REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG
KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR
RANALSE PATIUNG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Ranalse Patiung
RANALSE PATIUNG. Study of Natural Signal Reproduction in Reproduction Proceses and Oosite Developement at Big Polyp Hard Coral (Scleractinia) in Badi Island, Makassar. Under direction of NEVIATY P. ZAMANI, and ETTY RIANI.
Recent observation shows coral reef disturbance at dangerous level. It needs seriously conservation by used rehabilitation method. There are many ways of rehabilitation methods but they have many disadvantages. One of rehabilitation methods is transplantation. The disadvantege that method is coral broodstock which take from nature makes coral reef ecosystems destroy if taken in large scale. The other disadvantage is coral transplant can’t a setback after a few offspring. To cover the shortage of rehabilitation needs arrest method to cultivate the larvae. First that method needs natural signal reproduction information, but that informations at tropics area are so less. To resolve that problem the research was conducted. The result of research shows that comparison between environmental factor and coral physiological are lack of correlation. Environmental factors that correlate positively are moon phase and nutrients (PO4) eventhouh a small correlation (below 0,5). The correlation at Euphylia Ancora from PO4 and moon phase are 0,059 and 0,203, while the correlation at Euphylia glabrescens from PO4
Key words : Signal Reproduction, Reproduction Proceses, Oosite Development, Big Polip Coral, Badi Island
RANALSE PATIUNG. Keterkaitan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, dan ETTY RIANI.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat kaya. Kekayaan tersebut dapat terlihat dengan beragamnya organisme yang dapat ditemukan pada ekosistem tersebut. Kekayaan tersebut juga banyak yang dimanfaatkan oleh manusia. Pemanfaatan oleh manusia sudah mencapai tahap yang sangat memprihatinkan, hal ini dapat dilihat dengan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang.
Kerusakan terumbu karang saat ini sudah sangat serius sehingga memerlukan solusi yang tepat untuk menanganinya. Ada berbagai solusi untuk menangani masalah tersebut salah satunya yakni rehabilitasi terumbu karang. Dewasa ini metode yang digunakan rehabilitasi terumbu karang masih berupa penyediaan substrat, tetapi masih memerlukan indukan karang dari alam.
Cara ini memiliki kekurangan yakni karang yang ditransplan akan sulit tumbuh setelah beberapa keturunan. Kekurangan yang lain yakni karang indukan yang diambil dari alam dapat merusak ekosistem terumbu karang jika diambil dalam skala yang besar dan berkelanjutan.
Kekurangan tersebut dapat tertutupi dengan metode rehabilitasi secara seksual yang mengarah ke matode penangkapan larva untuk di budidayakan. Informasi mengenai pemicu dan waktu reproduksi karang pada daerah tropis sangat kurang sehingga penelitian ini diadakan.
Penelitian ini dilakukan selama beberapa Bulan Mei 2009 sampai Januari 2010 untuk melihat karakter perkembangan gonad karang target. Hewan uji atau karang target diambil dua spesies karang yang mewakili karang keras polip besar pada Pulau Badi yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens.
Kedua jenis karang tersebut diamati secara histologi setiap fase bulan untuk melihat perkembangan gonad karang target. Parameter lingkungan juga diukur baik secara insitu maupun exsitu seperti pasang surut, kecepatan arus, suhu, salinitas, pH, nitrat (NO3) dan fosphat (PO4
Hasil penelitian yang didapatkan untuk variabel lingkungan terdapat variasi akan tetapi sangat kecil. Jenis pasang surut di Selat Makassar termasuk dalam jenis campuran condong keharian ganda. Hal ini dikarenakan Selat Makassar yang berada disekitar khatulistiwa, dimana kecenderungan pasang surut pada daerah tersebut yakni tipe campuran.
). Parameter fisiologis dan lingkungan tersebut dikombinasikan agar dapat melihat karakter perkembangan gonad serta pengaruh dari lingkungannya.
Bentukan arus Selat Makassar cenderung mengarah ke utara pulau. Hal ini dikarenakan letak Selat Makassar yang dilalui ARLINDO (arus lintas Indonesia) yang mengalir dari utara (Samudera Pasifik) menuju ke selatan (Samudera Hindia). Arus ini mengalir periodik melalui Selat Makassar tiap tahunnya.
Kondisi pH Pulau Badi berada pada kisaran yang tergolong cukup, akan tetapi dapat memicu pertumbuhan alga. Hal ini disebabkan karena kisarannya yang berada dibawah normal. Nitrat (NO3) dan fosphat (PO4
Hasil pengamatan histologi menunjukkan gonand karang tersebut termasuk bertipe reproduksi gonokorik broadcast spawning (dioseus) dengan tipe telur sinkroni. Hal ini dapat terlihat bahwa kedua karang tersebut mengeluarkan telur pada bulan gelap di Bulan Desember. Jika diamati lebih teliti terlihat jenis Euphylia glabrescens
perkembangan gonadnya lebih cepat dibanding dengan Euphylia ancora.
) masih dalam variasi yang normal untuk lingkungan ekosistem terumbu karang.
Pelepasan telur yang terjadi saat bulan gelap disebabkan oleh adanya insting reproduksi. Kedua karang tersebut bereproduksi pada bulan gelap karena saat bulan gelap cahaya akan berkurang sehingga pergerakan predator telur karang juga berkurang. Jika pergerakan predator berkurang maka secara tidak langsung telur karang yang dikeluarkan akan termakan oleh predator. Telur yang tidak termakan oleh predator ini akan tumbuh menjadi individu karang yang baru.
Perbandingan parameter lingkungan dengan fisiologis karang menunjukkan kurangnya korelasi yang terjadi. Beberapa parameter yang terukur hanya terdapat sedikit korelasi yang berada jauh di bawah korelasi kuat yakni lebih besar dari 0,5. faktor lingkungan yang berkorelasi positif walalupun kecil (dibawah 0,5) yakni fase bulan dan nutrien (PO4
Pada jenis Euphylia ancora korelasi fase bulannya 0,059 dan korelasi PO ).
4 yaitu 0,203, sedangkan pada Euphylia glabrescens korelasi fase bulannya 0,218 dan korelasi PO4 yaitu 0,112. Korelasi ini menunjukkan kurangnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan dan reproduksi karang pada daerah tropis. Kurangnya korelasi tersebut disebabkan oleh karena tidak adanya variasi yang sangat ekstrim yang ditimbulkan oleh parameter lingkungan terukur pada daerah tropis.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN SEL TELUR KARANG
KERAS (Scleractinia) POLIP BESAR DI PULAU BADI, MAKASSAR
RANALSE PATIUNG
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar
Nama : Ranalse Patiung
NRP : C551070101
Disetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Etty Riani, MS
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tak hentinya penulis menghaturkan ucapan syukur yang sebesar-besarnya pada
hadirat Bapa di Sorga dan Putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus, dimana atas semua
anugerah dan perkenan-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terjadi sebagai mana
kehendak-Nya. Tema yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah Keterkaitan
Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur Karang
Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar. Terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus, hanya perkenan-Mu lah maka semua ini dapat terjadi.
2. Ayahhanda Drs. Rannu Palamba MM, dan Ibunda tersayang Albertin Sampe, berkat
doa dan bimbingannya serta sebagai motivator yang selama ini selalu mendukungku,
serta adikku (Obet, Roni, Ria, dan Recky) yang selalu memberi keceriaan dalam tiap
langkahku.
3. Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku tim
komisi pembimbing yang selalu memberikan bimbingan, arahan, dan perbaikan dari
awal penelitian sampai selesai ujian sehingga penyusunan tesis ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Syafyudin Yusuf ST, M.Si sebagai teman sekaligus pembimbing lapangan
selama penelitian berlangsung.
5. Keluarga besar Nenek Kunna (alm) dan Nenek Ranal (alm) diamapun berada atas
doa dan dukungannya selama ini.
6. Keluarga besar Yesi Novianti Puntu yang rela berkorban sangat membantu selama
penelitian ini berlangsung.
7. Rahmadani S. Pi selaku teman dan tim seperjuangan dalam penelitian di Pulau Badi.
8. Pak Dani sekeluarga yang selalu memfasilitasi keperluan selama di Bogor.
9. Pak Muhaji dan Ibu Noro serta seluruh penduduk Pulau Badi yang selalu
memfasilitasi saat penelitian ini berlangsung.
10.Rekan-rekan angkatan 2007 IKL maupun TEK selaku teman seperjuangan dalam
penelitian.
12.Seluruh teman-teman yang namanya belum sempat disebutkan, terima kasih atas
seluruh dukungannya selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih ada kekurangan. Oleh
karena itu saran dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis
ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu
pengetahuan utamanya dibidang coralogi.
Bogor, Januari 2011
Penulis dilahirkan di Ujung Pandang, pada tanggal 7 Novermber 1984, penulis
merupakan anak pertama dari Drs. Rannu Palamba MM dan Albertin Sampe.
Tahun 1996 lulus Sekolah Dasar Kristen 5 Rantepao, tahun 1999 lulus Sekolah
Menengah Pertama 2 Rantepao, dan pada tahun 2002 penulis dinyatakan lulus dari
Sekolah Menengah Umum 1 Rantepao, Tana toraja. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Hasanuddin, Makassar pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan, Program Studi Ilmu
Kelautan, dan berhasil lulus pada tahun 2007.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan magister (S2) di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Kelautan. Penulis
berhasil menyelesaikan pendidikan magister (S2) pada tahun 2011 dengan judul tesis ”
Kajian Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan Sel Telur
DAFTAR ISI
Tujuan dan Kegunaan……… 2
Hipotesis Penelitian……… 2
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Karang Target... 3
Jenis Reproduksi Pada Karang... 5
Larva Karang... 7
Penempelan Larva Karang (Recruitment)... 8
Sinyal Alam yang Berpengaruh Terhadap Reproduksi... 9
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat... 15
Bahan dan Alat... 16
Skema Alur Penelitian………... 16
Prosedur Kerja... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 22
Karakteristik Parameter Fisiska dan Kimia Perairan Pulau Badi……….... 24
Perkembangan Gonad Karang Target……….. 34
Keterkaitan antara Faktor Lingkungan dengan Perkembangan Gonad Karang……….. 41
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan………... 44
Saran………. 44
DAFTAR TABEL
Halaman
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Karang target, Euphilia ancora (kiri), Euphilia glabrescens (kanan)... 4
2 Jenis reproduksi pada karang... 5
3 Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens)... 6
4 Irisan histologi gonad Goniastrea aspera... 7
5 Penempelan larva Oulastrea crispata pada blok recriuiment……….. 8
6 Perbandingan pemijahan karang terhadap suhu dalam kurun waktu satu tahun... 11
7 Fase bulan... 13
8 Peta Pulau Badi... 15
9 Skema alur penelitian... 16
10 Pulau Badi……… 22
11 Kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Badi……… 23
12 Pola pasang surut Selat Makassar Mei 2009 sampai Januari 2010……… 24
13 Grafik kecepatan arus Pulau Badi... 25
14 Perbandingan suhu perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi……….. 26
15 Grafik suhu bulanan periran Pulau Badi……… 27
16 Perbandingan salinitas perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi……….. 28
17 Grafik salinitas bulanan periran Pulau Badi……….. 29
18 Perbandingan pH perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi………. 30
19 Grafik pH bulanan periran Pulau Badi………. 31
20 Perbandingan nitrat (NO3) dengan fosphat (PO4) Pulau Badi……… 33
21 Hewan uji Euphylia ancora………... 34
22 Potongan melintang gonad Euphylia ancora ……… 35
23 Hewan uji Euphylia glabrescens……… 36
25 Bentuk morfologi gonad telur Euphylia glabrescens (Desember 2009)……… 38 26 Grafik perkembangan sel telur Euphylia ancora dan Euphyliaglabrescens... 39 27 Diagram keterkaitan faktor lingkungan dengan ukuran telur Euphylia ancora. 41 28 Diagram keterkaitan faktor lingkungan dengan ukuran telur
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Pengukuran sel telur karang dan parameter fisika kimia oseanografi
Pulau Badi……….. 49
2 Matriks korelasi Euphylia ancora………. 49
3 Matriks korelasi Euphylia glabrescens……….. 50
4 Kecepatan arus Pulau Badi………. 50
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang memiliki
produktifitas yang tinggi. Produktifitas terumbu karang 1500 sampai 5000
gC/m2/tahun (Atkinson. 1987) bahkan pada daerah Hawai dapat mencapai 11000 gC/m2
Pengambilan karang donor secara aseksual dari alam menimbulkan
dampak yang besar. Dampak yang ditimbulkan yakni dapat meyebabkan karang /tahun (Litter. 1973). Tingginya produktifitas di sekitar daerah terumbu
karang berakibat tingginya keanekaragaman jenis biota baik sesil maupun motil. Keanekaragaman biota yang tinggi ini banyak yang dimanfaatkan oleh masyarakat
utamanya masyarakat pesisir dengan berbagai keperluan.
Pemanfaatan terumbu karang oleh masyarakat pesisir kebanyakan yang
merusak. Saat ini pengambilan karang baik untuk ornamen atau hiasan akuarium,
pembuatan kapur, maupun untuk pondasi rumah sudah sangat marak. Data terakir
dari CITIES 2010 keseluruhan karang (Hexacorallia maupun Octocorallia) sudah termasuk appendix 2 atau sudah dilindungi (Anonim. 2010). Kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan pengambilan ikan yang salah misalnya
pengeboman, dan pembiusan. Karang yang dibom akan hancur kemudian mati
sedangkan yang dibius akan akan mengalami bleacing (pemutihan) lalu mati. Kondisi tersebut tidak sebanding dengan pemulihan ekosistem terumbu karang
yang cenderung sangat lambat.
Kondisi inilah yang menyebabkan ekosistem terumbu karang mengalami
degradasi yang sangat cepat. Saat ini ekosistem terumbu karang yang masih bagus
sudah berkurang dengan drastis tiap tahunnya. LIPI mencatat bahwa persentase
karang rusak 2009 mencapai 31,45%, lebih besar dari karang yang masih sangat
baik dengan persentase hanya 5,56%. Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan upaya rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang rusak.
Berbagai tehnik rehabilitasi terumbu karang telah dikembangkan seperti
biorock, ekorock, dan rockpile. Semua tehnik ini merupakan tehnik untuk penyiapan substrat, sehingga diperlukan karang donor. Karang donor ini diambil
donor menjadi stress dan dapat mengganggu karang disekitarnya. Tehnik
rehabilitasi secara aseksual ini juga memiliki kekurangan yang lain. Kekurangan
tersebut yakni pada umur 4 tahun karang yang ditransplan tidak mengalami
pemulihan bahkan mengalami degradasi (Omori. 2004). Oleh karena itu
diperlukan alternatif untuk penyiapan karang donor. Alternatifnya yakni
penyiapan secara seksual dengan menangkap larva karang saat bereproduksi.
Larva yang didapatkan kemudian dibiakkan dan dilepaskan ke alam sebagai upaya
pelestarian karang donor.
Reproduksi karang akan terjadi jika ada rangsangan lingkungan yang
berasal dari alam yang dikenal dengan sinyal reproduksi, sehingga untuk
mengetahui waktu reproduksi karang maka terlebih dahulu perlu diketahui sinyal
reproduksinya. Sinyal reprodusi ini yang dijadikan acuan waktu pengambilan
larva karang di alam. Jika sinyal reproduksi ini telah diketahui maka pengambilan
larva karang akan menjadi lebih mudah. Mengingat belum ada data tentang sinyal
reproduksi di daerah tropis maka perlu dilakukan penelitian dengan judul
”Kajianan Sinyal Reproduksi Alam dalam Proses Reproduksi dan Perkembangan
Sel Telur Karang Keras (Scleractinia) Polip Besar Di Pulau Badi, Makassar”.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu
1. Mengidentifikasi karakteristik fisiologis sel telur karang melalui analisis
histologi.
2. Mengidentifikasi sinyal reproduksi alam yang berpengaruh terhadap
perkembangan sel telur dan reproduksi seksual karang target.
Kegunaan penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik fisiologis sel
telur karang dan mengidentifikasi sinyal reproduksi alam yang sangat berpengaruh
dalam proses reproduksi karang keras polip besar secara seksual.
Hipotesis Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Karang Target
Secara taksonomi phylum Coelenterata atau Cnidaria memiliki ciri khas yakni sengat yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsanya. Sel sengat ini
dikenal dengan nama Nematocyt. Anggota dari phylum ini dibagi menjadi 4 klas yaitu:
1. Klass Hydrozoa (Physalia physalis) 2. Klass Schyphozoa (Aurelia aurita) 3. Klass Cubozoa (Chironex fleckeri),dan 4. Klass Anthozoa (Euphylia sp).
Keempat klass yang ada tersebut karang termasuk dalam klass yang
keempat yakni Anthozoa (Suwignyo et al. 2005). Pada umumnya karang dibagi menjadi dua sub kelas yaitu:
1. Karang keras (Sclerectinia), dan 2. Karang lunak (Alcyonaceae).
Kedua jenis karang tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang
membedakannya. Perbedaan yang paling mencolok antara kedua jenis tersebut
yakni dari struktur rangka penyusunnya. Pada karang keras rangka penyusunnya
yakni rangka kapur CaCO3
Genus Euphylia dibagi menjadi 5 jenis, 4 diantaranya terdapat di Indonesia yakni Euphylia ancora, Euphylia glabrescens, Euphylia cristata, dan Euphylia davisa. Ciri khas dari genus ini yaitu bentuk percabangan koloni paceloid. Septa tanpa gigi dengan permukaan halus. Kolumella tidak ada, kosta tidak berkembang , sedangkan pada karang lunak rangka penyusunnya
yakni silikat (Veron. 2000). Selain rangka jumlah tentakel polipnya juga berbeda.
Pada karang keras dikenal juga dengan nama Hexacoralia atau memiliki 6 tentakel atau kelipatannya, sedangkan pada karang lunak juga dikenal dengan
nama Octocoralia atau memiliki 8 tentakel atau kelipatannya (Sorokin. 1993). Karang keras miliki jenis yang lebih bervariasi dibanding dengan karang
lunak. Selain jenisnya yang bervariasi karang keras memiliki bentuk yang indah,
dan terkadang dijadikan sebagai hiasan akuarium. Salah satu jenis karang keras
dengan baik tetapi masih dapat terlihat. Bentuk polip besar dan tentakel
memanjang. Jenis karang ini banyak ditemukan di perairan Indonesia yang relatif
tenang dan kurang aksi gelombang (Suharsono. 2008). Pada penelitian ini diambil
dua jenis yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens. Secara taksonomi kedua karang dapat dijelaskan sebagai berikut (Veron. 2000):
Kingdom : Animalia
Phylum : Coelenterata
Klass : Anthozoa
Ordo : Scleractinian
Familia : Caryophyllidae
Genus : Euphylia
Spesies : Euphylia ancora
Euphylia glabrescens
Gambar 1. Karang target, Euphilia ancora (kiri), Euphilia glabrescens (kanan) (Anonim. 2008).
Kedua karang ini (Gambar 1) memiliki ciri khusus yang membedakannya,
ciri tersebut dapat dilihat dari bentuk tentakel yang menjulur keluar. Euphylia ancora merupakan salah satu jenis karang keras yang memiliki bentuk tentakel seperti kuku, sehingga sering disebut sebagai karang kuku. Bentuk koloni
flabeloid atau meandroid-paceloid yang secara keseluruhan membentuk kubah. Dinding koralit tipis dengan septa terlihat jelas tipis tanpa kolumella.
Euphylia glabrescens memiliki ciri tentakel yang menyerupai korek kayu dengan kepala berwarna putih. Bentuk koloni flabeloid atau meandroid-paceloid
yang secara keseluruhan membentuk kubah. Dinding koralit tipis dengan septa
Jenis Reproduksi Pada Karang
Pada Coelenterata terdapat dua jenis reproduksi yakni reproduksi seksual dan aseksual. Secara seksual perkembangbiakan karang dibagi menjadi beberapa
model perkembang biakan yakni:
1. Hermaprodit spawning
2. Biseksual spawning
3. Hermaprodit viviparous, dan 4. Biseksual hermaprodit.
Keempat model perkembangan seksual pada karang yang mendominasi
komunitas terumbu karang yakni hermaprodit spawning, dimana telur karang tersebut dibuahi oleh sperma dari karang yang sama. Mekanisme tersebut
dilakukan sebagai cara untuk mempertahankan jenis karang tersebut di
lingkungannnya (Sorokin. 1993).
Gambar 2. Jenis reproduksi pada karang (Anonim. 2008).
Spesies karang yang brooder (menghasilkan planula) dapat pula mengeluarkan telur yang belum terbuahi selama beberapa minggu, sehingga
membutuhkan waktu untuk pembentukan dan perkembangan sel telur secara
besamaan sebelum fertilisasi. Spesies yang spawning juga membutuhkan waktu pembentukan sel telur secara bersamaan
Pada ekosistem terumbu karang pertemuan antara gamet jantan dan betina
dari karang lain dapat saja terjadi. Hal ini dikarenakan faktor fisik yakni arus yang
Setelah terjadi pembuahan maka larva akan berenang kurang lebih 2 hari setelah
menemukan tempat yang cocok maka larva tersebut akan menempel lalu tumbuh
menjadi organisme karang yang baru (Jackson. 1986 dalam Barnes dan Hughes. 1999).
Gambar 3. Spawning pada karang salah satu karang target (Euphilia glabrescens) (Anonim. 2008).
Tiap karang memiliki waktu spawning yang berbeda tergantung dari jenis telurnya. Pada Acropora yang telurnya sinkronus waktu memijahnya lebih sering dibanding dengan jenis karang yang lain. Hal tersebut tampak pada Tabel 1.
Larva Karang
Kebanyakan spesies karang yang mengalami oogenesis, proses
spermatogenesisnya berlangsung antara 2-4 bulan. Kematangan gonad jantan dan
betina terjadi secara simultan dan spawningnya secara sinkron. Pelepasan gamet pada beberapa karang lebih dari enam malam, satu atau dua kali dalam setahun.
Sedangkan spesies yang brooder (menghasilkan planula) bisa mencapai 3 sampai 7 bulan (Shlesinger dan Loya. 1985).
Gambar 4. Irisan histologi gonad Goniastrea aspera (Sakai. 1997)
Ukuran tiap larva berbeda antara satu jenis dengan jenis karang yang lain.
Untuk jenis karang yang spawning ukuran perkembangan dari larvanya cenderung lebih kecil dibanding dari jenis yang brooder. Hal ini tampak dari jenis Acropora tenuis yang spawning diameter planulanya yakni 500 ± 70 μm, sedangkan pada yang jenis brooder seperti Stylophora pistillata diameter planulanya 1500 ± 200
μm. Perbedaan juga dapat dilihat saat larva S. pistillata sudah mewarisi zooxhantella, sedangkan pada A. tenuis tidak ditemukan zooxhantella (Nishikawa
et al. 2003).
Embriogenesis and perkembangan larva karang telah diteliti sebanyak 19
spesies dari karang keras (hermatypic scleractinians) yang melepaskan gamet selama musim panas (musim spawning karang). Telur-telur yang mengalami fertilisasi setelah 2 jam setelah spawning pada semua spesies kemudian membentuk larva (blastula) setelah 7-10 jam. Pada spesies Platygyra sinensis
karang larva menjadi rantan atau lemah setelah pada saat berumur 36 jam setelah
spawning. Larva kembali terlihat sehat dan bergerak pada umur 48 jam (Babcock
et al. 1986).
Penempelan Larva Karang (Recruitment)
Pengaruh faktor lingkungan pada fase penempelan larva sangat besar.
Larva ini sangat sensitif dengan perubahan lingkungan yang ekstrim. Secara
khusus pada fase ini larva sangat sensitif dengan cahaya dan gravitasi. Ketahanan
hidup pada fase ini sangat kecil sehingga secara insting mencari tempat yang
terlindung (Railkin. 2004).
Larva karang akan mengalami beberapa fase yakni fase medusa dan fase polip. Fase medusa merupakan fase dimana larva karang akan berenang dalam kolom air untuk mencari tempat menempel. Fase polip merupakan lanjutan dari
fase medusa dimana larva karang akan menempel pada suatu substrat untuk tumbuh (Suwignyo et al. 2005). Larva karang mengalami pengendapan dalam aquarium pada umur 4-7 hari setelah fertilisasi (Babcock et al. 1986).
Gambar 5. Penempelan larva Oulastrea crispata pada blok recruitment (Lam. 2000).
Perkembangan larva setelah menempel dimulai dari polip yang menempel
tersebut kemudian bermultiplikasi menjadi polip yang banyak. Polip ini terus
Sinyal Alam yang Berpengaruh Terhadap Reproduksi
Faktor lingkungan sangat berpengaruh untuk mengontrol kematangan
gonad adalah temperatur perairan, panjang hari saat siang dan laju perubahan
temperatur. Karang yang dijadikan kontrol untuk waktu spawning biasanya didasarkan pada siklus pasang surut. Pelepasan gamet karang biasanya didasarkan
pada saat matahari tenggelam, disamping itu pengaruh siklus biologi, kimiawi
atau fisik perairan (Veron. 2000). Pengaruh lingkungan juga sangat berdampak
pada pengeluaran gamet pada beberapa jenis karang di Karibia (Kolinski dan Cox.
2003).
Suhu, cahaya, serta curah hujan pada Montastraea annularis sangat berpengaruh terhadap ukuran gonadnya. Korelasi yang sangat nyata ditunjukkan
dengan lebih baiknya ukuran gonad pada temperatur yang tinggi (Mendes dan
Woodly. 2002).
Pasang Surut
Jenis pasang surut yang yang terjadi di Indonesia dibagi menjadi 4 bagian
yaitu :
1. Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide)
Merupakan pasut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut
dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata.
2. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide)
Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang
tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga
3. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal)
Merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali
surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat
berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan
4. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal)
Merupakan pasut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam
sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan
memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa
dan Indonesia Bagian Timur (Wyrtki. 1961).
Castro dan Hubber (2007) yang menyatakan bahwa pasang surut sangat
mempengaruhi organisme laut dekat dengan pantai dan juga berpengaruh pada
organisme laut lepas pantai. Oleh sebab itu pengaruh pasang surut sangat besar
bagi aspek fisiologis organisme laut.
Pasang surut merupakan faktor penentu pertumbuhan karang. Karang
dapat tumbuh pada daerah subtidal (Veron. 2000). Oleh sebab itu bentukan pasang
surut sangat berpengaruh terhadap tempat pertumbuhan karang. Tipe diurnal dan
semi diurnal merupakan fenomena pasang surut yang sangat berpengaruh pada
daerah Great Barrier Reef (Wolanski. 1994). Pada beberapa genera seperti (Acropora, Porites, Faviidae, Mussidae dan Pocilloporidae) di Great Barrier Reef mengalami pemutihan sebanyak 40-75%. Bahkan karang jenis Faviidae yang tumbuh dibawah daerah pasang surut dengan kedalaman 9 meter masih
mengalami kematian sebanyak 20-30%. Hal ini disebabkan karena pasang surut
yang terlalu ekstrim pada daerah tersebut (Anthony dan Kerswell. 2007).
Perkembangan gonad akibat pengaruh pasang surut juga memegang peran
yang sangat penting. Pada daerah temperate atau lintang tinggi pemijahan terjadi pada bulan Desember sampai bulan April. Reproduksi ini juga terus menerus
terjadi dalam jangka waktu musim tertentu. Hal ini disebabkan oleh faktor alam
dimana pada saat tersebut terjadi pasang tertinggi dengan arus yang lemah dan
suhu air yang hangat (Wilson dan Harrison. 2003).
Arus Perairan
Arus merupakan suatu vektor yang terdiri dari dua komponen yakni arah
dan kecepatan (Neumann dan Pierson. 1966). Kedua komponen arus ini sangat
Komponen arah kebanyakan berkontribusi pada penempelan dan distribusi
larva organisme laut seperti karang (Railkin. 2004). Pada komponen kecepatan
sangat berpengaruh terhadap pemicu reproduksi organisme laut contohnya karang.
Hal ini dibuktikan dari penyemprotan air yang menyerupai arus laut menyebabkan
karang target mengeluarkan gametnya (Sebens. 1984).
Arus juga dapat mempengaruhi sensitifitas dan fisiologis dari karang.
Karang yang tumbuh pada daerah berarus lemah maka cenderung lebih sensitif
dan cepat pertumbuhannya dibanding pada karang yang tumbuh pada derah yang
berarus kuat (Genin dan Karpl. 1994).
Suhu Perairan
Peran suhu baik dalam pamatangan maupun pelepasan gamet sangat besar.
Hal diungkapkan oleh Tung dan Chang (1999) yang menyatakan bahwa adanya
perbedaan masa reproduksi dan pematangan telur pada Taiwan utara dengan
Taiwan selatan yakni pemanasan suhu air. Pernyataan yang sama diungkapkan
hasil survey dari Kolinski dan Cox (2003) bahwa 71% gamet dilepaskan pada
musim panas, 21% pada musim gugur, 13% pada musim dingin, dan 38% pada
musim semi. Hal ini sangat terkait dengan suhu lingkungan yang ada.
Hasil penelitian yang sama diungkapkan oleh Mendes dan Woodley
(2002) bahwa suhu yang maksimum dapat menyebabkan pelepasan gamet karang
kedalam perairan. Selain suhu masih terdapat faktor lain yang berpengaruh
terhadap pelepasan gamet karang.
Hasil penelitian yang berbeda didapatkan yakni karang jenis tertentu juga
dapat melepaskan gametnya dalam kondisi suhu yang rendah (Lam. 2000). Hal
tersebut dapat terjadi dikarenakan ada beberapa jenis karang seperti pada Pasifik
utara yang mampu mentolerir suhu yang rendah dibawah 30 0C (Castro dan Hubber. 2007).
Suhu juga sangat berpengaruh terhadap penempelan larva karang. Pada
jenis karang Favia fragum dapat bertahan pada kondisi suhu yang tinggi. Hal berbeda didapatkan pada larvanya, justru tingkat penempelannya berkurang 13%
akibat suhu perairan yang tinggi. Penurunan juga terjadi pada tingkat ketahanan
hidup, dimana terjadi penurunan sekitar 27%. Hasil tersebut dapat ditunjukkan
bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva karang (Randall dan
Szmant. 2009).
Salinitas Perairan
Salinitas didefenisikan sebagai total jumlah dalam gram dari ion inorganik
terlarut diwakili dalam satu kilogram air laut (Hester dan Harrison. 2000).
Salinitas merupakan faktor penentu sekaligus pembatas karang pada daerah
lintang tinggi untuk bereproduksi. Karang dapat bereproduksi pada salinitas
berkisar 30 sampai 35 0/00 (Lam. 2000). Kondisi tersebut berada pada kondisi salinitas rata-rata yakni 34, 7 0/00 (Neumann dan Pierson. 2002).
Jika salinitas mengalami penurunan dari salinitas rata-rata maka dapat
mempengaruhi fertilisasi. Salinitas 30 0/00
Kisaran pH normal yang dimiliki oleh laut yakni 7,5 sampai 8,2 (Millero.
2006). Kondisi pH diluar kisaran tersebut maka pH lautnya sudah tidak normal. dapat menurunkan fertilisasi karang
sebanyak lebih dari 50% (Humphrey. 2008).
Kondisi pH periran jika tidak normal maka dapat menyebabkan beberapa anomali.
Pada ekosistem terumbu karang pH yang tidak normal ini dapat mengganggu
pertumbuhan karang. Hal ini disebabkan karena pH dapat memicu pertumbuhan
alga, sehingga karang sulit berkompetisi dengan alga (Brownlee. 2009).
pH juga sangat berpengaruh terhadap reproduksi karang. Pada perairan pH
sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan ketahanan sperma dalam perairan.
Peningkatan pH menyebabkan kerusakan flagella karang yang menyebabkan
sperma sulit untuk bergerak. Pergerakan ini jika terus terganggu maka akan
menyebabkan sperma cepat mati (Morita et al. 2006).
Fase Bulan
Faktor alam yang sangat berperan dalam reproduksi karang yakni fase
bulan (Varmeij et al. 2003). Pada berbagai penelitian di daerah lintang tinggi menunjukkan bahwa karang banyak melakukan pemijahan saat bulan purnama
(Babcock et al. 1985).
Pernyataan yang sama diungkapkan oleh Wilson dan Harrison (2003)
bahwa karang pada lintang tinggi yang memiliki tipe reproduksi spawning
bereproduksi pada 8 sampai 12 hari setelah bulan purnama. Hal ini berbeda
didapatkan pada daerah lintang rendah dimana karang melakukan pemijahan saat
bulan gelap (Harrison dan Wallace. 1990).
Nitrat (NO3) dan fosphat (PO4)
Jenis nutrien yang dibutuhkan oleh karang diantaranya nitrat dan fospat
(Wolanski. 1994). Lingkungan tempat karang bertumbuh yang tergolong dalam
tempat yang miskin nutrien (Veron. 2000).
Kondisi menyebabkan karang tidak sepenuhnya bergantung pada
ketersediaan ion nutrien dalam perairan (Sorokin. 1993). Pengaruh nutrien yang
tidak terlalu banyak inilah yang juga berpengaruh terhadap fertilisasi karang.
b
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei 2009 sampai Bulan Januari
2010 yang meliputi pengamatan lapangan berupa pengukuran parameter
lingkungan dan histologi jaringan gamet karang.
Lokasi penelitian berada pulau di gugusan Kepulauan Spermonde yaitu
Pulau Badi, Sulawesi Selatan (Gambar 8). Untuk analisis histologi jaringan telur
karang dilakukan di Laboratorium Histologi Ikan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu haematoxylin mayer – eosin, formalin 10%, HCL, dan alkohol bertingkat yakni 70%, 80%, dan 100% .
Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu scuba diving, kamera
speed boat, meteran, sabak, pelampung, pH meter, buku identifikasi karang,
thermometer, alat tulis menulis, handrefraktometer, currentmeter, mikroskop okuler, objek glass, deg glass, pahat, palu, cool box, kantong sampel, gunting bedah, dan botol sampel.
Skema Alur Penelitian
Prosedur Kerja
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa bagian dan dilaksanakan dalam
dua tahapan besar yakni:
1. Tahap pengamatan lapangan, dan
2. Tahap analisis laboratorium
Kedua tahapan tersebut saling terkait agar mendapatkan hasil yang
didapatkan lebih maksimal.
1. Pengamatan Lapangan
Prosedur ini dibagi menjadi beberapa tahapan yang dilakukan secara
bertahap dan saling terkait antara tiap bagian.
Penentuan Lokasi Penelitian
Tahapan ini lokasi yang akan diambil sebagai tempat untuk mengambil
data harus sesuai dengan beberapa kriteria dan parameter lingkungan yang telah
ditentukan yakni:
a. Lokasi yang sewaktu-waktu mudah dijangkau
b. Kondisi karang yang masih baik
c. Berada pada daerah yang terlindung dari aksi gelombang
d. Topografi perairan yang landai (reef flat)
Kelima kriteria tersebut harus terpenuhi agar penentuan karang target
dilapangan akan menjadi lebih mudah. Penentuan lokasi ini dilakukan dengan
survey pada siang hari ketika air sedang surut. Penandaan dilakukan dengan
menggunakan pelampung yang diikatkan ke salah satu karang mati pada lokasi
tersebut.
Penentuan Stasiun Pengamatan
Penentuan stasiun pengamatan didasarkan pada keberadaan karang target.
Jenis karang yang akan dimati harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jenis karang yang berpolip besar misalnya dari jenis Euphilia ancora, dan
Euphilia glabrescens.
Pengamatan Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang diukur pada penelitian ini mencakup beberapa
hal yakni nitrat, fospat, fase bulan, pasang surut, suhu perairan, arus, salinitas, dan
pH perairan. Pengukuran in situ dilakukan pada beberapa parameter lingkungan yang cepat berubah.
Pengukuran parameter oseanografi seperti arus, suhu perairan, dan pH
perairan dilakukan secara in situ tiap jam selama dua hari. Data yang didapatkan dari alam dijadikan sebagai pembanding dengan data sekunder oseanografi yang
lain dari musim yang berbeda.
Pengamatan arus menggunakan currentmeter dengan pengukuran dilakukan tiap jam selama pengamatan. Untuk suhu perairan menggunakan
thermometer yang dicelup kedalam perairan dekat dengan objek yang diamati. Pengukuran pH menggunakan pH tester.
Fase bulan dan pasang surut dipergunakan data sekunder yang ada. Pada
data fase bulan dengan melihat keadaan bulan serta perbandingannya dengan data
fase bulan yang ada. Fase bulan yang dipergunakan yakni 2 hari sebelum dan 2
hari sesudah bulan purnama dan bulan mati.
Data pasang surut yang dipergunakan yakni data pasang surut selat
Makassar, dengan perbandingan data pasang surut pada saat tersebut. Pengamatan
pasang surut didasarkan pada data sekunder dalam kurun waktu 6 bulan. Data ini
diperoleh dari BAKOSURTANAL Makassar.
Nitrat dan fospat pengukuran dilakukan dengan mengambil sampel air laut
pada lokasi penelitian. Sampel tersebut dibawa ke laboratorium untuk diukur.
2. Pengamatan Laboratorium
Pengamatan TKG (tingkat kematangan gonad) dilakukan secara histologi
maupun secara in situ. Pengamatan secara in situ dengan cara mengukur ukuran koloni untuk membandingkan umur karang yang telah siap bereproduksi. Analisis
gonad pada karang digunakan metode standard dari Szmant-Froelich et al. (1980)
Metode Pengambilan Sampel
Sampel karang yang diambil berukuran ± 10 cm dari koloninya. Sampel
kemudian dimasukkan kedalam botol plastik yang telah berisi formalin 5%
(formalin 37% dilarutkan dengan air laut) sebagai pengawet sampel sebelum
memasuki analisis berikutnya.
Metode Dekalsifikasi Karang
Sebelum melakukan pengerjaan secara histologi, sampel terlebih dahulu
dipisahkan dari skeletonnya. Pemisahan tersebut dilakukan dengan menggunakan
Asam Chlorida (HCL) dengan konsentrasi 12% (HCL dicampur dengan
aquadest) (Harii et al. 2001).
Sampel yang telah diawetkan didalam formalin 5% sebelum diluruhkan
terlebih dahulu dicuci dengan air tawar mengalir hingga formalin lapas dari
permukaan karang ditandai dengan bau yang hilang dari sampel tersebut.
Sampel kemudian dimasukkan kedalam HCl 12% dan dibiarkan selama ±
24 jam hingga seluruh kapur dari karang melunak. Jika karang belum melunak
maka HCL yang ada akan diganti kemudian diamati setiap 24 jam sekali. Proses
ini terus dilakukan sampai karang melunak.
Jaringan karang yang lunak kemudian diangkat dari larutan dan dicuci
dengan air mengalir hingga bersih. Jaringan karang tersebut dimasukkan ke dalam
botol yang berisi alkohol 70% selama 2 x 24 jam. Kemudian diteruskan ke
analisis histologi.
Metode Histologi Karang
Proses histologi karang didasarkan pada metode histologi jaringan oleh
Luna. 1968. Karang pada tahap ini telah didekalsifikasi sehingga rangka kapurnya
melunak dan mempermudah dalam proses pemotongan.
Karang yang telah didekalsifikasi kemudian memasuki tahapan fiksasi. Potongan karang hasil dekalsifikasi yang telah direndam dalam larutan fiksasi kemudian dikeluarkan lalu dipotong horizontal dari arah dorsal ke ventral hingga ke rangka
selama 15 - 30 menit untuk proses washing. Proses washing ini dilakukan sebanyak 2 kali.
Proses dehidrasi kemudian dilanjutkan dengan proses dehidrasi tahap I dengan menggunakan alkohol 70% selama 15 - 30 menit. Proses ini juga dilakukan
sebanyak 2 kali.
Proses dehidrasi tahap I dilanjutkan ke proses dehidrasi Tahap II dengan menggunakan larutan alkohol 80% untuk merendam potongan jaringan selama 15
- 30 menit. Proses dehidrasi Tahap II dilakukan 2 kali.
Proses dehidrasi tahap II dilanjutkan ke proses dehidrasi tahap III dengan menggunakan larutan alkohol 90% selama 15 - 30 menit, proses ini dilakukan
sebanyak 2 kali .
Tahap berikutnya yakni dehidrasi tahap IV atau dehidrasi terakhir dilakukan dengan menggunkan larutan alkohol 96 % selama 15 - 30 menit, proses ini
dilakukan 2 kali.
Proses dehidrasi dilanjutkan ke proses clearing dengan menggunakan larutan Xylene atau Xylol. Proses clearing dilakukan 2 kali selama 15-30 menit.
Proses clearing dilanjutkan ke proses impregnasi (infiltrasi paraffin ke dalam jaringan) yang dilakukan 3 kali ulangan dengan selang setiap bagiannya 1 jam
dalam histoembedder.
Proses impregnasi dilanjutkan ke proses penanaman potongan jaringan dalam paraffin.
Jaringan yang telah ditanam dalam blok paraffin, kemudian bloknya didinginkan
selama 2 x 24 jam sehinggan blok parafinnya benar-benar kering.
Blok paraffin yang sudah kering disiapkan untuk tahap cutting (pemotongan blok berisi jaringan). Hasil cutting jaringan dilekatkan di mikroskop slide dan dibiarkan selama 24 jam sebelum dilanjutkan ke proses pewarnaan sel dengan
menggunakan Haematoxylin mayer – eosin.
Proses pewarnaan selesai dilanjutkan dengan proses redehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat (70 %, 80%, 90% dan 96%), masing-masing
Proses redehidrasi selesai dilanjutkan dengan pengeringan selama minimal 24 jam dalam suhu ruangan agar sampel jaringan kering sempurna dan dapat dilapis
dengan glass obyek.
Sampel jaringan yang telah dilapis dengan glass obyek kemudian
dikeringanginkan dalam suhu ruang selama minimal 24 jam agar perekat dapat
kering sempurna.
Proses pelapisan selesai, sampel jaringan dapat diamati dibawah mikroskop dan
kemudian difoto untuk mengambil gambarnya.
Analisis Data
Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara
deskriptif. Untuk melihat perbandingan antara faktor alam dengan ukuran telur
maka akan dipergunakan Analisis Komponen Utama (PCA).
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian reproduksi karang ini bertempat di Pulau Badi, yang merupakan
salah satu bagian dari Kepulauan Spermonde. Letak Pulau Badi yakni 4° 58' 9'' LS
dan 119° 17' 11'' BT, dengan luas daratan 7.41 ha, dan luas terumbu karang 36.07
ha (Gambar 10). Secara administratif Pulau Badi termasuk dalam desa Mattiro
Deceng, kecamatan Liukang Tupabiring, kabupaten Pangkep, propinsi Sulawesi
Selatan. Pulau Badi dihuni oleh 407 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 1.803
jiwa. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah sebagai nelayan (80%),
sekitar 20% berprofesi sebagai pedagang hasil laut dan pengusaha sarana
transportasi.
Gambar 10. Pulau Badi (Yusuf. 2008).
Pulau Badi memiliki potensi ekosistem terumbu karang yang cukup besar
untuk dikembangkan (Gambar 10). Hasil suvey yang dilakukan menunjukkan
bahwa persentasi penutupan karang Pulau Badi mencapai 30 – 65 % yang
tergolong dalam kondisi sedang. Terumbu karang Pulau Badi didominasi oleh
karang keras (Scleractinia) genera Acropora dan Porites baik pada daerah tubir maupun daerah slope. Pada kedalaman 3 m maupun di kedalaman 10 m. Persentase penutupan karang hidup di kedua kedalaman tersebut masing-masing
tinggi di kedua kedalaman tersebut adalah rubble (pecahan karang), yang nilainya masing-masing 22 % dan 52 % (Yusuf. 2008).
Genera karang batu yang ditemukan pada kedalaman 3 m di Pulau Badi
antara lain: Galaxea, Montipora, Seriatopora, Acropora, Pavona, Porites,
Hydnopora, Stylophora, Favites, Echynophora, Pocillopora. Selain karang keras jenis karang lunak (Alcyoniceae) juga banyak ditemukan. Jenis karang lunak yang banyak ditemukan yakni Sinularia flexibilis dan Sarcophyton sp yang hidupnya berkelompok. Biota asosiasi yang dapat ditemukan antara lain anemon laut, lili
laut, bulu babi. Pada kedalaman 10 m genera karang yang ditemukan antara lain:
Pavona, Porites, beberapa genera karang batu yang bentuk pertumbuhannya
encrusting, bercabang, masif, sedangkan karang lunak antara lain: Sinularia,
Sarcophyton, dan Lobophytum. Ditemukan juga beberapa sponge dari kelas
Demospongiae, dan beberapa biota asosiasi yang lain seperti: lili laut dan tunikata. Ekosistem penunjang yang lain juga dapat ditemukan seperti ekosistem
padang lamun, akan tetapi luasannya sangat sedikit dan homogen. Jenis lamun
yang dapat dijumpai pada Pulau Badi yakni Cymodocea sp.
Gambar 11. Kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Badi
Kekayaan terumbu karang inilah yang menyebabkan Pulau Badi ditunjuk
sebagai salah satu tempat daerah perlindungan laut (DPL) di kepulauan
Spermonde. Seiring dengan pembentukan DPL maka kondisi terumbu karang
pada Pulau Badi juga meningkat (survey PPTK-Unhas. 2006 dalam Yusuf. 2008).
-1,00
Pulau Badi memiliki karakteristik perairan yang sangat ideal dengan
salinitas berkisar 33-35 0/00, suhu berkisar 27-31 0
Gambar 12. Pola pasang surut Selat Makassar Mei 2009 sampai Januari 2010 (BAKOSURTANAL. 2009).
C, pH 8, rata-rata kecepatan
arus mencapai 5,2 cm/dt, dan tipe pasang surut campuran yang memungkinkan
karang tumbuh dan berkembang biak dengan baik.
Pasang Surut
Umumnya tipe pasang surut Selat Makassar yakni tipe campuran. Tipe
pasang surut ini juga berlaku pada Pulau Badi. Hal ini dikarenakan letak selat
Makassar yang tidak jauh dari garis katulistiwa. Pasang surut campuran yaitu
gabungan dari tipe diurnal dan tipe semidiurnal, bila bulan melintasi khatulistiwa
(deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi diurnal, dan jika deklinasi bulan
mendekati maksimum, terbentuk pasut diurnal (Dronkers. 1964).
Keadaan pasang surut tersebut sangat berpengaruh terhadap keberadaan
organisme laut selat Makassar. Hal ini didukung oleh pendapat Castro dan Hubber
(2007) yang menyatakan bahwa pasang surut sangat mempengaruhi organisme
laut dekat dengan pantai dan juga berpengaruh pada organisme laut lepas pantai.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tipe pasang surut selat Makassar
kali pasang dan dua kali surut pada hari yang sama (Wyrtki. 1961). Karakter ini
termasuk karakter yang sangat berpengaruh terhadap organisme laut. Hal ini
dikarenakan fluktuasi air laut sangat bervariasi (Castro dan Hubber. 2007).
Arus Perairan
Laut merupakan suatu kesatuan perairan yang sangat dinamis yang terdiri
dari beberapa komponen yang juga sangat dinamis. Salah satu jenis komponen
tersebut yakni arus. Arus memiliki dua komponen yakni arah dan kecepatan.
Peran arus sangat penting baik untuk komponen abiotik maupun biotik laut.
Karena sangat dinamis maka arus pada suatu tempat atau suatu Pulau dapat
berubah sewaktu waktu.
Komponen utama dari arus yakni arah dan kecepatan, pada reproduksi
karang salah satu komponen yang dapat dilihat yakni kecepatan. Hal ini dilakukan
karena kecepatan dari arus merupakan salah satu pemicu dalam reproduksi
organisme laut(Castro dan Hubber. 2007).
Karakter arus Pulau Badi juga termasuk dalam karakteristik yang dinamis,
dikarenakan letaknya yang berada di selat Makassar yang dilalui oleh Arus Lintas
Indonesia (ARLINDO) (Wyrtki. 1961). Keberadaan Pulau lain yang terdapat di
dalam gugusan kepulauan Spermonde selat Makassar juga sangat berpengaruh
terhadap bentukan arus Pulau Badi.
0 10 20 30 40
Gambar 13. Grafik kecepatan arus Pulau Badi
Hasil yang didapatkan dari pengukuran (Gambar 13) menunjukkan bahwa
arus di Pulau Badi mengarah kearah utara. Hal ini dikarenakan pengaruh bentuk
pulau sehingga arusnya berubah (Neumann dan Pierson. 2002).
25
Suhu memegang peranan yang sangat penting dalam perairan. Parameter
ini juga sangat berfluktuatif baik dipermukaan maupun ditiap lapisan kedalaman
perairan. Pada zona subtidal pengaruh perubahan suhu tidak seekstrim pada
daerah intertidal, sehingga organisme yang hidup di daerah subtidal lebih sensitif
terhadap perubahan suhu (Castro dan Hubber. 2007).
Gambar 14. Perbandingan suhu perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi
Hasil yang didapatkan pada Gambar 14 terlihat bahwa kecenderungan
kondisi suhu Pulau Badi juga tidak jauh berbeda baik pada kondisi bulan purnama
maupun bulan mati. Suhu tertinggi terjadi pada siang hari sedangkan suhu yang
terendah terjadi pada malam hari.
Pada siang hari suhu berkisar antara 29 sampai 31 0
Suhu pada malam hari hanya mencapai 29
C. Suhu maksimal
perairan terjadi disekitar pukul 15.00 WITA. Maksimalnya suhu pada saat itu
dikarenakan surut terendah dicapai pada jam tersebut. Selain surut terendah
akumulasi panas matahari sangat tinggi pada jam tersebut, walupun sudut
datangnya sudah berbeda. Hal ini didukung oleh pernyataan Castro dan Hubber
(2007) yang menyatakan bahwa suhu ekstrim biasanya terjadi pada surut terendah
jika terjadi pada siang hari.
0
C dan yang terendah sekitar 27 0
C. Pada malam hari suhu lebih rendah dikarenakan sinar matahari sudah tidak
28,00
sehingga menghangatkan perairan. Hal tersebut didukung oleh pernyataan
Neumann dan Pierson (2002) yang menyatakan bahwa suhu laut dapat meningkat
seiring dengan adanya pelepasan bahang dari lautan.
Gambar 15. Grafik suhu bulanan periran Pulau Badi.
Hasil pengukuran suhu bulanan Pulau Badi pada Gambar 15 tampak
bahwa suhu bulanan periran Pulau Badi sangat berfuktuatif pada tiap bulannya.
Suhu tertinggi ditemukan pada bulan November, sedangkan suhu terendah
ditemukan pada bulan September. Gambar 15 menunjukkan suhu perairan Pulau
Badi cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan suhu perairan ini
dikarenakan adanya massa air hangat dari pasifik. Hal ini didukung oleh
pernyataan Stewart (2002) yang menyatakan bahwa adanya peningkatan suhu
perairan beberapa derajat tetapi dalam skala yang kecil.
32
Karakteristik utama air laut yakni memiliki salinitas tertentu. Jumlah total
materi yang terlarut di dalam air laut didefenisiskan sebagai salinitas (Pickard.
1970). Defenisi tersebut didukung oleh Hester dan Harrison (2000) yang
menyatakan bahwa Salinitas didefenisikan sebagai total jumlah dalam gram dari
ion inorganik terlarut diwakili dalam satu kilogram air laut.
Pada umumnya salinitas rata-rata air laut adalah 34,7 0/00
Gambar 16. Perbandingan salinitas perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi
Kisaran salinitas Pulau Badi tidak terlalu besar yakni 33 sampai 35 (Pickard. 1970).
Salinitas ini akan berubah jika adanya intrusi air tawar baik dari daratan maupun
dari air hujan.
0 /00
Kondisi salinitas di Pulau Badi saat bulan purnama (Gambar 16) lebih
berfluktuatif dibanding saat bulan mati. Kisaran salinitas pada kondisi bulan ini (Gambar 16). Sempitnya kisaran salinitas tersebut dikarenakan letaknya yang
berjauhan dengan daratan utama (Pulau Sulawesi), sehingga pengaruh air tawar
dari daratan utama sudah tidak ada. Hal ini didukung oleh pernyataan Stewart
(2002), dan Neumann dan Pierson (2002) yang menyatakan bahwa salinitas sangat
dipengaruhi oleh interusi air tawar kedalam laut, baik dari air hujan maupun dari
sungai. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Pickard (1970) yang menyatakan
30,5
lebih besar yakni 33 sampai 35 0/00. Pada bulan mati kondisi salinitas perairan Pulau Badi cenderung lebih konstan. Kisaran salinitasnya juga lebih kecil yakni
34 sampai 35 0/00.
Gambar 17. Grafik salinitas bulanan periran Pulau Badi
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa salinitas bulanan di Pulau Badi
berkisar antara 32 sampai 35 (Gambar 17). Salinitas tertinggi ditemukan pada
bulan November, sedangkan salinitas terendah ditemukan pada bulan Juli sampai
dengan September. Peningkatan salinitas terjadi disekitar bulan Oktober, hal
tersebut dikarenakan adanya peningkatan suhu pada bulan yang sama. Pernyataan
tersebut didukung oleh Stewart (2002), bahwa suhu dan salinitas berbanding
lurus. Jika suhu meningkat maka salinitas juga akan meningkat.
pH Perairan
6,4 Laut memiliki pH basa dengan kisaran antara 7,5 sampai 8,2 (Millero.
2006). Kisaran pH tersebut cenderung stabil, kecuali terjadi perubahan lingkungan
contohnya pencemaran. pH pada perairan jika kurang atau lebih dari kisaran
rata-ratanya maka dapat menyebabkan masalah yang serius bagi organisme utamanya
tumbuhan.
Gambar 18. Perbandingan pH perairan pada bulan purnama dengan bulan mati Pulau Badi
Pada Pulau Badi saat bulan mati maupun bulan purnama kondisi pH
perairannya masih baik (Gambar 18). Hal ini ditandai dari hasil pengukuran pH
perairannya yakni rata-rata 8 atau masih dalam kisaran normal walaupun ada
ditemukan dibawah normal yakni 7. Kisaran pH yang normal ini disebabkan
pencucian yang terjadi akibat fluktusi pasang surut pada kedua fenomena bulan
tersebut.
Hal berbeda didapatkan dari pengukuran bulanan pH yang didapatkan
(Gambar 18). Kondisi pH Pulau Badi kurang baik yakni berada di bawah kisaran
dengan rata-rata pH bulanan 7. Walupun jarak antara Pulau Badi dengan daratan
utama cukup jauh akan tetapi tidak berpengaruh dengan kondisi pH perairannya.
Hal ini disebabkan aktifitas penduduk disekitar ekosistem terumbu karang sangat
tinggi. Masyarakat setempat menjadikan tempat ekositem terumbu karang sebagai
daerah penambatan kapal, pengecatan kapal dan aktifitas lainnya yang dapat
Gambar 19. Grafik pH bulanan periran Pulau Badi
Perubahan pH ini dapat dilihat dari kondisi ekosistem terumbu karanya
dimana ditumbuhi oleh banyak alga, sedangkan juvenil karang hanya sedikit yang
dijumpai. Hal ini didukung oleh pernyataan Brownlee (2009) bahwa pH dapat
mempengaruhi laju fotosintesis, dan memicu perkembangan alga lain selain
zooxhantella. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh Vennl et al (2009) bahwa pH di luar rata-rata dapat mempengaruhi pertumbuhan zooxhantella. Secara tidak
langsung dapat menyebabkan penyakit pada organisme tertentu seperti karang
(Millero. 2006). Jika alga mendominiasi maka karang akan sulit untuk bertumbuh
pada daerah tersebut. Hal ini yang merupakan salah satu faktor penghambat
suksesi terumbu karang di Pulau Badi.
Fase Bulan
Bulan merupakan salah satu parameter lingkungan yang memegang
peranan penting dalam kaitannya dengan dinamika dilautan. Pada berbagai
penelitian fase bulan banyak dikaitkan dengan siklus reproduksi berbagai jenis
karang, baik pada daerah sub tropis atau pada darerah tropis. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Kolinski dan Cox (2003) dapat dilihat bahwa karang keras banyak
oleh pernyataan Vermeij et al. (2003) bahwa bulan juga dapat mempengaruhi reproduksi karang.
Pada penelitian ini fase bulan yang diambil mencakup dalam empat fase
bulan yakni fase purnama, fase ¼, fase gelap, dan fase ¾. Keempat fase tersebut
memiliki ciri yang berbeda. Hasil yang didapatkan dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2. Perkembangan telur karang target pada tiap fase bulan
Bulan Pengambilan Euphylia ancora Euphylia glabrescens
Bulan Purnama / September 2009 0 140
Bulan Purnama / Desember 2009 160 100
Bulan 3/4 / Desember 2009 180 150
Hasil dari Tabel 2 dapat terlihat bahwa estimasi pengeluaran gamet karang
pada tiap fase bulan terjadi setelah bulan gelap. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Harrison dan Wallace (1990) bahwa daerah lintang rendah karang melakukan
pemijahan saat bulan gelap. Penyebabnya dikarenakan faktor pasut pada saat
bulan gelap cukup besar yang berdampak pada tekanan lingkungan ke karang.
Saat tekanan itu berkurang maka telur yang telah matang akan dilepaskan. Hal ini
juga dapat ditemukan pada jenis karang lain. Menurut Tung et al. (2002) jenis
0,00 Parameter Kimia Perairan Nitrat (NO3) dan Ortofosphat (PO4
Gambar 20. Perbandingan nitrat (NO
)
Secara umum kondisi daerah terumbu karang miskin dengan nutrien
(Veron. 2000). Hal ini didukung oleh pernyataan Wolanski (2004) yang
menyatakan bahwa perairan tempat karang bertumbuh merupakan perairan
oligothropic atau miskin nutrien. Walaupun kurang nutrien karang juga tetap membutuhkan inorganik nutrien seperti nitrat dan fospat untuk pertumbuhan
simbionnya yakni zooxhantella (Jones dan Endean. 1973).
3) dengan fosphat (PO4) Pulau Badi
Hasil yang didapatkan pada Gambar 20 diatas dapat dilihat bahwa baik
kondisi nitrat dan ortofosphat perairan Pulau Badi sangat berfluktuatif. Kisaran
nitrat yang diperoleh yakni 0,17 sampai 0,54, sedangkan untuk ortofosphat
berkisar 0,02 sampai 0,06. Kondisi tersebut didukung oleh pernyataan Sorokin
(1993) yang menyatakan bahwa kebanyakan nutrien pada daerah terumbu karang
berada di bawah batas pertumbuhan fitoplankton ( lebih kecil dari 0,5 µ mol NO3 dan 0,2 µ mol PO4
Inorganik nutrien tersebut tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap
karang. Hal tersebut dikarenakan adanya simbiosis mutualisme antara karang
dengan zooxhantella yang saling tergantung sehingga walaupun nutrien sedikit
karang dapat tumbuh (Veron. 2000).
). Hal ini dikarenakan kondisi perairan karang termasuk
Perkembangan Gonad Karang Target
Tahap pemijahan maka gonad karang mengalami beberapa tingkat
kematangan gonad (TKG). Perbedaan TKG karang dapat dilihat dengan
menggunakan analisis histologi. Pada pengamatan ini dilakukan pada dua jenis
karang berbeda yakni Euphylia ancora, dan Euphylia glabrescens. Kedua jenis karang tersebut diambil berdasarkan ukuran tertentu yang memenuhi syarat
matang gonad pada karang.
Euphylia ancora
Jenis karang ini dikenal dengan nama karang kuku karena bentuk tentakel
yang menyerupai kuku manusia dengan warna kecoklatan. Jenis karang ini banyak
ditemukan pada substrat pasir disekitar daerah karang yang sudah mengalami
degradasi pada zona subtidal. Karang ini hidup berkoloni (Suharsono 2008).
Gambar 21. Hewan uji Euphylia ancora
Ukuran karang ini saat diambil sebagai hewan uji yakni panjang 80 cm
dengan lebar 40 cm. Ukuran hewan uji seperti pada Gambar 23 telah memenuhi
syarat karang untuk bereproduksi. Kedalaman pengambilan sampel 3 m diukur
pada saat surut terendah.
Hasil histologi (Gambar 22) menunjukkan adanya sel telur akan tetapi
tidak ditemui sel sperma dan planula karang dalam satu polip. Hasil ini
menunjukkan bahwa tipe reproduksi karang ini yakni termasuk dalam reproduksi
gonokorik broadcast spawning (Dioseus). Tipe ini merupakan tipe dimana spesies yang melepaskan gametnya ke dalam kolom air dan selanjutnya terjadi fertilisasi
didukung oleh pernyataan Richmond dan Hunter (1990) bahwa di daerah Pasifik
tipe reproduksi Euphylia ancora yakni gonokorik broadcast spawning (Dioseus).
A D
m o m
B E
m
nu o o
C F
ed
o
o
m
ec
Gambar 22. Potongan melintang gonad Euphylia ancora. (A) Ruang kosong pada
Pada Gambar 22 dapat dilihat bahwa karang ini memiliki bentuk telur
yang sinkroni dimana telur matang bersamaan. Adapun ciri dari tiap tingkatan
kematangan sel telur berdasarkan pengamatan histologi di paparkan sebagai
berikut. Tingkat I (TKG I) sel telur yang intinya belum nampak dengan jelas
ukuran 5 µm dan masih sulit dibedakan dengan sel sperma (Gambar 22 B).
Tingkat II (TKG II) pada tahapan ini inti sel sudah mulai nampak akan tetapi
belum terlalu jelas, ukurannya semakin bertambah yakni 10 µm dan sudah
berkembang didalam mesoglea (Gambar 22 C). Tingkat III (TKG III) di tahap ini inti sel sudah tampak dan letaknya masih ditengah dengan ukuran sel 100 µm
(Gambar 22 D). Tingkat IV (TKG IV) tahapan ini inti sel sudah sangat besar dan
ukuran sel juga bertambah dengan drastis yakni 200 µm (Gambar 22 E). Hal ini
menandakan sel telur siap untuk dikeluarkan kedalam kolom air.
Euphylia glabrescens
Jenis karang ini memiliki bentuk tentakel yang unik yakni berbentuk
seperti korek api kayu. Karang ini berwarna coklat muda dengan ujung tentakel
berwarna putih. Jenis ini banyak ditemukan pada rataan terumbu disekitar karang
yang masih sehat pada zona subtidal.
Gambar 23. Hewan uji Euphylia glabrescens
Koloni karang ini saat diambil memiliki panjang koloni 32 cm dengan
lebar 24 cm, sedangkan panjang rata-rata polip yakni 2 cm. Karang ini tumbuh
dikedalaman 2 m diukur saat surut terendah.
Tipe reproduksi karang ini belum banyak yang diketahui (Richmond dan
tetapi tidak ditemukan sel sperma dan planula yang terletak pada polip yang sama.
Hal ini diduga bahwa reproduksi karang ini juga termasuk dalam jenis reproduksi
gonokorik broadcast spawning (Dioseus).
A D
nu
nu
o
B E
o
nu
o m
nu
m
C F
o
ec m ed
Tahap perkembangan gonad karang ini hampir sama dengan jenis karang
Euphylia ancora sebelumnya. Hal ini dikerenakan masih dalam satu genus yang sama. Pada perkembangan sel telur memiliki tahapan tertentu yakni sebagai
berikut. Tahap I (TKG I) inti sel belum tampak jelas dengan ukuran 5 µm dan
belum terlihat tersusun dalam mesoglea (Gambar 24 C). Tahap II (TKG II) inti sel sudah ada tetapi belum jelas terlihat, ukuran sel pada tahap ini yakni 12 µm.
Tahap III (TKG III) inti sel sudah jelas terlihat dan memanjang sepanjang
mesoglea, ukuran sel berkembang cepat mencapai 100 µm (Gambar 24 D). Tahap IV (TKG IV) inti sel sudah membesar, dan ukuran sel telur mencapai 300 µm
(Gambar 24 A, B, dan E), yang menandakan karang siap untuk bereproduksi. Hal
yang sama juga dijumpai pada jenis Poritidae. Perkembangannya menyerupai
perkembangan pada jenis karang taget penelitian ini (Glynn. 1994).
10 cm
1 mm 2 cm
Gambar 25. Bentuk morfologi gonad Euphylia glabrescens (Desember 2009)
Tahap perkembangan gonad tersebut hampir sama dengan karang jenis
lain yang pernah diteliti. Perbedaan yang mencolok terdapat pada waktu
pematangan gonad antara daerah sub tropis dan daerah tropis.
Pada daerah subtropis pematangan gonadnya cukup lama. Hal ini
dibuktikan Jenis Gonistrea aspera di Okinawa, Jepang memakan waktu sekitar 5 Gonad
Tentakel
0
bulan (Sakai. 1997). Pada jenis Oulastrea crispata di Hong Kong, Cina pematangan gonadnya lebih lama yakni sekitar 8 bulan (Lam. 2000).
Daerah tropis pematangan gonadnya cenderung lebih cepat dan terus
menerus. Hal ini dapat dilihat dari karang Ecinophora lamellosa di Taiwan matang gonadnya hanya mencapai waktu 4 bulan (Tung dan Cheng. 1999).
Perbedaan tersebut terjadi diakibatkan berbagai faktor lingkungan yang
saling terkait. Pada daerah tropis pengaruh musim tidak terlalu ekstrim berbeda
dengan daerah sub tropis yang beriklim empat. Parameter oseanografi pada daerah
subtropis seperti suhu, dan pasang surut sangat besar perbedaaanya dibanding di
daerah tropis yang cenderung lebih stabil (Neumann dan Pierson. 2002).
Hasil yang didapatkan seperti pernyataan Tung dan Cheng (1999) bahwa
pematangan sel telur dilakukan selama kurun waktu yang singkat. Hal ini dapat
dilihat pada grafik dibawah ini (Gambar 26).
Pengeluaran sel telur cenderung pada saat bulan gelap lebih disebabkan
karena adanya strategi reproduksi. Pada bulan gelap kondisinya gelap sehingga
predator yang memakan telur karang akan kurang karena minimnya cahanya,
sehingga larva karang akan lebih banyak yang hidup (Castro dan Hubber. 2007).
Variables (axes F1 and F2: 52,89 %)
Hasil pengamatan seperti yang terlihat pada Gambar 26, tampak bahwa
perkembangan sel telur Euphylia glabrescens lebih cepat dibanding Euphylia ancora. Pada kurun waktu 5 bulan terhitung bulan September 2009 sampai Januari 2010, jenis Euphylia glabrescens tercatat dua kali spawning sedangkan pada Euphylia ancora hanya sekali. Persamaan spawning yang didapat dari Gambar 26 yakni kedua karang tersebut bereproduksi sekitar bulan gelap pada
bulan Desember 2009. Hal ini disebabkan kerena pada daerah tropis pematangan
sel telur pada jenis Euphylia glabrescens lebih cepat dibanding dengan sel telur pada Euphylia ancora.
Keterkaitan antara Faktor Lingkungan dengan Perkembangan Gonad
Karang
Faktor endrogenous seperti tingkat kematian gamet, dan faktor exsogenous
seperti cahaya, pasang surut, suhu dan plankton yang memicu pengeluaran gamet
dan berpengaruh kepada kebiasaan seksual (Adiyodi. 1992). Pada pernyataan
sebelumnya juga dinyatakan bahwa parameter oseanografi pada daerah tropis
tidak seekstrim pada daerah subtropis (Neumann dan Pierson. 2002).