan adanya kemungkinan potensi bubuk kakao tersebut sebagai imunomodulator. Kedua jenis kakao yaitu edel dan bulk dipilih karena merupakan dua jenis tanaman kakao yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Kandungan polifenol kedua jenis kakao ini tidak jauh berbeda, namun proses fermentasi kemungkinan akan mengakibatkan perubahan kimiawi termasuk kandungan total polifenolnya.

Proses fermentasi mengakibatkan beberapa perubahan kandungan polifenol kakao, diantaranya terjadi penurunan drastis kandungan polifenol larut air serta terjadi polimerisasi beberapa jenis konstituen seperti (-)-epikatekin menjadi komponen fenolik yang lebih besar bobot molekulnya misalnya prosianidin (Shahidi dan Nacsk, 2003).

(41)

Bubuk kakao pada penelitian ini diekstraks dengan akuades atau air yang dipilih sebagai pendekatan terhadap keadaan nyata konsumsi bubuk kakao sehari-hari. Masyarakat biasanya membuat minuman kakao ataupun coklat dengan cara melarutkan bubuk kakao di dalam air untuk kemudian dikonsumsi. Pemilihan pelarut air ini juga memudahkan pembuatan kultur karena seperti halnya air, media RPMI-1640 juga bersifat polar sehingga dapat dengan mudah melarutkan suspensi limfosit dan ekstrak sampel.

Ekstraksi dilakukan selama 24 jam dengan maksud agar komponen polar termasuk polifenol yang terlarut didalam pelarut air akan lebih optimal. Selanjutnya dilakukan penyaringan sebanyak 2 kali dengan kertas saring untuk memisahkan endapan yang terbentuk di dasar wadah, sehingga diperoleh larutan ekstrak sampel yang homogen. Konsentrasi yang dipilih ketika melakukan ektraksi adalah sebesar 8 gram per 100 ml akuades.

B. TOTAL POLIFENOL

Polifenol merupakan salah satu senyawa antioksidan yang berasal dari golongan flavonoid yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Komponen-komponen fenolik banyak terdapat pada pangan nabati atau sayuran dan buah-buahan. Senyawa tersebut mempengaruhi kualitas gizi pangan segar dan olahan. Selain itu senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochlar dan Rossell, 1990).

Komponen fenolik yang terdiri dari fenol sederhana, turunan asam hidroksisinamat dan flavonoid memiliki molekul dasar yang sama yaitu memiliki minimal satu cincin aromatik dan satu gugus hidroksil sehingga mudah untuk larut dalam pelarut polar. Komponen fenolik ini telah diketahui pula memiliki aktivitas antioksidan (Shahidi, 1997). Krinsky (1992) mendefinisikan antioksidan sebagai senyawa yang melindungi sistem biologis, melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi berlebihan.

(42)

sering terdapat bergabung dengan gula glikosida dan biasanya terdapat dalam rongga sel tumbuhan. Dengan demikian, ekstraksi dengan pelarut air seperti yang dilakukan pada penelitian ini diduga mampu mengekstrak komponen polifenol dari sampel bubuk kakao yang kemudian akan memicu proliferasi sel limfosit.

Penentuan total polifenol dalam penelitian ini dilakukan secara spektrofotometrik menggunakan standar asam tannat pada konsentrasi 5 ppm hingga 50 ppm. Hasil reaksi diukur pada panjang gelombang 760 nm. Hubungan antara konsentrasi polifenol (asam tannat) dan absorbansi hasil reaksi dapat dilihat pada gambar 3. Hasil analisis total polifenol pada sampel ekstrak bubuk kakao berdasarkan persamaan kurva tersebut dapat dilihat pada gambar 4 berikut ini.

y = 0.0176x + 0.0791

R2 = 0.9932

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

konsentrasi (ppm)

ab

so

rb

a

n

si

(43)

37

Gambar 4. Diagram kadar total polifenol rata-rata pada bubuk kakao Keterangan :

A1 = Edel muda A2 = Edel masak B1 = Bulk muda B2 = Bulk masak

C1 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Ringan C2 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang C3 = Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Berat D1 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Ringan D2 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Sedang D3 = Buah Terserang Penggerak Buah Kakao Tingkat Serangan Berat

Dari grafik diatas diketahui bahwa adanya serangan busuk buah mengakibatkan penurunan kandungan polifenol pada bubuk kakao yang diperoleh dari buah tersebut. Serangan cendawan P. palmivora diduga telah merusak buah kakao sehingga mempengaruhi kandungan senyawa kimia dalam bijinya.Serangan hama penggerak buah juga mempengaruhi kadar total polifenol ekstrak bubuk kakao dimana semakin tinggi tingkat serangannya semakin rendah kadar polifenol (Misnawi, 2005).

(44)

lebih besar jumlahnya daripada jenis bulk. Meskipun demikian hal ini bergantung pada proses fermentasinya.

Misnawi (2005) mengatakan bahwa semakin masak buah kakao, semakin tinggi kandungan polifenolnya. Ini dikarenakan pada buah yang masih muda, pembentukan senyawa polifenol dalam biji kakao masih belum sempurna. Hasil penelitian yang berbeda ini kemungkinan terjadi karena sampel yang diujikan total polifenolnya bukan berupa sampel segar dari biji kakao, melainkan yang telah berbentuk bubuk. Dengan demikian mungkin terjadi perubahan komposisi kimia termasuk kandungan polifenolnya selama proses pengeringan menjadi bentuk bubuk tersebut. Hasil penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa kandungan polifenol dalam biji kakao kakao lindak fermentasi dan tanpa fermentasi berkisar 50 − 180 g/kg (Misnawi et al., 2002 a,c).

C. APLIKASI KULTUR SEL

Kultur sel secara in vitro memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan lingkungan dalam tubuh sehingga proses biologis yang terjadi dalam kultur sel dapat berlangsung mendekati keadaan sebenarnya dalam tubuh. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan, pH, serta fase gas yang sesuai untuk pertumbuhan sel.

Pada penelitian ini jumlah sel limfosit hidup dalam suspensi yang digunakan dalam kultur ini adalah sebesar 106 sel/ml. Menurut Freshney (1994), jumlah sel minimum untuk dapat bertahan hidup di dalam kultur sel adalah sebanyak 1-2 x 106 sel/ml. Suspensi limfosit yang digunakan untuk setiap sumur adalah sebanyak 80 µl, sedangkan volume akhir kultur sel per sumur adalah 100 µl. Dengan jumlah sel limfosit hidup tersebut diharapkan sel limfosit akan mampu bertahan hidup dan melewati siklus hidupnya dengan baik dalam waktu inkubasi selama 72 jam.

(45)

mengkultur sel limfosit selama 3 hari. Jika inkubasi kultur dilakukan lebih lama dari jangka waktu tersebut maka perlu dilakukan penyegaran media termasuk penambahan glutamin (Malole, 1990).

Penentuan ekstrak bubuk kakao yang ditambahkan pada kultur ditentukan berdasarkan pada perhitungan konsentrasi ekstrak yang akan berada dalam darah ketika konsumsi normal minuman bubuk kakao. Contoh perhitungan konsentrasi ini dapat dilihat pada lampiran 2. Konsentrasi ekstrak berdasarkan konsumsi sehari-hari dilambangkan dengan C1 yaitu sebesar 1,66mg/ml, kemudian dari konsentrasi ini dibuat peningkatan konsentrasi sebanyak dua kali lipat yaitu sebesar 3,32 mg/ml (C2), dan empat kali lipat yaitu sebesar 6,64 mg/ml (C3).

Pengujian ekstrak terhadap proliferasi sel limfosit secara in vitro menggunakan beberapa taraf konsentrasi seperti ini telah banyak dilakukan. Hal ini dengan maksud untuk mengetahui signifikansi peningkatan dosis konsumsi dengan efek respon proliferatif sel yang dihasilkannya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan penggunaan beberapa tingkat konsentrasi ini diantaranya dilakukan pada sampel ekstrak cincau hijau (Pandoyo, 2000) dan ekstrak jahe (Yuana, 1998).

Analisis dengan metode MTT diujikan dengan menggunakan ketiga tingkat konsentrasi pada setiap jenis ekstrak bubuk kakao, namun untuk analisis dengan metode biru trifan hanya digunakan ekstrak bubuk kakao pada konsentrasi 3,32 x 10-3 g/ml.

(46)

Pada metode MTT galat dapat terjadi berupa kesalahan positif jika terdapat kontaminasi. Kontaminasi menyebabkan kristal formazan yang terbentuk bukan saja diperoleh dari kerja enzim suksinat dehidrogenase yang dimiliki oleh sel limfosit hidup, tetapi juga dari sel mikroba kontaminan. Kedua galat ini tentunya harus dapat dihindari semaksimal mungkin pada pelaksanaannya secara teknis.

Untuk menghindari kontaminasi, pembuatan kultur sel dilakukan secara aseptis di dalam laminar flow hood. Selain itu, pada media RPMI yang digunakan juga ditambahkan antibiotik yaitu penicillin yang efektif menghambat bakteri gram positif maupun negatif, serta streptomycin yang efektif menghambat bakteri gram positif dan negatif serta mycoplasma (Junge et al., 1970)

Beberapa ekstrak bubuk kakao yang ditambahkan pada kultur pada penelitian ini ternyata mampu menyebabkan sel limfosit bertahan hidup secara baik dan mengalami proliferasi secara signifikan terhadap kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak yang lebih tinggi daripada kontrol. Hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.

D. PENGUJIAN AKTIVITAS PROLIFERASI SEL LIMFOSIT 1. Perhitungan sel limfosit mati dengan metode biru trifan

(47)

112

Gambar 5. Grafik jumlah sel limfosit mati setelah masa inkubasi 72 jam yang dihitung dengan metode biru trifan.

Dari hasil yang diperoleh berdasarkan gambar 5 dapat dilihat bahwa semua jenis ekstrak bubuk kakao yang ditambahkan pada kultur mampu mempertahankan sel limfosit tetap hidup setelah inkubasi selama 72 jam. Hal ini terbukti dari jumlah sel mati yang terhitung pada kultur dengan penambahan ekstrak jauh lebih kecil daripada jumlah sel mati pada kontrol negatif. Berdasarkan uji statistik dengan analisis sidik ragam seperti tertera pada lampiran 7 juga terlihat bahwa perlakuan penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah sel limfosit mati dengan nilai p sebesar 0.0003 (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan pada lampiran 9 juga menunjukkan bahwa semua jenis ekstrak bubuk kakao memberikan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan kontrol negatif (p<0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur secara in vitro tidak bersifat toksik bagi sel limfosit.

(48)

sel itu sendiri. Dengan terjadinya proliferasi sel maka jumlah sel di dalam kultur menjadi banyak, sehingga kemungkinan nutrisi yang tersedia dari media menjadi kurang cukup dan limfosit mengalami kematian. Menurut Junge et al. (1970), ketersediaan nutrisi di dalam media pada kultur sel secara in vitro sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan viabilitas sel.

2. Pengukuran aktivitas proliferasi dengan metode MTT

Nilai absorbansi hasil pengukuran microplate reader menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk sebagai hasil konversi MTT dengan adanya kerja enzim suksinat dehidrogenase. Enzim ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal formazan hanya dapat terbentuk oleh sel yang hidup (Kubota et al., 2003). Banyaknya kristal formazan yang terbentuk berarti berkorelasi dengan banyaknya sel yang hidup. Nilai absorbansi akan linear dengan jumlah sel hidup, atau dengan kata lain semakin tinggi absorbansi yang dihasilkan maka semakin tinggi pula jumlah sel hidup yang terdapat di dalam kultur tersebut.

Pada gambar 6 dapat dilihat perbandingan nilai absorbansi yang ditimbulkan oleh penambahan ekstrak sampel pada kultur. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa nilai rata-rata absorbansi kultur dengan penambahan ekstrak bubuk kakao sebagian besar lebih tinggi daripada kontrol. Ada beberapa jenis ekstrak sampel yang nilai rata-rata absorbansinya lebih rendah dari kontrol, tapi setelah dilakukan uji statistik ternyata kedua nilai ini tidak berbeda nyata (p>0.05). Dengan demikian hasil pengukuran absorbansi menunjukkan bahwa secara umum penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur dapat menimbulkan proliferasi limfosit yang ditandai dengan tingginya nilai absorbansi dibanding kontrol.

(49)

yang sangat nyata terhadap nilai absorbansi kultur yang menunjukkan jumlah sel hidup maupun proliferasi sel. Hal ini dapat disimpulkan dari nilai signifikansi (p value) yang lebih kecil dari 0.05 yaitu sebesar 0.0001.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa ada beberapa sampel ekstrak bubuk kakao yang menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kontrol, diantaranya adalah sampel B2 (bulk masak), C2 (Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Sedang), dan C3 (Buah Terserang Busuk Buah Phytopthora Tingkat Serangan Tinggi). Hal ini berarti konsumsi ketiga jenis bubuk kakao tersebut dapat meningkatkan kemampuan tubuh untuk mengaktivasi sel limfosit untuk berproliferasi, sehingga jenis bubuk kakao tersebut dapat berperan sebagai imunomodulator. Hasil uji Duncan ini dapat dilihat dengan lebih jelas pada tabel 3 dan lampiran 8.

Tabel 3. Hasil uji Duncan yang menunjukkan pengaruh penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur terhadap proliferasi limfosit

Jenis ekstrak bubuk kakao Mean

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05 LPS = kontrol positif

A1 = Edel muda A2 = Edel masak B1 = Bulk muda B2 = Bulk masak

(50)

Jumlah sel limfosit pada suspensi awal yang dibuat kultur adalah sebanyak 106 sel/ml, dimana suspensi ini memberikan nilai absorbansi sebesar 0,3 – 0,4. Dengan demikian, nilai absorbansi kultur sampel yang cukup tinggi setelah masa inkubasi, yaitu mencapai 1,6 menunjukkan jumlah sel limfosit sebanyak 4 – 5 x 106 sel/ml, dimana jumlah ini masih termasuk di dalam batas jumlah normal sel limfosit di dalam tubuh. Maka hasil pengujian ini menunjukkan pula bahwa proliferasi sel limfosit yang ditimbulkan akibat penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur tidak berlebihan atau masih dalam batas normal sehingga tidak membahayakan.

Sementara itu, tiga tingkat konsentrasi ekstrak bubuk kakao yang diujikan terhadap kultur menghasilkan nilai p sebesar 0.0230, yang berarti perlakuan ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap absorbansi kultur maupun proliferasi sel. Seperti tampak pada tabel 5, pada dosis tinggi yaitu konsentrasi empat kali dosis normal, penambahan ekstrak bubuk kakao pada kultur memberikan pengaruh yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan dua konsentrasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi bubuk kakao sampai dengan empat kali dosis normal dapat meningkatkan kemampuan limfosit untuk berproliferasi. Dengan kata lain, konsumsi bubuk kakao dalam jumlah yang cukup tinggi ini dapat lebih meningkatkan sistem imunitas tubuh. Meskipun demikian ada kemungkinan jika dosis yang dikonsumsi terlalu tinggi akan menjadi bersifat toksik bagi sel limfosit. Tapi untuk ekstrak bubuk kakao yang diujikan, sampai dengan konsentrasi empat kali dosis normal (6,64 mg/ml) ekstrak bubuk kakao tidak bersifat toksik.

(51)

Menurut Zakaria (1996), pada suatu konsentrasi tertentu suatu ekstrak dalam kultur sel bisa bersifat sebagai antioksidan dan bersifat prooksidan pada konsentrasi lain.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi terhadap proliferasi limfosit yang ditunjukkan oleh nilai absorbansi kultur

Konsentrasi/dosis Mean 1,66 mg/ml (C1) 1.25861b 3,32 mg/ml (C2) 1.28447b 6,64 mg/ml (C3) 1.38143a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0.05 C1 = 1x dosis normal

C2 = 2x dosis normal C3 = 4x dosis normal

Tidak terjadi interaksi antara kedua faktor perlakuan penambahan jenis ekstrak dan perlakuan tingkat konsentrasi (dosis). Hal ini tampak dari nilai p untuk interaksi antara kedua faktor lebih besar daripada 0.05 yaitu sebesar 0.9959. Dengan demikian tidak dapat dibuat kesimpulan yang bersifat faktorial atau menggabungkan kedua faktor ini.

(52)

1.

(53)

3. Hubungan kadar total polifenol dengan proliferasi yang ditimbulkan oleh penambahan ekstrak bubuk kakao metode MTT

Seperti yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya, ada beberapa jenis ekstrak bubuk kakao yang mampu menimbulkan proliferasi yang nilainya berbeda nyata dengan kontrol negatif, yaitu sampel B2, C2, dan C3. Jika dilihat dari kandungan total polifenolnya, sampel B2 memang memiliki kandungan senyawa fenolik yang cukup tinggi daripada sampel lainnya yaitu sebesar 35,534 ppm, sedangkan untuk sampel C2 dan C3 kandungan fenoliknya rendah yaitu berturut-turut hanya sebesar 12,381 ppm dan 4,028 ppm. Menurut Misnawi (2005), biji dari buah kakao yang terserang busuk buah oleh P. palmivora potensinya memang sudah tinggal 50%.

Pada beberapa jenis sampel lainnya seperti D1, D2, dan D3 yaitu ekstrak bubuk kakao yang terserang hama penggerek buah kakao dalam berbagai tingkat serangan, kandungan total polifenolnya cukup tinggi, namun absorbansi kultur yang dihasilkannya tidak terlalu tinggi tapi tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa fenol di dalam ekstrak diduga mampu memicu terjadinya proliferasi limfosit di dalam kultur, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan proliferasi tersebut.

Menurut Pandoyo (2000), komponen fenol dapat berpengaruh karena sifatnya yang mudah berikatan dengan protein dan akibat sifat antioksidatif fenol sehingga dapat melindungi limfosit dari oksigen reaktif. Senyawa fenol itu sendiri beraneka ragam jenisnya. Diduga hanya beberapa jenis senyawa fenol yang menyebabkan terjadinya proliferasi, bahkan ada pula beberapa jenis yang justru bersifat antiproliferatif dengan menghambat sintesis DNA (Xu et al. di dalam Yuana, 1998). Senyawa fenol yang telah diketahui dapat pula bersifat toksik adalah (-)-epigallocathecin gallate dalam daun teh (Lin et al., 1996).

Gambar

Tabel 1.  Sel-sel dalam sirkulasi darah *)
Tabel 2.  Persentase normal tipe sel darah putih *)
Gambar 1.  Darah perifer dan Ficoll hypaque sebelum disentrifugasi
gambar 4 berikut ini.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi dan terendah adalah ….. Komponen pendapatan nasional yang diter- ima oleh pemilik faktor produksi tanah adalah

Kecemasan yang dirasakan pasien dapat berubah-ubah, dengan kecemasan yang ringan, maka mekanisme koping yang digunakan masih dalam taraf normal atau adaptif (positif)

Hasil penelitian ini adalah aplikasi multimedia sebagai media pembelajaran Aljabar Linier pada materi Nilai Eigen dan Vektor Eigen bagi mahasiswa Program Studi

Kesimpulan dari penelitian ini adalah melalui metode pembelajaran SFAE dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.. Oleh karena itu, metode SFAE dapat

gaji pokok pegawai. Untuk menambah data gaji pokok, tekan tombol.. Untuk mengedit data, tempatkan kursor ke baris yang ingin. diedit kemudian tekan tombol EDIT. Untuk menghapus

Tahap awal pelaksanaan pembinaan narapidana penyalahgunaan narkotika meliputi masa pengenalan, pengamatan, dan penelitian lingkungan (Mapenaling), penentuan Diagnosis

In this study, the game is developed based on HTML5 to lift Timun Emas Season 1:Pencarian Senjata using Construct2 engine.. The method of data collection is done by

Sesuai dengan arahan pada PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pusat Kegiatan Nasional atau PKN adalah kawasan perkotaan yang