• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KANDUNGAN SERAT KASAR PADA TANAMAN KIAMBANG (Salvinia molesta) DENGAN METODE VAN SOEST DI WADUK BATUTEGI TANGGAMUS LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KANDUNGAN SERAT KASAR PADA TANAMAN KIAMBANG (Salvinia molesta) DENGAN METODE VAN SOEST DI WADUK BATUTEGI TANGGAMUS LAMPUNG"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KANDUNGAN SERAT KASAR DENGAN METODE VAN SOEST PADA KIAMBANG (Salvinia molesta) WADUK BATUTEGI

TANGGAMUS LAMPUNG

Oleh

AULIA LUTHFIANA ARYANI YS

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

Pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS KANDUNGAN SERAT KASAR PADA TANAMAN KIAMBANG (Salvinia molesta) DENGAN METODE VAN SOEST DI

WADUK BATUTEGI TANGGAMUS LAMPUNG Oleh

AULIA LUTHFIANA ARYANI YS

(3)
(4)
(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR GRAFIK ... iii

I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C.Kegunaan Penelitian ... 4

D.Kerangka pemikiran... 4

E. Hipotesis ... 5

II.TINJAUAN PUSTAKA A.Kiambang ... 6

1. Habitat Kiambang ... 6

2. Morfologi Kiambang ... 7

3. Fase Pertumbuhan ... 8

4. Klasifikasi Kiambang ... 9

5. Kandungan Nutrisi ... 10

B. Analisis Bahan Pakan ... 11

1. Analisis Proksimat ... 11

2. Analisis Van Soest ... 14

C.Serat Kasar ... 17

D.Serat Makanan Tidak Larut ... 19

(6)

3. Selulosa ... 22

4. Hemiselulosa... 22

E. Waduk Batutegi ... 23

1. Lokasi ... 23

2. Tujuan dan Manfaat Bendungan ... 23

3. Data Teknis ... 24

III. BAHAN DAN METODE A.Waktu danTempat Penelitian ... 25

B.Alat dan Bahan Penelitian ... 25

1. Alat yang digunakan ... 25

2. Bahan Penelitian ... 25

C.Metode Penelitian ... 28

1. Pengambilan Sampel ... 28

2. Analisis Van Soest ... 30

D.Peubah yang diamati ... 34

E. Rancangan Perlakuan ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Air Waduk Batutegi ... 35

B. Potensi Kiambang di Waduk Batutegi ... 37

C. Kandungan NDF pada Kiambang di Waduk Batutegi ... 40

D. Kandungan lignin pada Kiambang di Waduk Batutegi ... 42

E. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 47

B. Saran ... 47 DAFTAR PUSTAKA

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencaharian

penduduknya bertani padi sawah. Pada umumnya daerah budidaya pertanian padi sawah irigasi banyak ditumbuhi tanaman air, salah satunya adalah kiambang (Salvinia molesta) disebut juga Kayambang dalam bahasa Sunda, dan dalam bahasa Jawa disebut Kiambang. Kiambang ditemukan di sawah, kolam, sungai, dan saluran-saluran air. Pertumbuhan kiambang sangat cepat sehingga dapat menutupi seluruh permukaan air. Tingkat pertumbuhanyang tinggi pada tanaman asli dari Amerika Selatan digambarkan sebagai salah satu gulma yang cukup bermasalah di Indonesia. Oleh karena itu perlu ada upaya pemanfaatan Kiambang agar dapat berguna bagi kehidupan.

(8)

seluas 21,00 km2. Tiap harinya diperlukan biaya ± Rp. 2.200.000 untuk membuang 36 ton Kiambang dari permukaan Waduk Batutegi.

Menurut Suryana (2012), Kiambang biasanya lebih banyak dijumpai dan tumbuh subur di antara tanaman padi, bahkan kehadiran Kiambang dalam waduk akan menekan perkembangan tumbuhan air lainnya sperti duckweed atau azolla, sehingga dapat mengurangi penyebaran tumbuhan tersebut. Pertumbuhannya yang cepat dan kultivasi biomassa yang singkat, tumbuhan ini dapat menghisap oksigen (O2) dalam air kolam, waduk, dan sepanjang aliran air sungai atau sistem pengairan, meskipun di bawah lingkungan yang kurang baik.

Peneliti Daerah Aliran Sungai (DAS) dari Universitas Lampung (Banua, 2009) mengatakan, secara ekologis keberadaan gulma jenis Kiambang di Waduk Batutegi adalah baik. Meskipun Kiambang baik secara ekologis, namun

pengelola waduk waspada dengan cepatnya pertumbuhan Kiambang. Pengelola melakukan pengendalian agar tidak terlalu padat dan penuh sehingga dapat menutupi permukaan air yang menyebabkan kadar oksigen dalam air rendah dan membuat biota air tidak berkembang juga dapat menurunkan kualitas air sebagai bahan baku air minum. Kondisi tingginya populasi Kiambang dapat

membahayakan kinerja power intake atau turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Waduk Batutegi, selain itu pengendalian Kiambang juga membutuhkan dana dan tenaga yang banyak. Maka itu harus ada solusi dari banyaknya

keberadaan Kiambang di Waduk Batutegi.

(9)

kepada hewan ternak, sumber energi dan materi bagi pertumbuhan, dan kehidupan makhluk hidup. Pakan berkualitas adalah pakan yang memiliki kandungan

protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, mineral, dan vitamin seimbang. Hijauan merupakan sumber bahan pakan ternak yang utama dan sangat besar peranannnya bagi ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, dan domba) baik untuk hidup pokok, pertumbuhan produksi (daging dan susu) maupun untuk reproduksi.

Salah satu kendala dalam sistem usaha peternakan yang intensif adalah mahalnya harga pakan. Persentase biaya pakan dapat mencapai 60-70 % dibandingkan dengan total biaya produksi. Salah satu upaya menekan harga pakan yakni dengan menggalakkan perhatian terhadap sumber-sumber pakan non konvensional yang murah, mudah didapat, dan ketersediaanya kontinu salah satunya adalah

Kiambang. Kiambang merupakan gulma air yang mempunyai kemampuan

pertumbuhan cepat, ketersediaannya kontinu, harganya murah, mudah didapat, dan kandungan protein cukup tinggi yaitu sebesar 15, 90 % dan kandungan serat kasar 16, 80 %. Berdasarkan potensi ini maka Kiambang di Waduk Batutegi dapat dijadikan salah satu alternatif bahan pakan pada ternak.

(10)

B.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui kandungan serat kasar terutama dinding sel (NDF) dan lignin pada tanaman Kiambang dengan metode analisis Van Soest.

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat Provinsi Lampung dan stake holder peternakan tentang potensi kandungan serat kasar yakni dinding sel (NDF) dan lignin pada Kiambang sebagai alternatif pakan ternak baik ruminansia dan non ruminansia.

D. Kerangka Pemikiran

(11)

Menurut Tumijo (2012), saat ini di Waduk Batutegi pengendalian yang dilakukan untuk mengurangi kiambang adalah meminggirkan, memasukkan ke dalam keranjang besi yang berisi jaring setinggi ½ m sepanjang 6 m, mengangkatnya keatas dan dibuang ke area yang lebih tinggi dengan menggunakan mobil truk. Alat tersebut dipakai secara manual oleh pekerja harian Waduk Batutegi.

Penanganan ini tidak efektif karena pengangkatan Kiambang hanya bisa dilakukan 5-6 kali dalam sehari dan hanya 14 ton kiambang dalam sekali pengangkatan serta diperlukan sekitar Rp. 2.200.000 untuk biaya perharinya.

Dalam penelitian akan dianalisis kandungan serat kasar terutama NDF dan lignin dengan metode Van Soest pada bagian daun muda, akar muda, daun tua, akar tua, dan seluruh bagian tanaman. Melalui analisis ini kita akan mengetahui bagian manakah dari Kiambang yang memiliki kandungan NDF dan lignin paling banyak atau paling sedikit, sehingga kita dapat memilih bagian tanaman yang dapat dijadikan alternatif untuk pakan ternak dan pengendalian Kiambang di Waduk Batutegi akan segera terselesaikan.

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian kali ini adalah

1. Ada perbedaan kandungan serat kasar yakni dinding sel (NDF) dan lignin pada bagian tanaman utuh, daun muda, akar muda, daun tua, dan akar tua kiambang.

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Kiambang

1. Habitat Kiambang

Kiambang (Salvinia molesta), ditemukan pertama kali dan dipelajari di Universitas Colombo, Ceylon. Kiambang berasal dari Amerika Selatan dan diperkenalkan di pulau jawa melalui Kebun Raya Bogor. Berdasarkan dokumen Kebun Raya Bogor, Kiambang diperkenalkan pada 12 Desember 1950 dari Kebun Raya Montreal, Kanada (Bangun, 1988). Menurut Doeleman (1989) menyatakan bahwa Kiambang berasal dari Amerika Selatan dan merupakan tumbuhan air yang digambarkan sebagai salah satu gulma yang merugikan di dunia. Berbeda dengan pendapat Bangun (1988) bahwa Kiambang merupakan gulma tanaman padi, tetapi tidak menurunkan produksi padi, jadi tumbuhan ini termasuk gulma yang tidak merugikan tanaman lain.

Kiambang merupakan tumbuhan air yang banyak terdapat di sawah, kolam, sungai, genangan air, danau payau, dan saluran air. Terkadang menjadi sangat banyak dan menutupi permukaan air yang diam atau aliran yang lambat ( Soerjani et al.,1987). Menurut Halloo dan Silalahi (1997) mengemukakan bahwa

Kiambang merupakan tumbuhan air yang hidup terapung bebas di atas permukaan air, yang pertumbuhan dan perkembangan sangat cepat sehingga menutupi

(13)

Gambar 2. Kiambang memenuhi permukaan air

Kiambang dapat dijumpai mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 1800 m diatas permukaan laut, di Indonesia banyak terdapat di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan ( Soerjani et al.,1987).

2. Morfologi Kiambang

(14)

Gambar 3. Morfologi Kiambang (Sumber : itp.lucidcentral.org)

Kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil sehingga berwarna hijau, dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan.

Rambut-rambut ini mencegah daun menjadi basah dan juga membantu kiambang mengapung. Daun tipe kedua tumbuh di dalam air berbentuk sangat mirip akar, tidak berklorofil dan berfungsi menangkap hara dari air seperti akar. Orang awam menganggap ini adalah akar kiambang. Kiambang tidak menghasilkan bunga karena masuk golongan paku-pakuan. Sebagaimana paku air (misalnya semanggi air dan azolla) lainnya, Kiambang juga bersifat heterospor, memiliki dua

tipe spora: makrospora yang akan tumbuh menjadi protalus betina dan mikrospora yang akan tumbuh menjadi protalus jantan(Wikipedia, 2012).

3. Fase Pertumbuhan

Menurut Bangun (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran Kiambang adalah

(15)

c. Populasi cepat dan mantap karena tidak tergantung pada perbanyakan secara seksual.

d. Pertumbuhan yang morfologisnya lebih banyak menghasilkan bagian yang berfotosintesa.

e. Ketidaktergantungan pertumbuhan pada kondisi substrat dan fluktuasi dari permukaan.

Terdapat tiga fase pertumbuhan Kiambang. Pada fase pertama daun datar dengan diameter 10 mm, fase kedua daun tumbuh dengan panjang 25 mm, lebar, dan melipat keatas, pada fase ketiga daun berukuran 38x25 mm, kompak, hampir, tegak, dan melipat. Ketiga fase ini berkembang pada kondisi lingkungan bawah optimal dan terjadi selama 2-3 minggu (Soerjani etal., 1987).

4. Klasifikasi Kiambang

Menurut Soerjani dan Pancho (1978), Klasifikasi kiambang : Divisi : Pteridophyta

Kelas : Pterophyta Sub Kelas : Lestosporangiate Ordo : Salviniales

Famili : Salviniaceae Genus : Salvinia

Spesies :Salvinia molesta D. S. Mitchell

(16)

yang tumbuh di sawah, kolam, danau, dan selokan. Spesies Salvinia molesta dapat ditemukan di Afrika, Brazil, Queensland, Australia Barat, Srilanka, India, Indonesia, Singapura, dan Malaysia.

5. Kandungan Nutrisi

Kiambang ditinjau dari kandungan nutrisinya bisa dikatakan cukup bersaing dengan sumber pakan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari kandungan protein yang mencapai 15,90 % (Tabel 1) dan nilai energi metabolis semu dan murninya mencapai 2349 dan 2823 kkal (Sumiati etal., 2001).

Tabel 1. Kandungan zat makanan Kiambang Zat makanan

a. Hasil Analisis Laboratorium Biokimia Dan Enzimatik Balai Penelitian Dan Bioteknologi Tanaman Pangan (2001)

b. Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (2001)

c. Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB (1999)

(17)

B.Analisis Bahan Pakan

Kualitas bahan pakan dapat ditentukan dengan menganalisis bahan pakan tersebut, dan kualitas bahan pakan dapat menentukan tinggi rendahnya harga. Analisis terhadap bahan pakan dapat dilakukan secara fisik, kimiawi, dan biologi.

1. Analisis Proksimat

Analisis proksimat pertama kali dikembangkan di Weende Experiment Station Jerman oleh Hennerberg dan Stokmann. Oleh karena itu analisis ini sering juga dikenal dengan analisis Weende. Analisis proksimat menggolongkan komponen bahan pakan berdasarkan komposisi kimia dan fungsinya, yaitu : air (moisture), abu (ash), protein kasar (crude protein), lemak kasar (ether extract), serat kasar (crude fiber) dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (nitrogen free extract). Analisis proksimat menggo-longkan vitamin berdasarkan kelarutannya. Vitamin yang larut dalam air dimasukkan ke dalam fraksi air, sedang yang larut dalam lemak dimasukkan ke dalam lemak kasar (Suparjo, 2010).

(18)

Tabel 2. Komponen berbagai fraksi hasil analisis proksimat

Air dan komponen yang mudah menguap Unsur mineral

Protein, asam amino, NPN

Lemak, minyak, asam organik, lilin, pigmen, vitamin ADEK Hemiselulosa, selulosa, lignin

Pati, gula, Hemiselulosa, selulosa, lignin Sumber : Suparjo (2010)

Gambar 4. Bagan zat makanan dalam pakan menurut Metode Weende Sumber : Buku ajar mata kuliah bahan pakan formulasi ransum (2003). Kelebihan analisis proksimat, antara lain:

a. Kebanyakan laboratorium menggunakan sistem ini, b. Alat mahal dan canggih kurang dibutuhkan,

c. Menghasilkan hasil analisis secara garis besar,

d. Dapat menghitung TotalDigestible Nutrient (TDN) berdasarkan hasil analisis proksimat,

e. Memberikan penilaian secara umum pemanfaatan makanan pada ternak.

Air Bahan

Abu/ Bahan

Protein Bahan organik non-nitrogen

Lemak Karbohidrat

(19)

Disamping kelebihannya, terdapat juga kelemahan analisis proksimat, yaitu: a. Sistem tidak mencerminkan zat makanan secara individu dari bahan makanan, b. Kurang tepat, terutama untuk analisis serat kasar dan lemak kasar, akibatnya

untuk kalkulasi BETN juga kurang tepat, c. Proses membutuhkan waktu yang cukup lama,

d. Tidak dapat menerangkan lebih jauh tentang daya cerna, palatabilitas dan tekstur suatu bahan pakan,

e. Problem utama dari sistem Weende adalah untuk serat kasar, ekstrak ether dan BETN, yaitu

Tabel 3. Kelemahan analisis proksimat Fraksi Seharusnya

mengandung

(20)

2. Analisis Van Soest

Karbohidrat dalam pakan mempunyai dua fraksi utama yaitu serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen. Serat kasar mempunyai pengertian sebagai fraksi karbohidrat yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan selama 30 menit. Analisa serat kasar ini tidak diperoleh fraksi selulosa dan lignin

sehingga fraksi-fraksi tersebut perlu diketahui secara khusus untuk hijauan

makanan ternak atau umumnya pakan berserat. Untuk mengetahui fraksi selulosa dan lignin perlu dilakukan analisa lain yang lebih khusus yaitu metode analis Van Soest . Peter J. Van Soest dari USDA Beltville National Research, sekitar tahun 1965 mengembangkan prosedur pengujian yang memisahkan serat kasar menjadi dua bagian, yakni Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF), selanjutnya ADF diuraikan lagi menjadi Acid Detergent Lignin (ADL).

Metode Van Soest digunakan untuk mengestimasi kandungan serat dalam pakan dan fraksi-fraksinya ke dalam kelompok-kelompok tertentu didasarkan atas keterikatanya dengan anion atau kation detergen (metode detergen). Metode ini dikembangkan oleh Van Soest pada tahun (1965),

(21)

mengisolasi selulosa yang tidak larut dan lignin serta beberapa komponen yang terikat dengan keduanya (ADF) (Tim Laboratorium, 2002).

Menurut Suparjo (2010), sehubungan dengan kemampuan ternak ruminansia mencerna serat kasar, maka dari analisis proksimat dikembangkan oleh Van Soest untuk mengetahui komponen apa yang ada pada serat. Sistem analisis Van Soest menggolongkan zat pakan menjadi isi sel dan dinding sel. Neutral Detergent Fiber (NDF) mewakili kandungan dinding sel yang terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, dan protein yang berikatan dengan dinding sel. Bagian yang tidak terdapat sebagai residu dikenal sebagai Neutral Detergent Soluble (NDS) yang mewakili isi sel dan mengandung lipid, gula, asam organik, non protein nitrogen, pektin, protein terlarut, dan bahan terlarut dalam air lainnya.

Serat kasar terutama ADF mengandung selulosa dan hanya sebagian lignin, sehingga nilai ADF lebih kurang 30 persen lebih tinggi dari serat kasar pada bahan yang sama. Acid Detergent Fiber (ADF) mewakili selulosa dan lignin dinding sel tanaman. Analisis ADF dibutuhkan untuk evaluasi kualitas serat untuk pakan ternak ruminansia dan herbivora lain. Untuk ternak non ruminansia dengan kemampuan pemanfaatan serat yang kecil, hanya membutuhkan analisis NDF. Bagan alur analisis Van Soest lebih jelas terlihat pada Gambar 5.

(22)

mengembangkan metoda analisis lain khususnya untuk pakan sumber serat seperti rumput. Metoda Van Soest mengelompokan komponen isi sel dan dinding sel. Isi sel merupakan komponen sangat mudah dicerna. Komponen dinding sel adalah kelompok yang larut dalam deterjen netral (Netral Ditergent Fiber atau NDF) dan konponen NDF ada yang hanya larut dalam deterjen asam (Acid Detergent Fiber atau ADF). Hubungan antara hasil analisis proksimat dengan metoda Van Soest disajikan dalam Tabel 4.

(23)

Tabel 4. Hubungan analisis Van Soest dan analisis proksimat. Komponen Pakan

Metode Deterjen Metode Proksimat

Isi Sel NDS

Senyawa Nitrogen

Protein NBP Protein

Kasar

ADS Protein tidak

larut

Hemiselulola

ADF Protein Larut

H2SO4

Serat kasar merupakan bagian dari karbohidrat dan didefinisikan sebagai fraksi yang tersisa setelah didigesti dengan larutan asam sulfat standar dan sodium hidroksida pada kondisi yang terkontrol. Serat kasar yang terdapat dalam pakan sebagian besar tidak dapat dicerna pada ternak non ruminansia namun digunakan secara luas pada ternak ruminansia. Sebagian besar berasal dari sel dinding tananam yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

(24)

negatif dari kualitas pakan, yang secara umum menggambarkan bagian dari komponen pakan yang tidak dapat dicerna. Serat makanan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu serat makanan tak larut (unsoluble dietary fiber) dan serta makanan larut (soluble dietary fiber). Serat tidak larut contohnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang ditemukan pada serealia, kacang-kacangan, dan sayuran. Serat makanan larut contohnya gum, pectin, dan mucilage.

Menurut Soetanto (2007), fungsi utama serat kasar ada tiga, yaitu sebagai pengisi lambung, menjaga fungsi peristaltik usus dan merangsang saliva. Pemberian sumber serat kasar dalam bentuk panjang akan merangsang sekresi saliva

sehingga berfungsi sebagai penyanggah (buffering action) keasaman rumen. Hal ini akan mencegah terjadinya acidosis serta merangsang aktivitas bakteri

selulolitik yang sangat sensitif terhadap keasaman (pH) di bawah lima. Gerakan peristaltik usus akan distimulir oleh kehadiran serat kasar, sehingga fungsi usus menjadi normal. Penelitian yang dilakukan di Rowett Research Institute,

Aberdeen, UK menunjukkan bahwa sapi yang dipelihara dengan menginfus cairan berisi zat gizi yang diperlukan tetap dapat hidup, namun hanya mengeluarkan feses dua atau tiga hari sekali. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi peristaltik usus mengalami gangguan.

Menurut Priyono (2009), ternak ruminansia membutuhkan serat kasar, jika kebutuhan serat kasar pada ternak ruminansia tidak tercukupi maka akan

mengakibatkan: (1) Konsumsi pakan menjadi menurun; (2) Terjadi pergeseran abomasum atau displaced abomasum; (3) Rumen mengalami luka; dan

(25)

D. Serat Makanan Tidak Larut

1. Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF) NDFmerupakan dinding sel tanaman yang terdiri atas ADF dan hemiselulosa (Van Soest , 1982; Reksohadiprodjo, 1988). NDF mewakili bagian dinding sel yang berserat dan terkandung di dalamnya lignin, selulosa, hemiselulosa serta beberapa protein yang terikat oleh serat (Pina et al., 2009).

Kandungan NDF berhubungan erat dengan konsumsi pakan, sebab seluruh komponennya memenuhi ruang rumen dan lambat dicerna sehingga lebih rendah kandungan NDF lebih banyak pakan dapat dikonsumsi. Kandungan ADF

merupakan indikator kecernaan hijauan, karena kandungan lignin merupakan bagian dari fraksi yang dapat dicerna. Nilai NDF selalu lebih besar dari ADF, karena ADF tidak mengandung hemiselulosa. Serat detergen netral ( neutral-detergen fiber, NDF), yang merupakan sisa setalah ekstraksi dalam keadaan mendidih dengan larutan netral natrium lauril sulfat dan asam

etilendiamintetraasetat (EDTA), terutama atas lignin, selulosa, dan hemiselulosa, dan dapat dianggap sebagai komponen dinding sel tumbuhan (Hernawati, 2009)

Menurut Tensiska (2008), komponen serat yang tergabung dalam NDF

merupakan bahan yang tidak dapat larut dari matrik dinding sel tanaman. Serat tersebut secara kovalen terikat sangat kuat dengan ikatan hidrogen, kristalin atau ikatan intra molekular lain yang sangat resisten terhadap larutan yang masih berada pada tingkat konsentrasi fsiologi. Larutan NDS tidak bersifat

(26)

NDF. Tidak semua komponen dari dinding sel terikat ke dalam matrik. Pektin sebagai contoh hampir 90% nya dapat dilarutkan oleh NDS, dan juga pektin adalah komponen yang mudah difermentasikan, sehingga hal ini memperlihatkan tidak adanya pengaruh lignifikasi pada ikatan pektin.

Dengan demikian NDF tidak dapat dinyatakan mewakili komponen dinding sel secara keseluruhan, tetapi hanya mewakili sebagai residu dari komponen nutrisi yang mempunyai ikatan dengan matrik lignin dan secara fisik merupakan struktur yang tidak dapat larut dan mempunyai pengaruh khusus baik pada rumen maupun pada saluran pencernaan non ruminan. Standar kebutuhan serat untuk ruminansia hanya bisa dinyatakan dengan nilai NDF, hal ini disebabkan hemiselulosa

mempunyai pengaruh yang besar.

Nilai NDF adalah kandungan semua serat yang teranalisis, dan ini satu-satunya cara yang bisa menggambarkan kandungan serat meskipun dari bahan hijauan atau konsentrat yang berbeda. Oleh sebab itu NDF adalah satu-satunya analisis serat yang bisa merangking komponen pakan mulai dari yang tidak

(27)

Demikian juga NDF telah diakui sebagai komponen bahan pangan yang diperlukan dalam menu pada makanan manusia (Tensiska, 2008).

2. Lignin

Lignin merupakan polimer non karbohidrat yang bersifat tidak larut dalam air. Lignin merupakan senyawa turunan alkohol kompleks yang menyebabkan dinding sel tanaman menjadi keras. Lignin merupakan heteropolimer yang sebagian besar monomernya p-hidroksifenilpropana dan semua lignin mengandung koniferil alkohol. Lignin tidak larut dalam air dan sebagian besar pelarut organik. Lignin adalah polimer yang banyak cabangnya dan banyak memiliki ikatan silang.

Lignin tersusun dari tiga senyawa fenilpropanoid, yaitu alkohol komaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil. Ketiganya tersusun secara acak membentuk polimer lignin yang tidak beraturan(Tensiska, 2008).

Gambar 6. Bentuk struktur lignin

(28)

Lignin merupakan salah satu polimer fenilpropanoid yang sulit dirombak (Recalcitrant). Hal ini disebabkan oleh strukturnya yang heterogen dan sangat kompleks. Lebih dari 30% material tumbuhan tersusun oleh lignin, sehingga dapat memberikan kekuatan pada kayu terhadap serangan mikroorganisme. (Tensiska, 2008)

3. Selulosa

Menurut Sutrisno (2006), selulosa tidak larut dalam air dingin maupun air panas serta asam panas dan alkali panas. Selulosa merupakan komponen penyusun dinding sel tanaman bersama-sama dengan hemiselulosa, pektin, dan protein. Selulosa merupakan polimer dari glukosa berantai lurus dengan ikatan β (1 – 4) glikosidik dengan jumlah glukosa sampai 10.000 unit. Ikatan β (1 – 4) glikosidik ini menghasilkan konformasi seperti pita yang panjang. Setiap dua residu terjadi rotasi 1800 yang dapat membentuk ikatan Hidrogen antar molekul pada rantai yang paralel. Amilase mamalia tidak bisa menghidrolisis ikatan β (1 – 4).

4. Hemiselulosa

(29)

mudah larut dalam alkali, tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa sebaliknya (Sutrisno, 2006).

E.Waduk Batutegi

Irigasi Way Sekampung mulai dikembangkan pada 1935, dimulai dengan dibendungnya Argoguruh pada sungai Sekampung di Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran beserta sistem penjaringan irigasinya. Waduk ini dibangun dengan membendung tiga aliran sungai yaitu sungai Sangarus, Sekampung dan Rilau. Pembangunan Waduk Batu Tegi dimulai 1995 dan selesai 2002 di atas lahan seluas 42.400 ha. dengan ketinggian tempat antara 175—1.775 m dari permukaan air laut. Daerah pembangunan waduk ini memiliki temperatur rata--rata 25,23°C, kelembaban 83,21% dan curah hujan 2.500 mm per tahun Areal persawahan yang dapat diairi pada saat musim rendengan seluas 43.588 ha. Dari studi yang dilakukan tahun 2000 potensi lahan pertanian yang bisa dikembangkan sebagai irigasi teknis mencapai ± 66.573 ha. Untuk mewujudkan pengembangan areal persawahan seluas 66.573 ha tersebut, perlu adanya penampungan air yang cukup dan jaringan irigasi yang memadai.

1. Lokasi

Waduk Batu tegi terletak di Pekon Batutegi, Kecamatan Air Naningan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung ± 90 km sebelah barat daya Bandar Lampung dibangun pada sungai Sekampung ± 65 km di hulu Bendung Argoguruh.

2. Tujuan dan Manfaat Bendungan

(30)

b. Penyediaan air baku untuk air sebesar 2. 250 l/dt - Bandar Lampung : 2.000 l/dt

- Metro : 200 l/dt - Branti : 50 l/dt

c. Merupakan alternatif bagi pengembangan irigasi Way Sekampung d. Pengendalian banjir, Pariwisata, dan Perikanan

3. Data Teknis

a. Tipe : Timbunan batu dengan inti tanah kedap air b. Panjang puncak : 7001.00 m

c. Elevasi puncak : + 283,00 m (tepi) dan + 284,500 m (tengah)

d. Lebar puncak : 12,00 m e. Tinggi bendungan : 122.00 m f. Volume timbunan : 9.641.071 m3 g. Panjang inspection gallery : 841,00 m

(31)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada April- Juli 2012 bertempat di Waduk Batutegi Kabupaten Tanggamus dan Laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor Jawa Barat.

B. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat yang digunakan

Gelas beker kapasitas 600 ml, hot plate : 400 watt masing-masing untuk satu gelas dengan alat kontrol, kondensor :alat pendingin ini berhubungan dengan air yang mengalir dan bentuknya biasanya bulat sehingga pas masuk di bagian mulut gelas beker 600 ml, krusibel, tanur 500oC, kertas saring whatman no 54 atau 54l, plot ( 1x1 m2), oven, cawan, timbangan (5 kg), kantong plastik, golok, talenan, neraca analitik, tabung digestion, dan blok digestion,

2. Bahan Penelitian

a. Larutan untuk Neutral-Detergent Fiber (NDF)

(32)

menggunakan stirer yang sekaligus berfungsi sebagai hot plate untuk mempermudah kelarutan. Menambahkan Ethylene glycol monoethyl ether sebagaimana perlunya untuk mengontrol busa supaya tidak berlebihan.

Untuk memastikan larutan detergen ini netral bisa dilakukan pengecekan pH dan biasanya akan berkisar antara 6.9 -7.1. Apabila larutan disimpan ditempat yang suhunya dibawah 18oC deterjen biasanya akan mengendap tetapi dapat dilarutkan kembali dengan pemanasan. Total larutan akan mencapai lebih dari volume yang dibuat karena adanya penambahan volume dari bahan kimia. Sebagai contoh apabila membuat larutan sebanyak 18 liter maka dengan adanya penambahan bahan kimia tersebut total larutan bisa mencapai 18.5 liter. Untuk analisis bahan pakan atau pangan yang mengandung pati sangat tinggi biasanya ditambahkan enzim pencerna pati seperti : Amyloglucosidae, hog pancreas amylase, Bacillus subtilus amylase, dan termamyl.

b. Larutan ADF

Larutan ADF dibuat dengan cara pertama dibuat dulu larutan asam sulfat 0.5 M (1 N) dan boleh sedikit adanya variasi larutan sebesar 0.98 – 1.02 N. Apabila menggunakan larutan asam sulfat murni bisa dibuat dengan cara menambahkan 49.0 g asam sulfat murni kedalam air sehingga didapat sebanyak 1 liter (ini akan sama dengan larutan 1 N). Kemudian ditambahkan 20 g CETAB dan diaduk dengan stirer sampai larut. Penambahan CETAB kedalam larutan asam sulfat 1 N kemungkinan sedikit akan menaikan volumenya.

(33)

Tabel 5. Larutan untuk Neutral- Detegrent Fiber (NDF)

No. Neutral Detergent Solution (NDS) Jumlah

1 Distilled water 1,00l

2 Sodium laury sulfate, lab grade 30,00g

3 Disodium cthylenediamine tetraacetate (EDTA) dihyrate crystal, reagent grade

18,61g

4 Sodium borate decahyderate, reagent grade 6,81g

5 Disodium hydrogen phosphate, anhydrous, reagent grade

kalau menggunakan yang hydrous 10 H2O

4,56g

11,48g

6 2-ethoxythanol (ethylene glycol monoethyl ether), purified gade

10,00g

Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Ternak (2002)

Tabel 6. Larutan untuk Acid –Detergent Fiber (ADF)

No. Neutral- Detergent Solution (NDS) Jumlah

1 Sulfuric acid 1 N, reagent grade , setiap 1 liter.

Apabila menggunakan H2SO4 murni tiap liter larutan

1,00l

49,04g

2 Cethyltrimethylammoium Bromida (CETAB), technical grade

20,00g

(34)

C.Metode Penelitian

1. Pengambilan sampel

Pelemparan plot secara acak, pengambilan, pemisahan, meniriskan, menimbang, mencacah, mengeringkan, menimbang kembali, dan melakukan analisis Van Soest

1. Memisahkan antara Kiambang yang muda dan tua dalam satu tanaman yakni memperhatikan daun tua terlihat coklat dan mulai rusak sisi daunnya, dan daun muda masih terlihat hijau diselimuti bulu-bulu halus di setiap sisi daunnya,

Gambar 7. Metode pemisahan daun tua dan daun muda

2. Memisahkan antara daun dari bagian akar dan batang dengan cara memotong dari pangkal batang,

3. Mengumpulkan tumbuhan utuh baik yang tua maupun yang muda. Daun terlihat

coklat

(35)

Gambar 8. Memisahkan antara daun dengan akar dan batang

Gambar 9. Menimbang Kiambang Gambar 10. Daun muda

(36)

Gambar 13. Akar tua Gambar 14. Akar muda

2. Analisis Van Soest

a. Analisis serat metode Van Soest untuk mengetahui kandungan NDF dilakukan dengan prosedur berikut.

Menimbang sampel Kiambang sebanyak 0,5--1 g (kering udara dan sudah digiling), masukkan sampel Kiambang ke dalam gelas beker 250 ml, tambahkan 100 ml larutan detergen netral dan 2-3 tetes dekalin, simpan di tempat pemanasan tunggu sampai 5--6 menit sampai mulai panas kemudian dihitung waktu pemanasannya selama 5--60 menit.

(37)

Menyaring bahan larutan secara pelan-pelan mulai dari bahan cairan yang terlarut cukup dengan vakum yang rendah dayanya, kemudian bagian padatannya bisa di masukkan ke saringan sambil dibilas dengan air mendidih sampai semua sampel habis masuk ke gelas saring, vakum bisa ditambahkan kekuatannya sesuai dengan kebutuhannnya, sampel dicuci sekitar 2 kali dengan air panas dan 2 kali dengan aseton. Kemudian keringkan sampel minimal 8 jam pada suhu 105°C dalam oven yang dilengkapi dengan sistem kipas, setelah ditimbang didapatkan berat kering residu NDF. Pengamatan Van Soest lebih jelas bias di lihat pada Gambar 15-17.

b. Analisis serat metode Van Soest untuk mengetahui kandungan Lignin dilakukan terlebih dahulu ekstraksi residu tanaman atau bahan pakan dengan larutan acid-detergent (ADF).

Menimbang sampel sebanyak 1 g (kering udara dan sudah digiling dan memasukkan ke dalam gelas beker 200 ml, menambahkan 50 ml larutan detergen netral,

menyimpan di tempat pemanasan (hot plate) tunggu antara 5-6 menit sampai mulai panas kemudian dihitung waktu pemanasan selama 60 menit, prosedur penyaringan selanjutnya sama dengan waktu analisis NDF, perhitungan ADF juga sama dengan dilakukan pada NDF.

Memisahkan komponen dinding sel menggunakan larutan H2SO4 72%, 12 M dengan masa jenis 1.634 di mana lignin tidak dapat larut dalam larutan asam tersebut.

(38)

mendapatkan bahan yang tersisa pada krusibel adalah abu yang tidak larut dalam asam sulfat.

Gambar 15. Menambahkan H2SO4 72% Gambar 16. Memanaskan sampel yang telah diberi larutan NDF

(39)

Gambar 18. Skema penelitian

1. Rendam dengan larutan 72%H2SO4 (15ºC)

(40)

D.Peubah yang diamati

Peubah yang diamati yaitu persentase kandungan serat kasar khususnya dinding sel (NDF) dan lignin pada daun muda, daun tua, akar tua, akar muda dan tanamam utuh Kiambang.

E.Rancangan Perlakuan

(41)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Simpulan dari hasil penelitian sebagai berikut :

a. Ada perbedaan kandungan serat kasar yakni dinding sel (NDF) dan lignin pada bagian tanaman utuh, daun muda, akar muda, daun tua, dan akar tua kiambang. b. NDF paling banyak terdapat pada tumbuhan utuh Kiambang yaitu sebesar

77.56 % dan paling sedikit terdapat pada daun muda yaitu 68.40 %.

Kandungan lignin paling banyak terdapat pada akar dan batang tua Kiambang sebesar 25.38% dan paling sedikit terdapat pada daun muda 16.62%

B.Saran

(42)
(43)

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, R. 2011. Pengertian Jaringan Sklerenkim. Jakarta.

http://rainamrullah.wordpress.com/2011/03/29/jaringan-sklerenkim/ [12 Oktober 2012.

Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Dasar Umum. Gramedia. Jakarta. Bangun, P. 1982. Persaingan Kiambang Salvinia molesta dengan Tanaman Padi.

Jurnal penelitian pertanian 2 (2) : 64-67.

Bangun, P. 1988. Pemanfaatan Kiambang Salvinia molesta untuk Mengendalikan Gulma Pada Padi Sawah. Jurnal penelitian pertanian 7 (4) : 98-102.

Banua, I. M. 2009. Untung Rugi Gulma dalam Waduk.

http://perpustakaan.or.id/2009/08/30/untung-rugi-gulma-dalam-waduk/. Bandar Lampung.

Batutegi Bendungan. 2012. Kegiatan O & P Sumber Daya Air. Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Sumber Daya Air. Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung. Brosur. Tanggamus.

Barus, T. A. 2002. Pengantar Limnologi. USU-Press. Medan

Badan Standar Nasional. 2009. Pakan Konsentrat Bagian 2 Sapi Potong. Jakarta

Buxton, D.R., and D.D. Redfearn. 1997. Plant Limitation To Fiber Digestion And Utilization. J. Nutr. 127:814S-818S.

Dewi, S. S. 1975. Beberapa Aspek Biologi dari Tiga Jenis Tumbuhan Air (Aquatic Weeds) dan Susunan Zat Gizinya. Skripsi tambahan. Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Jurusan Biologi. Universitas indonesia. Jakarta

(44)

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner .2005. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran.

Doeleman, J. A. 1989. Biologycal Control Of salvinia molesta In Sri langka :An Assement Of Cost and Benefits. Australian Center for International Agriculture Reasearch. Canberra.

Efendi, M.I. 2003. Biologi perikanan. Yayasan pustaka nusantara. Jakarta. Fathul, F. 1999. Penuntun Praktikum. Penentuan Kualitas dan Kuantitas Zat

Makanan dalam Bahan Makanan Ternak. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung

Fauzi, N .H. 2012. Struktur dan Fungsi Jaringan Tumbuhan. Banten.

http://saungbelajarsmawar.wordpress.com/kllkkl/jaringan-tumbuhan-dan-hewan/struktur-dan-fungsi-jaringan-tumbuhan/ [12 oktober 2012]

Gregory, P. A. 2007. Green Energy. received a CASE-Kentucky Excellence Award for Feature Writing for this article.

http://www.research.uky.edu/odyssey/winter07/green_energy.html. [Juni 2012].

Halloo, L dan M. Silalahi. 1997. Pengaruh Penggunaan Tepung Kiambang (Salvinia molesta) Sebagai Subtitusi Dedak Halus Dalam Ransum Ayam Pedaging Arbor Arces (cp-707) Umur 11-54 Hari. Prosiding seminar nasional ilmu nutrisi dan makanan ternak. Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Indonesia dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hartadi, S. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. UGM Press.

Yogyakarta.

Hasjmy, A. D, Erika B. L, Lily A, Lily A. S, Ridla, dan Nahrowi R. 2002. Diktat Uji dan Standar Mutu Pakan dan Ransum. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hernawati. 2009. Teknik Analisis Nutrisi Pakan, Kecernaan Pakan, dan Evaluasi Energi

pada Ternak. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

htpp:

//

Wikipedia.org/wiki/Kiambang [ 30 Mei 2012].

Hutagaol, J. 2012. Materi Jaringan Tumbuhan. Sumatra Utara.

http://johnsonhutagaol.guru-indonesia.net/artikel_detail-29996.html [21-Oktober 2012]

(45)

Isroi. 2008. Karakteristik Lignoselulosa. http://isroi.com/2008/11/23/karakteristik-lignoselulosa/. [29 agustus 2012].

Jung, H.G. 1997. Analysis of Forage Fiber And Cell Wall In Ruminant Nutrition. Jurnal Nutrition. Suplement. 1997 : 810 – 814

Jung, H.G. and M.S. Allen. 1995. Characteristics Of Plant Cell Wall Affecting Intake and Digestibility Of Forages by Ruminants. J. Anim. Sci. 73: 2774 –2790. Kerjasama Direktorat Jenderal Peternakan dengan Fakultas Peternakan IPB. 1985.

Laporan Inventarisasi Potensi dan Pemanfaatan Limbah Industri. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Liyama, K., T.B.T Lam, and B.A. Stone. 1993. Cell wall biosynthesis and its regulation. In: G.H. Jung, D.R. Buxton, R.D Hatfield, and J. Ralph, J. (eds.). Forage Cell Wall Structure and Digestibility pp. 621–683. ASA-CSSA-SSSA, Madison, WI.

Noggle, G.R. and G.J. Fritz. 1983. Introductory Plant Physiology. Prentice Hall, Inc, New Jersey.

Mansyur, L., Abdullah., H. Djuned, dan T. Dhalika. 2005. Perubahan dalam hasil panen dan kandungan fraksi serat pada tingkat umur pemotongan rumput setaria. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. Volume 8. Edisi khusus. 29 – 36.

Maynard, G.H. and D.M. Orcott. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. John Willey and Sons, Inc, New York.

Pina, D.S., L.O. Tedeschia, S.C. Valadares Filho, J.A.G. Azevedo, E. Detmann, and R.Anderson. 2009. Influence of calcium oxide level and time of exposure to sugarcane on invitro and in situ digestive kinetics. Anim. Feed Sci. Technol. 153: 101-112.

Priyono. 2009. Pencernaan Pakan pada Ternak Ruminansia. Ilmu Ternak Universitas Diponegoro. Semarang.

Rasjid, S. 2012. The Great Ruminant Nutrisi, Pakan, dan Manajemen Produksi. Cetakan Kedua. Brilian Internasional. Surabaya.

Reksohadiprodjo, S. 1988. Pakan Ternak Gembala. BPFE. Yogyakarta. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Terjemahan

(46)

Salvinia Ség. 2012. Aquarium and pond plants of the world.

http://itp.lucidcentral.org/id/aquariumplants/Aquarium_&_Pond_Plants_of_t he_World/key/Aquarium_&_Pond_Plants/media/html/Fact_sheets/salvinia.h tml [Mei 2012].

Sandy, N. J., Tutik N, dan Kristanti I. P. 2010. Profil Protein Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) yang Dikulturkan pada Media Modifikasi Air Lumpur Sidoarjo. (Jurnal). ITS. Suarabaya. (http://digilib.its.ac.id/ bookmark/ 13281/Kiambang). [29 Agustus 2012].

Singh, B. and Makkar, H.P.S. 2002. The potential of mulberry foliage as a feed supplement in India. In Mulberry for Animal Production, ed. M.D. Anchez. pp. 139–155. Animal Production and Health Paper. No. 147. FAO. Roma Italy.

Siregar , S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia . Penebar Swadaya. Jakarta. Soerjani, M. and J.V Pancho. 1978. Aquatic Weedsof Southeast Asia. A Systematic

Account of Common southeast Asian Aquatic Weeds. National Publishing Company. Quenzon city. Philippines.

Soerjani, M., A.J.G.H. Kostermans and G. Tjitrosoepomo. 1987. Weed of rice in Indonesia. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta.

Soetanto, H. 2007. Kebutuhan Gizi Ternak Ruminansia Menurut Stadia Fisiologisnya Seri Bahan Kuliah. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan – Universitas Brawijaya. Malang.

(http://images.hendrawansoetanto.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/ TtPsjwooCHgAAGY1N7o1/Kebutuhan gizi ternak ruminansia.

pdf?key=hendrawansoetanto:journal:34&nmid=389119846).

Sugito,Y. 1994. Dasar-dasar Agronomi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang

Sumiati, I.K. Amrullah, dan A.N. Setiawati. 2001. Pengukuran Nilai Energy

Metabolis Kayambang ( Salvinia molesta) Pada Itik Local dengan Modifikasi Metode Mcnab dan Blair. Prosiding Seminar Nasional 111 ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Asosiasi Ilmu Nutrisi dan Makanan ternak indonesia (AINI) dan fakultas peternakan IPB. Bogor.

Suparjo. 2010. Diktat Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi.

(47)

Sutrisno. 2006. Manfaat Serat Makanan Tidak Larut. http://www.ebookpangan.com /ARTIKEL/ MANFAAT%20SERAT%20MAKANAN%20 TIDAK%20 LARUT.pdf [29 Agustus 2012].

Syahruddin, E. dan Rita. H.,. 2004. Pemberian Kiambang yang difermentasi dengan Trichoderma Terhadap Performan Ayam Broiler. Laporan Penelitian

Fakultas Peternakan Unand. Padang

Syamsidar. 2010. Perlakuan Pemupukan Tanaman Murbei Dengan Umur Pemotongan Yang Berbeda Dapat Mempengaruhi Kadar Selulosa,

Hemiselulosa dan Lignin Daun Murbei (morus alba l). (Skripsi). Universitas Hasanudin . Makassar.

Syamsuddin. 1997. Studi Nilai Gizi Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumacher and Thonn) dan Kendalanya pada Ternak Ruminasia. Tesis. Program PascasarjanaUniversitas Hasanuddin. Ujung Pandang.

Tensiska. 2008. Serat Makanan. http://pustaka.unpad.ac.id [23 April 2012]. Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, dan S.

Lebdosopkojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Prees. Yogyakarta.

Tim Laboratorium ilmu dan teknologi pakan. 2002. Pengetahuan bahan dan makanan ternak. IPB. Bogor.

Toha, Md. Latief, A. Adrizal, Manin. F, dan Nelson. 1992. Substitusi beberapa tingkat tepung eceng gondok dalam ransum terhadap performan itik betina local. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi Tumijo. 2012. Konsultasi Tentang Keberadaan Kiambang di Waduk Batutegi.

Kepala Pengelola Waduk Batutegi. Tanggamus

Van Soest, P. J. 1965. Symposium on Factors Influencing Voluntary Intake of Herbage by ruminant: Volunter Intake in Relation to Chemical Composition and digestibility J. Animal sci. 24 : 834.

Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of The Ruminant. O and B Books, Inc UnitedStates of America.

Gambar

Gambar 1. Kondisi Kiambang di Waduk Batutegi
Gambar 2. Kiambang memenuhi permukaan air
Gambar 3. Morfologi Kiambang (Sumber : itp.lucidcentral.org)
Tabel 1. Kandungan zat makanan Kiambang
+7

Referensi

Dokumen terkait