ANALISIS POTENSI EROSI MENGGUNAKAN MODEL
MUSLE PADA DAERAH TANGKAPAN AIR
BANJARNEGARA (STUDI PADA DAS SERAYU)
Disusun Oleh :
AGUS SETIONO
20120110178
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
iii
HALAMAN MOTTO
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, dan saling menasihati
supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Ashr [103]: 1-3)
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah, dalam segala hal ada kebaikan, berambisilah pada sesuatu yang bermanfaat bagi kamu dan mintalah pertolongan kepada Allah, jangan engkau
lemah.” (HR. Muslim)
“Manusia yang paling rugi pada hari kiamat adalah laki-laki yang mempunyai kesempatan mencari ilmu di dunia, tapi ia tidak mencarinya”
(HR. Ibnu Asakir dari Imam Anas)
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan menuju Surga”
(HR. Muslim)
“Pergilah, maka kamu akan menemukan ganti dari orang yang engkau berpisah dengannya. Dan bersungguh-sungguhlah karena sesungguhnya kenikmatan ada
iv
TUGAS AKHIR INI KHUSUS DIPERSEMBAHKAN KEPADA ORANG-ORANG YANG MENANTIKAN SELESAINYA TUGAS AKHIR INI
TERUTAMA KEDUA ORANG TUA SERTA KELUARGA KECILKU
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat melaksanakan tugas akhir dan
menyusun laporan tugas akhir. Sholawat serta salam kami ucapkan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga serta sahabat–sahabatnya yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju alam yang penuh ilmu pengetahuan seperti
sekarang ini.
Penulisan laporan tugas akhir ini dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan kurikulum guna menyelesaikan studi Strata 1 pada jurusan Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selama melaksanakan tugas akhir, maupun dalam menyelesaikan laporan
penyusun banyak menerima kritik dan saran, dukungan dan bimbingan serta
petunjuk-petunjuk yang senantiasa sangat bermanfaat tak lupa saya ucapkan
banyak terima kasih kepada :
1. Ibu Ir. Anita Widianti M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Bapak Surya Budi Lesmana, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan pengarahan dan bimbingan serta petunjuk dan koreksi yang
sangat berharga bagi laporan Tugas Akhir ini.
3. Bapak Puji Harsanto, S.T., M.T., Ph.D selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama pelaksanaan dan
penulisan tugas akhir ini.
4. Bapak Burhan Barid, S.T., M.T. selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan koreksi pada laporan tugas akhir ini.
5. Bapak, Ibu Dosen Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta atas ilmu yang telah diberikan kepada penyusun,
vi
7. Kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan doa,dukungan, pengarahan
dan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
8. Kepada rekan-rekan mahasiswa Teknik Sipil 2012 yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu.
9. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Tugas Akhir ini yang
tidak dapat penyusun ungkapkan satu persatu, terimakasih atas bantuan,
dukungan dan doanya.
Penyusun berharap seomga amal baik yang telah diberikan mendapat balasan
dari Allah SWT. Disadari bahwa dalam penyusunan Tugas Akhir ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, sehingga masih perlu adanya
perbaikan dan saran dari pembaca. Penyusun juga berharap semoga Tugas Akhir ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, Amin Ya Robbal ‘Alamin.
Yogyakarta, Desember 2016
vii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN MOTTO ... iii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum ... 5
BAB III LANDASAN TEORI A. Metode MUSLE ... 16
B. Run Off (R) ... 16
C. Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 18
viii
G. Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP) ... 26
BAB IV METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 27
B. Bagan Alir Penelitian ... 28
C. Jalannya Penelitian ... 29
D. Data Yang Digunakan ... 29
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data ... 34
B. Data Hujan ... 34
C. Menentukan Faktor RunOff (R) ... 35
D. Menentukan Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 35
E. Menentukan Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) ... 37
F. Menentukan Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP) 38 G. Perhitungan Erosi ... 40
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 43
B. Saran ... 43
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Klasifikasi Luas DAS ... 7
Tabel 2.2 Kelas Bahaya Erosi ... 10
Tabel 3.1 Nilai M Untuk Beberapa Kelas Tekstur Tanah ... 19
Tabel 3.2 Faktor Erodibilitas Tanah ... 19
Tabel 3.3 Faktor LS Berdasarkan Kemiringan Lereng ... 21
Tabel 3.4 Nilai C Untuk Jenis dan Pengelolaan Tanaman ... 23
Tabel 3.5 Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah di Jawa ... 25
Tabel 3.6 Faktor Pengunaan Lahan dan Pengelolaan Tanah (CP) ... 26
Tabel 3.7 Kriteria Erosi ... 26
Tabel 4.1 Tinggi Hujan Stasiun Banjarnegara ... 30
Tabel 5.1 Tinggi Hujan Stasiun Banjarnegara ... 34
Tabel 5.2 Tanah Menurut Kepekaannya Terhadap Erosi ... 36
Tabel 5.3 Faktor LS Berdasarkan Kemiringan Lereng ... 37
Tabel 5.4 Data Statistik Kemiringan Lereng ... 37
Tabel 5.5 Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP) ... 39
Tabel 5.6 Hasil Rekapitulasi Perhitungan Potensi Erosi ... 40
x
Halaman
Gambar 1.1 Endapan Sedimen DTA Banjarnegara ... 2
Gambar 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 6
Gambar 2.2 Skema Proses Terjadinya Erosi ... 9
Gambar 2.3 Angkutan Sedimen Pada Penampang Memanjang Sungai ... 11
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian ... 27
Gambar 4.2 Bagan Alir Penelitian ... 28
Gambar 4.3 Peta Daearah Tangkapan Air Banjarnegara ... 30
Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah ... 31
Gambar 4.5 Peta DEM ... 32
Gambar 4.6 Peta Tataguna Lahan ... 32
Gambar 4.7 Peta Jaringan Sungai ... 33
Gambar 5.1 Peta RunOff (R) ... 35
Gambar 5.2 Peta Faktor K ... 36
Gambar 5.3 Peta Faktor LS ... 38
Gambar 5.4 Peta Faktor CP ... 39
Gambar 5.5 Peta Erosi ... 41
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel attribute hasil ArcGIS 10.1
Lampiran 2. Peta hasil ArcGIS 10.1
xii INTISARI
Perubahan tataguna lahan dan praktek pengolahan daerah aliran sungai (DAS) mempengaruhi terjadinya erosi serta sedimentasi yang merusak kualitas air. Daerah Tangkapan Air (catchment area) merupakan bagian hulu dari DAS yang berfungsi menyimpan air untuk kelangsungan makhluk hidup. Nilai produksi sedimen pada Daerah Tangkapan Air dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain debit puncak dan tataguna lahan. Aplikasi software ArcGIS 10.1 digunakan untuk membantu perhitungan produksi sedimen. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung nilai produksi sedimen menggunakan model MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) dan nilai debit puncak yang terjadi serta menganalisis karakteristik sedimentasi dan pengaruh tataguna lahan.
Beberapa pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan batas Daerah Tangkapan Air, faktor runoff (R), faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang kemiringan lereng (LS), faktor penggunaan lahan dan pengolahan tanah (CP), serta panjang sungai (L). Faktor tersebut berfungsi untuk menghitung nilai produksi sedimentasi. Proses pengolahan data dilakukan menggunakan software ArcGIS 10.1 serta Microsoft Exel.
Luas DTA Banjarnegara sebesar ±68.858 Ha dengan panjang sungai utama ±57,5 km. Hasil analisis menunjukan bahwa total debit puncak yang terjadi sebesar 292.105,73 m³/s, nilai runoff tertinggi sebesar 146.677,875, jenis tanah masuk dalam kelas tanah 2 yaitu jenis tanah Latosol (agak peka) dengan nilai K sebesar 0,31, rata-rata kemirinan lereng yang diperoleh adalah 1.064,535%, penggunaan lahan dan pengolahan tanah didominasi oleh kebun hujan dan tegalan yaitu 41.634,402 Ha atau 60,46% dari total luas. Produksi sedimen pada DTA Banjarnegara sebesar 8.034.369,383 ton/tahun dengan kebun dan tegalan sebagai penyumbang sedimen terbesar yaitu 7.219.990,207 ton/tahun atau 89,86% dari sedimen total. Dari hasil tersebut jelas terlihat pengaruh tataguna lahan terhadap produksi sedimen.
xiii
Changes in land use and processing practices watersheds (DAS) affects erosion and sedimentation of water quality. Water catchments (catchment area) is the upstream part of the watershed that serves to store water for the survival of living beings. The production value of the sediment at the Watershed is influenced by several factors such as peak flows and land use planning. ArcGIS 10.1 software application used to assist calculations sediment production. The purpose of this study is to calculate the value of sediment production using the model MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) and the value of peak discharge that occurred and analyze the characteristics of sedimentation and influence land use planning.
Some of the data processing is done to obtain Watershed boundary, runoff factor (R), soil erodibility (K), the length of slope factor (LS), the factors of land use and tillage (CP), as well as the river length (L). The factors used to calculate the value of production of sedimentation. Data processing was performed using ArcGIS 10.1 software as well as Microsoft Excel.
Banjarnegara comprehensive DTA of ± 68 858 hectares with the main river length ± 57.5 km. Results of the analysis showed that the total peak discharge that occurs at 292,105.73 m³ / s, the highest value of 146,677.875 runoff, soil type into the soil grade 2 that Latosol soil (rather sensitive) with a K value of 0.31, the mean kemirinan average slope obtained is 1064.535%, land use and cultivation of land dominated by rain gardens and fields are 41634.402 hectares or 60.46% of the total area. DTA sediment production in Banjarnegara of 8,034,369.383 tons / year with gardens and fields as the largest contributor of sediment that is 7,219,990.207 tons / year or 89.86% of the total sediment. From these results clearly visible effects of land use on sediment production.
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan tataguna lahan dan praktek pengolahan DAS juga
mempengaruhi terjadinya erosi dan pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas
air (Asdak, 2005:338). Erosi yang terjadi pada suatu DAS (Daerah Aliran Sungai)
menyebabkan sedimentasi di sungai. Sedimentasi (pengendapan) adalah proses
terangkutnya/terbawanya sedimen oleh suatu limpasan/aliran air yang mengendap
pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti seperti pada
saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut (Arsyad, 1989).
Proses erosi dan sedimentasi ini baru mendapat perhatian cukup serius oleh
manusia pada sekitar 1940-an, setelah menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen layang dalam sungai
(suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk (Asdak
2004). Bagian hulu dari suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan daerah
tangkapan air (catchment area) yang berperan menyimpan air untuk kelangsungan
makhluk hidup di dunia.
Pada tahun 1984 tercatat 22 daerah tangkapan air sungai yang mengalami
kerusakan berat, angka tersebut meningkat pada tahun 1992, dan bahkan pada
tahun 1998 menjadi 59 daerah (FKH Banjarnegara, 2015). Guna mengantisipasi
permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang sedimentasi yang
memfokuskan kajian mengenai analisis prodiksi sedimen. Daerah Aliran Sungai
yang dipilih untuk penelitian ini adalah DTA (Daerah Tangkapan Air)
Banjarnegara yang merupakan bagian dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Serayu.
DTA Banjarnegara terletak di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Kabupaten
Banjarnegara terletak di antara 7° 12' - 7° 31' Lintang Selatan dan 109° 29' - 109°
45'50" Bujur Timur. Menurut Pemerintah Kabupaten Banjarnegara pada tahun
2015, luas Wilayah Kabupaten Banjarnegara adalah 106.970,997 hektar atau 3,10
% dari luas seluruh Wilayah Provinsi Jawa Tengah, 7.758 hektar lebih lahan di
Banjarnegara dan Dieng (Wonosobo dan Banjarnegara) sudah menjadi lahan
Sambudi mengatakan, sedimen yang mengendap di waduk tergolong sangat
tinggi, rata-rata 4,2 juta meterkubik/tahun. Biang pendangkalan waduk itu,
sedemikian luasnya lahan kritis di daerah tangkapan air DAS Serayu. General
Manager PT Indonesia Power Unit Pembangkitan Mrica, Sigit Ariefianto
mengatakan, luas perairan Waduk Mrica sekitar 8,5 kilometer persegi. Sedangkan
daerah tangkapan air dari DAS Serayu sekitar 1.022 kilometer persegi. ”Saat ini,
49,84 persen dari luas DAS Serayu di Banjarnegara dalam kondisi kritis.
Gambar 1.1. Endapan Sedimen DTA Banjarnegara
Sumber: Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, 2015
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Berapakah nilai potensi erosi yang terjadi pada Daerah Tangkapan Air
Banjarnegara menggunakan model MUSLE (Modified Universal Soil Loss
Equation) ?
2. Bagaimana karakteristik erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara ?
3. Bagaimana pengaruh tataguna lahan terhadap jumlah erosi yang terjadi pada
Daerah Tangkapan Air Banjarnegara ?
3
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menghitung nilai potensi erosi yang terjadi pada Daerah Tangkapan Air
Banjarnegara menggunakan model MUSLE (Modified Universal Soil Loss
Equation).
2. Menganalisis karakteristik erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara.
3. Menganalisis pengaruh tataguna lahan terhadap jumlah erosi yang terjadi pada
Daerah Tangkapan Air Banjarnegara.
4. Menganalisis kriteria erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara.
D. Batasan Masalah
Agar penelitian ini dapat mencapai hasil yang optimal maka perlu
ditetapkan batasan masalah. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara.
2. Data curah hujan menggunakan data yang didapatkan dari BBWS (Balai Besar
Wilayah Sungai) Serayu Bogowonto tahun 1990 sampai 2005.
3. Analisis potensi erosi Daerah Tangkapan Air Banjarnegara menggunakan
metode MUSLE (Modified Universal Soil Loss Equation).
4. Debit yang digunakan adalah debit keseluruhan Daerah Tangkapan Air (debit
catchment area).
5. Panjang sungai utama yang digunakan adalah panjang sungai utama pada
catchment area.
6. Analisis menggunakan program komputer ArcGis 10.1 dan Microsoft exel.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :
1. Memberi masukan kepada pengelola Daerah Aliran Sungai Serayu tentang
alternatif metode perhitungan potensi erosi pada Daerah Tangkapan Air
2. Sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam rangka pengendalian erosi dan
sedimentasi pada Daerah Aliran Sungai Serayu.
3. Memberikan masukan dan informasi kepada pemerintah Banjarnegara dalam
rencana kebijakan pengelolaan DAS dan fungsi DAS pada Daerah Tangkapan
Air.
4. Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta bahan dalam metode
penelitian khususnya di bidang Hidrologi.
F. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang analisis sedimen dengan model MUSLE pernah
dilakukan oleh Sari (2011) khususnya tentang kajian sedimentasi dengan model
MUSLE pada DAS Babon propinsi Jawa Tengah. Analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah hidrograf aliran, analisis data laboratorium sebagai sampel
sedimen, analisis debit puncak ( ) dengan metode rasional, analisis dengan
metode SCS, analisis perhitungan MUSLE Observasi dan analisis perhitungan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum
Pada penelitian terdahulu oleh Sari Tita Eka (2011) tentang kajian
sedimentasi dengan model musle pada DAS Babon menyatakan nilai sediment yield berdasarkan MUSLE Observasi dan MUSLE Prediksi tidak menunjukan perbedaan yang terlalu mencolok, meski peubah yang digunakan berbeda. Model
MUSLE yang rumusnya baku bersifat universal, sehingga bila akan digunakan
perlu disesuaikan konstantanya dengan karakter DAS yang ingin diteliti, meski
begitu ketersediaan data dan ketelitian untuk perhitungan dan kedua MUSLE ini
sangat berpengaruh pada keakuratan jumlah produksi sedimen yang ada pada
suatu DAS.
Penelitian lain oleh Komariah (2014) tentang analisis sediment yield pada area waduk Sermo dengan metode MUSLE menyatakan hasil sediment yield yang
cukup besar berasal dari kebun campuran, dengan kata lain penutup lahan cukup
berpengaruh terhadap besarnya sedimentasi.
Bara’tau Mariana (2012) dalam penelitiannya menyatakan faktor curah hujan memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap muatan sedimen selain
faktor penggunaan lahan dan topografi, debit sungai juga berpengaruh besar
terhadap muatan sedimen pada suatu DAS maupun sub DAS.
B. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
kedanau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan (Anonim, 2009). Berbagai definisi DAS telah dikemukakan oleh
berbagai peneliti. DAS diartikan sebagai suatu kawasan yang dibatasi oleh
yang jatuh di atasnya ke sungai utama yang bermuara ke danau/lautan. Kawasan
yang dimaksud dinamakan daerah tangkapan air (DTA). DTA merupakan suatu
ekosistem dengan unsur-unsur utama adalah sumber daya alam (tanah, air, dan
vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam.
Nama sebuah DAS ditandai dengan nama sungai yang bersangkutan dan
dibatasi oleh titik kontrol, yang pada umumnya merupakan stasiun hidrometri. Memperhatikan hal tersebut berarti sebuah DAS terbentuk dari beberapa sistem
DAS lain yang biasa disebut dengan sub-DAS. Dalam konsep DAS, terbagi
menjadi 2, yaitu : DAS bagian hulu (up stream) dan DAS bagian hilir (down
stream). Bagian hulu dari suatu DAS merupakan daerah yang mengendalikan aliran sungai dan menjadi suatu kesatuan dengan bagian hilir yang menerima
aliran tersebut. Pengetahuan karateristik DAS dan alur sungai dapat dinyatakan
secara kuantitatif dan kualitatif. Pengetahuan tersebut sangat membantu dalam
melaksanakan pekerjaan hidrometri, antara lain :
1. merencanakan pos duga air;
2. melaksanakan survei lokasi pos duga air;
3. analisa debit;
Gambar 2.1. Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sumber: Asdak, 1995 Stasiun pengamatan sedimentasi (erosi) dan
Fluktuasi debit air sungai tiap sub DAS
Stasiun pengamatan sedimentasi dan Fluktuasi debit air sungai seluruh DAS
Batas DAS
Sub DAS
Batas sub DAS
7
Tabel 2.1. Klasifikasi Luas DAS
No Luas DAS (ha) Klasifikasi DAS
C. Daerah Tangkapan Air (DTA)
Dalam suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang besar pada dasarnya
tersusun atas DAS-DAS kecil atau daerah tangkapan air. Secara umum DTA
(Daerah Tangkapan Air) dapat didefinisikan sebagai suatu yang dibatasi oleh
batas alam maupun batas buatan, dimana air hujan yang turun memberikan
kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Menurut kamus Webster, DTA adalah
suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan,
menampung, menyimpan, dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau
atau ke laut (Suripin, 2002). Usaha-usaha pengelolaan DTA adalah sebuah bentuk
pengembangan wilayah yang menempatkan DTA sebagai suatu unit pengelolaan
yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di
suatu DTA secara rasional untuk mencapai tujuan produksi yang optimum dalam
waktu yang tidak terbatas sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun
(Suripin, 2002).
Pengelolaan DTA hendaknya terintegrasi dari daerah hulu sampai hilir
yang melibatkan semua pihak terkait (stakeholder) dengan prinsip satu sungai,
satu rencana dan satu pengelolaan yang terpadu (one river, one plan, one
integrated management), pengelolaan DTA bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian
DTA, perlindungan ini antara lain dari segi tata air, oleh karenanya perencanaan
DTA hulu menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DTA, bagian hulu dan
Dalam hal ini air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalami proses
yang dikontrol oleh sistem DAS menjadi aliran permukaan (surface runoff), aliran
bawah permukaan (interflow) dan aliran air bawah tanah (groundwater flow).
Ketiga jenis aliran tersebut akan mengalir menuju sungai, yang tentunya
membawa sedimen dalam air sungai tersebut. Selanjutnya, karena daerah aliran
sungai dianggap sebagai sistem, maka perubahan yang terjadi disuatu bagian akan
mempengaruhi bagian yang lain dalam DAS (Anonim, 2012a).
D. Erosi
Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan
tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Suripin, 2004).
Erosi merupakan tiga proses yang berurutan, yaitu pelepasan (detachment),
pengangkutan (transportation), dan pengendapan (deposition) bahan-bahan tanah
oleh penyebab erosi (Asdak, 1995).
Di daerah-daerah tropis yang lembab seperti di Indonesia maka air
merupakan penyebab utama terjadinya erosi. Erosi tanah yang disebabkan oleh air
meliputi 3 tahap (Suripin, 2004), yaitu :
1. Tahap pelepasan partikel tunggal dari massa tanah.
2. Tahap pengangkutan oleh media yang erosif seperti aliran air dan angin.
3. Tahap pengendapan, pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak cukup
lagi untuk mengangkut partikel.
Berdasarkan bentuknya erosi dibedakan menjadi 7 tipe, diantaranya yaitu :
1. Erosi percikan (splash erosion) adalah terlepas atau terlemparnya
partikel-partikel tanah dari massa tanah akibat pukulan butiran air hujan secara
langsung.
2. Erosi aliran permukaan (overland flow erosion) akan terjadi jika intensitas
atau lamanya hujan melebihi kapasitas infiltrasi atau kapasitas simpan air
tanah.
3. Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan dan diikuti dengan pengangkutan
partikel-partikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam
9
4. Erosi parit/selokan (gully erosion) membentuk jajaran parit yang lebih dalam
dan lebar dan merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur.
5. Erosi tebing sungai (streambank erosion) adalah erosi yang terjadi akibat
pengikisan tebing oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh
terjangan arus sungai yang kuat terutama pada tikungan-tikungan.
6. Erosi internal (internal of subsurface erosion) adalah proses terangkutnya
partikel-pertikel tanah ke bawah masuk ke celah-celah atau pori-pori akibat
adanya aliran bawah permukaan.
7. Tanah longsor (land slide) merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau
gerakan masa tanah yang terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif
besar.
Gambar 2.2. Skema Proses Terjadinya Erosi
Sumber: Suripin, 2004
Hasil nilai erosi dapat dikategorikan berdasarkan banyaknya angkutan
yang terbawa. Kategori ini dinamakan kelas bahaya erosi yang terdiri dari lima
Tabel 2.2. Kelas Bahaya Erosi
Kelas Bahaya Erosi ton/ha/th mm/tahun
I Sangat Ringan < 1,75 < 0,1
parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap dibagian
bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk.
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi
yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat
tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut
dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam
waduk, dengan kata lain bahwa sedimen merupakan pecahan, mineral, atau
material organik yang ditransforkan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh
media udara, angin, es, atau oleh air dan juga termasuk didalamnya material yang
diendapkan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan
kimia (Asdak, 2007).
Sedimentasi sendiri merupakan suatu proses pengendapan material yang
ditransforkan oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang
terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan
material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang
terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-material
yang diangkut oleh angin. Proses tersebut terjadi terus menerus, seperti batuan
hasil pelapukan secara berangsur diangkut ke tempat lain oleh tenaga air, angin,
11
Gambar 2.3. Angkutan Sedimen Pada Penampang Memanjang Sungai
Sumber: Asdak, 1995
Faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi adalah :
1. Jumlah dan intensitas hujan
Jumlah hujan yang besar tidak selalu menyebabkan erosi berat jika
intensitasnya rendah, dan sebaliknya hujan lebat dalam waktu singkat
mungkin juga hanya menyebabkan sedikit erosi karena jumlah hujannya
sedikit. Jika jumlah dan intensitas hujankeduanya tinggi, maka erosi tanah
yang terjadi cenderung tinggi dan mengakibatkan terjadinya sedimentasi yang
tinggi juga.
2. Formasi geologi dan jenis tanah
Tanah yang mempunyai nilai erodibilitas tinggi berarti tanah tersebut
peka atau mudah tererosi, sebaliknya tanah dengan erodibilitas rendah berarti
tanah tersebut resisten atau tahan terhadap erosi.
3. Tataguna lahan
Dengan adanya penggunaan lahan, seperti penanaman tanaman di
sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) maka akan meningkatkan cadangan air
tanah dan mengurangi aliran permukaan. Sebaliknya, apabila pada DAS
dengan tataguna lahannya terganggu atau rusak, maka akan mengurangi
kapasitas infiltrasi, sehingga dengan demikian aliran permukaan akan pengendapan
seimbang T2
T1
meningkat dan dapat menimbulkan erosi yang menyebabkan adanya
sedimentasi.
4. Erosi di bagian hulu
Erosi merupakan faktor yang mempengaruhi sedimentasi karena
sedimentasi merupakan akibat lanjut dari erosi itu sendiri.
5. Topografi
Tampakan rupa muka bumi atau topografi seperti kemiringan lahan,
kerapatan parit atau saluran dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai
pengaruh pada sedimentasi.
F. Metode MUSLE
Pemodelan hidrologi sudah diterapkan sejak lama. Prediksi debit
maksimum (metode rasional) yang berdasarkan pada curah hujan, luas DAS, dan
karakteristik daerah aliran sungai telah diperkenalkan pada tahun 1850 oleh
Mulvaney,Crawford dan Linsley (dalam Murtiono, 2008:160) memperkenalkan
model Stanford untuk memprediksi “ streamflow “ dan sedimen dari DAS.
Secara alamiah tidak semua besaran peubah sistem dalam proses hidrologi
dapat diukur secara langsung di lapangan (Setyowati, 1996:37). Penelitian ini
besaran peubah sistem sebagian diperoleh dari hasil pengukuran, sebagian lagi
dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus empiris.
Model prediksi kehilangan tanah akibat erosi yang banyak digunakan
yakni model yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) dalam
(Gunendro, 1996:15). Model ini lebih dikenal dengan metode Universal Soil Loss
Equation (USLE). Model USLE sebenarnya cocok untuk diterapkan pada petak-petak pertanian yang homogen dan tidak mempunyai kemiringan lereng yang
curam. Model ini dikembangkan untuk menghitung laju erosi tahunan khususnya
erosi lembar dan erosi alur. Namun William (1982) telah memodifikasi model
tersebut yang ditujukan untuk menghitung hasil sedimen yang keluar dari DAS
yang desebabkan oleh kejadian hujan (storm). Model ini disebut dengan MUSLE
(Modified Universal Soil Loss Equation).
Metode perhitungaan debit sedimen yang keluar dari daerah tangkapan air
13
jumlah sedimen di cathment area diasumsikan sebagai DAS yang dapat diketahui
pada setiap kejadian hujan. Dalam penelitian ini besarnya sedimen diperhitungkan
dengan mempergunakan model MUSLE, untuk mengetahui model tersebut bisa
dipergunakan atau tidak di daerah penelitian maka variabel-variabel yang ada
pada model harus diuji terlebih dahulu. Analisis data tahap pertama dilakukan
dengan menghitung debit sedimen yang ada di DAS, menghitung debit/aliran
puncak ( ) dan volume aliran permukaan ( ) dengan hidrograf aliran. Hasil
perhitungan debit sedimen dan KLSCP dibuat persamaan yang menghasilkan
konstanta untuk rumus MUSLE, hasil dari perhitungan MUSLE ini disebut sy
MUSLE Observasi sebagai pembanding. Hasil perhitungan dan dari
pendekatan metode rasional dikalikan dengan KLSCP dari rumus MUSLE didapat
hasil sedimen, yang disebut sy MUSLE Prediksi.
Metode MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) adalah modifikasi
dari metode USLE, yaitu dengan mengganti faktor erosivitas hujan (R) dengan
faktor aliran atau limpasan permukaan. Metode MUSLE sudah memperhitungkan
baik erosi maupun pergerakan sedimen pada DAS berdasarkan kejadian hujan
tunggal (single event) (Suripin, 2002).
G. ArcGIS 10.1
ArcGIS adalah perangkat lunak yang dikeluarkan oleh Environmental Systems Research Institute (ESRI), sebuah perusahaan yang telah lama berkecimpung di dalam bidang geospasial. ArcGIS adalah sebuah platform yang
terdiri dari beberapa software yaitu Desktop GIS, Server GIS, Online GIS, ESRI
Data, dan Mobile GIS (Raharjo, 2015). Dengan ArcGis, kita dapat memiliki
kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab
query (baik data spasial maupun non spasial). Produk utama dari ArcGIS adalah
ArcGIS desktop. ArcGIS desktop merupakan kumpulan software (suite) yang terdiri dari beberapa software tersendiri yaitu :
1. ArcMap
ArcMap merupakan software paling utama di dalam ArcGIS Desktop
karena hampir semua tahapan GIS seperti input, analisis dan output data
tugas-tugas GIS yang tidak dapat dilakukan menggunakan ArcMap sehingga
pengguna masih perlu untuk mempelajari dan menggunakan software ArcGIS
Desktop lain selain ArcMap (Raharjo, 2015). Menu-menu serta tool-tool pada
bidang kerja dan bidang pengelolaan data ArcMap berada di bagian atas.
Menu serta tool pada ArcMap antara lain : View, Geoprocessing, Customize,
Catalog, ArcToolbox, Editor Toolbar serta tool-tool lain.
2. ArcCatalog
ArcCatalog memiliki fungsi untuk pengelolaan data spasial meliputi
input, konversi, dan analisis data. ArcCatalog tidak saja digunakan untuk
mengelola data spasial, tetapi juga untuk melakukan analisis data (Raharjo,
2015). ArcCatalog memiliki bagian utama berupa Catalog Tree (Contents, Preview, dan Description) yang menampilkan sistematika folder dan file dari data spasial. Untuk menjalankan ArcToolbox, mengeksekusi perintah analisis
dan menambahkan data dapat dilakukan dari ArcCatalog. Bagian-bagian
ArcCatalog antara lain :
a. Catalog tree view
b. Contents panel
c. Up one level; buka folder induk dari folder aktif
d. Connect to folders; penting untuk pertama kali menggunakan ArcCatalog
untuk membuat koneksi ke folder data
e. Folder aktif; warna abu-abu pada folder menunjukkan bahwa folder
ArcToolbox adalah kumpulan tool (tool, model atau script), toolset dan
toolbox untuk analisis menggunakan ArcGIS Desktop. ArcToolbox dapat
15
yang berfungsi sebagai tools/perangkat dalam melakukan berbagai macam
analisis keruangan pada ArcMap. Tool pada ArcToolbox antara lain :
a. 3D Analyst Tools
ArcScene berfungsi untuk visualisasi 3D, yaitu menyajikan tampilan
yang perspektif, bernavigasi dan berinteraksi dengan data fitur 3D dan raster.
ArcScene menapilkan data spasial secara lokal dengan cakupan tidak terlalu
luas dengan visualisasi yang baik.
5. ArcGlobe
Aplikasi ini berfungsi untuk eksplorasi data spasial secara virtual
dengan ukuran dan cakupan data yang besar. ArcGlobe dapat menampilkan
16
A. Metode MUSLE
Metode MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) adalah modifikasi
dari metode USLE (Soil Loss Equation), yaitu dengan mengganti faktor erosivitas
hujan (R) dengan faktor aliran atau limpasan permukaan (Run Off). Metode
MUSLE sudah memperhitungkan baik erosi maupun pergerakan sedimen pada
DAS berdasarkan kejadian hujan tunggal (single event) (wiliams, 1975 ; Simon
Keterangan : SY = Jumlah tanah yang tererosi (ton/tahun)
R = Aliran permukaan (runoff)
K = Faktor erodibilitas tanah LS = Faktor kemiringan lereng
CP = Faktor penggunaan lahan dan pengolahan tanah
= Volume aliran permukaan ( )
= Aliran puncak ( /s) a = 11.8 (konstan)
b = 0.56 (konstan)
B. Run Off (R)
Limpasan permukaan (Surface Run Off/Direct Run Off) adalah limpasan
yang selalu mengalir melalui permukaan tanah (sebelum dan sesudah mencapai
saluran). Run off adalah suatu proses dimana hujan tidak mampu ditahan oleh
17
pendangkalan di sungai. Pada saat hujan, sungai yang telah mengalami
pendangkalan akan meluap sehingga menyebabkan banjir. Dalam menentukan
faktor run off data-data yang diperlukan terlebih dahulu adalah sebagai berikut :
1. Time of concentration (Tc)
Besarnya nilai Tc (waktu konsentrasi) bisa diketahui setelah nilai L
(panjang sungai) dan S (Slope) diketahui terlebih dahulu, kemudian besarnya nilai Tc bisa diketahui dengan rumus (Kumar, 2015):
= 0.01947 × …....………...… (3.3)
Dimana : = Waktu konsentrasi (menit)
L = Panjang aliran utama (meter)
S = Slope (∆H/L), ∆H yaitu perbedaan elevasi antara titik terjauh dan outlet DTA.
2. Aliran puncak (peak flow)
Besarnya nilai (aliran puncak) bisa diketahui setelah mendapat nilai
(basin lag) dengan rumus (Kumar, 2015):
=
………………….………...… (3.4)
Dimana : = Peak flow ( /s)
A = Luas ( )
D = Kedalaman hujan atau tinggi hujan (mm/th)
= 0.67 (h), dimana adalah waktu konsentrasi (h)
3. Volume Aliran Permukaan
Besarnya nilai (volume aliran permukaan) bisa diketahui setelah
tinggi hujan dan luas DAS (A) di satu sub kawasan diketahui terlebih dahulu,
kemudian besarnya nilai bisa diketahui dengan rumus :
= D × A × CP ….….……...…. (3.5)
Dimana : = Volume aliran permukaan ( )
D = Kedalaman hujan atau tinggi hujan (mm/th)
CP = Faktor penggunaan dan pengolahan lahan
4. Limpasan Permukaan (Runoff)
Setelah diketahui besarnya nilai dan nilai , bisa didapatkan nilai
R dengan rumus :
R = a ( × )ᵇ …..………...………...…. (3.6)
Dimana : R = Limpasan permukaan (runoff)
= Volume aliran permukaan ( )
= Aliran puncak ( /s)
a = 11.8 (konstan) b = 0.56 (konstan)
C. Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Erodibilitas Tanah adalah tingkat kepekaan suatu jenis tanah terhadap
erosi. Kepekaan tanah terhadap erosi (Erodibilitas) tanah didefinisikan sebagai
mudah tidaknya suatu tanah tererosi. Faktor erodibilitas tanah (K) menunjukkan
resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel
tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas atau
resistensi tanah juga ditentukan oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah,
stabilitas agregat tanah, kapasitas infiltrasi, kandungan organik dan kimia tanah.
Karakteristik tanah tersebut bersifat dinamis (selalu berubah) oleh karenanya
karakteristik tanah dapat berubah seiring dengan perubahan waktu dan tata guna
lahan atau sistem pertanaman, dengan demikian angka erodibilitas tanah juga
akan berubah. Perubahan erodibilitas tanah yang signifikan berlangsung ketika
terjadi hujan karena pada waktu tersebut partikel-partikel tanah mengalami
perubahan orientasi dan karakteristik bahan kimia dan fisik tanah. Tanah yang
mempunyai erodibilitas tinggi akan tererosi lebih cepat dibandingkan dengan
tanah yang mempunyai erodibilitas rendah, dengan intensitas hujan yang sama.
Jadi, sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah juga mempengaruhi besarnya
erodibilitas tanah. Pengaruh usaha-usaha pengelolaan tanah sukar diukur,
19
Berikut adalah persamaan matematis yang menghubungkan karakteristik
tanah dengan tingkat erodibilitas tanah seperti dibawah ini :
K = { 2,713 × (12 - O) + 3,25(S - 2) + 2,5
Tabel 3.1. Nilai M Untuk Beberapa Kelas Tekstur Tanah
Kelas Tekstur Tanah Nilai M Kelas Tekstur Tanah Nilai M
Lempung Berat 210 Pasir 3035
Lempung Sedang 750 Pasir Geluhan 1245
Lempung Pasiran 1213 Geluh Berlempung 3770
Lempung Ringan 1685 Geluh Pasiran 4005
Geluh Lempung 2160 Geluh 4390
Pasir Lempung Debuan 2830 Geluh Debuan 6330
Geluh Lempungan 2830 Debu 8245
Sumber: RLKT DAS Citarum, 1987 (Asdak, 2002)
Tabel 3.2. Faktor Erodibilitas Tanah
No. Jenis Klasifikasi Tanah K
1. Latosol 0,31
2. Regasol 0,12
3. Lithosol 0,29
4. Gumosol 0,21
5. Hydromof abu-abu 0,20
D. Faktor Panjang Kemiringan Lereng (LS)
Pada prakteknya, variabel L dan S dapat disatukan, karena erosi akan
bertambah besar dengan bertambah besarnya kemiringan permukaan tanah (lebih
banyak percikan air yang membawa butir-butir tanah, limpasan bertambah besar
dengan kecepatan yang lebih tinggi), dan dengan bertambah panjangnya
kemiringan tanah (lebih banyak limpasan yang menyebabkan lebih besarnya
kedalaman aliran permukaan sehingga kecepatannya menjadi lebih tinggi).
Faktor panjang lereng (L) didefinisikan secara matematik sebagai berikut
(Schwab et al.,1981) :
L = (l / ) ... (3.8)
Dimana : l = Panjang kemiringan lereng (meter)
m = Angka eksponen yang dipengaruhi oleh interaksi antara panjang lereng dan kemiringan lereng dan
dapat juga oleh karakteristik tanah, tipe vegetasi.
Angka ekssponen tersebut bervariasi dari 0,3 untuk
lereng yang panjang dengan kemiringan lereng
kurang dari 0,5 % sampai 0,6 untuk lereng lebih
pendek dengan kemiringan lereng lebih dari 10 %.
Angka eksponen rata-rata yang umumnya dipakai
adalah 0,5.
Faktor kemiringan lereng S didefinisikan secara matematis sebagai
berikut:
S = (0,43 + 0,30s + 0,04 ) / 6,61 ... (3.9)
Dimana : s = Kemiringan lereng aktual (%)
Seringkali dalam prakiraan erosi menggunakan persamaan USLE
komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan menjadi faktor
21
LS = (0,00138 + 0,00965S + 0,0138) ... (3.10)
Dimana : L = Panjang lereng (m)
S = Kemiringan lereng (%)
Rumus diatas diperoleh dari percobaan dengan menggunakan plot erosi
pada lereng 3 - 18 %, sehingga kurang memadai untuk topografi dengan
kemiringan lereng yang terjal. Harper, 1988 (dalam Asdak, 2002) menunjukkan
bahwa pada lahan dengan kemiringan lereng lebih besar dari 20 %, pemakaian
persamaan 3.10 akan diperoleh hasil yang over estimate.
Untuk lahan berlereng terjal disarankan untuk menggunakan rumus berikut
ini (Foster and Wischmeier, 1973 dalam Asdak, 2002) :
LS = (l / 22 C(cosα [0,5(sinα + (sinα )2,25 ] ... (3.11)
Faktor ini didekati menggunakan kemiringan lereng. Kriteria kelas lereng
dan besarnya nilai LS dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 3.3. Faktor LS Berdasarkan Kemiringan Lereng
E. Faktor Tanaman Penutup Lahan dan Pengelolaan (C)
Faktor tanaman penutup lahan dan pengelolaan (C) merupakan faktor yang
menunjukan keseluruhan pengaruh dari faktor vegetasi, seresah dan kondisi
permukaan tanah serta pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang
(tererosi). Faktor C yang merupakan salah satu parameter dalam rumus MUSLE
saat ini telah dimodifikasi untuk dapat dimanfaatkan dalam menentukan besarnya
erosi di daerah berhutan atau lahan dengan dominasi vegetasi berkayu. Sembilan
parameter telah ditentukan sebagai faktor yang berpengaruh dalam menentukan
besarnya erosi di daerah vegetasi berkayu tersebut. Kesembilan unsur tersebut
adalah konsolidasi tanah, sisa-sisa tanaman, tajuk vegetasi, sistem perakaran, efek
sisa perakaran dari kegiatan pengelolaan lahan, faktor kontur, gulma, kekasaran
permukaan tanah dan rumput-rumputan.
Penentuan yang paling sulit adalah faktor C, karena banyaknya ragam cara
bercocok tanam untuk suatu jenis tanaman tertentu dalam lokasi tertentu.
Berhubung berbagai lokasi tersebut mempunyai iklim yang berbeda-beda, dengan
berbagai ragam cara bercocok tanam, maka menentukan faktor C guna diterapkan
pada suatu lahan tertentu, diperlukan banyak data. Besarnya nilai C tidak selalu
sama dalam waktu satu tahun (Asdak, 2002).
Besar nilai C pada penelitian ini diambil dengan melakukan perhitungan
prosentase luas dari tiap jenis pengelolaan tanaman. Nilai C yang diambil adalah
nilai C rata-rata dari berbagi jenis pengelolaan tanaman dalam satu grid, dikaitkan
dengan prosentase luasannya. Adapun bentuk matematis dari perhitungan nilai C
rata-rata tiap grid adalah sebagai berikut :
C grid I =
………….……… (3.12)
Suatu grid yang memiliki tataguna lahan yang cenderung homogen, maka
23
Tabel 3.4. Nilai C Untuk Jenis dan Pengelolaan Tanaman
No. Jenis Tanaman/Tataguna Lahan Nilai C
1. Tanaman Rumput 0,290
7. Tanaman Padi Lahan Kering 0,560
8. Tanaman Padi Lahan Basah 0,010
9. Tanaman Jagung 0,637
10. Tanaman Jahe, Cabe 0,900
11. Tanaman Kentang Ditanam Searah Lereng 1,000
12. Tanaman Kentang Ditanam Searah Kontur 0,350
13. Pola Tanam Tumpang Gilir + Mulsa Jerami (6 ton/ha/th) 0,079
14. Pola Tanam Berurutan + Mulsa Sisa Tanam 0,347
15. Pola Tanam Berurutan 0,398
16. Pola Tanam Tumpang Gilir + Mulsa Sisa Tanam 0,357
17. Kebun Campuran 0,200
18. Ladang Berpindah 0,400
19. Tanah Kosong Diolah 1,000
20. Tanah Kosong Tidak Diolah 0,950
21. Hutan Tidak Terganggu 0,001
22. Semak Tidak Terganggu 0,010
23. Alang-Alang Permanen 0,020
24. Alang-Alang Dibakar 0,700
25. Sengon Disertai Semak 0,012
26. Sengon Tidak Disertai Semak dan Tanpa Seresah 1,000
27. Pohon Tanpa Semak 0,320
F. Faktor Tindakan Konservasi Praktis Oleh Manusia (P)
Pengaruh aktivitas pengelolaan dan konservasi tanah (P) terhadap
besarnya erosi dianggap berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas
pengelolaan tanaman (C), sehingga dalam rumus MUSLE kedua variable tersebut
dipisahkan. Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang
mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari
lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan faktor-faktor
penyebab sedimentasi yang lain diasumsikan tidak berubah. Nilai dasar P = 1
yang diberikan untuk lahan tanpa tindakan konservasi.
Dengan banyaknya variabel, maka tidaklah mudah memecahkannya
dengan cara kuantitatif, kecuali jika terdapat banyak data. Rumus tersebut
mempunyai dua buah kegunaan yaitu :
1. Meramalkan kehilangan tanah.
Jika medannya diketahui, cara pengelolaannya diketahui, maka
kehilangan tanahnya dapat diramalkan dari pola hujan tertentu yang tercurah
selama waktu tertentu (biasanya diambil curah hujan tahunan). Kehilangan
tersebut merupakan nilai yang diperkirakan (expected value), bukannya
kehilangan yang bakal terjadi, dan tidak merupakan nilai kehilangan yang
bakal terjadi, misalnya tahun berikutnya, karena intensitas curah hujannya
tidak dapat ditentukan sebelum terjadi.
2. Memilih cara bertani.
Dalam penggunaan rumus tersebut, nilai A dipilih sebesar nilai yang
dipandang dapat diterima, karena menghentikan erosi sama sekali tidaklah
mungkin. Beberapa faktor seperti R, K, dan S untuk medan tertentu tidak
dapat segera diubah. Untuk faktor-faktor lainnya mungkin dapat dilakukan
dengan memilih cara bertani, sedemikian rupa sehingga misalnya kalau C
diberi nilai yang tinggi, maka P harus diperkecil.
Seperti cara penentuan nilai C diatas, penentuan nilai P tiap grid juga
diambil dengan melakukan perhitungan prosentase luasan dari tiap jenis
konservasi tanah/pengendalian erosi. Nilai P yang diambil adalah nilai P
rata-rata atau nilai P yang dominan jika jenis konservasi tanah cenderung homogen
25
Tabel 3.5. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah di Jawa
No. Teknik Konservasi Tanah Nilai P
1. Teras Bangku :
12. Tanaman Perkebunan :
a) Disertai Penutup Tanah Rapat 0,10
b) Disertai Penutup Tanah Sedang 0,50
13. Padang Rumput :
a) Baik 0,04
b) Jelek 0,40
G. Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP)
Faktor CP didekati dengan penggunaan lahan, dan ditimbang terhadap luas
tiap satuan medan. Kriteria penggunaan lahan dan besarnya nilai CP dapat dilihat
dalam tabel berikut :
Tabel 3.6. Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP)
No Penggunaan Lahan Faktor CP
1. Air Tawar 0
Sumber: RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah), Buku II, 1986
Dengan menggunakan analisis perhitungan diatas maka kriteria erosi dapat
diketahui tingkat bahaya erosi yang terjadi didaerah studi.
Tabel 3.7. Kriteria Erosi
No Erosi (ton/ha/th) Kelas Kriteria
1. 0 - 20 I. Sangat Rendah Sangat Baik
2. 20 - 50 II. Rendah Baik
3. 50 - 250 III. Sedang Sedang
4. 250 - 1000 IV. Tinggi Jelek
5. > 1000 V. Sangat Tinggi Sangat Jelek
27 BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara,
wilayah DAS Serayu, beberapa kabupaten yang masuk kedalam kawasan Daerah
Tangkapan Air Banjarnegara antara lain Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Wonosobo, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal serta Kabupaten Batang
Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian berada pada titik koordinat -7.181612
LU, 110.072442 BT, -7.473687 LS dan 109.709416 BB.
Daerah Tangkapan Air Banjarnegara mempunyai luas sebesar ± 68.858 Ha
dengan panjang sungai utamanya ± 57,5 km. Berikut adalah peta lokasi Daerah
Tangkapan Air Banjarnegara yang ditunjukan pada Gambar 4.1.
B. Bagan Alir Penelitian
Gambar 4.2. Bagan Alir Penelitian Pengumpulan data :
- Data hujan tahun 1990 sampai 2005
29
Keterangan : SY = Jumlah tanah yang tererosi (ton/tahun)
R = Aliran permukaan (runoff)
K = Faktor erodibilitas tanah LS = Faktor kemiringan lereng
CP = Faktor penggunaan dan pengolahan lahan = Volume aliran permukaan (m³)
= Aliran puncak (m³/s) a = 11.8 (konstan) b = 0.56 (konstan)
C. Jalannya Penelitian
Dalam pembuatan tugas akhir ini, langkah yang dilakukan antara lain:
1. Berkonsultasi dengan dosen pembimbing mengenai materi penelitian.
2. Mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam proses penelitian, antara lain
data curah hujan, peta daerah tangkapan air, peta jenis tanah, peta DEM, peta
tataguna lahan dan peta jaringan sungai.
3. Mengolah data yang diperoleh untuk mendapatkan nilai faktor runoff (R),
faktor erodibilitas tanah (K), faktor panjang kemiringan lereng (LS), faktor
penggunaan lahan dan pengolahan tanah (CP) serta panjang sungai utama (L).
Pengolahan data menggunakan bantuan program komputer Microsoft Exel dan
ArcMap.
4. Menghitung nilai erosi dengan rumus :
SY = R × K × LS × CP …..………..….…… (4.1)
5. Didapatkan nilai erosi.
D. Data Yang Digunakan
1. Data Hujan
Data hujan yang digunakan merupakan data tinggi hujan stasiun
Banjarnegara tahun 1990 sampai 2005. Data tersebut diperoleh dari Balai
Tabel 4.1. Tinggi Hujan Stasiun Banjarnegara
Sumber: Balai Badan Besar Wilayah Sungai Serayu Bogowonto
2. Peta Daerah Tangkapan Air Banjarnegara
Peta DTA yang digunakan adalah hasil dari delineasi batas DTA
(Catchment Area), analisis menggunakan software ArcMap 10.1 dengan input
data DEM. Delineasi batas DTA diperoleh dari hasil analisis fitur Watershed
dengan input arah aliran (flow direction) dan titik outlet. Hasil delineasi batas
Daerah Tangkapan Air Banjarnegara dapat dilihat pada gambar 4.3.
Gambar 4.3. Peta Daerah Tangkapan Air Banjarnegara
1990 493 595 393 357 269 95 163 146 15 118 327 517 3488 150
1991 261 367 460 376 104 0 0 0 0 167 359 386 2480 75
1992 563 438 808 646 263 155 100 497 131 606 564 715 5486 225
1993 716 412 831 761 360 200 0 10 1 116 816 690 4913 176
1994 585 426 557 589 18 106 0 1 0 60 465 571 3378 127
1995 429 917 839 329 369 254 138 0 3 440 955 440 5113 172
1996 450 545 552 517 69 163 46 117 3 864 894 273 4493 152
1997 366 403 171 364 396 7 0 0 0 2 211 335 2255 126
1998 474 837 474 327 287 519 471 133 132 540 575 521 5290 135
1999 753 471 423 139 229 82 34 0 3 0 554 576 3264 126
2005 510 436 420 429 80.2 212 127 152 163 222 234 668 3655.3 106.4
31
3. Peta Jenis Tanah
Peta jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
Badan Informasi Geospasial (BIG). Dari peta tanah yang diperoleh, jenis
tanah pada DTA Banjarnegara merupakan jenis tanah agak peka (Latosol).
Jenis tanah agak peka (Latosol) merupakan jenis tanah kelas 2 yang
mempunyai nilai 0.31. Peta jenis tanah dapat dilihat pada gambar 4.4.
Gambar 4.4. Peta Jenis Tanah
4. Peta DEM
Peta Digital Elevation Model (DEM) yang digunakan dalam penelitian
ini didownload melalui situs earthexplorer.usgs.gov dengan membuat akun
terlebih dahulu,
Dengan spesifikasi;
a. Sumber data : SRTM 1 Arc Second Global
b. Tanggal publikasi : 23 September 2014
c. Format : GeoTIFF
d. Kedalaman Pixel : 16 Bit Signed Integer
e. Pyramids : Level 4
f. Resolusi : 1 Arc Second (± 30,98m)
Peta Digital Elevation Model yang digunakan dalam penelitian, dapat
dilihat pada gambar 4.5.
Gambar 4.5. Peta DEM
5. Peta Tataguna Lahan
Peta tataguna lahan yang digunakan merupakan peta tataguna lahan
pulau Jawa, peta tersebut diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG).
33
6. Peta Jaringan Sungai
Peta jaringan sungai yang digunakan adalah peta sungai pulau Jawa
yang didapat dari BPDAS Serayu Bogowonto. Peta jaringan sungai pada
Daerah Tangkapan Air Banjarnegara dapat dilihat pada gambar 4.7.
34
A. Analisis Data
Data yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini merupakan data
sekunder. Data-data yang diperlukan antara lain, data hujan, peta daerah
tangkapan air, peta jenis tanah, peta DEM, peta tataguna lahan dan peta jaringan
sungai. Untuk bisa didapatkan nilai erosi pada DTA Banjarnegara maka
diperlukan analisis data menggunakan ArcGis 10.1.
B. Data Hujan
Data hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data hujan stasiun
Banjarnegara tahun 1990 sampai 2005. Untuk mendapatkan nilai hujan tahunan
tertinggi diperlukan analisis data hujan menggunakan Exel. Nilai kedalaman hujan
yang digunakan adalah hujan maksimal tahunan. Berikut adalah data hujan
Banjarnegara tahun 1990 sampai 2005.
Tabel 5.1. Tinggi Hujan Stasiun Banjarnegara
Tahun Hujan Maks (mm) Total (mm/th)
35
C. Menentukan Faktor RunOff (R)
Dalam menentukan faktor runoff diperlukan beberapa data sebagai berikut:
1. Time of concentration (Tc) 2. Aliran puncak (peak flow)
3. Volume Aliran Permukaan
4. Limpasan Permukaan (Runoff)
Dalam penelitian ini penentuan faktor runoff, panjang aliran sungai (L), serta perbedaan elevasi antara titik terjauh dan outlet DTA (slope) menggunakan
program computer ArcGis 10.1. Panjang sungai utama DTA Banjarnegara ± 57,5
km. Panjang sungai utama diukur dari hulu sungai sampai titik outlet. Luas DTA
Banjarnegara sebesar ± 68.858 Ha. Tabel hasil analisis pada ArcGis 10.1 dapat
dilihat pada lampiran 1 yaitu Tabel RunOff. Peta faktor R hasil analisis
menggunakan ArcGis 10.1 dapat dilihat pada gambar 5.1.
Gambar 5.1. Peta RunOff (R)
D. Menentukan Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Factor erodibilitas tanah didekati menggunakan tekstur tanah. Kriteria
Tabel 5.2. Tanah Menurut Kepekaanya Terhadap Erosi
No. Kelas Kriteria Nilai
1. Kelas 1 Hidromorf Kelabu 0,20
2. Kelas 2 Latosol (agak peka) 0,31
3. Kelas 3 Grumosol 0,21
4. Kelas 4 Lithosol 0,29
Sumber: Asdak, 2010
Dalam penelitian ini penentuan faktor K menggunakan program komputer
ArcGis 10.1. Hasil analisis faktor K menunjukan bahwa Daerah Tangkapan Air
Banjarnegara seluas ± 68.858 Ha masuk dalam kelas tanah 2 yaitu jenis tanah
Latosol (agak peka) dengan nilai faktor K sebesar 0,31. Tabel hasil analisis jenis
tanah serta nilai faktor K dapat dilihat pada lampiran 1 yaitu Tabel Jenis Tanah
dan Tabel K. Peta faktor K hasil analisis menggunakan ArcGis 10.1 dapat dilihat
pada gambar 5.2.
37
E. Menentukan Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Dalam menentukan faktor panjang kemiringan lereng (LS), data yang
digunakan adalah peta DEM dari SRTM 1 Arc Second dalam cakupan wilayah DTA Banjarnegara hasil analisis menggunakan ArcGis 10.1. Analisis kemiringan
lereng dilakukan menggunakan fitur Slope. Berikut ini merupakan luasan dan nilai
faktor LS pada setiap kelas kemiringan lereng (RLKT).
Tabel 5.3. Faktor LS Berdasarkan Kemiringan Lereng
No Kemiringan Lereng (%) Faktor LS Luas (Ha)
Banjarnegara, diperoleh data statistik sebagai berikut:
Tabel 5.4. Data Statistik Kemiringan Lereng
Keterangan Kemiringan Lereng (%) Faktor LS
Data 731.107 Piksel
Dari data statistik kemiringan lereng pada DTA Banjarnegara dapat ditarik
kesimpulan bahwa rata-rata kemiringan lereng yang diperoleh adalah 1.064,535%,
dengan hasil tersebut DTA Banjarnegara dikategorikan memiliki nilai kemiringan
lereng yang sangat curam. Hal ini dikarenakan wilayah DTA Banjarnegara berada
pada dataran tinggi atau pegunungan. Tabel hasil analisis kemiringan lereng (LS)
Berikut adalah peta faktor LS hasil pengolahan menggunakan program
komputer ArcGis 10.1.
Gambar 5.3. Peta Faktor LS
F. Menentukan Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP) Dalam menentukan faktor penggunaan lahan dan pengolahan tanah (CP)
data yang digunakan adalah peta tataguna lahan pulau Jawa yang didapat dari BIG
dengan menggunakan program komputer ArcGis 10.1. Berdasarkan tabel hasil
analisis faktor CP dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan pada DTA
Banjarnegara didominasi oleh kebun dan tegalan dengan total luas mencapai
41.634,402 hektar atau 60,46% dari luas keseluruhan. Tabel hasil analisis tataguna
lahan serta analisis faktor CP menggunakan ArcGis 10.1 dapat dilihat pada
lampiran 1 yaitu Tabel Tataguna Lahan dan Tabel Faktor CP.
Besarnya nilai CP, luasan serta persentase pada setiap kriteria penggunaan
39
Tabel 5.5. Faktor Penggunaan Lahan dan Pengolahan Tanah (CP)
No Penggunaan Lahan Faktor CP Luas (Ha) Persentase (%)
1. Air Tawar 0 348,502 0,56
2. Belukar/Semak 0,30 5.954,940 8,65
3. Gedung 0 32,304 0,05
4. Hutan 0,03 891,165 1,29
5. Kebun 0,40 23.021,056 33,43
6. Pemukiman 0 4.673,740 6,79
7. Rawa 0 5,876 0,01
8. Rumput 0,07 230,512 0,33
9. Sawah Irigasi 0,05 3.429,967 4,98
10. Sawah Tadah Hujan 0,05 11.620,742 16,88
11. Tegalan 0,75 18.613,346 27,03
Peta faktor CP hasil pengolahan menggunakan program komputer ArcGis
10.1 dapat dilihat pada gambar 5.4.
G. Perhitungan Erosi
Perhitungan nilai erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara
menggunakan program komputer ArcGis 10.1. Dari setiap faktor yang sudah
didapat dimasukan kedalam rumus MUSLE, sehingga didapatkan nilai erosi yang
terjadi. Berikut rekapitulasi hasil perhitungan erosi pada ArcGis 10.1.
Tabel 5.6. Hasil Rekapitulasi Perhitungan Potensi Erosi
Keterangan Erosi (ton/th) Persentase Erosi (%)
Air Tawar 0 0
Belukar/Semak 775.300,41 9,65
Gedung 0 0
Hutan 3.419,01 0,04
Kebun 2.253.748,30 28,05
Pemukiman 0 0
Rawa 0 0
Rumput 969,53 0,01
Sawah Irigasi 5.487,14 0,07
Sawah Tadah Hujan 29.203,09 0,36
Tegalan 4.966.241,91 61,81
Total 8.034.369,38 100
Dari hasil perhitungan, nilai erosi tertinggi terjadi pada tegalan yaitu
sebesar 4.966.241,91 ton/tahun. Potensi erosi yang terjadi pada keseluruhan
Daerah Tangkapan Air Banjarnegara mencapai 8.034.369,383 ton/tahun.
Tegalan dan kebun sebagai penyumbang erosi terbesar pada Daerah
Tangkapan Air Banjarnegara dengan persentase erosi mencapai 89,864% dari
erosi total. Untuk tabel hasil analisis menggunakan ArcGis 10.1 dapat dilihat pada
lampiran 1 yaitu Tabel SY Musle.
Peta Erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara dapat dilihat pada
41
Gambar 5.5. Peta Erosi
Dari hasil potensi erosi yang didapat disimpulkan kedalam kriteria kelas
erosi, berikut adalah rekapitulasi kriteria kelas erosi hasil perhitungan pada
ArcGis 10.1.
Tabel 5.7. Kriteria Erosi DTA Banjarnegara
Kelas Kriteria Erosi (ton/ha/th) Persentase Luas (%)
I.Sangat Rendah Sangat Baik 0 - 20 37,15
II.Rendah Baik 20 - 50 8,05
III.Sedang Sedang 50 - 250 37,29
IV.Tinggi Jelek 250 - 1000 17,15
V.Sangat Tinggi Sangat Jelek > 1000 0,36
Sumber: RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah), Buku II, 1986
Dari hasil rekapitulasi diatas ditarik beberapa kesimpulan diantaranya,
pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara 37,29 % masuk dalam kriteria erosi
sedang (kelas III), 37,15 % masuk dalam kriteria erosi sangat baik (kelas I) dan
kawasan yang masuk dalam kriteria erosi sangat jelek (kelas V) hanya 0,36 % dari
43 BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari laporan tugas akhir ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan model MUSLE, potensi
erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara sebesar 8.034.369,38
ton/tahun.
2. Berdasarkan hasil tersebut, tegalan dan kebun menjadi penyumbang erosi
terbesar pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara dengan persentase erosi
mencapai 89,864% dari erosi total. nilai erosi terbesar terjadi pada tegalan
dengan nilai erosi sebesar 4.966.241,91 ton/tahun yaitu 61,81% dari erosi
total.
3. Berdasarkan nilai diatas, tegalan menjadi penyumbang erosi terbesar. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tataguna lahan cukup berpengaruh
pada jumlah erosi yang terjadi.
4. Erosi pada Daerah Tangkapan Air Banjarnegara 37,29 % masuk dalam kriteria
kelas erosi sedang (kelas III), 37,15 % masuk dalam kriteria kelas erosi sangat
rendah (kelas I) dan kawasan yang mengalami erosi sangat tinggi (kelas V)
hanya 0,36 % dari luas total.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan model MUSLE,
tegalan menjadi penyumbang sedimentasi terbesar. Sehingga perlu penataan
dalam penggunaan dan pengelolahan lahan guna mengurangi produksi sedimen
pada daerah tangkapan air Banjarnegara. Selain itu perlu dilakukan penanaman
kembali/reboisasi pada hutan karena penggundulan hutan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab. Selain itu juga perlu ditanam tanaman yang dapat menahan
tanah, karena kondisi kemiringan lahan yang sangat curam. Saran untuk peneliti
xiv
Practices For Erosion Control. In Lal, R.1990, Soil Erosion in The Tropics Principles and Management, Mc Graw – Hill, Inc., New York.
Anonim. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta: Jurnal Menhut.
Anonim. 1986. Pola Rehabilitasi dan Konservasi Tanah DAS Citarum. Buku I Anonim. 1986. Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Buku II
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Asdak, C. 2014. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta.
Bara’tau, Mariana. 2012. Analisis Muatan Sedimen Pada DAS Tallo Hulu (Sub DAS Jenepangkalung dan Sub DAS Jenetalinggoa). Program Studi Ilmu Kehutanan. Program Pascasarjana. Universitas Hasanuddin Makassar. Baskara, Ridho. 2015. Prediksi Nilai Nisbah Hantaran Sedimen Di Daerah
Tangkapan Air Waduk Sermo Berdasarkan Analisis Morfometri. Tugas Akhir. Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Blaszczynski, J. 2003. http://www.blm.gov/nstc/resourcenotes/rn66.html.
Estimating Watershed Runoff and Sediment Yield Using a GIS Interface to Curve Nomber and MUSLE Models, BLM-National Science and Technology Center. diakses 28 Mei 2014.
Chay, Asdak. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Daniel, M.. 2005. SRTM DEM Suitability in Runoff Studies. International Institute For Geo-Information Science and Earth Observation Enschede, The Netherland.
Kementrian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dan Perhutanan Sosial. Jakarta:Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
Komariah. 2014. Analisis Sediment Yield Pada Area Waduk Sermo Dengan Metode MUSLE. Tugas Akhir. Yogyakarta. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kumar, P Sundara., Praveen, T.V., Prasad, M Anjaneya., Mounika, L., Santhi, T., Kumar, T Bharat. Simulation of Sediment Yield over Ungauged Stations Using Musle (Case Study Meghadrigedda Reservoir). International Journal of Earth Sciences and Engineering. ISSN 0974-5904, Vol. 08, No. 02, April, 2015, pp. 497-501.
Murtiono, Ugro Hari. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan