• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Agen Dalam Perjanjian Jual Beli Gas Elpiji (Studi Pada Pt.Pertamina Dan Pt.Rasita Mulia) Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Agen Dalam Perjanjian Jual Beli Gas Elpiji (Studi Pada Pt.Pertamina Dan Pt.Rasita Mulia) Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keu"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Chidir. Badan Hukum. Bandung: PT. Alumni, 2011.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Barkatullah, Hakim. Hak Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010.

Gunanto. Asuransi Kebakaran di Indonesia. Jakarta: Tirta Pustaka, 1984.

Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni, 1994.

Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 1999.

Prakoso, Djoko. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: PT. Ahdi Mahasatya, 2004.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Penerbit: PT. Intermasa, 1986.

Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Hukum Pertanggungan. Jakarta: Djambatan, 1990.

Salim, A. Abbas. Dasar-dasar Asuransi (Principles of Insurance). Jakarta: CV. Rajawali, 1989.

Sastrawidjaja, Man Suparman. Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian. Bandung: PT. Alumni, 1997.

Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

(2)

B. Peraturan dan Perundang-undangan

Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Republik Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.

Republik Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan.

Republik Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

2/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan yang baik bagi Perusahaan Perasuransian.

Republik Indonesia. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi.

C. Website

http://asma1981.blogspot.co.id/2012/03/kekuatan-hukum-polis-sebagai-alat-bukti.html (diakses tanggal 1 Maret 2016).

http://keuangan.kontan.co.id/news/ojk-standardisasi-polis-asuransi (diakses tanggal 25 Maret 2016).

http://makalahdanskripsi.blogspot.co.id/2008/08/pengertian-perusahaan-swasta.html (diakses tanggal 26 Februari 2016).

(3)

http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html (diakses tanggal 20 Juli 2015).

https://teddiadriansyah77.wordpress.com/2013/12/24/permohonan-pernyataan-pailit-perusahaan-asuransi-yang-telah-dicabut-izin-usahanya

(diakses tanggal 26 Februari 2016).

http://ungguh-rexso.blogspot.co.id/2012/06/perusahaan-asuransi.html (diakses tanggal 26 Februari 2016).

https://www.asura.co.id/blog/tahap-penyelesaian-sengketa-asuransi-di-luar-pengadilan (diakses tanggal 10 April 2016).

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cc0cb549f6df/pt-asuransi-harta-aman-harus-bayar-klaim-manalagi (diakses tanggal 18 April 2016).

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2035/upaya-nasabah-jika-klaim-asuransi-terlambat-atau-tidak-dibayar (diakses tanggal 1 Maret 2016).

https://www.pasarpolis.com/blogs/prioritaskan-perlindungan-konsumen-ojk-buat-database-agen-asuransi-di-indonesia (diakses tanggal 12 Maret 2016).

Istikhomah Dika Romadhona. “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas

Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permogonan Pernyataan Pailit bagi

Perusahaan Asuransi Berkaitan Dengan Perlindungan Hukum Nasabah”.

http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/download/ 489/481 (diakses tanggal 24 Maret 2016).

(4)

BAB III

KEBERADAAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MELINDUNGI PEMEGANG POLIS ASURANSI

A.Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga baru yang didirikan berdasarkan

Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

(selanjutnya disebut UU OJK). Lembaga ini didirikan untuk melakukan

pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Secara yuridis, menurut

ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, OJK adalah lembaga yang independen dan

bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan

wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang ini. Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa

OJK adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri

perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan

asuransi. Pada dasarnya UU OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian

dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan

didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Oleh karena

itu, dengan dibentuknya OJK diharapkan dapat mencapai mekanisme koordinasi

(5)

sistem keuangan. Dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas

sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih terintegrasi.

Berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, secara normatif

tujuan pendirian OJK adalah pertama, meningkatkan dan memelihara

kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan

perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman

publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan

konsumen jasa keuangan.51

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini perlu memperhatikan berbagai

macam aspek, diantaranya ialah:52

1. Aspek pembagian tugas

Terkait dengan regulasi, tampak jelas kaitan eratnya antara Otoritas Jasa

Keuangan dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sekaligus bank sentral.

Dengan demikian, UU OJK semestinya dibuat dengan memperhatikan

sepenuhnya pasal demi pasal di dalam UU BI. Tujuannya adalah untuk

memastikan terdapatnya pembagian bidang tugas secara jelas dan rinci

sehingga dapat lebih koordinatif dan komunikatif dalam eksekusinya,

khususnya dalam arus informasi. Dengan adanya pembagian tugas, maka

akuntabilitas dan responsibilitas kedua lembaga yang membawahi sistem

keuangan dan moneter di Indonesia dapat diukur. Pembagian tugas secara jelas

antara BI dan OJK mutlak diperlukan, mengingat keterkaitan yang sangat erat

antara sistem keuangan (kavling OJK) dengan sistem moneter dan pembayaran

51 Ryan Kiryanto,Otoritas Jasa Keuangan dan Kepentingannya, Kompas, 14 Juni 2013. 52

(6)

(kavling BI).

2. Aspek koordinasi dan sinkronisasi

Efektivitas pelaksanaan fungsi BI sebagai otoritas moneter memerlukan

dukungan sistem keuangan yang kokoh dan stabil. Sebaliknya efektivitas

pelaksanaan fungsi OJK sebagai otoritas keuangan yang sehat dan stabil juga

membutuhkan dukungan sistem pembayaran yang aman dan efisien. Kebijakan

yang mengatur sistem keuangan berdampak pada pelaksanaan kebijakan

moneter. Demikian pula sebaliknya. Mengingat bertali temalinya secara erat

antara tugas dan wewenang OJK dan BI, maka koordinasi dan komunikasi

yang sinergis di antara keduanya mutlak diperlukan. Ilustrasi di atas ingin

menggambarkan, betapa organisasi yang besar seperti BI dan OJK kelak

memerlukan koordinasi dan sinkronisasi dalam gerak langkah dan dalam

menyusun kebijakan karena implikasi yang ditimbulkan saling berpengaruh.

Bercermin di masa lalu, tak jarang kebijakan BI yang dirumuskan secara

cermat pun ternyata tak acceptable dan tidak aplicable sehingga hasilnya

kurang memuaskan karena proses penyusunannya tidak memperhitungkan

implikasi kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah lainnya.

3. Aspek pertanggungjawaban

Aturan soal pertanggungjawaban OJK harus dipikirkan sebab tanpa ada aturan

yang secara eksplisit menjelaskan kepada siapa OJK harus bertanggungjawab

dan bagaimana mekanismenya, maka kejadian serupa di masa lalu di mana

banyak pihak yang menyalahkan independensi BI telah ”kebablasan” akan

(7)

regulator.

4. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)

Sesuai dengan bidang tugasnya, OJK memerlukan sejumlah besar Sumber

Daya Manusia dengan kompetensi di bidang pengaturan dan pengawasan

keuangan. Ini mengingat banyaknya bank umum, bank syariah, Bank

Perkreditan Rakyat (BPR), lembaga asuransi, lembaga pembiayaan, modal

ventura, anjak piutang, dana pensiun, dan asuransi yang secara keseluruhan

mencapai ratusan buah, bahkan mungkin ribuan, dengan puluhan ribu kantor

layanan. Selain kompetensi, maka integritas yang tinggi juga merupakan syarat

yang harus dipenuhi. Karena bidang tugas yang digeluti selain cukup rawan

juga sensitif sehingga membutuhkan integritas SDM yang tinggi. OJK hanya

dapat berjalan dengan baik kalau sumber daya manusianya tangguh dan

memadai. Untuk menciptakan SDM yang tangguh dan memadai memerlukan

waktu yang sangat panjang.

5. Aspek teknologi informasi (TI)

Otoritas Jasa Keuangan dengan bidang tugas yang lebih luas, tentunya harus

didukung oleh kesiapan TI yang lebih baik agar lembaga ini dapat bekerja

dengan baik. Haruslah disadari, sistem pengawasan keuangan membutuhkan

dukungan perangkat atau infrastruktur TI yang tepat guna untuk memudahkan

pengiriman data dan laporan secara elektronik dari lembaga keuangan kepada

otoritas keuangan.

6. Aspek anggaran/keuangan

(8)

salah satunya diperuntukkan bagi pembayaran imbalan pengelola dan tenaga

kerjanya. Di negara-negara di mana OJK sudah beroperasi, umumnya sumber

dana diperoleh dari iuran lembaga-lembaga keuangan di bawah pengawasan

OJK, dengan catatan, sebatas untuk menutup anggaran yang telah direncanakan

oleh OJK dan tanpa keuntungan. Kebutuhan dana akan menjadi lebih besar lagi

jika OJK juga menjalankan peran sebagai lender of the last resort terhadap

bank-bank (dan mungkin juga lembaga keuangan nonbank) yang mengidap

problem likuiditas yang akut sebagaimana sudah dijalankan oleh BI tempo

dulu. Melihat kondisi obyektif industri keuangan nasional saat ini, khususnya

perbankan nasional yang tengah recovery, rasanya tidak mungkin dan tidak

tepat untuk membebankan biaya itu kepada mereka.

Aspek-aspek tersebut perlu diperhatikan sebelum Otoritas Jasa Keuangan

terbentuk. Semua itu dilakukan sebagai upaya untuk memaksimalkan fungsi,

tugas, dan wewenang OJK, menyehatkan sektor keuangan nasional dan

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.

Mengenai tujuan Otoritas Jasa Keuangan, dapat dilihat dalam ketentuan

Pasal 4 UU OJK. Selengkapnya ketentuan Pasal 4 berbunyi OJK dibentuk dengan

tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

1. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

2. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan

stabil; dan

(9)

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya

berlandaskan asas-asas sebagai berikut:

1. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan

pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan

penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

3. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan

konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

4. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat

untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang

penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak

asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam

pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode

etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam

setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas

(10)

7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada publik.

Otoritas Jasa Keuangan mempunyai wewenang di dalam menjalankan

tugas pengaturan dan pengawasan, yaitu:53

1. Terkait khusus pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan bank yang

meliputi :

a. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,

merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;

b. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk

hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;

c. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal

minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap

simpanan, dan pencadangan bank, laporan bank yang terkait dengan

kesehatan dan kinerja bank, sistem informasi debitur, pengujian kredit

(credit testing), dan standar akuntansi bank; dan

d. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:

manajemen risiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti

pencucian uang, dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan

perbankan, dan pemeriksaan bank.

(11)

http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-2. Terkait pengaturan lembaga jasa keuangan (bank dan non-bank) yang meliputi:

a. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

b. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

c. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

d. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah

tertulisterhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu;

e. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statutepada

lembaga jasa keuangan;

f. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola,

memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

g. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

3. Terkait pengawasan lembaga jasa keuangan (bank dan non-bank)

yangmeliputi:

a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa

keuangan;

b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala

Eksekutif;

c. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen,

dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, danpenunjang

kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

(12)

pihak tertentu;

e. melakukan penunjukan pengelola statuter;

f. menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa

keuangan; dan memberikan danmencabut: izin usaha, izin orang

perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar,

persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau

penetapan pembubaran dan penetapan lain.

B.Hubungan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan dengan Kegiatan Perusahaan Perasuransian

Perusahaan asuransi memberikan usaha jasa keuangan yang dengan

menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi untuk

memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi

terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti, dengan

memberikan polis asuransi sebagai jaminan. Undang-Undang tentang OJK pada

dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari

lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa

keuangan. Adapun ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan

dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga

jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan

(13)

menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral

tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha

Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait

dengan sektor jasa keuangan lainnya.54

Sebuah perusahaan perasuransian perlu mendapat izin usaha dari Otoritas

Jasa Keuangan. Peran OJK dalam pembentukan sebuah perusahaan perasuransian

sesuai dengan Pasal 8 UU Perasuransian, yaitu:

1. Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib terlebih dahulu

mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.

2. Untuk mendapatlan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dipenuhi persyaratan mengenai:

a. anggaran dasar;

b. susunan organisasi;

c. modal disetor;

d. dana Jaminan;

e. kepemilikan;

f. kelayakan dan kepatutan pemegang saham dan Pengendali;

g. kemampuan dan kepatutan direksi dan dewan komisaris, atau yang setara

dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi

atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,

dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal;

h. tenaga ahli;

(14)

i. kelayakan rencana kerja;

j. kelayakan sistem manajemen risiko;

k. produk yang akan dipasarkan;

l. perikatan dengan pihak terafiliasi apabila ada dan kebijakan pengalihan

sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha;

m. infrastruktur penyiapan dan penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa

Keuangan;

n. konfirmasi dari otoritas pengawas di negara asal pihak asing, dalam hal

terdapat penyerlaan langsung pihak asing; dan

o. hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat.

3. Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukansesuai

dengan jenis usaha yang akan dijalankan.

Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan izin usaha

perusahaan perasuransian paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan

diterima secara lengkap. Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan

izin usaha perusahaan perasuransian, maka penolakan harus dilakukan secara

tertulis dengan disertai alasannya (sesuai Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU

Perasuransian).

Perusahaan perasuransian wajib melaporkan setiap pembukaan kantor di

luar kantor pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Kantor perusahaan

perasuransian di luar kantor pusatnya yang memiliki kewenangan untuk membuat

keputusan mengenai penerimaan atau penolakan pertanggungan dan/ atau

(15)

memenuhi persyaratan yang ditetapkan OJK. Selanjutnya, perusahaan

perasuransian bertanggung jawab sepenuhnya atas setiap kantor yang dimiliki

atau dikelolanya atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan

nama perusahaan perasuransian yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut

mengenai bentuk dan tata cara pelaporan pembukaan kantor di luar kantor

pusatnya, diatur dalam Peraturan OJK (sesuai Pasal 10 UU Perasuransian).

Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka pengaturan dan

pengawasan kegiatan Usaha Perasuransian sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) UU

Perasuransian yaitu:

1. menyetujui atau menolak memberikan izin usaha perasuransian;

2. mencabut izin usaha perasuransian;

3. menyetujui atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran bagi konsultan

aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa

kepada perusahaan perasuransian;

4. membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan

publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada perusahaan

perasuransian;

5. mewajibkan perusahaan perasuransian menyampaikan laporan secara berkala;

6. melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan perasuransian dan pihak lain

yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa

kepada perusahaan perasuransian;

(16)

8. menyetujui atau mencabut persetujuan suatu pihak menjadi pengendali

perusahaan perasuransian;

9. mewajibkan suatu pihak untuk berhenti menjadi pengendali dan perusahaan

perasuransian;

10. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan

komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan

hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dewan pengawas syariah,

aktuaris perusahaan, auditor internal, dan pengendali;

11. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan

dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama,

dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan pengelola statuter;

12. memberi perintah tertulis kepada:

a. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya

perusahaan perasuransian dan disampaikan kepada OJK;

b. perusahaan perasuransian untuk mengalihkan sebagian atau seluruh

portofolio pertanggungannya kepada perusahaan asuransi, perusahaan

asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi

syariah lain;

c. perusahaan perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal

tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di

(17)

d. perusahaan perasuransian untuk memperbaiki atau menyempurnakan

sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari

pemanfaatan perusahaan perasuransian untuk kejahatan keuangan;

e. perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah untuk

menghentikan pemasaran produk asuransi tertentu; dan

f. perusahaan perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau

posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk

menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak

kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau

melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perasuransian.

13. mengenakan sanksi kepada perusahaan perasuransian, pemegang saham,

direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi,

dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha,

dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal; dan

14. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Lembaga Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan sanksi administratif

apabila dalam kegiatan usaha sebuah perusahaan asuransi melanggar ketentuan

dari Pasal-pasal yang telah ditetapkan oleh OJK. Sesuai dengan Pasal 83 peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.05/2014 tentang tata kelola perusahaan

yang baik bagi perusahaan perasuransian (selanjutnya disebut POJK No. 2 Tahun

2014), sanksi administratif dapat berupa:

(18)

2. pembatasan kegiatan usaha; dan/atau

3. pencabutan izin usaha.

Setelah mendapat izin usaha dan memiliki kantor pusatnya, perusahaan

perasuransian wajib melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam

setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi (sesuai

Pasal 4 ayat (1) POJK No. 2 Tahun 2014). Pasal 4 ayat (2) POJK No. 2 Tahun

2014 mengatur tentang pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan

paling kurang harus diwujudkan dalam:

a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris;

b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang menjalankan fungsi

pengendalian intern perusahaan perasuransian;

c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;

d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;

e. penerapan kebijakan remunerasi;

f. rencana strategis perusahaan perasuransian;

g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan perusahaan perasuransian.

Perusahaan perasuransian wajib melakukan penilaian sendiri (self

assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik secara berkala

(seusai Pasal 78 ayat (1) POJK No. 2 Tahun 2014). Selanjutnya, Pasal 79 POJK

No. 2 Tahun 2014 mengatur tentang kewajiban perusahaan perasuransian dalam

menyusun laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada setiap akhir

(19)

1. transparansi penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang paling kurang

meliputi pengungkapan seluruh aspek pelaksanaan prinsip Tata Kelola

Perusahaan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) POJK

No. 2 Tahun 2014;

2. penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan

Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 POJK No. 2 Tahun 2014;

3. rencana tindak (action plan) yang meliputi tindakan korektif (corrective

action) yang diperlukan dan waktu penyelesaian serta kendala/hambatan

penyelesaiannya, apabila masih terdapat kekurangan dalam penerapan Tata

Kelola Perusahaan yang Baik.

Otoritas Jasa Keuangan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

laporan penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang disampaikan oleh

perusahaan perasuransian (sesuai Pasal 81 POJK No. 2 Tahun 2014). Pengaturan

mengenai penerapan tata kelola perusahaan yang baik ini sebenarnya bukan hal

baru bagi perusahaan asuransi karena di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun

terakhir, lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian telah meminta

perusahaan melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas pelaksanaan tata

kelola perusahaan yang baik dan menyampaikan laporannya kepada lembaga

pembina dan pengawas usaha perasuransian.55

Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan pengendali di luar

pengendali yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi apabila perusahaan asuransi

belum menetapkan pengendalinya. Pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas

55

(20)

ruginya perusahaan asuransi. Setiap perubahan atas pengendali wajib dilaporkan

kepada OJK, dan pihak yang telah ditunjuk sebagai pengendali tidak dapat

berhenti menjadi pengendali tanpa persetujuan OJK.

Perusahaan perasuransian, wajib membentuk dana jaminan dalam bentuk

dan jumlah yang telah ditetapkan oleh OJK yang disesuaikan dengan

perkembangan usaha dan jumlahnya tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada

awal pendirian. Dana jaminan tersebut dilarang diagunkan atau dibebani oleh hak

apapun, dan hanya dapat dicairkan atau dipindahkan setelah mendapat persetujuan

OJK (sesuai Pasal 20 UU Perasuransian).

Pasal 22 UU Perasuransian mengatur tentang kewajiban perusahaan

perasuransian mengenai penyampaian laporan, yaitu:

1. Perusahaan perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi, data,

dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.

2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan

melalui sistem data elektronik.

3. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau

perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan posisi keuangan, kinerja

keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan perusahaan dalam surat kabar

harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan media elektronik.

4. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau

perusahaan reasuransi syariah wajib menyediakan informasi mengenai posisi

(21)

berkepentingan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

5. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan

perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan laporan keuangan yang

telah diaudit paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian

laporan keuangan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan.

6. Laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dibuka oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak

lain, kecuali kepada:

a. polisi dan jaksa untuk kepentingan penyidikan;

b. hakim untuk kepentingan peradilan;

c. pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;

d. bank indonesia untuk pelaksanaan tugasnya; atau

e. pihak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

C.Peran Otoritas Jasa Keuangan sebagai Lembaga Pengawas dalam Melindungi Pemegang Polis Asuransi

Pentingnya peranan usaha perasuransian dalam perekonomian nasional

membuat pemerintah juga ikut mempunyai andil untuk senantiasa menjamin

usaha perasuransian yang berkelanjutan demi melindungi hak-hak setiap

(22)

baik dan mendetail sebagai landasan dari kegiatan usaha perasuransian di

Indonesia, meliputi:56

1. persyaratan bagi direksi dan komisaris untuk dinilai kemampuan dan

kepatutannya;

2. persyaratan bagi perusahaan asuransi untuk memperkerjakan secara tetap

tenaga ahli yang berkualifikasi sesuai bidang asuransi yang memberikan

petunjuk perusahaan dikelola secara profesional;

3. pengaturan mengenai batas tingkat solvabilitas minimum perusahaan;

4. kewajiban perusahaan asuransi untuk diaudit laporan keuangannya oleh

akuntan publik;

5. kewajiban untuk memiliki dukungan reasuransi; dan

6. ketentuan dasar dalam penyusunan polis.

Perlindungan hukum terhadap nasabah perusahaan asuransi pada

dasarnya sudah ada sejak diterbitkannya polis asuransi melalui Keputusan Menteri

Keuangan RI Nomor. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Perusahaan

Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Selain itu untuk lebih menjamin hak dan

kewajiban para pihak agar dapat terlaksana dengan baik pemerintah juga

mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992

tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pasal 23 ayat (1) disebutkan

bahwa: Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang melakukan

tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau

56Istikhomah Dika Romadhona, “Kajian Yuridis Terhadap Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengajuan Permogonan Pernyataan Pailit bagi Perusahaan Asuransi Berkaitan

(23)

tidak melakukan tindakan, yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan

kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.

Otoritas Jasa Keuangan mengatur tentang perlindungan konsumen, dalam

hal ini pemegang polis. Menurut Peraturan OJK Pasal 2 Nomor 1/POJK.07/2013

tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut

POJK No. 1 Tahun 2013) menerapkan prinsip:

a. transparansi;

b. perlakuan yang adil;

c. keandalan;

d. kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen; dan

e. penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara

sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.

Lembaga Otoritas Jasa Keuangan memiliki peran penting dalam

melindungi konsumen apabila pada suatu perjanjian asuransi terdapat hal-hal yang

dapat merugikan konsumen, yang dalam hal ini pemegang polis dari sebuah

perjanjian asuransi. Terkait dengan perlindungan konsumen maka ada tiga pasal

dalam UU OJK yang menegaskan tugas OJK dalam melindungi nasabah lembaga

jasa keuangan, yaitu Pasal 28 (tindakan pencegahan kerugian konsumen dan

masyarakat), Pasal 30 (pembelaan hukum), dan Pasal 29 (pelayanan pengaduan

konsumen).

Mengenai pencegahan kerugian masyarakat,Pasal 28 UU OJK

mengungkapkan bahwa OJK memiliki kewenangan sebagai berikut Pertama,

(24)

jasa keuangan, layanan, dan produknya (preventif). Kedua, meminta lembaga jasa

keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi

merugikan masyarakat. Ketiga, tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Pelayanan pengaduan konsumen melalui lembaga Otoritas Jasa

Keuangan diatur dalam Pasal 29 UU OJK, yang meliputi:

1. menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen

yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan;

2. membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di

lembaga jasa keuangan; dan

3. memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku

di lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di

sektor jasa keuangan.

Pembelaan hukum selanjutnya diatur dalam Pasal 30 UU OJK yang

mencakup tentang:

1. untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan

pembelaan hukum, yang meliputi:

a. memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa

keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan

lembaga jasa keuangan dimaksud;

b. mengajukan gugatan:

1) untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan

(25)

penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di

bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau

2) untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan

kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai

akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor

jasa keuangan.

2. ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya

digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Otoritas Jasa Keuangan memiliki peraturan tentang produk asuransi dan

pemasaran produk asuransi di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi

(Selanjutnya diesebut POJK No. 23 Tahun 2015)yang memperbaharui

aturan-aturan sebelumnya. Ada beberapa poin penting dalam POJK tersebut. Pertama,

soal standardisasi isi polis asuransi yang diterbitkan perusahaan asuransi jiwa dan

asuransi umum. Polis asuransi semisal harus memuat pemberlakuan

pertanggungan, uraian manfaat dan cara pembayaran premi. Tidak ketinggalan,

tenggang waktu pembayaran premi dan pencantuman kurs yang digunakan bila

polis asuransi memakai mata uang asing, wajib dimuat di dalam polis. Isi polis

juga wajib mencantumkan syarat dan penyebab penghentian pertanggungan

asuransi, baik oleh perusahaan maupun pemegang polis. Tata cara pengajuan

klaim termasuk bukti pendukung juga diwajibkan tertulis di polis asuransi. Kedua,

perusahaan asuransi juga wajib menulis polis asuransi yang dapat dibaca dan

(26)

boleh mengandung kata, frasa atau kalimat yang menimbulkan penafsiran berbeda

dan mempersulit pemegang polis mengurus haknya. Ketiga, OJK juga

mewajibkan perusahaan asuransi mengevaluasi kinerja produk. Pemantauan atas

kinerja setiap produk dapat dilakukan lewat evaluasi produk, profit serta efek dari

dampak produk terhadap modal.57 Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan

pihak tertentu untuk dan atas nama OJK melaksanakan sebagian dari fungsi

pengaturan dan pengawasan pada sebuah perusahaan asuransi.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK No. 1

Tahun 2013) memuat hak dan kewajiban dari pelaku usaha, yang dalam hal ini

perusahaan asuransi dalam menjalankan kegiatan usahanya. Pelaku usaha jasa

keuangan berhak untuk memastikan adanya itikad baik konsumen dan

mendapatkan informasi dan/atau dokumen mengenai konsumen yang akurat,

jujur, jelas, dan tidak menyesatkan (sesuai Pasal 3 POJK No. 1 Tahun 2013).

Beberapa kewajiban utama pelaku usaha jasa keuangan yang diatur

dalam POJK No. 1 Tahun 2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa

keuangan tersebut:

1. pelaku usaha wajib menyampaikan informasi yang terkini dan mudah diakses

kepada Konsumen tentang produk dan/atau layanan.(sesuai dengan Pasal 5

POJK No. 1 Tahun 2013);

(27)

2.pelaku usaha jasa keuangan wajib menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat

yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh

Konsumen dalam setiap dokumen yang:

a. memuat hak dan kewajiban Konsumen;

b. dapat digunakan Konsumen untuk mengambil keputusan; dan

c. memuat persyaratan dan dapat mengikat konsumen secara hukum. (sesuai

Pasal 7 POJK No. 1 Tahun 2013)

3. pelaku usaha jasa keuangan wajib memberi ringkasan informasi yang paling

sedikit memuat tentang manfaat, risiko, biaya produk dan/atau layanan, dan

syarat ketentuan (sesuai Pasal 8 POJK No. 1 Tahun 2013).

4. pelaku usaha jasa keuangan juga wajib menginformasikan kepada konsumen

setiap perubahan manfaat, biaya, risiko, syarat, dan ketentuan yang tercantum

dalam dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan/atau layanan pelaku

usaha (Pasal 12 POJK No. 1 Tahun 2013).

5. pelaku usaha jasa keuangan wajib memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan

dan kemampuan konsumen dengan produk dan/atau layanan ditawarkan

kepada konsumen (Pasal 16 POJK No. 1 Tahun 2013).

6. pelaku usaha jasa keuangan dilarang menggunakan strategi pemasaran produk

dan/atau layanan yang merugikan konsumen dengan memanfaatkan kondisi

konsumen yang tidak memiliki pilihan lain dalam mengambil keputusan (Pasal

17 POJK No. 1 Tahun 2013).

7. pelaku usaha jasa keuangan wajib memberikan tanda bukti kepemilikan produk

(28)

dengan perjanjian dengan konsumen (sesuai Pasal 26 POJK No. 1 Tahun

2013).

8. pelaku usaha jasa keuangan wajib melaporkan secara berkala adanya

pengaduan konsumen dan tindak lanjut pelayanan dan penyelesaian pengaduan

konsumen dimaksud kepada OJK, dalam hal ini kepala eksekutif yang

melakukan pengawasan atas kegiatan pelaku usaha jasa keuangan (sesuai Pasal

34 POJK No. 1 Tahun 2013).

9. setelah menerima pengaduan konsumen, pelaku usaha jasa keuangan wajib

melakukan:

a. pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif;

b. melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan

c. menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi

(redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan

konsumen benar (Pasal 38 POJK No. 1 Tahun 2013).

Konsumen dapat menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa

antara pelaku usaha jasa keuangan dengan konsumen kepada Otoritas Jasa

Keuangan. pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan konsumen OJK dilakukan

terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut:58

1. konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh:

(29)

a. pelaku usaha jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal, dana pensiun,

asuransi jiwa, pembiayaan, perusahaan gadai, atau penjaminan, paling

banyak sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

b. pelaku usaha jasa keuangan di bidang asuransi umum paling banyak sebesar

Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);

2. konsumen mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen

pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;

3. pelaku usaha jasa keuangan telah melakukan upaya penyelesaian pengaduan

namun konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah

melewati batas waktu sebagaimana ditetapkan dalam peraturan otoritas jasa

keuangan ini;

4. pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam proses atau

pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan, atau lembaga mediasi

lainnya;

5. pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;

6. pengaduan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh otoritas jasa keuangan;

dan

7. pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh) hari kerja

sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang disampaikan pelaku

usaha jasa keuangan kepada konsumen.

Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang dilaksanakan oleh

(30)

usaha jasa keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam

(31)

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG POLIS ASURANSI SETELAH BERLAKU UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011

TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

A.Kedudukan Pemegang Polis Asuransi sebagai Konsumen Sebelum Berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu

dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti sangat penting karena

berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak

hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai

hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan.

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan

suatu akta yang disebut polis (Pasal 255 KUHD).

Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa

konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsur-unsur konsumen

dalam undang-undang ini, yaitu:59

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang individual yang lazim

disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon).

2. Pemakai

(32)

Kata pemakai dalam Penjelasan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen

menekankan pada konsumen adalah konsumen akhir. Pemakai yang dimaksud

tidak selalu harus memberikan prestasinyadengan cara membayar uang untuk

memperoleh barang dan/atau jasa itu. Jadi yang paling penting terjadinya

transaksi konsumen berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan

kenikmatan dalam menggunakannya.

3. Barang dan/atau jasa

Pengertian barang menurut Pasal 1 Angka 4 UU Perlindungan Konsumen

adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang

dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

konsumen. Pengertian jasa dalam UU Perlindungan Konsumen adalah setiap

layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi

masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia

di pasar. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 9 Ayat 1

Huruf e UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam perdagangan yang

semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh

masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaanpengembang (developer)

perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dulu sebelum

bangunannya jadi.

(33)

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang

lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu

mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak

sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa

itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan berarti menunjukkan

konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa akhir bukan pemakai antara.

Berdasarkan penjelasan unsur-unsur tersebut di atas, seorang pemegang

polis termasuk dalam golongan konsumen. Karena Unsur-unsur konsumen

tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu memberikan prestasinya dengan cara

membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain,

dasar hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha tidak harus

kontraktual (the privity of contract). Hubungan konsumen dengan pelaku usaha

tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual beli saja, melainkan

lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen. Karena seseorang

tersebut tidak hanya sekedar sebagai pembeli, walaupun tidaksebagai pembeli

atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dari kontrak tersebut,

seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim atas kerugian yang

diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa konsumen tidak

sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang yang mengkonsumsi

(34)

Kreditur adalah konsumen yang menempatkan dananya dan/atau

memanfaatkan pelayanan yang tersedia, tetapi tidak jarang juga disebut sebagai

investor atau pemodal. Memanfaatkan biasanya ditujukan untuk pemanfaatan

produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa asuransi, jasa

perbankan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa kesehatan, dan lain-lain).

Pihak-pihak yang dapat menduduki posisi bukan hanya sebagai Pihak-pihak yang

menempatkan dananya tetapi juga pihak yang memanfaatkan pelayanan yang

tersedia, misalnya nasabah pada perbankan dan pemegang polis pada

perasuransian.

Pengertian Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana yang terdapat dalam

Pasal 1 Angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor

Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,

dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya

sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Angka 10 UU OJK adalah pergadaian,

lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan

pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan

pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara

program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud

dalam peraturan perundangundangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga

pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan

(35)

lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan

peundang-undangan.60

Industri jasa yang paling banyak diatur lewat regulasi pemerintah adalah

industri jasa yang bergerak di bidang sektor jasa keuangan yang menghimpun

dana dari masyarakat, seperti pada perbankan dan asuransi. Salah satu yang

semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kemakmuran rakyat adalah

perkembangan industri asuransi. Demikian pula perlindungan hukum terhadap

pelaku dan pengguna asuransi tersebut. Seiring berkembangnya waktu, hukum

yang pengatur pelaksanaan kegiatan asuransi juga semakin berkembang.

Pengaturan tentang pemegang polis terdapat pula pada Undang-Undang

No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dimana Pasal 20 ayat (2) UU

Usaha Perasuransian mengatur tentang hak pemegang polis yang mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam

kewajiban negara, sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Sedangkan perlindungan tersendiri terhadap pemegang polis dalam kepailitan

perusahaan asuransi tidak diatur di dalam UU Usaha Perasuransian, sehingga

untuk perlindungan tertanggung lebih ditentukan oleh bagaimana isi dari

perjanjian asuransi yang telah disepakati di dalam polis asuransi.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

juga mengatur tentang hak-hak konsumen. Beberapa hak-hak konsumen yang

diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, yaitu:

(36)

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk dapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. hak untuk diperlakukan atau dilakukan secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan pelaku usaha dalam hal ini perusahaan asuransi juga memiliki

hak-haknya. Beberapa hak-hak pelaku usaha yang diatur di dalam Pasal 6 UU

Perlindungan Konsumen ini, yaitu:

1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

(37)

2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad baik;

3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen;

4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Konsumen dapat menerima hak-haknya apabila telah memenuhi

kewajiban-kewajiban yang telah disepakati di dalam polis. Pengaturan mengenai

kewajiban- kewajiban juga diatur di dalam UU Perlindungan Konsumen. Adapun

kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah :

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

Selanjutnya kewajiban-kewajiban pelaku usahayang diatur dalam Pasal 7

UU Perlindungan Konsumen adalah:

(38)

2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan

dan pemeliharaan;

3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau

jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Perusahaan asuransi dapat dikenakan sanksi pidana apabila di dalam

menjalankan usahanya terbukti melakukan pelanggaran terhadap

Undang-Undang. Sanksi pidana yang dapat dikenakan pada kejahatan perasuransian diatur

dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang

UsahaPerasuransian sebagai berikut:

1. Terhadap pelaku utama

Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa

(39)

mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan

Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan

Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta Rupiah).

2. Terhadap pelaku pembantu

Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal

kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang

diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang-barang tersebut adalah

kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau

Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah).

3. Terhadap pemalsu dokumen

Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas

dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau

Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan

denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).

B.Perlindungan Hukum terhadap Pemegang Polis Asuransi setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Konsumen pada sektor jasa keuangan sebagaimana yang telah disebutkan

dalam UU OJK meliputi nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal,

pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun serta

(40)

adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan

pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada

Perbankan, pemodaldi Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan

peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor

jasa keuangan.61

Perlindungan terhadap pemegang polis hanya berlaku terhadap setiap

pemegang polis yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

Otoritas Jasa Keuangan berperan dalam mengawasi proses berjalannya usaha

perasuransian melalui Undang-Undang OJK maupun Peraturan OJK (POJK).

Memiliki fungsi sebagai perlindungan hukum bagi pemegang polis.

Polis Asuransi harus memuat ketentuan paling sedikit mengenai:62

1. saat berlakunya pertanggungan;

2. uraian manfaat yang diperjanjikan;

3. cara pembayaran premi atau kontribusi;

4. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi atau kontribusi;

5. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila

pembayaran premi atau kontribusi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang

rupiah;

6. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi atau

kontribusi;

61 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 Angka 15.

(41)

7. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi atau

kontribusi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;

8. periode pada saat perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak

asuransi (incontestable period) pada produk asuransi jangka panjang;

9. tabel nilai tunai, bagi produk asuransi yang dipasarkan oleh perusahaan

asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai;

10. perhitungan dividen polis asuransi atau yang sejenis, bagi produk asuransi

yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi jiwa yang menjanjikan dividen

polis asuransi atau yang sejenis;

11. klausula penghentian pertanggungan, baik dari perusahaan maupun dari

pemegang polis, tertanggung, atau peserta, termasuk syarat dan penyebabnya;

12. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang relevan

dan diperlukan dalam pengajuan klaim;

13. tata cara penyelesaian dan pembayaran klaim;

14. klausula penyelesaian perselisihan yang antara lain memuat mekanisme

penyelesaian di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan dan pemilihan

tempat kedudukan penyelesaian perselisihan; dan

15. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat,

(42)

Ketentuan lebih lanjut perlindungan konsumen sebagai pemegang polis

juga diatur dalam POJK No. 23 Tahun 2015. Dalam polis asuransi terdapat

perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai:63

a. pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan polis

asuransi yang bersangkutan; dan/atau

b. pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban perusahaan. Bagian

perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak dengan huruf tebal atau miring

sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan

penyebab risiko atau adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan

kewajiban perusahaan.

Setiap polis asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum

Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Dan apabila diperlukan, Polis

Asuransi dapat diterbitkan dalam bahasa asing atau bahasa daerah berdampingan

dengan bahasa Indonesia (sesuai Pasal 20 POJK No. 23 Tahun 2015). Pasal 21

POJK No. 23 Tahun 2015 menerangkan bahwa polis asuransi diterbitkan dalam

bentuk hardcopy atau digital/elektronik. Dalam hal polis asuransi diterbitkan

dalam bentuk digital/elektronik, perusahaan harus memperoleh persetujuan

pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Setiap polis standar asuransi yang

dibuat oleh asosiasi industri asuransi, harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri

asuransi kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan.

Perusahaan perasuransian di dalam menjalankan pemasaran produk

asuransi wajib menerbitkan polis asuransi induk yang mencantumkan nama

(43)

tertanggung atau peserta asuransi dan masa pertanggungan dari masing-masing

tertanggung atau peserta asuransi, dan menerbitkan bukti kepesertaan bagi

masing-masing tertanggung/peserta asuransi (sesuai Pasal 22 POJK No. 23 Tahun

2015). Setiap polis standar asuransi yang dibuat oleh asosiasi industri asuransi

harus dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK untuk

memperoleh surat persetujuan.

Dalam setiap penutupan asuransi, polis asuransi harus sesuai spesimen

polis asuransi yang dilaporkan oleh perusahaan atau polis standar asuransi yang

dilaporkan oleh ketua asosiasi industri asuransi kepada OJK. OJK juga dapat

meminta perusahaan atau ketua asosiasi industri asuransi untuk mengubah

ketentuan Polis Asuransi atau polis standar asuransi dimaksud sesuai dengan

rekomendasi OJK apabila dalam ketentuan polis asuransi atau polis standar

asuransi terdapat hal-hal yang dapat merugikan pemegang polis, tertanggung, atau

peserta, atau perusahaan (sesuai Pasal 25 POJK No. 23 Tahun 2015).

Perusahaan asuransi memiliki beberapa kewajiban yang diatur dalam UU

Perasuransian maupun di dalam Peraturan OJK. Beberapa kewajiban sebuah

perusahaan asuransi yang sesuai dengan Undang-Undang Perasuransian dan

POJK No. 23 Tahun 2015, antara lain sebagai berikut:

1. Perusahaan Asuransi wajib membentuk Dana Jaminan dalam bentuk dan

jumlah yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 20 ayat (1)

UU Perasuransian), dan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(44)

tidak kurang dari yang dipersyaratkan pada awal pendirian perusahaan

asuransi.

2. Berdasarkan Pasal 20 UU Perasuransian dijelaskan bahwa dana jaminan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang diagunkan atau dibebani

dengan hak apapun, dan hanya dapat dipindahkan dan dicairkan setelah

mendapat persetujuan OJK (Pasal 20 ayat (3) dan (4) UU Perasuransian).

3. Mengenai produk asuransi, setiap produk asuransi baru yang akan dipasarkan

wajib dilaporkan kepada OJK untuk memperoleh surat persetujuan atau surat

pencatatan (Pasal 28 ayat (1) POJK No. 23 Tahun 2015).Kriteria Produk

Asuransi baru sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (1) POJK No. 23

Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

a. produk asuransi yang belum pernah dipasarkan oleh perusahaan yang

bersangkutan; atau

b. produk asuransi tersebut merupakan perubahan atas produk asuransi yang

sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi:

1) risiko yang ditanggung termasuk pengecualian atau pembatasan

penyebab risiko yang ditanggung;

2) rumusan premi atau kontribusi;

3) perubahan kategori risiko;

4) asumsi yang terkait dengan pembentukan rumusan premi atau kontribusi;

(45)

c. Perusahaan wajib memiliki rencana pengembangan dan pemasaran produk

asuransi yang ditetapkan oleh direksi atau yang setara. Ketentuan mengenai

bentuk, susunan, dan tata cara penyusunan rencana pengembangan dan

pemasaran produk asuransi diatur lebih lanjut dengan surat edaran OJK

mengenai rencana korporasi dan rencana bisnis perusahaan asuransi,

perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan

reasuransi syariah (Pasal 55 ayat (1) dan (3) POJK No. 23 Tahun 2015).

Perusahaan asuransi wajib menyampaikan informasi yang akurat, jelas,

jujur, dan tidak menyesatkan mengenai produk asuransi kepada calon pemegang

polis, tertanggung, atau peserta sebelum calon pemegang polis, tertanggung, atau

peserta memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi dengan Perusahaan.

Perusahaan asuransi dilarang mencantumkan suatu ketentuan di dalam polis

asuransi yang dapat ditafsirkan bahwa pemegang polis, tertanggung, atau peserta

tidak dapat melakukan upaya hukum sehingga pemegang polis, tertanggung, atau

peserta harus menerima penolakan pembayaran klaim dan/atau sebagai

pembatasan upaya hukum bagi para pihak dalam hal terjadi perselisihan mengenai

ketentuan polis asuransi (sesuai Pasal 17 POJK No. 23 Tahun 2015).

OJK dapat memerintahkan perusahaan untuk menghentikan pemasaran

produk asuransi, dalam hal produk asuransi yang dipasarkan berbeda dengan

produk asuransi yang telah memperoleh surat persetujuan atau surat pencatatan

dan produk yang dipasarkan tidak lagi memenuhi ketentuan peraturan

perundang-undangan (sesuai Pasal 57 POJK No. 23 Tahun 2015). Perusahaan wajib

(46)

10 (sepuluh) hari kerja sejak penghentian pemasaran produk asuransi tersebut

(Pasal 58 ayat (1) POJK No. 23 Tahun 2015). Pelaporan penghentian pemasaran

produk asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus disampaikan oleh

direksi perusahaan atau yang setara dilengkapi dengan:

1. penjelasan mengenai alasan penghentian pemasaran produk asuransi; dan

2. data polis asuransi yang masih aktif.

Pelanggaran yang dilakukan perusahaan asuransi terhadap pasal-pasal

POJK diatas dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administratif berupa peringatan

tertulis, denda, kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk menjalani penilaian

kemampuan dan kepatutan ulang, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan

izin usaha. Besaran sanksi denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif berupa denda

yang berlaku untuk Perusahaan (sesuai dalam Pasal 60 POJK No. 23 Tahun

2015).

Sengketa dalam perjanjian asuransi terjadi karena perselisihan antara

perusahaan asuransi dan pemegang polis mengenai pelaksanaan dari apa yang

sudah disepakati dalam perjanjian asuransi. Masalah yang sering muncul adalah

sulitnya melakukan klaim atas polis yang dipunyai tertanggung. Misalnya nama

yang tertera dalam kartu KTP tidak sama dengan nama yang terdaftar pada saat

membuat polis asuransi, sehingga pada saat yang dibutuhkan, pemegang polis

sulit untuk mengajukan klaim. Keterlambatan pembayaran klaim juga sering

(47)

Ketentuan dalam polis asuransi yang mengatur mengenai penyelesaian

perselisihan harus memuat penyelesaian sengketa yaitu di luar pengadilan dan

melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan harus memberikan

pilihan alternatif penyelesaian sengketa yaitu melalui lembaga alternatif

penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa

keuangan. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak boleh

membatasi pemilihan pengadilan hanya pada pengadilan negeri di tempat

kedudukan Perusahaan (sesuai Pasal 18 POJK No. 23 Tahun 2015).

C.Upaya Hukum Pemegang Polis Asuransi atas Pelanggaran yang Dilakukan oleh Perusahaan Asuransi

Asuransi bukan lagi suatu hal yang dianggap istimewa dewasa ini,

namun masih banyak juga dari masyarakat yang belum mengerti atau memahami

informasi terkait asuransi dan semua produk-produk yang dijualnya. Bahkan hal

tersebut semakin diperparah dengan banyaknya perusahaan-perusahaan asuransi

dan beserta agen-agen nakal yang tidak menjelaskan dengan detail tentang produk

yang mereka jual dan berusaha untuk mendulang keuntungan pribadi saja. Untuk

menanggulangi hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merencanakan untuk

menyusun database para agen asuransi individual untuk memberikan dan

meningkatkan sisi perlindungan terhadap calon konsumen dan para pemegang

polis. OJK bekerja sama dengan Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi

(48)

oleh setiap perusahaan asuransi yang ada di Indonesia. Dari data-data yang sudah

dikirimkan tersebut, maka regulator dapat mengatur dan mengambil tindakan

tegas apabila terjadi masalah dan muncul kejanggalan.64

Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam

undang-undang mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada

tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan

perjanjian.Undang-Undang menentukan bahwa polis dibuat dan ditandatangani

oleh tiap-tiap penanggung (sesuai dengan Pasal 256 ayat (3) KUHD). Bagi

tertanggung, polis itu mempunyai nilai yang sangat menentukan bagi pembuktian

haknya,meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, tetapi poli

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan kecepatan udara itulah yang menyebabkan pesawat dapat terbang, karena tekanan udara di sisi atas pesawat lebih rendah daripada tekanan udara di sisi

1).Responsibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. perawat yang selalu bertanggung jawab dalam

meneruskan bentuk lama, Ukiran masih sangat kurang, bila ada ukiran hanya ukiran tempel yang dibeli di pasar, Belum ada perajin yang terampil mengukir, tidak ada perajin

Hasil wawancara dari Food Frequency Questionnaire (FFQ) dalam penelitian menemukan bahwa subjek dengan asupan karbohidrat sederhana atau gula yang tinggi terutama

Menurut Symonds (dalam Dowling, 1989), perempuan seringkali menekan inisiatif dan membuang aspirasinya. Hal ini terkait pula dengan perasaan tidak aman yang sangat mendalam

Biasanya aktifitas pengkaderan yang dilakukan oleh organisasi atau lembaga pendidikan cenderung menggunakan poa kurikulum pendidikan konvensional kurikulum utama yaitu

Ketua atau anggota pengusul yang sedang dan atau akan mendapatkan pendanaan pengabdian dari Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM)

Informan juga menjelaskan terlepas ada tidaknya unsur politis dalam kebijakan yang melahirkan sistem daftar tunggu, kebijakan ini harus dianggap sebagai sebuah