KARAKTERlSTlK HABITAT
DAN
KAITANWYA
DENOAN
KEBERADAAN
tlGA JENIS KEPlTlNG
BAKAU
(Scylb
oltvecee,
S.
tranqueberica,
dan
S . s m t i r )
Dl
PERMRAN
KARANG ANYAR. SEGARA ANAKAN, CllACAP
JAWA TENGAH
OLEH:
FITRINA
NAZAR
PROGRAM
PASCASARJANA
ABSTRAK
FITR1NA NAfAR. Karakteristik Habitat dan Kaitannya dengan Keberadaan Tiga Jenis Kepiting Bakau (Scylla divacea, S. kanquebarica, dan S. serrafa) di Perairan Karang Anyar, Segara Anakan, Cilacap, J a w Tengah. Dibimbing deh R F. KASWAWf, SUUSTIONO dan NAWANGSARl SUGIRI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik masing-rnasing habitat
kepiting bakau dan hubungannya dengan distribusi kepiting bakau
berdasarkan
jenis dan ukuran. Penelitian dilaksanaltan di perairan dan di daiam hutan mangrove Karang Anyar, Segara Anakan. Pengambilan data dilakukan setiap hari dari tanggal 1September 2001 sampai dengan tanggal 31 Desember 2001.
Kondisi parameter kualitas air pada lokasi pengambilan sampel secara umum berbeda antar stasiun dan bulan, kecuati untuk parameter suhu tidak berbeda antar stasiun, dan kedalaman perairan tidak berbeda antar bulan. Untuk tekstur substrat
terdiri dari lumpur, fiat, dan pasir, dengan kandungan yang dominan lumpur.
Di Stasiun 4, 5, dan 6 ditemukan 9 genus mangrove
yang
terdiri dad 6 famili, dengan kerapatan tedinggi terdapat pada Stasiun 5 (30 individul 100 m?, baik katagofi pohon maupun anakan.Sumber makanan alarni bagi kepiting bakau adalah bentos dan serasah. Bentos diernukan sebanyak 11 genus, dengan kelimpahan tertinggi terdapat pada
Stasiun 4 sebanyak 67 individul mZ. Scars umum jumlah bentos yang ditemukan di
Stasiun I , 2, dan 3 (di perairan) lebih rendah dari Stasiun 4, 5, dan 6 (di hutan mangrove). Sedangkan untuk bobot serasah tertinggi didapatkan pada Stasiun 6,
sebanyak 41,41 gram/ m2.
Dari hasil penelitian didapatkan tiga jenis kepiting bakau, yaitu ScyiIa
olivecea,
S. franquebarica, dan S.serrafa.
Kepiting jenis S. oiivacea dan S. tranquebaricaukuran sedang dan besar cenderung menyebar bersama-sama. Kedua jenis ini
menempati Stasiurr 4, 5, dan 6 yang merupakan stasiun yang berada di
dalarn
hutan mangrove, tersebar di bulan Oktober, November, dan Desember.Untuk kepiting bakau janis S. serrata keberadaannya cenderung terpisah dad
dua jenis lainnya. Jenis S. semta menempati Stasiun 1, 2, dan 3 yang berada di
perairan. S.
semfa
ukuran kecil tersebar di bulan November, sedangkan S. semtaSURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang be judul:
KARAKERISTIK HABITAT DAN KAITANMYA DENGAN KEBERADABN TIGA JEWS KEPlllNG
BAKAU
(ScHta
d k m , & m-cbt, dun S. DtPERAIRAN KBRANG ANYAR, SEGARA AN-, CtLACAP J A W TENGAH
adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pemah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
KARAKTERISTIK HABITAT DAN KAITANNYA DENGAN
KEBERADAAN TIGA JENlS KEPfTlNG BAKAU
(ScyNa
olivacea, S. Pranquebarica,
dan
S.sernta)
Dl
PERAIRAN
KARANG
ANYAR, SEGARA ANAKAN, ClLACAP
JAWA TENGAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi
llmu
KelautanPROGRAM
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
RfWAYAT HIDUP
FlTRlNA
NAZAR,
penulis adalah anak keempat
dari lima bersaudara dari pasangan dr. H. Nazantddin Tamin dm Hj. Fatimah Saidi, dilahirkan pada tanggal 20 Maret 1975 di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Pmpinsi Sumatera Barat.Pendidikan formal yang telah diselesaikan adalah SD Negeri 4 Batusangkar dan SDN 27 Padang tahun 1982-1988, SMPN 1 Padang tahun 1988-1991, SMAN 1 Padang tahun 1991 -1 994. Pada bulan September tahun 1994 melanjutkan studi ke
program S1 pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang, yang diselesaikan pada bulan Agustus 1998. Semenjak bulan September 1999 penulis melanjutkan studi ke jenjang
S2
Program Studi llmu Kelautan(IKL)
Program Pascasa jana tnstitut Pertanian Bogor.Puji
syukur
yang tidak terhingga penulissampaikan
kehadirat Allah SVVT, dengan rahmEtt dan karunia-Nya penulisan tesis ini dapat dirampungkan. Penyusunan tesis ini dari awal srtmpai selesai tidak tedepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihakyang
telah meluangkan waktu memberikan arahan. masukan dan kritikan, domngan semangat, kesempatan. do'amstu.
serta
dukungan dana.Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima
kasih yang sebesar-besarnya tenrtama kepada BapakDr.
Ir.R.F
Kaswadji, M.Sc selaku ketuakomisi
dan pembimbing pertama, Bapak Dr. Ir. Sulistiona, M.Sc dan Ibu Prof. Dr. Nawangsari Sugiri selaku anggota pembimbing. Bapak ReMor lnstitut Pertanian Bogor, Ibu Prof. Dr. Syafrida Manowoto, M.Sc selaku Direktur Program Pascasajana IPB beserta staf, Bapak Dr. lr. John I. Pariwono, M.Sc selakuKetua
Program Studi llmuKelaufan
(PS-IKL), BapakDr.
lr. Mulia Purba, M.Sc beserta staf pengajar PPs-IKL lainnya atas kejasama, perfiatian,semangat,
pengetahuan, dan kesempatan yang diberikan sdama menimba itmu di jenjang S2 pada PPs IPB.Terima kasih yang tak temingga kepada Pak Muh. Hatta, Mbak Nur Asia dan keluarga, atas segala pertolongan, bantuan, dorongan semangat dan pengertiannya. DireMur PMeSACOP Cilacap beserta staf,
keluarga
Pak Kuatianto di Cilacap,keluarga
Mas Wadi,Mas
Bardi, Pak Sastm, Pak Lurah,dan
Warsono diSegara
Anakan atas
semua
fasiritasdan
kernudahan yang telah diberikan.Tdak
lupa
juga kepada semua rekan-rekan se-angkatan (IKL-99) atas kejasama, bantuan, dorongan semangat dan persahabatan yang fulus. Terima kasih yangtak
terhingga kepadaSuparman
Sasmita, S.Pi dan Nunula Yenti, S.Pi, teman-teman di Sakura 11 LoJ? dan di WrsmaBuchori
Darmaga atas semua bantuan, dukungan, dan doanya.Akhirnya penolis persembahkan tesis ini sebagai buMi bakti, terima kasih dan pedanggungjawaban atas kepercayaan dan kesempatan
yang
diberikankepada
yang m u l i keduaorang
tua Bapak dr. H. Nazaruddin Tamin, lbunda Hj. Fatimah Saidi, kakak-kakak dan adik-adik beserta seluruh keluarga besartercinta,
keponakan tersayang Fatia Farhani, juga M. Rifqi, S.Pi., M.Si. atas segah pengettian. dukungan, kepellcayaan, perhatian dan kasih yang tak pemah putus. Semoga segala bantuan, kemudahan, dan pengorbanan yang diberikan semua pihak, baik yang telah disebutkan di atas maupun yang tidak. diterima dan dinilai Allah S W disisi-Nya sebagai ibadah. Amien
...
Bogor, Oktober 2002
UAFTAR ISI
DAFTARTABEL
...
ixDAFTAR GAMBAR
...
xLatar Belakang
...
ldentifikasi dan Perurnusan Masalah
...
Tujuan dan Manfaat Penelitian...
Tujuan Penelitian
...
Manfaat Penelitian...
TINdAUAN PUSTAKA
...
...*...*...**.*..,...*.*
Kepiting Bakau
....
Klasifikasi dan Morfologi
...
.
.
...
...
Daur Hidup dan Habitat
...
...
Makanan dan Kebiasaan Makan
.
.
...
Preferensi Kepiting Bakau Terhadap Kualitas Air
Suhu
...
Salinitas...
Derajat Keasaman (pH)...
.
.
...
Fraksi Substrat...
Hari Bulan dan Pasang Surut Serta Pengaruhnya Terhadap Fauna Laut Hutan Mangrove...
...
Pengertian Hutan Mangrove
...
Potensi Hutan Mangrove
METODE PENELlTlAN
...
Lokasi dan Waklu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
...
Metode Peneliiian
...
Lokasi Penelitian...
...
Pengumpulan Data Penelitian dan Prosedur Pelaksanaannya
...
...
Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat
Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove
...
Pengambilan Contoh Serasah dan Organisme Makrozoobentos...
Anafisis Data
... ...
..
...
Kelimpahan Makrozmbentos...
Pola Oistribusi Kepiting Bakau...
Kerapatan Jenis Mangrove...
Parameter Kuaiitas Air Antar Stasiun dan Antar Bulan...
Pengebmpobn Stasiuri Bedasarkan Karakteristik Lingkungan...
Penyebaran (Distribusi) Kepiting Bakau per Jenis Antar Stasiun dan Antar Bulan...
Hubungan Antar Bulan per Stasiun dengan Jenis per Keks Ukuran...
KepFting Bakau
HASlL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat Daerah Penelitian
...
Kuatitas Air dan Substrat
...
..,...
Vegetasi Mangrove
...
Ketersediaan Makanan Alami Kepiting Bakau...
...
Pengebmpokan Stasiun Berdasarkan Karakteristik Lingkungan
...
Jumlah dan Sebaran Ukuran Kepiting b k a u per Jenis
...
Distribusi Kepiling Bakau Berdasarkan Umur Bulan
...
Hubungan Keberadaan Kepiting Bakau dengan Karakteristik Habitat
KESIMPULAN DAM SARAN
Kesimpulan
...
Saran...
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp) menurut Keenan (1 999)
.
..
...
7
2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan
..
.. ...
. 253. Kisaran parameter kualis air per stasiun sebma penelitian
...
34 4. Rata-ratasuhu
sehma penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan)
...,...
35 - 5. Rata-rata salinitas selama penelitian dan hasit uji Beda Nyata Terkecil(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan)
...
.. .
386. Rata-rata pH selama penelitian dan hasil uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) antar stasiun dan waktu (bulan) penelitian
...
40 7. Rata-rata kedalaman air selama penelitian dan hasil uji Beda NyataTerkecil (BNT) antar stasiun dan waktu (bukn)
...,,,,...
42 8. Rata-rata fraksi substrat per stasiun...
..
. . .
439. Kondisi dan lokasi penyebaran hutan mangrove di
Segara
Anakan...
45 10. Daftar jenis vegetasi mangrove yang ditemukan di daerah penelitian..
46 11. Kerapatan mangrove per jenis dan per stasiun...
48 12. Kelimpahan makrozoobentos di perairan Karang Anyar SegaraAnakan
...
...
...,. ... .
.
. .
.
...
.
51 13. Bobot serasah di Stasiun 4, 5, dan 6.. .... ... ...
..
..
....
.. .. ..
... . . . .
53 14. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) rata-rata jumlah kepitingS.
serrata,
S,
tranquebarica, dan S. olivacea...
59 15. Hasil uji Beda Nyata Terkecil(BNT)
ukuran karapas kepiting jenisS.
semta antar
umur
bulan hijriyah...
...
..
.. ... .... .. ... . . .
66 16. Hasil uji Beda Nyata Terkecil(BNT)
ukuran karapas kepiting jenis S.tranquebarica antar umur bulan hijriyah
.
..
...
... .. .. .... .. .... .. ... .. ., .. .
6717. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) ukuran karapas kepiting jenis S.
olivacea antar umur bulan hijriyah .
..
..
..
...
.. .. .. ... .. ... .. .
..
.. .. .. . . . . .
6818. lndeks Morisita masing-masing jenis kepiting bakau
..
..
..
..
.. .... . .,.. .. ..
..
.
7219. Prosentase kepiting bakau S. olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata pada masing-masing stasiun berdasarkan karakteristik habitat
Halaman
...
.
1 Motfologi kepiting bakau
...
.
2 Daur hidup kepiting bakau
...
.
3 Peta bkasi penelitian
...
4
.
Skema metode pengambilan sampel5
.
Hasil analisis sidik gerombol semua stasiun pada tiap bulan...
pengamatan berdasarkan karakteristik lingkungan
. ... 6
.
Kepling bakau jenis S oiivacea.
7
.
Kepiting bakau jenisS
tranquebaflca...
.
...*...
8.
Kepiting bakau jenis S serrata9
.
Grafik analisis faktorial koresponden antara jenis kepiting per kelas...
Halaman
...
1
.
Perhitungan anova untuk jenis Scyllaserrata
89.
...
2
.
Perhitungan anova untuk jenisS
tranquebarica 96...
...
.
...
3
.
Perhaungan anova untuk jenisS
olivacea,
,,
109...
.
4 Hasil analisis faktorial koresponden 115
5
.
Hasil uji Beda Nyata Terkecif (BNT) rata-rata ukuran karapas kepiting. .
S . serrata. S tranquebariea. dan S olivacea ... 120 6
.
Hasil analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S ....
semta
yaw
lertangkap pada empat umur buhn berbeda 122 7.
Hasil analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S .tranquebarica yang tertangkap pad8 empat umur bulan berbeda
...
1248
.
Hasif analisis varians jurnlah dan ukuran karapas kepiting jenis S .olivacea yang tertangkap pada ernpat umur bulan beheda
...
126PENDAHULUAN
Latar belakang
Estuaria merupakan salah satu bentuk dari ekosistem lahan basah yang -
luasnya di Indonesia mencapai 38 juta ha (Wetland Indonesia. 1996). Kawasan- kawasan lahan basah (termasuk estuarial ini, mengalami
kenrsakan
yangsangat
serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak bewawasan lingkungan. Hal ini mengakibatkan menyusutnya hutan mangrove,hutan rawa, hutan gambut beseria keanekaragaman spesies flora dan fauna di dalamnya, pencemaran air karena penggunaan pupuk, racun
hama,
penyakit,serta
berbagai industri dan kegiatan pertambangan. Masalah serius lainnya adalah
pelumpuran. karena kegiatan pertanian di lahan atas yang tidak memperhatikan teknik konsentasi hutan, tanah dan air.
Kawasan Estauria Segara Anakan memiliki luas 45 340 ha (Mumi, 1995).
Secara administrasi termasuk ke dalarn Kabupafen Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.
Kawasan ini terdiri atas daratan seluas 11 940 ha, perairan rawa bakau 29 400 ha, dan perairan rawa payau 4 000 ha. Estuaria Segara Anakan ini dibatasi oleh Pulau Nusakambangan
seluas
30 000 ha. Kekhasan ekosistem ini karena tetaknyaterlindung oleh Pulau Nusakambangan yang memisahkannya dari Samudera
Indonesia. Segara Anakan tetap terpengaruh oleh gerakan pasang
sunrt
air iautkarena adanya dua kanal. yaitu kanal barat dan kanal timur, yang
Segara Anakan memiliki tip8 zonasi hutan mangrove
yang
tedengkap diPulau Jawa (Adiwihga, 1992), terdiri atas 26 jenis vegetasi dengan tiga jenis veg etasi paling dominan yaitu Rhizophora apiculata, R. mucronata, clan Bruguiera
gymnmhiza. Selain itu, ekosistem hutan mangrove dan perairan Segara Anakan juga merupalran habitat dari berbagai spesies hngka seperti pesut (Orchaella brevimMs), duyung (Dugong-dugong) serta jenis burung langka yang terancam punah seperti bluwok
(Mycfena
cinema) (Mumi, 2000).Secara ekokgis berfungsi sebagai daerah pemijahan dan pernbesaran
(numery ground) berbagai jenis spesies komersial baik ikan maupun udang
dan
habitat berbagai jenis fauna, diantaranya termasuk jenis yang dilindungi, serta sebagai tempat mencari makan bagi sekitar 45 jenis ikan peruaya (PKSPL, 1997). Dan segi sosial ekonomi, Segara Anakan merupakan sumbermata
pencaharianbagi rnasyarakat sekiamya, baik di bidang perikanan, pertanian, kehutanan,
pariwisata dan transportasi.
Produktivitas
Segara
Anakan berikut fungsi ekologis dan sosial ekonomisnya mendapat ancaman karena pendangkalan yang berlangsung lama menyebabkan penyusutan tuasan maupun kedalaman perairannya. Penyusutan ini disebabkan karena adanya sedimen yang terendapkan sebagai akibat adanyaemsi
di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, DAS Cikonde, dan DAS Cibeureum. Menurut ECL (1994), DAS Citandui mengkontribusi sekitar 5 juta m3 lumpur/tahun sedangkan DAS Cikonde sekitar 770 000 m3 lumpurltahun. Disarnping itu Napitupulu dan Ramu (1982) menyebutkan adanya sumber lumpur dari OAS Segara Anakan sekitar 1.6 juta rn31tahun dan limpasan banjir dail
kepiting bakau (Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. serrata) di habitat alaminya.
lden tifi kasi dan Perum
usan
MasalahPerairan Segam Analran saat ini terus mengalami akresi, pendangkalan
serta penrbahan ekosistem -perairan yang menyebabkan terjadinya perubahan
hidromorfografi. Perubahan ini diduga menciptakan habitat yang baik bagi
keberadaan kepiting bakau. Untuk mengetahui parameter karakteristik habitat dan
kaitannya dengsn keberadaan tiga jenis kepiting bakau, maka diperlukan
pendekatan masalah sebagai berikut:
I Menetapkan tip8 habitat dari ke-tiga
jenis
kepiting bakau bsrdasarkan pada variasi karakteristik lingkungan.2 Diamati dan diukur jenis dan kerapatan mangrove, parameter kualitas air dan substrat, serta ketersediaan makanan alami kepiting bakau.
3 Pada tiap tipe habitat dihitung jumiah individu per jenis, jenis kelamin, panjang karapas dan lebar karapas kepiting bakau. Kemudian dianaiisis penyebaran dan ukuran per jenis.
4 Menentukan pola distribusi kepiting bakau pada tiap tipe habitat berdasarkan
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penetitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengetahui pola distribusi kepiting bakau
bedasarkan
jenis dan ukuran. 2. Mengetahui kat-akteristik masing-masing habitat kepiting bakau danhubungannya dengan distribusi kepiting bakau.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
keberadaan, distribusi, dan kondisi kepiting bakau di alam, dapat menjadi data dasar
bagi kegiatan budidaya, sem menjadi bahan pertimbangan bagi perlindungan,
pengelolaan, dan pernanfaatan sumberdaya kepiting bakau untuk
masa
yang akandatang.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah karakteristik dan t i p
TlNJAUAN
PUSTAKA
Kepiting
BakauKlasifikasi dan Morfologi Kepiting
Bakau
Klasifikasi kepiting bakau menurut Oemardjati (1 992) adalah sebagai berikut:
Filurn Arthropods
Kelas Crustacea
Subkelas Malacostraca
Ordo Decapoda
Subordo Branchyura
Famili Portunidae
Genus Scylla spp
.
Genus Scyila spp. terdiri atas tiga
spesies
dan satu varietas, yaitu Scyilasemfa,
S. manica, S. tranquebarica, dan S. serrata var. paramamosain. Wamadigunakan sebagai faktor pembeda, yaitu S. oceanica dan S. tranquebarica
mempunyai wama dasar kehijauan atau hijau keabuan, sedangkan S. serrata
dan
S.serrafa
var. paramamosain mempunyai wama dasar hijau merah kecoklatan.Sedangkan Keenan (1997) mengoreksi tata nama ini dengan membagi
genus
Scylla menjadi Scylla olivacea, S. tranquebarica, dan S. semta. Perbedaanmorfologi
untuk membedakan ketiga jenis dari genus Scyila yaitu wama, gigi depanTabel 1. Morfologi kepi ting bakau ( S N l a spp.) menunrt Keenan (1 997)
I
WamaI
abu-abu
sepefti karatHljau menuju hijau
Hijau
bush taibn Hijau cdtlat rnerah,I
Gigi depankarapas -
I
DalarnI
TajamI
Surnber
pembuat wama
Landai
I
Duri pada Kedua duri tumpul Kedua duri Slasdan Satu
duri
Z c i G , satusendi jari rwncing agak tumpul
Melimpah
pada
Hanya pada daerahPigmen p"ligonal termasuk keliped
Scylla
serrah
(Forskal) mempunyai nama lokal yang beranekaragamdiantaranya kepiting lumpur (Australia),
ketarn
batu (Malaysia), dan kepiting bakau di Indonesia (Moosa et al. 1985).Ciri-ciri kepiting bakau yang merupakan bagian dari
suku
Portunidaeadalah
karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kin-kanannya terdapat sembilan buah duri
tajam, dan pada bagian depan
diantara
kedua tangkai matanya terdapat enam buahduri, sapit kanan lebih besar dari sapit kiri dengan warna kernerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga
pasang
kakijalan
dan satu pasang kaki renang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujungnya dilengkapi alat pendayung(Kasry, 1996). Selanjutnya Sulistiono et a!. (1992) menyatakan bahwa karapas berbentuk cembung dan halus, Iebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk
alur H antara gastrik dan kardiak jelas, empat duri triangular pada lengan bagian
depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada yang
betina sedikit membulat. Morfologi kepiting bakau {Scylla spp.) dapat dilihat pada
Gambar 1.
Pigmen poliganal
d, -a pad= kaki terakhir
Gambar 1. Morfologi kepiting bakau (Scylla spp.)
Sedangkan Moosa
ef
at. (1985) mendeskripsikan kepiting bakau sebagai berikut: karapas pipih atau agak cembung, bentukheksagonal
atau agak persegi,bentuk umum bulat telur, karapas lebih lebar dari panjangnya dengan permukaan yang tidak
selalu
jelas pembagian daerahnya, tepi anterelateral bergigi lima sampaisembilan buah, sungut melintang atau menyerong. Pasangan
kaki
terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung terutama duamas
terakhirnya.Kepiting jantan dan betina dibedakan oleh mas amomennya. Ruas abdomen kepiting jantan berbentuk segitiga, sedangkan pada kepiting betina berbentuk agak
Daur Hidup dan Habitat
Dalam menjalani kehidupannya, kepiting bakau beruaya dari perairan pantai
k8 perairan lad, kemudian induk dan anak-anak kepiting bakau ini akan berusaha
kembafi
ke
perairan pantai, muara sungai, atauperairan
hutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang tebh siap melakukan perkawinan ini akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya ke laut menjauhi pantai untuk memijah.Kepiting jaritan yang telah melakukan perkawinan akan berada di perairan bakau dan di
sekiiar
pantai pada bagian yang berlumpur (Kasry, 1996).Setelah telur menetas akan muncul larva tingkst 1 (zoea 1) yang
akan
terus berganti kulit dan terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat zoea V.Proses
ini biasanya membutuhkan waktu 18 hari. Zoea V ini akan mengalamipergantiin kulit lagi rnenjadi megalopa yang bentuk tubuhnya mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memitiki ekor. Kepiting bakau pada tingkat megalopa ini
akan
beruaya kembal
ke
pantai, muara sungai, dan kernbali ke hutan mangrove.Kepiting
bakau
dapat dikatakan dewasa dan telah dapat memijah pada umur12-14 bukn (Afrianto dan Liviawati (1 992). Untuk mendapatkan gambaran yang
- -
Gambar 2. Daur hidup kepiting bakau (Soim, 1999).
Warner (1977) menyatakan bahwa kepiting
bakau
mulai dari telur sampaidewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaUu mulai dari zoea, megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa. Setiap terjadi pergantian kulit, zoea tumbuh dan berkembang yang ditandai dengan adanya seta renang pada endopoda maxiliped-nya. Megalopa yang mirip kepiting dewasa seringkali dirujuk sebagai
Makanan dan Kebiasaan Makan
Larva kepiting bakau membutuhkan pakan dalam jumfah tertentu untuk
menunjang aktivitas pertumbuhannya. Jenis pakan yang dikonsumsi kepiting juga
bervariasi, tergantung pa& ukuran kepiting yang dipelihara. Dalarn fase larva,
kepiting menyukai pakan berupa plankton atau kutu air yang berukuran kecil, sesuai dengan ukuran mulut kepiting
yang
juga relatif kecil. Umar (2000) menyatakan bahwa pada saat pertama kali menetas, larva kepiting bakau cenderung lebihmenyukai fitoplankton karena ukuran bukaan mulutnya yang masih kecil. Setelah
mengalami perkernbangan lebih
ianjut
sehingga mencapaiukuran
yangmemungkinkan untuk rnemangsa zooplankton, maka
larva
kepitingbakau
cenderunglebih menyukai zooplankton, yaitu dari jenis kopepoda.
Hal ini didukung oleh pendapat Kasry (1996) bahwa larva kepiting bakau
lebih bersifat pernakan plankton, khususnya
larva
pada tingkatawal.
Makanannya terdiri dari berbagai organisme planktonik seperti diatom, Tetmselmis chuii, Chlomllasp.,
rotifer, larva ekinodermata, larva berbagai jenis moluska, cacing, dan lain-lain.Jadi semakin tinggi tingkat larvanya, makanannya pun lebih bersifat kamivor- omnivor.
Makanan hidup yang dikrikan pada larva yang dipelihara di Iaboratorium
diusahakan berukuran tubuh
yang
lebih kecil daripada ukuran bukaan mulut larva. Karena itu, larva tingkat awal ini sebaiknya dihrikan rotifera dan fitoplankton (Kasry,1996). Setelah mernasuki fase megalopa, kepiting bakau cenderung lebih menyukai
organisme yang berukuran lebih besar. Dari penelitian Munir (1999) didapatkan bahwa kombinasi pakan alami berupa Brachionus sp. dengan Tetmselmis sp.
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan
segala
dan pernakan bangkai (omnivorous-scavenger). Mereka rnemakan tumbuhan, bangkai hewan, kayu danbambu di tambak-tambak (Kasry, 1996).
Soim
(1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa kepiting bakau lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewandan udang. Aktivitas makan kepiting bakau jantan lebih tinggi daripada aktivitas makan kepiting betina (Mangampa et a/. 1987). Selanjutnya dijelaskan oleh Lavina (1977) dalam Mangampa
et
a/. (1987) bahwa pada kepiting betina energi yang adadigunakan
untuk
perturnbuhan dan perkembangan gonad, sehingga aktivitas makanpada kepiting betina cenderung menurun.
Hutching dan Saenger (1987) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di
se kitar hutan mangrove dan memakan akar-akarny a Ipneumatophore). Hill (1 978)
menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah
cukup tersedia. Hal senada juga diungkapkan Moosa et a!. (1985) bahwa kepiting
bakau menrpakan organisme bentik yang memakan serasah, habitatnya adalah
perairan intertidal di dekat hutan mangrove
yang
krsubstrat lumpur.Opnai (2986) menyatakan bahwa kepiting bakau di perairan
hutan
mangrove Papua New Guinea, 89% lambungnya berisi bivalvia, gastropoda dan rnoluskalainnya, serta 11% sisanya terdiri dari krustasea yang sulit untuk diidentifikasi. Hasil analisa isi perut dari kepiting bakau yang ditangkap di rnuara Sungai Cenranae Bone rnenunjukkan bahwa lebih dari 90% isi lambungnya terdiri dari jenis alga (Spirogyra
sp. dan
Cham
sp.), larva insekta dan benih tiram (Gunarto et at. 19871, sedangkan diperairan
Segara Anakan banyak diternukan rnoluska dan tiram, yang merupakanTangan dan -pit kepiting
yang
besar dan kuat memungkinkannya untuk menyerang musuh dengan ganas atau membek-rob& makanannya. Sobekan makanan itu dibawa ke mulut dengan kedua sapitnya. Kepiting bakau biasanyamakan tidak beraturan, tetapi biasanya lebih aktif di rnalam hari daripada di siang
hari. Karena itu kepiting bakau tergolong hewan noktumal (hewan yang aktif di malam hari) (Moosa et al. 1985).
Almada (2001) dari hasil penelitiannya di laboratorium menambahkan waktu
makan
kepifing bakau adalah malarn hari (pukul 18.00-
24.00). Sianghati
kepitingjuga makan, tapi jumlah dan frekuensinya lebih kecil daripada
rnalam
hari. Dari hasilpercobaan di laboratorium
diperoieh
infomasi bahwa kepitingbakau
lebih menyukaiumpan
berupa kulit sapi karena baunya yang lebih menyengat dan disukai kepitingdaripada umpan lain berupa belut dan ikan nila.
Preferensi Kepiting Bakau Te*adap Kualitas Air
Kualitas air merupakan
salah
satu faktor lingkungan yang dapatmempengaruhi
keberadaan
dan perturnbuhan semua organisme, termasuk kepitingbakau. Dengan demikian di atarn, kepiting bakau hanya akan menempati habitat dalam suatu badan perairan yang memiliki kondisi kualitas air yang mampu ditobrir
oleh organisme tersebut.
Kedalaman Air
Kedalaman air salah satunya dipengaruhi oleh peristiwa pasang surut.
Kedalaman air ini berpengaruh kepada kepiting bakau terutama pada saat terjadi perkawinan. Walaupun demikian, kepiting ba kau ini tetap dapat hidup pada perairan
pada kedalaman 30 cm- 79 cm di perairan dekat huian mangrove dan 30
cm
- 125 cm di muara sungai.Pada siang hari kepiting bakau terlihat menuju ke perairan yang dangkal, sedangkan di Pulau Caroline bagian
timur,
Scylla$errata
ditangkap di perairan di sekitar hutan mangrove saat air surut (Hill, 1980).larva kepiting bakau yang berasal dari
lauf
banyak dijurnpai di sekitarestuaria dan hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang biasanya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk bedindung. Kepiting bakau tahap juvenil
(first cmb) mengikuti pasang tertinggi di zona intertidal untuk rnencari makan, lalu kembali lagi ke zona sub-tidal pada saat
air
sum.Sedangkan kepiting bakau dewasa rnerupakan penghuni tetap perairan
zona intertidal,
membenamkan
dirinya ke dalam lumpur atau menggali lubang padasubstrat yang lunak (Mulya, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa sebelurn molting @re-molf) kepiting bakau membenamkan dirinya ke dalam lumpur atau masuk ke dalam lubang sampai karapasnya mengeras.
Suhu
Suhu adalah faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap kehidupan kepiting bakau. Pengaruh langsung dari suhu terhadap kehidupan di laut adalah laju
fotosintesis fitoplankton dan proses fisiologi hewan, meliputi
metabolisme
dan siklus reproduksinya.Menurut Hill (1982), suhu air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan, molting, aktivitas dan juga nafsu rnakan kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah
Biasanya pada saat ini pertumbuhan akan terhenti, walaupun kepiting masih tetap hidup.
Di perairan hutan mangrove Muara Dua Segara Anakan, kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 28,s OC -36,O OC (Wahyuni dan
Sunaryo,
1981). Toro ('l986) mendapatkan kepiting bakau pada perairan dengan kisaran suhu 27,6 OC-
30,5OC
.
Sedangkan di perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tangerang, kepiting bakau diternukan pada suhu perairan tata-rata 28,8 OC.Brick (1974) dalam Kasry (1986), menyatakan bahwa di Hawai kepiting
bakau betina beruaya untuk memijah dengan cara mencari perairan dengan kisaran suhu air 24
OC
-
28'c,
sedangkan di Thailand, suhu Ma-rata 29,O OC. MenurutFelder dan Heasman (19781, perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau, sehingga kepiting bisa dewasa dalarn
waktu yang lebih singkat.
Suho juga dapat mempengaruhi kehidupan larva. daiarn hat ini tingkat perkembangan larva dengan adanya perbedaan suhu pemeliharaan. Zoea ke lima pertama dicapai pada waktu 15 hari pemeliharaan dengan ratwata suhu 27,5
OC,
14-
15 hari pada suhu 22,5 OC, 13-
14 hari pada suhu 27 'C, dan 14-
18 hari padasuhu 27 OC (Heasman dalam Siahainenia, 2000). Diduga bahwa disamping
kepadatan makanan, maka suhu juga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau.
Salinitas
Menuiut Kinne (1964) dalam La Sara (1 9941, salinitas diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ organisme perairan melalui perubahan tekanan osmotik,
viskositas, perubahan penyerapan sinar, penghantaran suara dan daya hantar listrik.
Hal ini akan mengubah komposisi spesies pada situasi ekologi saat itu.
Organisme tertentu membutuhkan salinitas betbeda pada setiap fase dari
siklus hidupnya. Pada kepiting bakau, salinitas berpengaruh terutama pada saat
pergantian kulit. Kasry (1 991) mengungkapkan bahwa kisaran ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi diketahui
bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersalinitas rendah.
Kepiting dewasa biasanya kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan
salinitas 15 'IoD
-
20'loo
kemudian beruaya kelaut
dalam untuk rnemijah.Kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup has. Kepiting
bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 'la dan lebih besar dari 30 Olm. Hill (1 978) melaporkan bahwa Scyila serrata mampu mentolerir perairan
dengan salinitas sarnpai 60 0100, sedangkan Wahyuni dan lsmail (1987)
rnendapatkan kepiting bakau dewasa di Tanjung Pasir, Tangerang dengan kisaran
salinitas 0 O/W
-
1 8 ~ / ~ , sedangkan menurut Retnowati (1991). kepiting bakauditemukan pada hutan mangrove Muara Kamal dengan kisaran salinitas 5
-
30 0loo.
Derajat
Keasaman
(pH)Dari hasil penemian Sudiarta (1988) kisaran pH antara 7,9
-
8,3 dapatmendukung kehidupan kepiting bakau yang dipelihara. Wahyuni dan Sunaryo (1 98 1)
menambahkan bahwa pada hutan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting
bakau didapatkan pada kisaran pH 6,18
-
7,50, di pertambakan Muara Kamal,kisaran pH 6,21- 8,50. Penelitian Lain juga melaporkan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam. yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rda-rata 6.16 (Walsh dalam Sara, 1994).
Fraksi Subsbat
Tekstur substrat di sekiar hutan mangrove umumnya terdiri atas lumpur dan liat. Hal ini sangat memungkinkan sebab partikel lumpur dan liat akan cepat mengendap karena air di sekiiamya relatif tenang
dan
terlindung.Adanya substrat di sekiar hutan mangrove sangat
mendukung
kehidupankepiting bakau, terutama
untuk
rnelangsungkan perkawinan. Menurut Moosa et al.(1985), habitat kepiting
bakau
adalah pada perairan intertidal (dekat hutanmangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar hutan
rnangrwe
yang didomlnasi oleh kandungan lumpur banyak mengandung bahanorganik, tempat serasah dari hutan
mangrove
akan terurai membentuk detritus dankernudian mengendap pada substrat. Serasah sendiri rnerupakan makanan alarni bagi kepiting bakau.
Substrat halus berupa lumpur dan liat yang mengandung banyak serasah dan bahan organik juga mendukung kehidupan berbagai organisme,
tenrtarna
gastropoda. Gastropods sendiri merupakan salah satu makanan alami kepiting
bakau. Dari hasil penelifan Opnai (1986) dalam Siahainenia (2000). dinyatakan
bahwa 89 % isi lambung kepiting bakau adalah bivalvia, gastropoda, dan
moluska
lainnya.
Berkaitan dengan kehidupan dan penyebaran kepiting
bakau
makamempengaruhi kehidupan dan penyebaran moluska yang rnerupakan pakan alami bagi kepifing bakau.
Hari
Bulan
dan Pasang SurutSerta
Pengaruhnya
Terhadap Fauna
LautHari bulan
adalah
usia bulan yang dihitungsejak
bulan gelap hingga bulangelap berikutnya, biasanya dibagi menjadi empat kuadran. Kuadran I adalah sejak gelap pertarna sampai dengan bulan brbentuk setengah purnama. Kuadran II
adalah
sejak
setengah purnama sampai bulan bulat penuh (purnama). Kuadran 111adalah sejak bulan bulat penuh (pumama) sampai berbentuk setengah pumama
kedua. Kuadran IV adalah
sejak
bulan berbentuk setengah purnarna kedua sampai bulan gelap kembali. Perbedaan tampiIan tersebut disebabkan posisi relatif bulanterhadap rnatahari. Lama tiap periode
rata-rata
tujuh hari, satu bulan terdiri atas 28 hari atau 29 hari (terkadang 30 hari).Kedudukan relatif bulan terhadap matahari tersebut menimbulkan pasang
sum atau perubahan tinggi pemukaan perairan di bumi (Sijabat, 1970). Disarnping
naik turunnya permukaan air laut akibat kedudukan bulan, kedudukan bulan dapat
pula menyebabkan pencahayaan alami pada malam hari yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan perairan. Pada saat bulan purnarna, kolom perairan lapisan atas
menjadi relatif
tenang.
Keadaan ini dimanfaatkan oleh fauna yang aktif di malam hari yang mengandalkan indera penglihatan untuk mencari makan, melakukanpemijahan dan ruaya. Pada saat periode bulan gelap, aktivitas fauna-fauna tersebut berbeda.
campuran.
Pasmg surut harian tunggal hanya tejadi satu kali pasang dan satu kalisurut setiap had, seperti yang tejadi di Selat Karimata yaiiu antara Kafimantan dan
Sumatera. Pasang surut
harian
ganda terjadi dua kali pasang dan dua kali surutyang
tingginya hampirsama
setiap hari seperti yang te jadi diSelat
Malaka dan h u tAndaman. Pasang surut campuran jenis tunggal dan atau ganda masih menonjol
pasang sunrt campuran yang condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semi
diurnal),
tejadi dua kali pasang dan surut dalam sehari, terdapat di perairanIndonesia Timur. Pasang sunrt wndong ke harian tunggal (mixed tide prevailing
diurnat), tejadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap harinya, terjadi di Selatan Kalimantan dan Utara
Jawa
Barat (Nontji, 1987).Pada saat pasang naik, fauna hut dapat bergerak ke perairan yang lebih dangkal yakni yang dekat dengan garis pantai. Sebagian fauna akan beruaya ke
pantai
mencari makan mernanfatkan fauna-fauna Lain di dasar perairan yang tidakterendarn air secata berkab. Sebagian ikan yang beruaya masuk ke muara-muara
sungai jauh ke pedalaman. Pada saat sunit sebaliknya, fauna umumnya akan
menjauhi pantai garis.
Pada saat puncak periode bulan gelap dan bulan terang (pumama) jarak
bulan terhadap bumi minimum. Sehingga biasanya akan te rjadi pasang penuh yang
mengakibatkan arus pasang surut yang kuat. Perubahan kondisi permukaan
laut
ini dapat berpengamh nyata terhadap hasil tangkap harian, contohnya rajungan. Pad8 wakfu bulan gelap, rajungan tidak aktif mencari makan, sedangkan pada periode M a n terang aktivitas rajungan mening kat. Susilo (1 992) menyaran kanpenangkapan rajungan sebaiknya dilaksanakan pada saat periode bulan sabit
(Atrnaleksana 1981, Sutowo 1984, dan Tatuwo 1997). Untuk mengoperasikan alat
tang kap ikan yang menggunakan cahaya sebagai pemikat untuk mengumpulkan ikan, periode bulan yang paling produktif adalah saat bulan gelap dan penode bulan setengah
pumama.
Hutan
MangrovePengertian Hutan Mangrove
Kata
mangrove merupakan perpaduan anfara bahasa Portugis yaitu Mangue dan bahasa lnggris yaitu Grove (Macnae, 1968). Kata Mangmwe di dalam bahasalnggris dipakai baik untuk komunitas pepohonan. rerumputan atau semak belukar
yang tumbuh di daerah pesisir, atau untuk individu jenis tumbuhan lain yang
berasosiasi dengannya.
Pengertian hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang dipengaruhi
pasang surut air laut dengan keadaaan tanah yang anaerobik. Walau keberadaan
hutan ini tidak tergantung pada iklim, tapi umumnya hutan mangrove dapat tumbuh dengan baik di daerah tropik pada daerah pesisir yang terlindung seperti delta
sungai dan estuaria.
Volume air tawar dan air laut yang bercampur serta frekuensi
percampurannya sangat berpengaruh pada kondisi fisika-kimia perairan hutan mangrove. Beberapa
faktor
lingkungan yang mempengaruhi komunitas mangroveadalah suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan, dart substrat dasar
(Nybakken, 1992).
Darsidi (1986) mengungkapkan ciri-ciri hutan mangrove sebagai berikut;
(1). Dipengaruhi oleh pasang surut ; (2). Tidak dipengaruhi oleh iklim; (3). Tanah
(5). Pohon dapat mencapai ketinggian 30 meter; dan (6). Jenis jenis pohon dari laut ke arah darat adalah bakau bandul (Rhimphora mucmnata), a pi-api (A vicennia marina), bog ern (Sonnemtia alba),
n
yiri h (Xylocarpus moluccensis), tancang(Brugujera gymnorrhiza). dan nipah (Nypa fruticans).
PoCnsi Hutan Mangrove
Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia sangat beragam. Giesen (1 993) rnenyebutkan bahwa luas mangrove lndonesia 2,5 juta hektar, Dit. Bina Program INTAG (1996) rnenyebutkan 3,5 juta hektar. Umumnya mangrove ditemukan menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia.
Hutan mangrove Segara Anakan merupakan sumberdaya alam yang langka
dan merupakan hutan mangrove terluas yang masih tersisa di Pulau Jawa. Luasnya saat ini tinggat 9 695 ha dengan penyusutan rata-rata dari tahun 1984 sampai tahun 1994 seluas 300,5 ha/tahun. Penyusutan ini terjadi akibat banyaknya konversi hutan
mangrove menjadi areal tambak, lahan pertanian, atau untuk permukiman.
Darsidi (1986) mengungkapkan bahwa secara garis besamya potensi hutan mangrove terbagi dua, yaitu potensi dari segi ekologis dan potensi ekonomis. Potensi ekologis hutan mangrove terletak pada kemampuan hutan mangrove dalam mendukung eksistensi lingkungan, yaitu sebagai
penahan
angin, gelombang, hutan airasin,
pengendali banjir, tempa? mencari makan, persernbunyian, dan daerah asuhan bagi berbagai biota air, yang semuanya ini sulit untuk dinilai dengan uang.Lokasi
dan Waktu
PenelitianPenelitian dilakukan di perairan dan di dalam hutan mangrove Karang Anyar, Desa Ujung Gagak, Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Pengambilan sarnpel dilakukan setiap hari selama empat bulan, mulai dari
tanggal 1 September 2001 sampai dengan bulan tanggal 31 Desember 2001.
Alat
dan
Bahan PenelitianAlat yang digunakan dalam penelitian ini anbra lain alat tangkap (wadong dan jaring), tongkat berskala, sieve set, sieve
shaker,
petak pengarnatan, pipaparalon,
kompas, handcounter,
hand refmcto salinometer, pH meter, timbanganelektronik balans model ER-120A, oven, termorneter air raksa,
buku
identifikasi kepiting bakau, makrozoobentos dan mangrove,botof
sampel, ember plastik, kantong plastik, kertas saring, meteran yang terbuat dari plastik, alat bedah, botolfilm, mikroskop, gelas ukur, pipet, gelas preparat, mikrometer, jangka sorong, serta alat tulis.
Bahan yang digunakan adalah contoh kepiting bakau, tumbuhan mangrove,
makrozoobentos, contoh air dan substrat, contoh
serasah, alkohol
70YO,
forrnafin 4Metode Penelitian
Lokasi Penetitian
Deskripsi
Lokasi
PenelitianGerumbul Karang Anyar adalah salah satu daerah pemukiman nelayan di pinggiran perairan bagian barat Segara Anakan. - Sebagian besar masyarakatnya
bermata
pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan dan petani bmbak. Saiahsatu usaha penangkapan yang dilakukan nelayan tersebut adalah menangkap kepiting bakau, baik di perairan Segara Anakan maupun di dalam hutan mangrove.
Alat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan
adalah
jaring, sedangkan untuk menangkap kepiting bakau di daerah hutan mangrovedigunakan wadong/ bubu (imp).
Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan stasiun penelitian dilakukan bedasarkan kepada daerah
penangkapan kepiting bakau oleh nelayan di Karang Anyar dan sekitarnya. Terdapat enam stasiun penelitian meliputi masing-masing tiga titik di perairan dan tiga titik di
dalam hutan mangrove, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Selengkapnya stasiun- stasiun ini adalah:
Stasiun 1 : Perairan Tirang Kesik Stasiun 2 :
Perairan Utara Bagian
Stasiun 3 : Perairan Selafan Muara Dua Stasiun 4 : Hutan Mangrove J o ~ g o r
Pengumpulan Data Penelitian dan
Prosedur
PelaksanaannyaPengumpulan data penelitian mencakup parameter yang diukur dan
satuannya, alat atau metode pengukuran dan ternpat pengukuran disajikan dalam Tabel 2. berikut:
Tabel 2. Parameter yang diukur serta alat dan metode yang digunakan
+ Termometer Hg Salinitas air 4. mangrove ldentifikasi
jenis
Kerapatan jenis mangroveAnalisis
makanan alami kepiting bakau
Kelimpahan makrozooben- thos
Buku identifikasi
Belt tmnsek (diidentifikasi, diukur diameter,dan dihitung jumlah individu per jenis).
Petak pengamatan, dan
sieve set (diidentifikasi, dihitung jumlah individu per jenis)
Petak pengamatan, oven, dan timbangan Ohauss
(dibersihkan, dikeringkan dan ditimbang)
-
individul
100 mZ
individu /
m2
grl m2
in-situ
in-situ
a in-situ
dan lab
in-situ
Pengumpulan Contoh Kepiting Bakau
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan alat tangkap nelayan
tradisional yaitu wadong dan jaring. Untuk penangkapan kepiting bakau di
hutan
mangrove, digunakan wadong (bubu) berukuran 90 crn x 60 cm x 30cm
(panjang xlebar x tinggi). Pada tiap stasiun, wadong ditempatkan secara
acak
dalampetak
-pengamatan berukuran 20m x 20
m.
Penempatan wadong yang telah diberi umpandilakukan pada pukul 16.00 WIB, sedangkan pengambilan kepiting
bakau
dilakukankeesokan harinya pada pukul 07.00 WIS. Pernasangan wadong dan pengambilan contoh kepiting bakau dilakukan setiap hari
selama
empat bulan.Sedangkan untuk penangkapan kepiting di perairan digunakan jaring kepiting dengan ukuran
mata
jaring 3 inci, panjang jaring 30 m. Jaring ditempatkan di perairan, searah dengan arah arus. Penangkapan kepiting bakau dengan jaring inidilakukan dari pukul08.00 sampai dengan pukul 15.00 WIB.
Selanjutnya kepiting bakau yang didapat diidentifikasi, dihitung jumlah
individu per-jenis dan jenis kelamin, panjang dan lebar karapas. Metode
Gambar 4. Skema metode pengambilan sampel
Pengukuran Parameter Fisik-Kimia Air dan Substrat
Pengukuran
parameter fisik-kimia air dan substrat dilakukan secara in-sifu (dilapangan), sedangkan untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil
sampel substrat pada tiap stasiun pengamatan, dikeringanginkan dan dibawa ke
Laboratorium llmu Tanah Fakultas Pertanian lnstitut Pertanian Bogor untuk dianalisa
berdasarkan persentasi u kuran butiran.
Pengukuran Kerapatan Jenis Mangrove
Pengukuran kerapatan jenis mangrove dilakukan dengan
membuat
petak pengamatan berukuran 10 m x 10 m untuk katagori pohon (diameter > 10cm)
pada2-10 cm) dengan membuat petak pengarnatan berukuran 5 rn x 5 rn di dalam petak
pengamatan 10 rn x 10 m tersebut.
Pengambitan Contoh Serasah dan Organisme Makroroobentos
Pengambilan contoh serasah dan organisme makrozoobentos dibkukan
pada tiap stasiun pengarnatan bersamaan - dengan pengambilan contoh kepaing bakau. Contoh serasah diambil dengan menggunakan paralon berdiameter 10
cm,
sedangkan
untuk makmzoobentos dengan menggunakan sekop. Kedua contohtersebut diarnbil di dalam petak pengamatan 1 m x 1 m, sampai kedalaman 20 cm. Contoh
serasah
yang didapatselanjutnya
dibersihkan menggunakan sieve set,dikeringkan dengan oven, lalu ditimbang. Sedangkan untu k rnakrozwbentos
disaring menggunakan sieve set berdiameter > 0.5
mm,
diawetkan dengan formalin4 %, lalu diidentifikasi.
Analisis Data
KeIimpahan Makroroobentos
Kelimpahan makrozoobentos dapat diukur dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
N = Kelirnpahan makrozoobentos jenis i
C ni = Jumlah individu jenis t
Pola Oistribusi Kepiting Bakau
Selanjutnya dilakukan analisis pola distribusi kepiting bakau dengan menggunakan rumus Indeks Penyebaran Morisita sebagai berikut:
Keterangan:
n
=
jumlah plotN
=
jumlahtotal
individuda