• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe"

Copied!
219
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disahkan/Diketahui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Hamdan, SH, M.Hum NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H, M.Hum Dr. Marlina, S.H, M.Hum

196209071988112001 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang

telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul

Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Ayahnda Herman Munthe dan Ibunda Magdalena Br

Sembiring, Amk atas semua doa, cinta kasih, dukungan moril dan materil yang

tiada habisnya diberikan kepada penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang dan

selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ini telah mendapatkan bantuan

dari beberapa pihak, maka pada kesempatan inii penulis ingin mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, Sh, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Pembantu Dekan II

(4)

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Suumatera Utara

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku

Dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Seluruh pegawai pemasyarakatan Rutan Kelas II B Kabanjahe yang telah

bersedia memberi data kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada Kakak dan Abang tercinta, Yanthi Valentina Br Munthe, Edward

Sinulingga, Timotius Efrata Munthe, dan Sartika Sembiring yang telah

memberi dukungan doa, moril, dan materi dalam menyelesaikan

menyelesaikan skripsi ini, serta kepada kurcaci kecilku Gabriel Edyandra

Sinulingga dan Rafael Febrisky Sinulingga yang telah mampu menghilangkan

rasa penat dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Kepada Bryan Fernandes Sipayung, yang telah mendukung, memotivasi dan

mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada Teman-teman menara kost, kak Winda, Erika, Nina, Bora, Jojo,

terimakasih untuk bantuan dan motivasinya,

13. Kepada sahabat-sahabatku tersayang, Friska, Apri, Yoyo, Meilissa, dan

(5)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan,

oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena

keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir katya penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada

kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan

semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di

Negara Republik Indonesia.

Medan, 2014

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pidana, Tujuan dan Teori Pemidanaan ... 11

a. Pidana dan Pemidanaan ... 11

b. Tujuan Pemidanaan ... 15

c. Jenis-jenis Teori Pemidanaan ... 17

2. Tujuan Pembinaan ... 19

4. Metode Pengumpulan Data ... 28

5. Analisis Data ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 30

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ... 30

(7)

C. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan ... 45

BAB III PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA ... 60

A. Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 60

B. Warga Binaan Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 67

C. Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 69

1. Metode Pembinaan ... 71

2. Bentuk-bentuk Pembinaan... 76

3. Hak dan Kewajiban Warga Binaan Wanita ... 77

4. Prinsip-prinsip Dasar Pembinaan ... 82

BAB IV HAMBATAN DAN CARA MENGATASI HAMBATAN DALAM PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE ... 92

A. Hambatan dalam Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 92

1. Hambatan Dari Warga Binaan Wanita ... 92

2. Hambatan Dari Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 96

B. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Warga Binaan Wanita Se Sumatera Utara ... 2

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 2 Skema Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 3 Tabel Jumlah Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok

Wanita Kabanjahe

Lampiran 4 Tabel Daftar Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok

Wanita Kabanjahe (4 Maret 2014)

Lampiran 5 Tabel Jadwal Kegiatan Sehari-hari Warga Binaan Wanita Di Rutan

Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Lampiran 6 Daftar Menu Makanan Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Sirklus 10 ( Sepuluh) Hari.

(10)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, STUDI DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA KABANJAHE

ABSTRAK Meliasta Julin Br M 1 Nurmalawaty, SH, M.Hum **

Dr. Marlina, SH, M.Hum ***

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana. Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif

melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum,

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang

bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan

langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer,

data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan. Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki tiap-tiap warga binaan wanita.

       1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***

(11)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, STUDI DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA KABANJAHE

ABSTRAK Meliasta Julin Br M 1 Nurmalawaty, SH, M.Hum **

Dr. Marlina, SH, M.Hum ***

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana. Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif

melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum,

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang

bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan

langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer,

data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan. Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki tiap-tiap warga binaan wanita.

       1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***

(12)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

MELIASTA JULIN BR M NIM : 100200038

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disahkan/Diketahui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Hamdan, SH, M.Hum NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H, M.Hum Dr. Marlina, S.H, M.Hum

196209071988112001 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang

telah melimpahkan rahmat-NYA kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul

Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan rasa terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Ayahnda Herman Munthe dan Ibunda Magdalena Br

Sembiring, Amk atas semua doa, cinta kasih, dukungan moril dan materil yang

tiada habisnya diberikan kepada penulis dengan tulus dan penuh kasih sayang dan

selalu menjadi sumber inspirasi bagi penulis

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ini telah mendapatkan bantuan

dari beberapa pihak, maka pada kesempatan inii penulis ingin mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, Sh, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku Pembantu Pembantu Dekan II

(15)

4. Bapak M. Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Suumatera Utara

5. Bapak Dr. H. M. Hamdan SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

6. Ibu Liza Erwina SH, M.Hum selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana

7. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku

Dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan dalam proses pengerjaan skripsi ini

8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

9. Seluruh pegawai pemasyarakatan Rutan Kelas II B Kabanjahe yang telah

bersedia memberi data kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada Kakak dan Abang tercinta, Yanthi Valentina Br Munthe, Edward

Sinulingga, Timotius Efrata Munthe, dan Sartika Sembiring yang telah

memberi dukungan doa, moril, dan materi dalam menyelesaikan

menyelesaikan skripsi ini, serta kepada kurcaci kecilku Gabriel Edyandra

Sinulingga dan Rafael Febrisky Sinulingga yang telah mampu menghilangkan

rasa penat dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Kepada Bryan Fernandes Sipayung, yang telah mendukung, memotivasi dan

mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada Teman-teman menara kost, kak Winda, Erika, Nina, Bora, Jojo,

terimakasih untuk bantuan dan motivasinya,

13. Kepada sahabat-sahabatku tersayang, Friska, Apri, Yoyo, Meilissa, dan

(16)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi masih memiliki banyak kekeliruan,

oleh karena itu penulis mohon maaf kepada pembaca skripsi ini karena

keterbatasan pengetahuan oleh penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir katya penulis mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada

kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapat berkah dari Tuhan dan

semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di

Negara Republik Indonesia.

Medan, 2014

Penulis

(17)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ...vii

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Permasalahan ... 8

C.Tujuan Penelitian ... 9

D.Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pidana, Tujuan dan Teori Pemidanaan ... 11

a. Pidana dan Pemidanaan ... 11

b. Tujuan Pemidanaan ... 15

c. Jenis-jenis Teori Pemidanaan ... 17

2. Tujuan Pembinaan ... 19

4. Metode Pengumpulan Data ... 28

5. Analisis Data ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 29

BAB II PENGATURAN PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA ... 30

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan ... 30

(18)

C. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan ... 45

BAB III PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA ... 60

A. Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 60

B. Warga Binaan Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 67

C. Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 69

1. Metode Pembinaan ... 71

2. Bentuk-bentuk Pembinaan... 76

3. Hak dan Kewajiban Warga Binaan Wanita ... 77

4. Prinsip-prinsip Dasar Pembinaan ... 82

BAB IV HAMBATAN DAN CARA MENGATASI HAMBATAN DALAM PROSES PEMBINAAN WARGA BINAAN WANITA DI RUTAN KELAS II B KABANJAHE ... 92

A. Hambatan dalam Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 92

1. Hambatan Dari Warga Binaan Wanita ... 92

2. Hambatan Dari Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 96

B. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Proses Pembinaan Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe ... 99

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 104

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Warga Binaan Wanita Se Sumatera Utara ... 2

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 2 Skema Struktur Organisasi Rutan Kelas II B Kabanjahe

Lampiran 3 Tabel Jumlah Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok

Wanita Kabanjahe

Lampiran 4 Tabel Daftar Warga Binaan Wanita Di Rutan Kelas II B Blok

Wanita Kabanjahe (4 Maret 2014)

Lampiran 5 Tabel Jadwal Kegiatan Sehari-hari Warga Binaan Wanita Di Rutan

Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Lampiran 6 Daftar Menu Makanan Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe

Sirklus 10 ( Sepuluh) Hari.

(21)

PROSES PEMBINAAN TERHADAP WARGA BINAAN WANITA, STUDI DI RUTAN KELAS II B BLOK WANITA KABANJAHE

ABSTRAK Meliasta Julin Br M 1 Nurmalawaty, SH, M.Hum **

Dr. Marlina, SH, M.Hum ***

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana. Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan instrumen hukum (pidana) secara efektif

melalui penegakan hukum (law enforcement). Melalui instrumen hukum,

diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif. Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu “penelitian yang

bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan

langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian Studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer,

data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan wanita diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan. Proses pembinaan di Rutan Kelas II B blok wanita Kabanjahe dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga binaan wanita dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki tiap-tiap warga binaan wanita.

       1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**

Dosen Pembimbing I

***

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk saat ini semakin hari semakin mengalami

peningkatan. Peningkatan yang sedemikian rupa, tidak diimbangi dengan

pertumbuhan di bidang sektor ekonomi, khususnya di bidang lapangan kerja dan

sumber daya manusia. Situasi seperti ini cenderung mengakibatkan meningkatnya

kasus kriminalitas di tengah-tengah masyarakat. Kasus kriminalitas sering juga

disebut dengan tindak pidana.

Menurut Mulyatno, tindak pidana merupakan perbuatan manusia yang

menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat

dikenakan sanksi pidana.2 Tindak pidana merupakan perbuatan yang dapat

dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali, sehingga tidak menutup

kemungkinan bagi kaum wanita untuk melakukan tindak pidana.3

Dewasa ini banyak jenis tindak pidana yang dapat dilakukan oleh wanita

antara lain yaitu tindak pidana pencurian, tindak pidana pembunuhan, tindak

pidana aborsi, tindak pidana penipuan, tindak pidana korupsi, tindak pidana

penyalah gunaan narkoba dan obat-obat terlarang, tindak pidana penyuapan,

tindak pidana di bidang kesusilaan, tindak pidana perdagangan orang, tindak

pidana perjudian, tindak pidana pelanggaran lalu lintas.

       2

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2012, hal. 48

3

(23)

Tindak pidana yang telah disebutkan diatas juga terjadi di Sumatera Utara,

hal ini dapat kita lihat secara jelas dalam kasus yang yang terjadi di Lubuk Pakam

yang dilakukan oleh Santi Magdalena Manurung atau SMM berumur 35 Tahun.

Santi melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Selo Alpiano Nababan yang

masih berumur 4 tahun. Selo merupakan warga Motung Dusun VII desa Pagar Jati

Kecamatan Lubuk Pakam. Pembunuhan ini dilakukan dengan cara penyekapan,

dengan cara mengikat kaki dan tangan, serta menutup mulut dan hidung selo

dengan lakban, yang berakhir dengan kematian selo pada tanggal 18 februari

2013. Pembunuhan ini dilakukan santi hanya karena memiliki dendam dengan ibu

korban (selo).4

Tabel berikut ini menunjukkan jumlah narapidana wanita yang berada di

Sumatera Utara.5

BUL 2006-2009 2007-2010 2008-2011 2009-2012

JANUARI 326 359 388 413

PEBRUARI 491 356 396 427

MARET 321 364 421 450

APRIL 340 343 395 466

MEI 350 365 385 471

JUNI 378 369 115 480

      

4

 http://sumutpos.co/2013/02/52969/pembunuhan-dilakukan-tanpa-sepengetahuan-suami, diakses tanggal 26 Februari 2014 pukul 23.18  

5

(24)

JULI 356 371 400 488

AGUSTUS 365 385 394 458

SEPTEMBER 380 388 413 461

OKTOBER 375 366 437 429

NOVEMBER 380 397 436 460

DESEMBER 361 395 428 457

JUMLAH 4423 4458 4608 5460

Tabel 1 : Jumlah warga binaan wanita se Sumatera Utara

Banyak faktor yang menyebabkan seorang wanita itu dapat melakukan

tindak pidana. Pertama, faktor psikologis yang mencari ciri-ciri psikis pada para

penjahat didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang

mempunyai ciri-ciri psikis yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat

dan ciri-ciri psikis tersebut terletak pada intelegensinya yang rendah.6 Faktor

psikologis penjahat dapat berupa ketidak matangan emosi, sosialisasi yang tidak

memadai di masa kecil, kemungkinan cacat dalam kesadaran, dan perkembangan

moral yang lemah.7 Kejahatan yang disebabkan oleh faktor psikologis dapat

berupa pembunuhan, karena terkadang pembunuhan ini dilakukan dengan cara

tiba-tiba dan kehilangan kesadaran yang diakibatkan oleh emosi yang meningkat

sehingga melakukan pembunuhan terhadap lawannya.

       6

H. R. Abdussalam, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, 2007, hal. 39.

7

(25)

Kedua, faktor sosiologis, yaitu suatu kejahatan yang terjadi akibat keadaan

sosial di sekeliling. Teori ini mempelajari, meneliti, dan membahas hubungan

antara masyarakat dengan anggotanya, antara kelompok baik karena hubungan

tempat maupun etnis dengan anggotanya, antara kelompok dengan kelompok,

sepanjang hubungan tersebut dapat menimbulkan kejahatan.8 Faktor sosiologis

sering juga disebut dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan tempat tinggal

sangat mempengaruhi seorang manusia dalam kehidupannya, misalnya apabila

seorang anak tinggal di lingkungan kumuh dan mayoritas penduduknya

merupakan orang yang tidak berpendidikan, maka anak ini akan tumbuh menjadi

orang yang tidak bependidikan juga. Tindak pidana yang terjadi karena faktor

sosiologis misalnya pemakaian narkoba dan obat-obat terlarang. Pemakaian

narkoba dan obat-obat terlarang bisa saja terjadi karena faktor sosiologis, dimana

seseorang hidup ditengah-tengah orang-orang yang menggunakan narkoba dan

obat-obat terlarang sehingga pada akhirnya terpengaruh untuk mengkonsumsinya.

Ketiga, faktor ekonomi, faktor ini juga sangat mempengaruhi seseorang

untuk melakukan suatu kejahatan. Kehidupan ekonomi merupakan hal yang

fundamental bagi seluruh struktur sosial dan kultural dan karenanya menentukan

semua urusan dalam struktur tersebut. Pandangan kriminologi kuno, menyatakan

kejahatan sebagai akibat yang wajar dari kesengsaraan yang meluas, sehingga

mereka percaya bahwa dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat luas maka

akan dapat mengurangi kejahatan, khususnya kejahatan dalam bidang ekonomi.9

Tindak pidana yang disebabkan oleh faktor ekonomi dapat berupa tindak pidana

      

8 

Ibid., hal. 52 

9

(26)

pencurian, dimana sering kali tindak pidana pencurian ini dilakukan karena faktor

ekonomi yang lemah.

Keempat, faktor multifaktor (gabungan faktor) faktor ini merupakan

gabungan dari beberapa faktor penyebab tindak pidana lainnya. Tindak pidana

yang disebabkan oleh faktor multifaktor misalnya tindak pidana korupsi. Tindak

pidana korupsi adalah tindak pidana yang mengambil sesuatu yang bukan hak

nya. Menurut Black tindak pidana korupsi ialah perbuatan seorang pejabat yang

secara melanggar hukum menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatu

keuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya.10 Tindak pidana korupsi bisa

saja disebutkan oleh faktor ekonomi dan faktor sosiologis.

Antisipasi atas tindak pidana tersebut diantaranya dengan memfungsikan

instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law

enforcement). Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku yang melanggar

hukum ditanggulangi secara preventif maupun represif. Mengajukan ke depan

sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana bagi anggota masyarakat

yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan yang represif.

Penjatuhan pidana yang diberikan bukan semata-mata sebagai pembalasan

dendam melainkan sebagai pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman

kepada terpidana bertujuan agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota

masyarakat yang baik. Konsep pemidanaan yang demikian bukan lagi sebagai

penjeraan belaka, namun juga sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Konsepsi ini di Indonesia disebut sebagai pemasyarakatan.

       10

(27)

Konsep rehabilitasi dalam pemasyarakatan yaitu dengan mengembalikan

kembali warga binaan wanita itu ke masyarakat dengan perlilaku yang baik dan

lebih berguna bagi masyarakat, bangsa, dan Negara. Proses rehabilitasi dalam

pemasyarakatan dilakukan salah satunya dengan memberikan keterampilan bagi

warga binaan sehingga setelah keluar dari LAPAS atau Rutan warga binaan

wanita ini tetap memiliki keterampilan dan kesiapan untuk diperkerjakan.

Menurut Suhardjo“Negara tidak berhak membuat seseorang menjadi lebih jahat dari sebelum ia dipenjarakan, serta berpijak pada tujuan pemasyarakatan adalah membina napi, maka pendekatan terhadap sistem

pemasyarakatan seharusnya digunakan pendekatan pembinaan (treatment

approach). Berarti pembinaan adalah faktor yang paling utama dalam pemasyarakatan, dan bukan keamanan. Karena pembinaan adalah tujuan utama dari pemasyarakatan dan bukan keamanan. Keamanan hanya sebagai sub-bagian dari pembinaan. Keamanan adalah salah satu dari

sekian banyak penopang keberhasilan pembinaan narapidana.”11

Indonesia telah mempunyai peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang pemasyarakatan baik itu berbentuk undang-undang dan peraturan

pemerintah, namun dalam sistem pemasyarakatan sekarang, masih nampak

adanya kepincangan dan ketidakselarasan dari komponen-komponen sistem

pemasyarakatan. Ketidakselarasan ini dapat kita lihat dari proses pembinaan

narapidana yang terjadi di LAPAS yang tidak berhasil akibat kurangnya penjaga

LAPAS sehingga banyak warga binaan yang berhasil melakukan upaya melarikan

diri dari LAPAS.

Ketidak selarasan antara komponen-komponen sistem pemasyarakatan juga dapat menimbulkan kekerasan di LAPAS. Kekerasan adalah risiko terbesar yang harus dihadapi petugas LAPAS. Petugas LAPAS harus siap menghadapi serangan dari pihak lain, serangan dari napi kepada petugas, atau dari napi kepada sesama napi lainnya. Petugas harus selalu maklum dan siap siaga, karena serangan fisik dapat terjadi sewaktu-waktu, tetapi

       11

(28)

tidak tahu pasti kapan terjadi. Petugas yang telah berpengalaman telah belajar bagaimana cara menangani para narapidana, petugas telah belajar cara bagaimana mendinginkan suasana untuk menghindari terjadinya kekerasan di LAPAS, karena itu dalam proses pembinaan harus didukung dengan petugas yang telah didukung oleh pendidikan maupun

pengalamannya.12

Ketidakselarasan ini juga dapat dilihat dari kurangnya sarana dan

prasarana yang ada di LAPAS sehingga hak-hak dari warga binaan tidak dapat

dijalankan dengan baik, misalnya di sebuah LAPAS tidak memiliki sebuah

poliklinik sehingga apabila seorang warga binaan sakit maka pemeriksaan

dilakukan di dalam sel saja. Ketidak selarasan dari komponen pemasyarakatan ini,

sangat berpengaruh terhadap kegagalan dalam proses pembinaan warga binaan.

Ketidak selarasan ini dapat menimbulkan kegagalan dalam proses

pembinaan dalam pemasyarakatan, sehingga tujuan dari pemasyarakatan untuk

memasyarakatkan kembali warga binaan dapat tidak terlaksana. Ketidak selarasan

ini dapat menimbulkan pemberontakan dalam jiwa warga binaan, sehingga

memungkimkan si warga binaan untuk melakukan tindak pidana itu lagi, setelah

warga binaan keluar dari LAPAS atau selesai menjalani pidananya.

Proses pemasyarakatan sebenarnya bukan hanya sebagai urusan pemerintah tetapi juga swasta. Masyarakat dapat ikut serta dalam :

1. Para pengusaha memberi pekerjaan pada narapidana yang dikirim oleh

kantor perburuhan padanya atau oleh perkumpulan sosial;

2. Perkumpulan buruh menerima mereka sebagai anggota sesudah

menyelesaikan latihan salah satu lapangan kejuruan pekerjaan;

3. Perkumpulan seperti kesenian, olahraga, hiburan menerima mereka

sebagai anggota;

4. Orang yang mempunyai cukup ruangan menyewakan tempat kepada

mereka untuk bekerja yang dikirim oleh perkumpulan swasta;

5. Anggota masyarakat pada umumnya menerima pelanggar hukum

sebagai tetangga atau kenalan baik-baik.13

       12

David J Cooke, Pamela J Baldwin & Jaqueline Howison, Menyikap Dunia Gelap

Penjara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal.159.

13

(29)

Hambatan-hambatan yang sering kali dihadapi dalam pembinaan warga

binaan wanita saat ini tidak terlepas dari semakin banyaknya jumlah warga binaan

wanita yang terdapat di LAPAS atau RUTAN di berbagai daerah.

Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa kurangnya dana dari pusat yang berfungsi untuk

mendukung proses pembinaan, atau bahkan kurangnya petugas LAPAS atau

RUTAN dalam penyelenggaraan pemasyarakatan dan hambatan-hambatan

lainnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu

permasalahan dengan judul “Proses Pembinaan Terhadap Warga Binaan

Wanita, Di Rutan Kelas II B Kabanjahe”

B.Permasalahan

Penelitian ilmiah yang dilakukan ini, memerlukan rumusan masalah yang

spesifik dan dapat dijadikan fokus masalah untuk kemudian dikaji dan diteliti

secara mendalam menurut metode penelitian yang ada. Permasalahan merupakan

kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang senyatanya, antara apa

yang diperlukan dengan apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian atau

singkatnya antara das sollen dengan das sein.14

       14

(30)

Permasalahan hukum yang dimaksud pada bagian penelitian ini adalah

uraian mengenai persoalan-persoalan atau pertanyaan-pertanyaan dari kasus yang

akan dijawab secara ber urutan dan sistematis15.

Berdasarkan penjelasan diatas maka perumusan masalah dalam penelitian

ini ditegaskan antara lain sebaagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan pembinaan warga binaan wanita menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

2. Bagaimanakah proses pembinaan terhadap warga binaan wanita di RUTAN

Kelas II B Kabanjahe?

3. Apa hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam proses pembinaan

terhadap warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe?

C.Tujuan Penelitian

Suatu penelitian dapat merupakan penelitian yang bertujuan untuk

menemukan fakta belaka (fact-finding)16. Dalam setiap penelitian ilmiah perlu

ditegaskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, agar penelitian dapat berjalan

secara benar dan mencapai tujuan yang dirumuskan. Seperti yang dilakukan

dalam penelitian ini, dengan mengajukan masalah yang diteliti seperti telah

dikemukakan pada sub bab permaslahan terdahulu. Karena itu dapat dirumuskan

tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui pengaturan pembinaan warga binaan wanita menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

       15

H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 117.

16

(31)

2. Untuk mengetahui proses pembinaan terhadap warga binaan wanita di Rutan

Kelas II B Kabanjahe.

3. Untuk mengetahui hambatan dan upaya mengatasi hambatan dalam proses

pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

D.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah

mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan17.

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat dan memperluas wawasan bagi

penulis, mahasiswi, pemerintah, dan masyarakat umum mengenai proses

pembinaan warga binaan wanita, riset di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis adalah untuk dasar pengambilan keputusan dalam upaya

memecahkan masalah yang timbul18. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat

menjadi bahan acuan pihak-pihak terkait dalam menentukan arah

kebijaksanaan dan merupakan sumber hukum untuk mengetahui proses

pembinaan terhadap warga binaan wanita.

       17

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192.

18

(32)

E.Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul Proses Pembinaan Terhadap Warga

Binaan Wanita, Riset di Rutan Kelas II B Kabanjahe benar merupakan hasil karya

Penulis sendiri, yang mana sumbernya diperoleh dari peraturan

perundang-undangan, buku-buku hukum, media elektronik yang berhubungan dengan skripsi

ini, dan Studi yang dilakukan di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

Sepanjang pengetahuan berdasarkan hasil penelusuran data kepustakaan

Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara bahwa

skripsi dengan judul Proses Pembinaan terhadap Warga Binaan Wanita, Riset di

Rutan Kelas II B Kabanjahe, belum pernah ada yang menulis sebelumnya.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pidana, Tujuan, Dan Teori Pemidanaan a. Pidana Dan Pemidanaan

Pidana berasal kata straf (Belanda), sering disebut dengan istilah

hukuman. Algra Jassen berpendapat pidana atau straf adalah alat yang

dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah

melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan, reaksi dari penguasa

tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang sehaarusnya

dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, atau harta kekayaannya, yaitu

seandainya ia telah tidak melakukan tindak pidana.19

       19

(33)

Pidana merupakan hal yang tidak terlepas dari pembicaraan mengenai

pemidanaan. Pemidanaan sinonim dengan istilah penghukuman. Menurut Sudarto,

pemidanaan diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana.20

Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP terdiri atas pidana pokok dan

pidana tambahan. Pidana pokok meliputi, pidana mati, pidana penjara, pidana

kurungan, dan pidana denda. Pidana tambahan meliputi pencabutan beberapa

hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hak-hakim.

a) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan

kemerdekaan. Pidana penjara minimal satu hari dan maksimal seeumur hidup.

Pidana penjara dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau sering disebut

dengan LAPAS atau bisa juga dilaksanakan di rumah tahanan (RUTAN). Pidana

penjara biasanya dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana berat.

Pidana penjara merupakan jenis pidana dibawah pidana mati. Ketentuan

dalam pidana penjara yang dapat dijadikan sebagai jus constituendum,

yaitu sebagai berikut :

(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu

tertentu. Waktu tertentu dijatuhkan paling lama lima belas tahun berturut-turut atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

(2) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup;

atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara dapat dijatuhkan untuk waktu dua puluh tahun berturut-turut.

(3) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang

sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, Menteri Kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pelepasan bersyarat

(a) Menteri Kehakiman dapat memberikan keputusan pelepasan

bersyarat apabila terpidana telah mengalami setengah dari pidana

       20

(34)

penjara yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya sembilan bulan dan berkelakuan baik.

(b) Dalam pelepasan bersyarat ditentukan masa percobaan yaitu

selama sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan ialah sebagai berikut : Terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan Terpidana harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

(c) Terpidana yang mengalami beberapa pidana penjara berturut-turut,

belum waktu tiga bulan terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jangka waktu antara saat mulai menjalani pelepasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani

pidana.21

b) Pidana kurungan

Pidana kurungan merupakan jenis pidana yang hampir sama dengan

pidana penjara, yaitu pidana yang membatasi kebebasan bergerak dari seseorang

pelaku tindak pidana yang ditempatkan dalam LAPAS ataupun rumah tahanan

(RUTAN). Pidana kurungan merupakan pidana yang lebih singkat dari pidana

penjara, sehingga dapat disimpulkan bahwa pidana kurungan lebih ringan

daripada pidana penjara. Pasal 18 ayat (1) KUHP mengatakan bahwa pidana

kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun Perbandingan

beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-uRUTANnya

dalam Pasal 10 KUHP 22. Pasal ini menjelaskan bahwa pidana kurungan

menempati uRUTAN ketiga, di bawah pidana mati dan pidana penjara. Pidana

kurungan memang di pandang sebagai pidana yang ditujukan kepada delik-delik

yang dipandang ringan seperti delik culpa dan pelanggaran.

       21

Bambang Waluyo Pidana Dan Pemidanaan,Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 16-17.

22

(35)

Perbedaan lain antara pidana kurungan dengan pidana penjara adalah

pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana kurungan lebih ringan dibandingkan

terpidana penjara. Pidana kurungan sebenarnya bertujuan untuk menakutkan

(afschrikking) bukan untuk perbaikan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

menentukan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu

tahun, jika ada pemberat pidana yang disebabkan karena pembarengan atau

pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah

menjadi satu tahun empat bulan, pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih

dari satu tahun empat bulan.23

Secara ringkas perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan

adalah sebagai berikut24

Hukuman Penjara Hukuman Kurungan

1. Diancam terhadap (tindak pidana)

kejahatan berat

1. Diancam sebagai hukuman alternatif

dan untuk (tindak pidana)

pelanggaran

2. Maksimumnya 15 tahun atau dapat

diperberat menjadi 20 tahun

2. maksimumnya 1 tahun atau dapat

diperberat menjadi 1 tahun 4 bulan

3. Dapat dilaksanakan di semua tempat

(Lembaga Pemasyarakatan/LAPAS)

3. hanya dilaksanakan di (LAPAS)

daerah tempat tinggal terpidana

       23

Ibid, Pasal 18 ayat (1),(2), dan (3).

24

(36)

4. Terpidana tidak mendapatkan hak

pistole

4. terpidana mendapatkan hak pistole

Tabel 2 : Perbedaan hukuman penjara dan hukuman kurungan

Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh hakim sebagai pokok pidana

ataupun pengganti dari pidana denda. Menurut Memorie van Toelichting,

dimasukkannya pidana kurungan ke dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu telah terdorong oleh dua macam kebutuhan, yaitu :

a. Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana yang sangat

sederhana berupa suatu pembatasan kebebasan bergerak atau suatu

pembatasan kebebasan bergerak atau suatu vrijheidsstraf yang sifatnya

sangat sederhana bagi delik-delik yang sifatnya ringan.

b. Oleh kebutuhan akan perlunya suatu bentuk pidana berupa suatu

pembatasan kebebasan bergerak yang sifatnya tidak begitu mengekang bagi delik yang menurut sifatnya “tidak” menunjukkan adanya suatu kecerobokan mental atau adanya suatu maksud yang sifatnya jahat

pada pelakunya ataupun sering disebut juga sebagai custodia honesta

belaka.25

b. Tujuan Pemidanaan

Roeslan saleh berpendapat bahwa, pidana merupakan reaksi atas delik

yang banyak berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada

pembuat delik26. Pidana juga sering disebut juga dengan hukuman. Hukuman

merupakan sesuatu yang secara sengaja diberikan oleh pihak-pihak yang

berwenang (Hakim) bagi orang-orang yang telah melanggar aturan yang berlaku

di tengah-tengah masyarakat. Delik merupakan suatu perbuatan yang dilakukan

individu maupun sekelompok individu yang tidak sesuai dengan hukum yang

berlaku saat ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa pidana merupakan hukuman yang

secara sengaja diberikan kepada individu atau pun sekelompok individu yang

       25

P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Bandung, 1987. Hal.84, dalam buku Marlina,Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.111. 

26

(37)

melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di

tengah-tengah masyarakat.

Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick menyatakan bahwa tujuan

pidana adalah untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent

recidivism), mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang

dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similar acts),

menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel

for the expression of retaliatory motives)27. Emile Durkheim mengemukakan mengenai fungsi dari pidana untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan

emosi-emosi yang ditimbulkan atau diguncangkan oleh adanya kejahatan (the

function of punishment is to create a possibility for the release of emotion that are

araoused by the crime)28.

Tujuan dari pemidanaan diatur dalam Pasal 2 konsep tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 menentukan :

1. Maksud tujuan pemidanaan

a. Untuk mencegah dilakukannya tindakan pidana demi pengayoman

negara, masyarakat dan penduduk.

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna.

2. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Pemidanaan tidak dimaksukan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan, pada konsep KUHP tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwaa tujuan pemberian pidana adalah :

1. Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum dari pengayoman masyarakat.

       27

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992 hal. 20

28

(38)

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

c. Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam konsep rancangan KUHP tahun 1991/1992, tujuan pidana ditentukan sebagai berikut ;

1. Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum dari pengayoman masyarakat.

b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

c. Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Selanjutnya, dalam konsep KUHP Nasional tahun 2000 mengenai tujuan pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, selengkapnya Pasal 50 konsep KUHP Nasional tahun 2000 yang menentukan bahwa :

1. Pemidanaan bertujuan untuk :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mencegah norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia29

RUU KUHP tahun 2004 menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.       

29

(39)

2. Anak di bawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana.

3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.30

c. Jenis-jenis Teori Pemidanaan

1) Teori Absolut (Pembalasan)

Tujuan dijatuhkannya pemidanaan menurut teori absolut adalah

menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kesalahan atau kejahatan

yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan hanya merupakan

pembalasan. Pembalasan ini dirasakan adil karena pemidanaan dijatuhkan kepada

orang-orang yang melakukan perbuatan yang amoral dan asusila di tengah-tengah

masyarakat. Kesimpulannya bahwa teori absolut merupakan pemidanaan yang

dijatuhkan untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang

berprikelakuan amoral dan asusila, dan pembalasan yang dilakukan sesuai dengan

perbuatan yang dilakukan.

2) Teori Relatif (Tujuan/Manfaat)

Tujuan pemidanaan menurut Beccaria adalah mencegah seseorang untuk

melakukan kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat (the

purpose of punishment is to deter persons from the commission of crime and not

to provide social revenge)31.

       30

https://www.google.com/search?q=konsep+KUHP+Nasional+tahun+2012&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a, diakses tanggal 14 April 2014 Pukul 16.00 Wib.

31

(40)

Teori relatif berpandangan bahwa pemidanaan itu dilakukan untuk

mencegah dilakukannya kembali perbuatan yang bertentangan dengan hukum,

sehingga tercipta masyarakat yang taat hukum.

3) Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas

kesalahan penjahat juga bermaksud untuk melindungi masyarakat dengan cara

mewujudkan ketertiban. Teori gabungan menjelaskan bahwa pemidanaan

dilakukan untuk melakukan pembalasan secara sengaja kepada si pembuat delik

atau pelaku kejahatan untuk melindungi masyarakat. Pemidanaan bertujuan untuk

melindungi masyrakat maksudnya ialah, dengan adanya pemidanaan maka

seseorang yang berniat untuk melakukan kejahatan akan berpikir berulang kali,

karena dengan melakukan kejahatan, berarti sudah siap menerima pembalasan

dari kejahatan yang dilakukan, sehingga niat tidak akan terlaksana dan tercipta lah

ketertiban di tengah-tengah masyarakat.

2. Tujuan Pembinaan a. Pengertian Pembinaan

Pembinaan ialah suatu tahapan yang secara sengaja dilakukan untuk

memperlakukan seorang narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi

seseorang yang baik. Pembinaan ini meliputi pembinaan pribadi dan budi pekerti

narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri

dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk

(41)

masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi

luhur dan bermoral tinggi.

Pembinaan terhadap pribadi dan budi pekerti yang dimaksudkan tidaklah

tanpa batas, akan tetapi selama waktu tertentu memberi perubahan agar

narapidana di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi dan taat terhadap

hukum yang berlaku di masyarakat. Arah pembinaan harus tertuju pada membina

pribadi narapidana agar jangan sampai mengulangi kejahatan dan menaati

peraturan hukum, dan membina hubungan antara narapidana dengan masyrakat

luar, agar dapat berdiri sendiri dan diterima menjadi anggotanya.

Sitem pembinaan berawal dari sistem pemenjaraan, sistem pemenjaraan

sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan. Sistem pemenjaraan

menempatkan warga binaan pada tempat yang diberi nama penjara. Sistem

pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan

dan disertai dengan penjara, secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu

sistem yang tidak sejalan dengan proses rehabilitasi, agar terpidana menyadari

kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali

menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri sendiri, masyarakat,

dan lingkungannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun 1964,

sistem pembinaan bagi warga binaan telah berubah, yaitu dari sistem kepenjaraan

menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan, dalam proses pembinaan

warga binaan menempatkan warga binaan di LAPAS atau RUTAN.

(42)

kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara

yang baik dan bertanggung jawab32.

Pembinaan dengan bimbingan dan, kegiatan lainnya yang diprogramkan

terhadap narapidana dapat meliputi cara pelaksanaan:

1) Bimbingan mental

Diselenggarakan dengan pendidikan agama, kepribadian dan budi pekerti, dan

pendidikan umum yang diarahkan untuk membangkitkan sikap mental baru

sesudah menyadari akan kesalahan masa lalu.

2) Bimbingan sosial

Diselenggarakan dengan memberikan pengertian akan arti pentingnya hidup

bermasyarakat, dan pada masa-masa tertentu diberikan kesempatan untuk

assimilasi serta integrasi dengan masyarakat di luar.

3) Bimbingan keterampilan

Diselenggarakan dengan kursus, latihan kecakapan tertentu sesuai dengan

bakatnya, yang nantinya menjadi bekal hidup untuk mencari nafkah

dikemudian hari.

4) Bimbingan untuk memelihara rasa aman dan damai, untuk hidup dengan

teratur dan belajar menaati peraturan,

5) Bimbingan-bimbingan lainnya yang menyangkut perawatan kesehatan, seni

budaya dan sedapat-dapatnya diperkenalkan kepada segala aspek kehidupan

bermasyrakat dalam bentuk tiruan masyarakat kecil selaras dengan lingkungan

sosial yang terjadi di luarnya.

       32

(43)

b. Tujuan Pembinaan

Tujuan pembinaan ialah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah

mengalami konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadikan seseorang

berguna bagi negara dan masyarakat sekitar. Secara umum tujuan pembinaan

adalah untuk membuat narapidana mampu beritegrasi secara wajar dalam

kehidupan kelompok selama dalam LAPAS atau RUTAN dan kehidupan yang

lebih luas dalam masyarakat, setelah menjalani pidana. Pembinaan juga bertujuan

untuk menciptakan manusia yang patuh terhadap hukum, dan tidak mau lagi

mengulang perbuatan yang melanggar hukum.

3. Warga Binaan

a. Pengertian warga binaan

Warga binaan merupakan warga masyarakat yang dibina dalam suatu

LAPAS atau RUTAN ataupun di luar LAPAS ataupun RUTAN. Warga binaan

pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien

pemasyarakatan.33 Warga masyarakat merupakan manusia biasa yang memiliki

hak selayaknya manusia, hanya saja warga binaan ini dipisahkan dari masyarakat

karena melakukan perbuatan yang dilanggar oleh hukum yang berlaku di

tengah-tengah masyarakat.

b. Jenis-jenis warga binaan

1) Narapidana

Narapidana adalah seseorang yang menjalani pidana hilang kemerdekaann

ataupun pidana penjara maupun pidana kurungan yang ditempatkan di LAPAS

       33

(44)

atau RUTAN. Hilang kemerdekaan merupakan suatu penderitaan warga binaan

yang harus berada di LAPAS atau RUTAN untuk jangka waktu tertentu, sehingga

Negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaiki perilaku warga binaan

ke arah yang lebih baik lagi, sedangkan LAPAS atau RUTAN adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan narapidana atau warga binaan.

Narapidana sering juga disebut dengan “si terpidana”. Terpidana

maksudnya adalah seseorang yang melakukan tindak pidana yang berdasarkan

putusan pengadilan telah diberikan sanksi pidana hilangnya kemerdekaan dan

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Tindak pidana merupakan

perbuatan yang melanggar norma hukum yang berlaku.

Tindak pidana terdiri atas beberapa unsur anatara lain :

(1) Suatu perbuatan manusia

(2) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang

(3) Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Unsur-unsur diatas, harus terpenuhi untuk menentukan seseorang itu

apakah subjek tindak pidana atau tidak. Perbuatan yang dilakukan itu harus

merupakan perbuatan yang dilarang sehingga dapat diancam dengan hukuman

oleh undang-undang yang berlaku dan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang

dapat dipertanggungjawabkan, maksudnya adalah seseorang yang melakukan

perbuatan pidana itu sudah dianggap cakap hukum. Cakap hukum maksudnya

ialah, sudah memenuhi syarat sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang

sebagai orang yang telah cakap dihadapan hukum. Seorang yang belum cakap

(45)

hukum, misalnya seorang yang berada di bawah pengampuan, apabila melakukan

perbuatan pidana tidak akan bias dimintai pertanggung jawaban nya.

Narapidana terdiri atas narapidana wanita dan narapidana laki-laki. Proses

pembinaan narapidana laki-laki berbeda dengan pembinaan wanita. Narapidana

wanita ialah warga binaan pemasyarakatan yang berjenis kelamin wanita dan

sudah dewasa. Pembinaan narapidana wanita dilaksanakan di LAPAS wanita34.

2) Anak Didik Pemasyarakatan

Anak didik pemasyarakatan adalah :

(1) Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

(2) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama berumur sampai berumur 18 tahun;

(3) Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak

paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun.35

Dalam rangka pembinaan terhadap anak pidana, anak Negara, dan anak

sipil, ditempatkan di LAPAS anak .Anak pidana, anak Negara dan anak sipil

dibina berdasarkan penggolongan atas dasar :

1) Umur,

2) Jenis kelamin,

3) Lama pidana yang dijatuhkan,

4) Jenis kejahatan, dan

5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan

       34

Ibid, Pasal 12 ayat (2)

35

(46)

Proses pembinaan anak pidana, anak sipil, dan anak Negara diawali

dengan proses pendaftaran yang dilakukan dengan cara :

1) Pencatatatn :

a) Putusan pengadilan,

b) Jati diri, dan

c) Barang dan uang yang dibawa

2) Pemeriksaan kesehatan

3) Pembuatan pasfoto

4) Pengambilan sidik jari, dan

5) Pembuatan berita acara serah terima anak Negara, anak pidana ataupun

anak sipil.

3) Klien Pemasyarakatan

Klien pemasyarakatan adalah seseorang yang sedang berada dalam

bimbingan BAPAS. Pembinaan warga binaan pemasyarakatan di LAPAS

dilaksanatau RUTAN akan secara intramural (di dalam LAPAS atau RUTAN)

dan secara ekstramural (di luar LAPAS atau RUTAN). Pembinaan secara

ekstramural yang dilakukan di LAPAS atau RUTAN disebut asimilasi, yaitu

proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi

persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat.

Pembinaan secara ekstramural dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi,

yaitu proses pembinaan wrga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi

persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat

dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.

Klien pemasyarakatan terdiri atas :

(1) Terpidana bersyarat

(2) Narapidana, anak pidana, dan anak Negara yang mendapatkan

pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas

(3) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya

(47)

(4) Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang ditunjuk , bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan social, dan

(5) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya

dikembalikan kepada orang tua atau walinya.

Narapidana,dan anak didik pemasyarakatan, dalam menjalankan pidananya

ditempatkan di LAPAS atau RUTAN. LAPAS atau RUTAN adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.36 LAPAS

atau RUTAN dan BAPAS didirikan di setiap ibukota dan kotamadya.

G.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif (Deskriptif

research) yaitu “penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact

finding). Penemuan gejala-gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya

tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam

aspek-aspek yang sedang diteliti.” Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah yang

berkaitan dengan proses pembinaan warga binaan menurut Undang-undang nomor

12 tahun 1995 dengan proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B

Kabanjahe.

Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu

diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih

jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis

Normatif dan Yuridis Empiris.

       36

(48)

a. Pendekatan Yuridis normtif adalah membahas doktrin-doktrin atau

asas-asas dalam ilmu hukum37. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan

cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka

hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah

penelitian yuridis normtif, yakni penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif mengenai pengaturan proses pembinaan warga binaan wanita. Hal

ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe

penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut

melakukann pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan proses pembinaan warga binaan wanita.

b. Pendekatan Empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum

tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum38. Pendekatan

empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan warga masyarakat

yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang

berlaku ditengah-tengah masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan

melakukan studi lapangan yang dilakukan di Rutan Kelas II B Kabanjahe.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lakukan di wilayah hukum, RUTAN Kelas II B

Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

3. Sumber Data

       37

H. Zainuddin Ali, Op. Cit, hal. 24

38

(49)

a. Data Primer, diperoleh langsung dari masyarakat. Penelitian ini data

diperoleh dari orang yang berhubungan langsung dengan obyek

penelitian lapangan bersumber dari RUTAN Kelas II B Blok wanita

Kabanjahe

b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber-smber tertulis atau

data kepustakaan, terdiri dari buku-buku literatur dan bahan-bahan

hukum primer, sekunder, tersier.

4. Metode Pengumpulan Data

Cara yang ditempuh untuk mengumpulkan data disesuaikan dengan jenis

data yang diperlukan, antara lain :

a. Studi kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data

melalui literatur, buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang

sedang diteliti.

b. Studi lapangan (field research) yaitu dengan melakukan kunjungan ke

lokasi yang sedang diteliti di Rutan Kelas II B Kabanjahe Kabupaten

Karo, melakukan wawancara terhadap petugas RUTAN dan warga

binaan wanita, termasuk melaksanakan studi dokumen terhadap

berkas-berkas yang diperlukan dalam menelusuri kasus yang dipilih untuk

penelitian.

5. Analisis Data

Sesuai dengan prosedur penelitian yang ada, maka data yang telah

(50)

dokumen terhadap masalah yang sedang diteliti, kemudian dimanfaatkan dan

dianalisis dengan metode analisis kualitatif.

Analisis Kualitatif yaitu pengolahan data yang digambarkan dengan

kata-kata atau kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh

kesimpulan. Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan teori-teori

hukum, Undang-undang, dan peraturan yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti terhadap fakta dari data yang diperoleh dalam penelitian. Pengambilan

kesimpulan dilakukan dengan pemecahan masalah dengan metode induktif yaitu

mengambil kesimpulan dari fakta-fakta yang khusus untuk menarik kesimpulan

secara umum, atau sebaliknya dengan menggunakan metode deduktif, yaitu

dengan membuat kesimpulan secara khusus melalui kajian dan analisis terhadap

fakta-fakta yang bersifat umum.

Melalui metode-metode yang penulis kemukakan di atas, akhirnya di tarik

suatu kesimpulan yang kemudian menjadi hasil penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan adalah sebagai bab pengantar dari permaslahan,

terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang,

Permasalahan, Keaslian Penulisan, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

Bab II : Terkait dengan pengaturan pembinaan warga binaan wanita

(51)

Bab III : Proses pembinaan warga binaan wanita di Rutan Kelas II B

Kabanjahe

Bab IV : Hambatan dan cara mengatasi hambatan dalam proses pembinaan

warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Kabanjahe

Bab V : Kesimpulan dan Saran, bab ini merupakan penutup dari

keseluruhan materi skripsi yang terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu

Gambar

Tabel berikut ini menunjukkan jumlah narapidana wanita yang berada di
Tabel 1 : Jumlah warga binaan wanita se Sumatera Utara
Tabel Jumlah Warga Binaan Wanita di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe
Tabel Daftar warga binaan wanita di Rutan Kelas II B Blok Wanita Kabanjahe (4
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dibatasi dengan merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah model basis daerah permukaan belakang sel surya silikon kristal pendopingan tinggi memakai

Pengukuran pendahuluan tingkat iluminasi di beberapa titik ukur pada bidang kerja di lantai produksi menunjukkan angka dengan rentang 34,3 lux – 195,4 lux,

Apakah anda setuju bahwa saat ini pegawai BM telah menguasai system komputerisasi akan mendukung pelayanan yang maksimal Apakah anda setuju bahwa perawatan inventaris kantor

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan jenis lemak terbaik pada pembuatan whipping cream nabati berdasarkan karateristik fisik dan sensoris serta pengaplikasian

Apa jawaban anda rurtuk menolak undangan diatas bila yang mengundang anda adalah teman baiVsahabat anda.. Teman baik anda mempunyai jenis kelamin yang sama

Pada uji coba lapangan yang dilakukan dengan 30 mahasiswa yang telah tuntas mengikuti matakuliah praktikum fisika dasar I jurusan pendidkan fisika UIN Raden Intan Lampung

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa MAS Daruzzahidin pada materi sel melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD

Data yang diperlukan dalam prediksi kemampuan peserta didik menggunakan jaringan saraf tiruan ini adalah data hasil penelitian murni dengan mengambil variable input berupa