BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja tingakat SMP termasuk dalam periode remaja awal. Pada masa ini remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya, mereka belum memikirkan secara jelas masa depan seperti apa yang hendak di wujudkan. Jika dihadapkan pada dua pilihan, mereka umumnya akan kesulitan dalam menentukannya. Mereka pada periode ini tidak siap dan tidak memiliki gambaran konkrit cita-citanya. Salah satunya adalah pilihan pendidikan lanjutan dan jenis profesi yang akan dipilih dan ditekuni.
Kaburnya gambar akan masa depan remaja pada perode ini misalnya ketika penulis menanyakan pilihan sekolah yang akan dipilihs etelah lulus pada beberapa siswa kelas IX di suatu MTs di Kecamatan Ampel Boyolali, secara umum mereka menjawab belum memiliki pilihan yang jelas, mereka umumnya menyatakan memilih sekolah yang dekat dengan tempat tinggal. Berikut salah satu jawaban siswa kelas IX mengenai pilihan studinya setelah lulus dari MTs:
Pilihan melanjutkan sekolah bagi saya tetap ada pak. Saya ingin sekolah yang lebih tinggi lagi. Untuk tempat sekolahnya saya belum tau secara pasti. Di sini jarak sekolah lumayan jauh, jadi saya akan pilih sekolah yang dekat saja. Di Kecamatan Ampelkan ada beberapa sekolah SMA, SMK dan MA. Saya akan pilih salah satunya, dan saya harus mempertimbangkan nilai UN saya.
tidak memberkan gambaran tentang masa depan siswa, pertemanan dan factor internal, misalnya harga diri siswa.
Kejadian umum yang ada di sekolah-sekolah pingiran adalah guru BK dan wali kelas tidak memberikan gambaran yang jelas akan masa depan yang dapat diraih siswanya, sehingga siswa miskin informasi sebagaimana yang dikemukaka Monk (2002), “Remaja miskin informasi, mereka kebingungan harus kemana setelah tamat belajar karena layanan karir di sekolah tidak berfungsi”.
Di sisi yang lain, masih tidak jelasnya keputusan pengambilan karir remaja dipengaruhi oleh remaja sendiri. (Santrock, 2002) mengatakan bahwa seberapa kompetenkah remaja dalam mengambil keputusan? Remaja yang tidak menyadari potensinya bisa saja salah dalam memutuskan pilihannya. Misalnya, remaja yang baru lulus SMP masih kebingungan dengan pilihan studilanjutnya, misalnya SMA atau SMK. Kesulitan ini belum lagi ditambah dengan kompleksitas ekonomi keluarga dan harapan orang tua pada remaja tersebut.
lagi sesuai dengan komitmen awal mereka. Berikutdisajikan data mengenai pilihan studi lanjut lulusan di sebuah MTs di Kecamatan Ampel Boyolali tiga tahun terakhir:
Tabel 1.Pilihan studi lanjut siswa
No. Tahun
Jumlah siswa
IX
Pilihan Studi Sesuaian Pilihan
(orang tua)
SMU SMK Tidak sekolah
1 2012/2013 65 28 (43%) 10(15%) 12 (15%) 15(23%) 2 2013/2014 71 16 (22%) 8 (11%) 14 (19%) 21(29%) 3 2014/2015 84 23 (27%) 26(30%) 11(13%) 24(28%)
Sumber: Bagian Kesiswaan sebuah MTs di Kec. Ampel
Informasi di atas menunjukkan bahwa pilihan studi lanjut siswa tidak selamanya didasarkan atas keinginan pribadi. Ada faktor-faktor lain pada pilihan sesui dengan pilihan orang tua sebanyak 60 (0.27%) siswa yang mempengaruhi pilihan siswa tersebut. Pilihan yang telah ditetapkan terkadang tidak disertai dengan kesadaran siswa untuk memikirkan masa depannya, yaitu pilihan studi yang memberikan kepastian kerja.
Dalam pemberitaan media local dilaporkan bahwa jumlah pengangguran di Jawa Tengah usia 18-22 tahun meningkat tajam. Menurut Dinas Pendidikan, mereka umumnya adalah lulusan sekolah menengah atas yang tidak mampu melanjutkan kuliah. Hal ini berimplikasi pada keterserapan tenaga produktif pada sector industry rendah, karena kompetensi lulusan tidak sesuai dengan harapan dunia industri (SuaraMerdeka, 2013).
orang tua, didorong oleh orang lain, ataupun memilih sendiri tetapi buta dengan informasi yang dipilihnya.
Faktor yang paling banyak memengaruhi studi lanjut siswa adalah pertemanan ataupun dorongan dari pihak lain. Banyak sekali remaja menghadapi masalah dalam memutuskan sesuatu, terutama dalam megambil keputusan studi lanjut. Dari pengalaman penulis di sebuah MTs swasta di Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali sering ditemukan permasalahan mengenai pengambilan keputusan tentang pilihan melanjutkan studi lanjut (Bintari, dkk, 2013).Misalnya, seorang siswa yang menginginkan studi lanjut dengan harapan setelah lulus dapat segera bekerja, maka siswa harus mengambil pendidikan kejuruan (SMK). Namun, permasalahan timbul ketika sebagian teman-teman dekat siswa tersebut kebanyakan memilih pendidikan umum (SMA),akhirnya siswa tersebut memilih mengikuti pilihan mayoritas karena ingin selalu dekat dengan teman-teman dekatnya (Pratseyo, 2002).
Berikut data pilihan studi lanjut yang didasarkan atas pilihan teman. Tabel 2.Pilihan studi lanjut bukan karena pilihan pribadi
Siswa IX
Faktor Pilihan Studi
% Dirisendiri Pertemanan
Lain-lain
46 17 20 9 63
Sumber: interview dengan siswa kelas IX
mengenai diri, dan interaksi yaitu perkembangan dimensi keindividual diimbangi dengan perkembangan dimensi kesosialan padain dividu yang bersangkutan.
Nuryoto (1995) dan Aziez (1994) mengemukakan bahwa remaja yang memiliki harga diri rendah cenderung tidak percaya diri, sehingga sulit bergaul karena merasa lemah. Hal ini juga yang dialami oleh sebagian remaja yang telah duduk di bangku SMP yang sudah mulai berfikir apa yang akan dilakukan setelah lulus sekolah.
Dari permasalahan yang penulis uraikan diatas, pada masa remaja pengambilan keputusan meningkat (Santrock, 2002). Namun tidak semua memiliki sikap teguh dalam mengambil keputusan. Interaksi dengan teman sebaya justru dapat mendorong remaja mengambil keputusan yang kurangtepat. Kekhawatiran mendapat evaluasi negatif dari teman, yang dapat menurunkan harga diri juga dapat membuat remaja mengambil keputusan yang serupa dengan teman-temannya.
B. RumusanMasalah
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan interaksi sosial teman sebaya dengan pengambilan keputusan karier pada remaja.
D. Manfaat
1. ManfaatTeoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya tentang pengambilan keputusan karier ditinjau dari antara harga diri dan interaksi sosial teman sebaya.