• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asal-Usul Domestikasi dalam Latar Belakang Ekologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Asal-Usul Domestikasi dalam Latar Belakang Ekologi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ASAL-USUL DOMESTIKASI

DALAM LATAR BELAKANG EKOLOGI

Oleh :

LIANA DWI SRI HASTUTI

NIP. 132240334

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan

hidayahNYA penulis dapat merampungkan tulisan ini.

Tulisan ini semula merupakan tugas matakuliah Etnobotani yang penulis kerjakan

pada saat mengikuti pendidikan pascasarjana pada sub-program Taksonomi Departemen

Biologi Institut Pertanian Bogor. Makalah ini sebagian besar merupakan terjemahan yang

membahas tentang bagaimana terjadinya domestikasi terutama domestikasi tanaman-tanaman

pertanian sebagai asal usul munculnya pertanian tradisional hingga sistem pertanian modern

yang ada sekarang ini. Tulisan ini juga menggambarkan bahwa kondisi ekologi dan kondisi

kultural suatu komunitas manusia yang berbeda-beda menimbulkan berbagai jenis sitem

pertanian. Sawah (wet padi), ladang berpindah, perkebunan (tanaman hortikultura) dan

pergiliran tanaman merupakan contoh pertanian tradisional sedangkan pertanian monokultur

atau polikultur merupakan contoh sistem pertanian modern.

Penulis berharap tulisan ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait

yang membutuhkan tulisan ini sebagai bahan referensi dan menghaturkan maaf atas segala

kekurangannya.

Medan, 09 April 2007

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……….. ii

DOMESTIKASI DALAM LATAR BELAKANG EKOLOGI ……….. 1

Sistem Pertanian, ekosistem dan asal usul pertanian ……….. 1

Ekosistem dan sistem pertanian ………... 2

Ekonomi Pra-botani dan ekosistem ………. 7

Bercocok Tanam Sayuran dan Biji-Bijian ……… 10

(4)

DOMESTIKASI DALAM LATAR BELAKANG EKOLOGI

Sistem Pertanian, ekosistem dan asal usul pertanian

Kemajuan dalam memahami domestikasi tumbuhan dan hewan serta terjadinya

evolusi di bidang pertanian bergantung kepada terkumpulnya bukti-bukti yang faktual dari

taksonomi, sitologi, palinologi dan studi arkeologi. Tetapi yang terpenting adalah

membicarakan masalah domestikasi dalam konsep ekologi. Baiknya pendekatan ini karena

dapat menggabungkan konsep kerangka kerja yang berkenaan dengan penyelidikan asal usul

pertanian dan evolusi semua sistem pertanian. Paling tidak memberikan suatu pengertian

dalam menseleksi antara topik tadi dan daerah-daerah yang penting untuk dipelajari secara

mendetail dengan demikian menghindari ketidaktepatan waktu yang sudah ditentukan dan

hilangnya sumber-sumber yang akan diteliti karena kesalahan pemilihan topik investigasi .

Pendekatan ekologi dibutuhkan sebagai syarat saat kita menyusun konsep bahwa

pertanian merupakan suatu bagian yang integral dari lingkungan. Pendekatan seperti ini

berlaku juga untuk cara kultivasi dan cara memanen tanaman pertanian dan ternak: karena

keduanya tergolong sebagai komponen ekosistem. Sama halnya dengan sistem pertanian,

apakah sistem pertanian itu dalam bentuk primitif, bercocok tanam palaeotehknik atau

bercocok tanam modern dan pertanian neotehknik, sebagai suatu cara sederhana

membedakan ekosistem buatan manusia.

Baiknya metodologi pada pendekatan ini karena menyediakan suatu kerangka menganalisis sistem petanian yang memfokuskan perhatian bersama-sama seluruh sistem-sistem lain yang berkenaan dengannya, sebagai contoh strukturnya, fungsinya, keseimbangan dan perubahannya. Minimal kita harus membuat empat pertanyaan mendasar jika berhadapan dengan suatu sistem pertanian: Bagaimana terorganisasinya? Bagaimana fungsinya? Sejauh mana stabilitas yang dimilikinya? Dan bagaimana ia berjalan? Jawaban yang diberikan dari pertanyaan tersebut sudah cukup memadai untuk mempelajari sebagian besar sistem pertanian di dunia modern dan tanaman pertaniannya, pertanian komersial, peternakan komersial, dan pada kenyataanya bukti ini juga perlu diberikan bagi sistem pertanian tradisional, non-Eropah. Metode seperti ini belum dipelajari pada sistem pertanian tradisional seperti pertanian bergilir (“shifting cultivation’ atau swidden), pertanian hortikultura, persawahan (wet padi),

(5)

yang sangat berperan sebagai penyebab munculnya domestikasi dan masuknya pertanian. Kesimpulan ini lebih didahulukan sebagai suatu rangsangan agar kita berkeinginan untuk melakukan penyelidikan dan tidak ada pernyataan di dalam tulisan ini yang bertentangan dengan “fakta”.

Ekosistem dan sistem pertanian

Dalam mempelajari ekosistem alami yang utama pada skala regional, dapat dibuat

suatu perbedaan yang fundamental/mendasar antara tipe ekosistem umum dan ekosistem

khusus. Ekosistem yang umum dicirikan dengan variasi spesies tanaman dan variasi spesies

hewan yang besar sementara jumlah individunyan relatif kecil. Oleh karena itu indeks

diversiti ekosistemnya—atau rasio perbandingan antara jumlah spesies/jenis dan jumlah

individu – tinggi. Sebaliknya ekosistem khusus memiliki indeks diversiti yang rendah dan

dicirikan oleh variasi jenis yang kecil dengan jumlah individu yang besar.

Net produktivitas primer ekosistem teresterial yang umum, atau pada ekosistem

dimana pertambahan material tumbuhan terjadi setiap waktu, cenderung tinggi dan banyak

niche (relung) ekologi yang dapat digunakan bagi seluruh tingkat tropik dalam rantai

makanan, dari mulai produsen primer (tumbuhan hijau) sampai konsumen primer, sekunder

dan konsumen tingkat tiga (herbivora, karnivora dan top karnivora), dan dekomposer baik

makroorganisme seperti cacing dan serangga dan mikroorganisme seperti protozoa, fungi dan

bakteri. Struktur dan fungsi yang kompleks dari ekosistem umum adalah memiliki stabilitas

yang tinggi, dan homeostatis, jika dibanding ekosistem khusus. Dengan demikian

berkurangnya atau berpindahnya komponen spesies, apakah secara alami atau adanya campur

tangan manusia, cenderung menimbulkan sedikit efek sebagai alternatif agar energi tetap

mengalir dan tetap dapat digunakan pada sistem tersebut. Jika sumber makanan alternatif

masih tersedia untuk beberapa tingkat tropik, jumlah populasi sedikit meningkat dan

apabila sedikit saja terjadi perubahan pada satu komponen tersebut hal ini dapat merupakan

pemicu terhentinya serangkaian interaksi dan dapat berpengaruh terhadap ekosistem. Hutan

hujan tropis lebih general (umum) lagi, lebih produktif dan sebagian besar merupakan

ekosistem teresterial yang stabil. Hutan hujan tropis memiliki indeks diversiti yang tinggi,

(6)

tanahnya kaya akan bagian (material) tanaman dimana tingkat produktifitas primernya

diperkirakan 10-20 gr/m²/ hari.

Hal ini sangat kontras dengan ekosistem alami tertentu yang kurang produktif dan

cenderung kurang stabil. Diantara sebagian besar ekosistem teresterial yang khusus adalah

tundra, setiap tahunnya produktifitas primer bagian permukaan tanahnya lebih kurang

1gr/m²/hari, walaupun pada masa pertumbuhan mungkin meningkat sampai 4 gr/m²/hari;

sementara padang rumput berkisar 0,5 – 2 gr/m²/hari; dan hutan boreal/taiga produktifitas

primer tahunannya sampai berkisar 2,5 gr/m²/hari. Tingkat kekhususan suatu ekosistem

tidak selalu berhubungan dengan produktifitasnya sebagai contoh, ekosistem yang

mula-mula terbentuk dicirikan lebih umum dibanding ekosistem tundra, ekosistem padang rumput

atau ekosistem hutan boreal dengan produktifitas primer tahunan selalu kurang dari 0,5

gr/m²/hari-tetapi meskipun demikian secara umum untuk produktifitas primer ekosistem

umum cenderung lebih tinggi. Biasanya tingkatan ekosistem seperti itu dapat terlihat pada

sebagian besar ekosistem hutan dari tipe umum yang lebih tinggi produktifitasnya,

kemudian evergreen rain forest (hutan hujan hijau sepanjang tahun ) di daerah equator;

sampai hutan semi hijau sepanjang tahun bermusim tropis dan hutan gugur, dimana

keanekaragaman spesies kurang dan pertumbuhannya dibatasi musim kering yang panjang

serta intensitasnya akan bertambah sesuai latitude; untuk yang lebih khusus dan hutan gugur

daerah temperate mid latitude dan hutan hijau sepanjang tahun yang kurang produktif,

pertumbuhannya dapat diamati pada waktu musim dingin.

Kebenaran dan kejelasan dalam penyampaian Metode analisis ekosistem alami ini

adalah untuk menginterpretasikan bagaimana suatu sistem pertanian. Salah satu sistem yang

modern dapat dilihat pada sistem pertanian neotekhnik yang sangat khusus, yaitu

memproduksi dalam jumlah yang maksimum individu-individu yang berukuran optimum

(besar) satu atau dua spesies tumbuhan atau hewan. Pada sistem petanian tradisional seperti

pertanian palaeotekhnik keadaannya sama, jika produktivitasnya tidak tinggi, dikatakan

ekositem khusus. Persawahan (wet-padi cultivation) dan peternakan nomaden keduanya

bergantung pada kisaran waktu domestikasi tanaman budi daya dan peternakan yang sangat

membatasi sehingga menciptakan cara-cara khusus untuk meningkatkan dan memelihara

sistem produktifitas (mengairi sawah secara periodik tanpa alat, sementara kelompok yang

(7)

umum, lebih mengarah ke polikultur daripada monokultur, menciptakan pertanian menjadi

beberapa kelompok dalam interketergantungan fungsional dan ternak kadang-kadang

berintegrasi kedalam sistem pertanian dan dapat berperan sebagai agen penyubur dan

konsumen. Pertanian secara bergiliran (Shifting-swidden cultivation) dan pertanian

hortikultura yang terplotkan adalah merupakan contoh sistem yang umum dipraktekkan

secara luas di daerah tropis., sementara pertanian campuran di daerah subtropis – pada satu

lahan memproduksi kombinasi antara tanaman pertanian penghasil biji-bijian, umbi-umbian

dan ternak – menggambarkan suatu sistem yang kurang umum menimbulkan kekhususan

yang menjangkau suatu tekhnik yang memiliki tingkat kekompleksitasan tinggi.

Dari perbandingan antara ekosistem umum dan sistem pertanian ada 3 cara prinsip

yang dapat disimpulkan sebagai penyebab terjadinya perubahan pada ekosistem alam yang

diakibatkan oleh munculnya pertanian. Model perubahan tersebut saat ini lebih diperlihatkan

kira-kira pada saat ekosistem alam yang umum tertransformasi kedalam ekosistem khusus

yang bersifat artifisial. Terlibat didalamnya juga penurunan drastis dari indeks diversitas

diikuti berpindahnya sebagian besar spesies-spesies liar suatu ekosistem diimbangi oleh

relatif kecil kultivasi tanaman dan domestikasi hewan. Transformasi dalam hal ini juga

berperan penting dalam proses seleksi spesies liar yang biasanya tumbuh berasosiasi pada

habitat yang terganggu dengan cara ditanam atau memang sudah ada sebelumnya, sebagai

contoh tumbuhan dan hewan “meliar”, tetapi seiring membludaknya populasi spesies meliar

tersebut harus dibayar dengan terdesaknya anggota komunitas yang alami, mempertinggi

terbentuknya ekosistem alami yang khusus dan menyebabkan indeks diversitas menurun.

Berubahnya ekosistem alami yang umum menjadi ekosistem pertanian selalu diikuti

hilangnya net produktifitas primer, tetapi tidak selalu harus demikian. Dengan metode

pertanian modern yang intensif membuat pendapat ini mungkin malah sebaliknya. Gula tebu

dengan kultivasi secara intensif di Hawaii prodiktifitasnya (6700/gr/mm²/tahun) sangat jauh

dengan kisaran estimasi tertinggi yang mulai ditetapkan di hutan hujan tropis; dan bahwa

ladang jagung yang subur di Minnesota diketahui produktifitasnya sama dengan net

produktifitas primer hutan tahunan hampir sama dengan pohon oak yang menggugurkan

daunnya yang sudah diproteksi dari eksploitasi.

Model kedua dari perubahan, adalah transformasi dari ekosistem alami yang khusus

(8)

ternak yang meliar kedalam area padang rumput subtropis berasosiasi secara kompleks

dengan sistem pertanian campuran, sebagai contoh seperti terjadinya padang rumput yang

luas di Amerika selama 19 abad dan pampas di Argentina, kemungkinan dihasilkan suatu

peningkatan indeks diversitas, seperti terbukanya pertanian polikultur dengan sistem irigasi

biasanya merupakan ekosistem mula-mula yang terbentuk dalam 19 abad ini. Tetapi sejauh

ini seperti hal masuknya pertanian kedalam ekosistem alami yang khusus, dan ini tentu saja

secara efektif tidak berlaku pada hutan boreal dan tundra, cenderung terjadi oleh berubahnya

ekosistem alami dengan adanya kultivasi monokultur, seperti misalnya berladang

(dry-farming) biji-bijian atau penanaman kapas dengan irigasi yang mengakibatkan indeks

diversiti yang rendah.

Ketiga, kegunaan pertanian pada ekosistem alami mungkin disempurnakan oleh

manipulasi dibandingkan dengan transformasi, tidak dengan perubahan yang drastis indeks

diversitasnya tetapi dengan pergantian komponen yang terseleksi tanpa modifikasi yang

fundamental seluruh struktur yang ada. Malah suatu ekosistem yang artifisial akan berubah

menjadi suatu yang alami, kultivasi terproses oleh substitusi yang biasanya turut berperan

dalam domestikasi jenis spesies liar yang menempati niches (relung) ekologi yang sama.

Oleh karena itu kultivasi sekelompok pohon dan semak, tumbuhan yang memanjat, herba dan

tanaman umbi-umbian bisa mengambil alih kekosongan dan tugas fungsional yang sama

pentingnya sehingga mejadikan mereka seperti spesies liar serupa dengan spesies liar dalam

kehidupan ekosistem alami. Kultivasi Swidden dan pertanian hortikultura memanipulasi

ekosistem khusus hutan tropis dengan cara ini dan selanjutnya menirukan struktur

tersebut, fungsi dinamis dan keseimbangan ekosistem alami daripada yang dilakukan

beberapa sistem pertanian buatan lain. Termanipulasinya ekosistem oleh tanaman budidaya

dalam mengganti secara equivalen spesies-spesies liar frekuensinya lebih sedikit dibanding

dengan dengan terbentuknya hewan domestikasi. Biasanya organisme yang di domestikasi -

contoh anjing dan babi – bisa dimasukkan sebagai hewan pemakan daging, tetapi fungsi ini

pada umumnya segera dibatasi hanya disekitar tempat tinggal/perkampungan dan tidak

berganti peran ke skala yang lebih luas lagi menjadi hewan pemakan daging yang liar.

Pengelolaan babi-babi secara bebas di sekitar hutan medien Eropah, juga ternak di jaman

pra-Roma, mungkin diperkirakan sebagai suatu contoh bagian dari domestikasi hewan

(9)

berkisar pada saat terjadinya perubahan bison sebagai herbivora dominan di padang rumput

Amerika Great Plains Utara menjadi hewan ternak.

Model perubahan yang ketiga ini merupakan suatu relevansi yang paling baik

untuk menghadapi problem-problem yang terjadi pada domestikasi dan pada waktu

terjadinya inisiasi pertanian. Perubahan ekosistem alami yang umum ke dalam ekosistem

khusus dan bersifat artifisial secara tidak langsung merupakan sejarah panjang dari

berkembangnya tekhnik/cara dan perilaku sosial yang mengawali terbentuknya sistem

pertanian. Banyak waktu harus disediakan untuk mengetahui sejauh mana perubahan genetik

dan morfologi yang terlibat dalam domestikasi dan dilanjutkan “kemajuan” secara produktif

relatif sedikit lebih tinggi tanaman budidaya dan hewan domestikasi yang masing-masing

bergantung pada sistem pertanian khusus. Dengan demikian elaborasi tiap tingkat sosial yang

kompleks disesuaikan untuk memelihara produktifitas setiap sistem diduga merupakan

evolusi yang panjang sepanjang periode waktu. Manipulasi ekosistem alami dengan

pergantian peranan hewan domestikasi dan semi domestikasi untuk menggantikan tugas

yang sama seperti spesies liar dalam mengisi relung ekologi yang sesuai hampir mirip

dengan terjadinya sistem pertanian secara tak setiap sistem yang diduga merupakan evolusi

yang panjang sepanjang periode waktu. Manipulasi ekosistem alami dengan pergantian

peranan hewan domestikasi dan semi domestikasi untuk menggantikan secara ekivalen tugas

spesies liar dalam mengisi relung ekologi yang sesuai, sama dengan terjadinya sistem

pertanian secara tak sengaja jauh sebelumnya. Jika demikian, kita boleh menanyakan

pertanyaan berikutnya ekosistem mana yang lebih dulu termanipulasi dengan cara ini?

Ada sedikit alasan untuk menduga bahwa manusia yang mula-mula memanipulasi

ekosistm alami yang tertentu adalah orang yang pertama sekali melakukan domestikasi dan

kultivasi. Sebenarnya tidak ada tanaman budidaya dan sedikit hewan yang terdomestikasi,

terkecuali rusa gurun dan kuda, kelihatannya mengambil manfaat dari manusia saat itu.

Selanjutnya daerah-daerah yang merupakan ekosistem yang didiami kurang dapat dijadikan

bukti arkeologi asal mula timbulnya pertanian. Lebih memungkinkan bahwa kultivasi atau

bercocok tanam dimulai dengan memanipulasi ekosistem yang umum dimana indeks

diversitas spesies liar tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan, sandang dll)

sehingga merangsang merangsang untuk melakukan domestikasi. Kesimpulan ini

(10)

dibawah iklim sedang adalah daerah yang disenangi. Tetapi, untuk menentukan habitat yang

mana khususnya yang lebih dulu dijadikan sebagai tempat domestikasi dan kultivasi., adalah

hal yang pertama yang harus difikirkan bagaimana hubungan antara kebutuhan ekonomi

masyarakat non-pertanian atau pra-pertanian dengan ekosistem alami dan apa “potensi”

mereka terhadap domestikasi tumbuhan dan hewan.

Ekonomi Pra-botani dan ekosistem

Perbedaan antara ekosistem umum dan ekositem khusus dapat diperluas kepada

bahwa kebutuhan ekonomi masyarakat pra-pertanian dapat juga sebagai alasan terbentuknya

sistem pertanian. Oleh karena itu memungkinkan untuk memisahkan antara pemburu

tertentu zaman prasejarah dan zaman sejarah, yang memenuhi kebutuhan hidupnya relatif

kecil menggantungkan pada mengeksploitasi spesies liar dengan cara umumnya masyarakat

pengumpul-berburu-memancing paling tidak secara intensif turut menyebar luaskan sumber

organik.

Pemburu tertentu dicirikan mendiami ekosistem alami yang tertentu pula, diantara

mereka yang bertahan sampai zaman sejarah adalah pemburu bison dan guanaco di daerah

padang rumput Amerika Utara dan Selatan dan orang eskimo yang berburu karibu,

mamalia laut di hutan boreal dan tundra Amerika Utara. Mereka memegang prinsip bekerja

sama secara berkelompok melakukan migrasi musiman untuk berburu. Mobilitas yang tinggi

sangat penting untuk cara hidup seperti ini sehingga unsur-unsur organisasi budaya dan sosial

disesuaikan secara lebih mendalam pada eksploitasi sumber-sumber makanan utama.

Penggunaaan spesies liar hanya merupakan elemen kecil untuk makananan, tali, dan tujuan

lain, berburu dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Bersamaan dengan

kenyataan seringnya melakukan migrasi menyebabkan “potensi” untuk melakukan

domestikasi tumbuhan justru tidak ada; hal ini sesuai dengan bukti-bukti arkeologi di daerah

yang mereka tempati atau mereka diami sebagai tempat mula-mula terbentuknya pertanian

pada ekosistem alami khusus. Melihat dari sejarah ketidak berhasilan masyarakat yang

khusus berburu dalam mendomestikasi beberapa hewan yang diburunya (jelas terlihat pada

sekelompok ungulata seperti misalnya bison, guanaco dan karibu) hewan domestikasi

(11)

sudah dilakukan pada rusa kutub, dan hampir seluruh jenis anjing yang penjinakannya

mungkin dilakukan pemburu tertentu.

Sedikit perkecualian, masyarakat pengumpul-berburu dan memancing umumnya

mendiami ekosistem alami yang lebih umum lagi. Mereka dicirikan terlokalisasi membentuk

kelompok kecil, siapapun dari mereka secara mendalam sudah mengenal batas teritori daerah

yang mereka diami, jarang berpindah dan tidak sejauh yang khusus berburu. Mendiami

hutan dan daerah pepohonan, mereka memenuhi kebutuhannya dari spesies liar yang

variasinya besar, memburu hewan kecil dan memancing dengan tidak bermigrasi.

Kombinasi antara bentuk nomaden dan pemahaman yang mendalam tentang tumbuhan serta

kehidupannya di area terbatas menyebabkan sekelompok masyarakat tersebut terdorong

untuk melakukan domestikasi tumbuhan. Penjinakan hewan mungkin juga demikian,

walaupun bukti-bukti yang mendorong terjadinya domestikasi sekelompok besar hewan

kedaerah tersebut sangat sedikit, diyakini bahwa terjadinya setelah munculnya pertanian.

Jika masyarakat pengumpul-berburu-memancing sebagai leluhur (asal mula orang)

yang mendomestikasi tumbuhan, kita bertanya kembali habitat yang mana yang mula-mula

mereka jadikan sebagai areal pertanian yang baik di ekosistem umum yang mereka diami.

Jawaban yang paling mungkin adalah zona tepian (marginal) transisi atau ekotone antara

ekosistem utama, khususnya pinggiran hutan dan daerah pepohonan. Tingkat produktivitas

biologikal pada tingkat primer dan sekunder pada daerah ini cenderung tinggi sehingga

menyediakan dalam jumlah maksimum variasi spesies yang dapat dimanfaatkan (Ovington,

1964). Secara seksama selanjutnya masyarakat pengumpul-berburu-memancing memilih

daerah ini untuk ditempati karena menyediakan secara optimum akses yang lebih menjamin

dalam mensuplai tumbuhan dan hewan liar. Daerah garis perbatasan dataran tinggi dengan

dataran rendah, bervariasi dalam skala mulai dari lembah interpegunungan sampai daerah

yang terhimpun dalam fisiografi utama, secara khusus disenangi sebagai zona yang

berkenaan dengan ekosistem yang kontras: pengaruh nyata yang mereka timbulkan

memperkuat bukti, sebagai contoh yang terakhir diteliti di Iran dan Meksiko (Hole and

Flannery, 1967). Layaknya habitat di tepian hutan dan pepohonan, dimana pepohonan yang

melindungi menimbulkan ide bagi mereka untuk membuka suatu perkampungan, sepertinya

secara khusus terseleksi. Daerah yang termasuk hutan dan stepa, hutan dan savanna, hutan

(12)

dengan hewan herbivor yang diternakkan dari hasil perburuan atau memancing ikan sebagai

sumber protein hewani dibandingkan dengan daerah yang lain. Apabila daerah yang mereka

peroleh lebih menjamin adanya makanan cenderung akan memperkuat mereka untuk terus

menetap. Selanjutnya kesempatan ini mereka tingkatkan untuk menyeleksi tumbuhan yang

bermanfaat dengan melakukan mutasi pada beberapa generasi spesies tumbuhan liar dan

tumbuhan semi-domestikasi sehingga terjadi perubahan yang mulanya senang

mengumpulkan makanan menjadi memanen pada domestikasi sesungguhnya. Selanjutnya,

disekitar daerah tempat hidup yang mereka diami secara permanen atau semi permanen

merupakan ekosistem lokal yang terganggu oleh manusia membentuk habitat yang terbuka

yang dipersiapkan secara optimum untuk menguasai tanaman yang merupakan kerabat liar

kultigen yang sekarang ini (Hawkes, 1967).

Oleh karena itu kita bisa berhipotesa bahwa kondisi yang paling disukai untuk

melakukan domestikasi terdapat disekitar lingkungan masyarakat

pengumpul-berburu-memancing di tepi hutan dan daerah pepohonan yang menjadi daerah kediaman relatif

permanen karena terjamin dapat mensuplai protein hewani (paling tidak makanan sumber

lain daripada protein nabati), dan menjadikan terbukanya habitat yang terganggu disekitar

daerah yang mereka diami. Pengetahuan masyarakat non-pertanian yang survive sampai

zaman sejarah menunjukkan bahwa cara seperti ini (pemanfaatan ikan air tawar dan air laut

serta mamalia air) merupakan penndukung tetap dipertahankannya cara tersebut sampai saat

ini dibanding berburu hewan kecil didarat “small game”; mungkin demikian juga halnya di

beberapa area riparian dan pesisir pantai hal itu berpengaruh khusus dalam mempercepat

proses domestikasi dan bercocok tanam.

Bercocok Tanam Sayuran dan Biji-Bijian

Salah satu aspek di sistem pertanian umum yang tradisional, khususnya yang relevan

dengan asal-usul domestikasi tumbuhan dan pertanian: yang terlihat kontras diantara

sistem-sistem tersebut terutama yang mengandalkan tanaman budidaya penghasil biji-bijian (“seed

culture”) dan yang sebagian besar bergantung pada tanaman penghasil sayur-sayuran

(“vegeculture”). Bentuk seperti ini terlihat pada cara bertani asli di daerah kering tropis dan

(13)

yang sukses oleh ahli arkeologi dan biologi di Asia Barat Daya dan Amerika Tengah,

walaupun ada areal lain yang belum diteliti mungkin memberikan bukti, berdasarkan iklim

dan ekologi contohnya zona marginal diantara daerah dataran tinggi dan daerah dataran

rendah Afrika Barat, Ethiopia, Arab Barat Daya, Indian sub-kontinental dan Cina. Teori

bercocok tanam sayuran (vegeculture) disatu sisi kurang mendapat perhatian para ahli dan

keteledoran ini sebagaian besar diakibatkankan ketidaksamarataan dalam mendekati

masalah domestikasi dan asal-usul pertanian.

Vegekultur sebagian besar terbentuk pada sistem pertanian asli di daerah lembab

tropis di daerah bagian bawah benua Amerika dan Asia Tenggara. Pertanian seperti ini juga

merupakan ciri pertanian Afrika tropikal, walaupun tidak secara ekslusive tetapi sebagian

besar tanahnya ditanami tanaman budidaya introduksi dari Asia dan Amerika. Kultigen

(kultivar yang tidak diketahui lagi bentuk liarnya) yang kaya akan zat tepung (kanji) sebagian

besar umbi-umbian, akar-akaran atau rhizome, seperi yuca or manioc (Manihot esculenta),

ubi jalar (Ipomea batatas), sagu ararut/kebembem (Maranta arundinacea), Ileren atau alouia

/kimpul (Calathea allouia), yautia, ocumo atau tania /uwi atau gadung (Xanthosoma

sagittifolium), arracacha (Arracacia xanthorriza), “kentang Kaffir” (Coleus spp.), taro atau

eddo/talas-talasan (Colocasia esculenta), “Fiji ararut” /Taka (Tacca pinnatifida) dan yams

(Dioscorea spp.), merupakan tanaman dasar daerah humid tropikal; sementara didaerah

dataran tinggi dan daerah lebih selatan sampai perbatasan ekstrim di kepulauan Chiloé

merupakan daerah bercocok tanam yang unik meluas sampai ke daerah iklim temperate dari

mulai daerah sejuk sampai daerah dingin, bercocok tanam sayuran berupa kentang

(khususnya Solanum tuberosum), pada daerah yang lebih tinggi umumnya sebagian kecil

berasosiasi dengan tanaman pertanian berupa umbi-umbian: oca (Oxalis tuberosa), ulluco

(Ullucus tuberosus) dan añu (Tropaeolum tuberosum).

Secara ekologi sebutan yang sama terhadap tanaman umbi-umbian adalah, tanaman

yang mampuan menghasilkan amilum, untuk bertahan hidup tanaman tersebut menyesuaikan

diri dengan baik sepanjang musim kering atau musim dingin dan musim hujan serta

panasnya permukaan tanah. Tanaman tersebut bentuk liarnya diperkirakan yang diketahui

hanya kentang dan yam yang berasal dari area beriklim musim (Hawks, 1967). Kita dapat

berasumsi manusia mula-mula yang menseleksi sebagian besar umbi-umbian, akar-akaran

(14)

akar-akaran terwakili lebih baik di dua daerah berturut-turut mulai dari iklim musim tropis

dan daerah dibawah iklim tropis yang bulan kering setiap tahun 2,5 sampai 5 bulan dan 5

sampai 7,5. Zona hutan hujan tropis dimana musim kering kurang dari 2,5 bulan, biasanya

tidak termasuk sebagai asal kultigen dan daerah yang ekstrim lainnya secara ekologi tanaman

tersebut berada dari tempat dimana musim kering panjangnya selama bahkan lebih lama lagi

melebihi 7,5 bulan setiap tahun.

Jika kesimpulan berdasar iklim ini, dan argumen yang berdasarkan pada bukti ekologi

ini benar – tentu saja mereka sebagai subjek untuk merubah kembali penjelasan apa

kemungkinan yang dapat dipelajari setelah perubahan iklim di area ini -- berikutnya kita

akan mencari asal usul bercocok tanam sayuran (vegeculture) di dataran rendah daerah tropis

selama musim gugur di tepi hutan riparian, pesisir pantai atau dibagian pinggiran savanna

dengan daerah beriklim kering selama pertengahan musim. Jika kita buat suatu perincian

untuk mengetahui kemungkinan kekerabatan taksonomi serta daerah tempat asal usul

kultigen, untuk masa yang akan datang daerah yang lebih memungkinkan adalah Amerika

Selatan, daerah lembah sungai Orinoco dan daerah dibawah pinggiran pantai Venezuela serta

Colombia dan kemungkinan dapat diperluas sampai sentral Amerika; Afrika, pesisir pantai

Guinea dari bagian barat Accra sampai Lagos bagian Timur bersama-sama dengan daerah

pedalaman yang terbentang luas kearah Nigeria tengah; dan Asia Tenggara, daerah dibawah

Gangga dan semenanjung Indo-Cina dari Burma sampai selatan Cina. Ruginyanya, sedikit

sekali penelitian arkeologi yang sudah di lakukan di daerah-daerah ini. Banyak masalah

yang berhubungan dengan penelitian di daerah humid tropis, angka tertinggi ditunjukkan

khususnya pada berkurangnya cukup besar dekomposisi material organik sehingga menutupi

kemungkinan sisa-sisa peninggalan tumbuhan dan hewan untuk didentifikasi. Tidak hanya

itu, berkurangnya penelitian dibidang arkeologi dibeberapa area juga merupakan kesulitan

yang terbesar. Jika penggalian yang sungguh-sungguh dilakukan seperti pada reruntuhan

perkampungan Niah di Selatan Serawak, sisa-sisa tulang dan cangkang yang membatu dan

barang tembikar dapat ditemukan kembali kemungkinan hal ini bisa dipakai untuk

memperkirakan sejauh mana tingkat budaya tipe “Neolotik” (Harrison, 1963-4). Walaupun

sisa-sisa peninggalan tumbuhan sedikit dapat ditemukan kembali di daerah humid tropis,

sisa-sisa tulang dan tembikar luar biasa kering dan dipenuhi potongan-potongan tumbuhan

(15)

dapat menghasilkan bukti baru pada sejarah pertanian daerah tropis

(Laeyendecker-Roosenburg, 1966), walaupun kenyataannya bahwa banyak reproduksi vegetatif tanaman

budidaya sebagai hasil domestikasi secara parsial sedikitnya menghilangkan kapasitasnya

untuk bereproduksi seksual.

Terlihat secara keseluruhan bahwa bukti yang kurang menyebabkan terlalu cepat bagi

kita untuk membuat suatu kesimpulan bagaimana uniknya bercocok tanam sayuran didaerah

tropis yang bersifat temporal yang terpisah hubungannya dengan bercocok tanam

biji-bijian. Salah satu indikasi tertua yang positif berasal dari utara Amerika Selatan tempat

dimana Rouse dan Cruxent, meneliti didua daerah dataran rendah Rancho Peludo di barat

laut Venezuela dan Momíl di utara Columbia membuktikan bahwa ada hubungannya

tembikar ceper yang ditemukan dengan proses menanam bitter manioc (budares) yang

dibentuk secara stratigrafik dibawah grind-stones (metates dan manos) dihubungankan

dengan dengan saat bertanam jagung (Rouse and Cruxent, 1963). Hal ini dapat dipakai

sebagai indikasi bahwa bercocok tanam secara vegekultur adalah yang tertua, menurut data

radiokarbon, menunjukkan bahwa bercocok tanam jagung di Columbia dan Venezuela barat

berkisar antara 1000 tahun SM. Rouse dan Cruxent juga bersugesti bahwa penyebaran

bercocok tanam manioc (ubi kayu) dapat diduga tidak hanya berdasarkan pada adanya

budares tetapi juga dari penyebarluasan bentuk lukisan yang berbeda pada tembikar

(Saladoid series), yang mengindikasikan bahwa tumbuh-tumbuhan vegetatif bermigrasi dari

bagian dalam Venezuela sampai pesisir pantai melalui bagian paling bawah Orinoco (Rouse

and Cruxent, 1963). Bukti terdahulu yang tidak lengkap diterima dengan baik sebagai apriori

bahwa kasus ekologi ini ada hubungannya dengan lembah Orinoco dan pesisir pantai

Karibia selatan, yang mungkin merupakan pusat area vegekultur di daerah tropis bagian

bawah Amerika Selatan.

Akhirnya hal ini membuka fikiran kita untuk mempertimbangkan hubungan yang erat

antara vegekultur dan bercocok tanam biji-bijian dalam konsep bahwa sistem demikian

merupakan bagian dari ekosistem. Di Amerika tropis perbedaannya direfleksikan secara luas

dalam konsep penggunaan sistem bertanam conuco dan milpa. Milpa dasarnya adalah

tanaman berbiji, keunikan khususnya yaitu secara produktif berkombinasi dengan jagung,

kacang-kacangan dan padi-padian, dan dahulu cara-cara ini normalnya berlaku pada

(16)

tanaman budi daya akar-akaran, dan sering ditanam dalam bedengan (montones) dengan cara

stek (stem cutting) dan bagian vegetatif tumbuhan yang lain. Mungkin cara ini dipraktekkan

pada bercocok swidden, tetapi kadang-kadang bertani fixed-plot masih dipertahankan hingga

beberapa tahun.

Kedua sistem boercocok tanam tersebut adalah polikultural. Variasi tanaman

pertanian yang tegak, memanjat, dan sprawl tumbuh dan berasosiasi secara terbuka; di

Conucos mungkin ditanam bersamaan dalam bedengan yang sama. Tetapi kedua sistem itu

berbeda sangat nyata secara struktur dan keseimbangan. Pada bercocok tanam conuco

diversitas tumbuh-tumbuhan cenderung lebih baik, stratifikasinya lebih kompleks dan kanopi

tumbuhan lebih lengkap diperlihatkan: dengan kata lain ekosistemnya lebih general

dibanding bercocok tanam milpa. Selanjutnya, karena produktifitas conuco difokuskan pada

akar-akaran yang mengandung amilum membuat kebutuhan akan nutrisi tumbuhan lebih

sedikit dibandingkan dengan tanaman milpa yang relatif kaya protein, khususnya jagung dan

kacang-kacangan. Pada sistem bercocok tanam conuco fertilitas yang berkurang selama

masa panen dapat diperoleh kembali dan stabilitasnya lebih inherent dibanding bercocok

tanam milpa. Selanjutnya diperkuat dengan kenyataan keuntungannya bahwa sangat minim

untuk terjadi erosi tanah karena tanah jarang tidak ditumbuhi tanaman. Karena menyediakan

tanah yang cukup dalam, bercocok tanam conucos dapat sukses dilakukan secara merata di

tebing curam tanpa kemungkinan terkena erosi. Disisi lain ekosistem milpa lebih

memberikan keseimbangan. Keunggulan lain dari conuco bahwa bercocok tanam jagung dan

tanaman nutrisi yang disenangi lainnya stratifikasinya pada bercocok tanam milpa kurang

kompleks dan kanopi yang lebih terbuka meningkatkan kesempatan masuknya gulma,

semua kombinasi yang bersumber di tanah untuk membuat bercocok tanam milpa kurang

konservatif tetapi lebih mudah untuk dihilangkan dan diganti secara temporal dengan yang

lain.

Ketidakstabilan serta mendominasinya jagung meluas secara alami pada bercocok

tanam milpa swidden sudah dipraktekkan dengan baik oleh suku Maya di daerah dataran

rendah Yucatan (Cowgill, 1962); dan berdasarkan sejarah kita mengharapkan dapat

membuktikan bahwa milpa cenderung lebih baik dibanding conuco untuk di jadikan cara

bertani di area yang baru. Tentu saja hal ini merupakan alasan yang prinsip terjadinya

(17)

(penduduk asli) Amerika pada masa ditemukannya benua Eropah, sehubungan dengan hal

tersebut pengaruh tanaman biji-bijian secara berangsur-angsur mulai mengimbangi bahan

makanan sayur-sayuran, mulai bergantung pada bercocok tanam jagung yang berasosiasi

dengan tanaman budi daya selain tanaman sayuran berupa umbi-umbian kaya amilum, dan

hal ini terjadi tergantung pada suplai protein hewani lokal. Tidak hanya bahwa bertanam

biji-bijian sedikit stabil dan cenderung memiliki inherent yang besar untuk dikembangkan, tetapi

juga karena merupakan makanan yang menyediakan sayuran dan protein yang seimbang, dan

bercocok tanam biji-bijian berkembang sewaktu sedikit sekali protein hewani dapat

dimanfaatkan di area tersebut. Sebaliknya vegekultur terbentuk menjadi ekosistem yang

stabil hubungannya lebih jelas terlihat pada sisa-sisa peninggalan di daerah lain yang ada

dipinggiran sungai, pinggir laut, tepian savanna dan habitat ekotone yang lebih menjamin

suplai protein hewani. Sejarah serupa pernah terjadi di Asia Tenggara, dimana bertanam

padi campuran secara berangsur-angsur digantikan dengan sistem bercocok tanam asli

vegekultur sama seperti bercocok tanam yam dan taro (Spencer, 1966).

Dilihat dari perspektif ekologi menunjukkan bahwa bercocok tanam secara

vegekultur merupakan hal mendasar yang sangat penting bagi kita untuk memahami

domestikasi tumbuhan dan asal mula pertanian. Sama juga halnya dengan keunikan bertanam

biji-bijian karena secara lebih merata digunakan dan selama ini penyelidikan dibawah studi

secara biologi dan arkeologi dapat dipakai sebagai jawaban yang lebih diyakini atau

dipercaya dari pertanyaan-pertanyaan bagaimana, dimana dan kapankah pertanian dimulai.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Cowgill, U.M. 1962. An agricultural study of southern Maya lowlands, Amer. Anthrop.,64, pp.273-86.

Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia. Berkely and Los Angeles.

Harris, DR. 1967. A general survey of some of the factual evidence relating to agricultural origins in Eurasia, Africa and the Americas will be found in New light on plant domestication and the origins of agriculture : a review, Geog. Rev., 57, pp. 90-107.

Harrison, T.1963-4. 100,000 years of stone Age culture in Borneo, F.

Roy.Soc.Arts,112,pp.174-91.

Hawkes, J.G.1967 in P.J. Ucko & G.W. Dimbleby. !969. The Domestication and Exploitation of Plant & Animal. For an elaboration of steps leading to plant domestication and a discussion of the role of “weedy” species in crop ancestry, p.17-29.

Hawkes, J.G. 1967. The History of the potato,F. Roy. Hort. Soc., 92, pp. 207-24, 249-62, 288-302, and 364-5; coursey, D. G. (1967). Yams. London. Ch.2.

Hole, F. and Flannery, K. V. 1967. The prehistory of South-western Iran: a preliminary report, Proc. Prehist. Soc., 33, pp. 147-206; Flannery, K. V. 1965. The ecology of early food production in Mesopotamia, Science, 147, pp. 1247-56; Flannery, K. V., this volume, p.73-100; Flannery, K. V., Kirby, M. J. and Williams, . W., Jr. (1967). Farming system and political groth in ancient Oaxaca, Science, 158, pp.445-54.

Laeyendecker-Roosenburg, D.M. 1966. A palynological investigation of some archeologically interesting section in north-western Surinam, Leidse Geologische Mededelingen, 38, pp. 31-6.

Odum, E.P. and H.T. 1959. The theoritical concepts of ecosystem analysis are fully discussed by in Fundamentals of Ecology, 2nd ed. Philadelphia, as well as more briefly in (1963). Ecology. New York.

Ovington, J.D., Heitkamp, D. and Lawrence, D.B. 1963. Plant biomass and productivity of praire, savanna, oakwood, and maize field ecosystems in central Minnesota , Ecology, 44,pp.52-63

(19)

highest in the oakwood the savanna was the most efficient ecosystem for creating the greatest mass of potential food for grazing animals.

Pillipson, J. 1966. Ecological Energetics. London. There have been few attempts to apply ecological principles to the analysis of traditional agricultural system.

Rouse, I and Cruxent, J.M. 1963. Venezuelan Archeology, New Haven and London. pp. 5-6 and 53-4.

Spencer, J.E. 1966. Shifting cultivation in Southeastern Asia, Univ. California Publications in Geog.,19.pp.110-22.

Westlake, D. F. 1963. For estimates of net primary production in a variety of ecosystem. Comparisons of plant productivity, Biol. Revs. Camb. Phil. Soc., 38, pp.385-425; and Billings, W.D. (1964). Plants and the Ecosystem. London. Ch. 7.

Referensi

Dokumen terkait

sekolah-sekolah bertaraf Nasional maupun Internasi- onal, bahwa mahasiswa peserta TJSME perlu mem- peroleh pengalaman seoptimal mungkin mengguna- kan TIK baik sewaktu menyusun

Sebagai seorang mahasiswa jurusan kependidikan yang disiapkan sebagai calon guru atau calon tenaga pengajar yang sedang dalam tahap pembelajaran, Praktikan di bangku kuliah

Oleh itu, langkah drastik yang diambil oleh Lembaga Zakat Selangor khususnya dengan merekrut usahawan dari golongan asnaf adalah amat bertepatan pada masa sekarang.. Sumber

[r]

Konsep penyisipan pesan pada citra sebenarnya adalah proses mengganti nilai bit pesan dengan nilai pixel yang ada pada citra sedemikian sehingga pesan yang

Faktor warna lebih berpengaruh dan kadang- kadang sangat menentukan suatu bahan pangan yang dinilai enak, bergizi dan teksturnya sangat baik, tidak akan dimakan

Penyelesaian diferensial secara analisa dengan metode beda sentral maupun secara diferensial biasa dihasilkan nilai yang sama yaitu gaya konservatif adalah. 3.2

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan prestasi belajar siswa mata pelajaran PKn materi dampak globalisasi di lingkungan melalui