DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: PT. Alumni, 2011.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Barkatullah, Hakim. Hak Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010.
Gunanto. Asuransi Kebakaran di Indonesia. Jakarta: Tirta Pustaka, 1984.
Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni, 1994.
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 1999.
Prakoso, Djoko. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: PT. Ahdi Mahasatya, 2004.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Penerbit: PT. Intermasa, 1986.
Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pertanggungan. Jakarta: Djambatan, 1990.
Salim, A. Abbas. Dasar-dasar Asuransi (Principles of Insurance). Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian. Bandung: PT. Alumni, 1997.
Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
B. Peraturan dan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Republik Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
Republik Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
2/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan yang baik bagi Perusahaan Perasuransian.
Republik Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi.
C. Website
http://asma1981.blogspot.co.id/2012/03/kekuatan-hukum-polis-sebagai-alat-bukti.html (diakses tanggal 1 Maret 2016).
http://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-standardisasi-polis-asuransi (diakses tanggal 25 Maret 2016).
http://makalahdanskripsi.blogspot.co.id/2008/08/pengertian-perusahaan-swasta.html (diakses tanggal 26 Februari 2016).
http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html (diakses tanggal 20 Juli 2015).
https://teddiadriansyah77.wordpress.com/2013/12/24/permohonan-pernyataan-pailit-perusahaan-asuransi-yang-telah-dicabut-izin-usahanya
(diakses tanggal 26 Februari 2016).
http://ungguh-rexso.blogspot.co.id/2012/06/perusahaan-asuransi.html (diakses tanggal 26 Februari 2016).
https://www.asura.co.id/blog/tahap-penyelesaian-sengketa-asuransi-di-luar-pengadilan (diakses tanggal 10 April 2016).
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cc0cb549f6df/pt-asuransi-harta-aman-harus-bayar-klaim-manalagi (diakses tanggal 18 April 2016).
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2035/upaya-nasabah-jika-klaim-asuransi-terlambat-atau-tidak-dibayar (diakses tanggal 1 Maret 2016).
https://www.pasarpolis.com/blogs/prioritaskan-perlindungan-konsumen-ojk-buat-database-agen-asuransi-di-indonesia (diakses tanggal 12 Maret 2016).
Istikhomah Dika Romadhona. “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas
Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permogonan Pernyataan Pailit bagi
Perusahaan Asuransi Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Nasabah”.
http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/download/ 489/481 (diakses tanggal 24 Maret 2016).
BAB III
KEBERADAAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELINDUNGI PEMEGANG POLIS ASURANSI
A.Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga baru yang didirikan berdasarkan
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(selanjutnya disebut UU OJK). Lembaga ini didirikan untuk melakukan
pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Secara yuridis, menurut
ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, OJK adalah lembaga yang independen dan
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa
OJK adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri
perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan
asuransi. Pada dasarnya UU OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian
dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan
didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena
itu, dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi
sistem keuangan. Dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas
sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih terintegrasi.
Berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, secara normatif
tujuan pendirian OJK adalah pertama, meningkatkan dan memelihara
kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan
perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman
publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan
konsumen jasa keuangan.51
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini perlu memperhatikan berbagai
macam aspek, diantaranya ialah:52
1. Aspek pembagian tugas
Terkait dengan regulasi, tampak jelas kaitan eratnya antara Otoritas Jasa
Keuangan dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sekaligus bank sentral.
Dengan demikian, UU OJK semestinya dibuat dengan memperhatikan
sepenuhnya pasal demi pasal di dalam UU BI. Tujuannya adalah untuk
memastikan terdapatnya pembagian bidang tugas secara jelas dan rinci
sehingga dapat lebih koordinatif dan komunikatif dalam eksekusinya,
khususnya dalam arus informasi. Dengan adanya pembagian tugas, maka
akuntabilitas dan responsibilitas kedua lembaga yang membawahi sistem
keuangan dan moneter di Indonesia dapat diukur. Pembagian tugas secara jelas
antara BI dan OJK mutlak diperlukan, mengingat keterkaitan yang sangat erat
antara sistem keuangan (kavling OJK) dengan sistem moneter dan pembayaran
51 Ryan Kiryanto,Otoritas Jasa Keuangan dan Kepentingannya, Kompas, 14 Juni 2013. 52
(kavling BI).
2. Aspek koordinasi dan sinkronisasi
Efektivitas pelaksanaan fungsi BI sebagai otoritas moneter memerlukan
dukungan sistem keuangan yang kokoh dan stabil. Sebaliknya efektivitas
pelaksanaan fungsi OJK sebagai otoritas keuangan yang sehat dan stabil juga
membutuhkan dukungan sistem pembayaran yang aman dan efisien. Kebijakan
yang mengatur sistem keuangan berdampak pada pelaksanaan kebijakan
moneter. Demikian pula sebaliknya. Mengingat bertali temalinya secara erat
antara tugas dan wewenang OJK dan BI, maka koordinasi dan komunikasi
yang sinergis di antara keduanya mutlak diperlukan. Ilustrasi di atas ingin
menggambarkan, betapa organisasi yang besar seperti BI dan OJK kelak
memerlukan koordinasi dan sinkronisasi dalam gerak langkah dan dalam
menyusun kebijakan karena implikasi yang ditimbulkan saling berpengaruh.
Bercermin di masa lalu, tak jarang kebijakan BI yang dirumuskan secara
cermat pun ternyata tak acceptable dan tidak aplicable sehingga hasilnya
kurang memuaskan karena proses penyusunannya tidak memperhitungkan
implikasi kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah lainnya.
3. Aspek pertanggungjawaban
Aturan soal pertanggungjawaban OJK harus dipikirkan sebab tanpa ada aturan
yang secara eksplisit menjelaskan kepada siapa OJK harus bertanggungjawab
dan bagaimana mekanismenya, maka kejadian serupa di masa lalu di mana
banyak pihak yang menyalahkan independensi BI telah ”kebablasan” akan
regulator.
4. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
Sesuai dengan bidang tugasnya, OJK memerlukan sejumlah besar Sumber
Daya Manusia dengan kompetensi di bidang pengaturan dan pengawasan
keuangan. Ini mengingat banyaknya bank umum, bank syariah, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), lembaga asuransi, lembaga pembiayaan, modal
ventura, anjak piutang, dana pensiun, dan asuransi yang secara keseluruhan
mencapai ratusan buah, bahkan mungkin ribuan, dengan puluhan ribu kantor
layanan. Selain kompetensi, maka integritas yang tinggi juga merupakan syarat
yang harus dipenuhi. Karena bidang tugas yang digeluti selain cukup rawan
juga sensitif sehingga membutuhkan integritas SDM yang tinggi. OJK hanya
dapat berjalan dengan baik kalau sumber daya manusianya tangguh dan
memadai. Untuk menciptakan SDM yang tangguh dan memadai memerlukan
waktu yang sangat panjang.
5. Aspek teknologi informasi (TI)
Otoritas Jasa Keuangan dengan bidang tugas yang lebih luas, tentunya harus
didukung oleh kesiapan TI yang lebih baik agar lembaga ini dapat bekerja
dengan baik. Haruslah disadari, sistem pengawasan keuangan membutuhkan
dukungan perangkat atau infrastruktur TI yang tepat guna untuk memudahkan
pengiriman data dan laporan secara elektronik dari lembaga keuangan kepada
otoritas keuangan.
6. Aspek anggaran/keuangan
salah satunya diperuntukkan bagi pembayaran imbalan pengelola dan tenaga
kerjanya. Di negara-negara di mana OJK sudah beroperasi, umumnya sumber
dana diperoleh dari iuran lembaga-lembaga keuangan di bawah pengawasan
OJK, dengan catatan, sebatas untuk menutup anggaran yang telah direncanakan
oleh OJK dan tanpa keuntungan. Kebutuhan dana akan menjadi lebih besar lagi
jika OJK juga menjalankan peran sebagai lender of the last resort terhadap
bank-bank (dan mungkin juga lembaga keuangan nonbank) yang mengidap
problem likuiditas yang akut sebagaimana sudah dijalankan oleh BI tempo
dulu. Melihat kondisi obyektif industri keuangan nasional saat ini, khususnya
perbankan nasional yang tengah recovery, rasanya tidak mungkin dan tidak
tepat untuk membebankan biaya itu kepada mereka.
Aspek-aspek tersebut perlu diperhatikan sebelum Otoritas Jasa Keuangan
terbentuk. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk memaksimalkan fungsi,
tugas, dan wewenang OJK, menyehatkan sektor keuangan nasional dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.
Mengenai tujuan Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 4 UU OJK. Selengkapnya ketentuan Pasal 4 berbunyi OJK dibentuk dengan
tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil; dan
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya
berlandaskan asas-asas sebagai berikut:
1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas
7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.
Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang di dalam menjalankan
tugas pengaturan dan pengawasan, yaitu:53
1. Terkait khusus pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan bank yang
meliputi :
a. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,
merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
b. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
c. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank, laporan bank yang terkait dengan
kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitur, pengujian kredit
(credit testing), dan standar akuntansi bank; dan
d. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti
pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan
perbankan, dan pemeriksaan bank.
http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-2. Terkait pengaturan lembaga jasa keuangan (bank dan non-bank) yang meliputi:
a. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
b. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
c. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
d. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah
tertulisterhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu;
e. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statutepada
lembaga jasa keuangan;
f. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,
memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
3. Terkait pengawasan lembaga jasa keuangan (bank dan non-bank)
yangmeliputi:
a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, danpenunjang
kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
pihak tertentu;
e. melakukan penunjukan pengelola statuter;
f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan; dan memberikan danmencabut: izin usaha, izin orang
perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar,
persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau
penetapan pembubaran dan penetapan lain.
B.Hubungan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan dengan Kegiatan Perusahaan Perasuransian
Perusahaan asuransi memberikan usaha jasa keuangan yang dengan
menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi untuk
memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi
terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti, dengan
memberikan polis asuransi sebagai jaminan. Undang-Undang tentang OJK pada
dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari
lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa
keuangan. Adapun ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan
dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga
jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan
menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral
tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha
Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait
dengan sektor jasa keuangan lainnya.54
Sebuah perusahaan perasuransian perlu mendapat izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan. Peran OJK dalam pembentukan sebuah perusahaan perasuransian
sesuai dengan Pasal 8 UU Perasuransian, yaitu:
1. Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib terlebih dahulu
mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
2. Untuk mendapatlan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dipenuhi persyaratan mengenai:
a. anggaran dasar;
b. susunan organisasi;
c. modal disetor;
d. dana Jaminan;
e. kepemilikan;
f. kelayakan dan kepatutan pemegang saham dan Pengendali;
g. kemampuan dan kepatutan direksi dan dewan komisaris, atau yang setara
dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal;
h. tenaga ahli;
i. kelayakan rencana kerja;
j. kelayakan sistem manajemen risiko;
k. produk yang akan dipasarkan;
l. perikatan dengan pihak terafiliasi apabila ada dan kebijakan pengalihan
sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha;
m. infrastruktur penyiapan dan penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, dalam hal
terdapat penyerlaan langsung pihak asing; dan
o. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat.
3. Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukansesuai
dengan jenis usaha yang akan dijalankan.
Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan izin usaha
perusahaan perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan
diterima secara lengkap. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan
izin usaha perusahaan perasuransian, maka penolakan harus dilakukan secara
tertulis dengan disertai alasannya (sesuai Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU
Perasuransian).
Perusahaan perasuransian wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di
luar kantor pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Kantor perusahaan
perasuransian di luar kantor pusatnya yang memiliki kewenangan untuk membuat
keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/ atau
memenuhi persyaratan yang ditetapkan OJK. Selanjutnya, perusahaan
perasuransian bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki
atau dikelolanya atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan
nama perusahaan perasuransian yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai bentuk dan tata cara pelaporan pembukaan kantor di luar kantor
pusatnya, diatur dalam Peraturan OJK (sesuai Pasal 10 UU Perasuransian).
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pengaturan dan
pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) UU
Perasuransian yaitu:
1. menyetujui atau menolak memberikan izin usaha perasuransian;
2. mencabut izin usaha perasuransian;
3. menyetujui atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran bagi konsultan
aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa
kepada perusahaan perasuransian;
4. membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan
publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada perusahaan
perasuransian;
5. mewajibkan perusahaan perasuransian menyampaikan laporan secara berkala;
6. melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian dan pihak lain
yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa
kepada perusahaan perasuransian;
8. menyetujui atau mencabut persetujuan suatu pihak menjadi pengendali
perusahaan perasuransian;
9. mewajibkan suatu pihak untuk berhenti menjadi pengendali dan perusahaan
perasuransian;
10. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan
komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, dan pengendali;
11. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama,
dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan pengelola statuter;
12. memberi perintah tertulis kepada:
a. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya
perusahaan perasuransian dan disampaikan kepada OJK;
b. perusahaan perasuransian untuk mengalihkan sebagian atau seluruh
portofolio pertanggungannya kepada perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah lain;
c. perusahaan perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal
tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
d. perusahaan perasuransian untuk memperbaiki atau menyempurnakan
sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari
pemanfaatan perusahaan perasuransian untuk kejahatan keuangan;
e. perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah untuk
menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu; dan
f. perusahaan perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau
posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk
menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak
kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
13. mengenakan sanksi kepada perusahaan perasuransian, pemegang saham,
direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha,
dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal; dan
14. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi administratif
apabila dalam kegiatan usaha sebuah perusahaan asuransi melanggar ketentuan
dari Pasal-pasal yang telah ditetapkan oleh OJK. Sesuai dengan Pasal 83 peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.05/2014 tentang tata kelola perusahaan
yang baik bagi perusahaan perasuransian (selanjutnya disebut POJK No. 2 Tahun
2014), sanksi administratif dapat berupa:
2. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau
3. pencabutan izin usaha.
Setelah mendapat izin usaha dan memiliki kantor pusatnya, perusahaan
perasuransian wajib melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam
setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi (sesuai
Pasal 4 ayat (1) POJK No. 2 Tahun 2014). Pasal 4 ayat (2) POJK No. 2 Tahun
2014 mengatur tentang pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan
paling kurang harus diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris;
b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang menjalankan fungsi
pengendalian intern perusahaan perasuransian;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
e. penerapan kebijakan remunerasi;
f. rencana strategis perusahaan perasuransian;
g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan perusahaan perasuransian.
Perusahaan perasuransian wajib melakukan penilaian sendiri (self
assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik secara berkala
(seusai Pasal 78 ayat (1) POJK No. 2 Tahun 2014). Selanjutnya, Pasal 79 POJK
No. 2 Tahun 2014 mengatur tentang kewajiban perusahaan perasuransian dalam
menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada setiap akhir
1. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang paling kurang
meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola
Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) POJK
No. 2 Tahun 2014;
2. penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 POJK No. 2 Tahun 2014;
3. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective
action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan
penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata
Kelola Perusahaan yang Baik.
Otoritas Jasa Keuangan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang disampaikan oleh
perusahaan perasuransian (sesuai Pasal 81 POJK No. 2 Tahun 2014). Pengaturan
mengenai penerapan tata kelola perusahaan yang baik ini sebenarnya bukan hal
baru bagi perusahaan asuransi karena di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun
terakhir, lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian telah meminta
perusahaan melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas pelaksanaan tata
kelola perusahaan yang baik dan menyampaikan laporannya kepada lembaga
pembina dan pengawas usaha perasuransian.55
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan pengendali di luar
pengendali yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi apabila perusahaan asuransi
belum menetapkan pengendalinya. Pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas
55
ruginya perusahaan asuransi. Setiap perubahan atas pengendali wajib dilaporkan
kepada OJK, dan pihak yang telah ditunjuk sebagai pengendali tidak dapat
berhenti menjadi pengendali tanpa persetujuan OJK.
Perusahaan perasuransian, wajib membentuk dana jaminan dalam bentuk
dan jumlah yang telah ditetapkan oleh OJK yang disesuaikan dengan
perkembangan usaha dan jumlahnya tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada
awal pendirian. Dana jaminan tersebut dilarang diagunkan atau dibebani oleh hak
apapun, dan hanya dapat dicairkan atau dipindahkan setelah mendapat persetujuan
OJK (sesuai Pasal 20 UU Perasuransian).
Pasal 22 UU Perasuransian mengatur tentang kewajiban perusahaan
perasuransian mengenai penyampaian laporan, yaitu:
1. Perusahaan perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi, data,
dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.
2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui sistem data elektronik.
3. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan posisi keuangan, kinerja
keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan perusahaan dalam surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan media elektronik.
4. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah wajib menyediakan informasi mengenai posisi
berkepentingan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan laporan keuangan yang
telah diaudit paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian
laporan keuangan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan.
6. Laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dibuka oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak
lain, kecuali kepada:
a. polisi dan jaksa untuk kepentingan penyidikan;
b. hakim untuk kepentingan peradilan;
c. pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;
d. bank indonesia untuk pelaksanaan tugasnya; atau
e. pihak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
C.Peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengawas dalam Melindungi Pemegang Polis Asuransi
Pentingnya peranan usaha perasuransian dalam perekonomian nasional
membuat pemerintah juga ikut mempunyai andil untuk senantiasa menjamin
usaha perasuransian yang berkelanjutan demi melindungi hak-hak setiap
baik dan mendetail sebagai landasan dari kegiatan usaha perasuransian di
Indonesia, meliputi:56
1. persyaratan bagi direksi dan komisaris untuk dinilai kemampuan dan
kepatutannya;
2. persyaratan bagi perusahaan asuransi untuk memperkerjakan secara tetap
tenaga ahli yang berkualifikasi sesuai bidang asuransi yang memberikan
petunjuk perusahaan dikelola secara profesional;
3. pengaturan mengenai batas tingkat solvabilitas minimum perusahaan;
4. kewajiban perusahaan asuransi untuk diaudit laporan keuangannya oleh
akuntan publik;
5. kewajiban untuk memiliki dukungan reasuransi; dan
6. ketentuan dasar dalam penyusunan polis.
Perlindungan hukum terhadap nasabah perusahaan asuransi pada
dasarnya sudah ada sejak diterbitkannya polis asuransi melalui Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Selain itu untuk lebih menjamin hak dan
kewajiban para pihak agar dapat terlaksana dengan baik pemerintah juga
mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992
tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pasal 23 ayat (1) disebutkan
bahwa: Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan
tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau
56Istikhomah Dika Romadhona, “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permogonan Pernyataan Pailit bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan
tidak melakukan tindakan, yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan
kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.
Otoritas Jasa Keuangan mengatur tentang perlindungan konsumen, dalam
hal ini pemegang polis. Menurut Peraturan OJK Pasal 2 Nomor 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut
POJK No. 1 Tahun 2013) menerapkan prinsip:
a. transparansi;
b. perlakuan yang adil;
c. keandalan;
d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan
e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara
sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan memiliki peran penting dalam
melindungi konsumen apabila pada suatu perjanjian asuransi terdapat hal-hal yang
dapat merugikan konsumen, yang dalam hal ini pemegang polis dari sebuah
perjanjian asuransi. Terkait dengan perlindungan konsumen maka ada tiga pasal
dalam UU OJK yang menegaskan tugas OJK dalam melindungi nasabah lembaga
jasa keuangan, yaitu Pasal 28 (tindakan pencegahan kerugian konsumen dan
masyarakat), Pasal 30 (pembelaan hukum), dan Pasal 29 (pelayanan pengaduan
konsumen).
Mengenai pencegahan kerugian masyarakat,Pasal 28 UU OJK
mengungkapkan bahwa OJK memiliki kewenangan sebagai berikut Pertama,
jasa keuangan, layanan, dan produknya (preventif). Kedua, meminta lembaga jasa
keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi
merugikan masyarakat. Ketiga, tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pelayanan pengaduan konsumen melalui lembaga Otoritas Jasa
Keuangan diatur dalam Pasal 29 UU OJK, yang meliputi:
1. menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen
yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;
2. membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
lembaga jasa keuangan; dan
3. memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku
di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
Pembelaan hukum selanjutnya diatur dalam Pasal 30 UU OJK yang
mencakup tentang:
1. untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
pembelaan hukum, yang meliputi:
a. memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa
keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan
lembaga jasa keuangan dimaksud;
b. mengajukan gugatan:
1) untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan
penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di
bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau
2) untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan
kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
2. ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya
digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.
Otoritas Jasa Keuangan memiliki peraturan tentang produk asuransi dan
pemasaran produk asuransi di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi
(Selanjutnya diesebut POJK No. 23 Tahun 2015)yang memperbaharui
aturan-aturan sebelumnya. Ada beberapa poin penting dalam POJK tersebut. Pertama,
soal standardisasi isi polis asuransi yang diterbitkan perusahaan asuransi jiwa dan
asuransi umum. Polis asuransi semisal harus memuat pemberlakuan
pertanggungan, uraian manfaat dan cara pembayaran premi. Tidak ketinggalan,
tenggang waktu pembayaran premi dan pencantuman kurs yang digunakan bila
polis asuransi memakai mata uang asing, wajib dimuat di dalam polis. Isi polis
juga wajib mencantumkan syarat dan penyebab penghentian pertanggungan
asuransi, baik oleh perusahaan maupun pemegang polis. Tata cara pengajuan
klaim termasuk bukti pendukung juga diwajibkan tertulis di polis asuransi. Kedua,
perusahaan asuransi juga wajib menulis polis asuransi yang dapat dibaca dan
boleh mengandung kata, frasa atau kalimat yang menimbulkan penafsiran berbeda
dan mempersulit pemegang polis mengurus haknya. Ketiga, OJK juga
mewajibkan perusahaan asuransi mengevaluasi kinerja produk. Pemantauan atas
kinerja setiap produk dapat dilakukan lewat evaluasi produk, profit serta efek dari
dampak produk terhadap modal.57 Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan
pihak tertentu untuk dan atas nama OJK melaksanakan sebagian dari fungsi
pengaturan dan pengawasan pada sebuah perusahaan asuransi.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK No. 1
Tahun 2013) memuat hak dan kewajiban dari pelaku usaha, yang dalam hal ini
perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pelaku usaha jasa
keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik konsumen dan
mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai konsumen yang akurat,
jujur, jelas, dan tidak menyesatkan (sesuai Pasal 3 POJK No. 1 Tahun 2013).
Beberapa kewajiban utama pelaku usaha jasa keuangan yang diatur
dalam POJK No. 1 Tahun 2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan tersebut:
1. pelaku usaha wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses
kepada Konsumen tentang produk dan/atau layanan.(sesuai dengan Pasal 5
POJK No. 1 Tahun 2013);
2.pelaku usaha jasa keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat
yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh
Konsumen dalam setiap dokumen yang:
a. memuat hak dan kewajiban Konsumen;
b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan; dan
c. memuat persyaratan dan dapat mengikat konsumen secara hukum. (sesuai
Pasal 7 POJK No. 1 Tahun 2013)
3. pelaku usaha jasa keuangan wajib memberi ringkasan informasi yang paling
sedikit memuat tentang manfaat, risiko, biaya produk dan/atau layanan, dan
syarat ketentuan (sesuai Pasal 8 POJK No. 1 Tahun 2013).
4. pelaku usaha jasa keuangan juga wajib menginformasikan kepada konsumen
setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum
dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan pelaku
usaha (Pasal 12 POJK No. 1 Tahun 2013).
5. pelaku usaha jasa keuangan wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan
dan kemampuan konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan
kepada konsumen (Pasal 16 POJK No. 1 Tahun 2013).
6. pelaku usaha jasa keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk
dan/atau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi
konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan (Pasal
17 POJK No. 1 Tahun 2013).
7. pelaku usaha jasa keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk
dengan perjanjian dengan konsumen (sesuai Pasal 26 POJK No. 1 Tahun
2013).
8. pelaku usaha jasa keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya
pengaduan konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan
konsumen dimaksud kepada OJK, dalam hal ini kepala eksekutif yang
melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha jasa keuangan (sesuai Pasal
34 POJK No. 1 Tahun 2013).
9. setelah menerima pengaduan konsumen, pelaku usaha jasa keuangan wajib
melakukan:
a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif;
b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan
c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi
(redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan
konsumen benar (Pasal 38 POJK No. 1 Tahun 2013).
Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa
antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen kepada Otoritas Jasa
Keuangan. pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen OJK dilakukan
terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:58
1. konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:
a. pelaku usaha jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal, dana pensiun,
asuransi jiwa, pembiayaan, perusahaan gadai, atau penjaminan, paling
banyak sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
b. pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar
Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
2. konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen
pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;
3. pelaku usaha jasa keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan
namun konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah
melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam peraturan otoritas jasa
keuangan ini;
4. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau
pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga mediasi
lainnya;
5. pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;
6. pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh otoritas jasa keuangan;
dan
7. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja
sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan pelaku
usaha jasa keuangan kepada konsumen.
Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh
usaha jasa keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SETELAH BERLAKU UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
A.Kedudukan Pemegang Polis Asuransi sebagai Konsumen Sebelum Berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu
dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti sangat penting karena
berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak
hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai
hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan.
Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan
suatu akta yang disebut polis (Pasal 255 KUHD).
Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa
konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur konsumen
dalam undang-undang ini, yaitu:59
1. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang individual yang lazim
disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon).
2. Pemakai
Kata pemakai dalam Penjelasan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen
menekankan pada konsumen adalah konsumen akhir. Pemakai yang dimaksud
tidak selalu harus memberikan prestasinyadengan cara membayar uang untuk
memperoleh barang dan/atau jasa itu. Jadi yang paling penting terjadinya
transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan
kenikmatan dalam menggunakannya.
3. Barang dan/atau jasa
Pengertian barang menurut Pasal 1 Angka 4 UU Perlindungan Konsumen
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh
konsumen. Pengertian jasa dalam UU Perlindungan Konsumen adalah setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia
di pasar. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat 1
Huruf e UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam perdagangan yang
semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh
masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaanpengembang (developer)
perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum
bangunannya jadi.
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu
mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak
sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa
itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).
6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan berarti menunjukkan
konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa akhir bukan pemakai antara.
Berdasarkan penjelasan unsur-unsur tersebut di atas, seorang pemegang
polis termasuk dalam golongan konsumen. Karena Unsur-unsur konsumen
tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu memberikan prestasinya dengan cara
membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain,
dasar hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha tidak harus
kontraktual (the privity of contract). Hubungan konsumen dengan pelaku usaha
tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual beli saja, melainkan
lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen. Karena seseorang
tersebut tidak hanya sekedar sebagai pembeli, walaupun tidaksebagai pembeli
atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dari kontrak tersebut,
seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim atas kerugian yang
diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa konsumen tidak
sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang yang mengkonsumsi
Kreditur adalah konsumen yang menempatkan dananya dan/atau
memanfaatkan pelayanan yang tersedia, tetapi tidak jarang juga disebut sebagai
investor atau pemodal. Memanfaatkan biasanya ditujukan untuk pemanfaatan
produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa asuransi, jasa
perbankan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa kesehatan, dan lain-lain).
Pihak-pihak yang dapat menduduki posisi bukan hanya sebagai Pihak-pihak yang
menempatkan dananya tetapi juga pihak yang memanfaatkan pelayanan yang
tersedia, misalnya nasabah pada perbankan dan pemegang polis pada
perasuransian.
Pengertian Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 1 Angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor
Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Angka 10 UU OJK adalah pergadaian,
lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara
program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundangundangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga
pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan
lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan
peundang-undangan.60
Industri jasa yang paling banyak diatur lewat regulasi pemerintah adalah
industri jasa yang bergerak di bidang sektor jasa keuangan yang menghimpun
dana dari masyarakat, seperti pada perbankan dan asuransi. Salah satu yang
semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kemakmuran rakyat adalah
perkembangan industri asuransi. Demikian pula perlindungan hukum terhadap
pelaku dan pengguna asuransi tersebut. Seiring berkembangnya waktu, hukum
yang pengatur pelaksanaan kegiatan asuransi juga semakin berkembang.
Pengaturan tentang pemegang polis terdapat pula pada Undang-Undang
No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dimana Pasal 20 ayat (2) UU
Usaha Perasuransian mengatur tentang hak pemegang polis yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam
kewajiban negara, sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Sedangkan perlindungan tersendiri terhadap pemegang polis dalam kepailitan
perusahaan asuransi tidak diatur di dalam UU Usaha Perasuransian, sehingga
untuk perlindungan tertanggung lebih ditentukan oleh bagaimana isi dari
perjanjian asuransi yang telah disepakati di dalam polis asuransi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
juga mengatur tentang hak-hak konsumen. Beberapa hak-hak konsumen yang
diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk dapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilakukan secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan pelaku usaha dalam hal ini perusahaan asuransi juga memiliki
hak-haknya. Beberapa hak-hak pelaku usaha yang diatur di dalam Pasal 6 UU
Perlindungan Konsumen ini, yaitu:
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Konsumen dapat menerima hak-haknya apabila telah memenuhi
kewajiban-kewajiban yang telah disepakati di dalam polis. Pengaturan mengenai
kewajiban- kewajiban juga diatur di dalam UU Perlindungan Konsumen. Adapun
kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Selanjutnya kewajiban-kewajiban pelaku usahayang diatur dalam Pasal 7
UU Perlindungan Konsumen adalah:
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan
dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perusahaan asuransi dapat dikenakan sanksi pidana apabila di dalam
menjalankan usahanya terbukti melakukan pelanggaran terhadap
Undang-Undang. Sanksi pidana yang dapat dikenakan pada kejahatan perasuransian diatur
dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
UsahaPerasuransian sebagai berikut:
1. Terhadap pelaku utama
Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa
mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan
Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan
Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).
2. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal
kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang
diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang-barang tersebut adalah
kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah).
3. Terhadap pemalsu dokumen
Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas
dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan
denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).
B.Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Polis Asuransi setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Konsumen pada sektor jasa keuangan sebagaimana yang telah disebutkan
dalam UU OJK meliputi nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal,
pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun serta
adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan
pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada
Perbankan, pemodaldi Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan
peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.61
Perlindungan terhadap pemegang polis hanya berlaku terhadap setiap
pemegang polis yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Otoritas Jasa Keuangan berperan dalam mengawasi proses berjalannya usaha
perasuransian melalui Undang-Undang OJK maupun Peraturan OJK (POJK).
Memiliki fungsi sebagai perlindungan hukum bagi pemegang polis.
Polis Asuransi harus memuat ketentuan paling sedikit mengenai:62
1. saat berlakunya pertanggungan;
2. uraian manfaat yang diperjanjikan;
3. cara pembayaran premi atau kontribusi;
4. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi atau kontribusi;
5. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila
pembayaran premi atau kontribusi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang
rupiah;
6. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi atau
kontribusi;
61 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 Angka 15.
7. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi atau
kontribusi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;
8. periode pada saat perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak
asuransi (incontestable period) pada produk asuransi jangka panjang;
9. tabel nilai tunai, bagi produk asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan
asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai;
10. perhitungan dividen polis asuransi atau yang sejenis, bagi produk asuransi
yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa yang menjanjikan dividen
polis asuransi atau yang sejenis;
11. klausula penghentian pertanggungan, baik dari perusahaan maupun dari
pemegang polis, tertanggung, atau peserta, termasuk syarat dan penyebabnya;
12. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang relevan
dan diperlukan dalam pengajuan klaim;
13. tata cara penyelesaian dan pembayaran klaim;
14. klausula penyelesaian perselisihan yang antara lain memuat mekanisme
penyelesaian di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan dan pemilihan
tempat kedudukan penyelesaian perselisihan; dan
15. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat,
Ketentuan lebih lanjut perlindungan konsumen sebagai pemegang polis
juga diatur dalam POJK No. 23 Tahun 2015. Dalam polis asuransi terdapat
perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai:63
a. pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan polis
asuransi yang bersangkutan; dan/atau
b. pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban perusahaan. Bagian
perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak dengan huruf tebal atau miring
sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan
penyebab risiko atau adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan
kewajiban perusahaan.
Setiap polis asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum
Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Dan apabila diperlukan, Polis
Asuransi dapat diterbitkan dalam bahasa asing atau bahasa daerah berdampingan
dengan bahasa Indonesia (sesuai Pasal 20 POJK No. 23 Tahun 2015). Pasal 21
POJK No. 23 Tahun 2015 menerangkan bahwa polis asuransi diterbitkan dalam
bentuk hardcopy atau digital/elektronik. Dalam hal polis asuransi diterbitkan
dalam bentuk digital/elektronik, perusahaan harus memperoleh persetujuan
pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Setiap polis standar asuransi yang
dibuat oleh asosiasi industri asuransi, harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri
asuransi kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan.
Perusahaan perasuransian di dalam menjalankan pemasaran produk
asuransi wajib menerbitkan polis asuransi induk yang mencantumkan nama
tertanggung atau peserta asuransi dan masa pertanggungan dari masing-masing
tertanggung atau peserta asuransi, dan menerbitkan bukti kepesertaan bagi
masing-masing tertanggung/peserta asuransi (sesuai Pasal 22 POJK No. 23 Tahun
2015). Setiap polis standar asuransi yang dibuat oleh asosiasi industri asuransi
harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK untuk
memperoleh surat persetujuan.
Dalam setiap penutupan asuransi, polis asuransi harus sesuai spesimen
polis asuransi yang dilaporkan oleh perusahaan atau polis standar asuransi yang
dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK. OJK juga dapat
meminta perusahaan atau ketua asosiasi industri asuransi untuk mengubah
ketentuan Polis Asuransi atau polis standar asuransi dimaksud sesuai dengan
rekomendasi OJK apabila dalam ketentuan polis asuransi atau polis standar
asuransi terdapat hal-hal yang dapat merugikan pemegang polis, tertanggung, atau
peserta, atau perusahaan (sesuai Pasal 25 POJK No. 23 Tahun 2015).
Perusahaan asuransi memiliki beberapa kewajiban yang diatur dalam UU
Perasuransian maupun di dalam Peraturan OJK. Beberapa kewajiban sebuah
perusahaan asuransi yang sesuai dengan Undang-Undang Perasuransian dan
POJK No. 23 Tahun 2015, antara lain sebagai berikut:
1. Perusahaan Asuransi wajib membentuk Dana Jaminan dalam bentuk dan
jumlah yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 20 ayat (1)
UU Perasuransian), dan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian perusahaan
asuransi.
2. Berdasarkan Pasal 20 UU Perasuransian dijelaskan bahwa dana jaminan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang diagunkan atau dibebani
dengan hak apapun, dan hanya dapat dipindahkan dan dicairkan setelah
mendapat persetujuan OJK (Pasal 20 ayat (3) dan (4) UU Perasuransian).
3. Mengenai produk asuransi, setiap produk asuransi baru yang akan dipasarkan
wajib dilaporkan kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan atau surat
pencatatan (Pasal 28 ayat (1) POJK No. 23 Tahun 2015).Kriteria Produk
Asuransi baru sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (1) POJK No. 23
Tahun 2015 adalah sebagai berikut:
a. produk asuransi yang belum pernah dipasarkan oleh perusahaan yang
bersangkutan; atau
b. produk asuransi tersebut merupakan perubahan atas produk asuransi yang
sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi:
1) risiko yang ditanggung termasuk pengecualian atau pembatasan
penyebab risiko yang ditanggung;
2) rumusan premi atau kontribusi;
3) perubahan kategori risiko;
4) asumsi yang terkait dengan pembentukan rumusan premi atau kontribusi;
c. Perusahaan wajib memiliki rencana pengembangan dan pemasaran produk
asuransi yang ditetapkan oleh direksi atau yang setara. Ketentuan mengenai
bentuk, susunan, dan tata cara penyusunan rencana pengembangan dan
pemasaran produk asuransi diatur lebih lanjut dengan surat edaran OJK
mengenai rencana korporasi dan rencana bisnis perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah (Pasal 55 ayat (1) dan (3) POJK No. 23 Tahun 2015).
Perusahaan asuransi wajib menyampaikan informasi yang akurat, jelas,
jujur, dan tidak menyesatkan mengenai produk asuransi kepada calon pemegang
polis, tertanggung, atau peserta sebelum calon pemegang polis, tertanggung, atau
peserta memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi dengan Perusahaan.
Perusahaan asuransi dilarang mencantumkan suatu ketentuan di dalam polis
asuransi yang dapat ditafsirkan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta
tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga pemegang polis, tertanggung, atau
peserta harus menerima penolakan pembayaran klaim dan/atau sebagai
pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai
ketentuan polis asuransi (sesuai Pasal 17 POJK No. 23 Tahun 2015).
OJK dapat memerintahkan perusahaan untuk menghentikan pemasaran
produk asuransi, dalam hal produk asuransi yang dipasarkan berbeda dengan
produk asuransi yang telah memperoleh surat persetujuan atau surat pencatatan
dan produk yang dipasarkan tidak lagi memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan (sesuai Pasal 57 POJK No. 23 Tahun 2015). Perusahaan wajib
10 (sepuluh) hari kerja sejak penghentian pemasaran produk asuransi tersebut
(Pasal 58 ayat (1) POJK No. 23 Tahun 2015). Pelaporan penghentian pemasaran
produk asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh
direksi perusahaan atau yang setara dilengkapi dengan:
1. penjelasan mengenai alasan penghentian pemasaran produk asuransi; dan
2. data polis asuransi yang masih aktif.
Pelanggaran yang dilakukan perusahaan asuransi terhadap pasal-pasal
POJK diatas dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administratif berupa peringatan
tertulis, denda, kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk menjalani penilaian
kemampuan dan kepatutan ulang, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan
izin usaha. Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda
yang berlaku untuk Perusahaan (sesuai dalam Pasal 60 POJK No. 23 Tahun
2015).
Sengketa dalam perjanjian asuransi terjadi karena perselisihan antara
perusahaan asuransi dan pemegang polis mengenai pelaksanaan dari apa yang
sudah disepakati dalam perjanjian asuransi. Masalah yang sering muncul adalah
sulitnya melakukan klaim atas polis yang dipunyai tertanggung. Misalnya nama
yang tertera dalam kartu KTP tidak sama dengan nama yang terdaftar pada saat
membuat polis asuransi, sehingga pada saat yang dibutuhkan, pemegang polis
sulit untuk mengajukan klaim. Keterlambatan pembayaran klaim juga sering
Ketentuan dalam polis asuransi yang mengatur mengenai penyelesaian
perselisihan harus memuat penyelesaian sengketa yaitu di luar pengadilan dan
melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan harus memberikan
pilihan alternatif penyelesaian sengketa yaitu melalui lembaga alternatif
penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa
keuangan. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak boleh
membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri di tempat
kedudukan Perusahaan (sesuai Pasal 18 POJK No. 23 Tahun 2015).
C.Upaya Hukum Pemegang Polis Asuransi atas Pelanggaran yang Dilakukan oleh Perusahaan Asuransi
Asuransi bukan lagi suatu hal yang dianggap istimewa dewasa ini,
namun masih banyak juga dari masyarakat yang belum mengerti atau memahami
informasi terkait asuransi dan semua produk-produk yang dijualnya. Bahkan hal
tersebut semakin diperparah dengan banyaknya perusahaan-perusahaan asuransi
dan beserta agen-agen nakal yang tidak menjelaskan dengan detail tentang produk
yang mereka jual dan berusaha untuk mendulang keuntungan pribadi saja. Untuk
menanggulangi hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merencanakan untuk
menyusun database para agen asuransi individual untuk memberikan dan
meningkatkan sisi perlindungan terhadap calon konsumen dan para pemegang
polis. OJK bekerja sama dengan Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi
oleh setiap perusahaan asuransi yang ada di Indonesia. Dari data-data yang sudah
dikirimkan tersebut, maka regulator dapat mengatur dan mengambil tindakan
tegas apabila terjadi masalah dan muncul kejanggalan.64
Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam
undang-undang mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada
tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan
perjanjian.Undang-Undang menentukan bahwa polis dibuat dan ditandatangani
oleh tiap-tiap penanggung (sesuai dengan Pasal 256 ayat (3) KUHD). Bagi
tertanggung, polis itu mempunyai nilai yang sangat menentukan bagi pembuktian
haknya,meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, tetapi poli