• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Medan"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kegiatan Kerja

Alat yang digunakan

Centrifuge

Butir kaca (Glass beads)

Pengerjaan sampel

(2)

Lampiran 2. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Pertama pada Rumah Potong Hewan Medan

Kode Sampel

Jumlah telur cacing parasit Pada Rumah Potong Hewan Medan

Ascaris sp. Fasciola sp. Paramphistomum sp.

(3)

Lampiran 3. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Kedua Pada Rumah Potong Hewan Medan

Kode Sampel

Jumlah telur cacing parasit Pada Rumah Potong Hewan Medan

Ascaris sp. Fasciola sp. Paramphistomum sp.

(4)

Lampiran 4. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Pada Ulangan Ketiga Pada Rumah Potong Hewan Medan

Kode Sampel

Jumlah telur cacing parasit Pada Rumah Potong Hewan Medan

Ascaris sp. Fasciola sp. Paramphistomum sp.

(5)

Lampiran 5. Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Pertama Pada Rumah Potong Hewan Siantar

Kode sampel

Jumlah Telur Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar

(6)

Lampiran 6. Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Kedua Pada Rumah Potong Hewan Siantar

Kode sampel

Jumlah Telur Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar

(7)

Lampiran 7. Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Ketiga Pada Rumah Potong Hewan Siantar

Kode sampel

Jumlah Telur Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar

(8)

Lampiran 8. Bagan Kerja Pemeriksaan Feses Sapi

Feses sapi

Diamati dibawah mikroskop dan di identifikasi dengan buku identifikasi

Hasil

Diletakkan di atas objek glass Endapan

Ditinggalkan kurang lebih 2 ml endapan pada tabung Dibuangsupernatan dengan aspirator

Didiamkan 5 menit sampai terjadi sedimentasi Diputar kembali dengan rotator sebanyak 5 kali

Ditambahkan kembali air kran sebanyak 50 ml ke dalam tabung centrifuge B Dibuang supernatan dengan aspirator

Diputar dengan rotator sebanyak 5 putaran

Ditunggu selama 5 menit

Dimasukkan sisa sampel pada tabung pertama ke tabung centrifuge B sampai batas leher tabung

Dimasukkan sampel ke dalam tabung yang telah diisi dengan butir kacamelalui saringan wire mesh

Dikocok sampai homogen Ditambahkan 10 ml air kran

Diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung centrifuge A

Tabung centrifuge B Feses dalam plastik

Diberi label pada masing-masing plastik sampel Dimasukkan ke dalam plastik

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Arum, S.S. 2009. Pengolahan Limbah Ternak di UPTD Aneka Usaha Ternak Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sragen. [Skripsi]. Surakarta: Program Diploma III Agribisnis Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.

Astiti, L.S., Muzani, A dan Panjaitan, T.S. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pada Ternak Sapi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara Barat.

Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar. 2007. Letak Geografis Kota Siantar. Pematangsiantar.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2014. Geografis, Iklim, Curah Hujan dan Kelembaban Kota Medan. Medan.

Belding, D.L. 1958. Basic Clinical Parasitology. Appleton Century Crofts. New York.

Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Kesehatan Masyarakat Veteriner Yogyakarta. [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada.

Brown, H.W. 1983. Basic Clinical Parasitology. Gramedia. Jakarta.

Dewi, A.P., Eni, F dan Edi, S. 2012. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.) Pada Sapi Potong di Kabupaten Kebumen Tahun 2012. Buletin

Laboratorium Veteriner Yogyakarta. Vol 12: 47-51.

Didy, A.D. 2009. Manajemen Penggemukan Sapi Potong di CV Sumber

Baja Perkasa Kabupaten Klaten. [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Darmin, S. 2014. Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone. [Skripsi]. Makassar: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin.

Darmono. 1983. Parasit Cacing Paramphistomum sp. Pada Ternak Ruminansia dan Akibat Infeksinya. Balai Penyakit Hewan Bogor.

Wartazoa. 1(2): 17-18.

(10)

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Estuningsih, S.E. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis Merupakan Penyakit Zoonosis Parasitier. Wartazoa. 19(2): 84-86

Hambal, M., Sayuti, A dan Dermawan, A. 2013. Tingkat Kerentanan

Fasciola gigantica pada Sapi dan Kerbau di Kecamatan Lhoong

Kabupaten Aceh Besar. Jurnal medica veterineria. 7(1): 49-51.

Harmindah, D.H. 2011. Infestasi Parasit Cacing Neoascaris vitulorum Pada Ternak Sapi Pesisir di Kecamatan Kilangan Kota Padang. [Skripsi]. Padang: Fakultas Peternakan, Universitas Andalas.

Haryanti, N.W. 2009. Kualitas Pakan dan Kecukupan Nutrisi Sapi Simental di Peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Pati, Kota Semarang. [laporan praktek kerja lapangan]. Semarang: Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro.

Gandahusada, S., IIahude, H.H.D dan Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Edisi Ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Ideham, B dan Pusarawati, S. 2007. Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press. Irianto, K. 2009. Parasitogi Berbagai Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia. Penerbit Yrama Widya. Bandung.

Iskandar, T.2007. Gambaran Agen Parasit Pada Ternak Sapi Potong di Salah Satu Peternakan di Sukabumi. Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. Lokakarya nasional ketersediaan IPTEK dalam pengendalian penyakit strategis pada ternak ruminansia besar. Hlm.

122-127.

Junaidi, M., Sambodo, P dan Nurhayati, D. 2014. Prevalensi nematode pada sapi bali di kabupaten Monokwari. Jurnal Sains Veteriner. 32(2): 168-175.

Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lioyd, J., Joe, B and Stephen, L. 2007. Stomach Fluke (Paramphistomes) in Ruminants. Primefact. 452: 1-4.

Mage, C., Bourgne, C., Toullieu, J.M., Rondelaud, D and Dreyfuss. 2002.

Fasciola hepatica and Paramphistomum Daubruyi Change in

(11)

Melaku, S. and Addis, M. 2012. Prevalence and Intensity of

Paramphistomum in Ruminants Slaughtered at Debre Zeit Industrial

Abattoir Ethiopia. Glob Vet. (8)3: 315-319.

Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Kaitannya Dengan Kerugian Ekonomi Sapi Potong Yang Disembelih di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks-Kresidenan Banyumas. Agripet. 11(1): 45-47.

Nezar, M.R. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. [Skripsi]. Semarang: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.

Nofyan, E., Kamal, M dan Rosdiana I. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) di Rumah Potong Hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains. 10: 05-11.

Purwanta. Nuraeni. Hutauruk, J.D dan Setiawaty, S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan Gastrointestinal pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-12.

Pusarawati, S., Ideham, B., Kusmartisnawati. Tantular, I.S dan Basuki, S. 2007. Atlas Parasitologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Putro, P.P. 2004. Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Strategis Dalam Pengembangan Usaha Sapi Potong. Yogyakarta: Fakultas Kesehatan Hewan Universitas Gadja Mada.

Lokakarya nasional sapi potong 2014.

Raza, M.A., Murtaza, S., Bachaya, H.A dan Hussain, A. 2009. Prevalence of Paramphistomum cervi in Ruminants Slaughtered in District Muzaffar Garh. Pakistan Vet J. 29(4): 214-215.

Sayuti, L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp.) Pada Sapi Bali di Kabupaten Karang Asem. [Skripsi]. Bogor: Universitas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Suciati, R.T. 1997. Prevalensi Infestasi Ascaris Lumbricoides Pada Murid SDN 23 Pasir Sebelah Dan SDN 15 Padang Pasir Kotamadya Padang. [Skripsi]. Padang: Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas.

Sherman, G and Hillard, Y. 1966. Handbooks of Stuidies For Helminth Parasite of Ruminant. TAO of United. New York.

(12)

Siregar, S.A. 2009. Analisis Pendapatan Peternak Sapi Potong di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. [Skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Soulsby, E.J.L. 1968. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Sixth Edition of Mőnnig׳s Veterinary Henminthology and Entomology. Lea & Febiger Philadelphia. Philadelphia. Pages. 189-191.

Subronto dan Tjahajati, I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak Edisi I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sugama, N dan Suyasa, N. 2011. Keragaman Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Syafrial. Susilawati, E dan Bustami. 2007. Manajemen Pengelolaan Penggemukan Sapi Potong Jambi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jambi.

Taira, N. 1985. Siering Tecnique With The Glass Beads Layer For Detection and Quantitation of Fasciola Eggs In Cattle Feases. Java

Archive. 18(4): 27.

Tantri, N. Setyawati, T.R dan Khotimah, S. 2013. Prevalensi dan Intesitas Telur Cacing Parasit Pada Feses Sapi (Bos sp) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont. 2(2): 102-105.

Tanjung, F. 2014. Jenis dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah. [Skripsi]. Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara.

Triakoso, N. 2009. Aspek klinik dan Penularan Pada Pengendalian Penyakit Ternak. Surabaya. Balai Departemen Klinik Veteriner FKH Universitas Airlangga.

Widnyana, I.G.N.P. 2013. Prevalensi Infeksi Parasit Cacing Pada Saluran Pencernaan Sapi Bali dan Sapi Rambon di Desa Wosu, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali. Jurnal Agropet. 10(2): 40-45.

(13)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2015 hingga September 2015 di Laboratorium Parasitologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, Sumatera Utara.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarung tangan, pinset, masker, tabung centrifuge, centrifuge, timbangan, pipet tetes, object glass, butir kaca, saringan wire mess, batang pengaduk, aspirator, mikroskop, termos, plastik dan karet. Sedangkan bahan yang digunakan adalah feses sapi, air kran, dan es batu.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi. Pengambilan sampel dilakukan 1 kali pada lokasi Rumah Potong Hewan Medan dan Siantar secara acak. Feses diambil 25 feses dari 25 ekor sapi dengan tiga kali pengulangan baik di RPH Siantar dan Medan sehingga jumlah total keseluruhan sampel adalah 150 sampel, kemudian sampel dimasukkan ke dalam plastik, diikat dengan karet, diberi label S1 pada sampel feses satu dan seterusnya. Sampel dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan.

3.3.2. Pemeriksaan Sampel

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sedimentasi

Glass Beads. Sampel feses diambil 1 gram lalu dimasukkan ke dalam tabung

centrifuge A ukuran 50 ml, ditambahkan 10 ml air kran, dikocok sampai

(14)

(tabung B) yang telah diisi dengan butir kaca, sampel dimasukkan melalui saringan wire mesh, sisa sampel yang ada pada tabung A dibilas dengan air, kemudian air bilasan dimasukkan ke dalam tabung B sampai suspensi sebatas leher tabung, dibiarkan selama lima menit sampai terjadi suspensi, setelah 5 menit diletakkan tabung B ke dalam rotator dan putar lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi, setelah diputar dibuang supernatan dengan aspirator, ditambahkan lagi air sebanyak 50 ml, diaduk dan didiamkan selama 5 menit, kemudian dimasukkan kembali ke dalam rotator, diputar sebanyak lima putaran, dituang supernatan, diamkan lima menit untuk di sedimentasi, setelah lima menit dibuang supernatan dan tinggalkan kurang lebih 2 ml dari endapan, diletakkan seluruh endapan di atas slide kaca dengan menggunakan pipet tetes, kemudian diletakkan di bawah mikroskop, perlakuan yang sama dilakukan terhadap semua sampel feses pada Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan (Taira, 1985).

3.4. Analisis Data

3.4.1. Identifikasi Jenis Telur Cacing Parasit

Identifikasi jenis telur cacing parasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan dengan menggunakan buku identifikasi menurut, Soulsby (1968), setiap jenis telur cacing parasit diidentifikasi dengan pengamatan langsung pada gelas objektif yang berisi sampel secara zig-zag dimulai dari sudut kiri sampai dengan sudut kanan dan dilanjutkan ke bagian bawah dari gelas objektif.

3.4.2. Tingkat Infeksi Cacing Parasit

Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk Tabel serta dianalisis secara deskriptif. Perbandingan tingkat infeksi cacing parasit pada kedua rumah potong dapat menggunakan acuan menurut Sherman et al. (1966) pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Tingkat Infeksi Cacing Parasit

Jenis cacing Ringan Berat

Fasciola sp. 1-50 50>

Haemonchus sp. 100-2500 2500>

Nematodirus 50-100 100>

Trychostrongylus sp. 100-500 500>

(15)

3.4.3. Prevalensi

Untuk menghitung prevalensi infeksi telur cacing parasit pada Rumah Potong Hewan Medan dan Rumah Potong Hewan Siantar digunakan acuan rumus menurut Budiharta (2002), sebagai berikut:

Jumlah hewan yan terserang parasit Prevalensi =

Jumlah sampel yang diamati

(16)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang jenis dan perbandingan tingkat infeksi cacing parasit pada feses sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dengan feses sapi di Rumah Potong Hewan Medan didapatkan hasil sebagai berikut:

4.1. Jenis Cacing Parasit Pada Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan (RPH)

Siantar Dan Medan

Dari hasil analisis yang telah dilakukan secara mikroskopis, ditemukan enam jenis cacing parasit yang menginfeksi sapi di Rumah Potong Hewan Medan dan Rumah Potong Hewan Siantar, dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Jenis Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan Jenis Parasit RPH M RPH S

Bunostomum sp. dari Filum Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo

Strongylida, Family Ancylostomatidae. Jenis telur cacing yang kedua yaitu,

Fasciola sp. dari Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Ordo Digenea, Family

Fasciolidae. Jenis telur cacing yang ketiga yaitu, Haemonchus sp. dari Filum

Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Strongylida, Family Trichostrongylidae.

(17)

Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Strongylida dan Family

Trychostrongylidae, sedangkan pada Rumah Potong Hewan Medan hanya

ditemukan 3 jenis telur cacing parasit yaitu, Ascaris sp. dari Filum

Nemathelminthes, Kelas Nematoda, Ordo Ascaridida, Family Ascarididae, jenis

telur cacing yang kedua yaitu, Fasciola sp. dari Filum Platyhelminthes, Kelas

Trematoda, Ordo Digenea, Family Fasciolidae. Jenis telur cacing ketiga

Paramphistomum sp. dari Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Ordo

Digenea, Family Paramphistomatidae.

Berdasarkan data diatas dapat kita ketahui bahwa pada Rumah Potong Hewan Siantar ditemukan 3 jenis telur cacing dari kelas Nematoda, yaitu:

Bunostomum sp., Haemonchus sp. dan Trychostrongylus sp., dan dua jenis telur

cacing parasit dari kelas Trematoda, yaitu: Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. Selanjutnya pada Rumah Potong Hewan Medan ditemukan 2 jenis telur cacing dari kelas Trematoda, yaitu: Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. dan satu jenis dari kelas Nematoda yaitu telur cacing Ascaris sp.

Pada Tabel 4.1. dapat dilihat bahwa lebih banyak jumlah jenis telur cacing parasit yang menginfeksi hewan ternak sapi pada Rumah Potong Hewan Siantar, dibandingkan dengan hewan ternak sapi Rumah Potong Hewan Medan, hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena cara pemeliharaan ternak sapi yang berbeda-beda, dimana pada Rumah Potong Hewan Siantar ternak sapi dipelihara secara semi intensif dan pada Rumah Potong Hewan Medan dipelihara secara intensif. Menurut Tantri dkk., (2013), peternak yang menggunakan sistem pemeliharaan semi intensif yaitu dengan membiarkan ternak memakan rumput di lapangan terbuka akan memudahkan ternak terinfeksi oleh metaserkaria yang terdapat pada rumput.

Ascaris sp. merupakan cacing parasit dari kelas Nematoda yang berbentuk

gilig dengan warna merah muda keputihan. Ukuran cacing betina 20-35 cm, diameter 3-6 mm dan cacing jantan 15-31 cm dengan diameter 2-4 mm. cacing

Ascaris hidup pada usus dan dapat membebaskan telur dalam jumlah sangat

(18)

Suhu optimum untuk pertumbuhan telur kira-kira 25˚C dengan batas antara 21˚C-30˚C. suhu yang lebih rendah akan menghambat pertumbuhan telur cacing Ascaris. Telur akan rusak oleh sinar matahari langsung dalam 15 jam dan mati pada suhu lebih dari 40˚C. Pada tanah perkebunan, telur dapat bertahan sampai dengan tujuh tahun, walaupun hanya 10% telur yang masih hidup dari jumlah seluruh telur yang dikeluarkan. Telur dapat hidup berbulan-bulan di dalam air selokan atau tinja dan tahan terhadap desinfektan kimia (Brown, 1983).

Siklus hidup Ascaris dimulai dari keluarnya telur bersama dengan feses, yang kemudian mencemari tanah. Telur ini akan menjadi bentuk infektif dengan lingkungan yang mendukung, seperti kelembaban yang tinggi dan suhu yang optimal. Telur bentuk infektif ini akan menjadi larva dalam usus. Larva akan semakin berkembang di usus halus dan akan menjadi cacing dewasa. Pada usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa dimulai dari dari telur matang yang tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih dua bulan (Suciati, 1997).

Cacing genus Bunostomum sp. atau dikenal dengan sebutan cacing kait adalah cacing yang menyerang ternak ruminansia terutama pada sapi dan domba.

Bunostomum phelebotomum dan Bunostomum radlatum adalah jenis Bunostomum

yang ditemukan pada sapi. Cacing jantan memiliki panjang 10-18 mm, betina 24-28 mm, dibandingkan dengan Nematoda lainnya cacing Bunostomum memiliki tubuh yang lebih gemuk. Ternak sapi dengan infestasi 2000-3000 telur cacing

Bunostomum sp. akan dapat menyebabkan kematian pada ternak. Cacing

Bunostomum sp. disebut juga dengan sebutan cacing kait karena pada bagian

ujung depan (kepala) cacing membengkok keatas sehingga berbentuk seperti kait (Junaidi dkk., 2014).

Fasciola sp. termasuk Famili Fasciolidae atau disebut cacing pipih dengan

(19)

sapi perah dan yang terpenting adalah kerusakan pada hati bila terdapat satu atau lebih cacing hati (Belding, 1958)

Telur cacing Fasciola sp. keluar ke alam bebas bersama feses, bila menemukan habitat yang basah atau lembab telur akan menetas dan menjadi larva yang disebut mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan sporokista yang akan menghasilkan redia. Redia akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan tubuh siput akan menempel pada rumput dan berubah menjadi metaserkaria. Metaserkaria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru untuk memulai daur hidupnya (Djannatun, 1987).

Cacing Haemonchus atau disebut juga cacing lambung, ukuran dari cacing jantan yaitu, 10-20 mm, betina 18-30 mm. Telur cacing Haemonchus memiliki ukuran 70-85x41-48 mikron. Suhu optimum untuk pertumbuhan larva telur cacing

Haemonchus sekitar 22˚C-33˚C. Cacing ini biasa ditemukan pada abomasum sapi di daerah beriklim tropis dan lembab, selain pada sapi cacing Haemonchus juga dapat ditemukan pada ruminansia lain seperti domba dan kambing. Cacing

Haemonchus adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap cacing dapat

menghabiskan 0,049 ml darah sehingga dapat meyebabkan anemia pada hewan ternak yang terinfeksi (Djannatun, 1987).

Paramphistomum sp. atau biasa disebut juga cacing hisap merupakan salah

satu cacing dalam kelas Trematoda dari famili Paramphistomidae. Penyebaran

Paramphistomum sp. adalah daerah yang memiliki suhu udara 25-30˚C dengan

kelembaban kira-kira 85%. Cacing dewasa Paramphistomum sp. berukuran panjang sekitar 5-13 mm dan lebar 2-5 mm (Purwanta dkk., 2009).

Trychostrongylus sp. atau disebut cacing rambut dari kelas Trematoda

(20)

4.2. Gambar Telur Cacing Yang Ditemukan Pada Feses Sapi Di Rumah

Potong Hewan (RPH) Siantar Dan Medan

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner ditemukan telur cacing parasit yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2. Gambar Telur Cacing Yang Ditemukan Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan

Jenis cacing Gambar telur cacing Jenis cacing Gambar Telur Cacing

Ascaris sp. Haemonchus sp.

Paramphistomum

sp.

Bunostomum

sp.

Fasciola sp. Trychostrongylus

sp.

Keterangan: Perbesaran 10x10

Berdasarkan Tabel 4.2. dapat dilihat gambar dari masing-masing telur cacing parasit Ascaris sp., Bunostomum sp., Fasciola sp., Haemonchus sp.,

Paramphistomum sp. dan Trychostrongylus sp. yang ditemukan pada feses sapi di

Rumah Potong Hewan Siantar dan Rumah Potong hewan Medan yang memiliki bentuk, warna dan ukuran yang berbeda-beda.

Ascaris merupakan cacing besar yang biasanya bersarang dalam usus

(21)

mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur yang tidak berwarna dan kuat. Pada bagian luar terdapat lapisan albumin yang permukaaannya bergerigi (mamillation), berwarna coklat karena menyerap zat warna empedu. Bagian dalam kulit telur masih terdapat selubung vitelin yang tipis, tetapi kuat yang meningkatkan daya tahan hidup telur cacing ini sampai satu tahun, terhadap lingkungan sekitarnya. Telur yang telah dibuahi mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen. Di kedua kutub telur terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sawit.

Telur yang tidak dibuahi (unfertilized egg) karena di dalam usus penderita hanya terdapat cacing betina saja, bentuknya lebih lonjong berukuran sekitar 80x55 mikron. Pada telur yang tidak dibuahi ini tidak terdapat rongga udara. Terkadang di dalam tinja penderita ditemukan telur Ascaris yang telah hilang lapisan albuminnya sehingga sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Adanya ovum yang besar juga menunjukkan ciri khas telur cacing Ascaris (Soedarto, 2008).

Cacing kait yang termasuk dalam famili Antylostomidae pada sapi adalah

Bunostomum phelebotomum atau Bunostomum radiatum. Cacing Bunostomum

yang menyerang hewan ternak sapi ini memiliki telur yang berbentuk elips dan berukuran 79-117 x 47-70 mikron (Subronto dkk., 2001).

Fasciola sp. atau yang dikenal juga dengan cacing hati dari kelas

Trematoda merupakan cacing bersifat kosmopolit, tersebar luas di berbagai

(22)

4.3. Jumlah dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit

Tabel 4.2. Jumlah dan Tingkat Infeksi Cacing Parasit Pada Hewan Ternak Sapi di Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan

(23)

Penentuan infeksi berat dan ringan oleh infeksi cacing parasit diperoleh dari perhitungan telur tiap gram feses dengan menggunakan acuan menurut Sherman

et al., (1966) pada tabel 3.1. Perbandingan tingkat infeksi cacing parasit pada

Rumah Potong Hewan Siantar dan Rumah Potong Hewan Medan dapat dilihat pada Tabel 4.2

Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa tingkat infeksi keseluruhan sapi yang berada di Rumah Potong Hewan Medan tergolong ringan, bahkan pada beberapa ekor sapi tidak ditemukan telur cacing parasit, sedangkan sekitar sebelas ekor sapi yang berada di Rumah Potong Hewan Siantar terinfeksi berat oleh cacing parasit. Sembilan ekor sapi terinfeksi berat oleh cacing Paramphistomum sp., yaitu pada sapi dengan kode S3 ditemukan 305 butir telur, S4 ditemukan 104 butir, S5 ditemukan 163 butir, S13 ditemukan 94 butir, S14 ditemukan 120 butir, S17 ditemukan 288 butir, S18 ditemukan 290 butir, S23 ditemukan 116 butir dan sapi dengan kode S25 ditemukan telur cacing Paramphistomum sp. sebanyak 93 butir. Dua ekor sapi pada RPH Siantar juga terinfeksi berat oleh cacing Fasciola sp., yaitu pada sapi dengan kode S16 ditemukan telur cacing Fasciola sp. sebanyak 55 butir dan S20 ditemukan sebanyak 65 butir telur.

Berdasarkan jumlah tersebut dapat dilihat bahwa sapi yang berada di Rumah Potong Hewan Medan tergolong ringan dan tidak membahayakan, hal ini kemungkinan disebabkan sapi-sapi yang terdapat pada Rumah Potong Hewan Medan dirawat secara intensif, dimana pakan ternak diberikan di dalam kandang sehingga resiko hewan ternak sapi terinfeksi cacing parasit lebih kecil, karena penyebaran parasit yang paling besar adalah melalui rerumputan segar pada padang rumput yang terinfeksi larva cacing. Pemberian obat cacing yang dilakukan secara rutin pada hewan ternak sapi pada di Potong Hewan Medan juga sangat membantu mengurangi infestasi serangan cacing parasit.

(24)

4.4. Prevalensi Telur Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Medan dan

Rumah Potong Hewan Siantar

Prevalensi cacing parasit yang ditemukan pada RPH Medan dan Siantar dapat dilihat pada Tabel 4.3., dihitung berdasarkan rumus perhitungan prevalensi parasit. selanjutnya prevalensi pada Rumah Potong Hewan Siantar yaitu pada telur cacing

Paramphistomum sp. 88%, Fasciola sp. 64%, Haemonchus sp. 12%, Bunostomum

sp. 4% dan Trychostrongylus sp. 4%.

Prevalensi cacing parasit pada ternak sapi di setiap wilayah berbeda-beda. Perbedaan tingkat prevalensi dapat disebabkan oleh perbedaan geografis yang mempengaruhi keberadaan siput sebagai hospes antara dan daya tahan metaserkaria di lingkungan (Mage, 2000). Selain geografis, prevalensi cacing parasit pada ternak juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain manajemen pemeliharaan ternak, umur ternak, jenis kelamin, penggunaan anthelmintik, pendidikan dan status ekonomi peternak (Raza dkk., 2009).

(25)

Kota Medan secara geografis terletak pada 3˚30-3˚43 Lintang Utara dan 98˚35-98˚44 Bujur Timur. Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 Km2) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Suhu rata-rata Kota Medan berkisar antara 26˚C-35˚C, kelembaban 80% dan terletak 2,5-37,5 meter diatas permukaan laut (Badan Pusat Stastistik Provinsi Sumatera Utara, 2014).

Dari tabel 4.3 prevalensi paling tinggi pada Rumah Potong Hewan Siantar adalah oleh cacing parasit Paramphistomum sp. yaitu 88% dan pada Rumah Potong Hewan Medan prevalensi Paramphistomum sp yaitu, 36%. Prevalensi tertinggi kedua yaitu oleh cacing Fasciola sp. sebesar 64% pada Rumah Potong Siantar dan 24% pada Rumah Potong Medan.

Paramphistomum merupakan cacing dari kelas Trematoda dan Famili

Paramphistomidae. Penyebaran Paramphistomum sp. adalah daerah yang memiliki suhu udara 25-30˚C dengan kelembaban kira-kira 85%. Berdasarkan karakteristik cacing parasit Paramphistomum diatas kemungkinan menyebabkan tingginya prevalensi dari cacing Paramphistomum sp. pada kedua Rumah Potong Hewan, dimana Kota Pematangsiantar yang beriklim tropis dengan suhu rata-rata 21˚C-30˚C dan kelembaban udara 84% sangat cocok untuk pertumbuhan cacing parasit Paramphistomum sp.

Dalam penelitian Tanjung (2014), pada Rumah Potong Hewan Medan ditemukan beberapa jenis parasit seperti Bunostomum sp., Chabertia sp.,

Cooperia sp., Haemonchus sp. dan Paramphistomum sp. Prevalensi hewan ternak

sapi pada Rumah Potong Hewan yaitu, Paramphistomum sp. 4%, Haemonchus sp. 20% dan Bunostomum sp. 16%, sementara telur cacing Fasciola sp. tidak ditemukan pada Rumah Potong. Perbedaan prevalensi dari Rumah Potong Hewan tersebut kemungkinan disebabkan oleh waktu dilakukannya penelitian, suhu perbedaan umur, jenis kelamin, pemeliharaan dan penggunaan anthelmintik.

(26)

tersebut dapat bertahan lebih lama meskipun mengalami goncangan-goncangan suhu dan kelembaban, telur Ascaris sp. dapat hidup di luar sampai dengan 5 tahun (Purwanta dkk,. 2009).

Tingkat prevalensi cacing hati pada ternak masih menunjukkan angka-angka yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut FAO (2007), mencapai 14-28%. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit cacing hati ini selain banyaknya kematian ternak juga terjadinya penurunan mutu dan efisensi daging, penurunan produksi susu dan yang paling utama adalah kerusakan hati bila terdapat satu atau lebih cacing hati (Nezar, 2014).

Menurut Nezar (2014), berdasarkan penelitian di Zimbabwe menemukan bahwa genus yang memiliki prevalensi tinggi paling umum ditemukan dari

Nematoda gastrointestinal sapi adalah Cooperia sp. Haemonchus sp. dan

Trychostrongylus sp. ditemukan hanya pada anak sapi, sedangkan Haemonchus

sp. secara signifikan lebih banyak menginfeksi selama musim hujan dibandingkan musim kemarau.

(27)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

a. Jenis cacing parasit yang ditemukan pada feses sapi di Rumah Potong Hewan Medan berjumlah tiga jenis yaitu: Ascaris sp., Fasciola sp. dan

Paramphistomum sp., sedangkan pada Rumah Potong Hewan Siantar

ditemukan lima jenis telur cacing parasit yaitu Bunostomum sp., Fasciola sp.,

Haemonchus sp., Paramphistomum sp., dan Tricostrongylus sp.

b. Tingkat infeksi tertinggi terdapat pada Rumah Potong Hewan Siantar dengan jumlah total sapi yang terinfeksi berat berjumlah sebelas ekor sapi dan pada Rumah Potong Hewan Medan tergolong Ringan karena tidak ditemukan sapi yang terinfeksi berat.

c. Prevalensi tertinggi pada Rumah Potong Hewan Siantar antara lain,

Paramphistomum sp. (88 %), Fasciola sp. (64%), Haemonchus sp. (12%),

Bunostomum sp. (4%) dan Trichostrongylus sp. (4%), sedangkan pada Rumah

Potong Hewan Medan yaitu, Paramphistomum sp. (36%), Fasciola sp. (24%) dan Ascaris sp. (8%).

5.2. Saran

Dalam usaha pemeliharaan sapi, agar selalu memperhatikan dan meningkatkan manajemen kesehatan sapi dengan menjaga kebersihan lingkungan pemeliharaan dan pemberian pakan yang baik untuk pemeliharaan yang lebih baik dan maksimal.

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Budidaya Sapi Potong

Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan penting artinya di dalam kehidupan masyarakat. Ternak sapi dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama daging. Daging sangat besar manfaatnya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Namun penyediaan daging sapi belum mencukupi kebutuhan konsumsi yang terus mengalami peningkatan. Salah satu penyebabnya adanya laju pertumbuhan populasi sapi potong yang menurun. Laju pertumbuhan populasi sapi yang menurun ini diakibatkan oleh pengelolaan yang masih bersifat tradisional (Siregar, 2009). Selanjutnya Didy (2009), menjelaskan bahwa, usaha yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan daging sapi yang terus meningkat adalah dengan cara penggemukan sapi potong dengan menajemen yang baik sehingga, untuk masa yang akan datang Indonesia tidak perlu lagi mengimpor daging sapi dari luar negeri karena, produksi daging sapi yang telah memenuhi.

Dalam usaha penggemukan sapi potong, selain dapat memperbaiki kualitas daging, menaikkan harga jual ternak, menghindari pemotongan sapi usia produktif, juga dapat meningkatkan nilai tambah dari pupuk kandang yang dihasilkan ternak sapi. Untuk memperoleh hasil yang optimal, terdapat beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dari peternak dalam pengelolaan usaha pengembangan sapi potong, yaitu:

a. Pemilihan bibit b. Sistem penggemukan

c. Pakan dan cara pemberiannya d. Penyediaan kandang

(29)

2.2. Penyakit Pada Ternak Sapi

Penyakit pada ternak secara umum terbagi dua yaitu, penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri dan parasit. Sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral, keracunan dan pakan (Triakoso, 2009).

Parasit adalah yang paling sering menyebabkan penyakit pada ternak. Parasit pada ternak dapat berupa parasit hewan seperti cacing dan kutu, selain parasit hewan, jamur dan bakteri juga sering menginfeksi sapi (Nofyan dkk. 2010). Penyakit yang disebabkan oleh parasit umumnya menyerang ternak muda yang dipelihara dengan tata laksana yang kurang baik seperti tidak dikandangkan, kondisi kandang yang kurang baik, tidak pernah dimandikan, konsumsi hijauan yang masih berembun serta tercemar vektor pembawa cacing dan selalu digembalakan pada lahan yang tergenang air (Widnyana, 2013). Selanjutnya Arum (2009) menyebutkan selain cacing parasit, lalat dan nyamuk juga sering mengganggu ternak sapi potong yang dapat menyebabkan penyakit koreng. Lalat dan nyamuk muncul apabila terjadi pergantian musim secara berkepanjangan.

(30)

digitatus dan Coccidia. Penyakit akibat parasit dapat menyebabkan kematian

hospes apabila jumlah investasi yang banyak.

Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing fasciola.

Penyakit Fasciolosis mengakibatkan gangguan metabolisme lemak, protein dan karbohidrat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan. Fasciolosis juga menjadi zoonosis penting di berbagai Negara di dunia. Penularan Fasciolosis dapat terjadi bila manusia terkontaminasi metaserkaria melalui konsumsi tanaman air yang tercemar metaserkaria, infeksi juga dapat terjadi akibat meminum air yang mengandung metaserkaria dan mengonsumsi makanan serta peralatan dapur yang dicuci dengan air yang mengandung metaserkaria (Hambal dkk. 2013).

Taeniasis adalah penyakit parasitier disebabkan oleh cacing pita dari

genus taenia. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan pada orang-orang yang mempunyai kebiasaan konsumsi daging sapi mentah atau dimasak kurang sempurna. Pencegahan taeniasis pada manusia dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang matang (Estuningsih, 2009).

Pengetahuan penyakit-penyakit pada ternak akan sangat membantu mengetahui perbedaan-perbedaan gejala klinis dan perubahan-perubahan patologi pada ternak. Pengetahuan tersebut akan sangat membantu untuk menggali informasi sejarah penyakit secara efektif, mengamati dengan baik perubahan fisik, postur, fisiologis serta melakukan pemeriksaan fisik dengan baik dan benar sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup guna menegakkan diagnosa infeksi kecacingan pada hewan ternak (Triakoso, 2009).

2.3. Karakteristik Cacing Parasit Pada Sapi

2.3.1. Cacing Hati (Fasciola hepatica)

(31)

Fasciola hepatica memiliki telur yang berbentuk oval, mempunyai tutup,

berwarna kuning atau kecoklatan dan berukuran 130-150 mikron (Gambar 2.1). Telur yang belum matang, keluar bersama feses. Pematangan dalam air

membutuhkan suhu optimal 22˚C-25˚C selama 9-15 hari. Setelah itu mirasidium menetas dari telur, dalam waktu 8 jam mirasidium harus menembus keong air untuk melanjutkan pertumbuhannya. Keong yang bertindak sebagai hospes intermedietnya adalah jenis Lymnaea. Dalam keong mirasidium menjadi sporokis muda. Dalam waktu tiga minggu, sporokis menghasilkan redia induk, yang pada minggu berikutnya mengandung redia anak. Redia tumbuh menjadi serkaria. Serkaria yang sudah matang akan meninggalkan keong untuk hidup bebas dalam air. Beberapa lama dalam air serkaria akan melepaskan ekornya dan merambat pada berbagai tanaman air seperti rerumputan, kemudian menjadi metaserkaria. Metaserkaria dapat hidup dalam waktu yang lama di tempat yang lembab, tetapi akan cepat mati dalam waktu kekeringan (Irianto, 2009).

Hewan ternak yang merumput di padang gembalaan tanpa pengawasan peternak, maka ternak tersebut dapat mengalami infeksi oleh metaserkaria yang terdapat pada rumput. Metaserkaria dapat bertahan pada jerami dan tanaman lain yang dijadikan sebagai makanan hewan ternak sekitar 28 hari pada suhu 5-10˚C, sehingga pada kelembaban udara yang lebih tinggi mempunyai daya infeksi sampai 70 hari (Pusarawati dkk. 2007).

(a) (b) Gambar 2.1. Cacing Fasciola Hepatica; (a). Cacing Fasciola hepatica dewasa (b). Telur

cacing Fasciola hepatica (Perbesaran 40x10) (Tantri dkk. 2013)

(32)

2.3.2. Cacing Pita (Taenia saginata)

Cacing pita Taenia saginata memiliki panjang tubuh 4-12 m, tetapi pada kondisi menguntungkan dapat mencapai 25 m. tubuh terdiri dari skoleks (kepala), leher dan strobila. Strobila terdiri dari 1000-2000 proglotid (Gambar 2.2). Skoleks berbentuk segi empat, berukuran 1-2 mm, dan mempunyai 4 buah batil isap (sucker). Tidak memiliki rostellum dan kait. Lehernya lebih sempit daripada lebar kepala. Strobila dimulai dari proglotid imatur yang dilanjutkan dengan proglotid matur dan proglotid (Irianto, 2009).

Taenia saginata memiliki bentuk telur bulat (spherical) atau agak bulat

(sub-spherical), berdinding tebal dengan struktur garis-garis radier dan telur memiliki diameter 31-43 mikron (Gambar 2.2). Cacing ini secara umum ditemukan di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Timur, Amerika Selatan, Afrika Timur dan Barat. Di Indonesia, Taenia terdapat di beberapa daerah endemis di Sumatera Utara (P. Samosir), Lampung, Jakarta, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya, yang penduduknya mempunyai kebiasaan makan daging yang dimasak kurang matang (Ideham, 2007).

(a) (b)

Gambar 2.2. Cacing Taenia saginata; (a). Cacing Taenia saginata dewasa; (b). Telur cacing Taenia saginata (Perbesaran 40x10) (Nezar, 2014)

2.3.3. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Ascaris lumbricoides adalah cacing Nematoda berbentuk gilig (silindris)

yang berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing jantan 15-31 cm dan diameter 2-4 mm dan cacing

Immature proglotid

(33)

betina 20-35 cm, diameter 3-6 mm. Cacing dewasa habitatnya di dalam usus halus (Gambar 3.a). Cacing betina menghasilkan telur sampai 240.000 butir per hari atau sekitar 3-5 buah telur tiap detik (Gambar 3.b), yang dikeluarkan ke lingkungan bersama tinja (Zaman et al. 1982).

Ascaris juga dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi kesehatan bila

terinfeksi. Kebanyakan penderitanya adalah anak-anak. Infeksi dari cacing ini dapat menimbulkan kematian, baik dikarenakan larva maupun cacing dewasa. Larva cacing Ascaris dapat menimbulkan hepatitis, pneumonia, diare, urtikaria (gatal-gatal), kejang-kejang, meningitis (radang selaput otak), kadang-kadang juga menimbulkan demam dan rasa ngantuk. Terjadi hepatitis dikarenakan larva cacing menembus dinding usus dan terbawa aliran darah vena ke dalam hati, sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada hati (Soedarto, 2008).

(a) (b)

Gambar 2.3. Cacing Ascaris lumbricoides; (a). Cacing Ascaris lumbricoides dewasa; (b). Telur cacing Ascaris lumbricoides perbesaran 40x10 (Nezar, 2014).

2.4. Pencegahan Infeksi Cacing Parasit

Program kesehatan hewan bagi sapi potong meliputi penanganan, pengendalian, dan pencegahan. Penyakit infeksi menular pada sapi seperti Brucellosis, Anthrax,

Septichaemia epizootica, Skabies (kudis), penyakit kembung perut dan lainnya,

akan sangat merugikan secara ekonomis pada sapi potong. Begitu pula cacing parasit Neoascaris vitulorum, Fasciola gigantica, Haemonchus contortus akan berpengaruh pada hambatan pertumbuhan berat badan, disamping juga menyebabkan kerusakan jaringan tubuh (Putro, 2004).

Mulut

Anus

(34)

Manajemen pencegahan dan pengendalian penyakit pada ternak sapi merupakan salah satu upaya mendukung program swasembada daging sapi 2014. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak dengan sapi lain yang sakit dan orang yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut.

Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit : a. Pencegahan lebih baik daripada mengobati b. Lingkungan kandang harus bersih dan kering

c. Sapi - sapi yang baru akan dimasukkan ke dalam kandang harus dipastikan bebas dari berbagai penyakit

d. Pisahkan sapi yang sakit dari sapi yang sehat

e. Lakukan pencegahan stres akibat transportasi karena stres akan menyebabkan sapi mudah terserang penyakit

f. Pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari g. Pengendalian parasit cacing, caplak dan lalat (Astiti dkk. 2010).

Menurut Levine (1990), pencegahan parasitisme pada sapi dapat dilakukan dengan cara:

a. Memisahkan hewan - hewan muda dari yang dewasa sedini mungkin. Hewan yang lebih tua merupakan sumber infeksi bagi hewan muda.

b. Menghindari air dari padang rumput. Larva parasit mampu hidup lebih lama pada padang rumput yang lembab.

c. Memberi makan sapi di tempat yang kering bila memungkinkan, penularan parasit minimum pada tempat yang kering.

d. Membuang kotoran dari kandang hewan sesering mungkin, atau menjadikan sebagai kompos yang jauh dari areal padang rumput tempat sapi biasa digembalakan

e. Tidak membiarkan pakan dan air tercemar oleh kotoran hewan.

(35)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat Indonesia menyebabkan timbulnya kesadaran akan kebutuhan gizi asal ternak, salah satu diantaranya yaitu daging sapi. Kebutuhan daging sapi setiap tahun meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan akan daging sapi tidak mencukupi. Penurunan produktivitas daging sapi ini disebabkan salah satu faktor utama seperti gangguan penyakit (Haryanti, 2009).

Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan, diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit kurang mendapat perhatian dari para peternak. Penyakit parasit tidak secara langsung mengakibatkan kematian pada ternak, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan. Penyakit parasit yang paling merugikan adalah penyakit yang disebabkan cacing (Dewi dkk. 2011).

Penyakit yang disebabkan oleh parasit umumnya menyerang ternak muda yang dipelihara dengan tatalaksana yang kurang baik seperti ternak tidak dikandangkan, tidak pernah dimandikan dan selalu digembalakan pada lahan yang tergenang air. Cacing parasit yang menyerang dapat berupa Nematoda, Trematoda dan Cestoda. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Wosu Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali pada bulan September sampai dengan Desember 2012, ditemukan lima jenis cacing parasit yang menginfeksi saluran pencernaan sapi Bali dan sapi Rambon antara lain, Moniezia benedi,

Moniezia expansa, Eimeira sp. Bunostomum phlebotamum, dan Paramphistomum

Cooperia pentinita (Widyana, 2013).

(36)

Strongyloides sp., Moniezia sp., Fasciola sp., dan Paramphistomum sp. Prevalensi

infeksi tertinggi disebabkan oleh Ascaris sp. (100%) dan terendah Taenia

saginata (3,75%). Intensitas infeksi tertinggi berasal dari telur cacing Taenia

saginata (111 butir/ind) dan intensitas terendah adalah telur Fasciola hepatica

(1,31 butir/ind). Infeksi pada sapi juga dapat terjadi secara tunggal atau campuran (terdiri atas dua maupun lebih cacing parasit) prevalensi infeksi tertinggi adalah infeksi tunggal oleh Nematoda sebesar 56,25% dan prevalensi infeksi terendah ditemukan dari kelas Nematoda dan Cestoda sebesar 7,5%. Tingkat prevalensi dan intensitas telur cacing parasit di RPH Kota Pontianak masih tergolong rendah. Pemeliharaan hewan ternak yang berbeda menyebabkan perbedaan infeksi cacing parasit pada masing-masing hewan. Demikian pula pada ternak sapi yang ada di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar. Pemeliharaan yang dilakukan pada ternak sapi di RPH Siantar adalah dengan cara dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak. Namun, terkadang ternak sapi yang ada di RPH tersebut juga digembalakan di sekitar areal Rumah Potong. Berbeda dengan ternak sapi yang ada pada RPH Medan yang dirawat secara intensif, dimana sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak. Pemeliharaan ternak sapi yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan jenis dan tingkat infeksi cacing parasit pada kedua Rumah Potong Hewan tersebut.

1.1. Permasalahan

Pemeliharaan hewan ternak sapi di Rumah Potong hewan (RPH) Siantar dan Rumah Potong Hewan Medan berbeda, dimana sapi di RPH Medan dipelihara secara intensif, yaitu sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak, sedangkan sapi di RPH Siantar dipelihara secara semi intensif, yaitu selain dikandangkan sapi juga digembalakan di padang rumput sekitar areal Rumah Potong Hewan. Menurut Tanjung (2014), dari hasil pengamatan feses sapi di RPH Medan ditemukan lima jenis telur endoparasit yaitu: Bunostomum sp.,

Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp. dan Paramphistomum sp. sejauh ini

(37)

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Diperoleh jenis-jenis cacing parasit pada feses sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar dan RPH Medan.

b. Diperoleh perbandingan infeksi berdasarkan jumlah telur cacing yang ditemukan.

c. Diperoleh prevalensi endoparasit yang menginfeksi sapi di RPH Siantar dan RPH Medan.

1.4. Hipotesis

a. Jenis cacing parasit yang menginfeksi ternak sapi pada RPH Siantar berbeda dengan RPH Medan.

b.Prevalensi endoparasit yang menginfeksi sapi di RPH Siantar lebih besar dibandingkan RPH Medan.

1.5. Manfaat

(38)

JENIS DAN PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI CACING PARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) SIANTAR

DENGAN FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN MEDAN

ABSTRAK

Penelitian tentang jenis dan perbandingan tingkat infeksi cacing parasit pada feses sapi di rumah potong hewan Siantar dan Medan dilakukan dengan menggunakan metode Glass beads. Hasil pengamatan 25 sampel feses dari 25 ekor sapi dengan masing-masing tiga kali ulangan, ditemukan tiga jenis telur cacing parasit pada Rumah Potong Hewan Medan yaitu, Ascaris sp., Fasciola sp. dan

Paramphistomum sp. dan pada Rumah Potong Hewan Siantar didapat lima jenis

yaitu, Bunostomum sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., Paramphistomum sp. dan

Trychostrongylus sp. Pada Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar 9 ekor sapi

terinfeksi berat Paramphistomum sp., 2 ekor sapi terinfeksi berat oleh Fasciola sp. sedangkan ternak sapi pada RPH Medan masih tergolong rendah. Prevalensi telur cacing parasit pada RPH Medan yaitu, Ascaris 8%, Fasciola 24% dan

Paramphistomum 36% sedangkan pada RPH Siantar prevalensi Bunostomum 4%, Fasciola 64%, Haemonchus 12%, Paramphistomum 88% dan Trychostrongylus

4%.

(39)

ABSTRACT

Research about spesies and level comparison were examined of hookworm infection in cow feces between Slaughter house in Siantar and Medan is explained using Glass beads method. Twenty five samples of cow feces from 25 cows in three time recycling of each, the result shows that there were three kinds of hookworm for Slaughter house in Medan, Ascaris sp., Fasciola sp. and

Paramphistomum sp. whereas fo Slaughter house in Siantar the result show that

there were five kinds of hookworm, Bunostomum sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., Paramphistomum sp. dan Trychostrongylus sp. There were 9 acute infection cows of Paramphistomum sp. 2 heavy infected cows of Fasciola sp. at Slaughter house in Siantar whereas the infection of hookworm at Slaughter house in Medan is still low. The prevalence of hookworm eggs at Slaughter house in Medan is

Ascaris 8%, Fasciola 24% and Paramphistomum 36% whereas at Slaughter house

in Siantar, the prevalence is Bunostomum 4%, Fasciola 64%, Haemonchus 12%,

Paramphistomum 88% and Trychostrongylus 4%.

(40)

JENIS DAN PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI CACING

PARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN

(RPH) SIANTAR DENGAN FESES SAPI DI RUMAH POTONG

HEWAN MEDAN

SKRIPSI

MEI SUSANTI SIANIPAR 100805051

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(41)

JENIS DAN PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI CACING

PARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN

(RPH) SIANTAR DENGAN FESES SAPI DI RUMAH POTONG

HEWAN MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

MEI SUSANTI SIANIPAR 100805051

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(42)
(43)

PERSETUJUAN

Judul : Jenis Dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit Pada Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar Dengan Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan Medan

Kategori : Skripsi

Nama : Mei Susanti Sianipar Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 100805051

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juni 2016

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Arlen H.J, M.Si. Dra. Emita Sabri, M.Si NIP. 195810181990031001 NIP. 195607121987022002

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

(44)

JENIS DAN PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI CACING PARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) SIANTAR

DENGAN FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN MEDAN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2016

(45)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat, anugerah dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Jenis dan Perbandingan Tingkat Infeksi Cacing Parasit Pada Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar Dengan Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan Medan”. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas MIPA USU Medan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Kedua orangtua tercinta Bapak Leo Sianipar dan Ibu Rosta Manalu untuk kasih sayang, doa, dukungan moril maupun materil dan cinta yang tiada henti yang diberikan kepada penulis.

2. Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si dan Bapak Drs. Arlen Hanel Jhon, M.Si selaku dosen pembimbing 1 dan 2.

3. Ibu Masitta Tanjung, S.Si, M.Si dan Ibu Dr. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc selaku penguji 1 dan 2.

4. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU. 5. Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku sekretaris Departemen Biologi FMIPA

USU dan seluruh staf Pengajar Departemen Biologi FMIPA USU.

6. Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku staf Pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

7. Ibu Drh. Lepsi selaku koordinator Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I, Medan.

8. Ibu Herminta Purba, Samarita Bangun dan Drh. Eskayanti Pasaribu selaku staf Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner.

9. Seluruh staf Rumah Potong Hewan Siantar dan Rumah Potong Hewan Medan.

10. Kakak/abang tercinta Rina Sianipar, July Sianipar, Fernando Sianipar, Duma Sianipar, Melviana Sianipar, Tina Sianipar, Abang/kakak ipar dan keponakan tersayang Casandra Sitopu, Bunga Sitopu, Rani Sitopu, Yovela Sitopu dan Fransisco Sianipar.

11. Sahabat-sahabatku Ledi Benneta, Nova Maria, Elfrida, Yuli, Yoan, Sri, Yantika, Reni, Lintar, Septi, Anita dan Saudara asuh Norton Adyanto Pane. 12. Adik asuh Aditya Bungsu dan Boby Hutabarat dan adik-adik 012, Ulfa,

(46)

ketulusan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan

Medan, Juni 2016

(47)

JENIS DAN PERBANDINGAN TINGKAT INFEKSI CACING PARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) SIANTAR

DENGAN FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN MEDAN

ABSTRAK

Penelitian tentang jenis dan perbandingan tingkat infeksi cacing parasit pada feses sapi di rumah potong hewan Siantar dan Medan dilakukan dengan menggunakan metode Glass beads. Hasil pengamatan 25 sampel feses dari 25 ekor sapi dengan masing-masing tiga kali ulangan, ditemukan tiga jenis telur cacing parasit pada Rumah Potong Hewan Medan yaitu, Ascaris sp., Fasciola sp. dan

Paramphistomum sp. dan pada Rumah Potong Hewan Siantar didapat lima jenis

yaitu, Bunostomum sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., Paramphistomum sp. dan

Trychostrongylus sp. Pada Rumah Potong Hewan (RPH) Siantar 9 ekor sapi

terinfeksi berat Paramphistomum sp., 2 ekor sapi terinfeksi berat oleh Fasciola sp. sedangkan ternak sapi pada RPH Medan masih tergolong rendah. Prevalensi telur cacing parasit pada RPH Medan yaitu, Ascaris 8%, Fasciola 24% dan

Paramphistomum 36% sedangkan pada RPH Siantar prevalensi Bunostomum 4%, Fasciola 64%, Haemonchus 12%, Paramphistomum 88% dan Trychostrongylus

4%.

(48)

ABSTRACT

Research about spesies and level comparison were examined of hookworm infection in cow feces between Slaughter house in Siantar and Medan is explained using Glass beads method. Twenty five samples of cow feces from 25 cows in three time recycling of each, the result shows that there were three kinds of hookworm for Slaughter house in Medan, Ascaris sp., Fasciola sp. and

Paramphistomum sp. whereas fo Slaughter house in Siantar the result show that

there were five kinds of hookworm, Bunostomum sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., Paramphistomum sp. dan Trychostrongylus sp. There were 9 acute infection cows of Paramphistomum sp. 2 heavy infected cows of Fasciola sp. at Slaughter house in Siantar whereas the infection of hookworm at Slaughter house in Medan is still low. The prevalence of hookworm eggs at Slaughter house in Medan is

Ascaris 8%, Fasciola 24% and Paramphistomum 36% whereas at Slaughter house

in Siantar, the prevalence is Bunostomum 4%, Fasciola 64%, Haemonchus 12%,

Paramphistomum 88% and Trychostrongylus 4%.

(49)
(50)

4.4. Prevalensi Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar

dan Medan

22

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 25

5.2. Saran 25

Daftar pustaka 26

(51)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

3.1. Tingkat Infeksi Cacing Parasit 13

4.1. Jenis Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan

14

4.2. Gambar Telur Cacing Yang Ditemukan Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan

18

4.3. Jumlah dan Tingkat Infeksi Cacing Parasit Pada Hewan Ternak Sapi di Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan

20

4.4. Prevalensi Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan

(52)

Nomor Judul Halaman Gambar

2.1. Cacing Fasciola hepatica Dewasa dan Telur Cacing

Fasciola hepatica

7

2.2. Cacing Taenia saginata Dewasa dan Telur Cacing Taenia

saginata

8

2.3. Cacing Ascaris lumbricoides Dewasa dan Telur Cacing

Ascaris lumbricoides

(53)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran

1. Lampiran Kerja 30

2. Bagan Kerja Pemeriksaan Feses Sapi 31

3. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Pertama Pada Rumah Potong Hewan Medan

32

4. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Kedua Pada Rumah Potong Hewan Medan

33

5. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Ketiga Pada Rumah Potong Hewan Medan

34

6. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Pertama Pada Rumah Potong Hewan Siantar

35

7. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Kedua Pada Rumah Potong Hewan Siantar

36

8. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Ulangan Ketiga Pada Rumah Potong Hewan Siantar

Gambar

Tabel 3.1. Tingkat Infeksi Cacing Parasit
Tabel 4.1. Jenis Cacing Parasit Pada Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan                          Jenis Parasit Ascaris sp
Tabel 4.2. Gambar Telur Cacing Yang Ditemukan Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan Jenis cacing Gambar telur cacing Jenis cacing Gambar Telur Cacing
Tabel 4.2. Jumlah dan Tingkat Infeksi Cacing Parasit Pada Hewan Ternak Sapi di Rumah Potong Hewan Siantar dan Medan  RPH S
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai contoh, ketika sebuah organisasi memiliki baik modal dan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mendistribusikan produk sendiri ( kekuatan internal ) dan distributor

Penjelasannya adalah perusahaan yang mengajukan pinjaman bank dalam jum- lah besar adalah perusahaan yang “sakit” atau memiliki profitabilitas yang rendah, sedangkan

UJI EFIKASI LIMA JENIS PESTISIDA NABATI PADA HAMA PENGGEREK BATANG JAGUNG (Ostrinia furnacalis.. Guen ) (LEPIDOPTERA : PYRALIDAE) SECARA

Independensi yang diterapkan pada 5 Kantor Akuntan Publik yang menjadi objek penelitian sudah sesuai dengan Standar Pengendalian Mutu yang ditetapkan oleh Institut Akuntan

tersebut diketahui bahwa hanya profesionalisme dan kompleksitas secara parsial berpengaruh terhadap audit judgment auditor internal pada Satuan Pengawas Internal

Terlebih lagi uji coba juga telah banyak dilakukan oleh para peneliti untuk mengetahui keamanan tumbuhan obat yang sering digunakan untuk pemakaian jangka panjang, maupun

Bantul 17040102710021 47 ANA WORO NANINGTYAS P Guru Kelas SD SD N GUNUNGSAREN 1 SD.01 22 SEPT - 3 OKT 2017 JOGJA PLASSA HTL.. YANG

Komputer kuantum adalah komputer untuk menanipulasi dan meinterpretasikan penyandian dari bit-bit quantum 􀂳qubit􀂴, komputer kuantum merupakan tipe