• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA

PENDERITA SINUSITIS KRONIS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

OLEH: RIRI AMALIAH

101301003

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

SKRIPSI

GAMBARAN PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA PENDERITA SINUSITIS KRONIS

Dipersiapkan dan Disusun oleh: RIRI AMALIAH

101301003

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 16 Juli 2014

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji 1. Indri Kemala Nst, M.Psi, psikolog Penguji I/

NIP. 198303192006042001 Pembimbing

2. Ade Rahmawati, M.Psi, psikolog Penguji II NIP. 198104032005022001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Medan, 5 Juli 2014

(4)

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis Riri Amaliah dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis. Sinusitis kronis dapat menjadi salah satu hambatan pada remaja dalam melakukan penyesuaian sosial. Teori penyesuaian sosial dari Schneider (1964) digunakan berdasarkan aspek penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Prosedur pengambilan partisipan dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja perempuan yang menderita sinusitis kronis mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dan masyarakat dikarenakan adanya perasaan malu untuk menjalin hubungan dengan oranglain. Namun remaja perempuan tersebut mampu melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dengan baik karena adanya dukungan serta perhatian dari anggota keluarga. Remaja laki-laki yang mengalami penyakit sinusitis kronis, dapat mengatasi segala hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat. Lingkungan yang positif dalam menanggapi penyakit sinusitis kronis serta adanya dukungan serta perhatian dari beberapa pihak membuat remaja laki-laki tersebut dapat dengan baik melakukan penyesuaian sosial meskipun dengan kondisi penyakit sinusitis kronis. Selain itu, ada faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada kedua partisipan, yaitu faktor kepribadian dan jenis kelamin..

(5)

Overview of the Social Adjustment In Adolescents Chronic Sinusitis Patients Riri Amaliah and Indri Nasution Kemala

ABSTRACT

This study aims to describe the social adjustment in young patients with chronic sinusitis. Chronic sinusitis can interrupted with the social adjustment of an adolescence. The theory of social adjustment of Schneider (1964) used by the aspect of social adjustment in the family, at school and in the community through qualitative research with intrinsic case study approach. Participants in this study amounted to 2 people. Participants performed retrieval procedure based on the theory or operational construct.

The results of this study indicate that adolescent girls who suffer from chronic sinusitis have problems in social adjustment in the school and community environment due to feelings of shame to build relationships with other people. But teenage girls are able to make adjustments in the social environment of a well because of the support and care of family members. Teenage boys who experience chronic sinusitis, can overcome all obstacles in social adjustment in the family, school and community. Positive environment in response to chronic sinusitis disease and the support and attention of several parties make teenage boys can be socially well adjusted despite the condition of chronic sinusitis. In addition, there are other factors that influence the social adjustment on both participants, the personality factors and gender.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan berkah dan hidayahNya selama menjalankan kewajiban menuntut ilmu hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, semoga penulis selalu dapat meneladaninya.

Adapun judul skripsi yang penulis susun untuk memenuhi tugas akhir ini, yaitu “ Gambaran Penyesuaian Sosial pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis “.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan serta saran selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ayah tercinta Suhanto dan ibunda tersayang Asmaliah Rangkuti . Terima kasih atas semangat serta kasih sayang yang sampai saat ini masih penulis rasakan. Terima kasih juga karena telah berdoa buat anaknya, bersabar mendampingi serta mendengarkan keluh kesah selama menjalani masa perkuliahan, terutama saat menyelesaikan skripsi ini dan terima kasih untuk bantuan materil dan spiritual yang telah diberikan selama ini.

2. Ibu Prof.Dr.Irmawati, M.Si., psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta pembantu Dekan I, II dan III Fakultas Psikologi USU.

3. Terima kasih penulis ucapkan kepada I

(7)

meluangkan waktu dan fikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah Swt membalas segala kebaikan yang telah ibu berikan.

4. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ade Rahmawati, M.Si, psikolog dan Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya ditengah kesibukan dan memberikan banyak masukan sehingga penelitian ini bisa lebih baik lagi.

5. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Eka Danta Jaya Ginting, M.,A selaku pembimbing akademik. Terima kasih atas bimbingan dan sarannya untuk terus bersemangat dalam menjalani kegiatan akademik.

6. Terima kasih buat saudara-saudaraku tercinta bang Fadly, Syafira Amaliah dan yang paling utama Rizka Amaliah untuk dukungan serta doanya selama ini .

7. Terima kasih buat teman terbaikku, teman saat susah dan senang (Rizqi Chairiyah, Rosa Mentari Putri, Fauziah Nami Nst, Cut Rafyqa dan Tika Ramadhani) yang selalu siap memberikan doa dan bantuannya.

(8)

9. Seluruh teman-teman seperjuangan angakatan 2010, terima kasih buat kerjasamanya selama ini.

10.Terimakasih juga buat kak Zizah dan Jamal yang membantu penulis dalam mencari responden demi terselesaikannya penelitian ini.

11.Kepada kedua Partisipan dan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan bantuan yang telah diberikan.

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER DALAM ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

a. Manfaat Teoritis ... 10

b. Manfaat Praktis ... 11

(10)

BAB II LANDASAN TEORI

A.Penyesuaian Sosial ... 13

1. Pengertian Penyesuaian Sosial ... 13

2. Aspek-aspek Penyesuaian Sosial ... 14

3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ... 15

B. Penyakit Kronis Sinusitis ... 16

1. Pengertian Penyakit Kronis Sinusitis ... 16

2. Gejala dan Tanda Klinis ... 17

C. Remaja ... 20

1. Definisi Remaja ... 20

2. Batasan Usia Remaja ... 20

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 21

D. Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis ... 22

E. Paradigma Teoritis ... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Kualitatif ... 26

B. Lokasi Penelitian ... 26

C. Partisipan Penelitian ... 27

D. Metode Pengumpulan Data ... 28

(11)

F. Alat Bantu Pengumpulan Data ... 30

G. Kredibilitas Penelitian ... 31

H. Prosedur Penelitian ... 32

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 32

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 35

3. Tahap Pencatatan Data ... 37

I. Metode Analisa Data ... 37

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI A. Hasil ... 41

1. Analisa Data Partisipan 1 ... 41

2. Data Wawancara Partisipan 1 ... 42

a. Data Hasil Observasi ... 43

b. Data Hasil Wawancara ... 45

B. Analisa dan Pembahasan Partisipan 2 ... 64

1. Analisa Data Partisipan 2 ... 64

2. Data Wawancara Partisipan 2 ... 65

a. Data Hasil Observasi ... 65

b. Data Hasil Wawancara ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Partisipan 1 ... 41

Tabel 2 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1 ... 42

Tabel 3 Rekapitulasi Penyesuaian Sosial Penderita Sinusitis Kronis ... 61

Tabel 4 Gambaran Umum Partisipan 2 ... 64

Tabel 5 Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 2 ... 65

Tabel 6 Rekapitulasi Penyesuaian Sosial Penderita Sinusitis Kronis ... 84

Tabel 7 Analisa Banding ... 87

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Penderita

Sinusitis Kronis Partisipan 1 ... 63 Gambar 2 Skema Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Penderita

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

Gambaran Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis Riri Amaliah dan Indri Kemala Nasution

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis. Sinusitis kronis dapat menjadi salah satu hambatan pada remaja dalam melakukan penyesuaian sosial. Teori penyesuaian sosial dari Schneider (1964) digunakan berdasarkan aspek penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat melalui penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang. Prosedur pengambilan partisipan dilakukan berdasarkan teori atau konstrak operasional.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja perempuan yang menderita sinusitis kronis mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah dan masyarakat dikarenakan adanya perasaan malu untuk menjalin hubungan dengan oranglain. Namun remaja perempuan tersebut mampu melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga dengan baik karena adanya dukungan serta perhatian dari anggota keluarga. Remaja laki-laki yang mengalami penyakit sinusitis kronis, dapat mengatasi segala hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga, sekolah serta masyarakat. Lingkungan yang positif dalam menanggapi penyakit sinusitis kronis serta adanya dukungan serta perhatian dari beberapa pihak membuat remaja laki-laki tersebut dapat dengan baik melakukan penyesuaian sosial meskipun dengan kondisi penyakit sinusitis kronis. Selain itu, ada faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial pada kedua partisipan, yaitu faktor kepribadian dan jenis kelamin..

(16)

Overview of the Social Adjustment In Adolescents Chronic Sinusitis Patients Riri Amaliah and Indri Nasution Kemala

ABSTRACT

This study aims to describe the social adjustment in young patients with chronic sinusitis. Chronic sinusitis can interrupted with the social adjustment of an adolescence. The theory of social adjustment of Schneider (1964) used by the aspect of social adjustment in the family, at school and in the community through qualitative research with intrinsic case study approach. Participants in this study amounted to 2 people. Participants performed retrieval procedure based on the theory or operational construct.

The results of this study indicate that adolescent girls who suffer from chronic sinusitis have problems in social adjustment in the school and community environment due to feelings of shame to build relationships with other people. But teenage girls are able to make adjustments in the social environment of a well because of the support and care of family members. Teenage boys who experience chronic sinusitis, can overcome all obstacles in social adjustment in the family, school and community. Positive environment in response to chronic sinusitis disease and the support and attention of several parties make teenage boys can be socially well adjusted despite the condition of chronic sinusitis. In addition, there are other factors that influence the social adjustment on both participants, the personality factors and gender.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan manusia. Masa remaja juga merupakan masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam pembentukan kepribadian seseorang. Remaja akan dihadapkan pada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui sebagai persiapan memasuki tugas perkembangan tahap berikutnya (Hurlock, 1999). Dalam masa peralihan ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam perkembangan manusia dimana karena adanya perubahan tersebut, tentu saja akan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh remaja, baik secara fisik, psikis maupun sosial (Thornburg, 1982).

(18)

sosial, penampilan fisik yang menarik merupakan potensi yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai hasil yang menyenangkan.

Menurut American Academy of Pediatrics (1993), kondisi kesehatan kronis merupakan suatu penyakit atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan (Belsky, 1990). Banyak orang dengan penyakit kronis merasa sadar diri tentang masalah kesehatan mereka, bahkan adanya stigma yang ingin mereka sembunyikan dari orang lain (Scambler dalam Sarafino, 2011). Jadi, penyakit kronis dapat menghambat tumbuh kembang remaja karena hampir seluruh hidupnya dalam kondisi terkena penyakit, meskipun beberapa penderita penyakit kronis tetap bisa menjalankan hidupnya seperti orang normal biasanya.

Salah satu fenomena di lingkungan sekitar adalah seorang remaja yang menderita penyakit sinusitis kronis. Penyakit sinusitis kronis tersebut merupakan

inflamasi mukosa sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Arsyad,

(19)

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit (Mangunkusomo, 2007). Survei Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 provinsi. Data dari Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis (Mangunkusomo, 2007).

Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis. Sinusitis dikatakan kronis ketika penyakit tersebut berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai dengan terjadi perubahan histologis mukosa sinus yang

irrevisible (Hilger, 1997). Sejalan dengan pernyataan salah satu subjek, yang

dalam hal ini salah satu remaja penderita sinusitis ini telah mengalami sinusitis saat berumur 5 tahun dan sampai sekarang umur 15 tahun.

“ ... pas itu udah beberapa kali ngikuti cara penyembuhan kayak scanning, penyedotan di hidung, tapi gak sembuh juga tapi penyakit sinusitisnya makin parah ..”

( Komunikasi personal, 28 oktober 2013)

(20)

Iskandar, Nurbaiti; Bashiruddin, Jenny; Dwi, Ratna, 2007). Gejala terparah yang sekarang ini dirasakan penderita berupa penghidu, yaitu hilangnya indra penciuman dimana pasien tidak bisa mencium bau yang bisa dicium orang normal.

“ .... gak enak lah, sekarang udah gak bisa lagi cium bau-bau atau

wewangian yang ada, termasuk bau dari hidung saya sendiri ...”

(komunikasi personal, 29 juni 2013)

Hilangnya penciuman (penghidu) merupakan salah satu gejala atau keluhan yang sering dirasakan penderita sinusitis kronis. Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah tulang ethmoid (Ballenger, 1997). Gejala lain yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis ini berupa sekret

mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif

non-produktif juga seringkali ada. Secret mukopurulen merupakan cairan yang

bersifat kental berwarna kehijauan yang terkadang seperti nanah (Sobol, 2011).

Sekret mukoprulen yang berbau busuk sering dirasakan oleh individu yang berada

disekitar penderita. Hal tersebut diungkapkan responden pada saaat wawancara. “ .... selalu orang bilang, “hidungmu bau kali, bau kali atau ada yang bilang mulutmu bau, mungkin karena bau dari hidungnya, jadi difikir temen mulut yang bau ..

(komunikasi personal, 29 juni 2013)

“..malu kak, kalau ada teman yang bilang hidung saya bau. Jadi, kalau

sama temen deket kira-kira ngerasa bau, yah sadar aja, kasi jarak sama kawan. Tapi kalau sama kawan dekat pasti, mereka udah ngerti, jadi kalau bau kali, mereka yang kasi jarak …. “

(21)

Keluhan sinusitis kronis terkadang tidak begitu khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 gejala tersebut yang timbul (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Masalah kesehatan kronis seperti ini biasanya mengharuskan pasien dan keluarganya membuat penyesuaian perilaku, sosial dan emosional. Belajar dari penyakit kronis yang serius dengan cepat mengubah cara mereka melihat diri mereka dan kehidupan mereka (Sarafino, 2011).

Pollin (1984) menyatakan bahwa individu akan menghadapi penyesuaian penting selama tiga kali, yaitu ketika kondisi kronis tersebut di diagnosa, ketika penyakitnya semakin memburuk dan pada titik dimana situasi tersebut harus diatasi oleh orang medis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan subjek dimana saat pertama kali didiagnosa terkena penyakit sinusitis saat umur 5 tahun rasanya tidak percaya :

eee.. perasaannya ya campur aduk, antara percaya dan tidak. Tapi

dengan seperti itu saya jadi berkemauan untuk sembuh dengan cara

apapun asalkan saya sembuh ...”

(Komunikasi Personal, 27 juni 2013 ).

Hurlock (1999) menerangkan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Penyesuaian sosial itu sendiri merupakan kemampuan remaja dalam menyesuaikan dirinya pada lingkungan sekitarnya, sehingga tercapai hidup yang selaras dan harmonis.

(22)

tampak mengasingkan diri dari pergaulan sosial. Schneider (1964) menjelaskan bahwa seseorang yang tidak mampu membangun relasi dengan orang lain dan lebih menutup diri dari relasi sosial akan menghasilkan penyesuaian sosial yang buruk. Individu yang tidak berhasil atau gagal dalam melakukan penyesuaian sosial dan tidak mampu mengatasi konflik yang dihadapinya atau tidak menemukan cara-cara yang tepat untuk mengatasi masalah atau tuntutan dari lingkungan, sehingga hal tersebut menimbulkan rasa frustrasi pada dirinya. Penyesuaian sosial yang tidak berhasil terjadi karena kondisi tertekan yang dialami individu yang mengakibatkan ia bertindak tidak rasional dan tidak efektif, serta mendorong individu melakukan usaha yang tidak realistis untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya (Schneider, 1964).

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Penyesuaian sosial juga disebut sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial tersebut meliputi penyesuaian di lingkungan keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, kondisi psikologis, kondisi lingkungan, serta budaya dan agama.

(23)

masyarakat, seperti hukum, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial. Penyesuaian sosial seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti, kondisi kesehatan ( Schneider, 1964).

Remaja dalam kondisi kesehatan dengan penyakit kronis akan berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis terkadang memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003). Menghadapi penyakit kronis yang mungkin diidap selama bertahun-tahun, pasien dan keluarga perlu melakukan penyesuaian sosial dan emosional yang baik (Sarafino, 2011). Menurut Pollock, Christian & Sands dalam Sarafino, (2011), orang-orang yang mengatasi masalah kesehatan kronisnya dengan baik memiliki kepribadian yang kuat atau tangguh yang memungkinkan mereka untuk melihat sisi baik atau menemukan arti dalam situasi yang sulit.

Menurut Schneider (1964) dengan adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga ditambah lagi dengan kepribadian yang tangguh dapat memberikan semangat untuk tetap menjalani hidup meskipun dengan penyakit sinusitis kronis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari salah satu subjek :

“ ... keluarga terutama orang tua tuh selalu cari obat supaya cepat sehat, paling gak, gak ada bau dan tidak pening kepala sama penciuman ada lagi

(24)

“ …kadang-kadang kalo pas pening kepala, mama perhatian, karena kan sampe sakitt kali .. ee kalo ingus besarnya mau keluar sampe capek di kamar madi tunduk-tunduk. Mama lah sama kakak paling yang baek, haha pagi-pagi masak air hangat untuk di hirup, kalo pas ada duit kakak belii obat yang untuk diteteskan ke air minum, gitulah “

(Komunikasi personal, 28 oktober 2013)

Penyesuaian sosial yang baik, bisa didapatkan di keluarga dengan tidak adanya penolakan dari orang tua terhadap remaja yang menderita sinusitis kronis (Schneider, 1964). Adanya kemauan untuk saling membantu antar anggota keluarga dalam proses penyesuaian sosial remaja membuat remaja dapat melakukan penyesuaian sosial dilingkungan keluarga dengan lebih baik. Sumber utama dukungan sosial bagi kebanyakan orang yang sakit biasanya berasal dari keluarga mereka (Berg & Upchurch; Miller & Cafasso; dalam Sarafino, 2011). Namun, dukungan informasi dan emosional dari teman-teman dan tetangga, dapat membantu orang dengan masalah medis tertentu (Sarafino, 2011).

Perhatian dan penerimaan diri dari teman sebaya maupun guru di lingkungan sekolah dan berpartisipasi pada aktivitas di sekolah serta menjalin hubungan baik dengan komponen sekolah dapat membantu remaja dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan sekolah. Penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara wajar dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi diri dari lingkungannya (Schneider, 1964).

(25)

penyesuaian sosial antara laki-laki dan perempuan yaitu penyesuaian sosial remaja perempuan lebih tinggi dari pada remaja laki-laki. Dari perbedaan jenis kelamin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal remaja itu sendiri seperti kematangan fisik dan kemampuan sosio empatis, sedangkan faktor eksternal adalah bagaimana lingkungan dan budaya memberikan fasilitas yang positif terhadap perkembangan sosial remaja itu sendiri.

. . . saya sih ngerasa, saya punyalah kemampuan bersosialisasi yang

baik, namanya juga cewek kan (tertawa), kalau respon dari lingkungan sama tingkah laku kita postif, pasti penyesuaian sosial pun gak susah, semuanya kan tergantung gimana orangnya dan kek mana dia nanggapi situasi .”

( Komunikasi personal, 28 oktober 2013 )

Penyesuaian sosial akan dikatakan baik juga apabila individu tersebut mampu menciptakan relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, serta menghargai nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat. Ketika individu ini tidak memiliki ketertarikan untuk berpartisipasi dengan aktivitas dilingkungannya serta tidak mampu untuk mengekspresikan diri mereka sendiri, penyesuaian sosial individu tersebut dapat dikatakan buruk (Schneider, 1964).

“… karena sakit sinusitis ini dan karena sekolah juga full jadi jarang

main sama tetangga, soalnya kalau panas kan bau hidungnya, pening juga kak, lagian di rumah gak tau juga mau ikut kegiatan apa, gak minat (Komunikasi personal 28 oktober 2013)

(26)

lingkungan masyarakat juga membantu seseorang dalam melakukan penyesuaian sosial di lingkungan masyarakat (Schneider, 1964).

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, perkembangan yang terjadi pada remaja meliputi aspek fisik, kognitif dan sosial. Kondisi fisik seperti kesehatan yang kurang baik seperti dalam penelitian ini, yaitu penyakit sinusitis

kronis dapat mengganggu penyesuaian sosial seorang remaja. Remaja melakukan

penyesuaian sosial secara baik atau tidak bergantung pada bagaimana remaja melakukan penyesuaian sosial terhadap keluarga, lingkungan sekolah serta masyarakat dengan efektif. Dengan alasan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang penyesuaian sosial yang dilakukan pada remaja penderita sinusitis kronis.

B. Rumusan Penelitian

Bagaimana penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis dilihat dari aspek-aspek penyesuaian sosial ?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis.

D. Manfaat Penelitian I. Manfaat Teoritis

(27)

2. Memberikan manfaat dalam mengembangkan ilmu Psikologi terutama pengetahuan dalam bidang psikologi perkembangan yang berkaitan dengan penyesuaian sosial .

II. Manfaat Praktis

1. Memberi tambahan informasi kepada remaja mengenai hal – hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penyesuaian sosial, khususnya pada remaja penderita sinusitis kronis agar dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

2. Menambah informasi mengenai penyesuaian sosial yang baik pada penderita sinusitis, agar penderita sinusitis dapat diterima di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat meskipun dengan kondisi sinusitis kronis .

E. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan yang digunakan peneliti dalam peneitian ini adalah, sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

(28)

Bab II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori mengenai penyesuaian sosial, penyakit kronis yaitu sinusitis kronis, gambaran penyesuaian sosial remaja penderita sinusits kronis dan paradigma teoritis .

Bab III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, teknik pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, serta prosedur penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini berisi deskripsi responden, analisa dan pembahasan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data - data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

(29)

BAB II Landasan Teori

A. Penyesuaian Sosial

1. Pengertian Penyesuaian Sosial

Hurlock (1999) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Menurut Eysenck, dkk dalam Anantasri, (1997) penyesuaian sosial merupakan proses individu atau suatu kelompok mencapai keseimbangan sosial dalam arti tidak mengalami konflik dengan lingkungan, dengan demikian individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Schneiders (1964) juga menyebutkan penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Penyesuaian sosial adalah proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya (Schneiders, 1964).

(30)

2. Aspek – Aspek Penyesuaian Sosial

Menurut Schneider (1964) aspek – aspek penyesuaian sosial adalah sebagai berikut:

a. Penyesuaian sosial terhadap keluarga

Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan keluarga memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

1. Adanya hubungan yang sehat antar anggota keluarga, tidak ada penolakan

(rejection) orang tua terhadap anak – anaknya, tidak ada permusuhan, rasa

benci atau iri hati antar anggota keluarga.

2. Adanya penerimaan otoritas orang tua, hal ini penting untuk kestabilan rumah tangga dan anak wajib menerima disiplin orang tua secara logis. 3. Kemampuan untuk mengemban tanggung jawab dan penerimaan terhadap

pembatasan atau larangan yang ada di dalam peraturan keluarga.

4. Adanya kemauan saling membantu antara anggota keluarga baik secara perorangan maupun kelompok.

5. Kebebasan dari ikatan secara emosional secara bertahap dan menumbuhkan rasa mandiri.

b. Penyesuaian sosial terhadap lingkungan sekolah

Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan sekolah memiliki ciri – ciri sebagai berikut:

(31)

2. Adanya hubungan yang baik dengan komponen sekolah seperti guru, dan teman sebaya.

c. Penyesuaian sosial terhadap lingkungan masyarakat

Penyesuaian sosial yang baik terhadap lingkungan masyarakat memiliki ciri – ciri sebagai berikut :

1. Mengenal dan menghormati orang lain di sosial

2. Bergaul dengan orang lain dan mampu mengembangkan sifat bersahabat, keduanya diperlukan untuk penyesuaian sosial yang efektif.

3. Penyesuaian sosial yang menarik dan dukungan untuk kesejahteraan orang lain.

4. Bersikap hormat terhadap hukum, tradisi, dan adat istiadat. Adanya kesadaran untuk mematuhi dan menghormati peraturan dan tradisi yang berlaku dilingkungan maka ia akan dapat diterima dengan baik dilingkungannya

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial

Schneider (1964) mengemukakan bahwa penyesuaian sosial seorang individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kondisi Fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi hereditas, konstitusi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot. b. Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan

(32)

c. Kondisi psikologis, meliputi pengalaman. Selain itu ada proses belajar, pembiasaan, frustrasi, dan konflik.

d. Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah dan keluarga, dimana kondisi keluarga dapat menimbulkan kesulitan remaja melakukan penyesuaian sosial.

e. Faktor kebudayaan, termasuk agama. Dimana nilai-nilai sosial budaya mempengaruhi pola pikir dan perilaku seseorang, termasuk penyesuaian sosialnya.

B. Penyakit Kronis Sinusitis

1. Pengertian Penyakit Kronis Sinusitis

Penyakit kronis merupakan penyakit yang perlu dikelola selama periode bulan, tahun, atau bahkan perjalanan hidup. Penyakit kronis terdiri dari kelompok yang sangat beragam gangguan, yang memiliki berbagai implikasi bagi perkembangan psikologis anak (Wenar, 2006). Penyakit kronis merupakan penyakit yang mempunyai karakteristik yaitu suatu penyakit yang bertahap-tahap, mempunyai perjalanan penyakit yang cukup lama, dan sering tidak dapat disembuhkan (Belsky, 1990).

Salah satu penyakit kronis tersebut ialah sinusitis. Sinusitis merupakan proses peradangan pada lapisan mukosa sinus paranasal yang mungkin timbul dari sejumlah penyebab, mulai untuk sederhana, peradangan lokal, dengan gangguan

sistemik yang serius (Jovce, 2003). Sinusitis kronis merupakan inflamasi mukosa

(33)

Hilger (1997) mengklasifikasi secara klinis sinusitis atas tiga bagian yaitu

sinusitis akut, sinusitis subakut dan sinusitis kronis. Menurut Cody (1991)

sinusitis dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yang pertama yaitu sinusitis

akut yaitu suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung adari 1 hari sampai 3 minggu, yang kedua sinusitis sub akut, yaitu infeksi sinusitis yang berlangsung 3 minggu sampai sekitar 3 bulan, dan yang ketiga adalah sinusitis

kronik yang dimulai sekitar 3 bulan dan berlangsung sampai waktu yang tidak

terbatas. Dapat disimpulkan bahwa, penyakit kronis sinusitis merupakan peradangan lapisan mukosa sinus paranasal yang mempunyai perjalanan penyakit yang bertahap dan cukup lama yang berlangsung lebih dari 3 bulan.

2. Gejala dan Tanda Klinis

Menurut Ballenger, (2007) gejala – gejala yang timbul dari penyakit sinusitis kronis yaitu :

a. Gejala subyektif a.1 Nyeri

(34)

a.2 Sakit kepala

Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff dalam Ballenger (1997) menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya berlebihnya cairan didalam tubuh (kongesti) dan pembengkakan

(edema ) di saluran yang dilewati darah ke jantung (ostium) sinus dan sekitarnya.

Sakit kepala yang bersumber di hidung akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun saat berada dikamar gelap. Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena (Ballenger, 1997).

a.3 Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada penyakit di hidung yang berhubungan dengan permukaan wajah (Ballenger, 1997).

a.4 Gangguan penghindu

(35)

superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).

b. Gejala Obyekif

b.1 Pembengkakan dan udem

Jika sinusitis yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat radang akut (periostitis).

Palpasi atau tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan

penekanan bagian tubuh dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Ballenger, 1997).

b. 2 Sekret nasal

Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinusitis

yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini (Ballenger, 1997). Pada

rinoskopi anterior dapat ditemukan secret kental mukopurulen dari meatus

medius,secret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.

Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada.

c. Diagnosis sinusitis kronis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat medis (anamnesis), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan

rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk

(36)

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan

sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karena mahal, hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan pra-operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto, 2007).

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Santrock (2003) mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial. Remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan” (Hurlock, 1999). Remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, namun tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Piaget (Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa istilah “adolescence” mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik. Dapat disimpulkan bahwa, remaja adalah individu yang berada pada peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

2. Batasan Usia Remaja

(37)

a. Remaja Awal (Early adolescence)

Sub tahap ini ditunujukan untuk individu yang berusia 11-14 tahun . Umumnya sama dengan siswa yang duduk di bangku sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan untuk pubertas.

b. Remaja Akhir ( Late Adolescence)

Sub tahap ini ditunjukan unutk individu yang berusia 15-19 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal perkuliahan. Dalam sub tahap ini muncul minat yang lebih nyata untuk karir, pacaran, dan ekplorasi identitas .

Yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini adalah individu dalam sub tahap remaja akhir yang mengalami transisi menuju dewasa.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) ada beberapa tugas perkembangan pada masa remaja, yaitu:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya

baik laki-laki maupun perempuan.

b. Mencapai peran sosial laki-laki dan perempuan.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab. e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa

lainnya.

(38)

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

D. Penyesuaian Sosial Pada Remaja Penderita Sinusitis Kronis

Schneiders (1964) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri dan dapat diterima oleh lingkungannya. Schneiders (1964) juga menyebutkan bahwa penyesuaian sosial sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas sosial, situasi, dan hubungan sehingga tuntutan atau kebutuhan dalam kehidupan sosial terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

(39)

dengan cara-cara yang lebih dapat diterima, individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional.

Penyesuaian sosial dikatakan baik ketika seorang remaja dapat melakukan penyesuaian sosial terhadap keluarga, sekolah serta dilingkungan masyarakat dengan baik (Schneiders, 1964). Penyesuaian yang berhasil memerlukan beberapa tindakan yang harus dilakukan secara terus menerus, meminimalkan keterbatasan yang dimiliki, mempertahankan hubungan dengan orang lain, menghindari

distress emosional serta mempertahankan kualitas hidup (Edward, dalam

Sarafino, 2011). Remaja yang memiliki penyesuaian sosial yang baik akan berkembang menuju pribadi yang dewasa, yaitu dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai masyarakat, seperti hukum, kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi, dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial (Schneiders, 1964).

Penyesuaian sosial seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi konstitusi fisik serta kesehatan. Kondisi fisik serta kesehatan yang kurang baik, dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dapat diterima di lingkungannya (Schneider, 1964). Menurut American Academy of Pediatrics (1993), kondisi kesehatan kronis merupakan suatu penyakit atau cacat yang diderita dalam waktu lama dan memerlukan perhatian dalam bidang kesehatan dan perawatan khusus dibandingkan dengan anak normal seusianya, baik dalam perawatan di rumah sakit, maupun perawatan kesehatan di rumah.

(40)

yang berlangsung lebih dari 3 bulan (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Remaja dalam kondisi kesehatan dengan penyakit kronis akan berbeda dengan remaja pada umumnya. Mereka hidup dengan penyakit hampir di sepanjang kehidupannya. Meskipun remaja yang memiliki penyakit kronis terkadang memiliki kemampuan sosial yang baik, mereka cenderung mengambil bagian kecil dalam aktivitas di luar rumah (Sawyer, Couper, Martin, & Kennedy, 2003).

Beberapa gejala yang akan timbul dari penyakit sinusitis kronis seperti, hidung tersumbat, demam, secret mukopurulen yang sering turun ke tenggorokan. Lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia yang bisa menimbulkan secret kental berbau busuk yang bisa dirasakan oleh orang sekitar kita (Arsyad, Efiaty, dkk, 2007). Penderita sinusitis kronis ini biasanya putus asa, karena lebih sering sakit. Mereka akan memiliki masalah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Berbagai bentuk pengobatan tidak akan membantu untuk waktu yang lama (Jovce, 2003).

(41)

E. Paradigma Teoritis

Ket :

: Faktor yang berpengaruh Penyesuaian sosial

Faktor (Schneider, 1964) : • Kondisi Fisik (Kesehatan) • Lingkungan

Tugas Perkembangan Remaja (Hurlock, 1999) : • Memperluas hubungan

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus instrinsik yang akan mengkaji secara mendalam penyesuaian sosial remaja penderita sinusitis

kronis. Penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus instrinsik dilakukan

karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian ini dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep/teori-teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasi (Poerwandari, 2007).

Penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis dapat diketahui secara lebih jelas dan terperinci dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan ini memberikan kita keluasaan cakupan (breath) dan kedalaman

(depth) yang tidak kita dapatkan dipenelitian kuanitatif serta untuk memahami

cara partisipan menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara berfikir mereka (Poerwandari, 2007).

B. Lokasi Penelitian

(43)

C. Partisipan Penelitian

1. Karakteristik Partisipan

Dalam penelitian kualitatif, partisipan umumnya diperoleh dengan pendekatan

purposif, yaitu partisipan tidak diambil secara acak, tetapi mengikuti kriteria

tertentu sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan (Poerwandari, 2005). Adapun kriteria yang digunakan untuk penentuan informasi penelitian adalah sebagai berikut:

a. Batasan usia remaja adalah 15-19 tahun (Santrock, 2003)

Penentuan masa remaja akhir dalam penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan bahwa remaja yang merupakan masa transisi perlu melakukan penyesuaian di lingkungan sosial dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat yang baik.

b. Penderita sinusitis kronis yang berlangsung sekitar 3 bulan sampai waktu yang tidak terbatas (Cody, 1991).

2. Jumlah Partisipan

(44)

tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian. Penentuan jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif bergantung pada seberapa dalam masalah yang ingin digali dalam penelitian tersebut, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan kredibilitas yang ingin dicapai melalui penelitian tersebut, serta waktu dan sumber-sumber yang tersedia (Patton, 1990). Menurut Poerwandari, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan menggunakan subjek kecil karena fokusnya pada kedalaman dan proses penelitian.

Strauss dalam Irmawati (2002) mengatakan bahwa, tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal partisipan yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan sudah cukup mendalam, maka dapat diambil partisipan penelitian dalam jumlah kecil. Pendekatan maksimal dapat dilakukan dengan partisipan yang tidak terlalu besar dan jumlah partisipan tidak diambil satu orang saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara partisipan yang satu dengan partisipan yang lain dan dapat melihat perbedaan individual. Sesuai dengan pernyataan tersebut, jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 2 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

(45)

1. Wawancara

Wawancara akan dilakukan peneliti dengan menanyakan secara langsung pada partisipan agar didapatkan informasi yang dibutuhkan. Partisipan diwawancarai untuk memperoleh penyesuaian sosial pada remaja penderita sinusitis kronis berdasarkan pengalaman subjektif dari masing-masing partisipan.

Selama proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa mencantumkan urutan pertanyaan. Wawancara yang dilakukan secara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek dan dapat mengungkap data secara mendalam, personal dan sensitif. Peneliti mengajukan pertanyaan mengenai penyesuaian sosial serta penyakit sinusitis kronis secara mendalam. Jika peneliti menganggap data wawancara belum begitu jelas untuk dapat ditarik kesimpulannya maka peneliti akan melakukan probing pada partisipan.

2. Observasi

(46)

orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut.

E. Teknik Pengambilan Partisipan

Teknik pengambilan partisipan berdasarkan teori (theory based/operational

contruct sampling). Penelitian mendasar (basic) sering menggunakan pendekatan

ini. Pengambilan partisipan ini dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar sampel sungguh-sungguh mewakili fenomena yang diteliti.

F. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2007) bahwa menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, sepeti alat perekam (tape recorder) dan pedoman wawancara.

1. Alat Perekam (Tape Recorder)

(47)

Selain itu, penggunaan alat perekam (tape recorder) memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang dikatakan oleh partisipan, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi saat wawancara seperti tawa, desahan secara tajam (Padget, 1998). Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan terlebih dahulu meminta izin atau persetujuan dari partisipan.

2. Pedoman Wawancara

Penelitian ini menggunakan pedoman umum wawancara. Peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang mencantumkan isu-isu yang akan diteliti oleh peneliti. Pedoman wawancara dibuat untuk mengingatkan peneliti mengenai informasi yang ingin diperoleh dari partisipan, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek yang mengukur penyesuaian sosial dalam teori sudah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2007).

Menurut Poerwandari (2007) penggunaan pedoman wawancara semata-mata berfungsi untuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan, yaitu

open-ended question, yang bertujuan menjaga arah wawancara tetap sesuai dengan

tujuan penelitian.

G. Kredibilitas Penelitian

(48)

kompleks. Konsep kredibilitas juga harus mampu mendemonstrasikan bahwa untuk mempotret kompleksitas hubungan antar aspek tersebut, penelitian dilakukan dengan cara tertentu yang menjamin bahwa subjek penelitian diidentifikasi dan dideskripsikan secara jelas (Poerwandari, 2007).

Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan peneliti dalam mengungkapkan penyesuaian sosial pada remaja yang menderita sinusitis kronis dilihat dari aspek-aspek penyesuaian sosial serta faktor penyesuaian sosial. Menurut Sarantakos (Poerwandari, 2007) ada empat jenis validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu validitas kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumemtatif dan validitas ekologis. Dalam penelitian ini akan digunakan validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Validitas komunikatif diperoleh melalui konfirmasi kembali, data dan analisis pada responden penelitian. Sedangkan validitas argumentatif diperoleh ketika presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

H. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

(49)

a. Mengumpulkan data

Peneliti mencari informasi dan teori mengenai penyesuaian sosial pada remaja serta teori mengenai penyakit sinusitis kronis.

b. Menyusun pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori yang digunakan yaitu (Schneider, 1964) tentang penyesuaian sosial serta aspek-aspek yang mempengaruhi penyesuaian sosial, seperti penyesuaian sosial terhadap keluarga, sekolah serta di lingkungan masyarakat serta teori mengenai penyakit sinusitis kronis. Setelah mendapatkan landasan teori, peneliti mulai menyusun pedoman wawancara dengan membuat sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan topik penelitian. Setelah pedoman wawancara disusun, peneliti melakukan

professional judgement dengan dosen pembimbing. Setelah itu, peneliti

melakukan percobaan dengan mengajukan pertanyaan ke beberapa mahasiswa untuk melihat efektifitas pedoman wawancara dan memeriksa kembali apakah tujuan yang ingin dicapai telah terpenuhi. Selanjutnya, hasil akhir dari pedoman wawancara yang tersusun dan disetujui oleh dosen pembimbing dapat dibaca pada lampiran. Pedoman wawancara ini dibuat agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

c. Membuat informed consent (Pernyataan pemberian izin oleh responden)

(50)

adanya paksaan dari siapa pun. Peneliti menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya.

d. Mempersiapkan alat-alat penelitian

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data seperti alat perekam, alat untuk mencatat, seperti alat tulis dan kertas, serta pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya.

e. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mencari informasi tentang calon partisipan penelitian ke rumah sakit di Medan untuk memperoleh data mengenai pasien sinusitis yang berusia 15-19 tahun. Instansi-instansi tersebut yakni Rumah sakit Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Pringadi. Namun untuk Rumah Sakit Haji Adam Malik peneliti mengalami hambatan dalam mengurus perizinan, sehingga kemudian peneliti berinisiatif untuk menunggu pasien di ruang tunggu rumah sakit bagian spesialis THT. Setelah beberapa kali mendatangi Rumah Sakit Haji Adam Malik dan tak kunjung mendapatkan partisipan yang sesuai, peneliti berinisiatif untuk mencari responden ke Rumah Sakit Pringadi .

(51)

Setelah menentukan calon partisipan yang sesuai, peneliti segera meminta kesediaan mereka untuk turut berpartisipasi dalam penelitian dan menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan..

f. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Setelah memperoleh kesediaan dari partisipan penelitian, melalui ditandatanganinya surat pernyataan kesediaan oleh partisipan (informed consent), peneliti membuat janji bertemu dengan partisipan dan berusaha membangun

rapport yang baik dengan partisipan. Peneliti melakukan rapport dengan

partisipan 1 sebelum melakukan wawancara. Pada partisipan 2, peneliti melakukan rapport saat wawancara pertama. Setelah itu, peneliti dan partisipan penelitian menentukan dan menyepakati waktu untuk pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

a. Memastikan ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti memastikan ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan partisipan. Hal ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan partisipan dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Informed Consent

(52)

partisipan mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

c. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Setelah partisipan menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara”, lalu peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti menggunakan pedoman wawancara

moderately scheduled interview, dimana setiap peneliti memiliki daftar

pertanyaan beserta beberapa pertanyaan probing yang mungkin dilakukan. Keuntungan dari pedoman wawancara tipe ini adalah pewawancara dan situasi (Stewart & Cash, 2000). Peneliti juga melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

d. Melakukan analisa data

Peneliti menganalisa data yang didapat dari hasil wawancara. Analisa ini berguna untuk mengklarifikasi dan menerangkan jawaban subjek sehingga lebih ringkas dan jelas.

e. Menarik Kesimpulan, membuat diskusi dan saran

(53)

3. Tahap Pencatatan Data

Peneliti menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data. Disini, peneliti menggunakan alat bantu perekam untuk membantu agar pencatatan data yang diperoleh tidak ada yang terlewatkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada partisipan untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan alat perekam.

I. Metode Analisa Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2007), yaitu :

1. Organisasi Data

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara, catatan refleksi peneliti), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

2. Koding dan Analisis

(54)

dengan menyusun transkrip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkrip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Peneliti kemudian melakukan pengujian terhadap dugaan. Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data peneliti mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Dugaan peneliti yaitu remaja yang menderita sinusitis kronis akan mengalami hambatan dalam melakukan penyesuaian sosial. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.

4. Strategi Analisis

(55)

5. Tahapan Interpretasi

(56)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini berisi analisa hasil serta pembahasan berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada kedua partisipan. Analisa dan pembahasan akan dibagi perorang agar memudahkan pemahaman pembaca mengenai penyesuaian sosial remaja penderita sinusitis kronis. Langkah pertama dari adalah dengan menjabarkan analisa data dari partisipan seperti identitas diri serta latar belakang partisipan. Selanjutnya adalah penjabaran data hasil wawancara serta pembahasan berdasarkan aspek penyesuaian sosial menurut (Schneiders, 1964) yang terdapat dalam pedoman wawancara.

(57)

A. HASIL

1. Analisa Data Partisipan 1 a. Identitas Diri Partisipan 1

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan 1

Keterangan Partisipan 1

Inisial Ss

Usia 16 Tahun

Jenis Kelamin Perempuan

b. Latar Belakang Partisipan 1

(58)

Saat pertama kali mengetahui bahwa partisipan 1 mengidap penyakit sinusitis keluarga tidak menyangka kalau partisipan 1 mengidap penyakit tersebut, karena sebelumnya tidak ada keluarga yang mengidap penyakit rongga hidung yang berdampak begitu besar pada aktivitas partisipan 1. Selama mengidap penyakit sinusitis tersebut, partisipan 1 selalu merasa tidak enak di bagian tengkuk. Gejala dari sinusitis seperti mimisan dan pening dikepala mengganggu partisipan 1 dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, seperti sekolah. Selama mengidap sakit sinusitis kronis tersebut, partisipan 1 merasa merasa risih akibat ingus yang tak henti keluar dari hidungnya.

Selama ini partisipan 1 sudah merasakan pilek atau ingusan yang banyak tiada henti. Partisipan 1 mengaku selama sebulan hanya 1 atau 2 hari ia tidak merasa ingusan. Gejala terparah timbul saat ia duduk dibangku SMP. Saat itu partisipan 1 mimisan serta merasa pusing di kepala setiap kali flu melanda dirinya. Sampai saat ini, ia duduk dibangku SMA ia masih saja merasakan sakit sinusitis tersebut.

2. Data Wawancara Partisipan 1

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1

No Partisipan Waktu Wawancara Lokasi Wawancara

1 Partisipan 1 Hari Jumat; 14 Maret 2014; Pukul 19.31 -20.07 wib

Klinik Ibrerma

2 Partisipan 1 Hari Sabtu; 15 Maret 2014; Pukul 12.16 – 13.03 Wib

Rumah partisipan

(59)

Pukul 10.13 – 10.38 Wib

4 Partisipan 1 Hari Minggu; 27 April 2014; Pukul 11.05 – 12.46 Wib

Rumah partisipan

a. Data Hasil Observasi 1

Pada pengamatan yang dilakukan pada partisipan 1 saat wawancara diperoleh data observasi mengenai partisipan 1, yaitu partisipan 1 memiliki tubuh yang cenderung kurus, tinggi sekitar 159cm, berambut ikal yang panjangnya sebahu memiliki mata yang sipit serta berkulit putih.

Wawancara pertama dilakukan di Klinik Ibrerama, Kisaran. Peneliti melakukan wawancara di sebuah klinik di Kisaran pada malam hari. Di klinik tersebut sangat sepi tidak ada orang lain kecuali peneliti, partisipan 1 serta kakak sepupu partisipan 1 dan temannya yang berada di lantai 2. Kakak partisipan 1 sempat menemui peneliti untuk menanyakan apa yang akan dilakukan bersama partisipan. Teras klinik tersebut berukuran ± 6 x 4 m. Diteras klinik tersebut terdapat beberapa kursi tunggu. Peneliti dan partisipan 1 duduk di kursi tunggu tersebut. Klinik Ibrerama terletak di pinggir jalan lintas Sumatera. Sehingga sesekali terdengar suara ricuh dari kendaraan yang lewat. Pada saat itu partisipan mengenakan baju kaos berwarna pink serta celana berwarna biru terong dan mengenakan sepatu flat polos berwarna hitam.

(60)

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dijawab oleh partisipan 1 dengan lancar dan sesekali disertai dengan beberapa gerakan tangan. Terlihat dari sesekali partisipan 1 tersenyum selama sesi wawancara. Selama wawancara ± 30 menit, sesekali ia melihat kearah jam yang berada tepat didepan posisi peneliti dan partisipan 1 duduk. Sesekali posisi telapak tangan partisipan menyebakkan poni rambut kearah belakang.

Pertemuan selanjutnya, dilakukan di kediaman partisipan 1. Kali ini peneliti diizinkan untuk menemui partisipan 1 di rumahnya yang tidak jauh dari simpang Klink Ibrertama. Jadi suasana lebih kondusif dan tidak ada gangguan. Peneliti dan partisipan 1 berbincang di ruang tamu partisipan. Ruang tamu partisipan berukuran sekitar ± 4 x 2 m . Ruang tamu tersebut bercat merah muda. Saat itu partisipan 1 mengenakan baju tidur bercelana pendek berwarna merah muda bermotif beruang dengan rambut sedikit di ikat kebelakang. Selama sesi wawancara berlangsung, partisipan 1 tetap memegang tissue dan sesekali menggunakan tissue tersebut untuk membersihkan hidungnya serta sesekali merobek-robek tissue. Posisi duduk partisipan 1 jauh lebih nyaman dari pertemuan sebelumnya. Saat ia menceritakan bagaiamana kondisi ia di kelas karena temannya tidak mau duduk dengannya, ekspresi wajahnya berkaca-kaca. Setiap pembahasan tentang teman di sekolah, wajah partisipan 1 kelihatan murung serta suara jadi lembut dan tidak selantang ketika ditanyai mengenai aktivitas maupun gejala dari sinusitis tersebut.

(61)

coklat muda. Wawancara yang dilakukan di ruang tamu rumah partisipan 1, antara partisipan 1 dan peneliti duduk berseberangan. Saat wawancara berlangsung partisipan 1 menjawab dan memberikan respon baik dan terlihat tenang dalam memberikan jawaban atau respon dari setiap pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Pada wawancara terakhir, dikediaman partisipan 1. Kali ini partisipan 1 membawa boneka berbentuk pisang dan ia meletakkan boneka tersebut diatas paha. Selama sesi wawancara berlangsung partisipan tetap mengeluarkan senyum lebar (grinning). Namun partisipan 1 berwajah murung atau sedih setiap ia disuruh menceritakan atau ditanya mengenai sekolah serta teman-teman yang ada di sekolah kenapa tidak ada yang mau berteman dengannya. Mata partisipan langsung berkaca-kaca dan intonasi suara partisipan 1 langsung menurun, dan sedikit terbata-bata. Partisipan 1 menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba mengelap hidungnya dengan tissue dan memperbaiki poni rambutnya. Pada wawancara kali ini ibu partisipan terlihat berada di rumah dan sempat tersenyum menyapa peneliti.

b. Data Hasil Wawancara 1 1. Latar Belakang Penyakit

(62)

dari pihak dokter membuat penyakit sinusitis partisipan 1 bertambah parah dan menjadi sinusitis kronis.

“ Pas dulu udah sering pilek-pilek gitu cuma parahnya pas awal SMA kak. Pokoknya dari SMP udah sering ingusan-ingusan gitu kak “

(W1/R1/A.1/k46-48/hal 3)

Penyakit yang sudah ia rasakan selama bertahun-tahun membuat partisipan 1 harus menerima penyakitnya tersebut. Berbagai pengobatan ia jalani agar penyakit sinusitisnya sembuh. Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak semua orang dapat dengan baik melakukan penyesuaian dengan kondisi kesehatan kronis, meskipun penyakit sinusitis kronis bukan salah satu gejala yang dapat menyebabkan kematian. Ketika suatu penyakit kronis didiagnosa, seorang individu akan menghadapi penyesuaian. Partisipan 1 didiagnosa terkena penyakit sinusitis saat ia checkup ke suatu rumah sakit di Kisaran saat ia duduk dibangku SMP. Dokter menjelaskan secara langsung bahwa partisipan 1 menderita penyakit sinusitis . Pada saat itu dokter menawarkan penyembuhan dengan cara operasi.

“Pernah,makanya tau sinusitis, terus disarankan operasi kak.” (W1/R1/A.1/k.58-59/hal.4)

Saat pertama kali didiagnosa menderita penyakit sinusitis partisipan 1 merasa partisipan 1 merasa risih dengan gejala yang ditimbulkan dari penyakit sinusitis ini, seperti selalu ingusan, kepala pusing serta susah bernafas.

“ gak enak lah kak, karena kan risih , ingusan, pilek-pilek terus. Sering kali tu kepala adek peninnng kali, gak tahan lah pokoknya kalau udah sakit, belum lagi susah nafaskan. Pilek itu sebulan paling sekali atau dua kali sembuh, abis tu ingusan lagi “

(63)

Gejala objektif yang dirasakan partisipan 1 seperti mimisan, tengkuk sakit serta bau yang ditimbulkan dari ingus (sekret) yang keluar dari hidung partisipan 1 membuat beberapa aktifitas sehari-hari menjadi terganggu. Meskipun bau yang ditimbulkan dari hidung tersebut tidak selalu tercium oleh orang lain, malah terkadang bau tersebut juga dirasakan partisipan 1 sendiri.

“ ehm … paling bau kak, itupun kadang – kadang (W1/R1/A.1/k.76-78/hal.5)

“ Yah, bauknya itu kadang bauuu kali, kadang hilang kak. Paling bau kalau ingus besarnya mau keluar.”

(W1/R1/A.1/k.80-83/hal5)

Gejala subjektif seperti pusing juga begitu mengganggu partisipan 1 beraktifitas terutama saat ia di sekolah. Dengan keadaan seperti ini menyebabkan partisipan 1 tidak bisa menjalankan segala aktifitasnya dengan maksimal.

“ pokoknya kalau udah kumat kak, mau matilah sakit kali hidung ini, ke pipi –pipi pun terasa sakit, kening lah paling terasa, belum lagi pas ingus besarnya mau keluar, ampun lah kak .”

(W1/R1/A.1/k121-125/hal 8)

2. Penyesuaian Sosial Penderita Sinusitis Kronis a. Penyesuaian Sosial Di lingkungan Keluarga

(64)

keluarga yang mengidap penyakit seperti itu. Artinya Sinusitis bukan salah satu penyakit generatif.

“ reaksi orangtua saat mengetahui saya sakit sinusitis kronis yah terkejutlah, biasanya gak pernah ngalami mimisan, tiba – tiba kok mimisan gitu . . terus hidung bau ingus busuk gitu kak. Adek aja mau muntah kalo udh terasa gak enak di hidung

( W1/R1/P.1/k.92-105/hal.6-7 )

“ Heran ya pasti, kenapa bisa kan trus bahas tentang pengobatan sinusitislah kak, dari yang alternative sampe operasi. “

(W1/R2/P.1/k.269-272/hal16 )

Namun meskipun partisipan 1 adalah satu-satunya anak yang menderita penyakit sinusitis di keluarganya, hubungan partisipan 1 dengan anggota keluarganya seperti orangtua serta adik-adiknya cukup baik. partisipan juga mengaku kalau keluarganya begitu perhatian dengan kondisi ia saat ia sakit. Bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga partisipan 1 terutama orangtuanya seperti mengajak responden checkup kedokter.

“ kalok sekarang, itulah kak, diajak orangtua checkup kan ke rumah sakit, makanya di suruh operasi kemaren tuh”.

(W3/R1/P.1/k.435-438/hal25 )

(65)

terkadang partisipan 1 mendapatkan perhatian lebih dari orangtuanya terutama dari ayahnya.

“ Karena adek-adek masih belum pala paham ya kak mungkin, jadi biasa aja sih, kan perhatiannya juga gak berlebihan

(W1/R1/P.1/k.282-285/hal17 )

“ Tapi kasih sayang ke adek lebih la dikit hihi “ (W4/R1/P.1/k.831-832/hal47)

“Banyak deng, kalo dari ayah” (W4/R1/P.1/k.834-837/hal47)

Partisipan 1 mendapatkan perhatian lebih dari ayahnya, karena menurut partisipan 1, ia anak yang paling di sayang oleh ayahnya. Jadi saat ia sakit maupun tidak sakit ayahnya selalu membelikan apa saja yang ia inginkan. Ayah partisipan 1 juga begitu sayang kepadanya terlihat saat partisipan 1 disuruh operasi, ayahnya begitu keukeh mempertahankan agar anaknya tidak di operasi melainkan mengikuti pengobatan lain tanpa melalui operasi.

“ Gak mau ayah kak, masih kecil menurut ayah, terus gak mau dia adek digitui ee sampe operasi, kalau bisa katanya cari pengobatan lain la yang gak bahaya, seram kali operasi kak katanya “

(W3/R1/P1/k441-443/hal26)

Menurut penuturan partisipan 1 ayahnya tak ingin anaknya menggunakan alat-alat media yang cukup berbahaya bagi keselamatan anaknya .

b. Penyesuaian Sosial Di lingkungan Sekolah

Gambar

Tabel 2. Waktu dan Lokasi Wawancara Partisipan 1
Gambaran Penyesuaian Sosial
Gambar 1. Skema Gambaran Penyesuaian Sosial Remaja Penderita Sinusitis Kronis
Tabel 4. Gambaran Umum Partisipan 2
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian dari pemerintah daerah, karena di dalam negara kesatuan tidak ada legislatif daerah, oleh karena itu DPRD dimasukkan ke

Target khusus penelitian ini adalah menemukan informasi yang mendasar kekayaan budaya nusantara berkaitan dengan budaya duduk masyarakat Jawa untuk dikembangkan sebagai

5.  Sambutan  Hari  Integriti  Nasional  2008  Peringkat  UMP  tidak  harus  dilihat  sebagai  sebuah  upacara  atau  majlis  yang  datang  dan  pergi  atau  dalam 

Dalam kajian ini, pengkaji mengenal pasti ujaran yang mengandungi kesantunan bahasa dalam drama Zahira dan seterusnya menghuraikannya berdasarkan Prinsip Kesopanan yang

diperoleh p=0,399 yang berarti tidak ada hubungan antara beban kerja fisik dengan kebugaran jasmani pada karyawan konstruksi Jasmani. karyawan

Tabloid Nova diakses 17 Oktober 2013, “Mengajarkan Anak Tentang Budaya Orangtuanya.” Dalam

Ketika saya menghadapi masalah yang besar, saya yakin bahwa Tuhan tetap menyayangi saya Saya merasa yakin bahwa ada harapan untuk masa depan saya Terkadang saya ingin memilih

Hampir semua ulama hadis sepakat bahwa kitab hadis yang memuat hadis-hadis yang paling autentik adalah dua kitab hadis yang ditulis oleh Imam al-Bukhari dan Imam