• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) MELALUI PROSES FERMENTASI KERING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) MELALUI PROSES FERMENTASI KERING"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE PRODUCTION OF BIOGAS FROM ELEPHANT GRASS (Pennisetum purpureum) THROUGH THE PROCESS OF DRY FERMENTATION

By Ayub

This research aimed at understanding the production of biogas from elephant grass (Pennisetum purpureum) through the process of dry fermentation. This research was conducted at the Laboratory of Power, Agricultural Machinery, Faculty of Agriculture, University of Lampung in June until October 2014. The treatment in this research was a comparison between elephant grass and cow dung. Comparison of treatment A, B, and C respectively is 3:1; 4:1; and 5:1. Substrate material used in this research is the fresh, elephant grass chopped to 15 cm length. The substrate is prduction, watered every 2 days using 5 liters of water. Biogas prduction, reaction, temperature and ambient temperature were measured every day until the production of biogas stop. The results of this research indicate that the production of biogas in treatment A, B, and C respectively was 204 L; 258 L; and 241,3 L liters for 25 days with an average yield of treatments A, B, and C, ie 8,53 L/day; 10,75 L/day; and 10,05 L/day. The repectivaly yield of biogas treatment A, B, and C in was 12.82 L/kg, 12.95 L/kg, and 10.09 L/kg. Biogas produced was not burnt. The reaction temperature in treatment A, B, and C respectively is 31 ºC; 31 ºC; and 32 ºC, while the average of environmental temperature is 32 ºC. Treatment B is the best for biogas production through dry fermentation.

(2)

ABSTRAK

PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum) MELALUI PROSES FERMENTASI KERING

By Ayub

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi biogas dari rumput gajah (Pennisetum purpureum) melalui proses fermentasi kering. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Daya, Alat, dan Mesin Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2014. Perlakuan pada penelitian ini adalah perbandingan antara rumput gajah dan kotoran sapi. Perbandingan perlakuan A, B, dan C secara beruruturut, yaitu 3:1; 4:1; dan 5:1. Bahan isian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan segar, rumput gajah dicacah sepanjang 15 cm. Bahan isian dilakukan penyiraman setiap 2 hari sekali menggunakan air sebanyak 5 L. Temperatur reaksi dan temperatur lingkungan diukur setiap hari sampai produksi biogas yang dihasilkan tidak signifikan lagi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi biogas pada perlakuan A, B, dan C berurut-urut, yaitu 204 L, 258 L, dan 241,3 L selama 25 hari dengan produksi rata–rata perlakuan A, B, dan C, yaitu 8,53 L/hari, 10,75 L/hari, dan 10,05 L/hari, produktivitas biogas perlakuan A, B, dan C berurut–urut adalah 12,82 L/kg, 12,95 L/kg, dan 10,09 L/kg. Biogas yang dihasilkan tidak dapat menyala. Temperatur reaksi pada perlakuan A, B, dan C berurut-urut adalah 31 ºC; 31 ºC; dan 32 ºC, sedangkan ratarata temperatur lingkungan sebesar 32 ºC. Perlakuan B adalah perlakuan terbaik untuk produksi biogas melalui fermentasi kering.

(3)
(4)

PRODUKSI BIOGAS DARI RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)

MELALUI PROSES FERMENTASI KERING

(Skripsi)

Oleh AYUB

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

MOTO

Berjuang terus tanpa henti, demi masa depan

(13)

Aku persembahkan karyaku ini kepada

Kedua orangtuaku

Bapakku Rudi Adil dan Mamaku Senti Tiolina Tampubolon

yang telah memberikan doa, kasih sayang, dukungan, motivasi,

didikan dan nasehat selama ini.

Saudara kandungku

Bang Samuel Firman Sahala, Adik Kaleb Setiadi dan Yosia

Terimakasih atas dukungan, perhatian, dan kasih sayangnya

Sampai saat ini

Sahabat–sahabatku yang setia disaat suka maupun duka

Terimakasih atas perhatian, kasih sayang, motivasi, dan doa

Yang telah diberikan selama ini.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ayub, dilahirkan di Tulang Bawang tanggal 7 Februari 1993 dari pasangan Rudi Adil dan Senti Tiolina Tampubolon yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelsaikan SD di SD Negeri 4 Indraloka II, Kecamatan Way Kenanga, Tulang Bawang pada tahun 2004. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Banjar Agung, Tulang Bawang. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Banjar Margo yang diselesaikan pada tahun 2010. Selama duduk di bangku SMA penulis aktif di Kelompok Ilmiah Remaja.

(15)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena penyertaan–Nya karya ilmiah ini dapat diselsaikan.

Skripsi dengan Judul “Produksi Biogas dari Rumput Gajah Penistetum purpureum

melalui Proses Fermentasi Kering” merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelah Sarjana Teknologi Pertanian di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar–besarya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung beserta jajaran dekanat Fakultas Pertania, Universitas Lampung:

2. Bapak Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P. selaku Pembimbing Utama atas

kesediaan memberi ilmu, waktu, bimbingan, saran, dan kritik dalam proses menyelsaikan skripsi ini serta menjadi bapak bagi penulis selama

menyelsaikan studi di Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian , Universitas Lampung.

(16)

4. Bapak Dr. Ir.Sugeng Triyono, M.Sc. selaku penguji atas saran dan masukan dalam menyelsaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung atas ketulusan memberikan ilmu–ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat untuk masa depan penulis. 6. Papaku Rudi Adil dan Mamaku Senti Tiolina Tampubolon yang selalu

memberikan motivasi, semangat, ketulusan, kasih sayang yang tak putus– putusnya.

7. Abangku Samuel Firman Sahala yang memberikan motivasi dan semangat bagi penulis dan Adik–adikku Kaleb Setiadi dan Yosia yang telah

menjadi motivasi penulis untuk menjadi contoh yang baik.

8. Rekan–rekan Teknik Pertanian angkatan 2010 yang terus hingga akhir, terimakasih atas kebersamaan dan pengalaman yang tak terlupakan. 9. Keluarga besar Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Bandar Lampung

dan Youth GKKD Bandar Lampung yang terus memberi pelajaran, pengalaman, yang berharga yang tidak penulis dapatkan dari bangku kuliah.

10.Keluarga Besar Persekutuan Oukumene Mahasiswa Kristen Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas kebersamaan yang telah kita jalani dan selsaikan bersama–sama.

11.Keluarga Besar PERMATEP atas kebersamaan dan ilmu yang telah diberikan selama penulis menyelsaikan studi.

(17)

satu per satu. Terimakasih banyak untuk semuanya, Akhir kata, penulis menyadari bahwa tulisan sederhana ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi terselip harapan semoga skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat luas. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis

(18)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai melalui program Dipa Penelitian a.n. Dr. Ir. Sigit Prabawa, M.Si. dengan nomor kontrak 1070.B/UN26/4/DT/2014.

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Biogas adalah campuran dari 60–70% metana dan 30–40% karbondioksida dengan beberapa hidrogen sulfida, yang dapat terbakar sama dengan bahan bakar fosil. Penguraian biogas adalah sistem sederhana yang memproduksi biogas, melalui dekomposisi anaerobic material organik (Culhane, 2010). Biogas

merupakan energi terbarukan yang dapat menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti gas alam dan minyak tanah. Produksi biogas melibatkan proses fermentasi yang membutuhkan kondisi tertentu seperti temperatur, pH, dan keasaman.

Fermentasi berdasarkan substratnya terbagi menjadi fermentasi basah dan

fermentasi kering. Fermentasi basah adalah proses fermentasi bahan organik yang membutuhkan kandungan bahan kering (TS) bahan kurang lebih 8% dan

(20)

2

Fermentasi kering tidak membutuhkan banyak air, hasil kompos pun sudah kering tidak perlu disterilkan/dikeringkan. Tidak seperti fermentasi basah substrat organik pada fermentasi kering tidak perlu diaduk secara mekanis. Teknologi penguraian anaerobic dengan fermentasi kering lebih tepat untuk substrat dengan kandungan TS tinggi, seperti sampah organik, sampah rumah tangga, sampah makanan, sampah lingkungan, Rumput Gajah, sampai tandan kosong kelapa sawit. Penguraian anaerobik menggunakan fermentasi kering memberikan produk akhir yang sama seperti proses fermentasi basah dan memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut: proses penguraian lebih cepat, sisa penguraian lebih kecil, hemat energi, hemat pekerja dan penguraian kering lebih mudah dikontrol (Spmultitech, 2011).

Rumput Gajah (elephant grass) atau disebut juga Rumput Uganda (uganda grass) memiliki nama latin Pennisetum purpureum. Tinggi Rumput Gajah dapat

mencapai 7 meter, berbatang tebal, berbunga seperti es lilin, dan berdaun panjang. Rumput Gajah dapat dipanen setiap 40 hari dan peremajaan dilakukan 4–6 tahun setelah tanam (Rukmana, 2005). Waktu pemanenan Rumput Gajah dilakukan setiap 42 hari, kecuali pada musim kemarau sebaiknya kurang lebih 60 hari. Produksi hijauan segar yang diamati selama satu tahun di Bogor adalah 525 ton/ha/tahun atau setara dengan 63 ton/ha/tahun berat kering (Lugiyo dan Sumarto, 2000). Rumput Gajah dapat bertoleransi hidup pada suhu dan tanah marjinal. Rumput Gajah mudah kita temukan di mana saja, tidak memerlukan perlakuan khusus untuk membudidayakannya. Purbajanti dkk. (2009),

(21)

3

volume pemberian air. Sedangkan menurut Gooraho dkk.(2005), dalam

penelitiannya mendapatkan rata–rata bahan kering Rumput Gajah 17%. Penelitian Gooraho dkk., Rumput Gajah diberikan irigasi normal selama masa tanam 60 hari.

Menurut Murphy dan Power (2008), potensi metana dari Rumput Gajah mencapai 0,35 m3/kg bahan organik. Penelitian yang dilakukan oleh Frederiks (2012), dengan sistem fermentasi basah memperlihatkan produksi biogas dari Rumput Gajah 105,6 L/kg dengan persentase CH4 58,5%. Frederiks (2012), menjelaskan biogas adalah sumber energi yang sangat relevan bagi masyarakat negara

berkembang, karena teknologi biogas relatif tidak rumit untuk diaplikasikan, dapat diterapkan pada skala rumah tangga maupun skala industri. Biogas dapat digunakan untuk produksi listrik atau bahan bakar memasak.

Biogas selama ini selalu diidentikkan dengan limbah, padahal biogas dari limbah memiliki beberapa kendala. Kendala yang pertama adalah dari kontuinyuitas ketersediaan limbah yang digunakan. Jika limbah yang digunakan untuk produksi biogas suatu hari memiliki nilai ekonomis, maka produsen limbah tersebut akan lebih memilih untuk menjual limbah tersebut daripada digunakan untuk produksi biogas. Kendala berikutnya adalah tidak semua wilayah di Indonesia memiliki limbah yang dapat digunakan untuk produksi biogas. Oleh karena itu produksi biogas dari non–limbah perlu dilakukan, seperti Rumput Gajah.

(22)

4

untuk dilakukan, sehingga dapat memberikan inovasi sumber pemakaian bahan bakar.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hasil produksi biogas dari Rumput Gajah dengan proses fermentasi kering.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Informasi ilmiah mengenai produksi biogas dari Rumput Gajah melalui proses fermentasi kering.

(23)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biogas

Prinsip terbentuknya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme, sehingga menghasilkan gas yang dapat dibakar. Biogas merupakan salah satu jenis yang dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, jerami, kotoran ternak, eceng gondok, sampah serta banyak bahan-bahan lainnya. Pemanfaatan biogas merupakan salah satu energi yang perlu diperhatikan.

Energi yang terkandung di dalam biogas tergantung dari kandungan metan dalam biogas. Semakin tinggi kandungan metan dalam biogas maka semakin tinggi pula kandungan energi atau nilai kalor.Biogas memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu kisaran 4800–6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100%) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3 (Sutarto dan Feris, 2007).

(24)

6

Komponen utama biogas adalah gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2), sedikit kandungan hidrogen sulfurida (H2S), ammonia (NH3), serta hidrogen (H2) dan nitrogen yang kandungannya sangat sedikit (Sukmana dan Anny, 2011). Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel1. Komposisi Biogas

No. Komponen Rumus Kimia Jumlah (%)

1. Tahap pembentukan biogas

Pembentukan biogas terjadi pada proses anaerob yaitu kedap udara. Pembentukan biogas terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap hidrolisis, asifikasi dan metanogenesis.

a) Tahap hidrolisis

(25)

7

Amilosa oleh enzim amylase dirubah menjadi gula (monosakarida) (Wahyuni, 2011). Tahapan pembentukan biogas terlihat seperti Gambar 1.

b) Tahap pengasaman (asidifikasi)

Pada tahap pengamasaman, bakteri merubah polimer sederhana hasil hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbondioksida (CO2). Untuk merubah menjadi asam asetat, bakteri membutuhkan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen terlarut yang terdapat dalam larutan. Asam asetat sangat penting dalam proses selanjutnya, digunakan oleh mikroorganisme untuk pembentukan metan (Wahyuni, 2011).

c) Tahap pembentukan gas metan

Pada tahap ini senyawa dengan berat molekul rendah didekomposisi oleh bakteri metanogenik menjadi senyawa dengan berta molekul tinggi.

Contoh bakteri ini menggunakan asam asetat, hidrogen (H2) dan karbon dioksida (CO2) untuk membentuk metana dan karbon dioksida (CO2). Bakteri penghasil metan memiliki kondisi admosfer yang sesuai akibat proses bakteri penghasil asam. Asam yang dihasilkan oleh bakteri pembentuk asam digunakan oleh bakteri pembentuk metan. Tanpa adanya peroses simbiotik tersebut, maka akan

(26)

8

(27)

9

2. Faktor-faktor produksi biogas

Ada banyak faktor yang mempengarui produksi biogas, dibawah ini akan dijelaskan beberapa faktor utama yang mempengarui produksi biogas. Meliputi temperatur, C/N, derajat keasaman, dan TS.

a) Temperatur

Temperatur yang baik untuk perkembangbiakan bakteri metanogen adalah antara 20–40 ºC. Temperatur lingkungan di Indonesia temperatur antara 20–30 ºC sehingga tidak membutuhkan rekayasa, seperti dinegara beriklim

dingin(Wahyuni, 2011).

b) C/N

C/N yang ideal untuk isian digester adalah 25–30. Jika substrat kekurangan usur N dapat ditambahkan bahan yang banyak kandungan unsur N misalanya urea, sedangka untuk unsur C misalnya jerami. C/N harus memenuhi syarat ideal yang ada agar bakteri bisa berkembang secara baik (Wahyuni, 2011).

c) Total solid (TS)

Setiap bakteri membutuhkan keadaan air yang sesuai untuk pertumbuhanya, begitu juga bakteri untuk produksi biogas. Bakteri untuk produksi biogas

mengkehendaki TS 7–9%pada fermentasibasah. Untuk proses fermentasikeringTS dapatlebihbesardari 15%(Wahyuni, 2011).

d) Derajat keasaman

(28)

10

B. Fermentasi Bahan Organik

Secara umum fermentasi dibedakan menjadi fermentsi basah dan fermentasi kering. Perbedaan mendasar dari fermentasi basah dan fermentasi kering adalah kadar air bahan yang akan difermentasikan.

1. Fermentasi basah

Fermentasi basah menggunakan bahan organik yang memiliki kadar air lebih besar dari 75% dan sistem membutuhkan cairan untuk pergerakan bahan organik. Fermentasi basah membutuhkan masukan bahan organik yang cenderung basah. Limbah cair yang dihasilkan dari fermentasi basah sampai dengan 70%, hal ini membutuhkan energi yang besar untuk men-treatment agar tidak mencemari lingkungan (BIOFerm Energy Systems, 2009).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam fermentasi basah adalah pengadukan, kontrol temperatur, koleksi gas, posisi digester dan waktu retensi. Pengadukan sangat diperlukan agar produksi gas tidak terhalang oleh busa yang terbentuk di permukaan. Limbah sayuran akan menghasilkan banyak busa daripada kotoran ternak. Pada daerah yang panas, penggunaan atap perlu untuk melindungi digester agar tidak menghambat produksi gas. Gas akan mengalir melalui valve yang berada dibagian atas digester (Haryati, 2006).

(29)

11

a) Digester floating drum

Jashu Bhai Patel J kebangsaan India pada tahun 1956 mengembangkan digester bentuk drum. Digester bentuk drum secara cepat menjadi populer di India dan di dunia. Digester ini terdiri dari dua bagian utama yaitu tempat isian dan tempat penampungan hasil gas. Tempat isian terbuat dari semendan mortar sedangkan penampung gas terbuat dari baja ringan. Kekurangan dari digester drum ini adalah biaya investasi yang mahal.Digester floating drum terlihat pada Gambar 2 (FAO, 1996).

Gambar 2. Digester FloatingDrum (Nurhasanah dkk., 2006).

b) Fixed dome

Fixed Dome dibangun di Cina pada awal tahun 1936, terbuat dari semen dan batu bata. Digester ini menghilangkan pemakaian baja ringan yang mahal selain itu baja mudah terkorosi. Tempat isian dan tempat penampungan gas menjadi satu bagian. Digester fixed dome terlihat seperti Gambar 3 (FAO, 1996).

(30)

12

Gambar 3. Digester Fixed Dome (Nurhasanah dkk., 2006).

c) Tipe balon

Digester ini dikembangkan di Taiwan pada tahun 1960. Digester balon terbuat dari plastik dan pipa PVC. Tipe ini memecahkan mahalnya investasi

menggunakan batu bata atau semen. Selain itu pemakaian mudah dan mudah dipindahkan. Namun berdasarkan hasil studi plastik yang dapat digunakan tidak tersedia diberbagai tempat, terutama di pedesaaan. Digester tipe balon terlihat seperti Gambar 4 (FAO, 1996)

(31)

13

2. Fermentasi kering

Fermentasi kering pencernaan anaerobik bahan organik yang memiliki kadar air kurang dari 75%. Tidak ada perlakuan khusus pada bahan sebelum proses fermentasi kering lakukan. Fermentasi kering tidak memerlukan penambahan cairan. Fermentasi kering tidak banyak mengkonsumsi energi, hanya

menggunakan 5% dari energi yang dihasilkan untuk mengoperasikan pabrik (BIOFerm Energy Systems, 2009).

Penguraian anaerobic menggunakan fermentasi kering memberikan produk akhir yang sama seperti proses fermentasi basah dan memiliki beberapa keuntungan. Proses penguraian anaerobic dengan fermentasi kering lebih efisien secara energi dan kerja. Fermentasi kering tidak membutuhkan bahan untuk dipadatkan dengan banyak air, hasilnya pun kering tidak perlu disterilkan/dikeringkan. Tidak seperti fermentasi basah substrat organik difermentasi kering tidak perlu diaduk secara mekanis atau ditekan melalui pipa dan prosesnya tidak terhambat dengan

gangguan di sistem. Dengan ruangan tertutup dan kepadatan udara tinggi reaktor penguraian anaerobik dengan fermentasi kering tidak akan mengeluarkan aroma tidak sedap dan kondisi anaerobik dan termopilis direaktornya akan memastikan produk yang aman dan tersanitasi untuk digunakan sebagai pupuk.

Fasilitas reaktor anaerobik dengan fermentasi kering dapat didesain sedemikian rupa sehingga terlihat seperti garasi atau lumbung penempatannya bisa

(32)

14

Gambar5. Skema Umum Fermentasi Kering(Spmultitech, 2011).

(33)

15

Sampai beberapa tahun lalu, produksi biogas umumnya menggunakan fermentasi basah dengan tank-tank besar dan dengan pengaduk mekanik. Teknologi

penguraian anaerobik dengan fermentasi kering lebih tepat untuk substrat yang lebih yang lebih kering, seperti sampah organik, sampah rumah tangga, sampah makanan, sampah lingkungan, sampai tandan kosong kelapa sawit. Teknologi penguraian anaerobik dengan fermentasi kering, mempunyai beberapa

keuntungan: Sisa penguraian lebih kecil; proses penguraian lebih cepat; hemat energi; hemat pekerja; penguraian kering lebih mudah dikontrol (Spmultitech, 2011).

Sampah rumah tangga sedang diproses untuk meningkatkan jumlah substrat dan sampah rumah tangga adalah sumber utama sampah organik yang mengeluarkan biogas atau gas rumah kaca yang turut memberi efek global warming. Kalau biogas bisa dipanen dan digunakan untuk membangkitkan listrik maka biogas bisa menjadi sumber penting untuk energi yang dapat diperbaharui. Biogas bukan hanya membantu menurunkan emisi gas rumah kaca, tetapi juga bisa membantu penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik (Spmultitech, 2011).

C. Biogas dari Rumput

(34)

16

0,35 m3/kg, bunga matahari 0,22 m3/kg, kulit kentang 0,31 m3/kg, kacang polong 0,39 m3/kg dan gandum 0,34 m3/kg. Di Irlandia 1,6% dari lahan pertanian dapat menghasilkan 5,57% bahan bakar trasportasi menggunakan biometan yang terkompresi yang dihasilkan dari rumput atau limbah tanaman (Murphy dan Power, 2008).

Pada umumnya rumput diurai dengan cara dicampurkan dengan air dan dengan bahan pertanian lain menggunakan teknologi penguraian anaerobic pada

umumnya tanpa perlakuan khusus. Walaupun begitu operator biogas melaporkan beberapa masalah yang berkaitan dengan rumput. Rumput cenderung mengapung dipermukaan air didalam alat pengurainya dan hal tersebut menambahkan biaya dalam pengadukan. Pengadukan yang terlalu sering mengakibatkan produksi biogas gagal. Untuk mengurai kemungkinan kegagalan dapat menggunakan pengaduk hidrolik atau menggunakan fermentasi kering. Walaupun begitu masalah teknis dan solusinya masih perlu penelitian lebih lanjut (Prochnow dkk., 2009).

(35)

17

menyatakan untuk melestarikan lahan rerumputan yang permanen. Hasil

penelitian menunjukan lebih tinggi dari nilai yang ada pada literatur. Biogas yang dihasilkan dengan sistem fermentasi kering 540–750 dry organic matter

(dom)/kg, pada fermentasi basah senilai 460–640 dom/kg. Biogas yang dihasilkan yang didapat dari literatur sebesar 420–540 dom/kg dengan sistem fermentasi kering.

Menurut Hanson dkk. (2000), limbah lingkungan merupakan sumber dari polusi udara, polusi air dan polusi tanah. Harus ada alternatif pemprosesan limbah ini untuk mengurai limbah ini dan meminimalkan efek ke-lingkungan. Sistem bio fermentasi dua fase yang terdiri dari fase solid dan fase metana, sudah digunakan untuk mengevaluasi produksi metana dari limbah rumput. Limbah rumput

penyumbang terbesar dari limbah lingkungan. Bahan disirkulasikan melalalui fase solidsampai tercapai level akumulasi volatilfattyacid (VFA) yang diinginkan di dalam bahan tersebut. Lalu bahan kimia tersebut ditransfer ke-reaktor metana di mana VFA diubah menjadi metana. Hasilnya menunjukkan bahwa 67% dari VFA bisa diubah menjadi chemiloxygendemand yang dapat diubah menjadi cair dalam enam bulan. Proses ini menghasilkan rata-rata 0,15 m3 metana per 1 kg rumput. Konsentrasi rata-rata metana yang dihasilkan dalam proses ini adalah 71%. Model matematika sudah dirancang untuk memprediksi konsentrasi metana dan

karbondioksida difase gas sebagai fungsi dari reaktor pengurai.

(36)

18

didalam kontainer. Rumput tersebut memiliki kelembapan rata-rata 89% per satuan beratnya. Fase metan terdiri dari dua reaktor dengan tinggi 3,66 m dan Pipa PVC 30,5 cm untuk keluar masuk bahan. Agar bakteri dapat berkembangbiak kolom rektor tersebut dilengkapi dengan media inert. Media inert memiliki porositas 90% dari 190 liter per kolom. Kolom tersebut didesain beroperasi seperti penyaringan anaerobicbersirkulasi.

Penelitian yang dilakukan Rooney dkk. (2011),membahas tentang sistem batch dan continouspada fase mesofilik. Proses continous dilakukan dengan pengurai Armfield digester dengan jangkauan organicloadingrate(OLR) 0,851–1,77 kg COD per m3 per hari. Efek dari sirkulasi bahan kimia di alat pengurainya diamati menggunakan OLR yang berbeda dari liquid yang dihasilkan dari rumput. Hasil ini menunjukkan bahwa ketika OLR, meningkat maka metan berkurang apabila menggunakan reaktor tanpa sirkulasi dan bertambah apa bila reaktor

(37)

19

Penguraian anaerobik adalah metode biologi yang digunakan untuk mengkonversi limbah organik agar tidak beracun. Biogas yang diproduksi dapat digunakan sebagai alternatif sumber energi yang dapat diperbaharui. Fermentasi kering (15% TS) mempunyai keuntungan lebih dari fermentasi basah (10% TS) karena

fermentsi kering dapat menggunakan rektor yang lebih kecil. Fermentasi kering mengurangi penggunaan air berlebih dan menghasilkan pupuk yang mudah dibawa. Penguraian anaerobik dari kotoran ternak atau dicampur dengan rumput diamati dikondisi kering dan thermophailic (15% TS) dan (55 ºC). Campuran dari tiga kotoran ternak (kotoran babi, kotoran ayam dan kotoran sapi) yang dicampur dengan rumput. Diurai menggunakan operasi bacth dengan rektor satu liter. Kotoran babi menunjukan pengurangan 58% volatilsolid selama 30 hari

percobaan. Kotoran sapi dan ayam menunjukan penguranga volatilsolid masing masing 24% dan 31%. Selama lebih dari 30 hari penguraian kotoran babi menunjukkan jumlah metana yang paling tinggi sebanyak 0,229 liter CH4 per gram volatilsolid. Kotoran sapi menunjukan hasil yang kurang bagus yaitu 0,009 liter CH4, dan untuk kotoran ayam 0,02 liter CH4 per gram volatil solid. Hasil ini mengindikasi bahwa kotoran babi memiliki potensi produksi biogas yang paling tinggi diantara ketiga kotoran hewan tersebut (Ahn dan Smith, 2008).

D. Anaerobic Co-Digestion

(38)

20

limbah tinggi kandungan lemak, minyak dan limbah tanaman biasanya dibuang di tempat pembuangan akhir. Undang-undang Eropa bertujuan untuk mendorong pemanfaatan yang lebih efektif. Dalam penelitian ini, limbah tanaman sebagai co-substrat dalam anaerobic digestion limbah padat perkotaan pada kondisi suhu dibawah (37 ºC) . Percobaan Batch dilakukan pada rasio co-digestion yang berbeda menunjukkan peningkatan produksi metana yang berhubungan dengan penambahan limbah tanaman. Saat ini telah ditemukan limbah tanaman yang dibuang dapat menjadi metan, dicampurkan dengan limbah perkotaan (Martín, 2009).

Jha dkk. (2012), menyebutkan produksi biogas dari kotoran sapi mencapai 44,10 liter/kg. Sedangkan dengan campuran mikroba dapat mecapai 47,56 liter/kg. Metan yang dihasilkan 25,21 liter/kg dan 26,72 liter/kg pada perlakuan kotoran sapi dan kotoran sapi dengan campuran. Kotoran sapi yang digunakan memiliki Total Solid16,28%, Volatil Solid 130,21 gram, dan C/N25%. Reaktor yang digunakan sistem batch, volume 3,6 liter dengan volume efektif 3 liter. Produksi biogas sampai dengan 35 hari, dengan suhu rektor 35 ºC.

Li dkk.( 2011), membuktikan bahwa fermentasi kering sudah layak digunakan untuk sumber penghasil energi terbarukan dan menghasilkan pupukorganik. Fermentasi kering kotoran sapi murni dan sluge, dalam rasio campuran yang berbeda dilakukan pada temperatur 35 ºC. Penelitian yang dilakukan skala

laboratoruim selama 63 hari. Produksi biogas diperoleh dengan rasio kotoran sapi murni dan sluge 1:0, 4:1, 3:2, 2:3, 1:4, dan 0:1 adalah 56,94 liter/kg, 58,51

(39)

21

komposisi metan 32,01 liter/kg, 33,14 liter/kg, 35,31 liter/kg, 36,91 liter/kg, 34,76 liter/kg, dan 32,63 liter/kg. Hasil menunjukkan dengan pencampuran bahan dapat meningkatkan gas metan hingga 3,11–13,99%. Hal ini karena pengaruh nutrisi yang seimbang dan peningkatan kapasitas peyangga.

Ratnaningsih dan Yananto (2009),memanfaatkan sampah organik segar agar lebih bernilai. Sampah organik segar dicampur dengan kotoran sapi perah menjadi biogas dalam skala laboratorium, dimasukan dalam reaktor sistem batch. Sampah organik yang berumur tiga hari dihaluskan lalu dilarutkan denagan aquades dengan perbandingan 1:1, begitu juga dengan kotoran sapi. Komposisi campuran kotoran sapi dan sampah organik diberagamkan menjadi lima yaitu (1:0; 3:1; 1:1; 1:3; 0:1) agar mendapatkan komposisi yang terbaik. Volume bahan penelitian 4 liter dan waktu pengamatan selama 24 hari, selanjutnya analisis menggunakan metode regresi. Parameter yang diamati perhari yaitu: C/N, pH isian, BOD/COD, TS, serta komposisi gas. Komposisi campuran 1:1 berdasarkan penelitian adalah campuran terbaik yaitu 1,03 liter biogas per liter bahan 12 L/kg TS (C/N 9,7) kandungan metanya sebesar 11,57%.

E. Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)

Rumput Gajah memiliki beberapa varietas, antara lain varietas Afrika dan Hawai:

1. Varietas Afrika ditandai dengan daun dan batang kecil, berbunga, tumbuh tegak dan produksi lebih rendah dari pada varietas Hawai.

(40)

22

Produksi bahan kering Rumput Gajah varietas Hawai mencapai 6,3 kg/m2/tahun atau 63 ton/ha/tahun dan Rumput Gajah varietas Afrika 4 kg/m2/tahun atau 40 ton/ha/tahun (Yohanis dkk., 2013). Karakteristik dari Rumput Gajah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Rumput Gajah

No Komponen Satuan Nilai

1 Kadar air % 85,97

2 Volatil Solid (VS) % basis kering 86,96 3 chemcal oxygen demand (COD) g/kg kering 1,067

4 Karbon % basis kering 42,3

6 Nitrogen % basis kering 0,96

9 Sellulosa % basis kering 35,33

10 Lemak % basis kering 8,86

Sumber:Nuntiyadkk., 2009.

Rumput Gajah dapat digunakan sebagai tanaman hias, telah banyak ditanam untuk penahan angin dan masih direkomendasikan sebagai rumput hijauan yang sangat produktif. Rumput Gajah memiliki tampilan seperti tebu, tetapi memiliki daun yang lebih sempit.Biji Rumput Gajah dapat disebarkan dengan angin, air, pakaian, melekat pada bulu, dan kendaraan (DAFF, 2014).

(41)

23

Penelitian yang telah dilakukan oleh Flores dkk. (2012) memperlihatkan C/N rata–rata dari Rumput Gajah yaitu 37,3. Flores dkk. (2012) memberikan perlakuan pada penanaman Rumput Gajah yaitu pemberian pupuk nitrogen sebesar 100 kg/ha dan 0 kg/ha. Pada perlakuan pemberian pupuk nitrogen 100 kg/ha C/N pada varietas Paraiso dan Roxo yaitu 37,0 dan 35,6 sedangkan

(42)

24

III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilakukan pada bulan Juni sampai dengan September 2014. Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Daya, Alat, dan Mesin Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandarlampung.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rumput Gajah varietas Hawai yang diperoleh dari Dinas Peternakan Kabupaten Pesawaran.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitudrum plastik ukuran 220 liter yang digunakan sebagai digester, selang, galon volume 19 liter sebagai penampung gas hasil produksi, pompa 60 watt, panel buka tutup, timbangan, kamera digital, dan alat tulis.

C. Prosedur Penelitian

(43)

25

Gambar1. Diagram Alir Penelitian Rumput

Gajah

Pencampuran

Proses fermentasi kering Pembuatan

digester Persiapan komponen

digester

Persiapan bahan baku

Kotoran sapi

Pengukuran: gas dan temperatur

Mulai

(44)

26

a) Drum plastik ukuran 220 liter yang telah disiapkan sebagai tabung digester dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan.

b) Tutup drum plastik dibuat dengan skema buka tutup agar mudah untuk memasukkan bahan baku isian.

c) Membuat bak penopang yang berlubang kecil-kecil, yangdiletakkan di atas plastik PVC penopang setinggi 25 cm dari dasardrum plastik. Diberi penopang setinggi ini dimaksudkan agar bahan tidak terendam dengan air yang akan digunakan untuk mempertahankan kelembaban bahan.

d) Membuat lubang pada sisi untuk meletakkan katup, yang akan digunakan untuk mengalirkan gas hasil produksi, mengalirkan air, dan memompa keluar kembali air.Digester yang akan dirancang terlihat seperti Gambar 7.

2. Persiapan bahan baku dan memasukkan ke dalam digester

a) Bahan baku berupa Rumput Gajah dan kotoran sapi.

b) Rumput Gajah dicacah kasar agar mudah dimasukkan ke-dalam drum plastik.

c) Rumput Gajah yang sudah dicacah dicampur dengan kotoran sapi, diaduk-aduk hingga homogen.

d) Bahan baku yang telah siap digunakan dimasukkan ke-dalam drum plastik digester.

e) Setelah itu, drum plastikdigester ditutup rapat dan divakumkan.

(45)

27

Gambar 2. Digester Yang Digunakan pada Penelitian

g) Bahan baku didalam drum plastik disemprot menggunakan air secara periodik setiap dua hari sekali, air yang digunakan sekali semprot sebanyak 10 liter. Penyemprotan dimaksudkan untuk mempertahankan kelembaban bahan, bukan untuk mencairkan bahan. Penyemprotan menggunakan pompa 60 watt. Skema yang akan digunakan pada penelitian seperti pada Gambar 8.

Katub untuk mengalirkan gas

Katub untuk mengalirkan air

Lubang kecil Bak

Bak Penopang isian

Katub untuk mengeluarkan air 25 cm

(46)

28

Gambar 8. Skema Yang Akan Digunakan pada Penelitian

D. Perlakuan

Pada penelitian ini dilakukan 3 perlakuan dengan tanpa pengulangan dengan perbandingan antara bahan baku isian dan kotoran sapi seperti pada Tabel 3.

Tabel1. Perlakuan dan Perbandingan Bahan Baku Isian

Perlakuan Perbandinganantarabahan baku

isiandankotoran sapi

A 3:1

B 4:1

C 5:1

E. Parameter Pengukuran

Parameter yang dinilai pada penelitian ini adalah: 1. Volume gas harian dan kumulatif

Volume gas diamati setiap hari. Berapa volume gas yang dihasilkan dapat dilihat dari botol pengukur volume gas. Pengukuran volume gas dimulai dari awal gas dihasilkan sampai pada gas tidak dihasilkan lagi.

Digester Pengukur gas

Penampung air

(47)

29

2. Lama produksi gas

Lama produksi gas diamati dari gas pertama dihasilkan sampai gas tidak dihasilkan lagi.

3. Produktivitas gas

Produktivitas gas adalah produksi gas (PG) total yang dihasilkan dibagi dengan bahan isian. Bahan isian disampaikan berdasarkan bahan basah dan bahan kering (TS). Produktivitas gas dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut:

PG =

... (1)

4. Temperatur

Temperatur diamati setiap pagi, siang, dan sore hari. Temperatur yang diukur adalah temperatur lingkungan dan temperatur reaksi.

5. Uji Nyala

Biogas yang dihasilkan dilakukan uji nyala menggunakan api.

F. Analisis Data

(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan produksi biogas dengan perbandingan campuran Rumput Gajah dan kotoran sapi 3:1 (A); 4:1 (B), dan 5:1 (C) berurut-urut yaitu 204 liter, 258 liter, dan 241,3 liter selama 25 hari dengan produksi rata–rata perlakuan A, B, dan C yaitu 8,53 L/hari, 10,75 L/hari, dan 10,05 L/hari.

2. Perbandingan campuran Rumput Gajah dan kotoran sapi 4:1 (B) adalah perlakuan terbaik untuk produksi biogas melalui fermentasi kering.

B. Saran

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, H.K dan M.C. Smith. 2008. Biogas Production Potensial from Switch Grass-Animal Manure Mixture Using Dry Anaerobic Digestion. An ASABE Meeting Presentation. Rhode Island. June 29–July 2.

BIOFerm Energy Systems. 2009. Dry Fermentation vs. Wet Fermentation. Madison.

Culhane, T.H. 2010. Biogas Digester. Tamera. Valerio Marazzi. 16 hlm. Department of Agriculture Fisheries and Forestry (DAFF). 2014.Elephant grass

Pennisetum purpureum. The State of Queensland.

Flores, R. A., S. Urquiaga, B. J. R. Alves, L. S. Collier, and R. M. Boddey. 2012. Yield and Quality of Elephant Grass Biomass Produced in The Cerrados Region for Bioenergy. Jaboticabal. 32. 831–839.

Frederiks, B. 2012. Biogas Tests with Elephant Grass (Pennisetum purpureum) and Guatemala Grass (Tripsacum laxum). FACT Foundation. Netherlands. Food and Agricultural Organization (FAO). 1996. Biogas Technology : A

Training Manual For Extension. Nepal.

Goorahoo, D., F, Cassel S., D. Adhikari, and M. Rothberg. 2005. Update on Elephant Grass Research and Its Potential As A Forage Crop. California Alfalfa and Forage Symposium. Visalia. 12-14 Desember.

Hanson, A., H.W. Yu, Z. Samani, and G. Smith. 2010. Energy Recovery from Grass Using Two-Phase Anaerobic Digestion. Waste Management. 22. 1–5. Haryati, T. 2006. Biogas: Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi

Alternatif. Wartazoa. 16. 160–169.

(50)

40

Li, J., A. K. Jha, D. Jungou, B. QiaoYing, C. Sheng, and W. Peng. 2011. Assessment of the effects of dry anaerobic co-digestion of cow dung with waste water sludge on biogas yiled and biodegradability. International Journal of Physical Sciences. 6. 3679–3688.

Lugiyo dan Sumarto. 2000. Teknik Budidaya Rumput Gajah CV Hawai

(Pennisetum purpureum). Temu Teknis Fungsional non Peneliti. Bogor. 5 September.

Martín, L.G., L.F. Colturato, X. Font, and T. Vicent. 2010. Anaerobic

co-digestion of the organic fraction of municipal solid waste with FOG waste from a sewage reatment plant: Recovering a wasted methane potential and enhancing the biogas yield. Waste Management. 30. 1854–1859.

Murphy, J.D. dan N.M. Power. 2008. An Argument for Using Biomethana Generated from Grass as a Biofuel in Ireland. Biomass & Bioenergy.33.504-512.

Nurhasanah, A., T. W. Widodo, A. Asari, dan E. Rahmarestia. 2006.

Perkembangan Digester Biogas di Indonesia. Balai Besar Pengembangan mekanisasi Pertanian. Serpong.

Nuntiya, P., A. Nopharatana, and W. Songkasiri. 2009. Bio-Methane Potential of Biological Solid Materials and AgriculturalWastes. Asian Journal onEnergy and Environment. 10. 19–27.

Prochnow, A., H. Heiermann, M. Plochl, B. Linke, C. Idler, T. Amon, and P.J. Hobbs. 2009. Bioenergy from Permanent Grassland – A Review: 1. Biogas. Bioresource Technology. 100. 4931–4944.

Purbajanti, E., S. Anwar, S. Widyati, dan F. Kusmiyati. 2009. Kandungan Protein dan Serat Kasar Rumput Benggala (Panicum Maximum) dan Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum ) pada Cekaman Stres Kering. Animal Production.

2. 109–115.

Ratnaningsih, H.W. dan T. Yananto. 2009. Potensi Pembentukan Biogas pada Proses Biodegradasi Campuran Sampah Organik Segar dan Kotoran Sapi dalam BatchReaktor Anaerob. Teknologi Ligkungan. 5.1.

Rukmana, R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul. Kasinus. Yogyakarta. 84 hlm. Rooney, D., J.A. Dahrieh, A. Orozco, and E. Groom. 2011. Bacth and Continuous

Biogas Production from Grass Silage Liquor. Bioresource Technology. 102. 10922–10928.

(51)

41

Sukmana, R.W. dan M. Anny. 2011. Biogas dari Limbah Ternak.Nuansa. Bandung. 158 hlm.

Sutarto dan F. Feris. 2007.Analisis Prestasi Produksi Biogas (CH4) dari

Polyethilene Biodigester Berbahan Baku Limbah Ternak Sapi. LOGIKA. 4. 1410– 2315.

Vogel, T., M. Ahlhaus, and M. Barz. 2009. Optimisation of Biogas Production from Grass by Dry-Wet Fermentation. Engineering for Rural Development Jelgava. 28–29 Mei 2009.

Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas dari Aneka Limbah. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. 104 hlm.

Gambar

Gambar1. Tahapan Pembentukan Biogas (Wahyuni, 2011)
Gambar 2. Digester FloatingDrum (Nurhasanah dkk., 2006).
Gambar 4. Digester Tipe Balon (FAO, 1996)
Gambar5. Skema Umum Fermentasi Kering(Spmultitech, 2011).
+5

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa keuntungan dari pemupukan melalui daun diantaranya dapat memberikan hara sesuai kebutuhan tanaman, penyerapan hara pupuk yang diberikan berjalan lebih

Kami telah mereviu Laporan Keuangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk Tahun Anggaran 2011 berupa Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan

Motivasi adalah perasaan atau keinginan seseorang yang berada dan bekerja pada kondisi tertentu untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang menguntungkan dilihat dari

TABEL MATRIK RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN SKPD PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2016.. 3 4

Menurut penulis, berdasarkan hasil wawancara dengan para narasumber, penulis sependapat bahwasanya upaya penanggulangan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh

Penelitian yang telah dilakukan Idharmahadi Adha, (2011) dengan memanfaatkan abu sekam padi sebagai pengganti semen pada metoda stabilisasi tanah di Lampung

Hasil penelitian yang dilakukan dapat menjelaskan secara teknis dalam hal pelaksanaan pekerjaan perbaikan jalan di atas tanah lunak dengan perkuatan

Bahan yang digunakan untuk perkuatan selain dengan geosintetis, beberapa penelitian menggunakan alternatif bambu sebagai perkuatan, antara lain penelitian tentang pengaruh