• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumah Susun Sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Rumah Susun Sebagai Bentuk Budaya Bermukim Masyarakat Modern"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RUMAH SUSUN SEBAGAI

BENTUK BUDAYA BERMUKIM MASYARAKAT MODERN

Sa m sul Ba hri

La b o ra to rium Te o ri d a n Kritik Arsite ktur

Pro g ra m Stud i Arsite ktur, Fa kulta s Te knik, Unive rsita s Sum a te ra Uta ra

ABSTRAK

Makalah ini mencoba menelaah sebuah topic yang akhir-akhir ini mulai disoroti oleh berbagai pihak di Indonesia, yang pembahasannya mengacu pada tema Arsitektur dan Manusia, yaitu Rumah Susun sebagai salah satu bentuk budaya bermukin yang diduga adalah “benda baru” produk dari masyarakat Barat. Dala kaitan ini, kata Budaya dan Modern (Modernisasi) adalah kat akunci yang akan dibahadi lebih jauh. Sudah tentu banyak sisi dan sudut pandang yang dapat dipergunakan untuk membahas persoalan ini, namun aspek sosical dan psikologislah yang akan dipilih pada kesempatan ini.

PENDAHULUAN A. Modernisasi

Modernisasi merupakan topik yang menarik dan telah menjadi gejala umum di dunia dewasa ini. Walaupun sebagian orang telah mencba “maju selangkah” dengan pasca Modemnya, namun dibelahan dunia lainnya orang masih terpukau oleh kedatangan fenomena modern, yang tentunya tidak pernah dibayangkan oleh mereka sebelumnya, dari ke4hidupan yang tradisional harus diubah dengan hal yang serba “canggih” yang dihadapi sebagai kenyataan. Perkembangan yang terjadi disebagian tempat boleh jadi merupakan lompatan besar atau hanya sekedar perubahan kecil dan tidak tiba-tiba, tentunya tidak terlepas dari perkembangan peradaban manusianya. Sebagaimana para ahli sosiologi membagi beberapa tahap perkembangan peradaban manusia di bumi sepanjang sejarahnya. Misalnya Auguste Comte (1798-1857), seorang sosiolog Perancis menawarkan konsep 3 tahap perkembangan peradaban untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitive sampai ke peradaban maju pada masa kini1, yaitu

- Tahap Teologis, peradaban manusia dimana semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.

- Tahap metafisis, pada tahap ini manusai masih percayapada kekeuatan alam dan belum berusaha mencari hubungan sebab akibat yang ada.

- Tahap positif dimana manusia telah sanggup berpikir secara ilmiah dan mengembangkan ilmu pengetahuannya.

Upaya pemahaman tehradpa proses perkembangan peradbaan manusai telah banyak membantu dalam menelaah keadaan duia secar alebih nayta, termasuk di dalamnya pemahaman akan telah terjadina modernisasi dihampiri tiap Negara sekarang ini. Kiranya modernisasi telah menjadi bagian yang tidak dapt dihindari sejalan dengan teori perkembangan

(2)

alternatif pada masyarakat di kota-kota besar. Konsep rumah susun pada awalnya merupakan solusi yang dibuat berdasarkan tuntutan baru terhadap kekuarangan rumah bagi tenaga kerja yang terus meningkat aibat gerakan modernisasi di sekotr gerakan modernisasi di sektor lapangan kerja. Tuntutan tersebut semakin terus bertambah sejalan edngan meningkatnya produktivitas kerja yang menjadi ciri-ciri modernisasi, sedangkan keterbatasan lahan (horizontal) tak dapat diatasi dengan cara apapun. Dalam keadaan inilah lahir solusi dalam hal pengadaan perumahan bagi para pekerja melalui konsep pertumbuhan vertikal. Yang perlu dipertanyakan adalah : Apakah solusi teknis ini sudah mempertimbangkan aspek sosial budaya yang ada di masyarakatnya ? Secara historis kebutuhan akan rumah untuk tempat tinggal adalah kebutuhan dasar manusia yang sama tuanya dengan umur manusia itu sendiri. Sejak dari pertama manusia menyadari akan kebutuhan tempat bernaung”, hingga pada masa sekarang ini rumah tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya dan perilaku manusia, termasuk di zaman modern sekarang ini. Dalam kaitan ini, yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah peradaban manusia, termasuk di dalamnya budaya bermukim.

b. Budaya Bermukim

Dapat dikatakan bahwa persoalan tempat tinggal dan lingkungannya telah ada sejak manusia mulai merasa mampu mengorganisasikan diri, berhenti mengembara dalam perburuan, bercocok tanam, menjinakkan dan mengembangbiakkan ternak, serta sedikit menguasai alam sekitarnya. Sejak dari fungsi rumah sebagai tempat bernaung yang sederhana hingga kini fungsi rumah lebih dari sekedar simbol status sosial, pengertian dan konsep budaya bermukim terus berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Perkembangan itu sendiri akan terus berlanjut sampai batasnya dimana perbadana itdak dapat mengembangkan dirinya melebihi kapasitas alam yang tak terhingga. Keterkaitan antara perkembangan budaya bermukim dan peradaban telah ditandai dari pengamatan historis terhadap hunian Indian yang sederhana di Tierra del Fuego sampai pada tempat bernaung orang Eskimo yang relatif lebih maju. Atau dari Rumah Pohon yang primitif di pedalaman Irian hingga Rumah Villa yang banyak dijumpai di tempat-tempat peristirahatan modern (seperti Puncak, Cianjur-Jawa Barat). Semua akan memperlihatkan pada kita bahwa tingkat pemikiran manusia, yang ditandai dengan ilmu pengetahuannya, menunjukkan pola-pola bermukim tertentu. Budaya bermukim yang dianut masyarakat di suatu tempat merupakan bagian dari budaya masyarakat keseluruhan seperti halnya adat istiadat. Kelompok masyarakat tradisional memiliki tata cara turun temurun yang diwarisi sebagai bagian yang tak terlepaskan seperti halnya sebuah nama yang melekat pada diri

seseorang. Lain tempat akan lain pula situasinya, sehingga pola-pola perilaku masyarakatnya berbeda-beda, seperti halnya perbedaan antara rumah Indian dan rumah Eskimo tadi. Budaya bermukim masyarakat Indonesia sekarang ini sedang dihadapkan pada kenyataan baru yang perlu diperhatikan secara tidak gegabah, karena kesalahan dalam penerapan akan semakin menambah persoalan baru. Apakah hal baru yang akan ditemukan sebelumnya dapat diterima begitu saja dalam tatanan masyarakat lama ? Rumah susun sebagai sebuah alternatif pilihan dalam pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, yang dapat digolongkan sebagain produk dari modernisasi, adalah hal baru yang datang kehadapan masyarakat. Pada kenyataannya tidak semua masyarakat dapat mengikuti suasana baru yang datang dari luar tantanan lama yang sudah turun temurun. Perlu waktu lebih lama lagi manakala suatu hal baru itu telah menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial dan pola-pola perilaku. Budaya bermukim pada masyarakat modern tentunya tidak dapat dilepaskan dari hakikat modernisasi itu sendiri. Sebagaimana telah banyak disimpulkan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut modernisasi, bahwa gaya hidup masyarakat yang tergolong lebih maju dibandingkan dari tatanan tradisional maupun pra-modern apalagi yang primitif merupakan gambaran gaya hidup modern.

PEMBAHASAN

a. Budaya Bermukim Masyarakat Indonesia

Masyarakat Indonesia yang agraris itu dalam waktu yang telah berlangsung lama, (beberapa generasi) telah memiliki budaya bermukim yang memiliki ciri khas tersendiri. Dan diakui dalam waktu yang lebih lama konsep yang dikembangkan secara evaluasi dan adaptasi itu dianggap sebagai konsep yang cocok dalam tatanan kehidupan komunitasnya. Konsep permukiman beberapa masyarakat adat Minangkabau, Bai, Jewa, Dayak, Toraja dan sebagainya memiliki ciri-ciri tersendiri yang masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya sejauh itu dikaitkan dengan budaya dan kondisi alamnya. Tatanan komunitas yang cocok dalam masyarakat selalu berusaha dipertahankan lebih lama sesuai dengan kemampuan dan perkembangan yang terjadi. Masyarakat pada dasarnya akan berusaha membentuk keseimbangan yang dapat mempertahankan konsep-konsep yang baik serta terus berusaha meningkatkannya menjadi lebih baik lagi. Jarang sekali masyarakat melakukan perubahan sporadis terhadap kondisi yang sudah ada, kecuali revolusi

b. Fungsi dan Kebutuhan Rumah

(3)

dibutuhkan oleh manusia, selain kebutuhan sandang dan pangan, dalam upaya mempertahankan keberadaan/eksistensi dan kelanjutan hidupnya di bumi. Selalu berbentuk hubungan yang akrab dan erat antara aktivitas manusia dengan jenis ruang penunjang yang dibutuhkan, antara penghuni dan tempat tinggalnya.

Fungsi rumah tinggal semata dilihat sebagai tempat tinggal atau tempat berkumpulnya penghuni atau tempat berlindung dari ancaman fisik dan non fisik rumah juga mencakup keseluruhan pemenuhan fungsi lebih rumit dan sangat kompleks sifatnya seperti falsafah, adat istiadat,religius dan lainnya. Kesemua fungsi tersebut merupakan cerminan dari keinginan komunitas masyarakat dalam ruang rumahnya masing-masing. Pada dasarnya bukan hal mudah bagi arsitek, atau pihak lainnya dalam mendefenisikan pengertian fungsiden kebutuhan rumah bagi kehidupan manusia. Kebutuhan akan rumah tinggal tidak dapat diselesaikan dengan cara memnuhi target kuantitasnya saja (jumlah rumah), melainkan juga menuntut beberapa hal yang berhubungan dengan kualitas (mutu). Dalam hal ini hanya penghuni (calon penghuni) yang lebih mengerti secara benar dan sempurna semua kebutuhan yang harus dipenuhi oleh rumah tinggalnya.

Kebutuhan itu sendiri ternyata ada yang bersifat terukur (seperti kondisi klimatik) dan yang tidak terukur (seperti estetik). Yang terukur dapat dipenuhi dengan memperhatikan standar-standar normatif atau objektif yang diterima, sedangkan yang tidak terukur lebih subjektif sifatnya. Dalam hal – hal tertentu seperti itulah peran arsitek dituntut untuk lebih kreatif dan imajinatif. Pengertian fungsi dalam arsitektur sendiri perlu dipahami secara mendalam dengan mengacu pada bidang-bidang psikologi dan sosial yang terkait. Mulai dari Freud yang menekankan aspek biologis, lalu Alder yang lebih pada aspek-aspek sosial, hingga pada Allport Maslow yang menekankan multi motivational. Fungsi dalam hal ini tidak terbatas pada fungsi yang berkaitan dengan dimensi-dimensi fisik serta hubungan kedekatan ruang dan waktu semata. Namun lebih jauh lagi sampai pada psikologi pemakai bangunan, interaksi sosial, perbedaan budaya bahkan makna dan simbol bangunan.

Benjamin Hadler dalam bukunya ‘’System Approach to Atchitecture’’ menjabarkan pengertian fungsi dari bangunan (baca, rumah tinggal) sebagai berikut :

• Fungsi adalah suatu proses.

Fungsi cenderung dipandang sebagai urutan kejadian, sehingga fungsi dapat menangani setiap aspek bangunan dalam batasan yang dinamis

• Fungsi adalah maksud, melihat sesuatu dalam batasan fungsi adalah melihatnya dalam batasan tujuan akhir ke arah mana fungsi tersebut menuju. Dengan kata lain

setiap fungsi mempunyai tujuan dan maksud tersendiri.

• Fungsi adalah keseluruhan, yang terpadu secara harmonis dan serasi sesuai dengan konsep dan sasaran yang hendak dicapai oleh bangunan (rumah) tersebut

• Fungsi adalah tingkah laku, yang diamati dan dipikirkan bagaimana bangunan itu bekerja atau bertingkah laku

• Fungsi adalah hubungan, dimana berbagai komponen bangunan dihubungkan untuk membentuk satu kesatuan yang dinamakan rumah.

• Fungsi adalah keharusan, agar dapat beroperasi secara wajar maka harus memiliki sifat-sifat, nilai-nilai dan ciri-ciri tertentu dan harus dihubungkan dengan cara tertentu.

Lebih jauh lagi Norbeg-Schutz dalam Intention in Architecture menerangkan bahwa fungsi dari suatu bangunan dapat dilihat dari 4 (empat) parameter, yaitu :

• Kontrol fisik. Salah satu tujuan dari kontrol fisik adalah menciptakan perlindungan dan kenayamanan penghuni (pemakai) dari pengaruh lingkungan seperti iklim, kebisingan, serangga, debu ataupun dari manusia lainnya. Dengan kata lain bangunan harus dapat berperan sebagai alat kontrol fisik bagi kenyaman fisiologi manusia.

• Kerangka Aktivitas. Sebuah bangunan harus dapat menampung aktivitas-aktivitas penghuninya sesuai dengan fungsi dari bangunan itu sendiri.

• Social Mileu. Sebuah bangunan diharapkan dapat berpartisipasi terhadap situasi sosial yang ada, sesuai dengan fungsi sosial pada bangunan yang dapat mengutarakan tentang status sistem sosial secara total. • Simbolisasi Kultural. Arsitektur dapat

dipandang sebagai objek kultural yang berkaitan erat dengan ideologi, nilai agama, nilai moral, dan nilai ekonomi penghuni/masyarakat.

Rumah tinggal sebagai sebuah bangunan dengan segala fungsi yang dimilikinya dapat mempertemukan berbagai kebutuhan manusia yang berbeda-beda, bersifat unik dan memiliki jenjang ketingkatan dari tingkat rendah hingga tinggi. Menurut Abraham Maslow5,seorang ahli psikologi, ada 5 (lima) tingkatan dari kebutuhan manusia yang dimulai dari kebutuhan tingkat terbawah (lower needs) hingga pada tingkat kebutuhan teratas (higher needs). Dimulai dari kebutuhan fisiologis sampai pada puncaknya adalah kebutuhan untuk perwujudan diri/self-actualization needs.

(4)

untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan di atasnya dengan baik.

Adapun 5 (lima) tingkatan kebutuhan manusia yang dikembangkan Maslow tersebut adalah6 :

1. Kebutuhan fisiologis

Kebutuhan yang hampir sama pada setiap makhluk hidup dan merupakan kebutuhan yang merupakan kebutuhan yang memdasar (elementr) meliputi : ruang untuk aktivitas, istirahat,daan kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini minimal harus tersedia tempat berteduh/shelter sebagai tempat untuk istirahat dan tidur, sedangkan kebutuhan lainnya bisa dilakukan di sekitar tenpat tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah perbedaan kultur dan iklim yang akan menimbulkan perbedaan dalam merealisasikan pemenuhan kebutuhan tadi. 2. kebutuhan rasa ama. Manusia memilki naluri

untuk mengendalikan hidupnya, termasuk upaya harus terhindar atayu menghindar dari marabahaya yang mengancamnya. Untuk itu manusia merasa harus memiliki kekuatan untuk dapat menolak mara bahaya tersebut seperti : tempat menyimpan dan melindungi miliknya (fungsi rumah), kepercayaan pada kekuatan alam dan super natural (refigus), termasuk melakukan upacara-upacara ritual.

3. kebutuhan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan manusia lain untuk berkomunikasi dan bergabung dengan sesamanya dalam rangaka eksistensi manusia itu sendiri. Bangunan merupakan satu tempat untuk berinteraksi sesama penghuninya, saling memberi dan meneriam,berkawan,bercinta dan sebagainya. Rumah merupakan dunia tersendiri tempat terjadinya kehidupan kelompok manusia saling bersosialisasi.

4. kebutuhn akan ke-aku-an (ego needs). Setiap manusia akan membutuhkan perasaan –perasaan yang positif,seperti terlihat pada rasa ingin memiliki dihormati, rasa aman, kepercayaan diri,keterampilan,kemampuan dan kemandirian. Pada banyak budaya rumah sering dipakai sebagai pencerminan status sosial. Sebagai contoh rumah-rumah bangsawan tempo dulu di Yogya, dibangun ditenagh-tengah halaman yang luas dab memiliki pelataran yang luas dan terawat baik,seolah menunjukkan kesan bahwa pemiliknya adalah orang yang ramah dan agung, berhati terbuka dan melindungi (mengayomi). 5. Kebutuhan akan perwujudan diri (Self-

actualization needs). Setiaporang dilahirkan

dengan seperangkat potensi kemanusian,memiliki kemampuan dan bakat

masing-masing,dan karenanya setiap orang kan mewujudkan dirinya secara berbeda-beda dan mempunyai keunikan tersendiri. Tiap generasi manusia selalu akan merubah apa telah ada,sekalipun perubahan itu tidak akan lebih baik dari sebelumnya.Tiap generasi akan selalu

ingin menjadikan dirinya mempunyai kekhaannya,ingin mengekpresikan zamannya dalam peta sejarah umat manusia. Hal ini diduga mendasari dengan kuat perkembangan pengetahuan manusia dalam berbagai hal, tanpa peduli dengan keterbatasan alamnya. Kebutuhan perwujudan diri ini menuntut konsekuensi logis dalam kaiatan kewaspadaaan manusia dalam upaya memprtahankan keseimbangan alam dan lingkungan, yang kalau diabaikan justru akan menjadi bumerang bagi eksistensi manusia sendiri.

C. Perkembangan Kota dan Budaya Masyarakatnya.

Perkembangan kehidupan masyarakat kota-kota besar sekarang tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengertahuan dan peradaban manusia. Khidupan masyarakat sudah didominasi oleh asas ekonomi yang mulai berkembang sejak revolusi industri melanda dunia di balahan barat (Inggris) dan terus merambah ke belahan dunia lainnya. Institusi-institusi yang ada dalam kehidupan masyarakat mengalami perubahan yang sangat berarti dan menimbulkan pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia. Itu artinya berbagai institusi di masyarakat seperti :politik, pendidikan,agama,,ilmu pengetahuan,seni (termasuk didalamnya sebagian arsitektur), keluarga.dan seterusnya telah bergantung pada mekanisme ketersediaan sumber-sumber ekonomi.

(5)

ini sejalan dengan teori kebutuhan manusia untuk mendapatkan kesempatan lebih luas mempertahankan kelangsungan dan eksistensi hidupnya di dunia. Semua orang tertarik untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan hidup layak di kota – kota dan membiarkan mekanisme ekonomi yang jelas tidak menjanjikan kehidupan lain selain aspek ekonomi itu sendiri.

d. Kebutuhan Tempat Tinggal Versus Keterbatasan Lahan

Salah satu kebutuhan yang tidak terlepas dari manusia ke manapun manusia adalah kebutuhan akan tempat tinggal. Semakin banyak jumlah populasi di kota maka kebutuhan pengadaan tempat tinggal muncul menjadi problema baru yang harus dipecahkan. Sementara itu kondisi alam yang relatif stabil telah menjadi semakin tidak berdaya menampung setiap perkembangan yang terjadi. Keterbatasan lahan menjadikan upaya pemenuhan kebutuhan tempat tinggal tidak dapat terjawab secara langsung, selagi budaya bermukim masih mewarisi tradisi lama. Dalam keterbatasan lahan dan meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal tersebut, manusia menerapkan solusi perpeahan masalah dengan cara membangun tempat tinggal secara vertikal. Banyak cara yang bisa ditempuh dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan fungsi rumah yang tepat bagi penghuninya. Salah satu upaya pemenuhan rumah dalam skala besar sesuai dengan tuntutan perkembangan kota adalah Rumah Susun. Untuk sementara solusi ini mampu menjawab persoalan, yaitu persoalan ekonomi.

e. Rumah Susun Sebagai Fenomena Budaya Bermukim

baik Maslow maupun Benjamin Handier yang mempertimbangkan sisi fungsi dan kebutuhan sebagai bagian penting dalam pengadaan rumah (bangunan), dalam kondisi kota-kota sekarang ini, tidak lagi sepenuhnya dapat dipertahankan pandangannya secara utuh. Banyak hal baru yang harus “diperbaharui” untuk menjadikan budaya bermukim rumah susun sebagai bagian dari peradaban manusia. Tinggal di rumah susun tidak sama dengan tinggal di rumah biasa (rumah individu), baik perilaku maupun suasana lingkungannya berbeda jauh sekali. Perubahan-perubahan gaya hidup, kebiasaan, dan adat istiadat sangat terasa jika seseorang berpindah dari rumah tunggal ke rumah susun. Tentunya setiap orang akan memiliki kemampuan yang berbeda dalam beradaptasi, dan tidak semua orang memiliki kemampuan melakukannya. Bagi golongan orang yang sudah erat dan tidak terpisahkan dengan tradisinya akan sulit melakukan adaptasi yang diinginkan, akibatnya yang ada hanyalah pemaksaan saja. Masyarakat pekerja di kota-kota yang umumnya adalah pendatang (gejala urbanisasi) masalah budaya bermukim merupakan salah satu

problema tersendiri di samping persoalan ekonomi yang menuntut penyelesaian guna mempertahankan hidup di kota. Kemampuan dan keterampilan untuk bertahan hidup menjadi seni dan sekaligus senjata bagi setiap pekerja yang hidup di kota-kota besar seperti : Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Sekalipun sulit hidup di kota, namun tidak mengurangi minat masyarakat desa untuk mendatangi kota tersebut. Akibatnya daya dukung “ruang” kota menjadi semakin terbatas. Program pengadaan perumahan bagi pekerja menjadi penting belakangan ini. Selain dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar manusia, rumah tinggal dan kedekatan jarak rumah dengan tempat kerjanya merupakan salah satu persoalan yang mamu memberikan pengaruh kuat bagi tingkat produktivitas pekerja itu sendiri. Solusi pendanaan rumah dengan konsep Rumah Susun menjadi pilihan yang menarik untuk dikembangkan akhir-akhir ini, dan apabila mungkin maka akan terus dipertahankan sebagai konsep yang dapat diterapkan di setiap kota yang kekurangan lahan untuk perumahan. Tinggal sekarang bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi persoalan-persoalan budaya yang kelak akan semakin jelas muncul dalam konsep rumah susun itu. Tentunya sekarang belum sedemikian jelas terlihat baik buruknya fenomena baru itu karena umumnya yang relatif masih baru bagi masyarakat di beberapa tempat. Di beberapa kasus pembangunan rumah susun telah dikembangkan konsep budaya bermukim yang disesuaikan dengan kebudayaan dan kondisi yang ada. Salah satu diantaranya adalah rumah susun Dupak di Surabaya, yang dibuat oleh Johan Silas (Arsitek), yang mengembangkan metode kampung susun. Artinya gaya hidup kampung yang telah ada pasa dipertahankan sebagian besar, hanya saja kalau dulunya kampung-kampung tersebut berada pada daerah yang horisontal maka di rumah susun tersebut kampung-kampung disusun secara vertikal. Konsep ini masih relatif baru dan berlangsung belum cukup lama sehingga perlu diperhatikan terus perkembangan yang terjadi untuk kemudian dapat disimpulkan kelebihan dan kekurangannya.

KESIMPULAN

(6)

Pemakai dalam keadaan terpaksa tidak mempunyai alternatif lain selain hanya menerima kenyataan yang ada. Sama halnya dengan pembangunan perumahan massal lainnya (real estate oleh Perumnas, BTN, dan lainnya), rumah susun tidak mampu memberikan pemecahan pemunuhan kebutuhan manusia secara utuh. Hal tersebut dapat terjadi karena selama ini rumah susun dibangun atas dasar pertimbangan ekonomi dan teknis semata. Kalaupun ada pertimbangan unsur manusia didalamnya, itu hanya sebagian kecil yang kalah dominan dibanding unsur ekonomi dan teknis tadi. Rumah susun baru akan bermanfaat bila dipandang sebagai suatu usaha menjawab kebutuhan manusia dari berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dari sisi kuantitasnya saja tapi juga sisi kualitasnya. Sebagai budaya bermukim, rumah susun tentunya perlu waktu lama dan konsisten untuk terus dikembangkan sebagai tradisi baru dalam kehidupan umat manusia. Terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sudah memiliki tradisi lama yang berakar kuat di kalangan masyarakatnya.

1. Hukum tiga tanpa merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai keperadapan Perancis abad ke 19 yang sangat maju”, teori

Sosiologi Klasi dan Modern, (1994), hlm. 84. 2. Sokanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu

Pengantar, hlm. 382-386. 3. Ibid, hlm. 383.

4. Eugene Raskin dalam Architecture and People mengatakan : “……… most of mankind spends the major part of its time indoors, in environments of its own creation……… We are born indoors, live, love, brings up our families, worship, work, grow old, sincken and indoors”. 5. Dalam bukunya “Motivation and Personality”

(1954), Abraham Maslow mempelopori suatu pendekatan kepada manusia yang didasarkan atas studi dari THE FINEST PSYCOLOGICAL SPECIMENTS yang memperlihatkan manusia sebagai mahluk yang lebih cakap/arif (capable), rational dan percaya diri, dari teori-teori sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk mengembangkan diri, dari teori-teori sebelumnya. Studi ini membawa Maslow untuk mengembangkan teori motivasi (Human Motivation) yang lebih populer dengan istilah HIRARCHY OF NEEDS (tingkat kebutuhan manusia), untuk menjelaskan hbungan antara kepribadian dan motivasi manusia.

6. Newmark, Norma L., & Thompson, Patricia, J., 1977. Self Space & Shelter., hal. 8.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rabinwitz, Harvey, Z (1979), Evaluasi Purnahuni, dalam : Synder, James C Pengantar Arsitektur. Penerbit Airlangga, Jakarta.

2. ____ (1991) Tata Cara Perencanaan Kepadatan Bangunan Lingkungan Rumah Susun Hunia. Departemen P. U. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait