• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan (Studi Kasus di BPOM Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan (Studi Kasus di BPOM Medan)"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN INDUSTRI RUMAH

TANGGA TANPA IZIN DINAS KESEHATAN

(STUDI KASUS DI BPOM MEDAN)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

VIOLA BUNGARAN MS NIM : 090200281

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN INDUSTRI RUMAH

TANGGA TANPA IZIN DINAS KESEHATAN

(STUDI KASUS DI BPOM MEDAN)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh

VIOLA BUNGARAN MS NIM : 090200281

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

(Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum) NIP. 1966033185081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

ABSTRAK akan memungkinkan sebagai alternatif yang dapat diambil adalah memasuki industri kecil atau industri rumah tangga. Pilihan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa industri kecil tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan tinggi serta modal yang dibutuhkan relatif kecil.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hukum perlindungan konsumen?Bagaimana Ketentuan Izin Dinas Kesehatan Tentang Industri Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen?bagaimanakah ketentuan izin dinas kesehatan dan industri rumah tangga? dan pertanggungjawaban produsen yang tidak memiliki izin dinas kesehatan?Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori hukum.

Perlindungan konsumen terhadap peredaran produk pangan produksi industri rumah tangga adalah konsumen apabila ada yang mengalami kerugian akibat mengonsumsi produk pangan olahan Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin hanya terbatas melakukan serangkaian penyelidikan untuk mengetahui penyebab kerugian dan menanggung biaya pemeriksaan sampel produk makanan yang telah dikonsumsi oleh konsumen di laboratorium. Izin produksi terhadap suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2). Pertanggungjawaban produsen makanan khususnya Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan terhadap konsumen atas produknya yang beredar di pasaran, bahwa berdasarkan wawancara penulis bahwa produsen hanya terbatas pada lebih memperhatikan lagi bahan baku yang digunakan dalam mengolah produknya. Apabila terjadi kerugian terhadap konsumen baik itu kerugian materi maupun fisik maka upaya yang biasa ditempuh oleh produsen yaitu selain menarik produknya yang beredar di pasaran maka produsen juga memberikan ganti kerugian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumen.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, dan berkat Rahmat serta Maghfirahnya, pada saat ini masih diberikan-Nya kesempatan yang tidak terhingga untuk dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN INDUSTRI RUMAH TANGGA TANPA IZIN DINAS KESEHATAN (STUDI KASUS DI BPOM

MEDAN), sebagai tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum ( S1 ) di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Selama penelitian berlangsung, banyak pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, maka penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.Runtung Sitepu,SH.,M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan,SH.,M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

6. Ibu Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak mmeberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama menjadi mahasiswi.

8. Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai yang memberikan partisipasinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta Ir. Edison Sibuea,dan Dra. Yulinda Nainggolan yang selalu memberikan bantuannya baik secara moril maupun materil, mendukung dalam segala bidang untuk mendorong selesainya kuliah hingga Skripsi ini.

10.Teristimewa juga kepada Adikku Stefano Sibuea yang selalu memberikan motivasi sehingga skripsi ini selesai.

11.Buat sahabat-sahabat yang terdekat yang selalu memberi semangat kepada penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini (Yolanda, Egi, Erma, Ely, Pratica dan Satilda)

12.Kepada seluruh pegawai di BPOM Kota Medan, yang telah membantu penulis dalam memberikan data untuk menyelesaikan skripsi ini.

13.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(6)

kata pengantar yang penulis sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat dan menambah wawasan Ilmu Pengetahuan bagi semua pihak. Mohon maaf segala kekurangan, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2013 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Keaslian Penulisan ... 6

F. Metode Penelitian ... 6

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 11

A. Pengertian Produsen dan Konsumen ... 11

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen... 13

C. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 22

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 37

BAB III KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN INDUSTRI RUMAH TANGGA ... 44

A. Izin Dinas Kesehatan ... 44

1. Pengertian Izin ... 44

2. Pengertian Izin Dinas Kesehatan ... 46

(8)

4. Syarat-Syarat Izin Dinas Kesehatan ... 48

B. Industri Rumah Tangga ... 51

1. Pengertian Industri Rumah Tangga ... 51

2. Jenis Makanan dan Minuman Rumah Tangga ... 54

3. Izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ... 59

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN YANG TIDAK MEMILIKI IZIN DINAS KESEHATAN ... 60

A. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi Dalam Perlindungan Hukum Konsumen ... 60

B. Tanggung Jawab Perdata Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan ... 66

C. Tanggung Jawab Pidana Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan ... 83

D. Tanggung Jawab Administrasi Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan ... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA

(9)

ABSTRAK akan memungkinkan sebagai alternatif yang dapat diambil adalah memasuki industri kecil atau industri rumah tangga. Pilihan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa industri kecil tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan tinggi serta modal yang dibutuhkan relatif kecil.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah hukum perlindungan konsumen?Bagaimana Ketentuan Izin Dinas Kesehatan Tentang Industri Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen?bagaimanakah ketentuan izin dinas kesehatan dan industri rumah tangga? dan pertanggungjawaban produsen yang tidak memiliki izin dinas kesehatan?Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori hukum.

Perlindungan konsumen terhadap peredaran produk pangan produksi industri rumah tangga adalah konsumen apabila ada yang mengalami kerugian akibat mengonsumsi produk pangan olahan Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin hanya terbatas melakukan serangkaian penyelidikan untuk mengetahui penyebab kerugian dan menanggung biaya pemeriksaan sampel produk makanan yang telah dikonsumsi oleh konsumen di laboratorium. Izin produksi terhadap suatu produk pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi sebelum produk pangan tersebut beredar di masyarakat yang dijelaskan dalam Keputusan Kepala BPOM No. HK. 00.05.5.1640 tahun 2003 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, Gizi dan Pangan Pasal 43 ayat (2). Pertanggungjawaban produsen makanan khususnya Industri Rumah Tangga yang tidak memiliki izin dari Dinas Kesehatan terhadap konsumen atas produknya yang beredar di pasaran, bahwa berdasarkan wawancara penulis bahwa produsen hanya terbatas pada lebih memperhatikan lagi bahan baku yang digunakan dalam mengolah produknya. Apabila terjadi kerugian terhadap konsumen baik itu kerugian materi maupun fisik maka upaya yang biasa ditempuh oleh produsen yaitu selain menarik produknya yang beredar di pasaran maka produsen juga memberikan ganti kerugian sesuai dengan apa yang diinginkan oleh konsumen.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan umumnya bekerja di sektor pertanian. Pada hal kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto dan penyerapan tenaga kerja semakin menurun; kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto pada tahun 2010 mencapai 34% akan tetapi pada tahun 2011 turun menjadi 19%, akan tetapi sektor pertanian masih dibebani lebih dari 0 tenaga kerja dan pada tahun 2012 Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh sebesar 6,23 persen. Sebaliknya pada sektor industri hanya menampung 20 tenaga kerja, padahal sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto meningkat dari 9,2% menjadi 21%.1

Sektor pertanian hingga kini masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk. Sampai dengan tahun 1990 sektor pertanian masih merupakan penyumbang utama dalam membentuk Produk Domestik Bruto. Namun sesudah itu posisi tersebut diambil alih oleh sektor industri. Hal ini sesungguhnya memprihatinkan, bukan karena sektor pertanian tidak berkembang, melainkan mengingat masih demikian besarnya proporsi tenaga kerja yang bekerja disektor tersebut. Tambahan pula kualitas sehingga produktivitasnya rendah. Pada gilirannya pendapatan mereka juga rendah.2

1

Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi (Yogyakarta: BPFE, 1993), hal. 21.

2

(11)

Lahan pertanian merupakan faktor produksi utama dalam menyerapkan tenaga kerja dan sumber pendapatan petani tersebut, ternyata kondisinya terus menurun dengan cepat (terutama di pulau Jawa). Pada tahun 2001 bahwa luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani pengguna lahan berkurang dari 18,35 juta hektar sedangkan pada tahun 2002 menjadi 17,5 juta hektar. Pada tanun 2001 luas lahan yang dikuasai rumah tangga petani berkurang 0,48 juta hektar dari 5,72 hektar menjadi 5,24 juta hektar.3 Karena Indonesia merupakan daerah tropis maka lahan pertanian sangat besar menyerap tenaga kerja disektor pertanian.

Berdasarkan uraian mengenai pentingnya lahan pertanian bagi penyerapan tenaga kerja dan pendapatan petani serta kondisi menurunnya lahan pertanian seperti yang telah dipaparkan dimuka, maka dengan demikian sempitnya penguasa lahan pertanian oleh rumah tangga petani berarti semakin terbatasnya kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga petani di pedesaan. Dan makin meningkatnya jumlah rumah tangga gurem (luas lahan kurang dari 0,5 hektar) berarti semakin bertambah pula jumlah rumah tangga petani yang terbatas dalam memperoleh kesempatan kerja dan pendapatannya. Atau dengan kata lain terjadi pengguna tenaga kerja tidak penuh yaitu tenaga kerja yang bekerja kurang dari potensi kerjanya atau yang disebut dengan pengangguran kentara (Visible Underemployment).

Pengertian miskin ditinjau dari aspek ekonomi dicirikan sebagai, 1. luas lahan garapan sempit, 2. produktifitas tenaga kerja rendah, 3. modal relatif kecil atau tidak memiliki sama sekali, 4. tingkat keterampilan rendah, dan 5.

3

(12)

pendapatan rumah tangga petani rendah.4 Menghadapi masalah kurangnya kesempatan kerja di daerah pedesaan pada umumnya, upaya yang ditempuh oleh petani antara lain, adalah meningkatkan desanya untuk mengadu nasib yaitu melakukan migrasi ke kota baik secara bolak-balik, sirkuler maupun menetap. Dimana migrasi ini bukannya tanpa masalah baik bagi daerah asal, daerah tujuan maupun bagi migrant sendiri lebih-lebih yang tidak memiliki keterampilan. Langkah-langkah untuk mengatasinya dimana salah satu cara adalah dengan pengembangan industri kecil atau rumah tangga yang ada di pedesaan.

Peran industri rumah tangga akan semakin penting apabila di sektor pertanian terjadi pergeseran dan mekanisme di bidang usaha tani, keadaan ini akan memungkinkan sebagai alternatif yang dapat diambil adalah memasuki industri kecil atau industri rumah tangga. Pilihan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa industri kecil tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan tinggi serta modal yang dibutuhkan relatif kecil5

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang terencana, menyeluruh, terarah dan terpaduh dalam upaya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur serta mensejajarkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pembangunan ekonomi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ditunjukkan oleh kegiatan ekonomi mayarakat yang semakin dinamis. Kemajuan diberbagai bidang dan kegiatan saling berkaitan telah memberikan dampak terhadap peningkatan produksi, pendapatan, serta perluasan kerja.6 Sampai saat ini, pembangunan pertanian di

4

Arsyad, Lincolin, Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, 2004), hal. 236.

5

Ibid., hal. 355

6

(13)

Indonesia tampaknya mengikuti pola pembangunan pertanian pada Negara-negara berkembang pada umumnya. Peran sektor pertanian dalam proses transformasi struktur dapat diamati dalam berbagai hal. Misalnya, sumbangannya terhadap pendapatan. Latar belakang peneliti memilih judul Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan (studi kasus di BPOM Medan), karena banyaknya industri rumah tangga khususnya di Kota Medan belum memiliki izin BPOM disebabkan karena pelaku usaha belum mengerti tentang manfaat izin BPOM dan pengurusan yang berbelit-belit sehingga pelaku usaha enggan mendaftarkan usahanya di BOOM Medan.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik menulis skripsi dengan judul Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan (Studi Kasus Di BPOM Medan).

B. Perumusan Masalah

1. Bagamanakah Perlindungan Konsumen terhadap Peredaran Produk pangan Produksi Industri Rumah Tangga?

2. Bagaimana Ketentuan Izin Dinas Kesehatan Tentang Industri Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen?

3. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban produsen yang tidak memiliki izin dinas kesehatan?

C. Tujuan Penelitian

(14)

2. Untuk mengetahui Ketentuan Izin Dinas Kesehatan Tentang Industri Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Asas Perlindungan Konsumen 3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban produsen yang tidak

memiliki izin dinas kesehatan

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

a. Diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan wawasan pengetahuan dibidang hukum perlindungan konsumen khususnya tentang Izin BPOM

2. Secara praktis

a. Memberikan kontribusi bagi upaya-upaya dalam menata pengawasan pemerintah terhadap peredaran produk pangan Industri Rumah Tangga khususnya di Kota Medan

b. Memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk pangan Industri Rumah Tangga yang aman untuk dikonsumsi dan Diharapkan dapat bermanfaat bagi produsen pangan Industri Rumah Tangga dalam mengolah dan menyalurkan hasil produksinya.

(15)

d. Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yang lebih baik dan tidak memihak sebelah.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan (Studi Kasus di BPOM Medan), belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

(16)

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah : a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji tentang Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan

b. Data Sekunder

Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber dan literatur selain itu juga dokumen yang berkaitan Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Untuk data primer dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu7. Wawancara ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan permasalahan. Jenis wawncara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data adalah dengan cara wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai

7

(17)

pedoman dan masih dimungkinkan didalamnya ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.

b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka. Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan informasi lain yang bersifat umum8. Studi pustaka ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitasnya. Kemudian berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.

8

(18)

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian ini akan membahas Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab ini akan membahas mengenai Pengertian Produsen dan Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha BAB III KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN INDUSTRI

RUMAH TANGGA

Bagian ini akan membahas tenang Izin Dinas Kesehatan Pengertian Izin, Pengertian Izin Dinas Kesehatan, Jenis-Jenis Izin Dinas Kesehatan, Syarat-Syarat Izin Dinas Kesehatan, Industri Rumah Tangga, Pengertian Industri Rumah Tangga, Jenis Makanan dan Minuman Rumah Tangga, dan Izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRODUSEN YANG TIDAK MEMILIKI IZIN DINAS KESEHATAN

(19)

Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan serta Tanggung Jawab Administrasi Produsen Industri Rumah Tangga Tanpa Izin Dinas Kesehatan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(20)

BAB II

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Pengertian Produsen dan Konsumen

1. Produsen

Produsen adalah orang yang menghasilkan barang dan jasa untuk dijual dan dipasarkan. Dalam memasarkan barang-barang dagang dan juga jasanya biasanya produsen menawarkan harga yang relatif lebih murah karena prudusen merupakan agen-agen langsung yang banyak dicari oleh orang – orang khususnya para pedagang untuk membeli barang dagangan yang nanti akan mereka jual kembali tetapi dengan harga yang relatif lebih mahal.9

Produsen adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.10

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa produsen adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama

9

http://restysetia.blogspot.com/2012/04/pengertian-produsen-dan-fungsi-produksi.html, diakses tanggal 30 Mei 2013

10

(21)

sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

2. Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) yaitu Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan12

Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan), maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang

11

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Gramedia Widiarsarana Indonesia, 2006), hal 1-2

12

(22)

memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam setiap undang-undang yang dibuat pembentuk undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prisip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang-undang-undang dan peraturan pelaksananya.13 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangun an undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.14

Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut : “

…bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan

pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut “.15

Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya, asas-asas hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata

13

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo, 2006), hal 3.

14

Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie III) hal 25.

15

(23)

hukum.16 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.17

Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan Pemerintah sebagai pembentuk Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah :

1. Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum

16

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991) (selanjutnya

disebut Satjipto Rahardjo I), hal 87.

17

(24)

perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

2. Asas keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan

(25)

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu Undang-Undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larang yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.

5. Asas kepastian hukum

(26)

Kelima asas yang disebutkan dalam Pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen,

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

Radbruch menyebutkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian sebagai “

tiga ide dasar hukum “ atau “ tiga nilai dasar hukum “, yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan. Sedangkan asas keseimbangan dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah Kepentingan Pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen.

(27)

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Roscoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.18

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas.19 Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan berama. Dalam hubungan inilah kepentingan

18

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2008), hal 28.

(28)

Pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi.

Sejak masuknya paham welfare state, Negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa melibatkan Pemerintah sebagai lembaga eksekutif di dalam suatu negara. Sesuai fungsi kehadiran Negara, maka Pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 UUPK secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Mengacu pada Pasal 1 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa :

(29)

Kata segala upaya adalah menyiratkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk membentengi tindakan sewenang-wenangan dan agar pihak pelaku usaha memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana mestinya. Agar segala upaya tersebut berjalan efektif, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam undang-undang perlindungan konsumen dan undang-undang lainnya juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun dalam bidang hukum publik (hukum pidana maupun hukum administrasi negara). Tujuan Perlindungan Konsumen, sebagaimana termaksud dalam ketentuan Pasal 3 UUPK bertujuan:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

(30)

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Achmad Ali mengatakan bahwa “masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus “.20

Hal itu tampak dalam pengaturan Pasal 3 UUPK yang juga mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen sekaligus membedakan tujuan umum. Rumusan tujuan perlindungan konsumen huruf a dan e mencerminkan tujuan hukum mendapatkan keadilan. Sedangkan rumusan huruf a, b, termasuk c dan d serta huruf f mencerminkan tujuan hukum memberikan kemanfaatan, dan tujuan hukum khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d.

Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektivitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sebagaimana dikemukakan

20

(31)

oleh Achmad Ali bahwa kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.21

Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana seperti yang telah dicita-citakan, hal ini harus diperkuat oleh kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang-undang perlindungan konsumen didukung oleh sarana dan fasilitas yang menunjang.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut :22

1) membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk : a. Memberikan hak dan kewajiban;

b. Menjamin hak-hak para subyek hukum;

2) Menegakkan peraturan (by the la w enforcement) melalui :

a. Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perizinan dan pengawasan;

b. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman;

21

Achmad Ali, Menjelajahi Ka jian Empiris Terhadap Hukum, (Jakarta : Yarsif Watampone, 1998), (selanjutnya disebut Achmad Ali II), hal 191.

22

(32)

c. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

Istilah “ perlindungan konsumen “ berkaitan dengan perlindungan hukum.

Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Sebagaimana disampaikan Munir Fuadi, kehadiran suatu kaedah hukum (legal procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan hukum (la w enforcement) yang menatap adalah dambaan masyarakat Indonesia sekarang, sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan memetik hasilnya.23

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. J.F Kennedy adalah Presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita

semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi Publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.”

23

(33)

Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:

(1). the right to safety (hak atas keamanan); (2). the right to choose (hak untuk memilih);

(3). the right tobe informed (hak mendapatkan informasi); (4). the right tobe heard (hak untuk didengar pendapatnya).

Selanjutnya dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

(34)

2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen);

3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly). Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for Consumers Protection. Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa -Bangsa (UN-Guidelines for Consumer Protection) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap Negara di dunia adalah :

1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan konsumen;

2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen;

3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya;

4. Pendidikan konsumen;

(35)

6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang sejenis dan memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk mengemukakan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Resolusi ini lahir berkat perjuangan panjang selama kurang lebih sepuluh tahun dari lembaga-lembaga konsumen di seluruh dunia yang dipimpin oleh International Organization of Consumers Union (IOCU). Usai Presiden Amerika Serikat John .F. Kennedy sesudah itu, L.B. Johnson, menambahkan perlu dikembangkan konsep product warranty dan product liability. Dan sementara itu, RRC, hak-hak konsumen diakui sebagai hak-hak:

1. To select commodities and service of their own will;

2. To know the real circumstances of the price, quality, Weight- easurement, function, ect., of commodities and service;

3. To have guarantees of quality, weigths and measures, price, safety, and hygienes as stipulated by law;

4. To request receipts for payment in purcahsing commodities and services; 5. To request repairing, replacing, or returning commodities or service

because of unstatisfactory quality according to the standard provided by law agreed by the parties, to request compensation when persobal or property damage is caused thereof;

6. To have other rights as stipulated law.

(36)

membanjirnya aneka macam produk barang dan/atau jasa di pasaran, telah menuntut pula dilindunginya pihak konsumen sebagai pemakai produk tersebut.24 Hak konsumen di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUPK adalah sebagai berikut :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.

Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya paham rasional di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak, penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri. Dan secara khusus konsumen di negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan.

24

(37)

Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk -produk negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Dan pasar internasional dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi, jelas akan menyingkirkan produk -produk yang tidak mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen. Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi kebijakan- kebijakan baik pelaku usaha maupun pemerintah, sehingga menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar negeri.

(38)

Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relative rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidakberdayaan konsumen golongan ini umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi tersebut, tetap saja konsumen golongan ini akan mengkonsumsi barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya.

Disamping itu hak konsumen dalam memilih barang atau jasa tidak akan ada artinya bila pengadaan barang atau jasa dimaksud dilakukan secara monopoli. Untuk kasus seperti ini, lagi-lagi golongan konsumen menengah ke atas tetap dapat mempraktekkan hak pilihnya, misalnya dengan mencari alternatif pilihan barang atau jasa yang lain tanpa mempersoalkan harganya. Namun bagi golongan konsumen dengan penghasilan rendahlah yang akan mengalami tekanan cukup parah dalam merealisasikan hak pilihnya. Oleh sebab itu dalam menembus pembatasan akan hak pilih ini, sudah saatnya konsumen menggalang kekuatan dengan meningkatkan rasa solidaritas. Karena dengan cara penggalangan kekuatan itulah kekuatan konsumen akan dapat terwujud.

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

(39)

kekeliruan memberikan informasi akan memberikan gambaran yang salah dan membahayakan bagi konsumen. Banyak ragam dan cara pelaku usaha dalam menyampaikan informasi. Antara lain dapat dilakukan melalui: (a). disampaikan secara langsung; (b). melalui media komunikasi, seperti iklan; (c). dicantumkan dalam label barang atau jasa. Dengan demikian tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja, tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen.

(40)

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

Keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi. Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan.

Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun pedagang. Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini belum dimanfaatkan.

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

(41)

berlaku jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya, antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling membutuhkan.

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Konsumen berhak untuk mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen.

Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen“ ini. Pengertian“

pendidikan “ tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada

(42)

menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.

f. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Contohnya, seorang pejabat tidak perlu antri tiket seperti konsumen lainnya, karena pelaku usaha memberikan perlakuan khusus. Begitu pula halnya ketika tiket kereta api hendak dibeli konsumen dengan harga sebagaiman tarif, oleh si penjual dikatakan telah habis, sementara bagi konsumen yang berani membelinya diatas tarif, maka tiket tersebut akan dengan mudahnya diperoleh.

Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha.

g. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

(43)

pelaku perekonomian, keempat, konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat mendapat ganti rugi yang memadai, kelima, diberikannya pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak.

Dasar-dasar tersebut telah menekankan pada pentingnya pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan mamupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidaksengajaan dari pihak penjual yang mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran, mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa

h. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, berupa :

(44)

2009 tentang Kesehatan dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang tergabung dalam The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh ecolabeling certificate. Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000.

2) Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha

(45)
(46)

oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.

Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam UUPK dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia, dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hak-hak konsumen bersifat universal.

Lawan dari hak adalah kewajiban. Mengenai kewajiban konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 UUPK, yakni :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

(47)

kewajiban tersebut adalah seimbang. Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPK adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7, yakni : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

(48)

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

(49)

sebagainya.25 Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.26 Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman, layak konsumsi bagi konsumen.

Dalam ketentuan Pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang produksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa, antara lain :

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

25

Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, (Bandung Mandar Maju,2000) hal 18.

(50)

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

h. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

i. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(51)

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Dalam ketentuan Pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku/tidak melanggar hukum.

Dalam ketentuan Pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau menyesatkan konsumen. Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 14 UUPK yang menyebutkan : Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;

c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

(52)

Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan cara-cara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik maupun psikis konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 15 UUPK yang bunyinya :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengancara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.

(53)

BAB III

KETENTUAN IZIN DINAS KESEHATAN DAN INDUSTRI RUMAH TANGGA

A. Izin Dinas Kesehatan

1. Pengertian Izin

Agak sulit memberikan definisi izin. Hal ini dikemukakan oleh Sjachran Basah.27 Pedapat yang dikatakan Sjachran agaknya sama dengan yang berlaku di negeri Belanda, seperti dikemukakan Van Der Pot sangat sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu.28 Hal ini disebabkan oleh antara pakar tidak dapat persesuaian paham, masing-masing melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar memberikan definisi, bahkan ditemukan definisi yang beragam.29

Izin adalah persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan umum tersebut. Izin dalam istilah asing (Belanda) disebut Verguming. Bentuk Izin itu harus tertulis. HO (Hinder Ordonansi): Hinder = Gangguan, Ordonansi = peraturan, HO yaitu sebuah izin yang diberikan oleh masyarakat sekitar untuk usaha yang ada disitu. Sedangkan menurut Van Der Port, izin merupakan

27

Basah, Sjachran. Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi. Makalah ada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan. (Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1995) hal 1-2

28

Utrecht,E. Pengantar Hukum Administrasi Negara. Cetakan Kedelapan. (Jakarta:Ichtiar 1997) hal 187

29

(54)

keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan.30

Utrecht memberikan pengertian izin (Vergunning) sebagai berikut: bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenanka nnya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).31 Adapun pengertian perizinan Menurut Adrian Sutedi adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat.32 Perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan.

Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan.

Hal pokok pada izin, bahwa sesuatu tindakan dilarang kecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang bersangkutan

30

N.M, Spelt, J.B.J.M. Ten Berge, Philipus.M.Hadjon, (Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, 1993), hal 186

31

OP. Cit. Utrecht,E. hal 187

32

(55)

dilakukan dengan cara-cara tertentu. Penolakan izin terjadi bila kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh penguasa tidak dipenuhi.

Jadi kesimpulan dari pengertian izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.

2. Pengertian Izin Dinas Kesehatan

Izin jaminan usaha makanan atau minuman rumahan yang dijual memenuhi standar keamanan makanan atau izin edar produk pangan olahan yang diproduksi oleh UKM untuk dipasarkan secara lokal. Izin P-IRT tersebut hanya diberikan kepada produk pangan olahan dengan tingkat resiko yang rendah. Mengacu pada peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan dan Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK. 00.05.5.1640. Di dalam SPP-IRT produsen akan mendapat 2 (dua) sertifikat yaitu Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP) dan Sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT).

(56)

3. Jenis-Jenis Izin Dinas Kesehatan

Produk makanan/minuman yang beredar di masyarakat saat ini semakin banyak dan beragam karena semakin berkembangnya teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat. Untuk melindungi masyarakat dari produk pangan yang membahayakan kesehatan, maka salah satu kebijakan pemerintah adalah dengan menerapkan Perizinan Produksi dan Izin Edar bagi produk makanan. Karena dengan menerapkan kebijakan tersebut maka pemerintah dapat melakukan pengawasan serta pembinaan agar produsen makanan/minuman memproduksi pangan sesuai dengan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB/CPMB).

Macam Izin Edar produk makanan adalah sebagai berikut :33

1. Izin yang dikeluarkan oleh Badan POM yaitu POM MD (untuk produksi pangan dalam negeri) dan POM ML (untuk produksi pangan luar negeri / import).

2. Izin yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yaitu SPP-IRT (Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga/P-SPP-IRT)

Jenis Pangan Yang Diizinkan Memperoleh Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)

1. Hasil Olahan Daging Kering 2. Hasil Olahan Ikan Kering 3. Hasil Olahan Unggas Kering 4. Sayur Asin dan Sayur Kering antara 5. Hasil Olahan Kelapa

6. Tepung dan Hasil Olahannya 7. Minyak dan Lemak

8. Selai, Jeli, dan Sejenisnya 9. Gula, Kembang Gula Dan Madu

33

Referensi

Dokumen terkait

Arief R Wismansyah menyambut baik upaya yang dilaksanakan Polrestro Tangerang dalam upaya memutus penularan Covid-19 di wilayah Kota Tangerang."Penyemprotan bersama

Sindrom metabolik berhubungan signifikan dengan riwayat adanya keluarga yang mengalami penyakit degeneratif (risiko meningkat 3.75 kali pada individu dari keluarga

Dari contoh yang telah disebut diatas, maka distribusi peran yang mengisi fungsi sintaksis pada pola kalimat I adalah peran tindakan selalu mengisi fungsi predikat, peran

ABSTRAK : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XI IPA SMA

Analisis Kualitatif merupakan penjelasan berdasarkan hasil wawancara dan berdasarkan temuan lapangan yang bertujuan untuk menjawab sasaran 1 dan sasaran 2 pada penelitian ini

Subtansi hukum (legal substance) dan Budaya hukum (legal culture) disimpulkan bahwa penertiban hewan ternak belum berjalan dengan baik... Perilaku masyarakat tidak

skor sebelum diberikan pendidikan kesehatan dan setelah diberikan pendidikan kesehatan, yang berarti pendidikan kesehatan HIV/AIDS dapat meningkatkan pengetahuan tentang

Semua madzhab fiqih dan para ulama salaf kontemporer secara tegas dan jelas telah menyatakan di banyak pendapat mereka, bahwa yang menghalalkan pembunuhan terhadap