• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB V ANALISIS DATA2"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V ANALISIS DATA

A. Makna dan tujuan perkawinan dengan pendekatan tasawuf

Pada bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa secara bahasa perkawinan atau nikah adalah berkumpul atau bercampur. Akan tetapi menurut istilah hukum, perkawianan itu

adalah “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan

bagi mereka untuk melakukan hubungan seksual” .1

Istilah “akad” diartikan sebagai janji. Dalam Al-Quran disebut Mitsaqan Ghalidza

yang berarti perjanjian yang kuat. Dalam mengartikan mitsaqan ghalidza yang tersebut didalam al-Quran surat an-Nisak ayat 21 terdapat beberapa pendapat. Menurut Ibnu Abas dan Mujahid adalah aqad sedangkan menurut Sofyan al-Tsuri mitsaqan ghalidza itu maksudnya

“Imsakun bi ma’ruf au tasrihun bi Ihsan”2

Jadi menurut istilah syarak nikah adalah ijab dan qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan dengan kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan, dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan. Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina. Adapun nikah menurut syari’at juga berarti akad. Sedangkan pengertian hubungan badan itu hanya metafora saja.

Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalahpun dalam kehidupan ini yang tidak diatur oleh Islam. Dan tidak ada satu pun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele. Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah perkawinan, Islam telah berbicara banyak, mulai dari bagaimana mencari calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya sebagai isteri atau suami bila telah melangsungkan akad nikah. Begitu pula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dengan pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona.

1Sofiyurrahman al-Mubarakfuri, Ittihaf al Kiram, hlm. 288, Abu Bakar al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, h.349

(2)

Pernikahan adalah sunnah karuniah yang apabila dilaksanakan akan mendapat pahala tetapi apabila tidak dilakukan tidak mendapatkan dosa tetapi dimakruhkan karana

tidak mengikuti sunnah rosul.3

Arti dari pernikahan disini adalah bersatunya dua insan dengan jenis berbeda yaitu laki-laki dan perempuan yang menjalin suatu ikatan dengan perjanjian atau akad. Suatu pernikahan mempunyai tujuan yaitu ingin membangun keluarga yang sakinah mawaddah warohmah serta ingin mendapatkan keturunan yang solihah. Keturunan inilah yang selalu didambakan oleh setiap orang yang sudah menikah karena keturunan merupakan generasi

penerus bagi orang tuanya.4

Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh nikah yang berarti akad adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

م

م ك

ك للَ ب

ل َاط

ل َ َاملَ اُوحكككنمَافلَ َىملَاتليللماَ ِيفكَ اُوط

ك س

ك قمتكَ للألَ م

م تكفمخكَ ن

م إكول

اُولكدكعمتلَ للألَ ممتكفمخكَ نمإكفلَ علَابلركولَ ث

ل للثكولَ َىنلثمملَ ءكَاس

ل ننلاَ ن

ل مك

اُولكُوعكتلَ للألَ َىنلدمألَ ك

ل لكذلَ ممككنكَامليمألَ ت

م ك

ل للملَ َاملَ ومألَ ةةدلحكاُولفل

“Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” 5

Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

ف

ل للس

ل َ د

م قلَ َاملَ للإكَ ءكَاس

ل ننلاَ ن

ل مكَ م

م ك

ك ؤكَابلآَ حلكلنلَ َاملَ اُوحكككنمتلَ للول

لةيبكس

ل َ ءلَاس

ل ولَ َاتةقمملولَ ةةش

ل حكَافلَ ن

ل َاك

ل َ هكنلإك

Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad

nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan

itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).6

Adapun contoh kata nikah yang berarti melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi;

3Syaikh Kamil Muhammad ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998) hal. 375

4Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006) hal. 8

5Qs. an-Nisa’ : 3

(3)

ن

م إكفلَ هكرليمغلَ َاجةومزلَ حلككنمتلَ َىتلحلَ دكعمبلَ ن

م مكَ هكللَ ل

ل ح

ك تلَ للفلَ َاهلقلللط

ل َ نمإكفل

دلودكحكَ َامليقكيكَ نمألَ َانلظ

ل َ نمإكَ َاعلجلارلتليلَ نمألَ َاملهكيمللعلَ حلَانلجكَ للفلَ َاهلقلللط

ل

ن

ل ُومكللعميلَ م

م ُومقللكَ َاهلنكينبليكَ هكلللاَ دكودكحكَ ك

ل لمتكولَ هكلللا

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. 7

Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.8 Karena seseorang tidak disebut suami kecuali kalau sudah melakukan akad nikah. Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.9 Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah yallahu ‘anha yang berbunyi;

هيييلعَ هللاَ َىلص-َ هكلللاَ ل

ك ُوس

ك رلَ ل

ل ئكس

ك َ ت

م للَاقلَ ةلش

ل ئكَاع

ل َ ن

م ع

ل

-َ َاييثةل

ل ثلَ َىيينكعميلَ -َ هكييتلألرلمماَ ق

ل ييللط

ل َ لمييجكرلَ نمييعلَ -ملييسو

ن

م ألَ ل

ل يبمقلَ َايهلقلللط

ل َ مليثكَ َايهلبكَ للخلدلييفلَ هكرليمغلَ َاجةومزلَ تمجلولزلتلفل

َىلييص-َ َى

ل ييبكنللاَ ل

ل َاقلَ ت

م للَاقلَ ل

ك ولل

ل اَ َاهلجكومزللكَ للحكتلألَ َاهلعلقكاُوليك

7Qs. al- Baqarah : 230

8Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Mughni, juz : 7, h. 333, ( Dar al-Kitab al-Arabi ) mengatakan: Disebutkan bahwa lafadh nikah di dalam al-Qur’an tidak ada yang artinya melakukan hubungan seksual, kecuali firman Allah subhanahu wa ta’ala: “ hatta tanhika zaujan ghairahu ( 2 : 230 )

(4)

ةللليمييس

ل ع

ك َ ق

ل وذ

ك ييتلَ َىييتلحلَ لكولل

ل لكَ للييحكتلَ للَ -ملسوَ هيلعَ هللا

َاهلتللليمس

ل ع

ك َ ق

ل وذ

ك يلولَ ركخللا

َ

“Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya." 10

Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :

حَاك

ل ننلاَ للإَ ءمِي

م ش

ل َ ل

ل ك

ك َ اُومعكنلص

م اك

“Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”11

Dalam riwayat lain disebutkan :

عَاملجكلاَ للإَ ءمِي

م ش

ل َ ل

ل ك

ك َ اُومعكنلص

م ا

“Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali jima’”12

Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yaitu fulanah binti fulan maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.13

Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat : Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan

10HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas dari riwayat Abu Daud.

11Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah

12Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah

13Penjelasan di atas disebutkan oleh al- Farisi dan dinukil oleh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini di dalam Kifayah

(5)

untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain.14 Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin.15 Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab.16

Dari pengertian ini nampak jelas bahwa kata nikah dengan pengertian aqad adalah ikatan lahir batin yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis dalam sebuah perkawinan untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dalam waktu yang tidak ditentukan sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dari aqad nikah itu terkandung makna bahwa perkawinan itu mesti dalam pergaulan yang baik, dan dalam waktu yang tidak ditentukan. Namun kalau memang sudah tidak lagi bisa bersama-sama karena ketidak cocokan antara kedua suami isteri maka berpisahlah dengan baik-baik pula. Jadi setelah akad nikah terdapat ikatan yang kuat antara suami isteri dan karenanya tidak boleh cepat mengambil keputusan untuk berpisah, sebab perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak bukan perjanjian biasa antara seorang hamba dengan hamba yang lain, tetapi perjanjian dengan menggunakan “kalimat Allah”. Dalam hal ini Abu Jakfar al-Razi berkata;

:َ هلُوييقَ ُوييهَ ةيييلاَ ِيييفَ سيينأَ نييبَ عيييبرلاَ نييعَ ،َ يزارييلاَ رييفعجَ ُوبأَ لَاقو

نإفَ ،َ هللاَ ةملكبَ نهجورفَ متللحتساوَ ،َ هللاَ ةنَامأبَ نهُومتذخأ

هللاَ ةملكَ

هيلعَ هللاَ َىلصَ ِيبنلاَ َىطعأَ َاميفَ نَاكوَ :َ لَاقَ .َ ةبطخلاَ ِيفَ دهشتلاَ ِيه

َىتييحَ ةييبطخَ مييهلَ زُوييجتَ لَ كييتمأَ تييلعجَ :َ هلَ لَاقَ هبَ يرسأَ ةليلَ ملسو

متَاحَ ِيبأَ نباَ هاورَ .َ ِيلُوسروَ يدبعَ كنأَ اودهشي

17

Abu Jakfar al-Rozi berkata; dari al-Rabi’ bin Anas dalam (menjelaskan ayat 21 surat al-Nisak itu) beliau berkata “Kamu ambil mereka dengan amanah Allah, kamu menghalalkan faraj mereka dengan kalimah Allah. Sesungguhnya kalimah Allah itu adalah Syahadat dalam berkhithobah. Beliau juga mengatakan bahwa Allah telah memberikan sesuatu kepada Nabi

14Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al-Akhyar, hlm : 460

15Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.

16Pendapat Zamakhsari ini dinukil oleh Syekh Kamil Muhammad Uwaidhah di dalam komentarnya pada buku Kifayah al

Akhyar, hlm : 460. Beliau juga memilih pendapat ini dengan alasan bahwa Zamakhsari adalah ahli bahasa yang lebih unggul dibanding

dengan yang lainnya. Lihat juga di Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, juz : 2, hlm : 626

(6)

SAW ketika beliau menjalani Israk dan Mikraj, Allah berfirman; Aku jadikan ummatmu bahwa mereka tidak boleh berkhithobah kecuali mereka bersyahadat bahwa engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku.

Sejalan dengan makna aqad nikah ini dipertegas lagi dengan hadis Nabi SAW yang beliau sampaikan pada saat haji wadak, beliau berkata;

،َ هييللاَ نَاييمأبَ نهُومتذييخأَ مكنإييفَ ،َ اريييخَ ءَاييسنلَابَ اُوييصُوتساو

هللاَ ةملكبَ نهجورفَ متللحتساو

18

َ

Aku wasiatkan kalian agar berbuat baik kepada perempuan, kalian telah mengambilnya dengan amanah Allah, dan kalian halalkan faraj mereka dengan kalimah Allah.

Dari pengertian akad nikah seperti tersebut diatas nampak jelas bahwa perkawinan itu adalah sesuatu yang sangat berat karena isteri itu diambil dengan amanah Allah, dan dihalalkan dengan kalimat Allah. Ini artinya bukan hanya pertemuan dua insan yang dibalut asmara yang kalau sudah bosan lalu dicerai, tetapi harus dipertanggung jawabkan kehadirat Allah, dan karenanya susah senang ditanggung bersama, ada masalah dihadapi bersama, dan dituntut tanggung jawab penuh terutama bagi sang suami.

Ada dua hal yang membuat perkawinan itu menjadi berat yaitu “mengambilnya

dengan dengan amanah Allah, dan menghalalkan farajnya dengan kalimah Allah”. Oleh karena itu harus dipertanggung jawabkan kepada Allah.

Tentang amanah ini terdapat beberapa ayat dalam al-Quran dengan pokok persoalan yang berbeda-beda namun intinya sama yaitu para pemegang amanah harus menunaikan amanah yang diberikan kepadanya. Diantara ayat-ayat tersebut adalah;

1. Q.S. al-Baqarah : 283



َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ



َ



jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya;

2. Q.S. al-Mukminun : 8 - 11



َ



َ



َ



َ





َ َ َ



َ



َ



َ



َ





َ َ َ



َ



َ



َ



َ َ َ





َ



َ



َ



َ



َ



َ

(7)

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.

3. Q.S. al-Marij : 32 - 35



َ



َ



َ



َ





َ َ َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ



َ



Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu (kekal) di syurga lagi dimuliakan.

4. Q.S. al-Anfal : 27



َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ





َ



Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Imam al-Saadi mengemukakan pendapatnya tentang amanah ini beliau berkata;

هيلعَ هلللاَ مهنمتئاَ َامَ اودؤيَ نأَ نينمؤملاَ هدَابعَ َىلَاعتَ رمأي

َىييلعَ هييلللاَ َاهييضرعَ دييقَ ةيينَاملاَ نإييفَ ،هيهاُونوَ هرماوأَ نم

نقفييشأوَ َاييهنلمحيَ نأَ نيبأفَ ،لَابجلاوَ ضرلاوَ تاوَامسلا

ىدأَ نمفلُوييهجَ َاييمُولظَ نَاييكَ هيينإَ نَاييسنلاَ َاييهلمحوَ َاييهنم

َاييهدؤيَ مييلَ نييموَ ،ليييزجلاَ باُوثلاَ هلللاَ نمَ قحتساَ ةنَاملا

َ ،ليبُولاَ بَاقعلاَ قحتساَ َاهنَاخَ لب

19

Allah memerintahkan hambanya yang mukmin untuk menunaikan amanah Allah kepada mereka seperti perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Karena sesungguhnya amanah tersebut pernah ditawarkan kepada bumi dan langit serta gunung dan bukit mereka semuanya menolak karena takut akan terabaikan lalu manusia menyatakan kesanggupannya padahal manusia itu banyak yang zolim dan bodoh. Siapa yang menunaikan amanah tersebut dia berhak mendapatkan pahala besar

(8)

dari Allah, tetapi siapa yang tidak menunaikannya dan bahkan mengkhianatinya maka dia berhak mendapatkan azab yang mengerikan.

Pengabaian terhadap amanah Allah ini terdapat beberapa pendapat; Imam al-Saadiy berkata “apabila mereka mengkhianati Allah dan Rasul maka sungguh mereka mengkhianati amanah mereka sendiri”. Ibnu Abbas berkata; “Janganlah kamu mengkhianati Allah dengan meninggalkan fardhunya, dan Rasul dengan meninggal sunnahnya dan mengkhianati amanah kamu sendiri” Qotadah berkata; “ketahuilah bahwa agama Allah itu adalah amanah, maka tunaikanlah kepada Allah, apa yang telah diamanahkan kepadamu tentang berbagai kewajiaban dan batas-batasnya, barang siapa yang diberi amanah maka hendaklah dia

menunaikannya terhadap orang yang memberi amanah tersebut”20

Para mufassirin berbeda pendapat dalam menafsirkan kata amanah pada ayat di atas, pendapat-pendapat tersebut antara lain:

1) Imam Al-Aufi dari Ibnu Abbas – radhiyallahu 'anhu - berkata, "Yang dimaksud

dengan al-amanah adalah, ketaatan yang ditawarkan kepada seluruh makhluk

sebelum ditawarkan kepada Adam 'Alaihissalam, akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Lalu Allah berfirman kepada Adam, Sesungguhnya Aku

memberikan amanah kepada langit dan bumi serta gunung-gunung, akan tetapi

mereka tidak menyanggupinya. Apakah engkau sanggup untuk menerimanya ? . Adam menjawab, Ya Rabbku, apa isinya ? Maka Allah berfirman, Jika engkau berbuat baik maka engkau akan diberi balasan, dan jika engkau berbuat buruk maka engkau akan diberi siksa. Lalu Adam menerimanya dan menanggungnya. Itulah maksud firman Allah, Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh."

2) Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas – radhiyallahu 'anhu - berkata, Amanah adalah kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh Allah kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Jika mereka menunaikannya, Allah akan membalas mereka. Dan jika mereka menyia - nyiakannya, maka Allah akan menyiksa mereka. Mereka enggan

menerimanya dan menolaknya bukan karena maksiat, tetapi karena ta'zhim

(menghormati) agama Allah kalau-kalau mereka tidak mampu menunaikannya." Kemudian Allah Ta'ala menyerahkannya kepada Adam, maka Adam menerimanya dengan segala konsekwensinya. Itulah maksud dari firman Allah: "Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh,"

(9)

yaitu banyak manusia yang mengabaikan amanah tersebut dengan melanggar larangannya dan menyia-nyakan perintahnya.

3) Imam Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam berkata, "Amanah itu ada tiga: shalat, zakat, dan mandi junub."

4) Imam Al-Qurthubi berkata: amanah meliputi semua tugas agama menurut pendapat yang paling kuat. Sebagaimana ia berkata dalam firman-Nya: (QS. Al-Mu'minun:8)

ن

ل ُوع

ك ارلَ ممهكدكهمعلولَ ممهكتكَانلَاملل

ل َ ممهكَ نليذكللاول

"Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya."

Amanah dan janji menggabungkan segala yang dipikul manusia baik dalam perkara agama maupun masalah dunia, ucapan dan perbuatan. Dan hal ini meliputi pergaulan dengan manusia, janji-janji, dan selain yang demikian itu termasuk akad nikah. Akhir dari kesemuanya itu menjaga dan melaksanakannya.

Ketika amanah meliputi segala hal, maka pemegang amanah harus menunaikan amanahnya, seperti halnya diberi amanah tentang harta yang banyak atau sedikit, menjaga keutuhan rumah tangga, menjaga anak dan isteri. Karena Allah memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan melarang berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melarang mengkhianati semua amanah mereka. Dan Dia menjadikan di antara sifat orang-orang yang beruntung adalah bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka.

Dan jiwa manusia dengan fitrahnya cenderung kepada pemberi nasehat yang

dipercaya (al-amin) dan berpegang kepada orang yang kuat lagi dipercaya, Diriwayatkan

dalam cerita penduduk Najran, tatkala mereka setuju membayar jizyah, sesungguhnya mereka berkata: 'Sesungguhnya kami memberikan kepadamu apa-apa yang engkau minta kepada kami, utuslah bersama kami seorang laki-laki yang amin (dipercaya), dan janganlah engkau mengutus bersama kami kecuali orang yang amanah.' Maka beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

ن

م يممكأ

ل َ ق

ل حلَ َانةيممكأ

ل َ لةجكرلَ ممككعلملَ نلثلعلبملل

(10)

ق

ك دمييص

ك َ :َايلنمدلييلاَ ن

ل ييمكَ ك

ل ييتلَافلَ َاييملَ ك

ل يييمللعلَ ل

ل فلَ ك

ل يييمفكَ نلككَ الذإكَ ععبلرمأل

ك علط

م ملَ ةكفلعكولَ قكلكخكلماَ نكسمحكولَ ةكنلَاملللامَ ظ

ك فمحكولَ ثكيمدكحللما

Empat perkara, apabila ada padamu, maka tidak mengapa engkau kehilangan dunia: benar ucapan, menjaga amanah, akhlak yang baik, dan menjaga makanan (dari yang tidak baik).

Amanah merupakan salah satu rukun akhlak yang empat perkara, yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Bahkan bisa menjadi sebab datangnya dunia kepada hamba, karena manusia mendapatkan padanya. Amanah adalah sifat istimewa bagi para pemangku risalah (para nabi), sesungguhnya setiap orang dari mereka berkata kepada kaumnya: “Inniy lakum

Rasuulun Amiin” (Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus)

kepadamu.) QS. Asy-Syu'ara:107

Amanah tersebut merupakan persaksian musuh-musuh mereka (para nabi) kepada mereka, seperti dalam dialog Heraclius (raja Romawi) dengan Abu Sufyan – radhiyallahu 'anhu-, ketika Heraclius berkata: 'Aku bertanya kepadamu, apa yang diperintahkannya kepadamu? Maka Abu Sufyan menjelaskan bahwa ia (Muhammad SAW) memerintahkan shalat, jujur, menahan dari yang haram, melaksanakan janji, menunaikan amanah- ia berkata: dan ini adalah sifat seorang nabi.' (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan di tempat yang lain dalam Ash-Shahih '…Dan aku bertanya kepadamu: apakah ia menipu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia tidak pernah menipu. Demikian pula para rasul, mereka tidak pernah menipu…' Sungguh, jika ini merupakan sifat para penyeru risalah, maka sesungguhnya para pengikut mereka juga memiliki karasteristik seperti itu. Karena itulah beliau menyatakan bahwa seorang mukmin berperilaku istimewa, beliau bersabda:

م

م هكلكاُولممأ

ل ولَ ممهكئكَاملدكَ َىللعلَ س

ك

َانللاَ هكنمأَ ن

م ملَ ن

ك مكؤممكلماول

Dan seorang mukmin adalah orang yang manusia memberikan amanah kepadanya terhadap darah dan harta mereka. (HR. At-Tirmidzi)

Apabila sifat amanah sudah menyatu dengan pemiliknya, ia bergaul dengan sifat itu

bersama yang dekat dan jauh, muslim dan non muslim. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

'Menipu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, sama saja terhadap muslim atau kafir zimmi.' Demikian pula keadaan orang yang beriman, sehingga bersama orang yang terkenal sebagai pengkhianat dan masyhur sebagai penipu, sebagaimana dalam hadits:

(11)

"Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu." (HR. Abu Dawud)

Yang demikian itu karena bahaya terjatuh dalam pengkhianatan dan rusaknya fitrah dengan membatalkan janji lebih berat dari pada membalas kepada pengkhianat dengan balasan serupa, dan karena sesungguhnya terjatuh sekali bisa disukai nafsu dan terus berada dalam kenistaan pengkhianatan. Penipuan yang dilakukan orang-orang besar, para pemuka, dan pengkhianatan orang-orang yang berkedudukan lebih keji dan lebih jahat dari pada tergelincirnya kalangan awam, karena kesalahan orang besar merupakan kerusakan besar.

Al-Qurthubi menjelaskan masalah ini dalam pembicaraannya tentang penipuan para pemimpin, ia berkata: 'Para ulama kita berkata: Sesungguhnya penipuan yang dilakukan pemimpin lebih besar dan lebih keji darinya pada selainnya, karena mengandung kerusakan dalam hal itu. Maka sesungguhnya apabila mereka menipu dan diketahui hal tersebut dari mereka, tidak menepati janji secaya merata, musuh tidak merasa aman atas perjanjian dan tidak pula atas perdamaian dengan mereka. Maka bertambahlah kekerasannya dan besarlah bahayanya, dan hal itu membuat orang berlari dari agama dan menyebabkan celaan terhadap para pemimpin kaum muslimin. Dan para ulama berbeda pendapat, apakah boleh berjihad bersama pemimpin yang menipu?

Apabila orang awam berkhianat termasuk sifat tercela, maka lebih tercela lagi bila seorang terhormat dan terpandang menlakukan pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan kepadanya sampailah kehinaan seseorang saat rusaknya fitrahnya, yang Rasulullah SAW bersabda;

ل

ل َ ل

ع جكرلولَ ُ,هكنلَاخلَ ل

ل إكَ قلدلَ نمإكولَ ععممط

ل َ هكيمللعلَ َىفلخميلل

ل َ يذكللاَ ن

ك ئكَاخ

ل لامول...

ك

ل لكَاملولَ كللكهمألَ َىللعلَ كلعكدكَاخليكَ ُولهكولَ ِيس

ك مميكل

ل ولَ حكبكص

م يك

"… dan pengkhianat adalah orang yang tidak sepi sifat tamak atasnya, meskipun sangat kecil ia pasti berkhianat. Begitu juga seorang laki-laki yang tidak berlalu pagi dan sore kecuali ia menipumu, keluarga dan hartamu…" (HR. Ahmad dan Muslim)

(12)

tersungkur karenanya dari atas titian, menuju dasar neraka jahanam, sebagai akibat menyia-nyiakan amanah dan melewati batas dalam melanggarnya, sebagaimana dalam hadits:

َانةيممكيلَ ط

ك ارلص

ن لاَ ِي

ك بلنمجلَ ن

ك َاملُومقكتلفلَ م

ك حكرللاولَ ةكنلَاملل

ل امَ لكسلرمتكول

...ل

ة َاملشلول

"Dan dikirimlah amanah dan silaturrahim, maka keduanya berdiri di kedua sisi titian, sebelah kanan dan kiri…" (HR. Muslim)

Selamat bagi orang yang melaksanakan amanah dengan benar, maka ia berlari di atas titian (pada hari kiamat) tanpa rasa takut dan khawatir, tanpa rasa rugi dan penyesalan. Di mana tidak berguna lagi rasa rugi dan penyesalan atas orang yang meremehkan lalu berkhianat, dan terjatuh lalu menipu, karena nafsu syahwat atau rasa dendam yang buta…

Di antara gambaran amaliyah terhadap amanah: bahwa engkau memberi nasehat kepada orang yang meminta pendapatmu dan jujur kepada orang yang percaya terhadap pendapatmu. Disebutkan dalam Shohih al-Jami’ Nabi SAW mengatakan “Al-Mustasyar

Mu’tamanun” (Yang diminta pendapat adalah yang dipercaya)

هكركيمغلَ َىفكَ دلشمرللاَ نلألَ مكللعميلَ رمممأ

ل بكَ هكيمخكألَ َىللعلَ رلَاشلألَ نمملول...

هكنلَاخلَ دمقلفل

"Dan barangsiapa yang memberi isyarat kepada saudaranya dengan perkara yang ia mengetahui bahwa petunjuk (kebenaran) ada pada yang lainnya, berarti ia telah berkhianat kepadanya." (Shahih Al-Jami')

Dengan pengertian tersebut diatas dapat dipahami bahwa akad nikah dalam perkawinan termasuk bagian daripada amanah Allah kepada suami yang harus ditunaikannya dengan baik. Mengabaikan amanah tersebut akan mendapat siksaan dan kehinaan dalam hidupnya. Dengan kita memahami bahwa akad nikah itu adalah suatu amanah pastilah tidak akan mengabaikannya dengan terlalu mudah menjatuhkan talaq. Demikian juaga seorang isteri juga memikul beban amanah yang sama untuk mengurus suami dan anak-anaknya dan karenanya tidak terlalu mudah untuk meminta cerai dari suaminya.

(13)

Kelahiran kedua, saat seorang hamba melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang pernikahan dengan ijab Kabul. Mereka lahir kedua kalinya. Tetapi kini, masing-masing menerima amanah dari Allah SWT melalui orang tua mereka. Selama menjadi amanah di tangan kedua orang tua, maka sekuat kemampuan pula mereka harus memelihara amanah itu. Ketulusan, dan juga pengorbanan mereka lakukan demi menunaikan amanah itu. Kini saat kedua mempelai menerima amanah yang besar, maka hendaknya apa yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka, diletakkan di pelupuk mata dan jendela hati, agar sebesar itu pula amanah bisa tertunaikan.

Kesungguhan dan keikhlasan, serta pengorbanan kedua mempelai harus dijalankan dalam memelihara amanah yang diterimanya. Perbedaan budaya dan kebiasaan yang ada di antara kedua pasangan bukan sebagai sumber masalah, akan tetapi menjadi inspirasi keindahan kehidupan bagi keluarga yang nantinya akan dijalani. Karena memang pernikahan tidak cukup hanya dibangun, tetapi ia juga harus dipertahankan. Pernikahan dilakukan dengan kalimat Allah SWT, agar calon suami dan istri menyadari betapa sucinya peristiwa yang sedang mereka alami. Dan pada saat yang sama mereka harus berupaya untuk menjadikan keluarga mereka dinaungi oleh makna kalimat itu, yaitu kebenaran, ketegaran, keadilan, kelanggengan. Ia tidak boleh berubah, penuh keluhuran, penuh kebajikan dan berdoa agar dikaruniai anak shalih, yang akan menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.

Ijab dan kabul merupakan amanah yang agung dari Allah SWT dan dari orang tua. Seagung dan sekokoh perjanjian Allah SWT dengan para Rasul-Nya. Karenanya, ijab kabul itu, hanya akan bermakna bila diucapkan oleh orang yang beriman, yang akan melahirkan sikap amanah dan rasa tanggung jawab kepada Allah SWT dan kedua orang tua.

(14)

Keyakinan inilah yang dilakukan istri kepada suami ataupun sebaliknya. Inilah yang dinamai Al-Quran suatu ‘perjanjian yang sangat kokoh’. Karena pernikahan tidak hanya amanah dari mereka, tetapi juga amanah dari Allah SWT. Pernikahan dijalin atas nama Allah SWT dan dengan menggunakan kalimat-Nya.

Amanah dipelihara dengan mengingat kebesaran dan kemurahan Allah SWT. Ia dipelihara dengan melaksanakan tuntunan agama. Jagalah amanah itu dengan shalat walau hanya lima kali sehari. Kokohkan ia dengan berjamaah bersama pasangan, karena berjamaah juga dapat menjamin perekonomian keluarga. Niatkan sebuah pernikahan itu sebagai bagian dari beribadah kepada Allah SWT. Sehingga akan menjadi ringan bagi suami-istri untuk saling mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jagalah amanah Allah dan kedua orang tua ini dengan baik, pergaulilah pasangan sebagaimana dipesankan di dalam Al-Quran.



َ



َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ

َ



َ





َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ

َ





َ

َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ َ َ

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa21

dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata22, dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak

menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An Nisa: 19)

B. Tujuan perkawinan dalam Islam

21 Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

(15)

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan. Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

1]

2. Untuk Ibadah Kepada Allah

Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa pada dasarnya tujuan

perkawinan dalam Islam adalah untuk ibadah kepada Allah SWT. Pengertian ibadah disini

tentu bukan hanya dalam kontek mahdhah tetapi segala tindakan dan prilaku hidup manusia

yang dengan ketaatan dan ketundukannya kepada Allah adalah ibadah termasuk

(16)

termaktub dalam al-quran maupun dalam hadits Nabi SAW. Diantara bukti bahwa nikah itu

adalah ibadah, tersebut dalam firman Allah Q. S. An-Nisak ( 4 ) : 3



َ



َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.



َ



َ



maka kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,...َ (Q.S.َ An-Nisakَ (4)َ :َ 25

selainَ perintahَ nikahَ yangَ tercantumَ dalamَ al-Quranُ,َ Nabiَ SAWَ jugaَ mengatakanَ :

هكنلإكفلَ ،جمولزلتليللمفلَ ةلءلَابللماَ مكككنممكَ علَاط

ل تلس

م اَ ن

ك ملَ ب

ك َابلش

ل لاَ رلش

ل عمملَ َايل

هكيييمللعلفلَ عمط

ك تلييس

م يلَ م

م ييللَ ن

م ييملولَ ،جكرمييفللملكَ ن

ك ييص

ل حمأ

ل ولَ ركييصلبللملكَ ض

ل

ييغلأل

.ءعَاجلوكَ هكللَ هكنلإكفلَ م

ك ُومص

ل لَابك

23

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”

Dalil tersebut sebahagian kecil dari bukti adanya perintah nikah, masih banyak yang

lainnya tetapi dalil tersebut sudah cukup untuk menunjukkan bahwa perintah nikah itu ada

dalam al-Quran dan al-Hadits. Ini artinya melaksanakan perkawinan atau nikah itu termasuk

bagian daripada ibadah karena ibadah itu ketundukan dan kepatuhan hamba terhadap aturan

Allah dan Rasul-Nya. Apabila melaksanakan perkawinan tersebut di awali dengan niat ibadah

maka segala sesuatu yang ada kaitannya dengan perkawinan itu tentu harus selalu

disandarkan kepada Allah. Bersatu karena Allah dan berpisahpun karena Allah.

(17)

Inilah agaknya yang dimaksud dengan “perkawinan itu ikatan lahir dan batin”. Ikatan

lahir artinya adanya hak dan kewajiaban secara zahir bagi pasangan suami isteri. Suami

puanya kewajiban terhadap isterinya sekaligus punya hak terhadap isterinya itu, dan isteripun

punya kewajiban terhadap suaminya sekaligus punya hak dari suaminya.

Dengan dilangsungkan akad nikah, antara mempelai laki-laki dan mempelai

perempuan yang dilakukan oleh Walinya, terjalinlah hubungan suami istri dan timbul hak dan

kewajiban masing-masing secara timbal balik 24 Hak-hak dalam perkawinan itu dapat dibagi

menjadi tiga bagian yaitu : hak bersama, hak istri yang menjadi kewajiban suami, dan hak

suami yang menjadi kewajiban istri.

1. Hak bersama

a. Halal bergaul antara suami dan istri dan masing-masing dapat bersenang-senang

satu sama lainnya.

b. Terjadi hubungan mahram semenda.

c. Terjadi hubungan waris-mewarisi antara suami dan istri sejak akad

nikah dilaksanakan.

d. Anak yang lahir dari istri bernasab pada suaminya.

e. Bergaul dengan baik antara suami dengan istri sehingga tercipta hubungan yang

harmonisdan damai.

Mengenai hak dan kewajiban bersama suami- istri Undang-undang perkawinan

menyebutkan dalam Pasal 33 “suami-istri wajib cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia

dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”

2. Hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami

Yang menjadi hak isteri terhadap suaminya sekaligus kewajiaban suami untuk memenuhinya dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu hak kebendaan dan hak moral (bukan kebendaan). Hak kebendaan dapat dibedakan berupa mahar dan nafkah lahir.

(18)

Mahar adalah harta pemberian wajib dari suami kepada istri, dan merupakan hak penuh bagi istri yang tidak boleh diganggu oleh suami, suami hanya dibenarkan ikut memanfaatkan maskawin isterinya apabila diberikan oleh istri secara sukarela. Mahar dapat diberikan secara langsung saat ijab-qabul, dan dapat diberikan setelah perkawinan dengan

menggunakan istilah “hutang” wajib yang harus diberikan kepada istrinya.

Dilihat dari jenis dan kadar mahar tersebut dapat dibedakan kepada dua macam yaitu

mahar mutsamma dan mahar mitsil. Mahar musamma adalah mahar berdasarkan ketentuan

yang sudah ditetapkan baik jenisnya maupun kadarnya. Sedangkan mahar mitsil adalah mahar yang tidak ditentukan jenis atau kadarnya namun disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat atau disesuaikan dengan mahar yang pernah diterima oleh wanita lain yang sederajat dengannya atau oleh saudara-saudara atau sanak keluarganya.

Selain mahar sebagai hak kebendaan bagi isteri dan kewajiaban suami untuk

memenuhinya adalah Nafkah yang meliputi segala keperluan istri, seperti makanan, pakain, tempat tinggal, dan pengobatan, meskipun istri tergolong kaya. Ketentuan ini termuat dalam al-Quran Surat Al-Baqarah :233



َ



َ



َ



َ





َ

“….dan Ayah berkewajiban mencukupkan kebutuhan pakaian dan makanan untuk para ibu anak-anak dengan cara yang makruf…”.

Haditsriwayat Muslim menyebutkan isi Khutbah Nabi dalam haji wada antara lain‟

sebagai berikut, “…takutlah kepada Allah dalam menunaikan kewajiban terhadap istri-istri, kamu telah memperistri mereka atas nama Allah; adalah menjadi hak kamu bahwa istri-istri itu tidak menerima tamu orang yang tidak engkau senangi; kalu mereka melakukannya, boleh kamu beri pelajaran dengan pukulan-pukulan kecil yang tidak melukai; kamu berkewajiban mencukupkan kebutuhan istri mengenai makanan dan pakaian dengan makruf”.

Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah menceritakan bahwa Hidun istri Abu Sufyan mengadukan kekikiran suaminya. Nafkah yang diberikan tidak cukup untuk makan dirinya dan anak-anaknya. Apakah ia boleh mengambilnya tanpa ijin? Nabi menjawab; ambillah uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anakmu dan kamu.

Selain hak kebendaan yang dapat diterima oleh seorang isteri, dia juga punya hak yang sifatnya bukan benda. Hak-hak bukan kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya dapat difahami dari QS. An-Nisa : 19 yang berbunyi;



َ



َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ

َ



َ





َ



َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ

َ





َ

َ



َ



َ



َ





َ



َ



َ



َ



َ





َ



Haiَ orang-orangَ yangَ berimanُ,َ tidakَ halalَ bagiَ kamuَ mempusakaiَ wanitaَ denganَ jalan paksa25َ danَ janganlahَ kamuَ menyusahkanَ merekaَ karenaَ hendakَ mengambilَ kembali

sebagian َ dari َ apa َ yang َ telah َ kamu َ berikan َ kepadanyaُ, َ terkecuali َ bila َ mereka melakukan َ pekerjaan َ keji َ yang َ nyata َ dan َ bergaullah َ dengan َ mereka َ secara َ patut.

(19)

kemudianَ bilaَ kamuَ tidakَ menyukaiَ merekaُ,َ (makaَ bersabarlah)َ karenaَ mungkinَ kamu tidakَ menyukaiَ sesuatuُ,َ Padahalَ Allahَ menjadikanَ padanyaَ kebaikanَ yangَ banyak.

Dariَ ayatَ iniَ nampakَ jelasَ bahwaَ hakَ seorangَ isteriَ ituَ yangَ bersifatَ nonَ materiَ ituَ antaraَ lainَ agar suami-suami menggauli istri-istrinya dengan makruf dan bersabar

terhadap hal-hal yang tidak disenangi yang terdapat pada istri. Menggauli istri dengan makruf termasuk sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-perlakuan yang baik, serta

meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlaq dan

ilmu pengetahuan yang diperlukan. Hadits riwayat Turmutzi dan Ibnu Hibban dari Hibbandari abu Hurairah r.a. mengajarkan; “orang

-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan orang-orang yang paling baik diantaranya adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri-istrinya”.

Demikian juga melindungi dan menjaga nama baik istri termasuk kewajiban suami. Hal ini tidak berarti bahwa suami harus menutup nutupi kesalahan yang memang terdapat pada isterinya. Namun, adalah menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan kesalahan kesalahan isterinya kepada orang lain apabila isteri dituduh melakukan sesuatu yang tidak benar setelah suami melakukan penelitian terhadap tuduhan tersebut.

Jika istri melakukan hal-halyang bertentangan dengan ketentuan ajaran Islam, suami wajib memperingatkanya terutana yang menyangkut pergaulanya dengan orang lain. Suami jangan membiarkan isteri menerima tamu yang tidak dikenal identitasnya oleh suami dan sebagainya. Cemburu kepada istri hendaklah dalam rangka melindungi dan menjaga nama baiknya. Harus pula di perhatikan apabila isteri ikut bekerja untuk memenhi kebutuhan rumah tangga, suami tidak boleh bersikap acuh tak acuh kepada pekerjaan isteri. Suami harus berusaha mengetahui apakah isteri berkata jujur atau tidak.

(20)

3. Menjaga kehormatan dan kesucian diri

4. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami

5. Memperoleh keturunan yang shalih dan melestarikan keturunan.

6.

Tujuanَ Pernikahanَ Dalamَ Islam

7. Oleh

Al-Ustadzَ Yazidَ binَ Abdulَ Qadirَ Jawas

3.َ Untukَ Menegakkanَ Rumahَ Tanggaَ Yangَ Islami

Dalamَ Al-Qur-anَ disebutkanَ bahwaَ Islamَ membenarkanَ adanyaَ thalaqَ (perceraian)ُ,َ jikaَ suamiَ isteriَ sudahَ tidakَ sanggupَ lagiَ menegakkanَ batas-batasَ Allahُ,َ sebagaimanaَ firmanَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jallaَ dalamَ ayatَ berikut:

دلودكحك َامليقكيك للأل ممتكفمخك نم يييإكيييفل َ هكلللادلودكحك َامليقكيك للأل َافلَاخليل نم أل للإك َائةيمشل نل هكُومكتكيمتلآ َاملمك اوذك خكأمتل نم أل مم كك لل لل حك يل يييلليييول َ نم َاسل حم إكبكحع يركسم تل ومأل فم وركعمملبك كع َاسل مميييإكيييفل َ نك َاتلرلملقك للطل لا َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ن ل ُومكلكَاظل لا مكهك كلئكلللوأكفل هكلللا دلودكحك دلعلتليل نميييمليييول َ َاهلودكتلعمتلللفل هكلللا دكودكحك كل ييلمييييتك َ هكبكتم دل تلفما َامليفك َاملهكيمللعل حلَانلجك للفل هكلللا َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ

“Thalaqَ (yangَ dapatَ dirujuk)َ ituَ duaَ kali.َ (Setelahَ ituَ suamiَ dapat)َ menahanَ denganَ baikُ,َ atauَ melepaskanَ denganَ baik.َ Tidakَ halalَ bagiَ kamuَ mengambilَ kembaliَ sesuatuَ yangَ telahَ kamuَ berikanَ kepadaَ merekaُ,َ kecualiَ keduanyaَ (suamiَ danَ isteri)َ khawatirَ tidakَ mampuَ menjalankanَ hukum-hukumَ Allah.َ Jikaَ kamuَ (wali)َ khawatirَ bahwaَ keduanyaَ tidakَ mampuَ menjalankanَ hukum-hukumَ Allahُ,َ makaَ keduanyaَ tidakَ berdosaَ atasَ bayaranَ yangَ (harus)َ diberikanَ (olehَ isteri)َ untukَ menebusَ dirinya.َ Itulahَ hukum-hukumَ Allahُ,َ makaَ janganlahَ kamuَ melanggarnya.َ Barangsiapaَ melanggarَ hukum-hukumَ Allahُ,َ merekaَ itulahَ orang-orangَ zhalim.”َ [Al-Baqarahَ :َ 229]

Yakniُ,َ keduanyaَ sudahَ tidakَ sanggupَ melaksanakanَ syari’atَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jalla.َ Danَ dibenarkanَ rujukَ (kembaliَ nikahَ lagi)َ bilaَ keduanyaَ sanggupَ menegakkanَ batas-batasَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jalla.َ Sebagaimanaَ yangَ disebutkanَ dalamَ suratَ Al-Baqarahُ, lanjutanَ ayatَ diَ atas:

ن ل ُومكللعميل مم ُومقللك َاهلنكينبليك هكلللا دكودك حك كل لميييتكيييول َ هكلللادلودكحك َامليقكيك نم أل َانلظل نمإك َاعلجلارلتليل نمأل َاملهكيمللعل حلَانلجك للفل َاهلقلللطل نميييإكيييفل َ هكرليمغلَاجةومزل حلككنمتل َىل تلحل دك عمبل نم مك هكلل لل حك تل للفل َاهلقلللطل نمإكفل َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ

“Kemudianَ jikaَ diaَ (suami)َ menceraikannyaَ (setelahَ thalaqَ yangَ kedua)ُ,َ makaَ perempuanَ ituَ tidakَ halalَ lagiَ baginyaَ sebelumَ diaَ menikahَ denganَ suamiَ yangَ lain.َ Kemudianَ jikaَ suamiَ yangَ lainَ ituَ menceraikannyaُ,َ makaَ tidakَ adaَ dosaَ bagi keduanyaَ (suamiَ pertamaَ danَ bekasَ isteri)َ untukَ menikahَ kembaliَ jikaَ keduanyaَ berpendapatَ akanَ dapatَ menjalankanَ hukum-hukumَ Allah.َ Itulahَ ketentuan-ketentuanَ Allahَ yangَ diterangkan-Nyaَ kepadaَ orang-orangَ yangَ berpengetahuan.”َ [Al-Baqarahَ :َ 230]

Jadiُ,َ tujuanَ yangَ luhurَ dariَ pernikahanَ adalahَ agarَ suamiَ isteriَ melaksanakanَ syari’atَ Islamَ dalamَ rumahَ tangganya.َ Hukumَ ditegakkannyaَ rumahَ tanggaَ berdasarkanَ syari’atَ Islamَ adalahَ wajib.َ Olehَ karenaَ ituُ,َ setiapَ muslimَ danَ muslimahَ yangَ inginَ membinaَ rumahَ tanggaَ yangَ Islamiُ,َ makaَ ajaranَ Islamَ telahَ memberikanَ beberapaَ kriteriaَ tentangَ calonَ pasanganَ yangَ idealُ,َ yaituَ harusَ kafa-ahَ danَ shalihah.

a.َ Kafa-ahَ Menurutَ Konsepَ Islam

Pengaruhَ burukَ materialismeَ telahَ banyakَ menimpaَ orangَ tua.َ Tidakَ sedikitَ orangَ tuaُ,َ padaَ zamanَ sekarangَ iniُ,َ yangَ selaluَ menitikberatkanَ padaَ kriteriaَ banyaknyaَ hartaُ,َ keseimbanganَ kedudukanُ,َ statusَ sosialَ danَ keturunanَ sajaَ dalamَ memilihَ calonَ jodohَ putera-puterinya.َ Masalahَ kufu’َ (sederajatُ,َ sepadan)َ hanyaَ diukurَ berdasarkanَ materiَ danَ hartaَ saja.َ Sementaraَ pertimbanganَ agamaَ tidakَ mendapatَ perhatianَ yangَ serius.

Agamaَ Islamَ sangatَ memperhatikanَ kafa-ahَ atauَ kesamaanُ,َ kesepadananَ atauَ sederajatَ dalamَ halَ per-nikahan.َ Denganَ adanyaَ kesamaanَ antaraَ keduaَ suamiَ isteriَ ituُ,َ makaَ usahaَ untukَ mendirikanَ danَ membinaَ rumahَ tanggaَ yangَ Islamiَ -insyaَ Allah-َ akanَ terwujud.َ Namunَ kafa-ahَ menurutَ Islamَ hanyaَ diukurَ denganَ kualitasَ imanَ danَ taqwaَ sertaَ akhlakَ seseorangُ,َ bukanَ diukurَ denganَ statusَ sosialُ,َ keturunanَ danَ lain-lainnya.َ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jallaَ memandangَ derajatَ seseorangَ samaُ,َ baikَ ituَ orangَ Arabَ maupunَ nonَ Arabُ,َ miskinَ atauَ kaya.َ Tidakَ adaَ perbedaanَ derajatَ dariَ keduanyaَ melainkanَ derajatَ taqwanya.

Allahَ ‘Azzaَ waَ Jallaَ berfirman:

رعيبكخل معيلكعل هللللا يينلييييإك َ مم كك َاقلتمألهكلللا دلنمعك ممكك ملرلكمأل يينلييييإك َ اُوفكرلَاعلتللكلل ئكَابلقلول َابةُوعكشك ممككَانللمعلجلول َىل ثلنمأك ول رمكلذل نممك ممككَانلقمللخل َانلإك سك َانللا َاهليلأل َايل َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ “

Wahaiَ manusia!َ Sungguhُ,َ Kamiَ telahَ menciptakanَ kamuَ dariَ seorangَ laki-lakiَ danَ seorangَ perempuanُ,َ kemudianَ kamiَ jadikanَ kamuَ berbangsa-bangsaَ danَ bersuku-sukuَ agarَ kamuَ salingَ mengenal.َ Sungguhُ,َ yangَ palingَ muliaَ diَ antaraَ kamuَ diَ sisiَ Allahَ ialahَ orangَ yangَ palingَ bertaqwa.َ Sungguhُ,َ Allahَ Mahaَ Mengetahuiُ,َ Mahateliti.”َ [Al-Hujuraatَ :َ 13]

Bagiَ merekaَ yangَ sekufu’ُ,َ makaَ tidakَ adaَ halanganَ bagiَ keduanyaَ untukَ menikahَ satuَ samaَ lainnya.َ Wajibَ bagiَ paraَ orang tuaُ,َ pemudaَ danَ pemudiَ yangَ masihَ berorientasiَ padaَ hal-halَ yangَ sifatnyaَ materialisَ danَ mempertahankanَ adatَ istiadatَ untukَ meninggalkannyaَ danَ kembaliَ kepadaَ Al-Qur-anَ danَ Sunnahَ Nabiَ yangَ shahihُ,َ sesuaiَ denganَ sabdaَ Rasulullahَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallam:

:

كل ادليل تم بلركتل نك يمدن لا تك اذل بك رمفلظم َافل ،َاهلنكيمدكلكول َاهللكَاملجللكول َاهلبكسل حل لكول َاهللكَامللك عمكبلرملل ةكألرممللما حككلنمتك.

“Seorangَ wanitaَ dinikahiَ karenaَ empatَ hal;َ karenaَ hartanyaُ,َ keturunannyaُ,َ kecantikannyaُ,َ danَ agamanya.َ Makaَ hendaklah kamuَ pilihَ wanitaَ yangَ taatَ agamanyaَ (ke-Islamannya)ُ,َ niscayaَ kamuَ akanَ beruntung.”َ [2]

Haditsَ iniَ menjelaskanَ bahwaَ padaَ umumnyaَ seseorangَ menikahiَ wanitaَ karenaَ empatَ halَ ini.َ Danَ Nabiَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ menganjurkanَ untukَ memilihَ yangَ kuatَ agamanyaُ,َ yakniَ memilihَ yangَ shalihahَ karenaَ wanitaَ shalihahَ adalahَ sebaik-baikَ perhiasanَ duniaُ,َ agarَ selamatَ duniaَ danَ akhirat.

Namunُ,َ apabilaَ adaَ seorangَ laki-lakiَ yangَ memilihَ wanitaَ yangَ cantikُ,َ atauَ memilikiَ hartaَ yangَ melimpahُ,َ atauَ karenaَ sebabَ lainnyaُ,َ tetapiَ kurangَ agamanyaُ,َ makaَ bolehkahَ laki-lakiَ tersebutَ menikahinya?َ Paraَ ulamaَ membolehkannyaَ danَ pernikahannyaَ tetapَ sah.

(21)

تك َابلينطل للك نلُوبكينطل لاول نليبكينطل للك تك َابلينطل لييياييول َ تك َاثليبكخللملكنل ُوثكيبكخللماول نل يثكيبكخل لملك تك َاثليبكخل لما َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ

“Perempuan-perempuanَ yangَ kejiَ untukَ laki-lakiَ yangَ kejiُ,َ danَ laki-lakiَ yangَ kejiَ untukَ perempuan-perempuanَ yangَ kejiَ (pula).َ Sedangkanَ perempuanَ yangَ baikَ untukَ laki-lakiَ yangَ baikَ danَ laki-lakiَ yangَ baikَ untukَ perempuan-perempuanَ yangَ baikَ (pula)…”َ [An-Nuurَ :َ 26]

b.َ Memilihَ Calonَ Isteriَ Yangَ Shalihah

Seorangَ laki-lakiَ yangَ hendakَ menikahَ harusَ memilihَ wanitaَ yangَ shalihahُ,َ demikianَ pulaَ wanitaَ harusَ memilihَ laki-lakiَ yangَ shalih.َ

Menurutَ Al-Qur-anُ,َ wanitaَ yangَ shalihahَ adalah:

هكلللا ظل فكحل َاملبك بك يمغللملك تع َاظل فكَاحل تع َاتلنكَاقل تك َاحل لكَاصل لَافل

“…Makaَ perempuan-perempuanَ yangَ shalihahَ adalahَ merekaَ yangَ taatَ (kepadaَ Allah)َ danَ menjagaَ diriَ ketikaَ (suaminya)َ tidakَ adaُ,َ karenaَ Allahَ telahَ menjagaَ (me-reka)…”َ [An-Nisaa’َ :َ 34]

Lafazhَ تع َاتلنكَاقلdijelaskanَ olehَ Qatadahُ,َ artinyaَ wanitaَ yangَ taatَ kepadaَ Allahَ danَ taatَ kepadaَ suaminya.[3]

Nabiَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ bersabda:

ةكحللكَاصل لا ةكأل رممللما َايلنمدللا عكَاتلمل ركيمخلول ععَاتلمل َايلنمدللال.

“Duniaَ adalahَ perhiasanُ,َ danَ sebaik-baikَ perhiasanَ duniaَ adalahَ wanitaَ yangَ shalihah.”َ [4]

Dalamَ haditsَ yangَ lainُ,َ Rasulullahَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ bersabda:

هكرلكميل َاملبك َاهللكَامل لل ول َاهلسك فمنل ِيم فك هكفكلكَاخل تك لل ول رلملأل اذلإك هكعكيمطك تكول َاهليمللإك رلظل نل اذلإك هكرلسك تل ِيتكللا ءكَاسل ننلا ركيمخل.

“Sebaik-baikَ wanitaَ adalahَ yangَ menyenangkanَ suamiَ apabilaَ iaَ melihatnyaُ,َ mentaatiَ apabilaَ suamiَ menyuruhnyaُ,َ danَ tidakَ menyelisihiَ atasَ diriَ danَ hartanyaَ denganَ apaَ yangَ tidakَ disukaiَ suaminya.”َ [5]

Rasulullahَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ jugaَ bersabda:

: :

،قك ينضل لا نك كل سم مللماول ،ءكُومسل لا ةكأل رممللماول ،ءكُومسللا ركَاجللمال ةكولَاقلشللا نلمك ععبلرمألول ،ءكِيمنكهللما بككلرممللماول ،حكلكَاصللا ركَاجللماول ،عكسكاُوللما نككلسممللماول ،ةكحللكَاصللا ةكألرممللمال ةكدلَاعلسللا نلمك ععبلرمأل ءكُومسل لا بك كل رممللماول.

“Empatَ halَ yangَ merupakanَ kebahagiaan;َ isteriَ yangَ shalihahُ,َ tempatَ tinggalَ yangَ luasُ,َ tetanggaَ yangَ baikُ,َ danَ kendaraanَ yangَ nyaman.َ Danَ empatَ halَ yangَ merupakanَ kesengsaraan;َ tetanggaَ yangَ jahatُ,َ isteriَ yangَ burukُ,َ tempatَ tinggalَ yangَ sempitُ,َ danَ kendaraanَ yangَ jelek.”َ [6]

Menurutَ Al-Qur-anَ danَ As-Sunnahَ yangَ shahihُ,َ danَ penjelasanَ paraَ ulamaَ bahwaَ diَ antaraَ ciri-ciriَ wanitaَ shalihahَ ialahَ :

1.َ Taatَ kepadaَ Allahَ danَ taatَ kepadaَ Rasul-Nyaُ,َ

2.َ Taatَ kepadaَ suamiَ danَ menjagaَ kehormatannyaَ diَ saatَ suamiَ adaَ atauَ tidakَ adaَ sertaَ menjagaَ hartaَ suaminyaُ, 3.َ Menjagaَ shalatَ yangَ limaَ waktuُ,

4.َ Melaksanakanَ puasaَ padaَ bulanَ Ramadhanُ,

5.َ Memakaiَ jilbabَ yangَ menutupَ seluruhَ auratnyaَ danَ tidakَ untukَ pamerَ kecantikanَ (tabarruj)َ sepertiَ wanitaَ Jahiliyyah.َ [7]َ 6.َ Berakhlakَ muliaُ,

7.َ Selaluَ menjagaَ lisannyaُ,

8.َ Tidakَ berbincang-bincangَ danَ berdua-duaanَ denganَ laki-lakiَ yangَ bukanَ mahramnyaَ karenaَ yangَ ke-tiganyaَ adalahَ syaitanُ,

9.َ Tidakَ menerimaَ tamuَ yangَ tidakَ disukaiَ olehَ suaminyaُ, 10.َ Taatَ kepadaَ keduaَ orangَ tuaَ dalamَ kebaikanُ, 11.َ Berbuatَ baikَ kepadaَ tetangganyaَ sesuaiَ denganَ syari’at.

Apabilaَ kriteriaَ iniَ dipenuhiَ -insyaَ Allah-َ rumahَ tanggaَ yangَ Islamiَ akanَ terwujud.

Sebagaiَ tambahanُ,َ Rasulullahَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ menganjurkanَ untukَ memilihَ wanitaَ yangَ suburَ (banyakَ keturunannya)َ danَ penyayangَ agarَ dapatَ melahirkanَ generasiَ penerusَ ummat.

4.َ Untukَ Meningkatkanَ Ibadahَ Kepadaَ Allah

Menurutَ konsepَ Islamُ,َ hidupَ sepenuhnyaَ untukَ mengabdiَ danَ beribadahَ hanyaَ kepadaَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jallaَ danَ berbuatَ baikَ kepadaَ sesamaَ manusia.َ Dariَ sudutَ pandangَ iniُ,َ rumahَ tanggaَ adalahَ salahَ satuَ lahanَ suburَ bagiَ peribadahanَ danَ amalَ shalihَ diَ sampingَ ibadahَ danَ amal-amalَ shalihَ yangَ lainُ,َ bahkanَ berhubunganَ suamiَ isteriَ punَ termasukَ ibadahَ (sedekah).

Rasulullahَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ bersabda:

…َاهلعلضل ول اذلإك ك ل لكذلكل فل ؟رعزموك َاهليمفك هكيمللعل نلَاكلأل ،ممارلحل ِيفك َاهلعلضل ول ُوملل ممتكيمأ ل رلأل للَاقل ؟رعجمأل َاهليمفك هكلل نكُومككيلول هكتلُولهمشل َانلدكحلأل ِيتكأميلأل ،هكللا للُومسكرل َايل اُوملكَاقل ،ةعقلدلصل ممككدكحلأل عكضمبك ِيفكول : :

رعجمأل هكلل نلَاكل لكلل حللما ِيفك.

“…َ Seseorangَ diَ antaraَ kalianَ bersetubuhَ denganَ isterinyaَ adalahَ sedekah!”َ (Mendengarَ sabdaَ Rasulullahُ,َ paraَ Shahabatَ keheranan)َ laluَ bertanya:َ “Wahaiَ Rasulullahُ,َ apakahَ salahَ seorangَ dariَ kitaَ melampiaskanَ syahwatnyaَ terhadapَ isterinyaَ akanَ mendapatَ pahala?”َ Nabiَ shallallaahuَ ‘alaihiَ waَ sallamَ menjawab:َ “Bagaimanaَ menurutَ kalianَ jikaَ iaَ (seorangَ suami)َ bersetubuhَ denganَ selainَ isterinyaُ,َ bukankahَ iaَ berdosa?َ Begituَ pulaَ jikaَ iaَ bersetubuhَ denganَ isterinyaَ (diَ tempatَ yangَ halal)ُ,َ diaَ akanَ memperolehَ pahala.”َ [8]

5.َ Untukَ Memperolehَ Keturunanَ Yangَ Shalih

Tujuanَ pernikahanَ diَ antaranyaَ adalahَ untukَ memperolehَ keturunanَ yangَ shalihُ,َ untukَ melestarikanَ danَ mengembangkanَ baniَ Adamُ,َ sebagaimanaَ firmanَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jalla:

نل وركفككم يل ممهك هكلللا تك ملعمنكبكول نل ُونكمكؤميك لك طك َابللمَابكييفلييييأل َ تك َابلينطل لانل مك مم كك قلزلرلول ةةدلفلحلول نلينكبل ممككجكاولزمأل نممك ممككلل للعلجلول َاجةاولزمأل ممككسك فكنمأل نم مك مم كك لل لل علجل هكلللاول َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ

(22)

Yangَ terpentingَ lagiَ dalamَ pernikahanَ bukanَ hanyaَ sekedarَ memperolehَ anakُ,َ tetapiَ berusahaَ mencariَ danَ membentukَ generasiَ yangَ berkualitasُ,َ yaituَ mencariَ anakَ yangَ shalihَ danَ bertaqwaَ kepadaَ Allah.َ

Sebagaimanaَ firmanَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jalla:

م

م كك لل هكلللا بل تلكل َامل اُوغكتلبماول

“…Danَ carilahَ apaَ yangَ telahَ ditetapkanَ Allahَ bagimuَ (yaituَ anak).”َ [Al-Baqarahَ :َ 187]

Abuَ Hurairahُ,َ Ibnuَ ‘Abbasَ danَ Anasَ binَ Malikَ radhiyallaahuَ ‘anhumُ,َ jugaَ Imam-Imamَ lainَ dariَ kalanganَ Tabi’inَ menafsirkanَ ayatَ diَ atasَ denganَ anak.[9]

Maksudnyaُ,َ bahwaَ Allahَ ‘Azzaَ waَ Jallaَ memerintahkanَ kitaَ untukَ memperolehَ anakَ denganَ caraَ ber-hubunganَ suamiَ isteriَ dariَ apaَ yangَ telahَ Allahَ tetapkanَ untukَ kita.َ Setiapَ orangَ selaluَ berdo’aَ agarَ diberikanَ keturunanَ yangَ shalih.َ Makaُ,َ jikaَ ia telahَ dikarunaiَ anakُ,َ sudahَ seharusnyaَ jikaَ iaَ mendidiknyaَ denganَ benar.

Tentunyaَ keturunanَ yangَ shalihَ tidakَ akanَ diperolehَ melainkanَ denganَ pendidikanَ Islamَ yangَ benar.َ Halَ iniَ mengingatَ banyaknyaَ lembagaَ pendidikanَ yangَ berlabelَ Islamُ,َ tetapiَ isiَ danَ caranyaَ sangatَ jauhَ bahkanَ menyimpangَ dariَ nilai-nilaiَ Islamiَ yangَ luhur.َ Sehinggaَ banyakَ kitaَ temukanَ anak-anakَ kaumَ musliminَ yangَ tidakَ memilikiَ akhlakَ muliaَ yangَ sesuaiَ denganَ nilai-nilaiَ Islamُ,َ disebabkanَ karenaَ pendidikanَ danَ pembinaanَ yangَ salah.َ Olehَ karenaَ ituُ,َ suamiَ maupunَ isteriَ bertanggungَ jawabَ untukَ mendidikُ,َ mengajarُ,َ danَ mengarahkanَ anak-anaknyaَ keَ jalanَ yangَ benarُ,َ sesuaiَ denganَ agamaَ Islam.

Tentangَ tujuanَ pernikahanُ,َ Islamَ jugaَ memandangَ bahwaَ pembentukanَ keluargaَ ituَ sebagaiَ salahَ satuَ jalanَ untukَ merealisasikanَ tujuan-tujuanَ yangَ lebihَ besarَ yangَ meliputiَ berbagaiَ aspekَ kemasyarakatanَ yangَ akanَ mempunyaiَ pengaruhَ besarَ danَ mendasarَ terhadapَ kaumَ musliminَ danَ eksistensiَ ummatَ Islam

[Disalinَ dariَ bukuَ Bingkisanَ Istimewaَ Menujuَ Keluargaَ Sakinahُ,َ Penulisَ Yazidَ binَ Abdulَ Qadirَ Jawasُ,َ Penerbitَ Pustakaَ At-Taqwaَ Bogorَ -َ Jawaَ Baratُ,َ Cetَ Keَ IIَ Dzulَ Qa'dahَ 1427H/Desemberَ 2006]

_______ Footnote [1].َ

[2].َ Haditsَ shahih:َ Diriwayatkanَ olehَ al-Bukhariَ (no.َ 5090)ُ,َ Muslimَ (no.َ 1466)ُ,َ Abuَ Dawudَ (no.َ 2047)ُ,َ an-Nasa-iَ (VI/68)ُ,َ Ibnu Majahَ (no.َ 1858)ُ,َ Ahmadَ (II/428)ُ,َ dariَ Abuَ Hurairahَ radhiyallaahuَ ‘anhu.

[3].َ Tafsiirَ Ibnuَ Jarirَ ath-Thabariَ (IV/62ُ,َ no.َ 9320).

[4].َ Haditsَ shahih:َ Diriwayatkanَ olehَ Muslimَ (no.َ 1467)ُ,َ an-Nasa-iَ (VI/69)ُ,َ Ahmadَ (II/168)ُ,َ Ibnuَ Hibbanَ (no.َ 4020َ -at-Ta’liqaatulَ Hisaan)َ danَ al-Baihaqiَ (VII/80)َ dariَ ‘Abdullahَ binَ ‘Amrَ radhiyallaahuَ ‘anhuma.

[5].َ Haditsَ hasan:َ Diriwayatkanَ olehَ an-Nasa-iَ (VI/68)ُ,َ al-Hakimَ (II/161)َ danَ Ahmadَ (II/251ُ,َ 432ُ,َ 438)ُ,َ dariَ Shahabatَ Abuَ Hurairahَ radhi-yallaahuَ ‘anhu.َ Lihatَ Silsilahَ ash-Shahiihahَ (no.َ 1838).

[6].َ Haditsَ shahih:َ Diriwayatkanَ olehَ Ibnuَ Hibbanَ (no.َ 4021َ -at-Ta’liiqatulَ Hisaanَ ‘alaَ Shahiihَ Ibniَ Hibban)َ dariَ haditsَ Sa’adَ binَ Abiَ Waqqashَ secaraَ marfu’.َ Lihatَ Silsilahَ ash-Shahiihahَ (no.َ 282).

[7].َ Lihatَ suratَ Al-Ahzaabَ (33)َ ayatَ 33.

[8].َ Haditsَ shahih:َ Diriwayatkanَ olehَ Muslimَ (no.َ 1006)ُ,َ al-Bukhariَ dalamَ al-Adaabulَ Mufradَ (no.َ 227)ُ,َ Ahmadَ (V/167ُ,َ 168)ُ,َ Ibnuَ Hibbanَ (no.َ 4155َ -at-Ta’liiqatulَ Hisaan)َ danَ al-Baihaqiَ (IV/188)ُ,َ dariَ Abuَ Dzarrَ radhiyallaahuَ ‘anhu.

[9].َ Tafsiirَ Ibnuَ Katsirَ (I/236)ُ,َ cet.َ Darusَ Salam.

B. Rukun dan syarat perkawinan dengan pendeketan tasawuf

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Persepsi kemudahan penggunaan website pelatihanorganik.com sebagian besar menyatakan setuju, yaitu sebesar 84%. Dominasi jawaban setuju tersebut menurut keterangan

Kurva suhu optimum enzim papain dari getah pepaya jenis daun kipas Pada Gambar 3, terlihat bahwa aktivitas papain mengalami kenaikan seiring dengan peningkatan suhu dari

Jumlah sel inflamasi yang lebih banyak pada RA persisten mungkin dapat menjadi dasar lebih banyaknya jumlah subjek yang mengalami gangguan fungsi penghidu serta lebih

Bộ phận cắt tiếp xúc với dây dẫn “có điện” có thể khiến các bộ phận kim loại bị hở của dụng cụ máy “có điện” và làm cho người vận hành bị điện giật.. Cầm

Pada menu berikutnya, cara penginputannya sama dengan menu-menu sebelumnya yang sudah dikerjakan, Pilih menu Perjanjian dan Realisasi Kinerja dan Inputan Data (gambar

4.6.4 Minat Menggunakan Internet Banking yang Dipengaruhi Oleh Persepsi Kegunaan, Persepsi Kemudahan Penggunaan, Persepsi Kredibilitas : Gender sebagai Variabel Moderating Gibson

Dengan memanfaatkan beberapa bagian (pair) dari kabel jaringan yang tidak digunakan dalam proses pengaliran data dari sumber input ke proses output dapat dimanfaatkan untuk

Sedangkan, lokasi penelitian lain seperti daerah 30-32 Ilir, daerah pasar 16 Ilir, pelabuhan Boom Baru, daerah 7-10 Ulu, daerah Tangga Takat merupakan jalur