LAMPIRAN
Sinopsis
Novel KEI bercerita tentang warga-warga masyarakat yang saling membunuhan,
berkelahian, menindas, dan membuat kerusuhan yang semuanya itu disebabkan karena adanya
perselihan antar masyarakatnya. Kerusuhan ini sudah banyak menelan korban jiwa. Sebagian
warga juga tidak lagi memiliki tempat tinggal karena rumah-rumah warga disekitar kerusuhan
tersebut habis terbakar. Pemicu dari konflik tersebut adalah SARA (Suku, Agama, Ras,
Antargolongan). Konflik ini bisa dikatakan seperti perang antar saudara karena warga yang
bertikai masih tergolong sama, hidup satu rumpun, satu leluhur yang sama, dan satu adat
kebiasaan yang sama pula. Penyebaran riak-riak kerusuhan ini begitu cepat, hingga menerobos
pelosok-pelosok desa yang paling terpencil di bagian Maluku tenggara, yaitu Pulau Kei. Pulau
kei merupakan sebuah pulau yang diapit antara Laut Banda dan Laut Arafuru.
Diantara semua daerah-daerah yang turut merasakan kerusuhan, daerah Pulau Keilah
yang paling cepat bangkit dari keterpurukan perang saudara tersebut. Kehidupan masyarakat di
Pulau Kei sangat tradisional. Masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang diajarkan
oleh para leluhur mereka. Hukum adat di kei, seperti adat Ken Sa Faak, adat Vehe Belan, adat
Larwul Ngabal, adat Pela dan sebaginya itu selalu mengajarkan tentang persaudaraan, keluarga, dan kasih sayang. Leluhur orang-orang Kei juga mewariskan prinsip kebersamaan, kepedulian,
dan kesetaraan sosial bagi semua warga Kei. Prinsip satu leluhur inilah yang menjadi dasar dari
nilai-nilai leluhur tersebut yang terus menerus mereka jaga.
Dulunya, dalam kehidupan masyarakat Kei hukum adat adalah satu-satunya hukum yang
mendapat tempat paling tertinggi. Jauh sebelum masyarakat Kei mengenal hukum agama, hukum
kehidupannya. Oleh karena itu, warga Kei selalu taat terhadap hukum adat mereka dan
mematuhinya. Kehidupan warga Kei sangat majemuk. Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
adalah sebagian besar agama yang dianut oleh masyarakat Kei. Walaupun demikian, perbedaan
agama bukan menjadi penghalang bagi masyarakat Kei untuk dapat hidup rukun. Perbedaan suku
juga sangat mencolok. Di Kei, berbagai macam suku ada. Akan tetapi, perbedaan suku ini tidak
menjadi membuat kesenjangan diantara masyarakat Kei. Adat istiadat ataupun ajaran-ajaran
hukum leluhur telah membentuk karakter yang baik dalam diri orang-orang Kei. Sifat dan sikap
masyarakat Kei dalam berinteraksi terhadap sesamanya tidak menunjukkan adanya diskriminasi
atau pengucilan terhadap kaum minoritas. Semua warga Kei satu. Satu dalam ikatan nilai-nilai
adat yang terus menerus hidup dalam diri mereka.
Konflik SARA yang terjadi di sana sempat mengganggu kehidupan masyarakat Kei.
Sebagian kecil warga Kei ada yang terprovokasi oleh konflik tersebut, akan tetapi sebagian
besarnya lagi lebih memilih untuk tetap menjaga keharmonisan yang sudah lama tercipta
diantara warga Kei. Oleh karena itu, konflik tidak lantas membuat warga Kei terpecah-pecah. Di
tengah maraknya kerusuhan yang terjadi, warga Kei masih saling hidup berdampingan, saling
menyayangi dan menjaga sesamanya. Semua warga saling mengingatkan agar jangan terlibat
konglik. Di kamp-kamp pengungsian di Kei, para warga terus bersatu. Mereka saling bekerja
sama. Pemuda-pemuda di Kei menjaga batas wilayah untuk mengantisipasi datangnya serang
para kelompok perusuh. Sedangkan kaum perempuan Kei melayani para warga yang mengungsi.
Sebagian ada yang memasak di dapur dan sebagiannya lagi ada yang mencari bahan makanan
untuk para pengungsi.
Semenjak kerusuhan memasuki tanah Kei, banyak warga Kei yang kehilangan
sebagainya. Salah satunya seperti tokoh Namira yang digambarkan pengarang dalam ceritanya.
Kerusuhan telah membuat Namira kehilangan sosok ibunya yang sangat ia sayangi. Rumah
tempat tinggal Namira juga sudah habis terbakar. Kini Namira hanya bisa tinggal di pengusian
bersama warga lainnya. Di kamp pengungsian, warga yang mengungsi berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Ada yang beragama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Warga
di pengungsian saling membantu. Warga yang beragama Islam membantu warga yang beragama
Kristen. Begitupun sebaliknya, warga yang beragama Kristen menjaga warga yang beragama
Islam.
Kerusuhan hanya akan membuat orang-orang yang berada disekitarnya berduka.
Begitulah yang dirasakan oleh Namira. Kini dia hanya tinggal sebatangkara. Namun, Namira
masih memiliki seorang sahabat yang baik dan perhatian kepadanya, yaitu Mery. Mery menjadi
sosok penyemangat bagi Namira. Dia selalu memberi kekuatan kepada Namira. Persahabatan
Namira dan Mery sudah lama terjalin, jauh sebelum konflik masuk ke desa mereka. Namira
sangat menyayangi Mery, begitupun sebaliknya, Mery juga mengasihi Namira. Mereka berdua
sudah seperti saudara. Sebenarnya Mery dan Namira memiliki perbedaan yang mencolok. Mery
beragama Kristen dan Namira beragama Islam. Walaupun mereka dipisahkan oleh jarak agama,
Mery dan Namira tetap saling menyayangi. Mery bahkan selalu menjenguk sahabatnya itu di
kamp pengungsian tempat Namira tinggal. Mery belum bisa membawa sahabatnya itu untuk
tinggal di rumahnya karena keadaan konflik yang semakin memanas. Sebenarnya keinginan
Mery sangat besar. Mery meminta Namira untuk tetap bersabar dan berdoa. Apabila saat Mery
pamit untuk pulang ke rumahnya, Namira sangat sedih. Namun, Namira sosok yang kuat. Dia
Bukan hanya Mery yang selalu sayang kepada Namira. Ada juga Sala, yang mencurahkan
perhatiannya terhadap Namira. Apabila Namira sedang sedih, Sala ada disampingnya untuk
menghiburnya. Sala dan Namira berada disatu kamp pengungsian yang sama. Namun, peran
keduanya berbeda. Sala datang sebagai tim relawan, sedang Namira berada di pengungsian
karena tempat tinggalnya sudah tidak ada lagi. Sejak dipertemukan di pengungsian, Sala dan
Namira menjadi sangat dekat. Kedekatan diantara keduanya kini diikat oleh hubungan cinta. Sala
dan Namira sebenarnya juga berbeda agama. Sala beragama Kristen dan Namira beragama
Islam. Akan tetapi, keduanya dapat saling menyayangi dan mengasihi dalam hubungan
percintaannya. Namun sayangnya, hubungan percintaan diantara Sala dan Namira tidak
berlangsung lama.
Semenjak kelompok perusuh menyerang pengungsian mereka, Sala menyarankan Namira
untuk ikut mengungsi ke Evu sedangkan dirinya tetap berada di pengungsian. Lalu Namira pergi
ke desa Evu. Desa Evu sebenarnya desa tempat Mery. Mendengar penyerangan yang dilancarkan
oleh kelompok perusuh ke kamp pengungsian tempat Namira berada, Mery bersama pamannya
langsung segera menjemput Namira. Di Evu, Namira tinggal di rumah sahabatnya, Mery. Namira
dan Mery sangat bahagia karena mereka bisa bersama lagi. Akan tetapi, kebahagian mereka
lasung berubah menjadi kesedihan dan hiruk pikuk. Beberapa hari setelah pengyerangan di
pengungsian, para kelompok perusuh kembali menyerang desa Evu. Di tengah kerusuhan yang
terjadi, Namira ikut mengungsi ke Makassar tanpan sepengetahuan Mery. Kebingungan melanda
pikiran Mery. Begitu juga dengan Sala. Setelah penyerangan itu berakhir, Sala mencari tahu
khabar tentang Namira di Evu. Ternyata Namira tidak lagi di Evu. Mery menceritakan semuanya
kepada Sala. Sala sangat sedih. Ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Pada akhirnya Sala
DAFTAR PUSTAKA
Aladjai, Erni. 2013. KEI: Kutemukan Cinta Di Tengah Perang. Jakarta: Gagas Media.
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.
Damono, Supardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta Pusat:
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.
Fitrah, Yundi. 2008. “Politik Anti Belanda dalam Cerpen “Hamid, Pahlawan Perkumpulan Anti
‘AVC’ (di Bawah Bayangan Jembatan)” Karya A.S. Hadisiswojo. Jurnal
Ilmu-ilmu Bahasa dan Sastra Logat, Vol.IV, No.2. Hlm. 122-125.
Idianto, Muin, 2006. Sosiologi SMA/MA Jilid 1 Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2005.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Narwoko, Dwi dan Suyanto, Bagong. 2007. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta:
Kencana.
Nursisto. 2000. Ikhtisar kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gajah Madah University
Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigm Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali.
Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada.
Sumardjo, Yacob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Wellek, Rene dan Austin Werren. 1989. Teori Kesusasteraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Yewangoe.A.A. 2002. Agama dan Kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia.
Internet
Januari 2013.
Februari 2014.
Ariansyah, diambil tanggal 10 Februari 2014.
diposting oleh
Yayasan Salawaku, diambil tanggal 24 Maret 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pela.
http://ellykudubun.wordpress.com/tag/kepercayaan-masyarakat-kei/ (diambil tanggal 10 Februari
http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html
diambil tanggal 10 Februari 2014).
http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html
diambil tanggal 10 Februari 2014).
http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menggali lebih dalam lagi nilai-nilai
kerukunan yang dibangun pengarang dalam novel KEI. Untuk mengungkapkan nilai kerukunan
tersebut, peneliti menggunakan analisis sosiologi sastra. Agar penelitian ini mengarah ke sana
maka metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Oleh Pradopo
(2001: 25) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menitikberatkan pada segi alamiah dan
mendasarkan pada karakter yang terdapat dalam data. Oleh sebab itu, metode kualitatif memiliki
persamaan dengan metode pemahaman. Adapun yang menjadi sumber data ilmu sosialnya
adalah masyarakat sedangkan yang menjadi fokus penelitiannya adalah tindakan masyarakat
yang digambarkan dalam novel tersebut.
Data primer:
Judul KEI
Pengarang Erni Aladjai
Penerbit Gagas Media
Jumlah Halaman 250
Ukuran Naskah 13 x 19 cm
Cetakan Pertama
Warna Sampul Warna putih dan dipadu dengan
warna hitam pekat
Gambar Sampul Dua wujud manusia yang saling
berpegangan tangan
Desain Sampul Dwi Anissa Anindhika
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan riset pustaka atau library research. Oleh Fitrah (2008: 122)
menyebutkan bahwa Library Research atau penelitian kepustakaan adalah data dan alat untuk
menganalisis data semuanya bersumber dari buku-buku, majalah dan koran yang ada dalam
koleksi perpustakaan. Setelah berbagai informasi diperoleh melalui sumber-sumber yang
mendukung, selanjutnya dilakukan penerapan langkah-langkah yang konkret dalam
pengumpulan data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
menyimak dan mencatat. Langkah menyimak artinya menyimak secara cermat, teliti, dan terarah
terhadap sumber data. Dari hasil penyimakan yang dilakukan terhadap seluruh teks pada novel
KEI kemudian dicatat dan dirangkum untuk digunakan sebagai penyusunan laporan penelitian. Oleh Subroto (1992: 41-42), menyebutkan bahwa dalam data yang dicatat itu, disertakan pula
kode sumber datanya untuk pengecekan ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam
3.3 Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan
data yang diperoleh melalui pembacaan teks. Pembacaan teks dilakukan dengan cara membaca
heuristik dan hermeneutik. Tahap pertama dalam pembacaan diawali dengan jalan meneliti
bentuk-bentuk kerukunan sosial dan kemudian mendeskripsikan bentuk-bentuk kerukunan
sosial ketika terjadi perang saudara seperti yang dilukiskan dalam novel KEI.
Selanjutnya masuk pada tahap yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik. Pada tahap
hermeneutik diartikan sebagai tahap penafsiran terhadap teks-teks bahasa. Untuk tahap
pembacaan hermeneutik, pembaca diharapkan mampu mencari makna yang terkandung dalam
teks yang dibacanya. Oleh Ratna (2006: 45) mengatakan:
“pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi,
penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu
ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa
Indonesia sangat banyak makna yang tersembunyi, atau sengaja disembunyikan.”
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data yang berkaitan dengan
objek yang sedang diteliti adalah diurutan sebagai berikut :
1. Membaca secara berulang-ulang obyek yang diteliti.
2. Memilih data yang berhubungan dari obyek yang diteliti.
3. Melakukan usaha untuk menguji kebenaran data yang diperoleh dengan cara memahami,
menghayati, menafsirkan, dan menginterpretasikan data.
4. Dilakukan penganalisisan secara mendalam terhadap data yang ditemukan dalam obyek
BAB IV
BENTUK-BENTUK KERUKUNAN SOSIAL DALAM NOVEK KEI
4.1 Kekerabatan Orang Kei
Masyarakat Kei sesungguhnya masih hidup dalam ketradisionalannya. Kehidupan
masyarakat Kei diwarnai dengan adat istiadatnya. Inti dari adat istiadat orang Kei adalah
kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup
seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara
biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan pada masayarakat Kei yang diikat dengan
hukum adat istiadatnya, yaitu hukum adat istiadat Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan, dan Teabel.
(http://ellykudubun.wordpress.com/tag/kepercayaan-masyarakat-kei/)
Pertama, Yanur-Mangohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang-orang menjadi
tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang
bersifat patrilineal.Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama
belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya dikenakan dalam konteks
perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam upacara kematian.
Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang
artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam
perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan.
Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab
mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa
percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan
terhadap bawahan.
Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian
yang diikat oleh “aliran darah”. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara
saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang atau kampung lain
yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain
dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya mau mengangkat derajad semua
orang-orang khususnya dipulau Kei sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan
diperhatikan, (http://ellykudubun.wordpress.com/tag/kepercayaan-masyarakat-kei/).
4.2 Bentuk-Bentuk Kerukunan Sosial Dalam Novel Kei
Pada dasarnya, setiap kelompok masyarakat selalu menginginkan kehidupan yang rukun.
Kehidupan yang rukun menunjukkan kondisi yang tentram, damai, dan nyaman dalam kehidupan
bermasyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan sikap keterbukaan bagi setiap
anggota masyakatnya dalam bersosialisasi agar terjalin hubungan yang baik bagi setiap anggota
masyarakatnya di dalam berinteraksi. Menurut Eka (dalam Yewangoe, 2002: hal, 33) bahwa
kerukunan juga tidak terwujud ketika masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri,
kerukunan sejati terwujud ketika semua pihak bersama-sama secara interaktif mencari kebenaran
bersama.
Menciptakan kehidupan yang rukun di tengah-tengah perbedaan masyarakatnya yang
begitu kental bukanlah hal yang mudah. Namun, bukan tidak mungkin juga masyarakat dapat
ditempuh adalah membangun interaksi yang seimbang bagi anggota masyarakatnya dan
diperlukan kesadaran bersama untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Menurut
Yewangoe (2002: 37), dengan demikian (untuk mewujudkan kerukunan itu) perlu adanya
kesadaran bersama tentang keterpaduan kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga secara bersama
pula dapat menemukan jalan keluar yang memadai bagi terciptanya kesejahteraan bersama.
Membangun interaksi yang seimbang dalam suatu kelompok masyarakat dapat dilakukan melalui
musyawarah-musyawarah terbuka untuk membentuk kerjasama-kerjasama yang berkualitas
dengan kepentingan bersama-sama. Dalam novel KEI, ada beberapa bentuk kerukunan yang
digambarkan dalam kehidupan masyarakat Kei, yaitu sebagi berikut.
4.2.1 Hubungan Kerjasama Antar Masyarakat Kei
Menurut Hendropuspito (1989: 236) bahwa kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial
di mana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan guna mencapai tujuan
yang sama. Membangun kerja sama bukan hanya bertujuan untuk menghasilkan program kerja
bersama dalam masyarakat tersebut. Namun, kerja sama juga dapat mempererat hubungan setiap
individu yang terlibat di dalamnya. Dalam kehidup bermasyarakat, suatu kegiatan kerja sama
sangat diperlukan untuk melatih cara berfikir yang baik, berbicara anggota masyarakatnya
menghasilkan kesepakatan bersama sebelum kerja sama tersebut dimulai. di antara anggota
masyarakatnya juga berfungsi untuk mempererat keberasamaan pada setiap anggota masyarakat.
Dalam novelnya, Erni Aladjai menggambarkan kehidupan rukun yang tercipta di antara
masyarakat di pulau Kei. Kerukunan tersebut terjalin melalui hubungan kerjasama-kerjasama
yang dibangun antar masyarakatnya. Kerja sama yang dilakukan dalam bentuk kegiatan aktivitas
kemanusiaan. Banyak kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di
Namira sedang memotong-motong sayur pare saat Sala mendekatinya, membawa serumpun ikat ikan bobara dan sekeranjang kerang.
“Kami dari memancing, kasihan ibu-ibu pengungsi yang sedang menyusui itu, mereka makan mi instan terus,” kata Sala sembari meletakkan ikan dalam sebuah loyang dan mengangkatnya di depan Namira. Gadis itu terpana mendengar rangkaian kalimat yang meluncur dari mulut Sala. Jarang sekali lelaki di usia muda seperti dirinya memikirkan nasib air susu ibu-ibu, (KEI: 70).
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa apa yang sedang dilakukan oleh Sala merupakan
bentuk kepeduliannya terhadap para ibu yang berada di pengungsian. Saat kerusuhan sedang
terjadi, Sala bahkan tidak memikirkan tentang kondisi dirinya. Keinginan Sala mambantu
sesamanya tulus dari hatinya, bukan karena paksaan.
Di pengungsian, para pemuda terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan.
Bersama dengan Tim Relawan Kemanusiaan (TKR), para kaum pemuda saling bahu membahu
untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada warga yang sedang mengungsi. Baik
kaum lelaki dan perempuan, yang tua dan yang muda, saling bekerja sama untuk kepentingan
bersama-sama.
Di sana para perempuan anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TKR) tengah memasak buat para pengungsi. Batu-batu besar berdiri tiga menyerupai segitiga. Di atasnya dandang-dandang besar mengepulkan uap panas. Namira turut serta. Gadis bermata cokelat itu menggosok-gosokkan majun di permukaan meja panjang. Lalu, dia meleret-leretkan loyang yang berisi makanan buat pengungsi, (KEI: 70).
Pukul tujuh malam, para perempuan saling membantu mengangkat loyang-loyang berisi ubi, sayur, dan ikan kuah. Para lelaki makan malam secara bergantian. Selebihnya berjaga-jaga di luar, (KEI: 71).
Di desa Kei, masyarakatnya hidup dalam kemajemukan. Beragaman agama, etnis,
antargolongan ada dalam kehidupan masyarakatnya. Namun, dalam kemajemukan tersebut
Ras, dan Antargolongan) yang terjadi, masyarakat Kei tetap saling menghargai dan menolong
sesamanya. Mereka selalu menjaga kehidupan yang rukun dalam keberagamannya tersebut.
4.2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama
Agama pada dasarnya adalah sebuah sistem kepercayaan yang di dalamnya berisi aturan
dan peraturan, hukum, praktik, doktrin-doktrin, dan ajaran-ajaran suci yang berhubungan dengan
Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi para penganutnya, agama dianggap sebagai
upaya penyucian diri untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Kehadiran agama selain diakui
dalam praktik ritualnya yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, agama juga dapat
berfungsi untuk memperkuat sikap solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Berkaitan dengan
hal ini, Horton dan Hunt (dalam Dwi dan Bagong, 2007: 254) mengatakan bahwa:
“Pranata agama memiliki fungsi manifes dan latent. Fungsi manifest (nyata) agama berkaitan dengan segi-segi doktrin, ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Tujuan atau fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar melaksanakan ritus agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan menjalankan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi latent agama, antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial, mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial, dan mengembangkan seperangkat nilai ekonomi.”
Dalam kehidupan masyarakat majemuk, keberadaan agama menjadi begitu penting
mengingat kondisi setiap anggota masyarakanya yang hidup dalam keberagaman. Seperti yang
telah dipahami bersama bahwa konsep dari masyarakat majemuk itu sendiri adalah masyarakat
yang terdiri atas kelompok-kelompok tertentu yang dibedakan melalui golongan-golongan
sosialnya, seperti suku, ras, kedudukan, sektor ekonomi, bidang politik, dan sebagainya yang
berada dalam satu Negara yang disebut suku bangsa. Perbedaan-perbedaan ini sering
menimbulkan konflik dikalangan kelompok-kelompok masyarakat. Di sinilah peran dari agama
terjalin dengan sesama anggota dalam masyarakatnya. Oleh Dwi dan Bagong (2007: 252)
mengatakan bahwa :
“Peraturan atau kaidah yang terdapat di dalam agama dapat berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan-larangan, yang semua itu agar ada keselarasan, ketertiban, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dapat tercapai.”
Lebih lanjut, Dwi dan Bagong (2007: 252) mengatakan bahwa :
“Agama tidak jarang dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim; sebagai benteng moralitas yang cukup tangguh; sebagai sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin bagi para individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan membuat manusia beradab.”
Berbicara tentang persoalan agama memang tidak ada habisnya. Di sisi lain, jika melihat
kasus-kasus sosial yang terjadi selama ini, agama tidak sepenuhnya dianggap sebagai sistem
perekat solidaritas dalam bermasyarakat. Buktinya keberadaan agama itu sendiri sering diperalat
oleh oknum-oknum tertentu untuk menciptakan konflik-konflik sosial dikalangan masyarakat.
Pengelompokan masyarakat berdasarkan agamanya juga dapat membangun ketidakharmonisan
hubungan sosial antar masyarakatnya. Oleh Elly dan Usman (2011: 351) mengemukakan bahwa:
“secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi juga menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut agama yang menyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-penganut agama.”
Erni Aladjai dalam novelnya KEI, menggambarkan kehidupan suatu kelompok
masyarakat yang begitu rukun terhadap sesamanya. Kelompok masyarakat yang dimaksudkan di
sini adalah masyarakat Kei. Masyarakat Kei merupakan kelompok masyarakat yang majemuk.
Banyak terdapat perbedaan-perbadaan sosial yang begitu mencolok pada setiap anggota
yang paling mendominasi pada masyarakat Kei adalah agama Islam dan agama Kristen
(Protestan dan Katolik). Walaupun memiliki perbedaan dari segi agamanya, akan tetapi dalam
praktik sosialnya masyarakat Kei tetap bersatu. Mereka dapat hidup berdampingan dengan
damai, seperti yang digambarkan di kamp-kamp pengungsian pada novel tersebut. Saat konflik
SARA melanda pulau Kei dan sekitarnya, baik masyarakat lokal maupun yang berasal dari luar
pulau Kei bergabung dalam satu pengungsian yang sama yang berada di Desa Kei. Masyarakat
yang bergabung dalam pengungsian tersebut beragam. Ada yang beragama Islam, Kriten
Protestan, dan Kristen Katolik. Semuanya bersatu, saling menghormati, menolong, dan menjaga
sesamanya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.
Namira dan para pengungsi bergabung dengan warga lokal di sana. Mereka mengungsi di dalam Gereja Ohoinol. Sementara di luar, Warga Ohoinol berjaga-jaga. Tak ada jarak agama. Pengungsi beragama Islam ikut berlindung ke dalam Gereja. Di luar, warga Ohoinol yang beragama Katolik berjaga-jaga. Mereka menjaga keamanan. Melindungi saudara-saudara mereka yang Islam dan Protestan, (KEI: 23).
Ada beberapa bentuk kerukunan beragama dalam masyarakat. Dalam hal ini, oleh
Yewangoe (2002: 28) membagi konsep kerukunan beragama ke dalam tiga bentuk yang disebut
sebagai Tri Kerukunan beragama, yaitu kerukunan antar-umat beragama, kerukunan intern-umat
beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan antar-umat
beragama dapat diartikan sebagai kerukunan yang terjalin diantara agama-agama yang berbeda.
Kerukunan intern-umat beragama adalah kerukunan yang dibangun oleh para umat dengan
agama yang sama. Sedangkan kerukunan umat beragama dengan pemerintah merupakan bentuk
kerukunan yang tercipta melalui kerjasama-kerjasama antara tokoh-tokoh agama dengan
pemerintah. Jika melihat data di atas, maka ada dua bentuk kerukunan yang tercipta saat warga
berada di dalam gereja Ohoinol, yaitu bentuk kerukunan antar-umat beragama dan kerukunan
yang baik antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen. Sedangkan
bentuk kerukunan intern-umat beragama adalah saat keberadaan warga yang beragama Protestan
dipengungsian, mendapatkan perlakuan yang baik dari warga yang beragama Katolik.
Semua warga Kei sama. Mereka bersaudara dan menghormati setiap perbedaan yang ada.
Masyarakat Kei suka menolong. Seperti yang dilakukan oleh sosok Namira dan keluarganya.
Namira dan keluarganya menganut agama Islam. Akan tetapi, ayah Namira suka berbagi dan
membantu kepada sesamanya yang beragama Kriten. Jika ada kegiatan-kegiatan amal seperti
pembangunan gereja, ayah Namira selalu meluangkan waktu dan tenaganya untuk ikut dalam
pengerjaan tempat ibadah tersebut.
“…Namira kenal baik pendeta itu. Dahulu waktu di sekoloah dasar, ayahnya kerap memintanya mengantarkan ikan kerapu yang masih segar ke rumah Pendeta Fritz. Kadang-kadang jika ada kegiatan amal gereja, ayahnya ikut membantu membangun tenda-tenda terpal, (KEI: 23).
Di desa Kei, para warganya selalu melakukan kegiatan-kegiatan amal. Pembangunan
tempat-tempat ibadah dikerjakan bersama-sama. Misalnya, warga Kei yang beragama Kristen
ikut terlibat langsung dalam pembangunan sebuah masjid. Sebaliknya, bagi warga Kei yang
beragama Islam memperbolehkan masjid dipakai untuk tempat ibadah bagi warga Kei yang
beragama Kristen jika diperlukan. Bentuk kekeluargaan ini sudah menjadi tradisi yang terus
menerus diajarkan kepada orang-orang di Kei.
Bagi para penganutnya, menjalankan ritual-ritual yang berhubungan dengan agama yang
dianutnya adalah bagian yang penting dan wajib untuk dilaksanakan. Begitupun dengan
masyarakat Kei. Warga Kei yang beragama Kristen memiliki kewajiban untuk beribadah pada
hari minggu. Di kamp pengungsian, pelaksanaan ibadah minggu pagi dilakukan. Bagi warga Kei
yang beragama Islam turut menenangkan diri untuk menjaga suasana agar tetap hening. Mereka
berusaha untuk memberikan kenyamanan bagi saudaranya yang beragama Kristen yang sedang
beribadah. Menghormati orang yang sedang beribadah adalah praktik kerukunan di dalam
beragama itu sendiri.
Minggu pagi, sebagian pengungsi berpakaian rapi. Mereka membawa Alkitab memasuki gereja. Namira mengamati mereka satu per satu. Wajah yang tenang menuju pemujaan Tuhannya. Di tenda tinggal pengungsi muslim. Suasana hening. Yang tak ibadah menghormati yang sedang beribadah, (KEI: 92).
Ikatan persaudaraan antar masyarakat Kei sangat Kental. Rasa persaudaraan ini juga
melahirkan sikap kepedulian terhadap sesamanya dan telah mematahkan perbedaan-perbedaan
yang ada. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.
Pengungsi dibagi dua kelompok. Satu kelompok akan diungsikan ke Gereja Langgur. Satunya lagi akan diungsikan di rumah Pastor Gerardus. Nasib mereka pasrahkan saja pada Tuhan. Esme mengungsi ke rumah Pastor Gerardus. Namira berada di kumpulan orang-orang yang mengungsi ke gereja. Esme memeluk Namira. Dia mengeluarkan kalung emasnya dengan liontin Nabi Isa di kayu salib. Namira tertegun melihat liontin itu,
“Ambil ini, jika kau butuh uang, kau bisa menjualnya,” kata Esme sembari menarik tangannya den menyimpan kalung itu. Esme menggenggam tangan Namira.
“Tapi.”
“Ambilah. Rusuh di Kei tak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen. Tuhan dan agama tak pernah mengkhianati pemeluknya. Manusialah yang mengkhianati Tuhan dan agamanya.”
Dari kutipan diatas, semangat kepedulian yang terjalin diantara Esme dan Namira
adalah bentuk dari persaudaraan masyarakat Kei terhadap sesamanya. Esme memiliki
hubungan yang baik dengan Namira. Sebenarnya keduanya berbeda agama. Esme
beragama Kristen sedangkan Namira beragama Islam. Akan tetapi, selama di
pengungsian keduanya saling menyayangi dan mengasihi. Esme memberikan sebuah
liontin kepada Namira sebagai wujud kepeduliannya terhadap Namira. Kekeluargaan
seperti inilah yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kei. Walaupun di dalam perbedaan
tersebut, warga Kei masih mau memberi dan menolong sesamanya.
4.2.3 Kerukunan Antar Suku
Suku atau suku bangsa adalah suatu istilah yang ada pada masyarakat sebagai bentuk
identitas diri yang dilihat melalui pengelompokan kebudayaannya. Dalam hal ini, menurut
Koentjaraningrat (1990: 264-265) mengenai penyebutan suku diusulkan harus secara lengkap,
yaitu suku bangsa. Menurutnya, penyebutan kata suku pada masyarakat dalam sistem
peristilahan etnografi dan ilmu hukum adat di Indonesia, sudah mempunyai arti teknikal yang
khas. Namun, sejauh ini belum ada ketetapan dalam pemakaian kedua istilah tersebut. Jadi, baik
istilah suku maupun suku bangsa bisa digunakan untuk menyebutkan suatu golongan masyarakat
tertentu. Masih menurut Koentjara di dalam buku yang sama, bahwa konsep istilah suku bangsa
adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan indentitas akan kesatuan
kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas itu seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasanya
juga.
Hal serupa juga diutarakan oleh Elly dan Usman (2011: 469) bahwa antara suku satu
dengan suku lainnya terdapat ciri khas masing-masing, terutama pola-pola kehidupannya yang
perkawinan. Kesadaran atas persamaan kebuayaan ini juga menandai keterjalinan hubungan
yang lebih dekat lagi diantara masyarakatnya yang bersangkutan dibandingkan dengan individu
di luarnya. Dengan kata lain, kedekatan setiap anggota kelompok masyarakatnya yang sesuku
lebih kental dibanding dengan masyarakat di luar sukunya. Oleh sebab itu, Pengelompokan
masyarakat berdasarkan kesukuannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial dalam
bermasyarakat.
Dalam novel KEI, pengarang menggambarkan kehidupan masyarakat Kei yang hidup
rukun dalam keberagaman sukunya. Hubungan antar suku dalam masyarakatnya sangat baik.
Perbedaan suku diantara warganya tidak lantas membuat masyarakat di desa Kei terpecah-pecah.
Saat kerusuhan sedang memuncak di luar pulau Kei dan sekitarnya, keadaan masyarakat di desa
Kei masih cukup aman. Semua warga Kei saling mengingatkan agar setiap suku yang ada di desa
mereka tidak terlibat dalam konflik. Warga Kei juga melakukan diskusi atau musyawarah yang
bertujuan untuk mencari jalan keluar agar kerusuhan cepat mereda. Hal ini digambarkan dalam
kutipan berikut.
Ketika kerusuhan mulai memuncak di Kei, raja-raja adat orang Kei asli, para perantau; Bugis, Jawa, Buton, dan orang Tionghoa, semua berkumpul dan membicarakan perdamaian, (KEI: 119).
Dari kutipan di atas, musyawarah yang dilakukan oleh raja-raja adat Kei dengan suku
lainya untuk membicarakan perdamaian. Musyawarah perdamaian ini merupakan seuatu bentuk
usaha yang dilakukan warga Kei untuk tetap menjaga hubungan yang baik terhadap sesama
masyarakat Kei. Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa Kei, seperti tokoh adat dan tokoh
agama sangat berperan penting di dalam mewujudkan hal tersebut.
kerumunan warga sedang membicarakan bagaimana cara mengamankan desa mereka, (KEI: 18).
Ismael Kabalmay adalah salah satu tokoh agama di pulau Kei tepatny di desa Elaar.
Ismael menyuarakan agar setiap warga Kei tidak terpancing oleh riak-riak konflik yang sedang
melanda desa mereka. Semua warga mendengarkan seruan tokoh ulama tersebut. Mereka paham
betul apa yang disampaikan oleh Ismael Kabalmay. Warga saling berpelukan dan meyatukan
diri. Persaudaran warga Kei cukup kental. Baik warga perantau maupun penduduk asli di desa
Kei saling menolong dan menghormati. hal ini digambarkan pada kutipan berikut.
Tiga hari kemudian, kabar itu terbukti. Para penyerang telah mematahkan kelompok kecil pemuda Evu yang menjaga batas keamanan desa. Seorang pengusaha keturunan Cina Ambon pemilik kapal barang “Cinta Semusim” yang sering berangkat ke Makassar mengambil barang-barang tekstil dan bahan-bahan pangan, mengajak siapa saja yang ada di dekat bibir pantai untk mengungsi.
Kapal barang KM Cinta Semusim bertolak dari dermaga pulau Evu. Gadis itu menuju ke Makassar bersama ratusan pengungsi yang merupakan para pedagang Bugis dan Buton, (KEI: 147-148).
Pemilik kapal “Cinta Semusim” yang merupakan seorang keturunan Cina Ambon adalah
pengusaha yang cukup sukses di pulau Kei. Upayanya untuk menyelamatkan setiap warga yang
terjebak dalam situasi kerusuhan pada saat itu mengisyaratkan sikap solidaritasnya yang tinggi
terhadap sesamanya. Pengusaha keturunan Cina Ambon tersebut tidak membeda-bedakan warga
yang ingin di selamatkan. Semua warga yang terjebak kerusuhan diajak untuk masuk ke dalam
kapalnya. Hal ini menggambarkan perbedaan suku diantara warga Kei bukanlah penghalang bagi
mereka untuk saling menolong dan menjaga sesamanya. Justru di dalam perbedaan yang ada,
masyarakat Kei dapat hidup rukun dan berdampingan dengan baik.
4.2.4 Hubungan Persahabatan
Persahabatan merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang terjadi di masyarakat.
Hubungan yang dimaksud di sini adalah hubungan yang lebih kental dan mendalam dari
hubungan pertemanan pada umumnya. Menurut Kurth (dalam Ahmadi, 1999: 232), persahabatan
adalah suatu hubungan antar pribadi yang akrab atau intim yang melibatkan setiap individu
sebagai suatu kesatuan.
Dalam novel KEI, digambarkan persahabatan di antara Namira dan Mery sudah lama
terjalin. Di keluarganya, Namira dan Mery memiliki latar belakang yang sama, yaitu mereka
berdua sama-sama anak tunggal. Dalam menjalin persahabatan, faktor dari latar belakang
persamaan menjadi sangat penting karena dapat mendorong mutu dari persahabatan itu sendiri.
Menurut Ahmadi (1999: 232) bahwa pada umumnya persahabatan timbul karena kecenderungan
adanya persamaan di antara keduanya, seperti kesenangan atau hoby, berfikir, keinginan atau
cita-cita, nasib dan sebagainya. Hubungan Namira dan Mery sangat dekat. Sejak duduk di
sekolah dasar, Mery dan Nanmira sudah menjalin hubungan persahabatan. Bahkan mereka
seperti saudara kandung. Semuanya ini terlihat dalam kutipan berikut.
Namira amat menyayangi Mery, mereka sudah serupa saudara kandung. Mery dan Namira yang sama-sama anak tunggal telah saling mengikat diri dalam tali persaudaraan semenjak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, (KEI: 133).
Mery sudah seperti bagian dari keluarga besar Namira. Kedua orang tua Namira sangat
menyayangi Mery. Hubungan keduanya terlihat unik pada saat Mery ikut makan malam bersama
dengan keluarga besar Namira. Saat doa pemubaka makan malam dimulai, fenomena yang
terlihat adalah Mery berdoa sesuai dengan kepercayaannya, sedangkan Namira beserta
keluarganya akan berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Walaupun diantara keduanya
ada perbedaan agama, namun Mery selalu mendapatkan kehangatan dari kedua orang tua
Orang-orang di rumah Namira selalu sayang padanya. Jika Mery datang disaat mereka bersiap-siap makan malam maka Samrina akan memaksanya ikut makan bersama kendati Mery baru usai makan di rumahnya. Jika ikut makan di sana, maka ayah Namira akan memimpin makan malam seraya berkata “Mari berdoa menurut kepercayaan masing-masing.” Mery sering tertawa dalam hati. Kalimat itu mengingatkan dia pada penutupan pidato dalam Upacara Hari Senin, (KEI: 104).
Setiap kali Mery datang bertamu kerumah Namira, Samrina akan menyambutnya dengan
hangat. Samrina adalah ibu dari sahabatnya Mery. Rasa kepedulian Samrina terhadap keluarga
Mery cukup besar. Jika Mery datang, Samrina akan menyakan keadaan orang tuanya. Hal ini
menggambarkan hubungan antara Mery dengan Namira telah diikat oleh sebuah kekeluargaan.
Setiap kali Mery datang ke rumah Namira, Samrina akan berhenti menjahit. Dia akan merentangkan kedua tangannya dan Mery bergegas menyongsongnya.
“Bagaimana kabar ibu dan bapakmu?” tanya Samrina.
“Papa sedang melakukan penyuluhan TBC di desa letfuan.” Ayah Mery Kaplale adalah seorang mantra kesehatan, (KEI: 108-109).
“Ibumu bagaimana kabarnya, apakah dia sehat?” tanya Samrina lagi pada Mery.
“Mama sedang sibuk mengurusi LSM nya.”
“Ibu amat bangga pada ibumu, Mery. Dia perempuan yang cerdas dan mau berjuang untuk rakyat kecil macam kami ini.” (KEI: 109).
Semenjak kerusuhan terjadi di pulau Kei, Namira dan Mery menjadi terpisah-pisah.
Namira berada di kamp pengungsian warga, sedangkan Mery tinggal bersama keluarganya.
Keduanya saling merindukan. Hal ini digambarkan pengarang pada saat kedatangan Mery yang
tiba-tiba ke kamp pengungsian warga tempat Namira tinggal. Mereka langsung berpelukan untuk
melepaskan kerinduannya masing-masing.
Mery memeluk sahabatnya. Mengalirkan kekuatan pada gadis itu. Malam itu mereka tidur berdampingan dalam hening. Tak ada lagi percakapan jelang lelap seperti dulu yang biasa mereka lakukan, (KEI: 95).
Menurut Ahmadi (1999: 232) bahwa persahabatan merupakan konsep sosial yang
murni, persahabatan menuntut pemeliharaan dalam semua interaksinya. Persahabatan
merupakan jenis interaksi sosial yang tulus keluar dari hati tanpa melihat aspek-aspek
sosialnya masing-masing. Sebuah hubungan persahabatan membutuhkan rasa kesetiaan
dan kepedulian diantara individunya yang saling berhubungan. Hal inilah yang
digambarkan pengarang dalam hubungan persahabatan antara Namira dengan Mery.
Konflik yang sedang memanas di pulau Kei dan sekitarnya adalah konflik yang berbau
SARA. Akan tetapi, Namira dan Mery tetap menjaga hubungan persahabatan mereka
dengan baik.
Keesokan magribnya, di bibir Pantai Langgur, Namira melepas Mery balik ke desanya. Mereka kembali berpelukan. “Kamu tetap sayang saya, walaupun saya Islam kan?” Tanya Namira pada Mery dengan mata bengkak.
“Jangan bicara begitu, Ra, tak ada Islam, tak ada Kristen…”, (KEI, 95).
“Kapan kita bisa bersama lagi?” tanya Namira kembali.
“Secepatnya Ra, kalau kampung sudah aman. Saya sudah meminta pada mama agar kamu dibawa ke Evu. Tapi ibu bilang demi keselamatanmu, kamu di sini dulu. Ini hanya untuk sementara…” Mery memeluk Namira untuk kesekian kalinnya. Gadis itu berbisik; “Makanlah kue itu, itu pertama kali mama turun ke dapur. Mama dan papa mengingatmu. Berdoa semoga rusuh akan lekas berakhir.” (KEI, 96).
Dari kutipan di atas, menggambarkan kesetiaan Mery terhadap sahabatnya. Mery
menegaskan kepada Namira bahwa perbedaan agama diantara mereka tidak mengurangi rasa
persaudaraannya terhadap Namira. Keluarga Mery juga memiliki rasa yang sama. Keluarga
Mery selalu mendokan Namira. Dari pengalaman Namira, Emeliana ibunya Mery adalah sosok
Namira bertamu kerumah Mery, Emeliana selalu menyambutnya dengan ramah. Terkadang
Emeliana menemani Namira dan Mery bermain. Bentuk kekeluargaan inilah yang tergambar dari
hubungan persahabatan Namira dengan Mey.
Sepanjang Namira mengenalnya, Emeliana memiliki mata yang ramah dan penuh kasih sayang. Dia selalu sibuk bekerja mengurusi pendidikan kerakyatan. Jika Namira bertamu di rumah Mery, dan kebetulan Emeliana tak sedang serius bekerja, dia akan menonton bersama kedua gadis itu, (KEI: 110).
Sejak kerusuhan memanas di pulau Kei dan sekitarnya, Mery selalu mencurahkan
perhatiannya kepada Namira. Mery sangat sedih dengan kondisi Namira. Dia terus mencari tahu
khabar tentang keadaan sahabatnya itu. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut.
Mery memeluk Namira dan mengucapkan maaf berkali-kali. Mereka bertangis-tangisan dalam kondisi panik. Beberapa saat yang lalu, Mery meminta pamannya untuk menjemput Namira di Langgur dan membawanya ke Evu. Emiliana baru saja menerima kabar lewat radio komunikasi kalau Langgur telah rusuh, dia meminta Mery dan Orlando adiknya segera menjemput Namira, (KEI: 128).
Dari kutipan di atas, digambarkan bagaimana kepanikan yang dirasakan Mery saat
mengetahui kamp pengungsian yang ditempati Namira diserang oleh kelompok perusuh. Secepat
mungkin Mery menjemput Namira ke kamp pengungsiannya. Upaya yang dilakukan oleh Mery
terhadap sahabatnya itu adalah bentuk kesetiaan yang dibangun dalam hubungan persahabatan
mereka. Persahabatan Mery dengan Namira yang sudah lama terjalin kini membuat keduannya
memiliki ikatan batin yang kuat. Mereka sudah seperti bersaudara. Walaupun diantara mereka
terdapat perdebedaan agama yang begitu mencolok, namun keduanya tetap rukun dalam
menjalin hubungan persahabatannya.
4.2.5 Hubungan Cinta
Menurut Ahmadi (1999: 236) ada empat elemen utama yang mendasari tumbuhnya rasa
memang benar-benar murni keluar dari hati akan memiliki ke empat elemen tersebut. Dalam
novel KEI, pengarang tidak ada menggambarkan hubungan percintaan para tokoh pencerita yang
berujung ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, dalam ceritanya terdapat hubungan percintaan
antara Sala dengan Namira yang begitu harmonis. Awalnya Salad an Namira dipertemukan di
kamp pengungsian. Tujuan keduanya berada di kamp pengungsian sangat berbeda. Sala berada
di kamp pengungsian sebagai sukarelawan yang membantu para pengungsi, sedangkan Namira
sebagai warga pengungsi. Ketika itu, Sala bersama beberapa kaum lelaki lainnya bertugas untuk
menjaga keselamatan para pengungsi, khususnya kaum hawa. Saat itu para pengungsi dibagi
menjadi dua kelompok dan Sala menjaga bagian kelompok yang di isi oleh Namira.
Namira berjalan melewati belakang rumah orang-orang, menuju jalan setapak. Di samping jalan ada kantor balai desa. Namira sempat melihat orang-orang di sana sedang berunding di bawah lampu stromking. Kini mereka melewati pinggir-pinggir rumah penduduk. Merunduk-runduk di bawah jajaran pohon maja. Buahnya bulat-bulat besar berwarna hijau bagai kepala-kepala bergelantungan dalam cuaca gelap. Namira bergidik. Tiba-tiba gadis itu merintih. Sesuatu yang setajam pisau telah menancap di telapak kakinya, (KEI: 68).
“Saya keluarkan pecahan botol ini. Kalau tidak, kaki nona bisa infeksi.” Namira berjalan timpang mengikuti pemuda yang barusan mengeluarkan pecahan botol itu di kakinya. Sesekali pemuda yang satunya mengarahkan cahaya senter di depan kaki-kaki para pengungsi yang terus melangkah maju.
“Namamu siapa?” tanya Namira Evav pada pemuda itu. “Sala, hanya Sala, tak pakai marga. Nama nona?” “Namira.” (KEI: 69).
Pada dasarnya, rasa cinta akan memberikan kebahagiaan tersendiri bagi individunya yang
berhubungan. Rasa bahagia tersebut muncul karena adanya keinginan untuk saling melengkapi
dan menyayangi. Hal ini terpancar dari hubungan yang dibangun oleh Sala dengan Namira.
Semenjak mereka menjalin hubungan percintaan, keduanya selalu bahagia. Hal ini digambarkan
Sejak berkenalan dengan Namira, Sala mulai bisa tertawa. Sebaliknya, sejak bertemu Sala, wajah Namira tak lagi muram. Sala menggenggam tangan Namira, menyatukan jemarinya dengan jemari gadis itu. “Saya menyayangimu,” katanya lirih, (KEI, 91).
Rasa cinta merupakan ungkapan perasaan seseorang yang paling dalam terhadap orang
yang dicintainya, bukan semacam cinta yang dibuat-buat agar seperti dicintai atau mencintai.
Ketulusan cinta diukur dari seberapa besar rasa pengertian, rasa kasih sayang, dan rasa kesetian
yang dimiliki seseorang. Dalam novelnya, pengarang menggambarkan cinta yang dimiliki oleh
Sala kepada Namira benar-benar tulus keluar dari hati keduanya. Ketulusan cinta keduanya diuji
dari perbedaan yang mereka miliki. Sala merupakan warga Kei yang beragama Kristen,
sedangkan Namira beragama Islam. Namun, mereka dapat bersatu dalam ikatan percintaan yang
murni.
“Hmm, apakah bisa pacaran beda agama?”
Pada pertanyaan itu Namira terdiam beberapa saat. Dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan bocah itu.
“Kenapa diam, kak?”
“Boleh tidak?” susu si bocah lagi. Namira merunduk hingga kepalanya sejajar dengan kepala bocah itu. Kedua tangannya menyenatuh pundak si bocah.
“Yang mengatur kasih sayang itu Tuhan. Jadi, kita tak bisa memilih pada siapa hati diberikan. Hati selalu punya pilihan sendiri. Kamu paham kan sayang?” Gadis kecil itu menggeleng, (KEI: 141).
Cinta sebenarnya adalah anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Semuanya sudah diatur
oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanyalah sebagi aktor yang menjalankan perannya
Walupun berbeda agama, mereka tetap dapat bersatu dan hidup rukun dalam hubungan
percintaannya yang dibangun.
Selesai mandi dan berpakaian, Sala membimbing Namira di atas ranjang, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur kapuk bersprei kuning. Dia menyelimuti Namira dan hendak beranjak keluar, tetapi dia mendengar gadis itu kembali terisak. Sala tak jadi keluar. Dia kini duduk di tepi ranjang. Pemuda itu menghapus air mata Namira dengan ujung jemarinya. Mata pemuda itu juga merah menahan kesedihan. Dia merasakan kesedihan yang sama setiap kali Namira sedih, (KEI, 97-98).
Dari kutipan di atas, pengarang menggambarkan perhatian yang dicurahkan Sala kepada
Namira begitu besar. Sala selalu menjaga Namira dengan baik. Menurut Soekanto (1982: 233)
bahwa rasa cinta sejatinya menghasilkan perbuatan-perbuatan yang mengarah ke hal-hal yang
positif, dari pertemuan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ketulusan cinta Sala kepada
Namira dapat disebut sebagai bentuk perbuatan yang baik, mengingat cinta itu sendiri ungkapan
perasaan yang tulus. Bagi Sala, Namira adalah sosok yang sangat penting dalam hidupnya. Sala
kini tidak memiliki siapa-siapa lagi. Ibunya sudah meninggal akibat rusuh yang terjadi di pulau
Kei. Hal ini diungkapkan langsung oleh Sala kepada Namira.
Sala kemudian mengucapkan sesuatu “Saya ingin berjanji padamu satu hal. Saya akan melindungimu. Kau satu-satunya orang yang saya sayangi sekarang,” kata Sala, (KEI, 99).
Semakin lama, rasa cinta Sala kepada Namira semakin besar. Sala berkeinginan untuk
menikahi Namira apabila kerusuhan di pulau Kei sudah mereda. Ungkapan perasaan ini
menunjuk betapa tulusnya cinta yang dimiliki Sala terhadap Namira. Hal ini terdapat dalam
kutipan berikut.
Dari kutipan di atas, kesungguhan rasa cinta yang dimiliki Sala kepada Namira
dibuktikan dengan keinginan Sala untuk menikahi Namira. Namira merasakan keseriusan akan
cinta yang dimiliki Sala kepadanya. Akan tetapi, takdir berkata lain. Pada akhir ceritanya,
pengarang menggambarkan bahwa cinta Sala dengan Namira berujung kepada perpisahan.
Sebelum rusuh mereda di pulau Kei, Sala pergi merantau untuk mencari Namira. Di tanah
perantaunnya, akhirnya Sala meninggal duni. Dia meninggalkan segala kenangannya yang indah,
tentang hubungan persaudaraannya di desa Kei, tentang hubungan percintaannya yang rukun,
dan tentang hubungan kekeluargaannya dengan masyarakat Kei. Sedangkan Namira kembali ke
tanah kelahirannya, yaitu tanah Kei. Semenjak kelompok perusuh masuk ke desa Evu, Namira
memilih ikut mengungsi ke Makassar. Setelah kerusuhan mereda, Mery meminta sahabatnya
untuk pulang ke pulau Kei.
4.2.6 Adat Istiadat
Adat istiadat merupakan suatu sistem budaya dari sebuah kebudayaan tertentu yang
diwariskan oleh para leluhur dan diajarkan ke generasi berikutnya secara turun temurun.
Sejatinya, adat istiadat adalah unsur tertua dari unsur kebudayaan yang ada karena sifatnya yang
prinsipil dan teknis, berkaitan dengan konsep pandangan hidup mengenai apa yang baik dan
yang buruk, yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan, tentang nilai, cita-cita dan
sebagainya sehingga tidak akan bisa terlepaskan dari masyarakat penganutnya. Oleh karena itu,
sedikit banyak konsep adat dapat mempengaruhi atau membentuk mental dan karakter sesorang
di dalam menjalani kehidupannya. Menurut Koentjaraningrat (1990: 188) adat istiadat
merupakan sistem budaya yang di dalamnya secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya,
pandangan hidup, cita-cita, norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan dari manusia
Dalam novel KEI, kehidupan masyarakat Kei yang digambarkan pengarangnya begitu
kental dengan adat istiadatnya yang ada. Masyarakat Kei selalu memiliki pandangan tersendiri
tentang hidup dan kehidupan tersebut. Walaupun masyarakat Kei diikat oleh berbagai perbedaan
yang ada (seperti Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), namun mereka tetap dapat hidup
berdampingan dengan rukun. Hal ini tidak terlepas dari ajaran-ajaran tentang kebijakan hidup
yang diwariskan oleh para leluhurnya kepada mereka. Dalam menjalani kehidupannya,
ajaran-ajaran para leluhur tersebut menjadi acuan bagi masyarakat Kei. Masyarakat Kei selalu
mengingat dan menghargai sejarah budayanya. Salah satunya seperti yang diterdapat dalam
kutipan novel KEI di bawah ini.
Orang Kei punya falsafah hidup; kita adalah telur-telur yang berasal dari seekor ikan dan seekor burung yang sama. Orang Kei punya pandangan yang kuat tentang rasa persaudaraan mereka. Rasa persaudaraan itu telah terikat adat dan hukum adat sejak zaman sejarah, dan adat selalu di atas segala-galanya daripada agama yang datang belakangan, (KEI: 118).
Saat kerusuhan sedang terjadi di pulau Kei, sebagian dari masyarakat Kei selalu
mengingatkan akan petuah-petuah leluhur mereka. Petuah yang mengajarkan tentang
persaudaraan dan kasih terhadap sesama. Petuah-petuah ini jugalah nantinya yang menjadi
bagian terpenting dalam membentuk karakter dan pandangan hidup yang baik bagi masyarakat
Kei di dalam bersosialisasi terhadap sesamanya, sehingga masyarakat Kei dapat hidup rukun
dalam keberagamannya. Ada beberapa adat budaya yang menjadi pedoman hidup bagi warga
Kei. Adat budaya ini menjadi akar dari kerukunan yang tercipta dalam kehidupan masyarakat
Kei.
4.2.6.1 Adat Ken Sa Faak
Kata Ken sa faak, diambil dari bahasa Kei yang berarti kita semua salah. Ken sa faak
praktiknya, adat ini dapat mendamaikan orang-orang Kei yang sedang bertikai. Contohnya
seperti konflik yang sedang terjadi di Kei. Konflik di Kepulauan Kei meletus di Tual pada akhir
Maret 1999. Kerusuhan tersebut berlangsung dengan cepat dan sudah banyak memakan korban
jiwa. Akan tetapi, berkat adat ken sa faak dan kearifan lokal lainnya (hukum adat), perang
saudara di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dapat diselesaikan dengan cara musyawarah.
Rakyat Kei mampu berdamai tanpa bantuan pemerintah, aparat keamanan, atau
lembaga-lembaga hak asasi manusia Internasional. Dalam musyawarah yang dilakukan, pihak-pihak yang
bertikai dikumpulkan. Setelah dilakukan pendekatan adat tersebut, pihak-pihak yang bertikai
secara sadar mengakui kebenaran dan kesalahannya masing-masing.
Dalam novel KEI, pengarang menggambarkan bagaimana masyarakat Kei melakukan
upacara adat ken sa faak. Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kei bertujuan untuk
membersihkan atau menyucikan segala bentuk pelanggaran yang terjadi. Dalam upacara tersebut
akan dilakukan semacam pengikraran perdamaian terhadap sesama masnyarakatnya yang
bertikai. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan berikut.
Perdamaian ditempuh dengan konsep ken sa faak. Mula-mula usaha yang ditempuh keduanya adalah fnevh nuh- pembersihan kampung secara adat dari pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan kedua kampung yang bertikai. Setelah itu barulah dilakukan sumpah perdamaian abadi, (KEI: 130).
Hukum adat ken sa faak menjadi salah satu hukum adat yang di tempuh untuk dapat
meredam kerusuhan yang semakin menjadi-jadi. Saat kerusuhan sedang terjadi, masyarakat Kei
sangat berharap banyak dengan hukum adat mereka untuk dapat meredakan kerusuhan tersebut.
“Saya dengar orang-orang TKR dan perangkat adat, akan menghentikan kerusuhan ini dengan kekuatan ken sa faak,” kata Mery memecahkan kebekuan dan ketegangan yang berlangsung, (KEI: 128-129).
4.2.6.2 Adat Vehe Belan
Dalam budaya Kei, ada dikenal upacara adat Vehe Belan. Adat Vehe Belan merupakan
upacara adat yang menandakan bahwa sudah adanya perdamaian yang ditempuh oleh warga
yang bertikai. Vehe Belan juga dapat berfungsi sebagai ritual adat yang digunakan untuk
meredam suatu pertikaian yang terjadi pada masyarakat Kei.
Namira membalikkan peta itu, di belakang peta itu ada tulisan tangan Mery; bawalah ini, jika kau lupa jalan pulang.
“Apa dikatakan sahabatmu, kenapa wajahmu mendadak sedih?” tanya Bu Nana saat menemui Namira di depan meja kasir. Surat dari Mery tergelatk di atas meja.
“Dia mengabarkan Vehe Belan di sana, Ibu,” kata Namira. Namira menyembunyikan kesedihannya.
“Vehe Belan, apa itu?” tanya Ibu Kumala.
“Itu ritual adat untuk memadamkan pertikaian antara satu desa dengan desa lainnya di kampung saya. Warga kedua kampung yang bertikai saling mengunjungi. Mereka membentuk barisan dengan gerakan seperti orang mendayung perahu.”
“Oh ya? Kenapa mereka harus membuat gerakan mendayung perahu?” Nana tampak tertarik dengan penjelasan Namira.
“Bagi orang Kei, mendayung perahu bermakna sebagai usaha menempuh suatu tujuan.”
“Terus jelaskan padaku,” kata Nana bersemangat. Nana selalu tertarik dengan hal-hal yang menyangkut pengetahuan local, (KEI: 193).
4.2.6.3 Adat Larwul Ngabal
Adat Larwul Ngabal pada hakikatnya merupakan dua hukum adat yang dipersatukan,
yaitu Hukum Larwul dan Hukum Ngabal. Hukum Larwul bersal dari pulau Kei yang ditandai
dengan disembelinya seekor kerbau milik seorang puteri yang bernama Dit Sak Mas. Dalam
bahasa Kei, Lar artinya darah dan War artinya merah, diambil dari sebuah situs internet,
Masih dari sumber yang sama, arti dari Larwul adalah darah merah dan Ngabal adalah
tombak atau tiang lancip. Warga Kei selalu mentaati hukum ini. Masyarakat patrilinial yang
berada di kepulauan Kei mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat. Dalam bahasa Kei
ada sebutan Vu’ut Ain Mehe Ngifun, Manut Ain Mehe Tilur, yang artinya adalah telur-telur satu
ikan dan satu burung. Masyarakat Kei memiliki kepercayaan bahwa orang-orang Kei berasal dari satu keturunan. Selain itu, dalam kehidupannya sehari-hari ada juga pepatah leluhur yang
selalu diingat masyarakat Kei, yaitu Ain Ni Ain, yang berarti “kita semua adalah satu”, sampai
saat ini masih dipegang teguh dalam sanubari masyarakat Kei, diambil dari sebuah situs internet
Dalam kehidupan masyarakat Kei, ada beberapa petuah-petuah leluhur dituliskan dalam
bahasa Kei yang menjadi bagian dari kehidupan warga Kei dan petuah-petuah itu juga dijadikan
sebagai pandangan hidup dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Petuah-petuah leluhur
tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Itdok fo ohoi itmian fo nuhu yang artinya kita mendiami atau menempati kampug maupun desa kita, di mana kita hidup dan makan dari alam atau tanahnya.
2. Itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdit mimiir atau bemiir, yang artinya kita menempati tempat kita dan tetap menjinjit bagian kita.
3. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat, memiliki arti kita tetap memikul semua kepentingan kampung atau desa kita dengan hukum adatnya.
4. Itwait teblo uban ruran, yang berarti kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus.
6. Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan, artinya adalah segingga leluhur pun ikut menjaga dan melindungi kita.
7. Duad enfangnan wuk, berarti Allah pun melindungi kita.
Data ini bersumber dari sebuah situs internet
Untuk lebih menjelaskan fungsi dari ketujuh petuah-petuah di atas, maka di bawah ini akan
dijabarkan lebih konkrit lagi larang atau pelanggaran-pelanggaran hukum adat yang isinya
diurutkan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran-pelanggaran tersebut. Hukum ini mirip
dengan hukum pidana, di mana masyarakat Kei menyebutnya Hukum Nev Nev, yaitu sebagai
berikut:
1. Muur nai, berfungsi jika seseorang mengata-ngatai dan menyumpahi.
2. Hebang haung atau haung hebang, memiliki fungsi jika orang Kei berencana untuk berniat jahat.
3. Rasung smu-rodang daid, berfungsi jika seseorang mencelakakan orang lain dengan jalan ilmu hita, doti, dan lain-lain.
4. Kev bangil atau ov bangil, berfungsi jika seseorang memukul atau meninju orang lain. 5. Tev hai-sung tawa, memiliki fungsi jika seseorang melempar, menikam, dan menusuk
orang lain
6. Fedan na, tetwanga, berfungsi jika seseorang membunuh, memotong, memancung orang lain.
Data ini bersumber dari sebuah situs internet
Di Pulau Kei, kerusuhan yang terjadi berlangsung cukup lama hingga membuat warga
Kei resah. Desa yang dulunya tenang kini berubah menjadi desa yang menakutkan. Oleh karena
itu, para tokoh-tokoh masyarakat ingin meredakan konflik dengan cara pendekatan adat Larwul
Ngabal. Adat Larwul Ngabal merupakan hukum adat Kei, di mana saat hukum itu dibacakan semua orang Kei disekap bisu dan mengeluarkan air mata. Hal ini dikarenakan sejarah dari
hukum adat tersebut. Bagi siapa yang melanggarnya maka hukuman sosial yang diterimanya
sangat berat, (keterangan yang digambarkan pengarang dalam novelnya).
“Dua malam lalu, sepulang saya mengantarmu dan para pengungsi lainnya ke sini, saya ikut bergabung dengan rapat yang digelar tokoh-tokoh ada di balai desa. Mereka membicarakan rekonsiliasi. Hukum adat Larwul Ngabal adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan perang saudara ini.” (KEI: 75).
Dalam adat Larwul Ngabal diajarkan bahwa air mata seorang perempuan adalah air mata
emas. Oleh sebab itu, setiap lelaki di Kei tidak boleh sembarangan mengeluarkan air mata
seorang perempuan. Adat ini juga mengajarkan kepada masyarakat Kei agar setiap lelaki di Kei
hanya boleh berkelahi untuk menjaga kehormatan perempuan.
Malam nanti, dia aka bercerita lagi kepada Namira. Tentang air mata emas perempuan Kei. Kaum lelaki di Kei harus menghormati para kaum perempuan. Dalam Larwul Ngabal, air mata perempuan Kei disamakan dengan emas. Air mata perempuan tak boleh sembarang ditumpahkan. Oleh karena itu, lelaki Kei sejati hanya akan berperang untuk membela kehormatan perempuan, (KEI : 93-94).
4.2.6.4 Penyerahan Sirih dan Pinang
Konflik yang terjadi di pulau Kei diselesaikan dengan cara adat Kei. Awal
penyelesaiannya dimulau dari desa Evu. Saat kabar beredar bahwa Evu akan diserang maka ibu
suatu rencana, yaitu melakukan penyerahan sirih dan pinang kepada kelompok penyerang saat
akan menyerang desa Evu. Penyerahan sirih dan pinang ini merupakan pendekatan secara adat
yang dilakukan oleh kaum perempuan Kei untuk menghentikan perkelahian diantara kaum lelaki
di Kei. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut.
Ketika mendengar kabar kalau pulau Warwut- pulau di selatan Evu itu akan menyerang Evu. Sebagai aktivis kemanusiaan perempuan, Emiliana ingin melakukan pencegahan. Dia telah menghubungi istri kepala desa. Dan rencana telah dibuat, jika para penyerang datang ke Evu, maka kaum perempuan akan menyambut penyerang dengan membawa sirih dan pinang. Sejak ribuan tahun lalu, sirih dan pinang memiliki kekuatan sebagai upaya permohonan damai di Kei, (KEI: 147).
Rencana yang buat Emiliana bersama perempuan lainnya untuk meredam kemarahan
lelaki Kei yang berkelahi nampaknya cukup berhasil. Saat para lelaki membawa senjata-senjata
tajam untuk menyerang desa Evu, bersama perempuan lainnya, Emiliana masuk ke
tengah-tengah dan menyerahkan sirih pinang kepada kelompok penyerang. Para kelompok penyerang
tersebut wajib harus menerima sirih pinang yang diberikan oleh kelompok perempuan sebagai
tanda perdamaian. Satu persatu senjata dijatuhkan ke tanah, dan kelompok penyerang mundur
dengan teratur.
Di Evu, para penyerang telah menguasai seperempat kampung. Mereka merasa sudah di atas angin. Saat darah mereka mendidih terbakar amarah, Emiliana dan perempuan lain yang dipimpin Dorothea maju ke tengah-tengah kekacauan dan menyerahkan sirih dan pinang. Aliran darah panas para penyerang itu langsung berhenti. Mereka tertegun dan secara serempak, dengan serta merta menjatuhkan senjata-senjata tajam yang mereka bawa. Mereka tahu ketentuan adat Kei. Mereka harus menerima sirih pinang itu dan memakannya sebagai tanda damai.
Dalam ajaran adat Kei, perempuan adalah lambang hawear yang merupakan tanda sakral
atau perdamaian. Ketika para lelaki Kei berkelahi jalan satu-satunya yang ampuh untuk
mendamaikannya adalah perempuan. Di Pulau Kei, petuah leluhur ini terus menerus diajarkan
oleh seorang ibu kepada anaknya. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Nak, kau tahu dalam ajaran adat Kei, satu-satunya alasan orang berperang atau berkelahi adalah untuk mempertahankan kehormatan kaum perempuan dan kedaulatan batas wilayah. tolong jangan berkelahi lagi. Laki-laki yang benar-benar lelaki tak akan sembarang berkelahi!”
Sala mengangguk. Baru kali itu dia merasa dirinya tak jantan. Berkelahi karena hanya tak tahan ejekan. “Sebenar-benarnya laki-laki adalah lelaki yang marah karena melihat kehormatan perempuan dilecehkan.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya, (KEI: 44-45).
Sebagai seorang ibu, Martina selalu menyampaikan hal tersebut kepada Sala. Sala pun
memahami betul akan petuah leluhur yang tidak boleh dilanggar. Setiap tindakan yang akan
diambilnya, Sala selalu berusaha untuk menyesuaikannya dengan ajaran leluhur. Begitupun
ketika Sala akan disuruh untuk membunuh seseorang. Dia tidak mau menjalankan perintah itu
karena ajaran para leluhur yang terus dia hormati.
“Jika ajaran adat dilanggar, leluhur dan Tuhan tak pernah mengampuni kita! Tulah akan mengikuti tubuh kita di darat, laut, dan udara. Saya tak akan melakukan pembunuhan ini. Tak akan!” kata Sala dengan wajah memerah, (KEI: 174).
4.2.6.5 Prisip Satu Leluhur
Dalam novelnya KEI, digambarkan kehidupan masyarakat Kei yang mengenal prinsip
satu leluhur. Prinsip satu leluhur merupakan sebuah keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat
Kei bahwa semua warga Kei berasal dari satu leluhur yang sama jadi tidak ada alasan bagi siapa
pun untuk membeda-bedakan setiap warga Kei. Prinsip satu leluhur inilah menjadi warisan yang
coba terus dipegang oleh masyarakat Kei untuk hidup saling berdampingan dan menjaga
mengingatkan kembali petuah-petuah leluhur agar masyarakat Kei tidak terhasut oleh konflik.
Seperti yang disampaikan oleh pendeta Fritz kepada masyarakat Kei yang sedang berkumpul.
Pendeta Fritz memandang wajah orang-orang yang lemas. Dia memegang bahu seorang lelaki muda yang kehilangan istrinya. Mencoba menguatkan. Beberapa saat kemudian, dia berujar dalam bahasa Kei; “Ain ni ain manut ain mehe ni tilur, wuut ain mehe ni ngifun, Jangan pernah kita lupakan petuah leluhur! Kita semua berasal dari satu keturunan. Semua orang Kei adalah saudara!” petuah yang keluar dari mulut pendeta itu, membangkitkan semangat pengungsi, (KEI: 23-24).
Pendeta Fritz merupakan salah satu tokoh agama terkemuka di Kei. Dia tahu betul
bagaimana perasaan warga Kei pada saat itu. Petuah dalam bahasa Kei Ain ni ain manut ain
mehe ni tilur, wuut ain mehe ni ngifun, yang memiliki pengertian bahwa semua orang Kei adalah saudara, berasal dari satu telur yang sama dan seekor burung yang sama pula. Oleh karena itu,
melalui petuah yang disampaikan pendeta Fritz bertujuan untuk mengingatkan semua masyarakat
Kei agar tidak terlibat dengan konflik yang terjadi.
4.2.6.6 Pela
Pela yang disebut juga pula pela gandong adalah suatu sistem hubungan sosial yang
dikenal dalam masyarakat Maluku, berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri
(sebutan untuk sebutan kampung maupun desa) dengan negeri lainnya, yang biasanya berada di
pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong).
Biasanya dalam satu negeri memiliki paling tidak sedikitnya satu atau dua Pela yang berbeda
jenisnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Pela).
Pela-gandong ialah perserikatan antara satu negeri di pulau-pulau Ambon-Lease dengan satu atau beberapa negeri lain di pulau Seram, perserikatan didasarkan pada hubungan
persaudaraan sekandung sejati, dengan isi dan tata laku perserikatan yang diatur dalam perjanjian
sebagai dasar hukum bagi implementasinya dari waktu ke waktu (Lokollo, 1997: 5). Pada
prinsipnya ada dikenal tiga jenis Pela pada masyarakat yaitu Pela Karas (Keras), Pela
Gandong (Kandung) atau Bongso (Bungsu) dan Pela Tampa Siri (TempatSirih). Ketiga jenis
Pela tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negri (kampung) atau lebih karena
terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan
peperangan antara lain seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu (tak ada yang
menang atau kalah perang), atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu Negri kepada Negri
lain.
2. Pela Gandong atau Bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga
hubungan antara kerabat keluarga yang berada di Negri atau pulau yang berbeda.
3. Pela Tampa Siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung,
seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu Negri telah
berjasa kepada Negri lain. Jenis Pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar
hubungan perdagangan (http://id.wikipedia.org/wiki/Pela).
Maka pela dianggap suatu ikatan persaudaraan yang suci terhadap semua penduduk antar
Negeri di Maluku. Hal ini tercermin pada data berikut.
“Sala, Pela” Panggilan pela selalu menurunkan derajat kemarahan siapapun orang Maluku. (KEI, 49).
Sebutan Pela yang melambangkan persaudaraan ini terus digunakan masyarakat Kei
untuk menyapa sesamanya. Bagi masyarakat Kei, ketika seseorang menyebut kata Pela terhadap
orang lain maka jalinan dalam persaudaran sudah dimulai. Begitu juga saat seseorang sedang
marah terhadap orang lain, dan orang lain yang dianggap menjadi lawannya tersebut