BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sektor Unggulan
Pengertian sektor unggulan biasanya berkaitan dengan suatu
perbandingan, baik itu perbandingan berskala regional, nasional maupun
internasional. Pada lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggulan jika
sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain.
Sedangkan pada lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor
unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang
sama yang dihasilkan oleh wilayah lain, baik di pasar nasional ataupun domestik
(Tambunan, 2001). Suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah
tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah
lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno, 2000).
Sektor unggulan menurut Tumenggung (1996) adalah sektor yang
memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif dengan produk
sektor sejenis dari daerah lain serta memberikan nilai manfaat yang besar. Sektor
unggulan juga memberikan nilai tambah dan produksi yang besar, memiliki
multiplier effect yang besar terhadap perekonomian lain, serta memiliki
permintaan yang tinggi baik pasar lokal maupun pasar ekspor (Mawardi, 1997).
Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi lebih besar untuk tumbuh
lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya
faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal,
pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan teknologi (technological
memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang
bersangkutan (Rachbini, 2001).
Sektor unggulan di suatu daerah (wilayah) berhubungan erat dengan data
PDRB dari daerah bersangkutan. Karena di dalam PDRB terkandung informasi
yang sangat penting diantarnya untuk melihat output sektor ekonomi (kontribusi
masing-masing sektor) dan tingkat pertumbuhan dalam suatu daerah baik daerah
provinsi maupun kabupaten/kota.
2.2. Kriteria Penentuan Sektor Unggulan
Penentuan sektor unggulan menjadi hal yang penting sebagai dasar
perencanaan pembangunan daerah sesuai era otonomi daerah saat ini, dimama
daerah memiliki kesempatan serta kewenangan untuk membuat kebijakan yang
sesuai dengan potensi daerah demi mempercepat pembangunan ekonomi daerah.
Adapun kriteria sektor unggulan menurut Sambodo dalam Usya (2006) yaitu:
pertama sektor unggulan memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kedua
sektor unggulan memiliki angka penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, ketiga
sektor unggulan memiliki keterkaitan antara sektor yang tinggi baik ke depan
maupun ke belakang, dan keempat sektor yang mampu menciptakan nilai tambah
yang tinggi.
Menurut Rachbini (2001) ada empat syarat agar suatu sektor tertentu menjadi
sektor prioritas, yaitu :
1. Sektor tersebut harus menghasilkan produk yang mempunyai permintaan
yang cukup besar sehingga laju pertumbuhan berkembang cepat akibat
2. Karena ada perubahan teknologi yang teradopsi secara kreatif maka fungsi
produksi baru bergeser dengan pengembangan kapasitas yang lebih luas.
3. Harus terjadi peningkatan investasi kembali dari hasil-hasil produksi
sektor yang menjadi prioritas tersebut, baik swasta maupun pemerintah.
4. Sektor tersebut harus berkembang sehingga mampu memberi pengaruh
terhadap sektor-sektor lainnya.
Menurut Ambardi dan Socia (2002), kriteria komoditas unggulan suatu daerah,
diantaranya:
1. Komoditas unggulan harus mampu menjadi penggerak utama pembangunan
perekonomian. Artinya, komoditas unggulan dapat memberikan kontribusi
yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan, maupun pengeluaran.
2. Komoditas unggulan mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang
kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lainnya.
3. Komoditas unggulan mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain
di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya
produksi, kualitas pelayanan, maupun aspek-aspek lainnya.
4. Komoditas unggulan daerah memiliki keterkaitan dengan daerah lain, baik
dalam hal pasar (konsumen) maupun pemasokan bahan baku (jika bahan baku
di daerah sendiri tidak mencukupi atau tidak tersedia sama sekali).
5. Komoditas unggulan memiliki status teknologi yang terus meningkat,
terutama melalui inovasi teknologi.
6. Komoditas unggulan mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara
7. Komoditas unggulan bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, mulai dari
fase kelahiran, pertumbuhan, puncak hingga penurunan. Di saat komoditas
unggulan yang satu memasuki tahap penurunan, maka komoditas unggulan
lainnya harus mampu menggantikannya.
8. Komoditas unggulan tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal.
9. Pengembangan komoditas unggulan harus mendapatkan berbagai bentuk
dukungan. Misalnya, dukungan keamanan, sosial, budaya, informasi dan
peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disinsentif, dan lain-lain.
10.Pengembangan komoditas unggulan berorientasi pada kelestarian sumber
daya dan lingkungan.
2.3. Konsep Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang terus menerus
menuju perbaikan di segala bidang kehidupan masyarakat dengan berstandar pada
seperangkat nilai-nilai yang dianutnya yang mengarahkan mereka untuk mencapai
keadaan dan tingkat kehidupan yang didambakan. Pembangunan hendaknya
diarahkan pada pengembangan potensi sumber daya, inisiatif, daya kreasi dan
kepribadian dari setiap warga masyarakat.
Kartasamita (1996) dalam Safi’i (2007) mengatakan pembangunan adalah
usaha meningkatkan harkat martabat masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Membangun
masyarakat berarti memampukan atau memandirikan mereka. Dimulainya proses
pembangunan dengan berpijak pada pembangunan masyarakat, diharapkan akan
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat
multidimensional yang melibatkan kepada perubahan besar baik terhadap
perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan
kemiskinan, mengurangi ketimpangan dan pengangguran dalam konteks
pertumbuhan ekonomi, Todaro (2003) dalam Sirojuzilam (2010).
Sadono Sukirno (1985) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai
suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu
masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Definisi tersebut mengandung
pengertian bahwa pembangunan ekonomi merupakan suatu perubahan yang
terjadi secara terus-menerus melalui serangkaian kombinasi proses demi mencapai
sesuatu yang lebih baik yaitu adanya peningkatan pendapatan per kapita yang
terus menerus berlangsung dalam jangka panjang.
Menurut Schumpeter dalam Adisasmita Rahardjo (2005) pembangunan
adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang
senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya.
Dalam konteks pembangunan, Rodinelli (1961) menyatakan bahwa kebijaksanaan
pemerintah ditujukan untuk mengubah cara berpikir, selalu memikirkan perlunya
investasi pembangunan. Dengan adanya pembangunan akan terjadilah
peningkatan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu terciptanya taraf hidup yang lebih
baik, saling harga menghargai sesamanya, serta terhindar dari tindakan
sewenang-wenang.
Adapun tujuan pembangunan menurut Gant (1971) dalam Sirojuzilam
(2010), ada dua tahap. Tahap pertama, pada hakikatnya pembangunan bertujuan
hasilnya maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagi
warganya untuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya.
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak
kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanankan khususnya dalam bidang ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai
macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk
mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang.
Pertumbuhan ekonomi harus berjalan secara beriringan dan terencana,
mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil
pembangunan dengan lebih merata. Pertumbuhan merupakan ukuran utama
keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula
dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya
maupun karna campur tangan pemerintah. Untuk melihat fluktuasi pertumbuhan
ekonomi secara riil dari tahun ke tahun tergambar melalui penyajian Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga konsumen secara berkala.
Pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian,
sebaliknya apabila negatif menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan.
Kuznets (1996) dalam Sirojuzilam (2008) mendefenisikan pertumbuhan
ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk
menyediakan semakin banyak barang kepada penduduknya, kemampuan ini
bertambah sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan
ideologis yang diperlukan. Sedangkan menurut Boediono (1985) dalam Tarigan
jangka panjang. Menurut Adisasmita Rahardjo (2005) pertumbuhan ekonomi
adalah peningkatan dalam kapasitas suatu bangsa jangka panjang untuk
memproduksi aneka barang dan jasa bagi rakyatnya.
2.4. Pembangunan Ekonomi Daerah
Secara umum, pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana
pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber
daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu
lapangan kerja baru dan merangsang pengembangan kegiatan ekonomi dalam
daerah tersebut, amat tergantung dari masalah fundamental yang dihadapi oleh
daerah itu. Bagaimana daerah mengatasi masalah fundamental yang dihadapi
ditentukan oleh strategi pembangunan yang dipilih. Dalam konteks inilah
pentingnya merumuskan visi dan misi dan kemudian memilih strategi yang tepat
(Kuncoro, 2004).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada
penekanan-penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang
didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development)
dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, sumber daya alam serta
sumber daya buatan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Khusaini,
2006).
Dalam pembangunan ekonomi daerah peran pemerintah dapat mencakup
peran wirausaha (enterprenuer), koordinator, fasilitator dan stimulator (Blakely,
1989) dan (Kuncoro, 2004). Sebagai wirausaha, pemerintah daerah
bertanggungjawab untuk menjalankan suatu usaha bisnis dengan memanfaatkan
dapat juga untuk tujuan perencanaan pembangunan. Sebagai koordinator,
pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan dan mengusulkan strategi
pembangunan didaerahnya, bekerjasama dengan badan usaha dan kelompok
masyarakat lainnya. Sebagai fasilitator, pemerintah daerah dapat mempercepat
pembangunan melalui perbaikan lingkungan perilaku didaerahnya. Peran ini dapat
meliputi pengefisienan proses pembangunan, perbaikan prosedur perencanaan dan
penetapan peraturan. Sebagai stimulator, pemerintah daerah dapat menstimulasi
penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan
mempengaruhi perusahaan-perusahaan yang ada tetap berada didaerah tersebut,
demikian juga berbagai macam fasilitas untuk menarik pengusaha masuk ke
daerah.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama
untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakat harus
secara bersama – sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh sebab itu,
pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan
sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang
diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah, Arsyad
(2004) dalam Sinaga (2012).
Dalam pembangunan ekonomi daerah, pengembangan tidak dapat
dilakukan serentak pada semua sektor perekonomian akan tetapi diprioritaskan
pada pengembangan sektor-sektor perekonomian yang potensi berkembangnya
cukup besar. Karena sektor ini diharapkan dapat tumbuh dan berkembang pesat
mengimbangi perkembangan sektor potensial tersebut. Pertumbuhan yang cepat
dari sektor potensial tersebut akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi
lainnya yang pada akhirnya secara tidak langsung sektor perekonomian lainnya
akan mengalami perkembangan.
2.5. Perubahan Struktur Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung secara berkesinambungan dalam
suatu kurun waktu tertentu dapat mengubah struktur ekonomi. Keadaan ekonomi
di negara manapun umumnya mengalami pertumbuhan baik secara alamiah
maupun pengaruh dari kebijakan ekonomi. Perubahan struktur (transformasi
struktural) perekonomian suatu daerah adalah perubahan dari sistem ekonomi
tradisional ke sistem ekonomi modern. Ini berarti juga terjadi perubahan struktur
ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri kemudian dari sektor industri
berubah ke sektor jasa-jasa (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).
Menurut Kuznets (1966), transformasi struktural dapat didefenisikan
sebagai perubahan dalam komposisi permintaan, perdagangan, produksi dan
penggunaan faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk mempertahankan
pertumbuhan ekonomi.
Isard (1960) memberikan suatu pola pergeseran struktur ekonomi daerah dalam
penyerapan tenaga kerja. Sedangkan menurut Chennery dan Syrquin mengatakan
bahwa corak dari perubahan struktur ekonomi dibedakan menjadi 3 (tiga)
golongan, yaitu: perubahan struktur ekonomi dalam proses akumulasi modal,
alokasi sumber-sumber daya dan perubahan dalam proses demografis dan
Dalam proses pembangunan daerah selain mempertimbangkan
pertumbuhan dan pemerataan, juga dampak aktivitas ekonomi terhadap kehidupan
sosial masyarakat. Lebih dari itu, dalam proses pembangunan dilakukan upaya
yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik
(Kuncoro, 2003).
2.6.Teori Basis Ekonomi
Teori basis ekonomi ini dikemukakan oleh Richardson (1973) yang
menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah
adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar
daerah (Arsyad, 1999). Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan
sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan
menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Asumsi ini
memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan
apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama
dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno, 2000).
Hoover dan Giarratani (1984) dalam Sirojuzilam (2010) mengatakan
beberapa aktivitas ekonomi di dalam suatu wilayah secara khusus merupakan
aktivitas-aktivitas basis ekonomi, yaitu dalam arti pertumbuhannya memimpin
dan menentukan perkembangan wilayah secara keseluruhan, sementara
aktivitas-aktivitas lainnya yang non basis adalah secara sederhana merupakan konsekuensi
dari keseluruhan perkembangan wilayah tersebut. Teori ini merupakan salah satu
pendekatan yang bertujuan untuk menjelaskan perkembangan dan pertumbuhan
Glason (1978) dalam Sirojuzilam (2010) menyatakan bahwa
aktivitas-aktivitas basis adalah aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas yang mengekspor barang-barang dan
jasa-jasa ke tempat –tempat di luar batas-batas perekonomian wilayah yang
bersangkutan atau yang memasarkan barang-barang dan jasa-jasa mereka kepada
orang-orang dari luar perbatasan perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan aktivitas-aktivitas non basis adalah aktivitas-aktivitas yang
menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat
tinggal didalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover)
dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke
wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, demikian
sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan
efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional (Adisasmita, 2005).
Teori basis ekonomi berupaya untuk menemukan dan mengenali aktivitas
basis dari suatu wilayah, kemudian meramalkan aktivitas itu dan menganalisis
dampak tambahan dari aktivitas ekspor tersebut. Konsep kunci dari teori basis
ekonomi adalah bahwa kegiatan ekspor merupakan mesin pertumbuhan. Tumbuh
tidaknya suatu wilayah ditentukan oleh bagaimana kinerja wilayah itu terhadap
permintaan akan barang dan jasa dari luar.
Salah satu cara dalam menentukan suatu sektor sebagai sektor basis atau
non-basis adalah analisis Location Quotient (LQ). Arsyad (1999) menjelaskan
bahwa teknik Location Quotient dapat membagi kegiatan ekonomi suatu daerah
1. Kegiatan sektor ekonomi yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di luar daerah yang bersangkutan. Sektor ekonomi seperti ini
dinamakan sektor ekonomi potensial (basis).
2. Kegiatan sektor ekonomi yang melayani pasar di daerah tersebut dinamakan sektor tidak potensial (non basis).
2.7. Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan produksi yang
dihasilkan oleh suatu masyarakat dalam kurun waktu satu tahun yang berada di
daerah atau regional tertentu. Angka Produk Domestik Regional Bruto sangat
dibutuhkan dan perlu disajikan, karena selain dapat dipakai sebagai bahan analisa
perencanaan pembangunan juga merupakan barometer untuk mengukur hasil-hasil
pembangunan yang telah dilaksanakan.
Produk domestik regional bruto (PDRB) merupakan satu indikator
ekonomi untuk mengukur kemajuan pembangunan di suatu wilayah. Selain nilai
dari semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi, PDRB
bermanfaat untuk mengetahui tingkat produk netto atau nilai tambah yang
dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi, dan
pola (struktur) perekonomian pada satu tahun periode tertentu di suatu negara atau
wilayah tertentu, Prihatin (1999) dalam Azis (2012).
Penyajian PDRB terdapat dua cara, yaitu PDRB Atas Dasar Harga
Konstan (ADHK), artinya semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga
tetap, sehingga perkembangan agregat pendapatan dari tahun ke tahun
semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena kenaikan harga atau inflasi.
produksi atau pendapatan atau pengeluaran yang dinilai atas dasar harga tetap
(harga pada tahun dasar) yang digunakan selama satu tahun. Sedangkan PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) adalah jumlah nilai produksi atau pendapatan
(pengeluaran) yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang
bersangkutan.
Penghitungan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk
menggambarkan tingkat pertumbuhan perekonomian suatu daerah baik secara
agregat (keseluruhan) maupun sektor. Selain itu juga bermanfaat untuk melihat
perubahan struktur perekonomian suatu daerah berdasarkan distribusi
masing-masing sektor ekonomi terhadap nilai total PDRB. Selain itu, pendapatan per
kapita yang diperoleh dari perbandingan PDRB atas dasar harga berlaku dengan
jumlah penduduk pada tahun bersangkutan dapat digunakan untuk
membandingkan tingkat kemakmuran suatu daerah dengan daerah lainnya.
Perbandingan PDRB atas dasar harga berlaku terhadap PDRB atas dasar harga
konstan dapat juga digunakan untuk melihat inflasi atau deflasi yang terjadi.
Menurut Widodo (2006), untuk menghitung PDRB ada tiga pendekatan
yang dapat digunakan, yaitu:
a. Pendekatan produksi, maksudnya PDRB adalah jumlai nilai tambah atas
barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu
daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Nilai tambah
merupakan hasil pengurangan output dengan input antara. Unit-unit produksi
tersebut dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor), yaitu :
1.Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2. Pertambangan dan
Bangunan, 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7. Pengangkutan dan
Komunikasi, 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, 9. Jasa-jasa
termasuk jasa pelayanan pemerintah.
b. Pendekatan pendapatan, maksudnya PDRB merupakan jumlah balas jasa
yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor
produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji (balas jasa tenaga kerja), sewa
tanah (balas jasa tanah), bunga modal (balas jasa modal) dan keuntungan
(balas jasa kewiraswataan), semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan
dan pajak langsung lainnya.
c. Pendekatan Pengeluaran, maksudnya PDRB adalah semua komponen
permintaan akhir yang terdiri dari: (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga
dan lembaga swasta nirlaba, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukkan
modal tetap domestik bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor netto (ekspor
dikurangi impor).
Berdasarkan lapangan usaha, PDRB dibagi dalam sembilan sektor, yaitu : 1.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2. Pertambangan dan
Penggalian, 3. Industri Pengolahan, 4. Listrik, Gas dan Air Bersih, 5. Bangunan,
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7. Pengangkutan dan Komunikasi, 8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, 9. Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan
pemerintah. Sedangkan secara makroekonomi dibagi menjadi tiga kelompok besar
yang disebut sebagai sektor primer terdiri dari sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, sektor sekunder terdiri dari sektor industri pengolahan, listrik, gas
hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, bank dan lembaga keuangan
lainnya serta jasa-jasa (Prihatin, 1999) dalam (Azis, 2012).
2.8. Pengembangan Sektor Tertinggal dan Sektor Potensial Menjadi Sektor Unggulan Sebagai Strategi Pembangunan Daerah
Permasalahan pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada
penekanan kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan
daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan
potensi sumber daya manusia. Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan
inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan
untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan ekonomi
Arsyad (1999).
Menurut Safi’i (2007) paradigma baru strategi pembangunan ekonomi
daerah mencakup beberapa hal berikut, yaitu:
1. Pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi daerah
bersangkutan, serta kebutuhan dan kemampuan daerah menjalankan
pembangunan.
2. Pembangunan daerah tidak hanya terkait dengan sektor ekonomi semata
melainkan keberhasilannya juga terkait dengan faktor lainnya seperti
sosial, politik, hukum, budaya, birokrasi dan lainnya.
3. Pembangunan dilakukan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas dan
yang memiliki pengaruh untuk menggerakkan sektor lainnya secara lebih
cepat.
Dengan mengetahui tujuan dan sasaran pembangunan, serta kekuatan dan
ada akan lebih terarah dan strategi tersebut akan menjadi pedoman bagi
pemerintah daerah atau siapa saja yang akan melaksanakan usaha di daerah
tersebut. Oleh karena itu, menurut Mangun (2007) langkah-langkah berikut dapat
dijadikan acuan dalam mempersiapkan strategi pengembangan potensi yang ada
didaerah, yaitu:
1. Mengidentifikasi sektor-sektor kegiatan mana yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing
sektor.
2. Mengidentifikasi sektor-sektor yang potensinya rendah untuk dikembangkan
serta mencari faktor-faktor penyebab rendahnya potensi sektor tersebut untuk
dikembangkan.
3. Mengidentifikasi sumberdaya (faktor-faktor produksi) yang ada termasuk
sumberdaya manusianya yang siap digunakan untuk mendukung perkembangan
setiap sektor yang bersangkutan.
4. Dengan model pembobotan terhadap variabel - variabel kekuatan dan
kelemahan untuk setiap sektor dan sub-sektor, maka akan ditemukan sektor-sektor
andalan yang selanjutnya dianggap sebagai potensi ekonomi yang patut
dikembangkan di daerah yang bersangkutan.
5. Menentukan strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektor-sektor
andalan yang diharapkan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh sehingga
perekonomian akan dapat berkembang dengan sendirinya secara berkelanjutan.
Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak pembangunan
ekonomi yang diterapkan di setiap daerah akan berbeda pula. Peniruan
suatu daerah, belum tentu memberi manfaat yang sama bagi daerah yang lain,
Munir (2002) dalam Aziz (2012).
Sektor ekonomi potensial yang ada di suatu daerah merupakan sektor yang
memiliki kemampuan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kemampuan sektor yang sama di daerah lain, dengan demikian produk dan jasa
dari sektor ekonomi potensial tersebut di samping dapat mencukupi kebutuhan
sendiri, selebihnya dapat dijual ke luar daerah sehingga daerah memperoleh
pendapatan masuk. Pendapatan masuk tersebut akan mendorong pemanfaatan
sumber daya lokal dan menggerakkan sektor ekonomi potensial yang sekaligus
meningkatkan pemanfaatan sumber daya sektor ekonomi yang tidak potensial,
sehingga perekonomian secara keseluruhan akan berkembang yang pada akhirnya
masing-masing sektor ekonomi merupakan pasar bagi sektor lain. Kondisi
tersebut dapat menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja baru bagi
masyarakat.
Strategi pengembangan potensi ekonomi daerah ini harus dibuat
berdasarkan peluang serta potensi yang dimiliki oleh suatu daerah dengan
menonjolkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh suatu daerah dan
kebijakan-kebijakan pemerintah setempat yang ramah terhadap dunia usaha.
2.9.Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai sektor unggulan ekonomi telah dilakukan oleh
beberapa peneliti sebelumnya, namun walaupun demikian antara penelitian yang
satu dengan yang lain selalu berbeda baik dari segi alat analisis yang digunakan
maupun objek dan lokasi penelitian, penelitian yang dimaksud diantaranya dapat
Tabel 2.1. Penelitian-Penelitian Terdahulu dari Tahun 2007-2013
No Nama/Thn/Judul Alat Analisis Hasil Penelitian
(1) (2) (3) (4)
1. Nudiatulhuda Mangun (2007)
Analisis Potensi Ekonomi Kab. Dan Kota di Propinsi Sulawesi Tengah
- Location Quotient/ LQ
- Model Rasio
Pertumbuhan / MRP
- Shift Share/ SS - Metode SIG
-Hasil analisis LQ menunjukkan sektor pertanian merupakan sektor basis yang dominan di Prop. Sulawesi Tengah. -Hasil analisis MRP menunjukkan tak
satupun kab/kota di Prop. SulTeng, mempunyai potensi daya saing kompetitif dan komparatif.
-Hasil analisis SS menunjukkan tidak terdapat satupun kab/kota memiliki keunggulan/daya saing.
2. Muhammad Ghufron (2008) Analisis Pembangunan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan Kabupaten Lamongan Prop. Jawa Timur.
- Location Quotient/ LQ
- Multiplier Pendapatan - Shift Share/ SS - Analisis SWOT
- Terdapat tiga sektor unggulan Kab. Lamongan yang menjadi basis ekonomi daerah, yaitu sektor pertanian, sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sedangkan enam sektor lainnya termasuk ke dalam sektor non basis yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor kontruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
- Pada efek pengganda pendapatan sektor basis yang dihasilkan menujukkan bahwa koefisien pengganda pendapatan selama tahun 2002-2006 lebih besar dari pada efek pengganda pendapatan di sektor non basis. Hal ini menunjukkan minat msyarakan terhadap aktifitas ekonomi di sektor basis lebih besar. -Hasil analisis Shift Share menunjukkan
sektor pertanian memiliki pertumbuhan yang cepat dan daya saing yang baik begitu juga pada sektor jasa-jasa, sektor perdagangan, hotel dan restoran. 3. Fachrurrazy (2009)
Analisis penentuan sektor unggulan perekonomian
wilayah Kab. Aceh Utara dengan pendekatan sektor pembentuk PDRB
- Tipologi Klassen - Location
Quotient/LQ - Shift Share/ SS
-Hasil analisis menurut Klassen Typology menunjukkan bahwa sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat, yaitu sektor pertanian dan sektor pengangkutan dan komunikasi.
-Hasil perhitungan indeks Location Quotient sektor yang merupakan sektor basis (LQ>1), yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, dan sektor pengangkutan dan komunikasi.
Lanjutan Tabel 2.1.
4. Tri Kurniawati R. (2009)
Analisis potensi ekonomi di Kalimantan
Tengah 2000 – 2007.
- Tipologi Klassen - Location Quotient/
LQ
- Shift Share/ SS
- Hasil Tipologi Klassen : Sebagian besar daerah di Kalimantah Tengah berada pada kuadran kedua, yaitu Kota Waringin Timur, Kapuas, Pulang Pisau serta Gunung Mas.
- Hasil LQ dari 14 Kabupaten, Sebanyak 13 Kab. Memiliki sektor unggulan yang sama, yaitu sektor bangunan.
- Hasil Shift Share, hampir semua Kabupaten di Kalimantan Tengah, memiliki keunggulan dalam sektor bangunan, namun secara kompetitif sektor-sektor di kalimantan Tengah belum mampu bersaing pada tingkat Propinsi.
5. Agus Tri Basuki (2009) Analisis Potensi Unggulan Kabupaten Yapen dalam Menopang Pembangunan Provinsi Papua Tahun 2004-2008.
- Model Rasio
Pertumbuhan / MRP - Shift Share/ SS
- Location Quotient/ LQ
- Overlay
- Tipologi Klassen
- Hasil analisis MRP: menunjukkan bahwa sektor listrik, gas danair bersih dan sector perdagangan, restorandan hotel merupakan sektor yang dominan pertumbuhannya. Selain itu, sektor tersebut juga menunjukkan peningkatan terhadap struktur pertumbuhan ekonomi.
- Hasil analisis shift-share pada tahun 2008 secara keseluruhan dengan melihat pengaruh keunggulan kompetitif pada PDRB mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun 2006 dalam wilayah Kab. Kepulauan Yapen.
- Hasil perhitungan LQ disimpulkan bahwa Kab. Kepulauan Yapen memiliki keunggulan dalam semua sektor sektor, kecuali sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri pengolahan. Sektor yang paling besar memiliki sektor unggulan adalah sektor jasa (rerata 4,9), sektor keuangan dan jasa perusahaan (rerata 3,9) serta sektor bangunan (rerata 2,9).
6. Wali I. Mondal (2009)
An Analysis of The Industrial Development
Potential of Malaysia: A shift-Share Approach.
Lanjutan Tabel 2.1.
7. Janaranjana
Herath, Tesfa G.Gebremedhin and Blessing M Maumbe (2010) A Dynamic Shift Share Analysis of Economic Growth in West Virginia.
- Shift Share Analysis Sektor pertanian, pertambangan dan manufaktur tidak lagi menjadi tulang punggung perekonomian Virginia Barat. Tiga sektor menunjukkan kinerja yang menurun dalam periode 38-tahun. Layanan, keuangan asuransi dan real estate adalah sektor yang paling kuat berkontribusi 91 persen dari pertumbuhan pekerjaan sejak 1970 hingga 2007. Terlepas dari dua sektor, sektor grosir dan ritel dan konstruksi menunjukkan positif pertumbuhan ekonomi. Identifikasi investasi prioritas dalam sektor ini potensi dan pelaksanaan rencana kebijakan pembangunan daerah komprehensif pasti akan mempercepat pertumbuhan ekonomi di Virginia Barat.
8. Teguh Pamuji Tri (2011)
Analisis potensi ekonomi Jepara tahun 2011
- Location Quotient/ LQ
- Tipologi Klassen
Dari analisis LQ menunjukkan bahwa Kecamatan di Kab. Jepara yang memiliki sektor basis terbanyak adalah Kecamatan Kedung dan Kecamatan Bangsri (6 sektor basis) disusul Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Jepara, dan Kecamatan Kembang (5 sektor basis). Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Mlonggo (4 sektor basis), dan Kecamatan Welahan, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan batealit, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Pakis Aji, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Keling dan Kecamatan Karimunjawa (3 sektor basis).
9. Purushottam
Kesar and
S.Chattopadhyay (2011) Forecasting Regional Economic Potentials for Economic
Regions - Special Economic Zones and Investment Regions.
Shift Share Analysis : -National Share -Industri Mix -Pergeseran Regional
Lanjutan Tabel 2.1.
10. Valente J.
Matlaba (2012)
Classic and Spatial Shift-Share Analysis of State-Level Employment Change in Brazil.
- Classic Shift Share Analysis
- Spatial Shift Share Analysis.
Pertama, dari metode shift-share klasik disimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan lapangan kerja yang lebih tinggi dari daerah maju disebabkan keunggulan komparatif daerah ini terkait dengan tingginya kinerja industri - mix dan efek kompetitif komponen terlepas dari perubahan struktural nasional. Bukti ini menegaskan penelitian sebelumnya yang menemukan daerah konvergensi di Brasil (Rolim, 2008; Daumal dan Zignago 2010) .
Kedua, pemeriksaan industrymix dan komponen efek kompetitif menggunakan eksplorasi analisis data spasial ( ESDA ) memberikan bukti dari asosiasi spasial positif untuk kedua komponen . Hasil ini mendukung ekonomi aglomerasi dan teori konvergensi beta, seperti yang sebelumnya ditemukan (Resende, 2011, dan referensi di dalamnya), karena dibandingkan dengan tahun 1960-an, saat ini kegiatan ekonomi sedikit kurang terkonsentrasi di daerah selatan dan lebih maju dari Brazil .
11. Asrul Azis (2012) Analisis Sektor Perekonomian Unggulan Daerah Kab. Batu Bara
- Tipologi Klassen - Shift Share/ SS
- Location Quotient/ LQ
- Hasil analisis menurut Tipologi Klassen menunjukkan bahwa hanya terdapat satu sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat, yaitu sektor industri pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor maju tapi tertekan.
- Hasil analisis LQ yang merupakan sektor basis adalah sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran.
- Hasil analisis shift share menunjukkan sektor potensial adalah sektor industri pengolahan.
12. Purnama Sinaga (2012)
Analisis Pertumbuhan
Ekonomi dan Sektor Unggulan di Kab. Labuhan Batu Utara Setelah
Pemekaran
- Tipologi Sektoral - Location Quotient/
LQ
- Shift Share/ SS
- Hasil analisis Tipologi Klassen menunjukkan bahwa sektor pertanian dan sektor industri pengolahan adalah sektor maju dan cepat tumbuh (sektor prima). - Hasil analisis LQ (sektor basis/sektor
unggulan) Kab. Labuhan batu Utara adalah sektor pertanian, pertambangan dan penggalian serta sektor industri pengolahan.
- Hasil analisis Shift Share menunjukkan bahwa sektor yang memiliki daya saing yang tinggi adalah sektor pertanian di Kec. Marbau dan sektor industri pengolahan di Kec. Aek Kuo, Marbau, Kualuh Hulu. - Dari ketiga analisis di atas, menunjukkan
Lanjutan Tabel 2.1.
13. Zulfi Haris (2012) Analisis Penentuan Sektor/Subsektor Unggulan dan Kaitannya dengan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Kabupaten Lampung Utara.
- Location Quotient/ LQ
- Multiplier Sektor - Shift Share/ SS - Overlay
- Hasil analisis LQ : Yang menjadi sektor basis adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan real estate dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa lainnya. Selain itu, 16 dari 30 sub sektor juga menjadi sektor basis.
- Angka multiplier sub sektor basis sebesar 6,38 yang berarti jika ada injeksi yang berakibat kenaikan sektor/sub sektor maka kenaikan PDRB sebesar 6,38 kali dari kenaikan sektor basis dan menjadi penyumbang multiplier terbesar di sub sektor perkebunan.
- Hasil Shift Share : terjadi pertambahan tingkat output ekonomi selama tahun 2000-2010 sebesar 1.353.076 juta rupiah, namun secara keseluruhan perekonomian Kab. Lampung Utara tidak memiliki daya saing atau kemandirian daerah ditandai dengan nilai different shift negatif. 14. Aditya Nugraha
Putra (2013) Analisis Potensi Ekonomi Kab/ Kota di Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta
- Location Quotient/ LQ
- Model Rasio Pertumbuhan / MRP - Overlay
- Shift Share/ SS
- Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan serta sektor jasa-jasa merupakan sektor
basis yang dominan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta karena terdapat di tiga kabupaten/kota dari lima kabupaten/kota.
- Hasil analisis MRP yang di overlay menunjukkan bahwa terdapat beberapa kabupaten/kota di Provinsi DIY yang memiliki potensi daya saing kompetitif dan komperatif terhadap sektor ekonominya. Sektor tersebut adalah sektor bangunan di Kabupaten Bantul, kemudian sektor bangunan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Sleman begitu juga untuk sektor perdagangan, hotel dan resetoran serta sektor pengangkutan dan komunikasi di Kota Yogyakarta.
- Hasil analisis Shift-Share di Provinsi DIY menunjukkan bahwa Sektor pertanian mempunyai keunggulan kompetitif dan spesialisasi di 3 kabupaten yaitu Kulon Progo, Bantul dan Sleman.
2.10. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka penelitian merupakan suatu pedoman dan metode dalam
tahapan-tahapan pendekatan penelitian yang bertujuan untuk mempermudah
mengkaji dan menganalisa hal-hal yang berkaitan dengan Analisis Penentuan
Sektor Unggulan Kabupaten/Kota di Kepulauan Nias. Tipologi Klassen
digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan
sektor daerah. Analisis ini mendasarkan pengelompokan suatu sektor dengan
melihat pertumbuhan dan kontribusi sektor tertentu terhadap total PDRB suatu
daerah. Dalam analisis Location Quotient, kegiatan ekonomi suatu daerah di
Kabupaten dan Kota dibagi menjadi 2 golongan , yaitu:
a. Kegiatan sektor yang melayani pasar di daerah itu sendiri maupun di
luar daerah yang bersangkutan, disebut sektor basis.
b. Kegiatan sektor yang hanya melayani pasar di daerah tersebut, disebut
sektor non basis.
Sektor basis dapat menaikkan pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja baru
yang juga berarti menaikkan permintaan yang akhirnya mendorong kenaikan
investasi pada sektor tertentu dan juga sektor lainnya. Dengan alasan tersebut,
maka sektor basis harus dikembangkan terlebih dahulu. Analisis Model Rasio
Pertumbuhan (MRP) dan analisis Overlay bermanfaat dalam menentukan sektor
unggulan di kabupaten/kota di kepulauan Nias dengan menekankan pada kriteria
pertumbuhan baik eksternal terlebih lagi dengan faktor internal.
Adapun kerangka pemikiran yang dijadikan dasar dalam penelitian ini
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Analisis Tipology Klassen
Analisis Location Quotient
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Arah Kebijakan dan
Pengembangan Perekonomian Kabupaten/Kota di Kepulauan
Nias
PDRB Kabupaten/Kota di Kepulauan Nias
Analisis Model Rasio Pertumbuhan
Klasifikasi Laju Pertumbuhan
Sektor
Rasio Pertumbuhan referensi (RPr)
dan Rasio Pertumbuhan
studi (RPs) Sektor Basis dan
Non Basis
Analisis Overlay
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Rencana
Pembangunan Jangka Pendek