• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN OLEH DHALANG KI HADI SUGITO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN OLEH DHALANG KI HADI SUGITO"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

LAKON WAYANG

SEMAR MBANGUN KAYANGAN

OLEH DHALANG KI HADI SUGITO

SKRIPSI

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Purnaningrum Lestari Damayanti 2102407166

Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki Hadi Sugito telah disetujui untuk diuji di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang.

Semarang, Juni 2011

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Sukadaryanto, M.Hum Drs. Widodo

(3)

iii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. pada hari : Senin

tanggal : 11 Juli 2011

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Drs. Dewa Made Kartadinata, M. Pd, Sn Dra. Endang Kurniati

NIP 195111181984031001 NIP 196111261990022001

Penguji I

Dr. Teguh Supriyanto, M. Hum NIP 196101071990021001

Penguji II Penguji III

Drs. Widodo Drs. Sukadaryanto, M. Hum

(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi dengan judul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki Hadi Sugito ini benar-benar

hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juni 2011

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

Ø Apapun yang anda bisa lakukan atau bermimpi untuk bisa melakukannya, mulailah sekarang juga. Keberanian memulai akan menggugah unsur jenius dalam diri kita, menggugah kekuatan dan keajaiban untuk bisa menyelesaikan apa yang telah kita mulai tadi. (Johann Wolfgang von Goethe)

Persembahan

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada:

Ø Bapak dan Ibuku serta kakak-kakakku yang selama ini selalu mendukung dan mendoakanku.

Ø Mas Bowo yang selalu memberi motivasi, semangat, dan selalu ada untukku di kala suka maupun duka dalam menyusun skripsi.

Ø Sahabat-sahabatku di Tweety Kost dan teman-teman seperjuangan yang selalu menyemangatiku.

Ø Best Prendku, Tiyas. Terima kasih untuk persahabatan yang telah engkau berikan selama ini dan untuk dukungan serta semangat yang selalu kau berikan untukku.

(6)

vi PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan rahmatnya penulis mampu menyelesaikan tugas akhir menyusun skripsi yang berjudul Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Dhalang Ki Hadi Sugito. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak, oleh karena itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang disebutkan di bawah ini.

1. Drs. Sukadaryanto, M. Hum., sebagai pembimbing I dan Drs. Widodo sebagai pembimbing II yang telah bersedia mengarahkan serta memberikan ide dan bimbingan kepada penulis dengan penuh kesabaran sampai selesainya skripsi ini.

2. Drs. Agus Yuwono, M. Si., M. Pd. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa. 3. Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Negeri Semarang.

4. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M. Si. Rektor Universitas Negeri Semarang.

5. Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.

6. Bapak dan ibu serta kakakku yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepadaku.

(7)

vii

8. Sahabat-sahabatku di Tweety Kost (Cucur, Uki, Tiblung, Kanjeng Mami, dan Kak Iyus).

9. Teman-teman seperjuangan (Rita, Epi, Wahyu, Nobi, dkk). 10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu.

Semoga semua bimbingan, dukungan, dan motivasi yang diberikan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Harapan penulis semoga dengan diselesaikannya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan semua pihak pada umumnya.

Semarang, Juni 2011 Penulis

(8)

viii ABSTRAK

Damayanti, Purnaningrum Lestari. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M. Hum., pembimbing II: Drs. Widodo.

Kata kunci: wayang purwa, struktur lakon.

Pertunjukan wayang purwa yang sering diadakan di Jawa mengambil lakon Mahabarata dan Ramayana. Dalam pertunjukan wayang purwa sudah banyak lakon yang ditampilkan oleh para dhalang, misalnya Bima Maneges, Gathutkaca Gugur, Semar Mbangun Kayangan, dan lain-lain. Dari sekian banyak lakon dalam pertunjukan wayang purwa, lakon Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito yang terpilih menjadi objek kajian dalam skripsi ini.

Permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Tujuan dari penelitian ini yaitu menjelaskan struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Secara teoretis diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pewayangan. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat digunakan mahasiswa lain sebagai referensi penelitian selanjutnya, serta dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan bagi guru dan elemen masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan ini digunakan untuk penelitian yang meneliti tentang unsur-unsur intrinsik suatu karya sastra. Unsur-unsur intrinsik ini dibagi menjadi alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), serta tema dan amanat.

(9)

ix

Semar Mbangun Kayangan ada dua, yaitu bagi para pemimpin untuk mau mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Amanat yang kedua yaitu bagi rakyat untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam mempertahankan kebenaran itu meski banyak aral yang melintang karena kebenaran pasti akan menang.

(10)

x SARI

Damayanti, Purnaningrum Lestari. Lakon Wayang Semar Mbangun Kayangan Oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M. Hum., pembimbing II: Drs. Widodo.

Tembung wigatos: wayang purwa, struktur lakon

Pagelaran wayang purwa sing sering dianakke ing Jawa njupuk lakon Mahabarata lan Ramayana. Ing pagelaran wayang purwa wis akeh lakon sing ditampilake para dhalang, kayata Bima Maneges, Gathutkaca Gugur, Semar Mbangun Kayangan, lan liya-liyane. Saka akehe lakon ing pagelaran wayang purwa, lakon Semar Mbangun Kayangan dening Ki Dhalang Hadi Sugito sing dipilih dadi bahan garapan ing skripsi iki.

Perkara sing arep diteliti yaiku struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Ancas saka panaliten ini yaiku jlentrehake struktur lakon Semar Mbangun Kayangan. Paedah teoretis dikarepake panaliten iki bisa digunaake kanggo ngembangake ilmu pengetahuan khususe ing bidang pewayangan. Paedah praktis dikarepake panaliten iki bisa digunaake mahasiswa liya kanggo sumber panaliten sateruse, sarta bisa digunaake sumber pengetahuan kanggo guru lan elemen masyarakat. Panaliten iki nggunaake pendekatan objektif. Penedekatan iki digunaake kanggp panaliten sing neliti babagan unsur-unsur intrinsik sawijining karya sastra. Unsur-unsur intrinsik kabagi dadi alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), sarta tema lan amanat.

(11)

xi

(12)

xii

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS 2.1 Kajian Pustaka ... 8 3.1 Pendekatan Penelitian ... 32

3.2 Sasaran Penelitian ... 32

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 33

(13)

xiii

BAB IV STRUKTUR LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN

4.1 Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ... 35

4.1.1 Jenis Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ... 35

4.1.2 Struktur Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan ... 38

(14)
(15)

Keistimewaan lain dari Ki Hadi Sugito terletak pada sanggitnya. Sanggit merupakan kemampuan dan kemahiran dalang melalui penyajian serta pengaturan dialog dan skenario untukmembentuk atau mengarahkan opini penonton terhadap jalannya cerita, sejalan dengan norma dan etika yang dianut oleh Dhalang. Hal tersebut terlihat dari kemahiran Ki Hadi Sugito yang membuat tiap adegan selalu ada guyonannya, dan itu sangat berbeda dengan dhalang yang menganut pakem Surakarta.

Penelitian ini difokuskan pada cerita wayang dengan judul Semar Mbangun Kayangan yang didhalangi oleh Ki Dhalang Hadi Sugito. Pada lakon ini tokoh

utamanya yaitu Ki Semar Badranaya yang merupakan titisan Bathara Ismaya. Ki Semar Badranaya merupakan pengasuh Pandhawa terutama Arjuna. Beliau menggulawenthah dan mendidik Pandhawa. Lakon ini menceritakan tentang Semar yang ingin memperbaiki budi pekerti dan jiwa kepemimpinan para penguasa Ngamarta, yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ceritanya dimulai dari Ki Semar Badranaya yang tidak pernah hadir dalam pertemuan agung di Ngamarta. Akhirnya Petruk datang ke Ngamarta untuk memberitahukan kepada para Pandhawa bahwa Ki Semar Badranaya akan membangun kayangan dan membutuhkan bantuan para Pandhawa serta pusaka Ngamarta berupa Jamus Kalimasada, Tumbak Karawelang, dan Songsong Tunggulnaga.

(16)

3

akan digunakan Semar untuk membangun ruhani. Tumbak Karawelang adalah simbol ketajaman yang dengan personifikasi tersebut Semar bermaksud membangun ketajaman hati, ketajaman visi dan indera para Pandawa. Songsong Tunggulnaga adalah ungkapan bahwa Pandawa sebagai pemimpin harus memiliki karakter mengayomi sebagaimana fungsi songsong.

Penyajian cerita yang dikemas dalam bentuk jalan cerita menjadikan lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito ini menarik untuk diteliti. Dimulai dari pertemuan yang diadakan di Ngamarta, dilanjut dengan pertemuan Kresna dengan Batara Guru, pertemuan pandhawa kecuali Arjuna dengan Ki Semar Badranaya, lawakan-lawakan punakawan, sampai akhirnya Semar berhasil membangun jiwa kepemimpinan pandhawa. Jalan cerita tersebut disajikan oleh Ki Hadi Sugito dengan sangat baik dan menarik.

Penokohan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito sangat bervariasi, mulai dari tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh durjana. Keberadaan tokoh durjana yang ditampilkan Ki Hadi Sugito dalam lakon ini membuat cerita semakin hidup. Tokoh durjana yang ditampilkan Ki Hadi Sugito adalah Bathara Kresna. Dia berperan menjadi penghasut pandhawa supaya pandhawa tidak membantu Ki Semar Badranaya dalam membangun kayangan.

(17)

bertiga dalam lakon ini ikut andil juga dalam usaha Ki Semar Badranaya untuk memperbaiki kepribadian para pandhawa. Bantuan mereka ditunjukkan dengan usaha memerangi para buta suruhan Betari Durga yang akan membunuh Ki Semar Badranaya. Lawakan-lawakan dan jalan cerita yang disajikan oleh Ki Hadi Sugito sangat sudah sesuai dengan fungsi wayang sebagai tontonan, yaitu tontonan yang bisa menghibur masyarakat.

Berkaitan dengan fungsi wayang sebagai tuntunan, lakon Semar Mbangun Kayangan juga banyak mengandung nilai-nilai ajaran hidup yang berguna bagi

masyarakat. Nilai-nilai ajaran hidup tersebut tertuang dalam dialog tiap tokoh. Salah satu contohnya terdapat pada dialog Ki Semar Badranaya dengan Pandhawa. Ki Semar Badranaya menjelaskan kepada Pandhawa bahwa sebagai ratu yang menjadi contoh ratu-ratu di negeri-negeri lain haruslah memiliki watak kuat pada pendirian dan tidak goyah terhadap bujukan seperti yang dilakukan oleh Arjuna.

(18)

5

yang tak lain adalah jiwa kepemimpinan dari penguasa Ngamarta. Akhirnya dengan segala perjuangannya, Ki Semar Berhasil memperbaiki jiwa kepemimpinan para pemimpinnya. Di sinilah pelajaran yang sangat berharga, sebagai rakyat jelata harus mau mencontoh apa yang dilakukan oleh Semar, menyuarakan pendapat kita tanpa takut mati, terutama di saat negara sedang terpuruk seperti ini.

Lakon Semar Mbangun Kayangan diangkat dalam penelitian ini karena ceritanya yang sangat menarik. Tokoh dan penokohannya yang menarik. Cerita dalam lakon tersebut sangatlah erat kaitannya dengan Negara Indonesia saat ini. Para pemimpin di Negara Indonesia hanyalah mementingkan kekuasaan, tidak memperhatikan keadaan rakyatnya, dan sama sekali tidak mempunyai jiwa kepemimpinan yang handal. Hal itu seperti yang terjadi pada penguasa Ngamarta yaitu para Pandhawa. Fenomena tersebut yang membuat Ki Semar Badranaya ingin mengembalikan mereka ke jalan yang benar, supaya mereka tidak hanya mementingkan kekuasaan.

Tujuan meneliti cerita wayang lakon Semar Mbangun Kayangan untuk lebih mengetahui tentang struktur lakon dari cerita wayang tersebut. Penelitian ini akan membuat lebih paham dan mengerti tentang teori-teori yang berhubungan dengan struktur lakon, terutama struktur lakon yang terdapat dalam cerita wayang Semar Mbangun Kayangan. Struktur lakon ini akan memfokuskan pada dialog-dialog

(19)

Penelitian terhadap cerita wayang lakon Semar Mbangun Kayangan diharapkan bisa memberi masukan kepada para pejabat di Negara Indonesia supaya bisa memahami dan menjalankan amanat dari cerita wayang tersebut. Amanat dari cerita wayang tersebut yaitu bagi penguasa untuk mau mendengar suara rakyat, selalu bijaksana, tak hanya mau menang sendiri, dan tidak semena-mena dalam menegakkan keadilan. Sekaligus amanat bagi rakyat khususnya rakyat Indonesia untuk berani menyuarakan kebenaran dan gigih dalam mempertahankan kebenaran itu.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana struktur lakon pada pertunjukan wayang kulit dengan lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Dhalang Hadi Sugito?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur lakon dari pertunjukan wayang kulit Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Dhalang Hadi Sugito.

1.4 Manfaat Penelitian

(20)

7

(21)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Kajian Pustaka

Lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito belum pernah dikaji menggunakan teori apapun. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji lakon Semar Mbangun Kayangan, oleh karena itu tidak ada skripsi atau penelitian yang digunakan sebagai kajian pustaka dalam skripsi ini.

2.2 Landasan Teoretis

Teori-teori yang berkenaan dengan penelitian ini antara lain mengenai (1) wayang, (2) strukturalisme, dan (3) struktur lakon yang di dalamnya ada beberapa unsur yaitu, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat

2.2.1 Wayang

(22)

Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia (Jawa : ayang-ayang). Perkembangan wayang pada masa-masa berikutnya adalah wayang diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar putih. Pengertian itu telah menunjuk pada boneka dua dimensi, yaitu boneka wayang kulit (Mulyono 1978:39-40).

Wayang pada Kamus Istilah Drama merupakan boneka tiruan orang yang terbuat dari patahan kulit atau kayu, dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (seperti di Bali, Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dhalang.

Orang Jawa pada zaman dahulu sengaja memberi ruang tersendiri untuk pertunjukan wayang di rumahnya. Ruangan tersebut disebut dengan Pringgitan. Bagi orang Jawa yang tidak mengerti tentang wayang berarti orang tersebut tidaklah paham terhadap jati dirinya. Hal itu dimaksudkan bahwa sebagai seorang manusia Jawa, kita harus memahami kebudayaan Jawa, terutama seni wayang yang merupakan kesenian terbesar dari budaya Jawa.

(23)

Di Tanah Jawa ini wayang yang sangat terkenal dan sering dipertontonkan yaitu wayang purwa, yaitu wayang yang mengambil tema Mahabarata dan Ramayana. Mahabarata menceritakan kisah hidup Pandhawa, yaitu putra Pandu yang terdiri dari Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ramayana menceritakan tentang kisah hidup Ramawijaya dan Sinta.

Pertunjukan wayang purwa atau wayang kulit biasa dimainkan oleh seorang dhalang. Dhalanglah yang menjadi sutradara dalam pertunjukan wayang,

sehingga seorang dhalang harus benar-benar mengerti cerita wayang yang sedang dimainkannya. Pada Masyarakat Jawa, dhalang dianggap sebagai "wong kang wasis ngudhal piwulang” maksudnya orang yang pandai menyampaikan

ajaran-ajaran. Jadi, dalam pertunjukan wayang dhalang berperan sebagai seorang filsuf, seorang guru, seorang seniman, seorang pelawak, seorang orator, dan seorang komunikator.

2.2.2 Strukturalisme

(24)

Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang bersangkutan. Jadi analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Unsur intrinsik yang dimaksud yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, setting atau latar, serta tema dan amanat. Dengan demikian analisis struktural bertujuan untuk memaparkan fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasikan sebuah satu kesatuan yang utuh.

2.2.3 Struktur Lakon

Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Konflik lebih bersifat batin daripada fisik. Konflik yang dipaparkan dalam lakon harus mempunyai motif. Motif dari konflik yang dibangun itu akan mewujudkan kejadian-kejadian.

Lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa. Lakon berasal dari

kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa. Jadi, lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan erat dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan (Murtiyoso, dkk 2004: 57).

Mohammad Kanzunnudin dalam bukunya yang berjudul Kamus Istilah Drama (2003:62) memberikan definisi lakon adalah karangan berbentuk drama

(25)

untuk dipentaskan. Dari kedua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lakon adalah drama.

Jenis lakon berbeda dengan jenis prosa dan puisi dalam hal hakikat, bentuk pengungkapan, dan teknik penyajiaannya. Hakikat lakon adalah tikaian (konflik). Hakikat prosa adalah cerita, dan hakikat puisi adalah imajinasi. Lakon, prosa, dan puisi merupakan bentuk-bentuk pengungkapan sastra. Teknik penyajian lakon menggunakan cakapan, baik monolog maupun dialog. Prosa menggunakan kisahan, sedangkan puisi menggunakan citraan.

Di dalam drama ada dua aspek yang sangat penting, yaitu struktur dan tekstur. Struktur merupakan komponen paling utama dalam drama. Struktur adalah bangunan yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur tersusun menjadi suatu kerangka bangunan arsitekstural. Satoto (1985:14) mengatakan bahwa adegan-adegan di dalam lakon merupakan bangunan unsur-unsur yang tersusun dalam satu kesatuan. Jadi untuk menganalisis struktur lakon, harus memulai dengan unit paling dasar yaitu adegan. Unsur-unsur pendukung struktur lakon yaitu alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting, serta tema dan amanat.

2.2.3.1 Alur atau Plot

(26)

Pada Kamus Istilah Drama (2003:4-5), alur diartikan jalinan peristiwa di dalam naskah drama atau sastra untuk mencapai efek tertentu. Tautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab akibat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin secara seksama, yang sanggup menggerakkan jalannya cerita melalui rumitan kea rah klimaks dan penyelesaian atau tanpa penyelesaian.

Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966:14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

Struktur umum yang membentuk alur dramatik sebuah lakon adalah introduction atau exposition (perkenalan atau eksposisi), rising action atau complication (perumitan, penggawatan atau komplikasi), the climax atau turning point (klimaks atau puncak yang sangat menentukan), falling action atau unravelling ( leraian atau selesaian), the denouement atau resolution in tragedy (resolusi), dan yang terakhir the conclusion (kesimpulan akhir).

(27)
(28)

(5) Resolusi, pada tahap ini persoalan telah memperoleh peleraian. Tegangan akibat terjadinya konflik telah menurun, maka pada tahap ini disebut juga dengan falling action.

(6) Keputusan, pada tahap ini persoalan telah memperoleh penyelesaiaannya. Konflik sudah dapat diakhiri.

(29)

Alur dilihat dari segi jumlahnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) alur tunggal, dan (2) alur ganda. Pada alur tunggal hanya terdapat satu alur, alur ini digunakan jika pengarang ingin memfokuskan dominasi seorang tokoh tertentu sebagai hero atau pahlawan. Pada alur ganda terdapat lebih dari satu alur atau terdapat beberapa tokoh yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapi. Alur ganda terdapat pada lakon wayang.

Alur dilihat dari sisi lain dapat dibedakan menjadi sembilan. Berikut ini pembagian alur dilihat dari sisi lain.

(1) Alur menanjak (rising plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang semakin menanjak sifatnya.

(2) Alur menurun (falling plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang semakin menurun sifatnya.

(3) Alur maju (progressive plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari tahap awal sampai tahap akhir cerita.

(4) Alur mundur (regressive plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang urutan atau penahapannya bermula dari tahap akhir atau tahap penyelesaian, baru tahap-tahap peleraian, puncak, perumitan, dan perkenalan.

(30)

(6) Alur patah (break plot), yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang penahapannya tidak urut atau runtut tetapi patah-patah.

(7) Alur sirkuler (circular plot) atau alur bundar atau alur lingkar, yaitu alur yang melingkar-lingkar dari suatu cerita.

(8) Alur linier (linear plot), yaitu alur lurus (progressive plot).

(31)

Teknik pengaluran yang biasa digunakan dibagi menjadi dua yaitu, (1) sorot balik, dan (2) tarik balik. Sorot balik yaitu teknik pengaluran mundur, pengungkapan peristiwa berjalan surut ke peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumya. Tarik balik yaitu bentuk teknik pengaluran patah, penyisipan alur bawaha ke dalam alur utama. Alur bawahan yang disisipkan berupa peristiwa yang secara kronologis terjadi sebelumnya (Satoto 1985:23).

Menurut Satoto, secara tradisional struktur lakon wayang mempunyai tiga tahapan, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.

(1) Pathet Nem

Pathet nem ditandai dengan penancapan gunungan yang ditancapkan condong

ke kiri, tahapan pathet sanga ditandai dengan gunungan ditancapkan tegak lurus, dan pathet manyura ditandai dengan penancapan gunungan condong ke kanan. Sesuai dengan adegan-adegannya, tahapan pathet nem melambangkan kehidupan manusia pada masa kanak-kanak. Jejer merupakan adegan pertama dalam wayang. Pada adegan kedhaton di mana raja yang selesai bersidang diterima permaisuri untuk bersantap bersama yang diartikan sebagai lambang bayi yang baru lahir disambut oleh ibunya. Adegan paseban jawi diartikan melambangkan kehidupan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar.

(32)

baik. Adegan sabrangan dilambangkan sebagai seorang anak yang sudah dewasa namun masih mempunyai watak-watak yang dominan dalam keangkaramurkaan, emosional dan nafsu. Adegan terakhir dalam pathet nem adalah perang gagal, yaitu suatu perang yang belum berakhir dengan kemenangan. Adegan ini melambangkan tataran hidup yang belum mantap.

(2) Pathet Sanga

Adegan pada pathet sanga terdiri dari gara-gara, adegan pertapaan atau pandhita, adegan perang kembang, dan adegan sintren. Adegan gara-gara merupakan adegan yang paling meriah dan menyenangkan. Adegan ini diartikan bahwa ketika manusia menginjak dewasa, hidup terasa indah dan menyenangkan. Adegan pandhita adalah adegan pertemuan antara seorang pendeta di pertapaan dengan seorang kesatria. Adegan ini melambangkan suatu masa di mana manusia sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan.

Adegan perang kembang adalah adegan perang antara raksasa melawan seorang kesatria yang diiringi punakawan. Adegan perang kembang melambangkan suatu tataran di mana manusia sudah mulai mampu dan berani memenangkan atau mengalahkan nafsu keangkaramurkaan. Adegan sintren adalah adegan yang menggambarkan seorang kesatria sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh hidup. Adegan tersebut melambangkan tataran di mana manusia sudah mampu menentukan pilihan hidupnya.

(2) Pathet Manyura

(33)

sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang tujuan hidupnya. Adegan ini melambangkan tataran kehidupan manusia, di mana manusia setelah berhasil menentukan pilihan, lalu bertekad untuk menggapai tujuan hidupnya tersebut.

Adegan perang brubuh disebut juga perang ageng karena merupakan perang yang paling besar, dengan banyak korban yang berjatuhan. Perang ini diakhiri dengan kemenangan di pihak kesatria. Adegan ini melambangkan bahwa manusia sudah dapat menyingkirkan segala rintangan dan hambatan guna mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Adegan terakhir adalah tancep kayon sebagai penutup pada pagelaran wayang tersebut, yaitu kayon ditancapkan di tengah-tengah kelir sebagaimana halnya ketika pertunjukan wayang belum dimulai. Adegan tancep kayon ini melambangkan proses maut, yaitu manusia sudah meninggalkan alam fana menuju ke alam baka yang kekal dan abadi. Pada akhir pertunjukan wayang kulit purwa seringkali dimainkan tarian wayang golek wanita yang menyiratkan suatu anjuran agar para penonton mencari makna atau ajaran dari pagelaran wayang tersebut. Ada pula yang tidak memainkan boneka kayu, melainkan menarikan tokoh ksatria pemenang, misal Werkudara. Adegan ini disebut tayungan.

2.2.3.2Penokohan

(34)

(e) apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikehendaki tentang dirinya atau diri orang lain.

Pada proses penokohan, ada dua teknik yang digunakan, yaitu:

(1) Teknik analitik, yaitu teknik penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang.

Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan dengan seoarang yang tak mempunyai kelamin, mempunyai perut yang besar, dan kepalanya ditutup dengan topi kuncung putih. Pelukisan tersebut menggambarkan bahwa Semar seorang yang bijaksana dan mempunyai ilmu banyak.

(2) Teknik dramatik, yaitu teknik penampilan tokoh yang dideskripsikan pengarang secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Sifat dan watak tokoh bisa diketahui melalui cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan pelukisan fisik.

Contoh : Semar dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dilukiskan sebagai seorang tokoh yang bijaksana. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa adegan dalam lakon tersebut, bagaimana Semar menghadapi orang-orang yang menentang dia. Semar tetap terlihat sabar dalam menghadapi orang-orang tersebut.

(35)

berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (http://wcatatansingkat.blogspot.com/2011/01/tokoh-dan-penokohan-dalam-cerpen.html).

Satoto (1985:25) membagi tokoh menurut kejiwaannya menjadi empat, yaitu:

(1) Tokoh Protagonis, yaitu peran utama yang merupakan pusat atau sentral cerita.

(2) Tokoh Antagonis, yaitu peran lawan yang menjadi musuh atau penghalang tokoh protagonis yang menyebabkan timbulnya tikaian (konflik).

(3) Tokoh Tritagonis, yaitu peran penengah yang bertugas menjadi pelerai, pendamai atu pengantar protagonis dan antagonis.

(4) Tokoh Peran Pembantu, yaitu peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik (tikaian) yang terjadi tetapi ia diperlukan untuk membantu menyelesaikan cerita.

Tokoh dilihat dari segi perkembangan wataknya dapat dibedakan menjadi delapan. Di bawah ini pembagian tokoh menurut wataknya.

(36)

(cakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton atau publik). Fungsi utama tokoh andalan adalah memberi gambaran lebih terperinci tentang protagonis.

(2) Tokoh Bulat, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik jenis lakon maupun roman atau novel yang diperikan segi-segi wataknya hingga dapat dibedakan dari tokoh-tokoh yang lain. Tokoh-tokoh bulat dapat mengejutkan pembaca, pendengar, atau penonton karena kadang-kadang terungkap watak yang tak terduga.

(3) Tokoh Datar sama dengan tokoh pipih, yaitu tokoh dalam karya sastra, baik lakon maupun roman atau novel yang hanya diungkapkan dari satu segi wataknya. Tokoh semacam ini sifatnya statis, tidak dikembangkan secara maksimal. Tokoh-tokoh dalam tetater tradisional bentuk wayang pada umumnya termasuk tokoh datar atau okoh pipih.

(4) Tokoh Durjana, yaitu tokoh jahat dalam cerita. Pada lakon, tokoh durjana menjadi biang keladi atau pengahasut. Misal pada tokoh wayang Sakuni. (5) Tokoh Lawan, sama dengan tokoh antagonis.

(6) Tokoh Statis, yaitu tokoh yang dalam lakon maupun roman atau novel perkembangan lakunya sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak berubah. (7) Tokoh Tambahan, yaitu tokoh dalam lakon yang tidak mengucapkan sepatah

katapun. Mereka tidak memegang peranan, bahkan tidak penting sebagai individu.

(37)

2.2.3.3Latar atau Setting

Abrams (1981:175) latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton (1965) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk mengoperasikan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuaannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi lataryang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita (Nurgiyantoro 2005:217).

Nurgiyantoro (2005:218-222) membagi latar menjadi empat, yaitu (1) latar fisik, (2) latar spiritual, (3) latar netral, dan (4) latar tipikal.

(38)

pengarang yang melukiskan secara rinci, sebaliknya ada pula yang sekedar menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tak secara khusus menceritakan situasi latar.

(2) Latar Spiritual, nilai-nilai yang melingkupi dan dimiliki oleh latar fisik. Latar spritual berupa tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar spiritual dalam fiksi, khususnya karya-karya fiksi Indonesia hadir dan dihadirkan bersama dengan latar fisik. Hal ini akan memperkuat kehadiran, kejelasan, dan kekhususan latar fisik yang bersangkutan. adanya deskripsi latar spiritual inilah yang menyebabkan latar tempat tertentu, misalnya Jawa dapat dibedakan dengan tempat-tempat lain.

(3) Latar Netral, latar netral tidak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang ditunjukkan latar tersebut merupakan sifat umum terhadap hal sejenis, misalnya desa, kota, hutan, pasar, sehingga sebenarnya hal itu dapat berlaku di mana saja. Artinya, jika tempat-tempat tersebut dipindahkan, hal itu tidak akan mempengaruhi pemplotan dan penokohan.

(4) Latar Tipikal, latar ini memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu, baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun sosial.

(39)

dari setiap peristiwa. Perumusannya, latar dipandang sebagai bagian jenis informasi, evaluation atau penilaian, collateral atau yang mengiringi, di mana atau where, kapan atau when, while, saat atau waktu dalam masalah apa kejadian itu ditempatkan. Pada konteks ini latar dibicarakan dalam non-events. Jelasnya, latar (setting) dalam lakon tidak sama dengan panggung. Panggung merupakan perwujudan dari setting. Setting mencakup dua aspek penting yaitu, (1) aspek ruang, dan (2) aspek waktu. Di samping dua aspek tersebut, ada satu aspek lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu (3) aspek suasana.

(1) Aspek Ruang

Aspek ruang menggambarkan tempat terjadinya peristiwa dalam lakon. Pada drama tradisional, tempat terjadinya peristiwa dalam lakon sering diidentifikasikan dengan tempat dalam realita. Lokasi atau tempat terjadinya peristiwa dalam lakon dapat di istana, rumah biasa, hutan, gunung, langit, laut, pantai, tempat peperangan, dan sebagainya. Peristiwa itu juga bisa terjadi di dunia atau di kahyangan. Jika lokasi terjadinya peristiwa bertempat di dalam diri manusia itu sendiri, maka akan timbul konflik batin yang sulit dileraikan. Manusia dalah sumber segala konflik, maka manusia pulalah yang harus menyelesaikannya.

(2) Aspek Waktu

Aspek waktu dibagi menjadi dua bagian, yaitu (a) waktu cerita dan (b) waktu penceritaan.

(40)
(41)

2.2.3.4Tema dan Amanat

Tema pada Kamus Istilah Drama (2003:109) diartikan sebagai gagasan, ide, pikiran utama dalam karya drama. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum inilah yang digunakan oleh pengarang untuk mengembangkan cerita (Nurgiyantoro 2005:70).

Satoto (1985:15) mendeskripsikan tema dalam suatu karya sastra bukan merupakan pokok persoalannya melainkan lebih bersifat ide sentral (pokok) yang dapat terungkapkan baik secara langsung maupun tak langsung. Jadi, tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak.

Amanat dalam lakon adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada publiknya. Teknik menyampaikan pesan tersebut dapat secara langsung maupun tak langsung, secara tersurat, tersirat atau simbolis. Mohammad Kanzunnudin (2003:5) mendeskripsikan amanat sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang naskah drama atau sastra kepada penonton atau pembaca.

(42)

pendekatan atau penafsiran terhadap tema dan amanat dalam lakon wayang yang dipagelarkan oleh dalang.

Jika tema dalam lakon merupakan ide sentral yang menjadi pokok persoalannya, maka amanat merupakan pemecahannya. Tema dan amanat dalam seni satra sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Jadi tema dan amanat tidak terlepas dari konteksnya.

2.3 Kerangka Berpikir

2.3.1 Bagan Kerangka Berpikir

CD pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito

Mengumpulkan dan mentranskripsi data Identifikasi Masalah

Mengalisis data dengan menggunakan teori strukturalisme dan metode

analisis struktural

Hasil Analisis Data

(43)

Lakon Semar Mbangun Kayangan yang menceritakan tentang simbol rakyat menghendaki para pemimpin untuk membangun jiwa. Pada lakon ini pula terlihat bahwa terkadang penguasa salah menafsirkan kehendak rakyat, memperlakukan rakyat sebagai objek yang bodoh, penguasa cenderung bertangan besi dan mau menang sendiri. Pada Semar Mbangun Kahyangan ini terlihat pada akhirnya penguasa yang lalim akan terkoreksi oleh rakyat jelata.

Permasalahan yang akan dikaji pada lakon Semar Mbangun Kayangan yaitu struktur lakon lakon wayang tersebut. Di dalam struktur lakon terdapat unsur-unsur intrinsik dari suatu karya sastra, yaitu alur, tokoh dan penokohan, latar, serta tema dan amanat. Struktur lakon wayang yang berupa tiga tahapan akan dibahas pada bagian alur.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan menyimak dan menonton pertunjukan wayang kulit lakon Semar Mbangun Kayangan yang terdapat pada kepingan CD produksi Dunia Hijau Record. Data tersebut berupa transkrip teks monolog dan dialog antar tokoh dalam lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito.

Data yang dihasilkan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis struktural sastra, yaitu metode untuk membedah unsur-unsur karya sastra, terutama unsur-unsur intrinsik dari sebuah karya sastra. Hasil analisis data berupa pendeskripsian dari unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada lakon wayang Semar Mbangun Kayangan.

(44)
(45)

32 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada unsur-unsur intrinsik. Masalah mendasar yang diungkapkan dalam pendekatan objektif misalnya citra bahasa, stilistika, dan aspek-aspek lain yang berfungsi untuk menimbulkan kualitas estetis. Pada fiksi, yang dicari misalnya unsur-unsur plot, tokoh, latar, kejadian, sudut pandang, dan sebagainya. Pendekatan objektif akan digunakan untuk mengeksploitasi semaksimal mungkin unsur-unsur intrinsik dari suatu karya sastra (Ratna 2008:73-74).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis struktural. metode analisis struktural bertujuan untuk mengkaji fungsi dan keterkaitan antar unsur pembangun dalam karya sastra. Teeuw (1988:135) menyimpulkan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

3.2 Sasaran Penelitian

(46)

33

Data dalam penelitian ini berupa penggalan teks cerita beserta dialog yang diambil dari rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito. CD lakon wayang ini diproduksi oleh Dunia Hijau Record yang direkam pada tanggal 6 Agustus 2007 saat Ki Hadi Sugito mengadakan pagelaran wayang di Wates, Kulonprogo.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik menyimak. Teknik menyimak yaitu suatu kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta intepretasi untuk memperoleh informasi (http://kleang.blogspot.com/2010/02/pengertian-definisi-dan-fungsi.html). Pada penelitian ini yang disimak bukan merupakan hasil wawancara melainkan rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar Mbangun Kayangan yang didhalangi oleh Ki Hadi Sugito. Penggunaan teknik

menyimak ini dikarenakan bahan data berupa rekaman CD yang harus dilihat dan didengar dengan seksama untuk memperoleh data penelitian. Data dari hasil menyimak berupa teks atau transkrip yang berisi dialog serta monolog dalam pertunjukan wayang lakon Semar Mbangun Kayangan. Data tersebut selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif.

3.4 Teknik Analisis Data

(47)

Adapun secara rinci langkah kerja yang dilakukan dalam menganalisis data dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah sebagai berikut:

1. Mendengarkan dan menonton rekaman CD pertunjukan wayang dengan lakon Semar Mbangun Kayangan oleh Ki Hadi Sugito.

2. Menstrankripsi monolog dan dialog dalam rekaman ke dalam bentuk teks atau tulisan.

3. Menganalisis sehingga ditemukan alur, tokoh dan penokohan, latar, serta tema dan amanat dalam lakon Semar Mbangun Kayangan.

(48)

35 BAB IV

STRUKTUR LAKON WAYANG SEMAR MBANGUN KAYANGAN

Lakon wayang Semar Mbangun Kayangan garapan Ki Hadi Sugito merupakan salah satu jenis lakon wayang dalam dunia pewayangan. Lakon wayang Semar Mbangun Kayangan akan dianalisis struktur lakon yang meliputi alur (plot), penokohan (perwatakan), latar (setting), serta tema dan amanat.

4.1 Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan

4.1.1 Jenis Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan

Dilihat dari segi mutunya, alur yang digunakan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur longgar. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu, jika salah satu peristiwa dihilangkan maka tidak akan mengganggu keutuhan dan jalannya cerita. Pada alur longgar, sering disisipi alur-alur bawahan. Alur bawahan ini merupakan lakuan tersendiri, tetapi masih ada hubungannya dengan alur utama. Alur bawahan dalam lakon ini terdapat pada adegan ke-12 dan ke-21. Adegan ke-12 menceritakan Wisanggeni yang berperang dengan Jaramaya.

Seperti kutipan di bawah ini.

(WISANGGENI DAN JARAMAYA BERPERANG) JARAMAYA

Njuk upama ta kowe wani karo aku sing mbok nggo kekuatan seko ngendi? ‘Jika kamu berani dengan saya lalu kekuatan yang kamu pakai berasal dari mana?’

WISANGGENI

(49)

‘Kurang besar berselimut awan kurang tinggi naik gunung. Saya pendek kamu tinggi, memukul kepalamu tidak perlu naik tangga.’

JARAMAYA

Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek. Ora uman patan aku.

‘Aa, besar omongmu. Lelaki kok tingkah lakunya jelek. Tidak sesuai. Aku prajurit, menendang, menyepak. Tidak tersisa kesempatan.’

WISANGGENI

Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.

‘Ayo maju ke sini. Meskipun besar tapi kalau seperti Kakek Jaramaya hanya duduk-duduk saja. Sesudah makan kenyang, tidur.’

JARAMAYA

(50)

37

MALING SUKMA

Arepa kaya ngapa tetep ora isa jalaran Gathutkaca Antareja dha weruh awake dhewe. Kowe majua kono Dhi, gentenan.

‘Seperti apapun tetap tidak bisa karena GAthutkaca, Antareja bisa melihat kita. Kamu maju Dik, kita gantian.’

MALING RAGA Wuuh, paling ya kalah. ‘Wuuh, paling juga kalah.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 7)

Menurut jumlahnya, alur lakon Semar Mbangun Kayangan adalah alur tunggal. Pada alur tunggal hanyalah terdapat satu alur atau terdapat satu tokoh yang diceritakan kisah hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapi. Pada lakon Semar Mbangun Kayangan, tokoh yang disorot adalah Ki Semar Badranya. Ki Semar Badranaya yang ingin memperbaiki jiwa para pandhawa dan mendapatkan banyak halangan dari orang-orang yang memusuhinya, tetapi akhirnya tetap Ki Semar Badranaya yang menang dengan berhasil membangun jiwa para pandhawa. itulah inti dari lakon wayang Semar Mbangun Kayangan.

Dilihat dari segi prosesnya, alur dalam lakon ini termasuk alur menanjak (rising plot). Tahapan alur dalam lakon ini yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan. Lakon ini juga menggunakan alur maju (progressive plot), di mana peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lakon ini berurutan dan berkesinambungan secara kronologis dari awal sampai akhir. Lakon Semar Mbangun Kayangan menceritakan awal rencana Ki Semar Badranaya

(51)

4.1.2 Struktur Alur Lakon Semar Mbangun Kayangan

Tahap penceritaan yang digunakan dalam lakon Semar Mbangun Kayangan terdiri dari enam tahap, yaitu eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi, dan keputusan.

4.1.2.1 Eksposisi

Pada tahap ini dhalang memperkenalkan cerita kepada penonton. Pengenalan cerita berupa monolog atau dalam lakon wayang disebut sebagai janturan. Tahap ini berisi tentang sekilas informasi awal lakon wayang yang

berfungsi sebagai pengenalan cerita sehingga penonton bisa masuk dan terlibat dalam tiap adegan.

Tahap eksposisi dalam lakon Semar Mbangun Kayangan dapat diketahui melalui janturan pada awal adegan pertama. Dalam tahap eksposisi ini digambarkan keadaan Kraton Ngamarta yang makmur, sejahtera, subur, aman, dan terkenal di mancanegara.

Seperti dalam kutipan di bawah ini.

Adegan : bagian awal adegan pertama Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

JANTURAN

…Ing ngajeng wus kacarita yen wewengkon kraton ngamarta iku loh jinawi. Pasemone tulus kang sarwa tinandur dadi mapan siti ketumpangan

wareh, apa ingkang katancepaken tuwuh ijo royo-royo. Jinawi kekawining

tembung murah kang sarwa tinuku amarga saka saking prigeling kawula

kang sami among tani satma mahananing prabuga lan wastra. Ora mokal

(52)

39

lakuning para sudagar layar para nangkuda ingkeng pantor dalu labet

datan wonten pedhote tansah lumintir saking wewengkon kraton ing

(53)

Seperti dalam kutipan dialog di bawah ini. Adegan : 2 bagian awal

Tempat : Sitinggil Binartatra

Pathet : Nem

(PETRUK MENGHADAP PRABU PUNTADEWA UNTUK

MENYAMPAIKAN PESAN AYAHNYA YAITU MEMBOYONG PANDHAWA KE KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBANTU KI SEMAR BADRANAYA MEMBANGUN KAYANGAN)

PETRUK

Menawi sampun katampi mbok bilih wonten longgaring penggalih. Ing palenggahan menika sinuwun sakadang kalebet Ndara Werkudara, Ndara Janaka, Ndara kembar dipunaturi rawuh wonten Karang Kapulutan kanthi ngampil pusaka tetiga, sepisan Kalimasada Jamus Kalimasada, ingkeng angka kalih kagungan Ndalem Tumbak Karawelang, ingkeng angka kaping tiga kagungan Ndalem Songsong Tunggulnaga awit minangka kangge sarana bapak anggenipun badhe mbangun kayangan. ‘Jika sudah diterima jika ada kelonggaran pikiran. Di tempat pertemuan ini sinuwun sekeluarga termasuk Ndara Werkudara, Ndara Janaka, Ndara Kembar disuruh datang ke Karang Kapulutan dengan membawa tiga pusaka, yang pertama jamus kalimasada, yang kedua kepunyaan sinuwun Tumbak Karawelang, yang ketiga kepunyaan sinuwun Songsong Tunggulnaga karena sebagai sarana bapak untuk membangun kayangan.’ PRABU PUNTADEWA

Sing bakal dibangun kayangan ngendi tah? ‘Yang akan dibangun kayangan mana?’ PETRUK

Kula mboten ngertos. ‘Saya tidak tahu.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 1)

(54)

41

akhir adegan ke-2. Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil Binartatra dengan rasa marah karena merasa dirinya tidak dianggap oleh Prabu Puntadewa.

Seperti pada kutipan dialog di bawah ini. Adegan : 2 akhir

Tempat : Sitinggil Binartatra

Pathet : Nem

(BATHARA KRESNA MARAH KARENA MERASA DIRINYA TIDAK DIANGGAP DALAM PERTEMUAN AGUNG DI SITINGGIL BINARTATRA)

BATHARA KRESNA

Nuwun sewu yayi, gandheng wonten kedadosan kados mekaten, sakmenika ingkeng raka badhe nyuwun pirsa. Yayi taksih badhe ngginaaken dhatenging ingkeng raka menapa mboten? Yen pancen sampun mboten ngginaaken dhatenging raka, mboten perlu kula kempal wonten Ngamarta.

‘Permisi Yayi, karena ada kejadian seperti ini, sekarang Raka akan bertanya. Yayi masih menggunakan kedatangan Raka apa tidak? Jika memang sudah tidak menggunkana kedatangan Raka, tidak perlu saya kumpul di Ngamarta.’

PRABU PUNTADEWA

Dhuh, Kaka Prabu, banjur kados pundi pun duka sesembahan kula, banjur kados pundi kaka prabu minangka dadosipun para pandhawa? Lajeng menapa dhasaripun?

‘Duh, Kaka Prabu, kenapa Kaka Prabu sebagai penasihat kami malah marah, lalu bagaimana Kaka Prabu sebagai tempat berlindung pandhawa? Lalu apa dasarnya?’

BATHARA KRESNA

(55)

jawata. Pramila saking penulu mekaten kalawau, yen pancen yayi awrat dhateng aturipun Petruk mboten perlu ngangge Kresna.

‘Petruk ngomong jika Kakang Semar akan membangun kayangan. Kayangan ini yang punya dewa. Benar Kakang Semar itu titisannya dewata, tetapi sesudah Kakang Semar turun ke bumi, itu sudah termasuk kodratnya di bumi. Jika dewata membolehkan Kakang Semar mempunyai keinginan seperti itu, para pandhawa supaya membantu itu akan membabarkan kebaikan Kakang Semar. Sebaliknya jika dewata tidak membolehkan para pandhawa membantu pasti akan dihukum dewata. Maka dari itu dari perkataan seperti tadi, jika yayi berat terhadap omongan Petruk tidak perlu menggunakan Kresna.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 1) Kutipan dialog di atas memperlihatkan kemarahan Bathara Kresna karena sikap Prabu Puntadewa yang plin plan dan dinilai membela Petruk. Beliau merasa dirinya tidak dianggap dan tidak dibutuhkan dalam pertemuan agung di Sitinggil Binartatra. Bathara Kresna meninggalkan Sitinggil Binartatra dengan rasa marah.

4.1.2.3 Komplikasi

Pada tahap ini terjadilah persoalan baru dalam cerita atau disebut juga rising action. Di sini persoalan mulai merumit dan gawat, maka tahap ini disebut perumitan atau penggawatan. Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, komplikasi pertama terjadi pada adegan ke-4, yaitu ketika Bathara Kresna menghasut Raden Janaka, Raden Gathutkaca, Raden Antareja, dan Raden Sentyaki untuk menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya membangun kayangan dan beliau juga menyuruh mereka untuk mengusir Petruk dari Kraton Ngamarta.

(56)

43

Tempat : Kraton Ngamarta

Pathet : Nem

(BATHARA KRESNA MENYURUH RADEN GATHUTKACA, RADEN ANTAREJA, DAN RADEN SENTYAKI UNTUK MENGUSIR PETRUK DARI KRATON NGAMARTA)

BATHARA KRESNA

Nembe iki lagi ana pitakonan mengkono, ning Petruk kandheg ora ngerti karepe Kakang Semar. Lha Petruk tak ngendikani akeh-akeh lagi iki mau aku diwaneni karo Petruk. Mula Gathutkaca, Antareja, lan Sentyaki, kowe sing bocah enom bisaa ngrawuhi marang Petruk Kanthong Bolong. Coba saiki Petruk balikna, elikna supaya Kakang Semar gagal nggon bakal mbangun kayangan. Yen pancen manut, sukur binagiya. Yen ora manut, diruda padeksa.

‘Baru kali ini ada pertanyaan seperti itu, tetapi Petruk berhenti tidak tahu apa yang dimaksud Kakang Semar. Saya berbicara banyak sama Petruk kok malah baru kali Saya dilawan Petruk. Makanya Gathutkaca, Antareja, dan Sentyaki, kalian yang masih muda, datangilah Petruk Kanthong Bolong. Coba sekarang Petruk dipulangkan, ingatkan supaya Kakang Semar tidak jadi membangun kayangan. Jika dia nurut, syukur banget.

Nyuwun pangestu. Kula badhe manggihi Petruk Kanthong Bolong. ‘Minta doa restu. Saya akan menemui Petruk Kanthong Bolong.’ RADEN SENTYAKI

Nyuwun pangestu Kaka Prabu. ‘Minta doa restu Kaka Prabu.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 2)

(57)

Komplikasi kedua muncul pada adegan ke-8. Dalam adegan ini diceritakan Bathara Kresna datang ke kayangan melaporkan kepada Bathara Guru tentang rencana Ki Semar Badranaya membangun kayangan. Tanpa berpikir panjang, Bathara Guru menyuruh Bathara Kresna untuk menggagalkan rencana Ki Semar Badranaya.

Seperti pada kutipan berikut ini. Adegan : 8

Tempat : Kayangan Jonggring Sloka

Pathet : Nem

(BATHARA GURU MENYURUH BATHARA KRESNA UNTUK

MEMBAWA KI SEMAR BADRANAYA MENGHADAP

KEPADANYA) BATHARA GURU

E,e,e. Iya, kulun tampa ngger. Senadyan ta kepiye wae kakang Semar tetep luput, awit kayangan dudu kuwajibane Kakang Semar. Wis ta, dina iki kowe kulun utus aja nganti ketara yen dewa bakal paring uninga utawa ndandani keluputane Kakang Semar sing nganti disekseni para titah. Becik kita mudhuna ning marcapada, Kakang Semar boyongen mrene. ‘E,e,e. Iya, kulun terima Nak. Meskipun bagaimana Kakang Semar tetap salah, karena kayangan bukan kewajiban Kakang Semar. Ya sudah, hari ini kamu kulun perintah jangan sampai terlihat jika dewa akan memberikan peringatan atau memperbaiki kesalahan Kakang Semar yang sampai disaksikan para manusia. Lebih baik kamu turun ke bumi, Kakang Semar bawa ke sini.’

BATHARA KRESNA

Upami mangke ngantos kelampah Kakang Semar mbreguguk ngutha waton mbegundhang datan para ratu.

‘Seandainya nanti sampai terjadi Kakang Semar tetap melawan kita.’ BATHARA GURU

Dirada kasembadan banjur dirampungi. Awit bakal nyampar mestaka mlumpate kuwidanganing dewa.

(58)

45

(59)

‘Yang diminta ya raksasa seperti kamu, namanya ya seperti kamu, matanya juga seperti kamu.’

JARAMAYA

Ngomong wae njaluk mataku. Ora sewiyah-wiyah Pret. Kowe ya apa kira-kira karo pandhawa manunggal?

‘Bilang saja minta mata saya. Jangan seenakmu sendiri Pret. Kamu dengan pandhawa apa kira-kira bersatu?’

WISANGGENI

Mripatmu mengko tak dandani. He, Kaki Jaramaya, sawangen aku sapa. ‘Matamu nanti saya perbaiki. He, Kaki Jaramaya, lihatlah aku siapa.’ JARAMAYA

(60)

47

bebaya sing mlebu ana Karang kapulutan iku gawane Ndara Kacanegara. Saka kaca panemuku, tentrem ya seka ndara iki. Ora ya seka ndara iki. ‘Nah karena Ndara Antareja sampai sini bersama Ndara Gathutkaca. Meskipun tadi Ndara Gathutkaca dengan saya sudah berbaik hati, tetapi kenyataanya yang membawa Ndara Antareja adalah Ndara Gathutkaca. Jadi bahaya yang masuk di Karang Kapulutan itu yang membawa Ndara Gathutkaca. Dari kaca penglihatanku, tentram ya dari Ndara. Tidak juga dari Ndara.’

RADEN GATHUTKACA

Wis, ra sah padha pating greneng. Kakang Antareja tak ajare. ‘Sudah, tidak usah ngomel-ngomel. Kakang Antareja akan kuhajar.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 6) Berdasarkan kutipan di atas Raden Gathutkaca marah dan merasa menyesal karena membawa Raden Antareja ke Pedhukuhan Karang Kapulutan. Hal yang membuat beliau sangat marah karena Raden Antareja menggigit Raden Abimanyu sampai meninggal. Raden Gathutkaca memutuskan untuk menghajar Raden Antareja.

Tahap komplikasi selanjutnya berlangsung pada bagian akhir adegan ke-19. Pada adegan tersebut diceritakan bahwa Raden Gathutkaca dan Raden Antareja mengetahui pelaku yang telah masuk ke dalam raga Raden Antareja, sehingga membuat beliau membunuh Raden Abimanyu. Mereka berdua memutuskan untuk membunuh Maling Sukma.

Seperti pada kutipan di bawah ini. Adegan : 19 akhir

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(RADEN GATHUTKACA DAN RADEN ANTAREJA TELAH

MELIHAT BIANG KELADI YANG MEMBUAT MEREKA

(61)

RADEN GATHUTKACA

Ra patut banget. Adhuh Kangmas. Estu wonten denawa. ‘Nggak pantas sekali. Aduh Kangmas. Benar-benar ada jin.’ RADEN ANTAREJA

Wah, kurang ajar iki. Sing adu dedulur ya iki. Cekel tandhangi. ‘Wah, kurang ajar. Yang mengadu saudara ya ini. Hajar.’ RADEN GATHUTKACA

(62)

49

KI SEMAR BADRANAYA

Ora. Aku ora arep manut. Ora butuh tepung karo buta. ‘Tidak. Aku tidak akan nurut. Tidak butuh kenal raksasa.’ BATHARA KRESNA

Yen ora manut aku arep.. ‘Jika tidak nurut aku akan..’ KI SEMAR BADRANAYA Bathara Kresna melapor kepada Bathara Guru tentang kekalahan beliau melawan Ki Semar Badranaya beserta anak-anaknya.

Seperti pada kutipan di bawah ini. Adegan : 26

Tempat : Kayangan Jonggring Sloka

Pathet : Manyura

(BATHARA KRESNA MELAPOR KEPADA BATHARA GURU

TENTANG KEKALAHANNYA MELAWAN KI SEMAR

(63)

BATHARA KRESNA

Adhuh ketiwasan. Kakang Semar mbreguguk ngutha waton datan wong agung mboten purun kula boyongdhateng kayangan, kados sampun mangertos.

‘Aduh, Kakang Semar menantang pada orang besar, tidak mau saya ajak ke kayangan, seperti sudah tahu.’

‘Dhi Guru. Hati-hati Dhi. Kakang Semar itu orang tidak apa-apa, orang yang jujur. Adhi guru harus bisa melihat keadaan.’

BATHARA GURU

“Mboten. Kaya ngapa rupane Kakang Semar.”

(Semar Mbangun Kayangan Disk 8)

Kutipan dialog di atas menceritakan Bathara Guru yang marah saat mendengar laporan dari Bathara Kresna. Beliau akan menemui Ki Semar Badranaya dan menghajarnya.

4.1.2.4 Krisis

Dalam tahap ini persoalan telah mencapai puncaknya (klimaks). Pertikaian atau persoalan yang ada harus diimbangi dengan adanya jalan keluar (resolusi). Dalam lakon Semar Mbangun Kayangan, krisis dimulai ketika Petruk didatangi oleh Raden Gathutkaca, Raden Sentyaki, dan Raden Antareja. Mereka ingin mengusir Petruk dari Ngamarta, dan kalau Petruk tidak mau akan dianiaya. Krisis yang terjadi pertama kali pada adegan ke-5.

(64)

51

‘Aku mendapatkan perintah dari Kaka Prabu Dwarawati. Hari ini Petruk disuruh pulang. Malah bapakmu Kakang Semar ingatkan maksudnya untuk membangun kayangan.’

PETRUK

Ah, panjenengan niku wong mau mboten ndherek rembugan kok. Kula niki mpun wong tuwa dudu bocah wingi sore. Saweg keng raka kemawon kula mboten ajrih dipundukani. Jer duwe dedhasar aku wong bener. Napa malih Ndara Sentyaki.

‘Ah, anda tadi kan tidak ikut diskusi.Saya ini sudah orang tua bukan anak baru kemarin. Dengan ayah saja saya tidak takut dimarahi. Dengan berdasar aku orang benar. Apalagi dengan Ndara Sentyaki.’

RADEN SENTYAKI

Aja gawe muringku. Petruk gelem bali apa ora?

‘Jangan membuatku marah. Petruk mau pulang apa tidak?’ PETRUK

Menawi dereng nampi ngendikanipun Gusti kula nata Ngamarta, kula dereng badhe wangsul.

(Semar Mbangun Kayangan Disk 2) Kutipan dialog di atas menceritakan tentang Raden Sentyaki yang marah karena Petruk tidak mau mematuhi perintahnya. Akhirnya Raden Sentyaki menghajar Petruk.

(65)

Wis saiki ngene apike, kowe baliya. Mengko ganti wektu aku bakal ganti nekani ana kana, ndherekke Wa Kresna.

‘Ya sudah, sekarang lebih baik kamu pulang. Nanti lain waktu ganti aku yang datang ke sana, mengantarkan Wa Kresna.’

PETRUK

Ah, mboten sah. Sing perlu pancen kula keparingan dhawuh kula kedah wangsul ning sageda saking Sinuwun Ngamarta menapa para kadang-kadangipun. Yen Keng Wa Dwarawati niku kalih kula mpun mboten cocok. ‘Ah, tidak usah. Yang pasti saya harus mendapat perintah pulang dari Sinuwun Ngamarta atau saudara-saudaranya. Keng Wa Dwarawati itu dengan saya sudah tidak cocok.’

RADEN GATHUTKACA

Ming kowe gari gelem bali apa ora? ‘Kamu mau pulang apa tidak?’ PETRUK

Melalui kutipan di atas diketahui bahwa Raden Gathutkaca marah karena Petruk tidak mematuhi perintahnya untuk pulang ke Pedhukuhan Karang Kapulutan. Raden Gathutkaca memotong leher Petruk.

(PETRUK DISERANG OLEH RADEN ANTAREJA) PETRUK

Nembe pinanggih keng rayi Ndara Gathutkaca. Sarenng kula ndongeng ingkeng werni-werni Ndara Gathutkaca njur ngendika ya wis tak nang Karang Kapulutan.

‘Baru bertemu Ndara Gathutkaca. Sesudah saya bercerita banyak, Ndara Gathutkaca lalu berbicara akan ke Karang Kapulutan.’

RADEN ANTAREJA

Merga kena pengaruhmu ya. Sing jenenge Petruk, Gareng, Bagong kuwi pembujuk elek. Ayo minggat. Ora gelem bali, ngati-ati

(66)

53

PETRUK

Kula niki badhe mang napakke? Wong kula mboten wonten rembug sulaya kaliyan njenengan. Panjenengan kalih kula kok lajeng ngendika mekaten rak ya kleru ta. Mbok nggih disabarke. Dadi satriya niku kedah sing menasehati Raden Antareja supaya menjadi kesatria yang penyabar. Raden Antareja tidak senang mendengarnya dan beliau akan membunuh Petruk.

Tahap krisis kedua dalam lakon Semar Mbangun Kayangan terjadi pada adegan ke-9. Pada adegan ini diceritakan Bathari Durga menyuruh anak buahnya untuk turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan guna membunuh Ki Semar Badranaya.

Seperti pada kutipan di bawah ini. Adegan : 9

Tempat : Kayangan Ganda Mayit

Pathet : Nem

(BATHARI DURGA MENYURUH JARAMAYA TURUN KE PEDHUKUHAN KARANG KAPULUTAN GUNA MEMBUNUH KI SEMAR BADRANAYA)

BATHARI DURGA

(67)

‘Perintahkan kepada anak buahmu, dua raksasa yang kamu pilih pencuri jiwa pencuri raga supaya masuk ke Karang Kapulutan membunuh Kakang Semar atau siapa saja yang akan membela Kakang Semar.’

JARAMAYA

Inggih. Ngestokaken dhawuh Bu. ‘Iya. Melaksanakan tugas Bu.’

(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Berdasarkan dialog di atas dapat diketahui bahwa Bathari Durga menyuruh Jaramaya dan anak buahnya turun ke Pedhukuhan Karang Kapulutan guna membunuh Ki Semar Badranaya atau siapapun yang mendukung Ki Semar Badranaya.

Tahap krisis yang ketiga berlangsung pada bagian akhir adegan ke-12. Pada adegan ini diceritakan Wisanggeni menyamar menjadi Kampret. Beliau malih rupa guna mengelabui Jaramaya. Ketika Jaramaya tahu bahwa Kampret

adalah Wisanggeni, maka terjadilah perkelahian. Seperti pada kutipan di bawah ini. Adegan : 12

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Nem

(WISANGGENI DAN JARAMAYA BERKELAHI) WISANGGENI

Saiki sambata, tak banda tanganmu, najan ora ana kene papanku. Ning sing kok rasani pepundhenku, wajib aku mbelani.

‘Sekarang mengeluhlah, aku ika tanganmu, meski tidak di sini tempatku. Tapi yang kamu omongkan adalah leluhurku, aku wajib membela.’

JARAMAYA

(68)

55

WISANGGENI

Kurang gedhe kemulan mega kurang dhuwur ancik-ancika gunung. Aku cendhek kowe dhuwur, nabok sirahmu ra sah ndadak ancik-ancik andha. ‘Kurang besar berselimut awan kurang tinggi naik gunung. Aku pendek kamu tinggi, memukul kepalamu tidak perlu naik tangga.’

JARAMAYA

Aa, glagag omongmu. Ing atase wong lanang kok tandange elek. Ora sembada. Lha wong aku satriya, nendhang, nyepak, ndugang, nyuwewek. Ora uman patan aku.

‘Aa, besar omongmu. Lelaki kok tingkah lakunya jelek. Tidak sesuai. Aku satria, menendang, menyepak. Tidak dapat jatah kamu.’

WISANGGENI

Ayo majua mrene. Senajan gedhea nek kaya Kaki Joromoyo ki mung klunggrak klunggruk. Bar mangan wareg, turu.

‘Ayo, maju ke sini. Meskipun besar tapi jika seperti Kaki Jaramaya hanya duduk-duduk. Sesudah makan kenyang, tidur.’

JARAMAYA

Lhadalah. Sewiyah-wiyah karo aku. Aja mlayu Wisanggeni. ‘Seenaknya sendiri denganku. Jangan lari Wisanggeni.”

(Semar Mbangun Kayangan Disk 4)

Kutipan dialog di atas menceritakan Jaramaya yang telah mengetahui bahwa Kampret adalah Wisanggeni. Wisanggeni mengejek Jaramaya. Jaramaya tidak terima dan terjadilah perkelahian.

Tahap krisis yang keempat terjadi pada adegan ke-17. Pada adegan ini terjadilah perkelahian antara Raden Gathutkaca dan Raden Antareja yang telah dirasuki oleh Maling Sukma.

Seperti pada kutipan di bawah ini. Adegan : 17

Tempat : Pedhukuhan Karang Kapulutan

Pathet : Manyura

(69)

RADEN GATHUTKACA

Kakang Antareja aja nggugu karepmu dhewe. Kakang Antareja tekang Karang Kapulutan karana Gathutkaca. Ana kedadeyan Abimanyu mati merga saka Kakang Antareja. Aku ora nrimakake.

‘Kakang Antareja jangan seenakmu sendiri. Kakang Antareja sampai Karang Kapulutan karena Gathutkaca. Ada kejadian Abimanyu meninggal karena Kakang Antareja. Aku tidak terima.’

RADEN ANTAREJA

Sing bodho ki kowe. Semar kae ki jane suwung blung ora ana apa-apane. Sing jenenge Badranaya kuwi ora ana apa-apane. Lha wong kaya ngono kok dha diguroni, wonge blak blak blak. Coba arep ana undhake apa kowe, He? Aja dha nggugu karo sing jenenge Badranaya. Ora sah nggugu karo wejangane Semar. Ora ana apa-apane Gathutkaca.

‘Yang bodoh itu kamu. Semar itu hanya kosong tidak ada apa-apanya. Yang namanya Badranaya itu tidak ada apa-apanya. Orang seperti itu kok dijadikan guru, orangnya blak blak blak. Akan ada kemajuan apa kamu? Jangan pada percaya sama nasihatnya Semar. Tidak ada apa-apanya Gathutkaca.’

RADEN GATHUTKACA

Senajan kaya mengkono ora ana kene papane perkara Kakang Antareja ora manut ngelmune Semar, mangsabara, ning aja nganggu sapa-sapa. ‘Meskipun seperti itu tidak di sini tempatnya Kakang Antareja tidak nurut ilmunya Semar, terserah, tapi jangan mengganggu siapa-siapa.’

RADEN ANTAREJA

Aku ora nrimakake yen para pepundhenku ming karo Semar kok dianggep. ‘Aku tidak terima jika para leluhurku hanya Semar kok dianggap.’

RADEN GATHUTKACA Ayo nutut banda.

‘Ayo tarung saja.’ RADEN ANTAREJA

Oo, ajar aku. Ngendi sing bakal pati. ‘Oo, hajar aku. Siapa yang mati.’

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendeskripsikan mengenai pesan-pesan moral pada Pertunjukan wayang kulit dalam Lakon “Wahyu Makutharama” dengan Dalang Ki Djoko Bawono di Desa Harjowinangun,

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang dapat dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan menyimak cerita wayang purwa lakon

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan aspek pendidikan demokrasi pada Wayang Kampung Sebelah Lakon Want to be Lurah sebagai Media Pembelajaran

Dari analisis yang dilakukan dapat diketahui bahwa, pertunjukan Wayang Calonarang lakon Kautus Rarung oleh dalang Ida Bagus Sudiksa sangat sesuai dengan apa yang

Pertama , Pesan dakwah pementasan wayang kulit lakon ”ma’rifat dewa ruci” oleh dalang Ki Enthus Susmono adalah: a] Dari segi bahasa (signing) penyampaian isi

Masalah yang pertama adalah wujud visual Wayang Timplong pada lakon Dewi Sekartaji Kembar ditinjau dari bentuk, warna muka, dan busana.. Kemudian rumusan masalah yang

Panliten kanthi irah-irahan Basa Pedhalangan Ki Sentho Yitno Carito Ing Pagelaran Wayang Purwa Sajrone Lakon Pendhawa Mbangun Bale Praba Yeksa kang ditintingi kanthi

Berdasarkan tujuan khusus tersebut maka penelitian ini secara tekstual memiliki tujuan: (1) mendeskripsikan struktur dramatik lakon Sudamala sajian Ki Nartasabda, Ki