• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepiting Bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepiting Bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah"

Copied!
290
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)

KARAKTERlSTlK HABITAT

DAN

KAITANWYA

DENOAN

KEBERADAAN

tlGA JENIS KEPlTlNG

BAKAU

(Scylb

oltvecee,

S.

tranqueberica,

dan

S . s m t i r )

Dl

PERMRAN

KARANG ANYAR. SEGARA ANAKAN, CllACAP

JAWA TENGAH

OLEH:

FITRINA

NAZAR

PROGRAM

PASCASARJANA

(152)

ABSTRAK

FITR1NA NAfAR. Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepiting Bakau (Scylla divacea, S. kanquebarica, dan S. serrafa) di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap, J a w Tengah. Dibimbing deh R F. KASWAWf, SUUSTIONO dan NAWANGSARl SUGIRI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik masing-rnasing habitat

kepiting bakau dan hubungannya dengan distribusi kepiting bakau

berdasarkan

jenis dan ukuran. Penelitian dilaksanaltan di perairan dan di daiam hutan mangrove Karang Anyar, Segara Anakan. Pengambilan data dilakukan setiap hari dari tanggal 1

September 2001 sampai dengan tanggal 31 Desember 2001.

Kondisi parameter kualitas air pada lokasi pengambilan sampel secara umum berbeda antar stasiun dan bulan, kecuati untuk parameter suhu tidak berbeda antar stasiun, dan kedalaman perairan tidak berbeda antar bulan. Untuk tekstur substrat

terdiri dari lumpur, fiat, dan pasir, dengan kandungan yang dominan lumpur.

Di Stasiun 4, 5, dan 6 ditemukan 9 genus mangrove

yang

terdiri dad 6 famili, dengan kerapatan tedinggi terdapat pada Stasiun 5 (30 individul 100 m?, baik katagofi pohon maupun anakan.

Sumber makanan alarni bagi kepiting bakau adalah bentos dan serasah. Bentos diernukan sebanyak 11 genus, dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada

Stasiun 4 sebanyak 67 individul mZ. Scars umum jumlah bentos yang ditemukan di

Stasiun I , 2, dan 3 (di perairan) lebih rendah dari Stasiun 4, 5, dan 6 (di hutan mangrove). Sedangkan untuk bobot serasah tertinggi didapatkan pada Stasiun 6,

sebanyak 41,41 gram/ m2.

Dari hasil penelitian didapatkan tiga jenis kepiting bakau, yaitu ScyiIa

olivecea,

S. franquebarica, dan S.

serrafa.

Kepiting jenis S. oiivacea dan S. tranquebarica

ukuran sedang dan besar cenderung menyebar bersama-sama. Kedua jenis ini

menempati Stasiurr 4, 5, dan 6 yang merupakan stasiun yang berada di

dalarn

hutan mangrove, tersebar di bulan Oktober, November, dan Desember.

Untuk kepiting bakau janis S. serrata keberadaannya cenderung terpisah dad

dua jenis lainnya. Jenis S. semta menempati Stasiun 1, 2, dan 3 yang berada di

perairan. S.

semfa

ukuran kecil tersebar di bulan November, sedangkan S. semta
(153)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang be judul:

KARAKERISTIK HABITAT DAN KAITANMYA DENGAN KEBERADABN TIGA JEWS KEPlllNG

BAKAU

(ScHta

d k m , & m-cbt, dun S. Dt

PERAIRAN KBRANG ANYAR, SEGARA AN-, CtLACAP J A W TENGAH

adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pemah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

(154)

KARAKTERISTIK HABITAT DAN KAITANNYA DENGAN

KEBERADAAN TIGA JENlS KEPfTlNG BAKAU

(ScyNa

olivacea, S. Pranquebarica,

dan

S.sernta)

Dl

PERAIRAN

KARANG

ANYAR, SEGARA ANAKAN, ClLACAP

JAWA TENGAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi

llmu

Kelautan

PROGRAM

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(155)

RfWAYAT HIDUP

FlTRlNA

NAZAR,

penulis adalah anak ke

empat

dari lima bersaudara dari pasangan dr. H. Nazantddin Tamin dm Hj. Fatimah Saidi, dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1975 di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Pmpinsi Sumatera Barat.

Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Negeri 4 Batusangkar dan SDN 27 Padang tahun 1982-1988, SMPN 1 Padang tahun 1988-1991, SMAN 1 Padang tahun 1991 -1 994. Pada bulan September tahun 1994 melanjutkan studi ke

program S1 pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang, yang diselesaikan pada bulan Agustus 1998. Semenjak bulan September 1999 penulis melanjutkan studi ke jenjang

S2

Program Studi llmu Kelautan

(IKL)

Program Pascasa jana tnstitut Pertanian Bogor.
(156)

Puji

syukur

yang tidak terhingga penulis

sampaikan

kehadirat Allah SVVT, dengan rahmEtt dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat dirampungkan. Penyusunan tesis ini dari awal srtmpai selesai tidak tedepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak

yang

telah meluangkan waktu memberikan arahan. masukan dan kritikan, domngan semangat, kesempatan. do'a

mstu.

serta

dukungan dana.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima

kasih yang sebesar-besarnya tenrtama kepada Bapak

Dr.

Ir.

R.F

Kaswadji, M.Sc selaku ketua

komisi

dan pembimbing pertama, Bapak Dr. Ir. Sulistiona, M.Sc dan Ibu Prof. Dr. Nawangsari Sugiri selaku anggota pembimbing. Bapak ReMor lnstitut Pertanian Bogor, Ibu Prof. Dr. Syafrida Manowoto, M.Sc selaku Direktur Program Pascasajana IPB beserta staf, Bapak Dr. lr. John I. Pariwono, M.Sc selaku

Ketua

Program Studi llmu

Kelaufan

(PS-IKL), Bapak

Dr.

lr. Mulia Purba, M.Sc beserta staf pengajar PPs-IKL lainnya atas kejasama, perfiatian,

semangat,

pengetahuan, dan kesempatan yang diberikan sdama menimba itmu di jenjang S2 pada PPs IPB.

Terima kasih yang tak temingga kepada Pak Muh. Hatta, Mbak Nur Asia dan keluarga, atas segala pertolongan, bantuan, dorongan semangat dan pengertiannya. DireMur PMeSACOP Cilacap beserta staf,

keluarga

Pak Kuatianto di Cilacap,

keluarga

Mas Wadi,

Mas

Bardi, Pak Sastm, Pak Lurah,

dan

Warsono di

Segara

Anakan atas

semua

fasiritas

dan

kernudahan yang telah diberikan.

Tdak

lupa

juga kepada semua rekan-rekan se-angkatan (IKL-99) atas kejasama, bantuan, dorongan semangat dan persahabatan yang fulus. Terima kasih yang

tak

terhingga kepada

Suparman

Sasmita, S.Pi dan Nunula Yenti, S.Pi, teman-teman di Sakura 11 LoJ? dan di Wrsma

Buchori

Darmaga atas semua bantuan, dukungan, dan doanya.

Akhirnya penolis persembahkan tesis ini sebagai buMi bakti, terima kasih dan pedanggungjawaban atas kepercayaan dan kesempatan

yang

diberikan

kepada

yang m u l i kedua

orang

tua Bapak dr. H. Nazaruddin Tamin, lbunda Hj. Fatimah Saidi, kakak-kakak dan adik-adik beserta seluruh keluarga besar

tercinta,

keponakan tersayang Fatia Farhani, juga M. Rifqi, S.Pi., M.Si. atas segah pengettian. dukungan, kepellcayaan, perhatian dan kasih yang tak pemah putus. Semoga segala bantuan, kemudahan, dan pengorbanan yang diberikan semua pihak, baik yang telah disebutkan di atas maupun yang tidak. diterima dan dinilai Allah S W disisi-Nya sebagai ibadah. Amien

...

Bogor, Oktober 2002

(157)

UAFTAR ISI

DAFTARTABEL

...

ix

DAFTAR GAMBAR

...

x

Latar Belakang

...

ldentifikasi dan Perurnusan Masalah

...

Tujuan dan Manfaat Penelitian

...

Tujuan Penelitian

...

Manfaat Penelitian

...

TINdAUAN PUSTAKA

...

...*...*...**.*..,...*.*

Kepiting Bakau

....

Klasifikasi dan Morfologi

...

.

.

...

...

Daur Hidup dan Habitat

...

...

Makanan dan Kebiasaan Makan

.

.

...

Preferensi Kepiting Bakau Terhadap Kualitas Air

Suhu

...

Salinitas

...

Derajat Keasaman (pH)

...

.

.

...

Fraksi Substrat

...

Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut Hutan Mangrove

...

...

Pengertian Hutan Mangrove

...

Potensi Hutan Mangrove

METODE PENELlTlAN

...

Lokasi dan Waklu Penelitian

Alat dan Bahan Penelitian

...

Metode Peneliiian

...

Lokasi Penelitian

...

...

Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya

...

(158)

...

Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat

Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove

...

Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobentos

...

Anafisis Data

... ...

..

...

Kelimpahan Makrozmbentos

...

Pola Oistribusi Kepiting Bakau

...

Kerapatan Jenis Mangrove

...

Parameter Kuaiitas Air Antar Stasiun dan Antar Bulan

...

Pengebmpobn Stasiuri Bedasarkan Karakteristik Lingkungan

...

Penyebaran (Distribusi) Kepiting Bakau per Jenis Antar Stasiun dan Antar Bulan

...

Hubungan Antar Bulan per Stasiun dengan Jenis per Keks Ukuran

...

KepFting Bakau

HASlL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Habitat Daerah Penelitian

...

Kuatitas Air dan Substrat

...

..,

...

Vegetasi Mangrove

...

Ketersediaan Makanan Alami Kepiting Bakau

...

...

Pengebmpokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan

...

Jumlah dan Sebaran Ukuran Kepiting b k a u per Jenis

...

Distribusi Kepiling Bakau Berdasarkan Umur Bulan

...

Hubungan Keberadaan Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat

KESIMPULAN DAM SARAN

Kesimpulan

...

Saran

...

(159)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp) menurut Keenan (1 999)

.

..

...

7

2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan

..

.. ...

. 25

3. Kisaran parameter kualis air per stasiun sebma penelitian

...

34 4. Rata-rata

suhu

sehma penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil

(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan)

...,...

35 - 5. Rata-rata salinitas selama penelitian dan hasit uji Beda Nyata Terkecil

(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan)

...

.. .

38

6. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil

(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian

...

40 7. Rata-rata kedalaman air selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata

Terkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bukn)

...,,,,...

42 8. Rata-rata fraksi substrat per stasiun

...

..

. . .

43

9. Kondisi dan lokasi penyebaran hutan mangrove di

Segara

Anakan

...

45 10. Daftar jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di daerah penelitian

..

46 11. Kerapatan mangrove per jenis dan per stasiun

...

48 12. Kelimpahan makrozoobentos di perairan Karang Anyar Segara

Anakan

...

...

...,. ... .

.

. .

.

...

.

51 13. Bobot serasah di Stasiun 4, 5, dan 6

.. .... ... ...

..

..

....

.. .. ..

... . . . .

53 14. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rata-rata jumlah kepiting

S.

serrata,

S,

tranquebarica, dan S. olivacea

...

59 15. Hasil uji Beda Nyata Terkecil

(BNT)

ukuran karapas kepiting jenis

S.

semta antar

umur

bulan hijriyah

...

...

..

.. ... .... .. ... . . .

66 16. Hasil uji Beda Nyata Terkecil

(BNT)

ukuran karapas kepiting jenis S.

tranquebarica antar umur bulan hijriyah

.

..

...

... .. .. .... .. .... .. ... .. ., .. .

67

17. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) ukuran karapas kepiting jenis S.

olivacea antar umur bulan hijriyah .

..

..

..

...

.. .. .. ... .. ... .. .

..

.. .. .. . . . . .

68

18. lndeks Morisita masing-masing jenis kepiting bakau

..

..

..

..

.. .... . .,.. .. ..

..

.

72

19. Prosentase kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata pada masing-masing stasiun berdasarkan karakteristik habitat

(160)

Halaman

...

.

1 Motfologi kepiting bakau

...

.

2 Daur hidup kepiting bakau

...

.

3 Peta bkasi penelitian

...

4

.

Skema metode pengambilan sampel

5

.

Hasil analisis sidik gerombol semua stasiun pada tiap bulan

...

pengamatan berdasarkan karakteristik lingkungan

. ... 6

.

Kepling bakau jenis S oiivacea

.

7

.

Kepiting bakau jenis

S

tranquebaflca

...

.

...*...

8

.

Kepiting bakau jenis S serrata

9

.

Grafik analisis faktorial koresponden antara jenis kepiting per kelas

...

(161)

Halaman

...

1

.

Perhitungan anova untuk jenis Scylla

serrata

89

.

...

2

.

Perhitungan anova untuk jenis

S

tranquebarica 96

...

...

.

...

3

.

Perhaungan anova untuk jenis

S

olivacea

,

,,

109

...

.

4 Hasil analisis faktorial koresponden 115

5

.

Hasil uji Beda Nyata Terkecif (BNT) rata-rata ukuran karapas kepiting

. .

S . serrata. S tranquebariea. dan S olivacea ... 120 6

.

Hasil analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S .

...

semta

yaw

lertangkap pada empat umur buhn berbeda 122 7

.

Hasil analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S .

tranquebarica yang tertangkap pad8 empat umur bulan berbeda

...

124

8

.

Hasif analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S .

olivacea yang tertangkap pada ernpat umur bulan beheda

...

126
(162)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Estuaria merupakan salah satu bentuk dari ekosistem lahan basah yang -

luasnya di Indonesia mencapai 38 juta ha (Wetland Indonesia. 1996). Kawasan- kawasan lahan basah (termasuk estuarial ini, mengalami

kenrsakan

yang

sangat

serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak bewawasan lingkungan. Hal ini mengakibatkan menyusutnya hutan mangrove,

hutan rawa, hutan gambut beseria keanekaragaman spesies flora dan fauna di dalamnya, pencemaran air karena penggunaan pupuk, racun

hama,

penyakit,

serta

berbagai industri dan kegiatan pertambangan. Masalah serius lainnya adalah

pelumpuran. karena kegiatan pertanian di lahan atas yang tidak memperhatikan teknik konsentasi hutan, tanah dan air.

Kawasan Estauria Segara Anakan memiliki luas 45 340 ha (Mumi, 1995).

Secara administrasi termasuk ke dalarn Kabupafen Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.

Kawasan ini terdiri atas daratan seluas 11 940 ha, perairan rawa bakau 29 400 ha, dan perairan rawa payau 4 000 ha. Estuaria Segara Anakan ini dibatasi oleh Pulau Nusakambangan

seluas

30 000 ha. Kekhasan ekosistem ini karena tetaknya

terlindung oleh Pulau Nusakambangan yang memisahkannya dari Samudera

Indonesia. Segara Anakan tetap terpengaruh oleh gerakan pasang

sunrt

air iaut

karena adanya dua kanal. yaitu kanal barat dan kanal timur, yang

(163)

Segara Anakan memiliki tip8 zonasi hutan mangrove

yang

tedengkap di

Pulau Jawa (Adiwihga, 1992), terdiri atas 26 jenis vegetasi dengan tiga jenis veg etasi paling dominan yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, clan Bruguiera

gymnmhiza. Selain itu, ekosistem hutan mangrove dan perairan Segara Anakan juga merupalran habitat dari berbagai spesies hngka seperti pesut (Orchaella brevimMs), duyung (Dugong-dugong) serta jenis burung langka yang terancam punah seperti bluwok

(Mycfena

cinema) (Mumi, 2000).

Secara ekokgis berfungsi sebagai daerah pemijahan dan pernbesaran

(numery ground) berbagai jenis spesies komersial baik ikan maupun udang

dan

habitat berbagai jenis fauna, diantaranya termasuk jenis yang dilindungi, serta sebagai tempat mencari makan bagi sekitar 45 jenis ikan peruaya (PKSPL, 1997). Dan segi sosial ekonomi, Segara Anakan merupakan sumber

mata

pencaharian

bagi rnasyarakat sekiamya, baik di bidang perikanan, pertanian, kehutanan,

pariwisata dan transportasi.

Produktivitas

Segara

Anakan berikut fungsi ekologis dan sosial ekonomisnya mendapat ancaman karena pendangkalan yang berlangsung lama menyebabkan penyusutan tuasan maupun kedalaman perairannya. Penyusutan ini disebabkan karena adanya sedimen yang terendapkan sebagai akibat adanya

emsi

di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, DAS Cikonde, dan DAS Cibeureum. Menurut ECL (1994), DAS Citandui mengkontribusi sekitar 5 juta m3 lumpur/tahun sedangkan DAS Cikonde sekitar 770 000 m3 lumpurltahun. Disarnping itu Napitupulu dan Ramu (1982) menyebutkan adanya sumber lumpur dari OAS Segara Anakan sekitar 1.6 juta rn31tahun dan limpasan banjir dail

(164)
(165)

kepiting bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di habitat alaminya.

lden tifi kasi dan Perum

usan

Masalah

Perairan Segam Analran saat ini terus mengalami akresi, pendangkalan

serta penrbahan ekosistem -perairan yang menyebabkan terjadinya perubahan

hidromorfografi. Perubahan ini diduga menciptakan habitat yang baik bagi

keberadaan kepiting bakau. Untuk mengetahui parameter karakteristik habitat dan

kaitannya dengsn keberadaan tiga jenis kepiting bakau, maka diperlukan

pendekatan masalah sebagai berikut:

I Menetapkan tip8 habitat dari ke-tiga

jenis

kepiting bakau bsrdasarkan pada variasi karakteristik lingkungan.

2 Diamati dan diukur jenis dan kerapatan mangrove, parameter kualitas air dan substrat, serta ketersediaan makanan alami kepiting bakau.

3 Pada tiap tipe habitat dihitung jumiah individu per jenis, jenis kelamin, panjang karapas dan lebar karapas kepiting bakau. Kemudian dianaiisis penyebaran dan ukuran per jenis.

4 Menentukan pola distribusi kepiting bakau pada tiap tipe habitat berdasarkan

(166)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penetitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Mengetahui pola distribusi kepiting bakau

bedasarkan

jenis dan ukuran. 2. Mengetahui kat-akteristik masing-masing habitat kepiting bakau dan

hubungannya dengan distribusi kepiting bakau.

Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

keberadaan, distribusi, dan kondisi kepiting bakau di alam, dapat menjadi data dasar

bagi kegiatan budidaya, sem menjadi bahan pertimbangan bagi perlindungan,

pengelolaan, dan pernanfaatan sumberdaya kepiting bakau untuk

masa

yang akan

datang.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah karakteristik dan t i p

(167)

TlNJAUAN

PUSTAKA

Kepiting

Bakau

Klasifikasi dan Morfologi Kepiting

Bakau

Klasifikasi kepiting bakau menurut Oemardjati (1 992) adalah sebagai berikut:

Filurn Arthropods

Kelas Crustacea

Subkelas Malacostraca

Ordo Decapoda

Subordo Branchyura

Famili Portunidae

Genus Scylla spp

.

Genus Scyila spp. terdiri atas tiga

spesies

dan satu varietas, yaitu Scyila

semfa,

S. manica, S. tranquebarica, dan S. serrata var. paramamosain. Wama

digunakan sebagai faktor pembeda, yaitu S. oceanica dan S. tranquebarica

mempunyai wama dasar kehijauan atau hijau keabuan, sedangkan S. serrata

dan

S.

serrafa

var. paramamosain mempunyai wama dasar hijau merah kecoklatan.

Sedangkan Keenan (1997) mengoreksi tata nama ini dengan membagi

genus

Scylla menjadi Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. semta. Perbedaan

morfologi

untuk membedakan ketiga jenis dari genus Scyila yaitu wama, gigi depan
(168)

Tabel 1. Morfologi kepi ting bakau ( S N l a spp.) menunrt Keenan (1 997)

I

Wama

I

abu-

abu

sepefti karat

Hljau menuju hijau

Hijau

bush taibn Hijau cdtlat rnerah,

I

Gigi depan

karapas -

I

Dalarn

I

Tajam

I

Surnber

pembuat wama

Landai

I

Duri pada Kedua duri tumpul Kedua duri Slasdan Satu

duri

Z c i G , satu

sendi jari rwncing agak tumpul

Melimpah

pada

Hanya pada daerah

Pigmen p"ligonal termasuk keliped

Scylla

serrah

(Forskal) mempunyai nama lokal yang beranekaragam

diantaranya kepiting lumpur (Australia),

ketarn

batu (Malaysia), dan kepiting bakau di Indonesia (Moosa et al. 1985).

Ciri-ciri kepiting bakau yang merupakan bagian dari

suku

Portunidae

adalah

karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kin-kanannya terdapat sembilan buah duri

tajam, dan pada bagian depan

diantara

kedua tangkai matanya terdapat enam buah

duri, sapit kanan lebih besar dari sapit kiri dengan warna kernerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga

pasang

kaki

jalan

dan satu pasang kaki renang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi alat pendayung

(Kasry, 1996). Selanjutnya Sulistiono et a!. (1992) menyatakan bahwa karapas berbentuk cembung dan halus, Iebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk

alur H antara gastrik dan kardiak jelas, empat duri triangular pada lengan bagian

depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada yang

betina sedikit membulat. Morfologi kepiting bakau {Scylla spp.) dapat dilihat pada

Gambar 1.

Pigmen poliganal

d, -a pad= kaki terakhir

(169)

Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp.)

Sedangkan Moosa

ef

at. (1985) mendeskripsikan kepiting bakau sebagai berikut: karapas pipih atau agak cembung, bentuk

heksagonal

atau agak persegi,

bentuk umum bulat telur, karapas lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang tidak

selalu

jelas pembagian daerahnya, tepi anterelateral bergigi lima sampai

sembilan buah, sungut melintang atau menyerong. Pasangan

kaki

terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama dua

mas

terakhirnya.

Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh mas amomennya. Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak

(170)

Daur Hidup dan Habitat

Dalam menjalani kehidupannya, kepiting bakau beruaya dari perairan pantai

k8 perairan lad, kemudian induk dan anak-anak kepiting bakau ini akan berusaha

kembafi

ke

perairan pantai, muara sungai, atau

perairan

hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang tebh siap melakukan perkawinan ini akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya ke laut menjauhi pantai untuk memijah.

Kepiting jaritan yang telah melakukan perkawinan akan berada di perairan bakau dan di

sekiiar

pantai pada bagian yang berlumpur (Kasry, 1996).

Setelah telur menetas akan muncul larva tingkst 1 (zoea 1) yang

akan

terus berganti kulit dan terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat zoea V.

Proses

ini biasanya membutuhkan waktu 18 hari. Zoea V ini akan mengalami

pergantiin kulit lagi rnenjadi megalopa yang bentuk tubuhnya mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memitiki ekor. Kepiting bakau pada tingkat megalopa ini

akan

beruaya kembal

ke

pantai, muara sungai, dan kernbali ke hutan mangrove.

Kepiting

bakau

dapat dikatakan dewasa dan telah dapat memijah pada umur

12-14 bukn (Afrianto dan Liviawati (1 992). Untuk mendapatkan gambaran yang

(171)

- -

Gambar 2. Daur hidup kepiting bakau (Soim, 1999).

Warner (1977) menyatakan bahwa kepiting

bakau

mulai dari telur sampai

dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaUu mulai dari zoea, megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa. Setiap terjadi pergantian kulit, zoea tumbuh dan berkembang yang ditandai dengan adanya seta renang pada endopoda maxiliped-nya. Megalopa yang mirip kepiting dewasa seringkali dirujuk sebagai

(172)

Makanan dan Kebiasaan Makan

Larva kepiting bakau membutuhkan pakan dalam jumfah tertentu untuk

menunjang aktivitas pertumbuhannya. Jenis pakan yang dikonsumsi kepiting juga

bervariasi, tergantung pa& ukuran kepiting yang dipelihara. Dalarn fase larva,

kepiting menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan ukuran mulut kepiting

yang

juga relatif kecil. Umar (2000) menyatakan bahwa pada saat pertama kali menetas, larva kepiting bakau cenderung lebih

menyukai fitoplankton karena ukuran bukaan mulutnya yang masih kecil. Setelah

mengalami perkernbangan lebih

ianjut

sehingga mencapai

ukuran

yang

memungkinkan untuk rnemangsa zooplankton, maka

larva

kepiting

bakau

cenderung

lebih menyukai zooplankton, yaitu dari jenis kopepoda.

Hal ini didukung oleh pendapat Kasry (1996) bahwa larva kepiting bakau

lebih bersifat pernakan plankton, khususnya

larva

pada tingkat

awal.

Makanannya terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetmselmis chuii, Chlomlla

sp.,

rotifer, larva ekinodermata, larva berbagai jenis moluska, cacing, dan lain-lain.

Jadi semakin tinggi tingkat larvanya, makanannya pun lebih bersifat kamivor- omnivor.

Makanan hidup yang dikrikan pada larva yang dipelihara di Iaboratorium

diusahakan berukuran tubuh

yang

lebih kecil daripada ukuran bukaan mulut larva. Karena itu, larva tingkat awal ini sebaiknya dihrikan rotifera dan fitoplankton (Kasry,

1996). Setelah mernasuki fase megalopa, kepiting bakau cenderung lebih menyukai

organisme yang berukuran lebih besar. Dari penelitian Munir (1999) didapatkan bahwa kombinasi pakan alami berupa Brachionus sp. dengan Tetmselmis sp.

(173)

Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan

segala

dan pernakan bangkai (omnivorous-scavenger). Mereka rnemakan tumbuhan, bangkai hewan, kayu dan

bambu di tambak-tambak (Kasry, 1996).

Soim

(1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa kepiting bakau lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan

dan udang. Aktivitas makan kepiting bakau jantan lebih tinggi daripada aktivitas makan kepiting betina (Mangampa et a/. 1987). Selanjutnya dijelaskan oleh Lavina (1977) dalam Mangampa

et

a/. (1987) bahwa pada kepiting betina energi yang ada

digunakan

untuk

perturnbuhan dan perkembangan gonad, sehingga aktivitas makan

pada kepiting betina cenderung menurun.

Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di

se kitar hutan mangrove dan memakan akar-akarny a Ipneumatophore). Hill (1 978)

menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah

cukup tersedia. Hal senada juga diungkapkan Moosa et a!. (1985) bahwa kepiting

bakau menrpakan organisme bentik yang memakan serasah, habitatnya adalah

perairan intertidal di dekat hutan mangrove

yang

krsubstrat lumpur.

Opnai (2986) menyatakan bahwa kepiting bakau di perairan

hutan

mangrove Papua New Guinea, 89% lambungnya berisi bivalvia, gastropoda dan rnoluska

lainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea yang sulit untuk diidentifikasi. Hasil analisa isi perut dari kepiting bakau yang ditangkap di rnuara Sungai Cenranae Bone rnenunjukkan bahwa lebih dari 90% isi lambungnya terdiri dari jenis alga (Spirogyra

sp. dan

Cham

sp.), larva insekta dan benih tiram (Gunarto et at. 19871, sedangkan di

perairan

Segara Anakan banyak diternukan rnoluska dan tiram, yang merupakan
(174)

Tangan dan -pit kepiting

yang

besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh dengan ganas atau membek-rob& makanannya. Sobekan makanan itu dibawa ke mulut dengan kedua sapitnya. Kepiting bakau biasanya

makan tidak beraturan, tetapi biasanya lebih aktif di rnalam hari daripada di siang

hari. Karena itu kepiting bakau tergolong hewan noktumal (hewan yang aktif di malam hari) (Moosa et al. 1985).

Almada (2001) dari hasil penelitiannya di laboratorium menambahkan waktu

makan

kepifing bakau adalah malarn hari (pukul 18.00

-

24.00). Siang

hati

kepiting

juga makan, tapi jumlah dan frekuensinya lebih kecil daripada

rnalam

hari. Dari hasil

percobaan di laboratorium

diperoieh

infomasi bahwa kepiting

bakau

lebih menyukai

umpan

berupa kulit sapi karena baunya yang lebih menyengat dan disukai kepiting

daripada umpan lain berupa belut dan ikan nila.

Preferensi Kepiting Bakau Te*adap Kualitas Air

Kualitas air merupakan

salah

satu faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi

keberadaan

dan perturnbuhan semua organisme, termasuk kepiting

bakau. Dengan demikian di atarn, kepiting bakau hanya akan menempati habitat dalam suatu badan perairan yang memiliki kondisi kualitas air yang mampu ditobrir

oleh organisme tersebut.

Kedalaman Air

Kedalaman air salah satunya dipengaruhi oleh peristiwa pasang surut.

Kedalaman air ini berpengaruh kepada kepiting bakau terutama pada saat terjadi perkawinan. Walaupun demikian, kepiting ba kau ini tetap dapat hidup pada perairan

(175)

pada kedalaman 30 cm- 79 cm di perairan dekat huian mangrove dan 30

cm

- 125 cm di muara sungai.

Pada siang hari kepiting bakau terlihat menuju ke perairan yang dangkal, sedangkan di Pulau Caroline bagian

timur,

Scylla

$errata

ditangkap di perairan di sekitar hutan mangrove saat air surut (Hill, 1980).

larva kepiting bakau yang berasal dari

lauf

banyak dijurnpai di sekitar

estuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang biasanya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk bedindung. Kepiting bakau tahap juvenil

(first cmb) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk rnencari makan, lalu kembali lagi ke zona sub-tidal pada saat

air

sum.

Sedangkan kepiting bakau dewasa rnerupakan penghuni tetap perairan

zona intertidal,

membenamkan

dirinya ke dalam lumpur atau menggali lubang pada

substrat yang lunak (Mulya, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa sebelurn molting @re-molf) kepiting bakau membenamkan dirinya ke dalam lumpur atau masuk ke dalam lubang sampai karapasnya mengeras.

Suhu

Suhu adalah faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di laut adalah laju

fotosintesis fitoplankton dan proses fisiologi hewan, meliputi

metabolisme

dan siklus reproduksinya.

Menurut Hill (1982), suhu air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan, molting, aktivitas dan juga nafsu rnakan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah

(176)

Biasanya pada saat ini pertumbuhan akan terhenti, walaupun kepiting masih tetap hidup.

Di perairan hutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 28,s OC -36,O OC (Wahyuni dan

Sunaryo,

1981). Toro ('l986) mendapatkan kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu 27,6 OC

-

30,5

OC

.

Sedangkan di perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tangerang, kepiting bakau diternukan pada suhu perairan tata-rata 28,8 OC.

Brick (1974) dalam Kasry (1986), menyatakan bahwa di Hawai kepiting

bakau betina beruaya untuk memijah dengan cara mencari perairan dengan kisaran suhu air 24

OC

-

28

'c,

sedangkan di Thailand, suhu Ma-rata 29,O OC. Menurut

Felder dan Heasman (19781, perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau, sehingga kepiting bisa dewasa dalarn

waktu yang lebih singkat.

Suho juga dapat mempengaruhi kehidupan larva. daiarn hat ini tingkat perkembangan larva dengan adanya perbedaan suhu pemeliharaan. Zoea ke lima pertama dicapai pada waktu 15 hari pemeliharaan dengan ratwata suhu 27,5

OC,

14

-

15 hari pada suhu 22,5 OC, 13

-

14 hari pada suhu 27 'C, dan 14

-

18 hari pada

suhu 27 OC (Heasman dalam Siahainenia, 2000). Diduga bahwa disamping

kepadatan makanan, maka suhu juga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau.

Salinitas

Menuiut Kinne (1964) dalam La Sara (1 9941, salinitas diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ organisme perairan melalui perubahan tekanan osmotik,

(177)

viskositas, perubahan penyerapan sinar, penghantaran suara dan daya hantar listrik.

Hal ini akan mengubah komposisi spesies pada situasi ekologi saat itu.

Organisme tertentu membutuhkan salinitas betbeda pada setiap fase dari

siklus hidupnya. Pada kepiting bakau, salinitas berpengaruh terutama pada saat

pergantian kulit. Kasry (1 991) mengungkapkan bahwa kisaran ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi diketahui

bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersalinitas rendah.

Kepiting dewasa biasanya kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan

salinitas 15 'IoD

-

20

'loo

kemudian beruaya ke

laut

dalam untuk rnemijah.

Kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup has. Kepiting

bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 'la dan lebih besar dari 30 Olm. Hill (1 978) melaporkan bahwa Scyila serrata mampu mentolerir perairan

dengan salinitas sarnpai 60 0100, sedangkan Wahyuni dan lsmail (1987)

rnendapatkan kepiting bakau dewasa di Tanjung Pasir, Tangerang dengan kisaran

salinitas 0 O/W

-

1 8 ~ / ~ , sedangkan menurut Retnowati (1991). kepiting bakau

ditemukan pada hutan mangrove Muara Kamal dengan kisaran salinitas 5

-

30 0

loo.

Derajat

Keasaman

(pH)

Dari hasil penemian Sudiarta (1988) kisaran pH antara 7,9

-

8,3 dapat

mendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara. Wahyuni dan Sunaryo (1 98 1)

menambahkan bahwa pada hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting

bakau didapatkan pada kisaran pH 6,18

-

7,50, di pertambakan Muara Kamal,
(178)

kisaran pH 6,21- 8,50. Penelitian Lain juga melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam. yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rda-rata 6.16 (Walsh dalam Sara, 1994).

Fraksi Subsbat

Tekstur substrat di sekiar hutan mangrove umumnya terdiri atas lumpur dan liat. Hal ini sangat memungkinkan sebab partikel lumpur dan liat akan cepat mengendap karena air di sekiiamya relatif tenang

dan

terlindung.

Adanya substrat di sekiar hutan mangrove sangat

mendukung

kehidupan

kepiting bakau, terutama

untuk

rnelangsungkan perkawinan. Menurut Moosa et al.

(1985), habitat kepiting

bakau

adalah pada perairan intertidal (dekat hutan

mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar hutan

rnangrwe

yang didomlnasi oleh kandungan lumpur banyak mengandung bahan

organik, tempat serasah dari hutan

mangrove

akan terurai membentuk detritus dan

kernudian mengendap pada substrat. Serasah sendiri rnerupakan makanan alarni bagi kepiting bakau.

Substrat halus berupa lumpur dan liat yang mengandung banyak serasah dan bahan organik juga mendukung kehidupan berbagai organisme,

tenrtarna

gastropoda. Gastropods sendiri merupakan salah satu makanan alami kepiting

bakau. Dari hasil penelifan Opnai (1986) dalam Siahainenia (2000). dinyatakan

bahwa 89 % isi lambung kepiting bakau adalah bivalvia, gastropoda, dan

moluska

lainnya.

Berkaitan dengan kehidupan dan penyebaran kepiting

bakau

maka
(179)

mempengaruhi kehidupan dan penyebaran moluska yang rnerupakan pakan alami bagi kepifing bakau.

Hari

Bulan

dan Pasang Surut

Serta

Pengaruhnya

Terhadap Fauna

Laut

Hari bulan

adalah

usia bulan yang dihitung

sejak

bulan gelap hingga bulan

gelap berikutnya, biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran I adalah sejak gelap pertarna sampai dengan bulan brbentuk setengah purnama. Kuadran II

adalah

sejak

setengah purnama sampai bulan bulat penuh (purnama). Kuadran 111

adalah sejak bulan bulat penuh (pumama) sampai berbentuk setengah pumama

kedua. Kuadran IV adalah

sejak

bulan berbentuk setengah purnarna kedua sampai bulan gelap kembali. Perbedaan tampiIan tersebut disebabkan posisi relatif bulan

terhadap rnatahari. Lama tiap periode

rata-rata

tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28 hari atau 29 hari (terkadang 30 hari).

Kedudukan relatif bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang

sum atau perubahan tinggi pemukaan perairan di bumi (Sijabat, 1970). Disarnping

naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan, kedudukan bulan dapat

pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan perairan. Pada saat bulan purnarna, kolom perairan lapisan atas

menjadi relatif

tenang.

Keadaan ini dimanfaatkan oleh fauna yang aktif di malam hari yang mengandalkan indera penglihatan untuk mencari makan, melakukan

pemijahan dan ruaya. Pada saat periode bulan gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut berbeda.

(180)

campuran.

Pasmg surut harian tunggal hanya tejadi satu kali pasang dan satu kali

surut setiap had, seperti yang tejadi di Selat Karimata yaiiu antara Kafimantan dan

Sumatera. Pasang surut

harian

ganda terjadi dua kali pasang dan dua kali surut

yang

tingginya hampir

sama

setiap hari seperti yang te jadi di

Selat

Malaka dan h u t

Andaman. Pasang surut campuran jenis tunggal dan atau ganda masih menonjol

pasang sunrt campuran yang condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi

diurnal),

tejadi dua kali pasang dan surut dalam sehari, terdapat di perairan

Indonesia Timur. Pasang sunrt wndong ke harian tunggal (mixed tide prevailing

diurnat), tejadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap harinya, terjadi di Selatan Kalimantan dan Utara

Jawa

Barat (Nontji, 1987).

Pada saat pasang naik, fauna hut dapat bergerak ke perairan yang lebih dangkal yakni yang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke

pantai

mencari makan mernanfatkan fauna-fauna Lain di dasar perairan yang tidak

terendarn air secata berkab. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muara-muara

sungai jauh ke pedalaman. Pada saat sunit sebaliknya, fauna umumnya akan

menjauhi pantai garis.

Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (pumama) jarak

bulan terhadap bumi minimum. Sehingga biasanya akan te rjadi pasang penuh yang

mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan

laut

ini dapat berpengamh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya rajungan. Pad8 wakfu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan, sedangkan pada periode M a n terang aktivitas rajungan mening kat. Susilo (1 992) menyaran kan

penangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat periode bulan sabit

(181)

(Atrnaleksana 1981, Sutowo 1984, dan Tatuwo 1997). Untuk mengoperasikan alat

tang kap ikan yang menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan ikan, periode bulan yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan penode bulan setengah

pumama.

Hutan

Mangrove

Pengertian Hutan Mangrove

Kata

mangrove merupakan perpaduan anfara bahasa Portugis yaitu Mangue dan bahasa lnggris yaitu Grove (Macnae, 1968). Kata Mangmwe di dalam bahasa

lnggris dipakai baik untuk komunitas pepohonan. rerumputan atau semak belukar

yang tumbuh di daerah pesisir, atau untuk individu jenis tumbuhan lain yang

berasosiasi dengannya.

Pengertian hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi

pasang surut air laut dengan keadaaan tanah yang anaerobik. Walau keberadaan

hutan ini tidak tergantung pada iklim, tapi umumnya hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik di daerah tropik pada daerah pesisir yang terlindung seperti delta

sungai dan estuaria.

Volume air tawar dan air laut yang bercampur serta frekuensi

percampurannya sangat berpengaruh pada kondisi fisika-kimia perairan hutan mangrove. Beberapa

faktor

lingkungan yang mempengaruhi komunitas mangrove

adalah suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dart substrat dasar

(Nybakken, 1992).

Darsidi (1986) mengungkapkan ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut;

(1). Dipengaruhi oleh pasang surut ; (2). Tidak dipengaruhi oleh iklim; (3). Tanah

(182)

(5). Pohon dapat mencapai ketinggian 30 meter; dan (6). Jenis jenis pohon dari laut ke arah darat adalah bakau bandul (Rhimphora mucmnata), a pi-api (A vicennia marina), bog ern (Sonnemtia alba),

n

yiri h (Xylocarpus moluccensis), tancang

(Brugujera gymnorrhiza). dan nipah (Nypa fruticans).

PoCnsi Hutan Mangrove

Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia sangat beragam. Giesen (1 993) rnenyebutkan bahwa luas mangrove lndonesia 2,5 juta hektar, Dit. Bina Program INTAG (1996) rnenyebutkan 3,5 juta hektar. Umumnya mangrove ditemukan menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia.

Hutan mangrove Segara Anakan merupakan sumberdaya alam yang langka

dan merupakan hutan mangrove terluas yang masih tersisa di Pulau Jawa. Luasnya saat ini tinggat 9 695 ha dengan penyusutan rata-rata dari tahun 1984 sampai tahun 1994 seluas 300,5 ha/tahun. Penyusutan ini terjadi akibat banyaknya konversi hutan

mangrove menjadi areal tambak, lahan pertanian, atau untuk permukiman.

Darsidi (1986) mengungkapkan bahwa secara garis besamya potensi hutan mangrove terbagi dua, yaitu potensi dari segi ekologis dan potensi ekonomis. Potensi ekologis hutan mangrove terletak pada kemampuan hutan mangrove dalam mendukung eksistensi lingkungan, yaitu sebagai

penahan

angin, gelombang, hutan air

asin,

pengendali banjir, tempa? mencari makan, persernbunyian, dan daerah asuhan bagi berbagai biota air, yang semuanya ini sulit untuk dinilai dengan uang.
(183)

Lokasi

dan Waktu

Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan dan di dalam hutan mangrove Karang Anyar, Desa Ujung Gagak, Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Pengambilan sarnpel dilakukan setiap hari selama empat bulan, mulai dari

tanggal 1 September 2001 sampai dengan bulan tanggal 31 Desember 2001.

Alat

dan

Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini anbra lain alat tangkap (wadong dan jaring), tongkat berskala, sieve set, sieve

shaker,

petak pengarnatan, pipa

paralon,

kompas, hand

counter,

hand refmcto salinometer, pH meter, timbangan

elektronik balans model ER-120A, oven, termorneter air raksa,

buku

identifikasi kepiting bakau, makrozoobentos dan mangrove,

botof

sampel, ember plastik, kantong plastik, kertas saring, meteran yang terbuat dari plastik, alat bedah, botol

film, mikroskop, gelas ukur, pipet, gelas preparat, mikrometer, jangka sorong, serta alat tulis.

Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, tumbuhan mangrove,

makrozoobentos, contoh air dan substrat, contoh

serasah, alkohol

70

YO,

forrnafin 4
(184)

Metode Penelitian

Lokasi Penetitian

Deskripsi

Lokasi

Penelitian

Gerumbul Karang Anyar adalah salah satu daerah pemukiman nelayan di pinggiran perairan bagian barat Segara Anakan. - Sebagian besar masyarakatnya

bermata

pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan dan petani bmbak. Saiah

satu usaha penangkapan yang dilakukan nelayan tersebut adalah menangkap kepiting bakau, baik di perairan Segara Anakan maupun di dalam hutan mangrove.

Alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan

adalah

jaring, sedangkan untuk menangkap kepiting bakau di daerah hutan mangrove

digunakan wadong/ bubu (imp).

Penentuan Stasiun Penelitian

Penentuan stasiun penelitian dilakukan bedasarkan kepada daerah

penangkapan kepiting bakau oleh nelayan di Karang Anyar dan sekitarnya. Terdapat enam stasiun penelitian meliputi masing-masing tiga titik di perairan dan tiga titik di

dalam hutan mangrove, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Selengkapnya stasiun- stasiun ini adalah:

Stasiun 1 : Perairan Tirang Kesik Stasiun 2 :

Perairan Utara Bagian

Stasiun 3 : Perairan Selafan Muara Dua Stasiun 4 : Hutan Mangrove J o ~ g o r

(185)
(186)

Pengumpulan Data Penelitian dan

Prosedur

Pelaksanaannya

Pengumpulan data penelitian mencakup parameter yang diukur dan

satuannya, alat atau metode pengukuran dan ternpat pengukuran disajikan dalam Tabel 2. berikut:

Tabel 2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan

+ Termometer Hg Salinitas air 4. mangrove ldentifikasi

jenis

Kerapatan jenis mangrove

Analisis

makanan alami kepiting bakau

Kelimpahan makrozooben- thos

Buku identifikasi

Belt tmnsek (diidentifikasi, diukur diameter,dan dihitung jumlah individu per jenis).

Petak pengamatan, dan

sieve set (diidentifikasi, dihitung jumlah individu per jenis)

Petak pengamatan, oven, dan timbangan Ohauss

(dibersihkan, dikeringkan dan ditimbang)

-

individul

100 mZ

individu /

m2

grl m2

in-situ

in-situ

a in-situ

dan lab

in-situ

(187)

Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan alat tangkap nelayan

tradisional yaitu wadong dan jaring. Untuk penangkapan kepiting bakau di

hutan

mangrove, digunakan wadong (bubu) berukuran 90 crn x 60 cm x 30

cm

(panjang x

lebar x tinggi). Pada tiap stasiun, wadong ditempatkan secara

acak

dalam

petak

-

pengamatan berukuran 20m x 20

m.

Penempatan wadong yang telah diberi umpan

dilakukan pada pukul 16.00 WIB, sedangkan pengambilan kepiting

bakau

dilakukan

keesokan harinya pada pukul 07.00 WIS. Pernasangan wadong dan pengambilan contoh kepiting bakau dilakukan setiap hari

selama

empat bulan.

Sedangkan untuk penangkapan kepiting di perairan digunakan jaring kepiting dengan ukuran

mata

jaring 3 inci, panjang jaring 30 m. Jaring ditempatkan di perairan, searah dengan arah arus. Penangkapan kepiting bakau dengan jaring ini

dilakukan dari pukul08.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB.

Selanjutnya kepiting bakau yang didapat diidentifikasi, dihitung jumlah

individu per-jenis dan jenis kelamin, panjang dan lebar karapas. Metode

(188)

Gambar 4. Skema metode pengambilan sampel

Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat

Pengukuran

parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara in-sifu (di

lapangan), sedangkan untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil

sampel substrat pada tiap stasiun pengamatan, dikeringanginkan dan dibawa ke

Laboratorium llmu Tanah Fakultas Pertanian lnstitut Pertanian Bogor untuk dianalisa

berdasarkan persentasi u kuran butiran.

Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove

Pengukuran kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan

membuat

petak pengamatan berukuran 10 m x 10 m untuk katagori pohon (diameter > 10

cm)

pada
(189)

2-10 cm) dengan membuat petak pengarnatan berukuran 5 rn x 5 rn di dalam petak

pengamatan 10 rn x 10 m tersebut.

Pengambitan Contoh Serasah dan Organisme Makroroobentos

Pengambilan contoh serasah dan organisme makrozoobentos dibkukan

pada tiap stasiun pengarnatan bersamaan - dengan pengambilan contoh kepaing bakau. Contoh serasah diambil dengan menggunakan paralon berdiameter 10

cm,

sedangkan

untuk makmzoobentos dengan menggunakan sekop. Kedua contoh

tersebut diarnbil di dalam petak pengamatan 1 m x 1 m, sampai kedalaman 20 cm. Contoh

serasah

yang didapat

selanjutnya

dibersihkan menggunakan sieve set,

dikeringkan dengan oven, lalu ditimbang. Sedangkan untu k rnakrozwbentos

disaring menggunakan sieve set berdiameter > 0.5

mm,

diawetkan dengan formalin

4 %, lalu diidentifikasi.

Analisis Data

KeIimpahan Makroroobentos

Kelimpahan makrozoobentos dapat diukur dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

N = Kelirnpahan makrozoobentos jenis i

C ni = Jumlah individu jenis t

(190)

Pola Oistribusi Kepiting Bakau

Selanjutnya dilakukan analisis pola distribusi kepiting bakau dengan menggunakan rumus Indeks Penyebaran Morisita sebagai berikut:

Keterangan:

n

=

jumlah plot

N

=

jumlah

total

individu

da

Gambar

Tabel 1.  Morfologi  kepi  ting bakau ( S N l a   spp.) menunrt Keenan (1  997)
Gambar 1.  Morfologi  kepiting bakau  (Scylla  spp.)
Gambar  2.  Daur hidup  kepiting bakau (Soim, 1999).
Tabel  2.  berikut:
+4

Referensi

Dokumen terkait

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

penggunaan Obat. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan, pelaksanaan,

Pemilihan alternatif pada kasus keputusan nilai ekspektasi pay-off terbesar (dalam metode Bayes) dan nilai ekspektasi utilitas terbesar (dalam Fungsi Utilitas) dipilih untuk

Berdasarkan model akhir regresi logistik ganda, kua- litas hidup anak remaja pada studi ini didapatkan: perta- ma, keberadaan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam rumah tangga yang

ANJAR NAWANGSIH SMPN 2 BAYAT KLATEN PLPG... Ketua Rayon 13,

Data terkait dengan variabel-variabel yang terdapat pada penelitian ini, yaitu kinerja jangka panjang, underwriter reputation, earnings management dan size atau ukuran

Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan arus pada perairan Sei Carang yang memiliki kisaran sebesar 0,1 m/s sampai 0,26 m/s dapat disimpulkan juga terdapat

David Smith, terjemahan baihaqi, Inklusi Sekolah Ramah Untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h.. teman pada umumnya pada setting pendidikan yang sama, dan dekat dengan