POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA
( Studi Deskriptif di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar )
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh :
SURYA DARMA P PAKPAHAN (090902032)
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Surya Pakpahan
Nim : 090902032
ABSTRAK
POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA (Studi Deskriptif di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara
dan Lansia Pematangsiantar)
Setiap manusia senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Kenyataan ini mengharuskan manusia melakukan interaksi dan komunikasi dengan sesamanya, yang pada penyandang diasbilitas tuna rungu wicara terjadi melalui saluran komunikasi khusus. Ketidakberfungsian atau lemahnya kemampuan indera pendengaran dan oral memaksakan mereka untuk lebih memaksimalkan penggunaan bahasa non-verbal dalam berinteraksi, bahkan kepada orang normal yang cenderung sulit untuk memahaminya. Tak jarang, penyikapan dan perlakuan terhadap penyandang tuna rungu wicara cenderung diskriminatif, walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan atau tidak mendapat pendidikan yang wajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola intetaksi penyandang tuna rungu wicara serta untuk mengetahui tingkat kemampuan komunikasi dan bahasa mereka dalam berinteraksi.
Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk memberi gambaran atau mendeskripsikan tentang pola interaksi sosial tuna rungu wicara yang sedang menerima pelayanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dengan unit analisis data berjumlah 12 orang warga binaan sosial. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu dengan mereduksi data, menyajikan data, dan pengambilan keputusan dan verifikasi untuk mengetahui pola interaksi serta kehidupan sosial penyandang tuna rungu wicara.
Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pola interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar adalah kerjasama dan pertentangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tingkat kemampuan bahasa dan komunikasi tuna rungu wicara baik secara lisan maupun tulisan tergolong masih sangat rendah, yang cenderung disebabkan oleh rendahnya intensitas interaksi dengan orang normal, rendahnya intensitas tuna rungu wicara dalam membaca, serta belum adanya program atau kegiatan bina wicara.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun
judul dari skripsi ini adalah: “POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA” (Studi Deskriptif di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar)
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini penulis persembahkan terkhusus kepada orang tua terkasih K.
Pakpahan yang sudah mendidik dan membesarkan penulis, dan tiada hentinya selalu
memberikan doa dan semangat dalam penulisan skripsi. Dan keluarga yang telah
mendukung dan mendoakan penulisan skripsi.
Pada kesempatan ini, juga penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus
penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.Sp, selaku ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, Msi selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia
membimbing dan memberi dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Kepada semua dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial
5. Kepada staf administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Ibu Zuraida dan
Kak Deby yang telah bersedia memberikan informasi dan mempersiapkan
kebutuhan penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi ini.
6. Kepada Bu Sari selaku kepala UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan
Lansia Pematangsiantar, kepada seluruh pekerja sosial khusunya Pak Lauren
Sinaga, seluruh pegawai, dan semua warga binaan sosial tuna rungu wicara yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
7. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
serta membantu penulis mulai dari perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini,
semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan Rahmat-Nya atas kebaikan dan
kemurahan hati Bapak/Ibu, Saudara/I sekalian.
Selama penyusunan skripsi ini penulis menyadari akan sejumlah kekurangan
dan kelemahan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengaharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga skripsi
ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi dunia pendidikan.
Medan, Januari 2014
Penulis,
Surya D P Pakpahan
DAFTAR ISI
1.2 Perumusan Masalah... 10
1.3 Tujuan Penelitian... 10
1.4 Manfaat Penelitian... 10
1.5 Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Interaksi ... 12
2.2 Interaksi Sosial ... 13
2.3 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial... 17
2.3.1 Kontak Sosial ... 17
2.3.2 Komunikasi Sosial ... 18
2.3.2.1 Komunikasi Verbal ... 19
2.3.2.2 Komunikasi Non-verbal... 19
2.4 Pola atau Bentuk Interaksi Sosial ... 21
2.5 Penyandang Cacat ... 23
2.6 Tuna Rungu Wicara... 25
2.6.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara ... 25
2.6.2 Jenis Tuna Rungu Wicara ... 26
2.6.3 Karakteristik Penyandang Tunarungu ……...…...…...….. 30
2.8 Definisi Konsep dan Definisi Operasional ... 34
2.8.1 Definisi Konsep ... 34
2.8.2 Definisi Operasional ... 35
BAB III METODE PENELITIAN
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga ... 42
4.2 Visi dan Misi ... 43
4.4 Tata Cara Penaganan Tuna Rungu Wicara ... 50
4.5 Tuna Rungu Wicara ... 52
BAB V ANALISIS DATA 5.1 Karateristik Responden ... 53
5.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54
5.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 55
5.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 56
5.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 57
5.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelas ... 58
5.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat ... 59
5.2 Kontak Sosial ... 60
5.2.1 Mengenal Orang lain ... 60
5.2.4 Intensitas kontak Tidak Langsung ... 64
5.2.5 Intensitas Dikunjungi Orangtua ... 65
5.2.6 Bekerjasama ... 66
5.2.7 Berkelahi ... 66
5.3 Komunikasi Sosial... 67
5.3.1 Komunikasi dalam Interaksi Sehari-hari ... 67
5.3.2 Komunikasi dan Interaksi dalam Kegiatan Belajar ... 69
5.3.3 Komunikasi dengan Orang Normal di Lingkungan Sekitar ... 71
5.4 Faktor Berlangsungnya Interaksi... 73
5.4.1 Intensitas Membaca ... 73
5.4.2 Aktivitas Meniru (imitasi) ... 74
5.4.3 Perasaan Tertarik pada Perasaan Pihak Lain (simpati) ... 76
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan... 77
6.2 Saran ... 78
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54
Diagram 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 55
Diagram 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa... 56
Diagram 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 56
Diagram 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kelas ... 57
Diagram 5.6 Disribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendengaran ... 58
Diagram 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Mengenal Orang Lain ... 59
Diagram 5.8 Disribusi Responden Berdasarkan Berjabat Tangan ... 60
Diagram 5.9 Disribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Telepon Seluler ... 62
DAFTAR BAGAN
LAMPIRAN
1. Kuesioner
2. Surat Keterangan Dosen Pembimbing
3. Lembar Daftar Hadir Seminar Proposal
4. Surat Permohonan Izin Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
5. Surat Balasan Izin Penelitian PT Biotis Nusantara cabang Kota Medan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Surya Pakpahan
Nim : 090902032
ABSTRAK
POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA (Studi Deskriptif di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara
dan Lansia Pematangsiantar)
Setiap manusia senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Kenyataan ini mengharuskan manusia melakukan interaksi dan komunikasi dengan sesamanya, yang pada penyandang diasbilitas tuna rungu wicara terjadi melalui saluran komunikasi khusus. Ketidakberfungsian atau lemahnya kemampuan indera pendengaran dan oral memaksakan mereka untuk lebih memaksimalkan penggunaan bahasa non-verbal dalam berinteraksi, bahkan kepada orang normal yang cenderung sulit untuk memahaminya. Tak jarang, penyikapan dan perlakuan terhadap penyandang tuna rungu wicara cenderung diskriminatif, walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan atau tidak mendapat pendidikan yang wajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola intetaksi penyandang tuna rungu wicara serta untuk mengetahui tingkat kemampuan komunikasi dan bahasa mereka dalam berinteraksi.
Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk memberi gambaran atau mendeskripsikan tentang pola interaksi sosial tuna rungu wicara yang sedang menerima pelayanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dengan unit analisis data berjumlah 12 orang warga binaan sosial. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu dengan mereduksi data, menyajikan data, dan pengambilan keputusan dan verifikasi untuk mengetahui pola interaksi serta kehidupan sosial penyandang tuna rungu wicara.
Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pola interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar adalah kerjasama dan pertentangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tingkat kemampuan bahasa dan komunikasi tuna rungu wicara baik secara lisan maupun tulisan tergolong masih sangat rendah, yang cenderung disebabkan oleh rendahnya intensitas interaksi dengan orang normal, rendahnya intensitas tuna rungu wicara dalam membaca, serta belum adanya program atau kegiatan bina wicara.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak awal adanya kehidupan manusia, kodrati manusia sebagai makhluk
sosial telah ada secara bersamaan. Hal ini tersirat secara tidak langsung ketika Tuhan
menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling
membutuhkan satu sama lain dan kehidupan seorang manusia tidak dapat terlepas
dari manusia lainnya.
Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk hidup layak. Seorang bayi
misalnya, tentu sangat memerlukan bantuan dan kasih sayang dari ibu dan ayahnya.
Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, hubungan antar manusia
merupakan suatu kebutuhan yang pokok untuk menunjang keberlangsungan hidup
manusia. Kebutuhan itulah yang menimbulkan adanya suatu proses interaksi sosial.
Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan
yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam
masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri
dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat
dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing-masing,
maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan.
Di dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan
antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun
pukul 14:10)
Pentingnya kontak dan komunikasi bagi terwujudnya interaksi sosial dapat
diuji terhadap suatu kehidupan terasing (isolation). Kehidupan terasing yang sempurna ditandai dengan suatu ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial
dengan pihak-pihak lain. Sudah tentu seseorang yang hidup terasing sama sekali
dapat melakukan tindakan-tindakan, misalnya terhadap alam sekitarnya, tetapi hal itu
tak akan mendapat tanggapan apa-apa. Terasingnya seseorang dapat disebabkan oleh
karena cacat pada salah satu inderanya. Seseorang sejak kecil buta dan tuli misalnya,
mengasingkan diri dengan sendirinya dari pengaruh-pengaruh kehidupan yang
tersalur melalui kedua indera tersebut. Dari beberapa hasil penyelidikan, ternyata
kepribadian orang orang tersebut mengalami banyak penderitaan sebagai akibat
kehidupan terasing oleh karena cacat indera itu. Orang-orang cacat tersebut akan
mengalami perasaan rendah diri oleh karena kemungkinan-kemungkinan untuk
mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang, dan bahkan tertutup sama
sekali. (Basrowi, 2005: 141).
Stigma yang melekat pada kecacatan, yang menyebabkan apa yang disebut
Goffman identitas sosial ternoda atau rusak, berarti juga dapat menjadi identitas
pengecualian, termasuk menonaktifkan orang dari partisipasi penuh dalam
masyarakat, karena mereka menghadapi misalnya, hambatan fisik yang tidak perlu di
gedung-gedung dan jalan-jalan, diskriminasi dalam pekerjaan, perawatan medis yang
tidak memadai, penggambaran negatif di media, dan mengejek, sikap merendahkan
Meskipun dewasa ini banyak masyarakat yang sudah mulai memahami
tentang apa dan bagaimana tindakan terbaik yang harus dilakukan terhadap anak yang
menyandang kelainan atau kecacatan, namun demikian tidak sedikit yang masih sulit
untuk menghindarkan perlakuan atau penyikapan terhadap penyandang cacat secara
wajar dan edukatif. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, terutama di lingkungan
keluarga anak penyandang cacat itu sendiri.
Penyikapan dan perlakuan lingkungan keluarga memiliki kontribusi sangat
kuat terhadap perkembangan anak penyandang cacat. Tidak bisa dipungkiri, tak
mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan,
apalagi untuk pertama kalinya. Perasaan kecewa akan muncul setelah mengetahui
bahwa anak yang dilahirkannya tidak memenuhi harapannya. Tumbuh-kembangnya
penyikapan orangtua disebabkan anggaran masyarakat bahwa kehadiran anak
berkelainan dapat menurunkan martabat atau gengsi orang tua dan keluarga. Atas
dasar ini, terdapat kecenderungan sikap penolakan pada orang tua. Umumya sikap
penolakan ini terwujud dalam tindakan diskriminatif walaupun dalam bentuk yang
lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan, ataupun tidak mendapat
pendidikan sesuai dengan perkembangan anak seusianya.
Sampai saat ini, belum ada data yang valid mengenai populasi anak
penyandang cacat di Indonesia. Dirjen Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial
tahun 1991 (dalam Effendi, 2006: 12) menyebutkan bahwa diketahui ada 5.576.815
orang (tanpa menyebutkan usia) jumlah penyandang cacat di Indonesia, dengan
jumlah penyandang cacat tuna rungu wicara sebesar 9,97% atau 555.898 orang.
Berikut disajikan data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang dikutip
1. Pusdatin, Depsos 2009
(Sumber: Diakses
pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:05)
2. Data Kementerian Sosial RI per Desember 2010. Jumlah Penyandang Cacat
di Indonesia: 11.580.117 orang, terdiri dari:
a. Tuna Netra : 3.474.035 orang b. Tuna Daksa : 3.010.830 orang
c. Tuna Rungu : 2.547.626 orang
d. Cacat Mental : 1.389.614 orang
e. Cacat Kronis : 1.158.012 ora
implementasi-ketentuan-pasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor-4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat
3. Data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI per Desember
2010. Jumlah Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Indonesia: 7.126.409
orang, terdiri dari:
Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:08)
a. Tuna Netra : 2.137.923 orang
b. Tuna Daksa : 1.852.866 orang
c. Tuna Rungu : 1.567.810 orang
d. Cacat Mental : 712.641 orang
e. Cacat Kronis : 855.169 ora
20:08)
4. Berita Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 pada website Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial menyebutkan bahwa penyandang
tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602. 784 jiwa, tuna daksa
1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 jiwa.
mengadakan interaksi dengan yang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat
komunikasi. Alat komunikasi yang mereka gunakan telah mereka sepakati, walaupun
menggunakan komunikasi dalam arti sederhana sehingga mereka dapat mengerti
yang satu dengan yang lainya.
Penyandang cacat tuna rungu wicara memang belum begitu mendapat
perhatian dari masyarakat karena kekurangan yang mereka alami tidak tampak dari
luar. Sekilas, mereka tampak seperti manusia pada umumnya. Kita baru akan
mengetahuinya ketika melihat mereka berkomunikasi dengan bahasa atau gerak
isyarat.
UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar
merupakan salah satu panti yang memberikan pelayanan sosial kepada penyandang
cacat tuna rungu wicara. Kebanyakan penyandang cacat tuna rungu wicara yang ada
di panti ini berasal dari luar kota, tapi masih dalam kawasan provinsi Sumatera Utara.
Hasil observasi sementara yang telah dilakukan penulis selama masa praktikum
lapangan menunjukkan bahwa intensitas interaksi antar sesama tuna rungu wicara
dan juga tehadap lingkungan di sekitar cukup tinggi.
Secara umum, ada kecengerungan pada masyarakat yang menganggap bahwa
keberadaan anak penderita tuna rungu wicara adalah aib dan beban keluarga. Bahkan
dari informasi yang penulis dapatkan di panti sosial tersebut, ada pula orang tua dari
salah satu warga binaan social yang menganggap bahwa anak yang dilahirkannya
bukanlah seorang penderita tuna rungu wicara. Parahnya, dalam kehidupan sosial,
masyarakat di sekitar panti cenderung mengabaikan keberadaan mereka. Stigma
negatif sudah melekat pada mereka. Mereka adalah sekelompok orang yang selalu
Kehilangan pendengaran pada anak memang sangat mengganggu
perkembangan mental dan interaksi sosial mereka pada masa pertumbuhan. Inilah
alasan yang menimbulkan kenyataan bahwa penyandang tuna rungu wicara sangat
miskin akan kosa kata dan sulit dalam berinteraksi dengan dunia luar. Pengalaman
pribadi penulis sangat menguatkan hal ini. Mereka hanya mampu menuliskan
kata-kata umum biasa dalam mengerjakan soal-soal bertema cerita. Bahkan susunan kata-kata
yang mereka tulis dalam membentuk kalimat sangat tidak beraturan. Hal ini memang
memprihatinkan. Padahal kemampuan berkomunikasi merupakan saluran yang sangat
penting dalam belajar, bermain dan membangun hubungan dengan orang lain.
Kondisi dan kesulitan penyandang cacat tuna rungu wicara dalam berinteraksi
dengan orang lain memang cukup memprihatinkan, apalagi pada anak dengan kondisi
tuna rungu wicara yang tergolong masih ringan, pasti membutuhkan tingkat
konsentrasi yang lebih baik ketika melakukan komunikasi dengan orang normal.
Selain itu, untuk berinteraksi dengan orang lain, bahasa dan cara yang mereka
gunakan adalah bahasa isyarat yang cenderung sulit untuk dipahami oleh orang biasa.
Anak tunarungu wicara secara umum menggunakan bahasa atau gerak isyarat,
dan isyaratnya sangat bervariasi sebagaimana isyarat lokal yang dikenal. Adapun
orang-orang pada umumnya menggunakan penuturan lisan ketika berkomunikasi
dengan orang lain. Dengan demikian anak tunarungu menggunakan caranya sendiri
dan orang pada umumnya menggunakan caranya sendiri dalam berkomunikasi. Anak
tunarungu tidak dapat dipaksakan dengan mudah melakukan komunikasi lisan dan
orang pada umumnya tidak mudah dipaksakan mengikuti komunikasi isyarat
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana anak tunarungu belajar
komunikasi lisan dan bagaimana orang umum belajar komunikasi isyarat, sehingga
komunikasi diantara keduanya lancar dan dapat saling memahami arti atau
maknanya. Berbagai kenyataan dilapangan yang telah penulis alami sangat
mendukung masalah interaksi ini. Konsekwensinya memang sudah dapat diduga,
saluran komunikasi yang menjadi kendala, sangat menghambat proses interaksi
antara penulis dan penyandang tuna rungu wicara. Terkadang mereka memiliki
prasangka yang buruk terhadap penulis, ketika sedang memperbincangkan atau
bahkan menertawakan sesuatu.
Berbicara tentang komunikasi isyarat anak tuna rungu wicara, barangkali
orang-orang pada umumnya tidak begitu banyak permasalahan. Namun sangat
berbeda dengan anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi
lisan atau oral. Anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi
lisan tentu banyak kendala. Kendala ini terutama berhubungan dengan kondisi
penderita tuna rungu wicara itu sendiri, seperti tidak berfungsinya dari pendengaran
sehingga menyebabkan minimnya kosakata yang dimiliki. Selain itu, kemampuan
mereka untuk berbahasa verbal (lisan) sangat buruk, mengingat kondisi dan
ketidakmampuan oral dalam berbicara sebagaimana orang secara umum.
Sebagai dampak dari tuna rungu wicara yang diderita seseorang terutama
yang terjadi sejak lahir, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi
penyandang khususnya dan masyarakat sekitar panti pada umumnya dalam hal
interaksi sosial. Bagaimanapun bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia
sebagai makhluk sosial. Tuna rungu wicara yang menjadi bawaan lahir dan tidak
memperparah kondisi penyandang tuna rungu wicara sebagai individu yang terlahir
dengan keterbatasan komunikasi ini. Kondisi tuna rungu wicara akan berdampak
pada kemiskinan bahasa dan komunikasi dan pula pada sempitnya dunia penyandang
tuna rungu dalam berinteraksi di masyarakat sekitar panti.
Penyandang cacat tuna rungu wicara memang merupakan realitas sosial yang
tidak terbantahkan. Interaksi mereka juga lebih dominan dan terbatas hanya pada
kelompok mereka sendiri, sebagai warga binaan sosial di dalam panti. Gangguan
pendengaran dan penggunaan bahasa atau gerak isyarat dalam berkomunikasi
sepetinya telah membentuk dunia mereka sendiri, walaupun mereka berada di dalam
lingkungan sosial yang luas sekalipun.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis tertarik untuk
meneliti serta mengetahui interaksi dan kehidupan sosial warga binaan tuna rungu
wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar.
Oleh karena itu, penulis akan merangkum penelitian ini dalam sebuah karya ilmiah
berbentuk studi kasus dengan judul: "Pola Interaksi Sosial Tuna Rungu Wicara (Studi
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Bagaimana pola interaksi sosial tuna
rungu wicara?"
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui pola interaksi sosial penyandang tuna rungu wicara,
khususnya di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia
Pematangsiantar.
2. Untuk mengetahui kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPTD Pelayanan
Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dalam hubungannya dengan
kemampuan komunikasi dan bahasa dalam berinteraksi.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka :
1. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan penyandang
cacat tuna rungu wicara dan masalah-masalahnya.
2. Memberikan kontribusi pemikiran dan masukan kepada pihak-pihak terkait,
khususnya pada tahap pendekatan awal dan tahap assesmen, sehubungan dalam
1.4 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika
Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan secara teoritis variabel-variabel yang
diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep, dan definisi
operasional.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian,
populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik
analisa data.
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian,
dimana penulis melakukan penelitian.
BAB V ANALISIS DATA
Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh peneliti dari hasil
penelitian dan analisanya.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Interaksi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola adalah gambar yang dibuat
contoh/model ataupun bentuk (struktur) yang tetap. Jika dihubungkan dengan
interaksi, maka pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi.
Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling
menegur, berjabat tangan, saling berbicara bahkan mungkin berkelahi.
Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk/pola interaksi sosial.
Bentuk jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu
dan kelompok, dan kelompok dan kelompok bersifat dinamis dan mempunyai pola
tertentu. Apabila interaksi sosial tersebut diulang menurut pola yang sama dan
bertahan untuk jangka waktu yang lama, akan terwujud hubungan sosial yang relatif
mapan.
Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a) Berdasarkan kedudukan sosial (status) dan peranannya. Contohnya, seorang
guru yang berhubungan dengan muridnya harus mencerminkan perilaku
seorang guru. Sebaliknya, siswa harus menaati gurunya.
b) Merupakan suatu kegiatan yang terus berlanjut dan berakhir pada suatu titik
yang merupakan hasil dari kegiatan tadi. Contohnya, dari adanya interaksi,
seseorang melakukan penyesuaian, pembauran, terjalin kerja sama, adanya
c) Mengandung dinamika. Artinya, dalam proses interaksi sosial terdapat
berbagai keadaan nilai sosial yang diproses, baik yang mengarah pada
kesempurnaan maupun kehancuran. Contohnya, penerapan nilai-nilai agama
dalam kehidupan masyarakat dapat menciptakan keteraturan sosial.
d) Tidak mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial dapat terjadi kapan dan di manapun, dan dapat berakibat positif atau negatif
terhadap kehidupan masyarakat. Contohnya, sebuah sekolah yang terkenal
memiliki disiplin dan tata tertib yang ketat dan mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat, pada suatu ketika menjadi tercemar karena ada siswanya yang
melakukan tindakan amoral
Diakses
pada tanggal 10 Agustus 2013 pukul 19:25)
2.2 Interaksi Sosial
H. Boner (dalam Ahmadi, 2007: 49) mengemukakan interaksi sosial adalah
suatu hubungan antara individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu
mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau
sebaliknya. Maryati dan Suryawati menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah
kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu,
antar kelompok atau antar individu dan kelompok”. Pendapat lain dikemukakan oleh
menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi yang menghasilkan hubungan
tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial” tanggal 15 Juni 2013 pukul 13:00)
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Dalam hidup
bersama antara manusia dan manusia atau manusia dan kelompok tersebut terjadi
hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui hubungan itu
manusia ingin menyampaikan maksud dan tujaunnya masing-masing. Sedangkan
untuk mencapai keinginan itu harus diwujudkan melalui hubungan timbal balik.
Hubungan inilah yang disebut dengan interaksi.
Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk
tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Bila interaksi itu berdasarkan pada tindakan yang sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku, maka kemungkinan hubungan tersebut berjalan lancar.
Misalnya, apabila kita mengutarakan sesuatu dengan hormat dan sopan terhadap
orang tua, maka kita akan dilayani dengan baik. Sebaliknya, jika kita berperilaku
tidak sopan dan tidak hormat terhadap orang tua, maka mereka akan marah, yang
akhirnya hubungan antara kita dan orang tua tersebut tidak lancar.
Terjadinya interaksi sosial sebagaimana dimaksud karena adanya saling
mengerti tentang maksud dan tujuan masing masing pihak dalam suatu hubungan
sosial. Menurut Roucek dan Warren, interaksi adalah salah satu masalah pokok
balik, dimana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan
demikian, ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Orang mempengaruhi tingkah
laku orang lain melalui kontak. Kontak ini mungkin berlangsung melalui organisme
fisik, seperti dalam obrolan, pendengaran, melakukan gerakan pada beberapa bagian
badan, melihat dan lain-lain atau secara tidak langsung, melalui tulisan atau dengan
cara berhubungan dari jauh. (Basrowi, 2005: 138-140)
Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada selalu dengan jumlah lebih dari satu orang.
2. Ada komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol.
3. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang
menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.
4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut
dengan yang diperkirakan oleh pengamat.
Menurut Sitorus (dalam Basrowi, 2005) berlangsungnya interaksi sosial dapat
didasarkan pada berbagai faktor, antara lain :
a. Imitasi
Imitasi adalah suatu proses belajar dengan meniru atau mengikuti perilaku
orang lain. Dalam interaksi sosial imitasi dapat bersifat positif, artinya imitasi
tersebut mendorong seseorang untuk melakukan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang
berlaku. Namun, imitasi juga dapat berpengaruh negatif apabila yang dicontoh itu
adalah perilaku-perilaku menyimpang. Selain itu, imitasi juga dapat melemahkan atau
mematikan kreativitas seseorang. Misalnya, anak yang terus-menerus meniru dan
mengikuti perintah atau kehendak orang lain, akhirnya tidak dapat mengembangkan
b. Sugesti
Sugesti adalah cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang
kepada orang lain dengan cara tertentu sehingga orang tersebut mengikuti pandangan
atau pengaruh tersebut tanpa berpikir panjang. Sugesti terjadi karena pihak yang
menerima anjuran tersebut tergugah secara emosional dan biasanya emosi ini
menghambat daya pikir rasionalnya. Proses sugesti lebih mudah terjadi apabila orang
yang memberikan pandangan itu adalah orang yang yang berwibawa dan bersifat
otoriter.
c. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk
menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat membentuk kepribadian
seseorang, misalnya seorang pemuda mengikuti mode potongan rambut panjang
karena menurutnya hal itu sudah menjadi mode kesukaan para bintang film terkenal.
d. Simpati
Simpati adalah perasaan "tertarik" yang timbul dalam diri seseorang dan
membuatnya seolah-olah berada dalam keadaan orang lain. Simpati merupakan suatu
proses dimana seseorang merasa tertarik pada perasaan pihak lain. Dalam hal
tertentu, simpati mirip dengan identifikasi yakni kecenderungan untuk menempatkan
diri dalam keadaan orang lain. Perbedaannya adalah bahwa di dalam simpati perasaan
memegang peranan penting walaupun dorongan utama adalah keinginan untuk
memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya tanpa memandang status
2.3 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial 2.3.1 Kontak Sosial
Istilah kontak berasal dari kata Latin, yaitu crun atau con, yang berarti bersama-sama dan tangere yang berarti 'menyentuh'. Secara harfiah, kontak berarti bersama-sama menyentuh, tetapi dalam pengertian sosiologis, kontak tidak selalu
berarti sentuhan fisik. Sebagai gejala sosial, orang dapat mengadakan hubungan
dengan pihak lain tanpa sentuhan fisik, misalnya berbicara dengan orang lain melalui
telepon, surat, dan sebagainya. Kontak sosial memiliki makna bagi si pelaku dan si
penerima membalas aksi tersebut dengan reaksi (Basrowi, 2005: 140).
Syani (dalam Basrowi, 2005: 104) berpendapat, bahwa kontak sosial adalah
hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti
tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat, konflik
sosial pihak dengan pihak yang lainnya.
Dalam kontak sosial dapat terjadi hubungan yang positif dan hubungan yang
negatif. Kontak sosial positif terjadi oleh karena hubungan antara kedua belah pihak
terdapat saling pengertian atau di samping itu, juga menguntungkan masing-masing
pihak tersebut. Sedangkan kontak negatif terjadi oleh karena hubungan antara kedua
belah pihak tidak melahirkan saling pengertian atau mungkin merugikan
masing-masing atau salah satu, sehingga mengakibatkan pertentangan atau perselisihan.
Kontak sosial dapat pula bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi
apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka,
misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan. Sebaliknya kontak sekunder
2.3.2 Komunikasi Sosial
Hogg dan Vaughan (dalam Nasution, 2006 :48) mendefinisikan komunikasi
sebagai proses memindahkan informasi yang memiliki arti dari satu orang kepada
lainnya. Komunikasi adalah suatu proses saling memberikan tafsiran kepada atau dari
perilaku orang lain. Melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan
perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pihak lain itu. Komunikasi dapat diwujudkan dengan pembicaraan, gerak-gerik fisik
ataupun perasaan. Selanjutnya, dari sini timbul sikap dan ungkapan perasaan, seperti
senang, ragu-ragu, takut atau menolak, bersahabat dan sebagainya yang merupakan
reaksi atas pesan (message) yang diterima. Saat ada aksi dan reaksi itulah terjadi komunikasi. (Basrowi, 2005: 143)
Menurut Scherer dan Giles (dalam Nasution, 2006: 49), dalam berkomunikasi
ada istilah social makers, yaitu ciri-ciri gaya bahasa verbal seseorang yang
menginformasikan suasana hati, konteks, status dan dari kelompok mana individu
tersebut berasal. Manusia pada umumya dengan sengaja menyesuaikan gayanya
dalam berbicara dengan situasi yang dihadapi dalam berkomunikasi tersebut. Tentu
saja berbeda-beda gaya yang digunakan dalam menyampaikan pesan kepada orang
orang tertentu. Contoh : kita memiliki kecenderungan untuk berbicara secara perlahan
dengan kalimat yang pendek-pendek dan tata bahasa yang sederhana ketika kita
bicara dengan anak kecil maupun orang asing.
2.3.2.1 Komunikasi Verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu
kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk
berhubungan dengan orang lain secara lisan.
Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai
seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut,
yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama
untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan
kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Mulyana,
2007 : 260-261).
2.3.2.2 Komunikasi Non-verbal
Komunikasi antara individu yang melibatkan bahasa non lisan dari ekspresi
wajah, kontak mata, gerak tubuh dan postur disebut sebagai komunikasi non verbal
(Zebrowitz dalam Nasution, 2006: 7). Ada empat saluran dasar/utama dalam
komunikasi non-verbal, yaitu :
1. Ekspresi wajah
Perasaan dan emosi manusia seringkali terbaca di wajahnya dan dapat
dikenali melalui berbagai ekspresinya. Mempelajari banyak hal tentang suasana hati
seseorang dan perasaannya melalui ekspresi wajah adalah sesuatu yang mungkin
dilakukan. Ada enam emosi dasar yang terlihat jelas dan telah kita pelajari sejak kecil
yaitu marah, takut, bahagia, sedih, terkejut dan jijik.
2. Kontak mata
Tatapan mata yang dalam dan lama dari seseorang merupakan sinyal rasa
suka atau pertemanan. Sebaliknya, jika seseorang menhindar kontak mata, kita bisa
pemalu. Jika seseorang memandang kita terus menerus dan mempertahankan kontak
mata ini tanpa peduli apa yang sedang kita kerjakan, maka jenis pandangan ini
disebut sebagai staring (menatap). Tataran sering kali diartikan sebagai sinyal
kemarahan atau kebrutalan, seperti tatapan yang dingin, dan dinilai sebagai petunjuk
nonverbal yang mengganggu oleh kebanyakan orang.
3. Gerak tubuh : postur (posisi tubuh) dan gestur (sikap tubuh-emblem)
Mood atau emosi kita seringkali direfleksikan dalam posisi postur dan
gerakan tubuh. Makin banyak pola gerakan tubuh dan makin banyak bagian tubuh
yang digerakkan juga menyimpan makna tersendiri. Perbedaan orientasi tubuh atau
postur terjadi sesuai dengan perubahan kondisi emosi.
Gerak tubuh dan postur yang mengiringi bahasa lisan berfungsi memberi
ilustrasi. Emblem merupakan gestur yang menggantikan bahasa lisan (misalnya pada
saat melambaikan tangan)
4. Sentuhan
Satu cara dimana orang dari latar belakang budaya bisa menerima sentuhan
orang asing adalah melalui jabat tangan. Secara keseluruhan, bentuk sentuhan yang
satu ini ternyata sangat mengungkap kepribadian seseorang. Jabat tangan yang kuat
dan tegas adalah modal yang penting; setidaknya untuk budaya yang menghargai
jabat tangan sebagai salam pertemuan dan perpisahan (Nasution, 2006 : 7-8)
2.4 Pola atau Bentuk Interaksi Sosial
Ada empat macam bentuk interaksi sosial yang ada dalam kehidupan
Keempat bentuk interaksi sosial ini bukanlah suatu kejadian yang berkesinambungan,
dalam arti interaksi sosial tidak selalu dimulai dari kerja sama, kemudian persaingan,
lalu menjadi konflik dan berakhir dengan akomodasi. Hal ini tetap saja tergantung
pada situasi dan kondisi tertentu sesuai dengan keadaannya di masyarakat.
a. Kerjasama (Cooperation)
Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial dimana di dalamnya terdapat
aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling
membantu dan saling memahami terhadap aktivitas masing-masing (Basrowi, 2005:
145). Sementara itu, menurut Charles Hurton Cooley (dalam Basrowi, 2005:
145-146), kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai
cukup pengetahuan dan pengendalian diri terhadap diri sendiri untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerjasama; kesadaran akan adanya
kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta
yang penting dalam kerjasama yang berguna.
Bentuk dan pola-pola kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok
manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa
kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Atas
dasar itu, anak tersebut akan menggambarkan bermacam-macam pola kerja sama
setelah dia menjadi dewasa. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang
dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran
bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus
ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta bakar jasa yang akan
bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat berjalan dengan
baik. (Soekanto, 2009: 66)
b. Persaingan (competition)
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial,
dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari
keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi
pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunyai dua tipe umum,
yakni yang bersifat pribadi dan tidak pribadi. Persaingan yang bersifat pribadi,
orang-perorangan, atau individu secara langsung bersaing untuk, misalnya memperoleh
kedudukan tertentu di dalam suatu organisasi (Soekanto, 2009: 83).
Persaingan merupakan suatu usaha dari seseorang untuk mencapai sesuatu
yang lebih daripada yang lainnya. Sesuatu itu bisa berbentuk hasil benda atau
popularitas tertentu. (Basrowi, 2005: 146).
c. Pertikaian atau Pertentangan (conflict)
Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang ke arah negatif, artinya
karena di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk
menyingkirkan pihak lainnya (Basrowi, 2005: 148). Pertentangan atau pertikaian
merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk
memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman dan/atau kekerasan.
Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang
menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma sosial
yang berlaku dalam mayarakat.
2.5 Penyandang Cacat
Pengertian penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu
kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut memiliki
nilai lebih atau kurang. Efek penyimpangan yang dialami oleh seseorang seringkali
mengundang perhatian orang-orang yang ada di sekelilingnya, baik sesaat maupun
berkelanjutan (Efendi, 2006: 2). Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang
yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan
mental.
Meskipun kebanyakan penyandang cacat jelas memperlihatkan gangguan
psikologi yang karena cacat tubuhnya, namun seberapa jauh daya rusaknya
berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain dan amat bergantung pada beberapa faktor,
lima diantaranya tergolong paling sering terjadi.
1. Parahnya cacat tubuh akan mempengaruhi seseorang dalam memandang
cacatnya itu. Semakin besar kemungkinan cacat tubuhnya dapat ditutupi,
maka orang tersebut merasa cukup aman dari pandangan orang lain, dan
2. Saat terjadi cacat tubuh maka akan mempengaruhi seseorang dalam
membangun penyesuaian diri terhadap hal itu. Apabila cacat itu terjadi
pada masa bayi atau setelah kelahiran, maka penyesuaian dirinya akan
lebih baik dibandingkan dengan bila cacat itu terjadi saat usia yang cukup
besar.
3. Seberapa jauh cacat seseorang sehingga mempengaruhi keseluruhan
gerak-geriknya sangat mempengaruhi sikap orang tersebut. Misalnya
orang yang buta atau lumpuh, jelas akan lebih terbatas gerakannya
dibandingkan dengan anak yang tuli.
4. Apabila orang yang melihatnya tidak mampu menyembunyikan para
bekas kasihannya, maka dalam diri penyandang cacat akan timbul
perasaan mengasihani diri sendiri.
5. Sikap penyandang cacat terhadap cacatnya juga akan menimbulkan akibat
pada cacatnya itu. Misalnya ada beberapa penyandang cacat yang dapat
menerima bahwa dirinya cacat dan ada juga yang tetap berusaha
meyakinkan dirinya tidak berbeda dari orang yang normal. (Hurlock,
1993: 135)
2.6 Tuna Rungu Wicara
2.6.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuna rungu berarti tuli atau tidak
dapat mendengar. Sementara itu, kata deaf menurut kamus bahasa inggris berarti kekurangan atau kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran atau tidak mampu
pendengaran bawaan atau kehilangan pendengaran. Mufti Salim (dalam Depsos RI
2008: 14) mengatakan bahwa tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan
atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Secara fisiologis, struktur telinga manusia dibedakan menjadi dua bagian
yaitu organ telinga berfungsi sebagai penghantar dan organ telinga berfungsi sebagai
penerima. Organ telinga berfungsi sebagai penggantap meliputi organ telinga yang
terdapat di telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan sebagian telinga bagian
dalam sedangkan organ telinga berfungsi sebagai penerima meliputi sebagian telinga
bagian dalam, saraf pendengaran (auditory nerve), dan sebagian otak yang mengatur persepsi bunyi. Jika dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau lebih organ
telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam
mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab
lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik, keadaan tersebut dikenal dengan berkelainan pendengaran atau
tunarungu. (Effendi, 2006: 56-57)
2.6.2 Jenis Tuna Rungu Wicara
Berdasarkan kriteria International Standart Organization (ISO) klarifikasi
anak kehilangan pendengaran atau tuna rungu dapat dikelompokkan menjadi
kelompok tuli (deafness) dan kelompok lemah pendengaran (hard of hearing).
Seseorang dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia kehilangan kemampuan
mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu
dengar atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan kategori lemah pendengaran, seseorang dikategorikan lemah pendengaran jika ia kehilangan
kemampuan mendengar antara 35- 69 dB menurut ISO, sehingga mengalami
kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk
mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu
dengar. (Kirk & Moores dalam Efendi, 2006: 59)
Jenis kecacatan rungu wicara berdasarkan hasil diteksi dapat dibedakan atas:
1. Menurut derajat kehilangan daya dengarnya :
a. Ringan
Kehilangan 15 - 30 desibel : Mild Hearing Losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap suara cakapan manusia normal.
b. Sedang
Kehilangan 31 - 60 desibel : Moderate Hearing Losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.
c. Berat
Kehilangan 61 - 90 desibel : Severe Hearing Losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
d. Amat berat
• Kehilangan 91 - 120 desibel : Profound Hearing Losses atau
ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara manusia tidak
• Kehilangan lebih dari 120 desibel : Total Hearing Losses atau
ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak
ada sama sekali.
2. Menurut kerusakan pada telinga
a. Konduktif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh adanya
kerusakan organ pendengaran yang terletak pada bagian penghantar gelombang suara
(kerusakan telinga bagian luar atau telinga bagian tengah). Misalnya jika terjadi
penumpukan kotoran di liang telinga yang berlebihan atau jika terjadi radang di
dalam telinga tengah. Ketunarunguan Konduktif umumnya masih dapat
disembunyikan secara medis.
b. Persertif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ
pendengaran di telinga bagian dalam, di dalam rumah siput atau bagian saraf
kedelapan, saraf penerima rangsangan suara yang akan meneruskannya ke surat saraf
di otak. Ketunarunguan persertif pada umumnya tidak dapat disembuhkan secara
medis.
3. Menurut penyebabnya
a. Genetik
Cacat rungu bawaan merupakan cacat warisan orangtua karena faktor
pembawa sifat keturunan (kromosom). Penyebab gangguan pendengaran pada anak,
diperkirakan 50% kasus dari derajat sedang sampai berat, ditentukan secara genetik.
Gangguan pendengaran genetik bawaan dapat disertai kelainan lain. Gangguan
pendengaran dapat terjadi bersama kelainan bawaan telinga bagian luar dan mata,
orangtua yang menderita ketulian keturunan, mempunyai kemungkinan menderita
gangguan pendengaran.
b. Non-genetik
1) Sebelum kelahiran
• Penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non-genetik terjadi pada
masa kehamilan terutama pada tiga bulan pertama. Setiap gangguan
kelahiran yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian
pada anak, seperti kekurangan gizi, infeksi bakteri, seperti campak dan
parotitis
• Kelahiran prematur bila disebabkan oleh kekurangan oksigen, selain otak
akan mengalami luka, pendengaran pun mengalami kerusakan. Dalam
kondisi demikian, dapat disimpulkan bahwa kelahiran prematur lebih
mengakibatkan timbulnya penyakit telinga daripada penyakit lainnya.
• Bila wanita yang sedang mengandung tiga bulan terserang penyakit
campak atau cacar air, kemungkinan besar hal tersebut akan berdampak
pada bayinya. Cacat yang ditimbulkan oleh penyakit campak kepada anak
adalah 50% penyakit telinga, 20% penyakit mata dan 30% penyakit
jantung.
2) Saat kelahiran
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan
faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran atau ketulian, seperti: lahir
prematur (umur kelahiran kurang dari 37 minggu), berat badan lahir
kelahiran (ekstrasi vakum, forsep), hiperbilirubinemia dan aksifia berat
atau lahir tidak menangis.
3) Setelah kelahiran
Radang selaput otak karena bakteri merupakan penyebab utama gangguan
pendengaran yang di dapat pada masa anak, hal lainnya juga dapat
disebabkan oleh obat-obatan yang bersifat menggangu pendengaran
(ototoksik) yang digunakan selama lebih dari 5 hari, trauma kepala dan
infeksi telinga tengah. Cacat lainnya disebabkan oleh penggunaan
obat-obatan, penyakit, kecelakaan, kerusakan tulang tengkorak temporal
(bagian belakang telinga), keracunan, kekurangan oksigen, kekurangan
gizi, kelahiran tak normal, prematur berat badan bayi yang lahir kurang
dari 1,5 kg.
4. Menurut jumlah telinga yang mengalami ketunarunguan:
a. Bilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran kedua telinga.
b. Unilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran satu telinga.
5. Menurut umur saat terjadi ketunarunguan:
a. Pralingual (sebelum berbahasa)
b. Postlingual (sesudah berbahasa)
2.6.3 Karakteristik Penyandang Tunarungu
Menurut Sastrawinata dkk (1977:13) perkembangan dan ciri khas anak
tunarungu, antara lain:
1. Perkembangan pada segi fisik dan bahasa pada anak tunarungu, dalam segi
sebagian anak tunarungu yang terganggu keseimbangan karena ada hubungan
antara kerusakan telinga bagian dalam dengan indera keseimbangan yang ada
didalamnya. Demikian pula ada sebagian anak tunarungu yang perkembangan
fisiknya terhambat akibat tekanan-tekanan jiwa yang dideritanya. Sebaliknya
ketunarunguan jelas mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa,
karena perkembangan bahasa banyak memerlukan kemampuan pendengaran;
2. Perkembangan intelegensi anak tunarungu, sangat dipengaruhi oleh
perkembangan bahasa sehingga hambatan perkembangan bahasa pada anak
tunarungu menghambat perkembangan intelegensinya. Kerendahan tingkat
intelegensi bukan berasal dari kemampuan intelektuilnya yang rendah, tetapi
pada umumnya disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan
untuk berkembang;
3. Perkembangan emosi anak tunarungu, keterbatasan kecakapan berbahasa
mengakibatkan kesukaran dalam berkomunikasi, dan akhirnya menghambat
perkembangan emosi. Emosi berkembang karena pengalaman dalam
komunikasi seorang anak dengan anak yang lain, orangtuanya dan
orang-orang lain disekitarnya. Selain sebab kemiskinan bahasa anak tunarungu, yang
mengakibatkan kedangkalan emosinya, juga sikap masyarakat dan
kegagalan-kegagalan dalam banyak hal mengakibatkan emosi anak tunarungu menjadi
tidak stabil;
4. Perkembangan kepribadian anak tunarungu, perkembangan kepribadian
terjadi dalam pergaulan, atau perluasan pengalaman pada umumnya dan
diarahkan oleh faktor-faktor anak sendiri. Pertemuan antara faktor-faktor
pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan
intelegensi, dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat
perkembangan pribadinya.
2.7 Kerangka Pemikiran
Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk hidup layak. Seorang bayi
misalnya, tentu sangat memerlukan bantuan dan kasih sayang dari ibu dan ayahnya.
Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, hubungan antar manusia
merupakan suatu kebutuhan yang pokok untuk menunjang keberlangsungan hidup
manusia. Kebutuhan itulah yang menimbulkan adanya suatu proses interaksi sosial.
Manusia bagaimanapun keadaaannya adalah makluk individu dan makluk
sosial. Demikian pula anak tuna rungu, yang dalam penelitian ini merupakan warga
binaan sosial di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia
Pematangsiantar. Sesuai dengan kodratnya mereka senantiasa mengadakan interaksi
dengan orang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan kontak dan komunikasi
sosial. Dalam berinteraksi, tindakan mereka juga dipengaruhi faktor-faktor tertentu
seperti imitasi, sugesti, identifikasi maupun simpati dari orang lain yang berada di
lingkungan sekitar panti. Alat komunikasi yang mereka gunakan juga telah mereka
sepakati, walaupun menggunakan komunikasi yang kompleks dan cenderung sulit
untuk dipahami oleh orang normal. Begitupun, dalam arti sederhana mereka tetap
dapat mengerti yang satu dengan yang lainya.
Kehilangan pendengaran pada anak memang sangat mengganggu
kemampuan berkomunikasi merupakan saluran yang sangat penting dalam belajar,
bermain dan membangun hubungan dengan orang lain. Tak jarang, mereka
cenderung terisolasi dari lingkungan sosial. Gangguan pendengaran dan penggunaan
bahasa atau gerak isyarat dalam berkomunikasi sepetinya telah membentuk dunia
mereka sendiri, walaupun mereka berada di dalam lingkungan sosial yang luas
2.8 Definisi Konsep dan Definisi Opersional 2.8.1 Definisi Konsep
Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu
penelitian disebut dengan definisi konsep. Dengan kata lain, definisi konsep adalah
pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian.
(Siagian, 2011: 138)
Konsep penelitian bertujuan untuk merumuskan istilah dan medefinisikan
istillah-istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta persamaan persepsi dan
tidak muncul salah penertian pemakaian istilah yang dapat mengaburkan tujuan
penelitian. Untuk memperjelas penelitian ini, maka peneliti membatasi memberikan
batasan pengertian sebagai berikut :
1. Pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi.
2. Interaksi Sosial adalah hubungan timbal-balik antar manusia yang saling
mempengaruhi, dimana ada aksi dan ada juga reaksi dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Kontak Sosial adalah hubungan antara satu pihak dan pihak lain yang
merupakan awal terjadinya interaksi sosial, namun tidak selalu berarti
terwujud pada sentuhan fisik.
4. Komunikasi Sosial adalah suatu proses penyampaian pesan dan informasi
dari satu orang kepada lainnya yang dapat diwujudkan dengan bahasa
verbal (lisan dan tulisan) dan bahasa non-verbal (ekspresi wajah, kontak
mata, gerak tubuh dan postur, dan sentuhan)
5. Tuna Rungu Wicara adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau
tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya dan
ketidakmampuan oral dalam berbicara sebagaimana orang secara umum.
2.8.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu proses menjadikan variabel penelitian dapat
diukur sehingga terjadi transformasi dari unsur konseptual ke dunia nyata (Siagian,
2011: 142). Oleh karena itu, untuk memudahkan peneliti dalam memahami dan
menggambarkan variabel dalam penelitian ini, maka penulis menetapkan
indikator-indikator yang akan digunakan dalam penelitian sebagai berikut :
a) Kontak sosial
• Kontak sosial positif, apakah hubungan antara kedua belah pihak
terdapat saling pengertian atau di samping itu, juga menguntungkan
masing-masing pihak tersebut.
• Kontak sosial negatif, apakah hubungan antara kedua belah pihak
tidak melahirkan saling pengertian atau mungkin merugikan
masing-masing atau salah satu, sehingga mengakibatkan pertentangan atau
perselisihan.
• Kontak sosial primer, apakah pihak-pihak yang mengadakan
hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka.
• Kontak sosial sekunder, apakah pihak-pihak yang mengadakan
hubungan tidak bertemu secara langsung, melainkan melalui
perantara.
• Komunikasi verbal:
Bahasa lisan
Bahasa tulisan
• Komunikasi non-verbal:
Ekspresi wajah
Kontak mata
Gerak tubuh dan postur
Sentuhan
c) Faktor berlangsungnya interaksi sosial
• Imitasi
• Sugesti
• Identifikasi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan dengan tujuan
menggambarkan atau mendeskripsikan obyek atau fenomena yang diteliti (Siagian,
2011:52). Melalui penelitian deskriptif, peneliti akan menggambarkan tentang
bagaimana pola interaksi sosial tuna rungu wicara yang menerima layanan sosial di
UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia sesuai dengan kenyataan yang
ada di lapangan.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara
dan Lansia yang beralamat di Jalan Sisingamangaraja no. 68 Keluraha Bah Kapul
Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Peneliti memilih
lokasi ini sebagai lokasi penelitian karena lokasi ini merupakan satu-satunya Unit
Pelaksana Teknis yang menangani masalah pemandang cacat tuna rungu wicara dan
berada di bawah naungan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara.
Selain itu, UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia ini juga
memberikan fasilitas asrama, pendidikan dan keterampilan yang berada dalam lokasi
yang berdekatan yang memudahkan peneliti melakukan observasi langsung dalam
3.3 Unit Analisis
Adapun yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini
adalah warga binaan sosial tuna rungu wicara UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu
Wicara dan Lansia Pematangsiantar sebanyak 12 orang, yang telah menguasai
kemampuan baca-tulis (kelas B dan C dalam pendidikan belajar di UPTD tersebut)
3.4 Informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan keterangan atau informasi
mengenai masalah yang sedang diteliti dan dapat berperan sebagai nara sumber
selama proses penelitian (Moleong, Miles, dalam Mantra, 2004). Informan kunci
dalam penelitian ini adalah pengawas asrama putra dan pengawas asrama putri UPTD
Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Guna mendapatkan data yang diperlukan, maka teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data melalui buku-buku,
dokumentasi, dan sumber referensi lainnya yang berkenaan dengan
masalah yang diteliti
2. Penelitian lapangan yaitu mengadakan penelitian ke lokasi untuk
mendapatkan data yang lengkap sesuai dengan masalah yang diteliti.
Dalam penelitian lapangan ini, digunakan beberapa metode, yaitu:
a. Observasi, yaitu mengumpulkan data tentang gejala-gejala tertentu
yang menjadi sasaran penelitian. Peneliti telah menetapkan bahwa
teknik observasi ini adalah alat pengumpul data sekunder, mengingat
kendala fisik responden dalam hal pendengaran dan komunikasi.
b. Wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan secara tatap muka dengan responden yang bertujuan untuk
melengkapi data yang diperoleh. Teknik ini merupakan alat
pengumpul data primer yang akan digunakan untuk memperoleh data
yang diinginkan peneliti dari responden. Untuk itu, peneliti akan
menggunakan penerjemah dalam pengumpulan data.
c. Kuesioner, yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan cara
menyebar daftar pertanyaan yang akan dijawab oleh responden
sehingga peneliti memperoleh data dan informasi yang diperlukan
dalam penelitian (Siagian, 2011 : 207). Teknik ini merupakan alat
pengumpul data primer yang akan digunakan untuk memperoleh data
yang diinginkan peneliti dari responden.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu
dengan mengkaji data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber data yang terkumpul dan kemudian dinarasikan sebagai hasil
penelitian.
Adapun teknik analisa data yang digunakan peneliti adalah model penelitian
interaktif. Menurut Usman dan Akbar (2011: 85-87) ada beberapa cara untuk
menganalisis data kualitatif penelitian, yang secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan lapangan dimana data yang didapatkan di lapangan
langsung diketik atau ditulis dengan rapi serta sistematis setiap selesai
mengumpulkan data. Laporan harus dianalisis sejak dimulainya penelitian.
Laporan-laporan itu kemudian direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal
pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Data data yang telah direduksi
memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan.
b. Display data, ialah menyajikan data dalam bentuk matriks, network, chart
atau grafik dan sebagainya. Penyajian data digunakan untuk
mendeskripsikan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan tindakan. Fungsinya agar
peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data.
c. Pengambilan keputusan dan verifikasi merupakan kegiatan di akhir
penelitian kualitatif, yaitu mencari pola, model, tema hubungan,
persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Dari
data-data tersebut diambil kesimpulan. Kesimpulan yang kabur
lama-kelamaan akan semakin jelas, lalu dilakukan verifikasi dengan
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga
Pada tahun 1958 oleh Perkebunan Siantar Estate memberikan sebidang tanah
kepada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara/Dinas Sosial Daerah Tingakat II
Kabupaten Simalungun guna mendirikan Panti Sosial dengan tujuan dapat
menampung para penyandang masalah social terutama para Lanjut Usia yang sudah
pensiun dari perkebunan Siantar Estate. Luas arealnya 20.000 m2
Pada tahun 1987 berdiri Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tuna
Rungu Wicara Panghobopon Bani Nalongah yang berlokasi di Jalan
Sisingamangaraja Nomor 68 Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kota
Madya Pematang SIantar. Luas areal 36.500 M2. Panti ini merupakan salah satu UPT
Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sumatera Utara yang melayani
Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara. Wilayah kerjanya meliputi Provinsi
Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi (Sumbagut).
. Lokasinya di jalan
Sisingamangaraja Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kodya
Pematang Siantar.Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7
Tahun 1987 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Sosial Tingkat I
Sumatera Utara status Panti Karya Bah Kapul berubah menjadi Panti Jompo/Lanjut
Usia.
Berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2001 Tanggal 31
Juli 2001 kedua panti tersebut di atas digabung menjadi satu panti yaitu Unit
satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai
tugas dan fungsi memberikan pelayanan terhadap :
a) Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara
b) Lanjut Usia Terlantar.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 33 Tahun 2010
tentang Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi UPT pada Dinas Kesejahteraan dan
Sosial Provinsi Sumatera Utara UPTD Harapan teratai Bah Kapul Pematang Siantar
berubah nama menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Tuna Rungu
Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar.
4.2 Visi dan Misi
Adapun yang menjadi visi dan misi dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi
Sumatera Utara, yaitu :
a. Meningkatkan Pelayanan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS).
b. Meningkatkan sumber daya manusia yang profesional di bidang
kesejahteraan sosial.
c. Meningkatkan keterjangkauan dan mutu pelayanan sosial.
d. Meningkatkan persan serta dan kepedulian masyarakat terhadap
penyelenggaraan pelayanan sosial dasar.
e. Meningkatkan fasilitas dan koordinasi pembangunan kesejahteraan sosial.
f. Melestarikan nilai-nilai keperintisan, kepahlawanan dan kejuangan.
g. Meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana.