• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valuasi ruang terbuka hijau tipe pekarangan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan (Studi kasus Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Valuasi ruang terbuka hijau tipe pekarangan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan (Studi kasus Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor)"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industri merupakan salah satu penggerak perekonomian negara. Keberadaan industri memberikan manfaat secara ekonomi kepada masyakat karena menyediakan lapangan pekerjaan. Pembangunan industri yang tidak mempertimbangan aspek lingkungan dan tata ruang akan memengaruhi kualitas lingkungan. Menurut Kodim dan Sampurno (2010) lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan modal pembangunan dan penopang sistem kehidupan. Kemajuan dan pembangunan industri yang tidak meperhatikan aspek lingkungan seringkali membuat lingkungan hidup semakin kritis. Hal ini dapat dilihat dari sumbangan sektor industri terhadap pencemaran udara di kota-kota besar yang mencapai 20%.

Pencemaran udara yang terjadi mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Berdasarkan laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006) diacu dalam Turyanti (2011) biaya ekonomi akibat pencemaran udara di DKI Jakarta yang dihitung dalam bentuk biaya kesehatan dan kehilangan produktivitas pada 2015 diperkirakan mencapai US$ 400 juta per tahun. Kota besar lain seperti Bandung biaya kesehatan akibat pencemar PM10 mencapai Rp

12,7 miliar per tahun. Kerugian ekonomi ini tidak menutup kemungkinan juga akan dialami Kabupaten Bogor yang merupakan kota satelit dengan pertumbuhan industri yang cukup tinggi.

Berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO 2006) diacu dalam Turyanti (2011) menunjukkan bahwa terjadi dua juta kematian mendadak setiap tahun berkaitan dengan dampak polusi udara, baik outdoor maupun indoor, dan lebih dari setengahnya terjadi di negara-negara berkembang. Kasus kematian anak banyak terjadi di Indonesia dengan penyebab utama adalah diare dan ISPA yang terkait dengan gangguan gizi (Kodim & Sampurno 2010).

(2)

(BKPM 2012). Kawasan industri ini akan menjadi penyumbang pencemaran udara di Kabupaten Bogor hal ini sesuai dengan Karyono (2005) yang menyatakan bahwa Bogor mempunyai tingkat polusi udara yang tinggi.

Gunung Putri merupakan salah satu desa di Kabupaten Bogor yang berada di kawasan industri. Desa Gunung Putri mengalami perkembangan industri yang pesat menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kualitas lingkungan. Sebagian besar penduduk desa ini merupakan pendatang yang belum mempunyai rumah sendiri. Jumlah penduduk yang semakin banyak menyebabkan kebutuhan akan lahan untuk pembangunan rumah juga semakin meningkat.

Perkembangan industri di Desa Gunung Putri yang semakin meningkat akan pencemaran udara yang terjadi. Hal ini dapat dikurangi dengan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pekarangan merupakan salah satu bentuk RTH yang paling dekat dengan manusia akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kualitas kesehatan. Saat ini kecenderungan masyarakat memanfaatkan pekarangan untuk pembangunan rumah atau kontrakan sehingga pohon dan vegetasi semakin berkurang.

Berdasarkan kondisi di atas maka penelitian valuasi RTH tipe pekarangan perlu untuk dilakukan guna mengetahui nilai manfaat pekarangan yang diberikan untuk manusia dalam meningkatkan kualitas lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada maka penelitian ini tidak menguji hubungan antara kerapatan vegetasi dengan kualitas udara serta hubungan antara vegetasi dan pohon. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan Septiyani (2010) dan Wawo (2010) menunjukkan bahwa keberadaan pohon di pekarangan dapat mengurangi pencemaran udara terutama debu. Berdasarkan Karyono (2005) pohon sangat membantu bagi kesehatan manusia, disamping menyerap gas polutan dan debu di udara juga menghasilkan gas oksigen yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia

1.2Perumusan Masalah

(3)

Pencemaran udara merupakan masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Udara tercemar merupakan nilai/ kadar zat, energi dan/atau kompenen lain di udara ambien lebih besar dari baku mutunya. Hal ini menjadi permasalahan lingkungan yang harus segera ditanggulangi karena kualitas udara akan memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat terutama organ pernapasan karena organ ini yang pertama berhubungan dengan bahan pencemar (Satriyo 2008)

Salah satu langkah yang dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran udara yaitu dengan memperluas RTH. RTH akan menyerap dan menjerap pencemar udara. Pekarangan merupakan salah satu bentuk RTH yang dekat dengan masyarakat. Dewasa ini dengan semakin meningkatnya kebutuhan lahan keberadaan pekarangan semakin terdesak. Manfaat yang diberikan pekarangan untuk menjerap dan menyerap zat pencemar akan semakin berkurang. Sehingga yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini yaitu:

1. Berapa nilai ekonomi pekarangan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan?

2. Bagaiamana persepsi masyarakat tentang permasalahan lingkungan dan terhadap pekarangan?

1.3Tujuan

Tujuan penelitian ini antara lain:

1. Menentukan nilai ekonomi RTH tipe pekarangan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan.

2. Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang pekarangan dan masalah lingkungan.

1.4Manfaat

Manfaat hasil penelitian ini antara lain:

(4)

2. Hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan bagi institusi terkait seperti Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

3. Memberikan informasi tentang nilai ekonomi pekarangan sehingga menimbulkan kesadaran untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi pekarangan.

1.5Kerangka Pemikiran

Pembangunan kawasan industri yang semakin meningkat akan memengaruhi kualitas lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang muncul adalah pencemaran udara (Soemarwoto 2004). Permasalahan lingkungan ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan produktivitas kerja masyarakat. Hal ini akan menimbulkan kerugian secara ekonomi. Kerugian ini dapat diatasi dengan pembangunan ruang terbuka hijau yang dekat dengan kehidupan masyarakat.

Pekarangan merupakan salah satu bentuk RTH yang paling dekat dengan masyarakat. Keberadaan pekarangan juga dapat mengurangi pencemaran udara yang terjadi serta memberikan manfaat lain seperti keindahan dan kesejukan. Keberadaan pekarangan dapat mengurangi kerugian ekonomi yang ditimbukan akibat pencemaran udara dengan menjerap dan menyerap zat pencemar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan karena pencemaran ini berupa biaya untuk berobat, biaya untuk pencegahan dari penyakit serta berkurangnya produktivitas kerja (Fuady 2003).

(5)

Gambar 1 Kerangka pemikiran.

Perkembangan industri

Kerapatan rendah

Reduksi penyakit

Vegetasi pekarangan Penyakit Dampak negatif tehadap

kesehatan Pencemaran udara

Valuasi pekarangan Perbedaan - Biaya pengobatan - Biaya pencegahan - Pendapatan yang hilang Perbedaan intensitas penyakit

Perbedaan kemampuan

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 kawasan perkotaan dimaknai sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kota merupakan pusat pemukiman penduduk yang dihuni secara permanen yang membentuk satu kesatuan kehidupan. Kota menjadi sumber berbagai aktivitas sosial selain itu kota merupakan sebuah sistem baik fisik maupun sosial ekonomi. Selain itu kota akan berpengaruh terhadap lingkungan fisik (Watt (1993) dan Stearns dan Montaq (1994) diacu dalam Irwan 2008). Hal ini yang menjadikan kota sangat dinamis dan berkembang dengan cepat.

Menurut Sundari (2006) kegiatan fisik dalam kota memerlukan perhatian dan perancangan sesuai dengan fungsi masing - masing. Kota mempunyai fungsi yang majemuk antara lain pusat populasi, perdagangan, pemerintahan, industri maupun pusat budaya. Melihat pentingnya kota maka perlu pembangunan sarana dan prasarana kota yang memadai.

2.2 Ruang Terbuka Hijau

(7)

Berdasarkan bobot kealamiahannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi (a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan (b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga, pemakaman), sedangkan berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya bentuk RTH diklasifikasikan menjadi (a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan (b) bentuk RTH jalur (koridor, linear), berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya bentuk RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH kawasan perdagangan, (b) RTH kawasan perindustrian, (c) RTH kawasan permukiman, (d) RTH kawasan pertanian, dan (e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, kawasan-kawasan pertahananan dan keamanan, olah raga.

Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat. Adapun tipologi RTH berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008

Gambar 2 Tipologi ruang terbuka hijau.

(8)

keberadaan RTH sangat diperlukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan yang tercemar sehingga dapat memperbaiki kualitas lingkungan.

Ruang terbuka hijau mempunyai dua fungsi yaitu fungsi intrinsik dan fungsi ekstrinsik. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pekerjaaan Umum tentang pedoman penyediaan Ruang terbuka hijau. RTH mempunyai Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:

a) memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota);

b) pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar;

c) sebagai peneduh; d) produsen oksigen;

e) penyerap air hujan; penyedia habitat satwa;

f) penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta; g) penahan angin

RTH juga memberikan fungsi tambahan (ekstrinsik) terhadap lingkungan. Fungsi ini memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat. Fungsi tersebut antara lain:

a) fungsi sosial dan budaya yaitu mengambarkan ekspresi budaya lokal; merupakan media komunikasi warga kota; tempat rekreasi; wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.

b) fungsi ekonomi yaitu sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur.

c) fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan; menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota; pembentuk faktor keindahan arsitektural; menciptakan suasana serasi.

(9)

Pertanian IPB (2005) luas RTH minimum disuatu wilayah perkotaan ditentukan oleh tiga komponen yaitu: 1) Daya dukung alami wilayah, 2) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dana bentuk pelayanan lainya), 3) Arah dan tujuan pembangunan kota.

2.3 Pekarangan

Pekarangan merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah lingkungan di perkotaan karena melihat keterbatasan ruang dan lahan untuk pembangunan hutan kota maupun taman kota. Melihat kondisi lahan yang semakin sempit maka RTH pekarangan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi pencemaran udara. Menurut Kristyono (1983) pekarangan merupakan bagian luar dari sebuah rumah, sehingga idealnya dalam pembangunan rumah juga harus menyediakan lahan yang lebih luas untuk pekarangan daripada rumah. Pekarangan memberikan dua fungsi yaitu fungsi ekonomi dan fungsi non ekonomi. Fungsi ekonomi merupakan hasil pembudidayaan pekarangan yang dapat di manfaatkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan. Fungsi non ekonomi meliputi melindungi rumah dari angin, hujan, panas, debu dan kebisingan, sebagai penghasil oksigen serta dapat menjerap dan menyerap polutan yang ada di lingkungan, sebagai penyejuk pemandangan, serta dapat dijadikan sebagai arena pendidikan bagi masyarakat.

Pekarangan yang ditanami dengan berbagai tumbuhan akan meberikan manfaat ekonomi dan non ekonomi. Manfaat ekonomi yang diberikan pekarangan bukan hanya sekedar laba dan rugi. Sedangkan manfaat non ekonomi dapat berupa manfaat untuk kesehatan, sosial serta lingkungan. Manfaat sosial ini akan lebih mempererat hubungan kekeluargaan diantara anggota masyarakat yang hidup bertetangga dalam bentuk saling berbagi hasil pekarangan. Manfaat lingkungan yang diberikan pekarangan berupa bau harum dari tanaman, estetika dan keindahan tanaman serta udara segar yang dihasilkan oleh tanaman dan lain-lain (Sunarminto 30 Desember 2012, Komunikasi pribadi).

(10)

Daerah mengenai RTRW di masing-masing kota. Berdasarkan peraturan ini pemerintah mengklasifikasikan luasan pekarangan menjadi 3 yaitu: pekarangan rumah besar, pekarangan rumah sedang, dan pekarangan rumah kecil.

1. pekarangan rumah besar merupakan rumah dengan luas lahan di atas 500 m2. Pekarangan rumah ini paling sedikit menyediakan 3 pohon pelindung yang diselingi dengan semak dan perdu.

2. pekarangan rumah sedang merupakan rumah yang dibangun di atas lahan dengan luas 200 m2 sampai dengan 500 m2. Melihat luasan pekarangan dalam pembangunan rumah ini harus menyediakan minimal 2 pohon pelindung dan diselingi dengan semak dan perdu.

3. pekarangan rumah kecil merupakan rumah yang dibangun di atas lahan yang luasnya kurang dari 200 m2 sehingga pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 pohon serta semak dan perdu.

Menurut Soemarwoto (2004) pekarangan merupakan sebidang lahan dengan batas tertentu, terdapat bangunan tempat tinggal diatasnya dan umumya ditanami dengan berbagi jenis tumbuhan. Menurut Dahlan (1992) jenis tanaman yang ditanam di pekarangan rumah merupakan jenis yang dapat menghasilkan buah, sehingga selain fungsi ekologi juga dapat meberikan manfaat ekonomi kepada pemilik rumah. Halaman rumah juga dapat memberikan prestise tertentu. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang menata apik pekarangan rumahnya untuk mendapatkan kesan pekarangan yang apik dan indah.

(11)

Talun atau kebun merupakan jenis penggunaan lahan yang mirip dengan pekarangan. Perbedaan antara talun dan pekarangan adalah dari segi lokasi yaitu talun umumnya berada di luar perkampungan atau pemukiman sedangkan pekarangan berada didalam perkampungan. Perbedaan yang kedua yaitu pekarangan terdapat bangunan untuk tempat tinggal diatasnya sedangkan talun atau kebun tidak ada bangunan untuk tempat tinggal (Soemarwoto 2004).

2.4 Pencemaran Udara

Udara merupakan komponen abiotik lingkungan yang penting bagi kelangsungan hidup makluk hidup. Udara terdiri dari campuran berbagai gas. Nitrogen merupakan komponen utama penyusun udara yaitu 78,08%, kemudian Oksigen dengan kadar 20,95% (Dahlan 2004). Pencemaran udara terjadi karena masuknya zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (koposisi) udara dari keadaan normalnya (Wardhana 2004). Menurut Machdar (2009) secara umum udara ada dua kelompok standar kualiats yaitu kualitas udara untuk ambien (lingkungan) dan kualitas udara emisi. Udara emisi akan langsung diencerkan oleh udara lingkungan. Pencemaran udara yang semakin meningkat akan mengurangi kemampuan udara lingkungan untuk mengencerkan emisi.

Menurut Yusad (2003) pencemaran udara dipengaruhi oleh topografi, kependudukan, iklim dan cuaca serta tingkat atau angka perkembangan sosio ekonomi dan industrialisasi. Bogor merupakan salah satu kota satelit dengan perkembangan sosio ekonomi yang cukup tinggi. Industri berkembang dengan cepat jumlah kendaraan bermotor terus bertambah sehingga pencemaran udara yang ada di kota ini terus meningkat. Secara umum pencemaran udara disebabkan oleh dua macam faktor yaitu faktor alami dan faktor karena aktivitas manusia. Faktor alami antara lain debu yang beterbangan ditiup angin, abu yang keluar dari letusan gunung berapi, proses pembusukan sampah organik. Faktor karena aktivitas manusia antara lain hasil pembakaran bahan bakar fosil, debu dari kegiatan industri serta pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara (Wardhana 2004).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 baku mutu udara ambien meliputi : Sulfur dioksida (SO2); Karbon monoksida (CO); Nitrogen

(12)

Pb (Timah Hitam); Dustfall (debu jatuh). Empat parameter yang lain yaitu Total Fluorides (F), Fluor Indeks, Khlorine & Khlorine dioksida, Sulphat indeks. Sedangkan menurut Yusad (2003) Zat-zat pencemar udara yang paling sering dijumpai dilingkungan perkotaan adalah: SO2, NO dan NO2, CO, O3, SPM

(Suspended Particulate Matter) dan Pb (Lead). SO2 berperan dalam terjadinya

hujan asam dan polusi partikel sulfat aerosol. NO2 berperan terhadap polusi

partikel dan deposit asam dan prekusor ozon yang merupakan unsur pokok dari kabut fotokimia. Asap dan debu termasuk polusi partikel. Ozon, CO, SPM, dan Pb seluruhnya telah dibuktikan memberi pengaruh yang merugikan kesehatan manusia.

Penentuan kualitas udara dapat diketahui dengan membanding hasil pengukuran dengan kualitas udara baku yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. BLHD Kabupaten Bogor merupakan instansi yang berwenang dalam memantau serta melakukan pengujian udara yang ada di wilayah kabupaten Bogor. Kualitas baku udara ambien berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan berlaku di Kabupaten Bogor antara lain dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kualitas baku udara ambien Kabupaten Bogor tahun 2012

(13)

Pencemaran udara akan mempengaruhi kesehatan masyarakat. Zat pencemar yang berbeda akan memberikan dampak yang berbeda bagi kesehatan. Karbon monoksida merupakan jenis zat pencemar yang memicu penyakit jantung, sakit kepala bahkan kematian. Sulfur dioksida merupakan jenis zat pencemar yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar terutama batubara dan akan memperberat penyakit gangguan pernapasan dan menimbulkan asma.

Zat pencemar yang terdapat di udara bebas dapat menimbulkan gangguan pernapasan pada manusia. Gangguan kesehatan lain yang diakibatkan oleh zat pencemar antara lain sakit kepala, iritasi mata, serta beberapa zat dapat memicu penyakit jantung. Beberapa jenis zat pencemar dan pengaruhnya bagi kesehatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Zat pencemar yang mempengaruhi kesehatan

Jenis pencemar udara Pengaruhnya terhadap kesehatan

Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung, pusing, kematian, kelelahan dan sakit kepala *.

Sulfur dioksida (SO2) Iritasi sistem saluran pernapasan*, bronkitis dan

emfisema *** .

Nitrogen oksida (NOx) Kesulitan dalam bernapas*.

Hidrokarbon Mempengaruhi sistem pernapasan, beberapa jenis dapat menyebabkan kanker*

Oksigen fortokimia (O3) Memperbesar penyakit jantung dan pernapasan, iritasi

mata, iritasi kerongkongan dan (saluran pernapasan)**. Debu Pneumokoniosis** dan pernapasan, batuk, iritasi

kerongkongan dan dada tak enak*. Amonia (NH3) Iritasi saluran pernapasan****

Hidrogen sulfida (H2S) Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan serta

racun pada kadar tinggi****

Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernapasan, kanker *, kerusakan syaraf dan kematian***.

(14)

2.5 Valuasi

Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek (sumberdaya hutan) bagi individu tertentu pada tempat dan waktu tertentu. Masyarakat yang menerima manfaat secara langsung akan memiliki persepsi yang positif terhadap nilai sumberdaya. Menurut Soemarwoto (2004) semakin besar mutu lingkungan hidup yang diberikan kepada manusia maka akan semakin tinggi pula nilai lingkungan sebagai sumberdaya. Hutan merupakan ekosistem alami yang dianggap tidak berharga atau dihargai rendah (Djajadiningrat et al. 2011) sehingga perlu adanya upaya untuk menilai sumberdaya ini kedalam nilai rupiah untuk meningkatkan penerimaan di masyarakat. Penilaian terhadap sumberdaya penting untuk dilakukan, berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk mengetahui nilai suatu sumberdaya. Menurut King dan Mazzota (2004) diacu dalam Djajadiningrat et al. (2011) menyebutkan pendekatan nilai sumberdaya berbasis dolar terdiri dari 8 metode. Metode tersebut antara lain:

1. Metode harga pasar (Market Price Method)

Merupakan metode dengan cara menaksir untuk produk atau jasa ekosistem yang diperjualbelikan di pasar komersial.

2. Metode produktivitas (Productivity Method)

Menaksir nilai ekonomi untuk produk atau jasa ekosistem yang berperan untuk produksi barang-barang yang secara komersial diperjualbelikan.

3. Metode harga Hedonik (Hedonic Pricing Method)

Menaksir produk atau jasa ekositem yang secara langsung mempengaruhi harga pasar suatu barang.

4. Metode biaya perjalanan (Travel Cost method)

Menaksir produk atau jasa ekosistem yang dihubungkan dengan lokasi atau berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mencapai lokasi tersebut.

(15)

6. Metode penilaian ketidaktentuan (Contingent valuation method)

Menaksir nilai-nilai ekonomi dengan menanyakan responden secara langsung tentang kesediaan membayar mereka untuk membayar jasa lingkungan spesifik, berdasarkan pada suatu skenario hipotesis.

7. Metode pilihan ketidaktentuan (Contingent Choice Method)

Penaksiran nilai jasa dan produk ekosistem berdasarkan pada hasil wawancara dengan responden berikan untuk menghargai karakteristik atau jasa ekosistem. 8. Metode perpindahan manfaat (Benefit Transfer Method).

Menaksir nilai-nilai ekonomi dengan menggunakan hasil studi perkiraan manfaat ekosistem yang telah dilakukan disuatu tempat.

Menurut Santosa (2005) ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk memberikan nilai terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Penilaian yang digunakan antara lain penilaian langsung, penilaian pengganti, kesediaan membayar atau pengeluaran potensial. Penjabaran penilaian tersebut antara lain:

a. Penilaian langsung

Penilaian ini didasarkan pada harga pasar atau produktivitas. Ada dua pendekatan yang digunakan dalam metode ini yaitu pendekatan yang menyangkut produktivitas yang berubah karena perubahan kondisi lingkungan dan hilangnya pendapatan karena perubahan kondisi lingkungan. Selain itu metode ini juga menggunakan pendekatan dengan menghitung pengeluaran untuk mencegah dampak negatif dari pencemaran lingkungan. b. Penilaian pengganti

Metode ini menggunakan informasi pasar secara tidak langsung. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam metode ini yaitu nilai rumah, perbedaan tingkat upah, biaya perjalanan dan harga barang yang dipasarkan sebagai biaya yang mendekati untuk barang yang tidak dipasarkan.

c. Kesediaan membayar atau pengeluaran potensial

(16)
(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Gunung Putri Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor yang dilakukan di dua lokasi yaitu dilakukan di Rukun Warga (RW) 06 yang akan mewakili lokasi dengan kerapatan vegetasi tinggi dan Rukun Warga (RW) 03 yang akan mewakili kerapatan vegetasi rendah. Penelitian dilakukan pada bulan Juli- Agustus 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuks mendukung penelitian ini adalah roolmeter, pita ukur, hagahypsometer, tally sheet, HemisphericalView Canopy Analyzer dan kuesioner.

3.3 Jenis Data

Data yang diambil terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan, pengukuran serta wawancara di lapangan. Data sekunder dikumpulkan sebagai data penunjang penelitian.

3.3.1 Jenis data untuk mengetahui pencemaran di lokasi penelitian

Jenis data untuk mengetahui pencemaran di lokasi penelitian merupakan data sekunder yang diambil dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Bogor dan studi literatur terhadap penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya. Data pencemaran yang terdapat di lokasi penelitian berupa pencemaran udara ambien yang terjadi di lokasi penelitian. BLHD Kabupaten Bogor melakukan pemantauan udara setiap enam bulan sekali. Lokasi pemantauan udara yang dilakukan BLH dan dekat dengan lokasi penelitian antara lain di depan Pintu Tol Gunung Putri dan di Kawasan CCIE Cietereup.

3.3.2 Jenis data untuk mengetahui potensi kemampuan pekarangan dalam menjerap dan menyerap zat pencemar

(18)

tajuk dan leaf area index (LAI). Data sekunder berupa hasil penelusuran pustaka penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mendukung penelitian.

Pengukuran parameter vegetasi dilakukan untuk mengetahui kerapatan vegetasi yang terdapat di kedua lokasi penelitian sehingga terlihat jelas perbedaan kerapatan vegetasi. Pengukuran parameter vegetasi berupa luas proyeksi tajuk, luas tajuk dan leaf area index (LAI) dilakukan untuk mengetahui kemampuan pekarangan dalam mereduksi zat pencemar yang terjadi di lokasi penelitian. Kriteria pohon yang digunakan merupakan hasil modifikasi Wyatt- Smith (1963) yang diacu dalam Soerianegara dan Indrawan (2002) yaitu tumbuhan berkayu yang mempunyai batang utama dengan dahan dan ranting jauh di atas tanah serta mempunyai diameter diatas 10 cm. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Prasetyo (2007) di Desa Jabon Parung, Kabupaten Bogor.

Pengklasifikasian kerapatan vegetasi pada lokasi penelitian didasarkan pada perhitungan kerapatan pohon dan dilakukan secara visual yang terdapat di lokasi penelitian. Pengklasifikasian kerapatan secara visual dilakukan dengan mengamati secara umum keberadaan fisik pohon pada kedua lokasi penelitian. Semakin banyak jumlah pohon yang terdapat di lokasi penelitian maka lokasi penelitian semakin rapat. Pengklasifikasi tingkat kerapatan pohon juga dilakukan dengan menghitung kerapatan pohon per hektar sehingga akan diperoleh RW yang mempunyai kerapatan vegetasi tinggi dan RW dengan kerapatan vegetasi rendah.

3.3.3 Data untuk mengetahui nilai ekonomi pekarangan

Pencemaran yang terjadi di sekitar lokasi penelitian diduga menimbulkan berbagai penyakit yang mengganggu kesehatan manusia (Satriyo 2008). Dampak pencemaran terhadap kesehatan manusia menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih untuk dampak pencemaran ini. biaya tersebut meliputi biaya untuk pengobatan, biaya untuk pencegahan (preventif) dari penyakit dan pendapatan yang hilang karena sakit.

(19)

Data yang ditanyakan berupa penyakit yang diduga akibat pencemaran udara selama satu tahun terakhir, jenis penyakit yang diderita selama satu tahun terakhir, pengobatan yang diakukan, lokasi berobat, pekerjaan, rata-rata penghasilan dalam 1 hari, tindakan pencegahan yang dilakukan agar terhindar dari penyakit, rata-rata hari kerja yang ditinggalkan karena sakit. Data sekunder diperoleh dengan studi laporan tahunan Puskesmas Keranggan yang menjadi rujukan masyarakat Desa Gunung Putri untuk berobat serta biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk berobat.

3.3.4 Persepsi masyarakat terhadap pekarangan

Jenis data yang dibutuhkan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang permasalahan lingkungan dan pekarangan diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner kepada responden. Selain itu karakteristik sosial masyarakat juga dicatat sebagai data pendukung. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepedulian masyarakat terhadap vegetasi yang ada di pekarangan. Jumlah responden yang akan digunakan adalah 30 orang untuk masing-masing RW. Data sekunder yang dibutuhkan untuk mendukung berupa data demografi Desa Gunung Putri yang diperoleh dari kantor desa serta data kesehatan masyarakat yang diperoleh dari dari Puskesmas Kecamatan Gunung Putri.

3.3.5 Valuasi

Penghitungan valuasi hutan kota di lakukan dengan metode perpindahan manfaat (benefit transfer method) dan metode produktivitas (productivity method) (Djajadiningrat 2011).

3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Penentuan lokasi penelitian

Lokasi penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan kriteria seperti berikut:

1. Kerapatan vegetasi yang berbeda

(20)

2. Arah angin yang sama dari sumber pencemar

Arah angin menjadi faktor penting dalam analisis daerah penerima pencemaran udara (Sofiati 2006). Arah angin dapat berpengaruh terhadap kadar pencemaran yang diterima oleh setiap tempat. Arah dan kecepatan angin akan menyebarkan zat pencemar secara konveksi (Satriyo 2008). 3. Jarak yang sama dari sumber pencemaran

Debu dari sumber pencemar akan menyebar di daerah sekitar. Jarak antara lokasi dengan sumber pencemars akan mempengaruhi kadar pencemaran yang akan diterima oleh lokasi tersebut.

Ketiga kriteria di atas dapat digambarkan dengan sketsa pada Gambar 3.

Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri dipilih karena lokasi ini merupakan kawasan padat perindustrian, pemukiman dan transportasi. Desa ini juga berbatasan dengan pabrik industri semen dengan kapasitas produksi 3,1 ton pertahun yaitu PT. Indocement Tunggal Perkasa, Tbk (PT. Indocement 2010). Penggunaan Desa Gunung Putri sebagai lokasi penelitian diharapkan dapat mewakili kawasan industri. Pemilihan sampel lokasi penelitian RW 06 diharapkan dapat mewakili lokasi dengan kerapatan vegetasi tinggi dan RW 03 diharapkan apat mewakili lokasi dengan kerapatan vegetasi rendah.

Pemilihan sampel pekarangan menggunakan SPPT-PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang - Pajak Bumi Bangunan) 2012 Desa Gunung Putri kemudian dari SPPT dikelompokkan menjadi tipe pekarangan dengan luas 1-500 m2, 501-1000 m2, 1001-2000 m2 dan >2000 m2 (Prasetyo 2006).

Gambar 3 Sketsa kriteria lokasi penelitian.

Sumber pencemar

Lokasi kerapatan vegetasi rendah

RW 03

Lokasi kerapatan vegetasi tinggi

RW 06

1 km

(21)

Pengambilan sampel akan dilakukan sebanyak 10% dari jumlah masing-masing kelompok luasan pekarangan pengambilan sampel ini sesuai dengan panelitian yang dilaksanakan Prasetyo (2007). Pada penelitian ini analisis vegetasi dilakukan pada sepuluh pekarangan RW 03 dengan luasan 0-500 m2 dan lima pekarangan dengan luasan 501-1000 m2 sedangkan di atas 1000 m2 tidak terdapat di RW 03. Pekarangan yang digunakan di RW 06 berjumlah 19 sampel pekarangan dengan luas 0-500 m2, tiga sampel pekarangan dengan luasan 501-1000 m2, tiga sampel pekarangan dengan luasan 1001-2000 m2 serta satu sampel pekarangan dengan luasan lebih dari 2001 m2 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

3.4.2 Pengukuran parameter vegetasi

Pengukuran parameter vegetasi dilakukan pada pekarangan yang sudah terpilih sebagai sampel. Pengukuran parameter vegetasi dilakukan untuk pohon dengan diameter diatas 10 cm hal ini sesuai dengan Wyatt- Smith (1963) yang diacu dalam Soerianegara dan Indrawan (2002). Parameter vegetasi yang diukur berupa luas proyeksi tajuk, leaf area index (LAI) dan tinggi pohon. Kerapatan daun berhubungan erat dengan kemampuan pekarangan dalam mereduksi zat pencemar terutama partikel debu (Sitompul 1995 diacu dalam Septiyani 2010). Kerapatan daun yang semakin tinggi akan menyebabkan total luas daun juga akan semakin tinggi.

(22)

3.4.3 Dampak pencemaran udara terhadap masyarakat

Pencemaran udara yang terjadi di lingkungan akan mempengaruhi kualitas udara dan kesehatan masyarakat sehingga pengambilan data ini bertujuan untuk mengetahui dampak pencemaran udara bagi kesehatan masyarakat. Pengambilan data ini berupa biaya pengobatan yang dilakukan masyarakat, pencegahan dari sakit yang serta pendapatan yang hilang karena sakit yang diduga karena pencemaran udara. Metode pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner kepada 30 orang setiap RW sehingga jumlah total responden berjumlah 60 orang. Selain itu pengambilan data juga dilakukan dengan penelusuran data di Puskesmas Kecamatan Gunung Putri dan di Kantor Desa Gunung Putri. Kriteria responden yang digunakan adalah responden tersebut tidak bekerja sehari-hari di sumber pencemar yaitu pabrik semen. Hal ini disebabkan karena orang yang sudah bekerja sehari-hari di sumber pencemar (pabrik semen) akan terpapar zat pencemar terlebih dahulu sebelum berada di rumah.

3.4.4 Persepsi masyarakat terhadap permasalahan lingkungan dan pekarangan

Pengambilan data ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran persepsi masyarakat tentang masalah lingkungan dan keberadaan pekarangan. Metode pangambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner kepada masyarakat yang bertempat tinggal di RW 03 dan RW 06. Jumlah responden yang digunakan yaitu 60 responden dari kedua lokasi penelitian. Responden diminta memberikan tanggapan terkait dengan permasalahan lingkungan dan keberadaan pekarangan yang merupakan salah satu bentuk RTH.

3.5 Pengolahan dan Analisis Data

3.5.1 Potensi pencemaran yang terdapat di lokasi penelitian

(23)

3.5.2 Potensi kemampuan pekarangan dalam mereduksi zat pencemar

Potensi kemampuan pekarangan mereduksi pencemaran dapat dilakukan dengan pendugaan data. Data yang diambil berupa parameter vegetasi yang diduga mempengaruhi konsentrasi zat pencemar. Parameter vegetasi tersebut antara lain Luas proyeksi tajuk, LAI dan tinggi pohon. Analisis data yang digunakan untuk parameter vegetasi yaitu:

a. Luas proyeksi tajuk

Penghitungan luas proyeksi tajuk menggunakan Ms excel. Menurut Loveless (1989) diacu dalam Septiyani (2010) rumus yang digunakan untuk analisis luas proyeksi tajuk yaitu

Luas Proyeksi Tajuk (m2) = Dengan pengertian:

 : Konstanta hitung (3,14 atau ) D1 : Tajuk terpanjang (m)

D2 : Tajuk terpendek (m) b. Leaf Area Index (LAI)

LAI merupakan perbandingan luas penampang daun dengan luas tanah yang ditutupi Campbell (1986),Wood (2001) diacu dalam Septiyani (2010). Analisis data ini menggunakan Hemiview 2.1 Canopy Analysis Software. Hemiview ditempatkan di bawah tajuk pohon dengan mencakup seluruh tajuk pohon kemudian memotret tajuk pohon tersebut.

a b

(24)

c. Luas tajuk

Luas tajuk merupakan salah satu parameter vegetasi yang diduga akan mempengaruhi konsetrasi zat pencemar di udara. Perhitungan luas tajuk menggunakan Ms excel. Rumus yang digunakan yaitu:

Luas tajuk = Luas proyeksi tajuk x LAI d. Kerapatan vegetasi

Perhitungan kerapatan pohon digunakan untuk mengetahui perbedaan kerapatan pohon di kedua lokasi penelitian. Perhitungan ini menggunakan Ms excel dengan rumus:

Kerapatan pohon = Dengan pengertian: N: jumlah pohon L : luas area (hektar)

e. Potensi penyerapan pekarangan

Perhitungan ini menggunakan data sekunder hasil penelitian sebelumnya. Rumus yang digunakan menurut Dahlan (2004) yaitu

B = luas tajuk pohon di lokasi penelitian x serapan zat pencemar oleh tajuk pohon.

Data penyerapan zat pencemar oleh tajuk yang dimaksud menggunakan data sekunder hasil penelitian Smith (1981) diacu dalam Dahlan (2004).

3.5.5 Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan manusia

Pendugaan nilai dampak pencemaran udara dapat dianalisis menggunakan pendugaan jumlah penderita dan hilangnya pendapatan karena sakit. Nilai ini menurut Fuady (2003) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Biaya pengobatan = Jumlah warga penyakit a x biaya pengobatan penyakit a Biaya Pencegahan = Tindakan pencegahan x jumlah warga yang melakukan x

biaya yang dikeluarkan

Hilangnya pendapatan = jumlah warga x rata-rata jumlah hari kerja yang ditinggalkan pada pekerjaan b x gaji per hari

(25)

dengan asumsi ini pasien sudah sembuh (Asrafy 2008). Standar pengobatan yang digunakan merupakan standar pengobatan di rumah sakit swasta dengan menggunakan obat generik. Biaya pencegahan merupakan kesediaan membayar oleh masyarakat untuk tetap menjaga kesehatan. Perhitungan biaya ini dilakukan dengan menggunakan harga standar vitamin yang sering digunakan oleh masyarakat.

Perhitungan pendapatan yang hilang dihitung berdasarkan pada hari kerja yang ditinggalkan. Jenis penyakit yang berbeda membutuhkan waktu penyembuhan yang berbeda selain itu kecepatan sembuh juga dipengaruhi oleh kondisi masing-masing penderita. Melihat kondisi ini maka hari kerja yang ditinggalkan dihitung 1 hari yaitu hari yang ditinggalkan untuk berobat (Fuady 2003). Standar gaji yang digunakan untuk karyawan adalah UMR (Upah minimum regional) Kabupaten Bogor sedangkan wiraswasta diasumsikan sama dengan pendapatan pedagang kelontong karena rata-rata penduduk di kedua RW ini adalah pedagang kelontong.

3.5.6 Valuasi pekarangan

Penghitungan valuasi pekarangan dapat dilakukan dengan mencari selisih nilai dari dua lokasi penelitian yang berbeda (Santosa 2005). Perbedaan ini dilihat dari dampak pencemaran yang terdapat di lokasi penelitian dengan vegetasi rapat dan vegetasi yang tidak rapat. Nilai berupa biaya dampak pencemaran udara yang meliputi biaya pengobatan, biaya pencegahan terhadap penyakit serta pendapatan yang hilang akibat penyakit. Nilai yang dihasilkan berupa nilai relatif vegetasi dimana nilai ini akan terus berubah sesuai dengan manfaat ekologi yang diberikan oleh vegetasi tersebut. Nilai ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

VP= Z1 - Z Dengan pengertian :

VP = Nilai ekonomi pekarangan

(26)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas 4.1.1 Desa Gunung Putri

Desa Gunung Putri merupakan salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Kecamatan Gunung Putri dibagi menjadi 10 desa yaitu Desa Cicadas, Desa Tanjung Udik, Desa Bojong Nangka, Desa Gunung Putri, Desa Wanaherang, Desa Bojong Kulur, Desa Ciangsana, Desa Nagrak, Desa Cikeas Udik dan Desa Keranggan. Desa Gunung putri mempunyai luas wilayah 244 ha. Secara administrasi desa ini terdiri dari 46 RT, 14 RW dan 4 Kadus. Desa Gunung Putri berjarak 15 km dari ibu kota Kecamatan Wanaherang, 27 Km dari ibukota Kabupaten Cibinong serta 16 km dari ibu kota negara Jakarta (Kantor Desa Gunung Putri 2012). Secara geografi batas Desa Gunung Putri ini yaitu

 Utara : Desa Tlajung Udik  Selatan : Desa Citereup  Barat : Desa Kranggan  Timur : Desa Klapa Nunggal.

4.1.2 Letak dan luas RW 03 dan RW 06.

RW 03 dan RW 06 merupakan wilayah di Desa Gunung Putri. Luas RW 03 mencapai 2,934 ha sedangkan untuk RW 06 luas mencapai 16 ha (SPPT 2012). Letak kedua lokasi ini tidak jauh dari kantor desa hanya berjarak kurang lebih 1 km dari kantor desa. Kedua RW ini dipisahkan oleh Jalan Raya Mayor Oking yang menghubungkan kecamatan Citeureup dan Kecamatan Gunung Putri. Kedua RW berbatasan langsung dengan Desa Citereup dan berjarak 1 km dari pabrik semen.

4.2 Kondisi Fisik

4.2.1 Desa Gunung Putri

(27)

pada 34,0 0C dan kelembapan udara sebesar 42,70% serta curah hujan 231,7 mm per bulan dengan arah angin dominan pada saat penelitian ke arah barat daya. Lahan di desa ini sebagian besar digunakan untuk perumahan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor penggunaan lahan untuk lahan non pertanian (pemukiman, kantor, industri dll) adalah sebesar 217 ha dan untuk pekarangan 27 (Septiyani 2010).

Desa ini membangun berbagai fasilitas untuk kemajuan desa. Fasilitas umum yang terdapat di desa ini yaitu sarana pendidikan, kesehatan, sarana ibadah. Fasilitas umum yang ada di desa ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Fasilitas umum Desa Gunung Putri tahun 2011

Jenis Pelayanan Pendidikan Jumlah Pendidikan TK/ Sederajat 1

Sumber: Kantor Desa Gunung Putri (2012)

4.2.2 Rukun Warga 03 dan Rukun Warga 06

Topografi kedua lokasi penelitian berupa dataran. Kondisi vegetasi dan kepadatan penduduk yang membedakan kedua lokasi penelitian ini. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan kerapatan vegetasi di RW 03 hanya berkisar 9 pohon per ha dengan luas bidang dasar 99,87 m2 per ha. RW 06 mempunyai kerapatan vegetasi yang lebih tinggi yaitu 88 pohon per ha dengan luas bidang dasar 1140,63 m2 per ha.

(28)

a b

Gambar 5 Kondisi umum lokasi penelitian (a) RW 06; (b) RW 03.

4.3 Kependudukan

Penduduk Desa Gunung Putri pada bulan April tahun 2012 mencapai 15.010 jiwa yang terdiri dari warga negara asli sebanyak 14.951 jiwa serta 59 jiwa warga keturunan. Struktur umur penduduk di Desa Gunung Putri sebagian besar pada usia produktif yaitu 15-54 sebanyak 10.611 jiwa untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah penduduk berdasar kelas umur dan jenis kelamin Desa Gunung Putri April 2012

Kelompok Umur (tahun)

Laki-laki Perempuan Jumlah % n (jiwa) % n (jiwa) % n (Jiwa) 0-14 21,2 1.587 25,81 1.942 23,51 3.529 15-54 73,11 5.472 68,28 5.139 70,69 10.611 >55 5,69 426 5,9 444 5,8 870 Jumlah 100 7.,485 99.99 7.525 100 15.010 Sumber : Kantor Desa Gunung Putri (2012).

Tabel 4 menunjukkan penduduk usia produktif di Desa Gunung Putri mencapai 70,69 % dari total penduduk yang ada. Hal ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi di Desa Gunung Putri tersebut karena sebagian besar penduduknya merupakan usia produktif.

(29)
(30)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pencemaran Udara yang Terjadi di Lokasi Penelitian 5.1.1 Potensi pencemaran yang terjadi di lokasi penelitian

Kualitas udara dapat diketahui dengan membandingkan hasil pengukuran dengan kualitas udara baku yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Pencemaran udara yang terjadi di lokasi penelitian dapat dilihat dari hasil pemantauan dan pengujian kualitas udara yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak di antara dua lokasi pemantaun yang dilakukan oleh BLHD yaitu di depan pintu Tol Gunung Putri serta kawasan CCIE Citeureup. Potensi pencemaran yang terbesar adalah pencemaran udara karena partikel debu atau total suspended particle (TSP) yang melebihi batas baku mutu udara yaitu sebesar 158,10 µg/Nm2 hingga 879.10

µg/Nm2. Hasil pemantauan udara oleh BLHD Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pemantauan udara BLHD Kabupaten Bogor semester 1 tahun 2012

Parameter Unit Baku mutu Pengukuran PPRI No.

Sumber : BLHD Kabupaten Bogor (2012)

(31)

Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan oleh Septiyani pada tahun 2010 sebelumnya potensi pencemaran yang terjadi di Desa Gunung Putri pada jarak 1000 meter dengan pengujian di beberapa titik vegetasi dapat dilihat pada Tabel 6. Jarak ini sesuai dengan kondisi RW 03 dan RW 06 yang berjarak 1000 m dari sumber pencemar yang dijadikan sebagai titik acuan. Pengukuran pada titik yang tidak ada vegetasi dan tidak rindang menggambarkan kondisi RW 03 dengan kondisi vegetasi yang mempunyai kerapatan pohon 9 pohon per hektar. Pengukuran pada titik rindang dan sangat rindang menggambarkan kondisi RW 06 yang mempunyai kerapatan vegetasi 88 pohon per hektar.

Tabel 6 Konsentrasi partikel debu Desa Gunung Putri tahun 2009 pada jarak

Keterangan : *) Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999.

Besarnya konsentrasi debu di Desa Gunung Putri disebabkan oleh beberapa faktor. Aktivitas produksi pabrik semen merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pencemaran udara. Selain itu aktivitas distribusi hasil produksi mengakibatkan arus lalu lintas transportasi cukup padat menyebabkan konsentrasi zat pencemar terutama debu akan semakin meningkat (Yusad 2003).

5.1.2 Potensi kemampuan pekarangan dalam mereduksi zat pencemar 5.1.2.1 Pengaruh parameter vegetasi dalam mereduksi zat pencemar

(32)

RW 03 dapat dikatakan rendah karena hanya berkisar 9 pohon per ha. RW 06 mempunyai kerapatan vegetasi yang lebih tinggi yaitu 88 pohon per ha.

Jenis pohon mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menjerap dan menyerap zat pencemar. Berdasarkan Iwan (2011) diacu dalam Santoso (in press) tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menyerap polutan secara umum mempunyai ciri yang serupa. Ciri tersebut antara lain tanaman memiliki tajuk yang rimbun, tidak gugur daun, tanaman tinggi. Pohon yang terdapat di pekarangan mempunyai kemampuan dalam mereduksi zat pencemar.

Parameter vegetasi seperti luas proyeksi tsajuk, leaf area index dan tinggi pohon yang terdapat di pekarangan diduga dapat mempengaruhi kemampuan vegetasi dalam mereduksi zat pencemar (Septiyani 2010). Hasil pengukuran parameter vegetasi dikedua lokasi penelitian ditunjukkan dengan Tabel 7.

Tabel 7 Hasil pengukuran parameter vegetasi di kedua lokasi penelitian

Lokasi

Vegetasi dapat mereduksi dengan baik zat pencemar apabila terdapat pohon dengan tajuk yang rindang hal ini sesuai dengan pernyataan Irwan (1994) fungsi hutan kota akan lebih efektif apabila banyak vegetasi yang membangun hutan kota. Hal ini dapat diterjemahkan ketika banyak pohon di pekarangan maka fungsi pekarangan akan lebih efektif dalam menyerap dan menjerap zat pencemar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan LAI yang ditunjukkan oleh pohon di RW 03 dengan LAI 0,82 dan RW 06 1,12 cukup kecil hal ini disebabkan karena perhitungan jenis pohon yang berada di kedua lokasi hampir sama yaitu jambu air, mangga dan rambutan. Pengambilan data LAI di kedua lokasi penelitian dilakukan per pohon sehingga memperlihatkan rata-rata LAI masing-masing pohon. Luas tajuk mempunyai hubungan yang erat dengan LAI dimana LAI merupakan perbandingan antara luas proyeksi tajuk dan LAI.

(33)

dengan mengalikan LAI dengan luas proyeksi tajuk, sehingga diperoleh luas tajuk untuk masing-masing lokasi penelitian. Berdasarkan Wood (2001) diacu dalam Wawo (2010) menyebutkan LAI merupakan perbandingan luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi. Penelitian Wawo (2010) menunjukkan bahwa pohon dengan LAI yang lebih besar akan mampu menurunkan konsentrasi zat pencemar yang lebih besar sehingga dapat dijelaskan bahwa dengan semakin besar luas tajuk maka kemampuan pohon dalam mereduksi zat pencemar juga akan semakin tinggi.

Berdasarkan Septiyani (2010) menjelaskan bahwa korelasi antara parameter vegetasi dengan partikel di udara mempunyai korelasi yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai dari parameter vegetasi maka konsentrasi zat pencemar terutama partikel debu akan semakin rendah. Penelitian Septiyani menunjukkan bahwa parameter vegetasi berupa LAI dan tinggi pohon sangat mempengaruhi penurunan konsentrasi zat pencemar di udara. Hal ini menunjukkan bahwa dengan luas tajuk yang luas maka konsentrasi zat pencemar juga akan semakin berkurang.

5.1.2.2 Kemampuan pekarangan dalam mereduksi zat pencemar

Kemampuan daun pohon dalam mereduksi zat pencemar bervariasi hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Menurut Smith (1981) diacu dalam Dahlan (2004) faktor tersebut antara lain daya kelarutan polutan di dalam air atau cairan sel, kelembaban lingkungan di sekitar daun, intensitas cahaya matahari, kedudukan daun, SO2 dan NO2 mampu diserap dalam keadaan gelap sedangkan laju

penyerapan akan berkurang jika dalam keadaan terang. Kemampuan vegetasi di lokasi penelitian dalam mereduksi zat pencemar dapat dilihat dalam Tabel 8. Tabel 8 Kemampuan serapan zat pencemar oleh pekarangan

No. Jenis

(34)

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa kemampaun vegetasi menyerap zat pencemar pada RW 06 lebih tinggi yaitu sebesar 37.542.529,44 g/jam dari RW 03 sebesar 2.866.879,35g/jam. Hal ini disebabkan karena luas tajuk di RW 06 lebih luas dibandingkan di RW 03. Luas tajuk RW 06 dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi di wilayah tersebut. Kemampuan vegetasi dalam menyerap zat pencemar akan mengurangi gangguan kesehatan bagi manusia. Melihat kemampuan vegetasi dalam mereduksi pencemaran yang terjadi maka keberadaan pekarangan akan sangat bermanfaat bagi masyarakat dan perlu dijaga keberadaanya. Menjaga keberadaan pekarangan yang merupakan bagian dari RTH merupakan pendekatan planologis yaitu upaya pencegahan pencemaran lingkungan dengan penataan fisik. Penataan ini penting dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman serta sehat (Kristanto 2004).

Berdasarkan hasil pemantauan dari BLHD Kabupaten Bogor emisi partikel debu di Desa Gunung Putri sudah melebihi batas baku mutu udara sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat. Partikel debu akan berbahaya bagi kesehatan karena partikel debu mengakibatkan beberapa penyakit dan dapat memicu munculnya beberapa penyakit. Penyakit yang disebabkan karena partikel debu antara lain batuk, iritasi kerongkongan, kanker serta akan memperberat penyakit jantung (Satriyo 2008).

Penelitian Septiyani (2010) dan Wawo (2010) menunjukkan bahwa keberadaan pohon di pekarangan dapat mengurangi pencemaran udara terutama debu. Berdasarkan Karyono (2005) pohon sangat membantu bagi kesehatan manusia, disamping menyerap gas polutan dan debu di udara juga menghasilkan gas oksigen yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia Jumlah penderita penyakit yang diduga karena pencemaran udara pada RW 06 lebih sedikit dibandingkan dengan warga RW 03. Hal ini menunjukkan manfaat ekologis adanya pekarangan bagi masyarakat.

5.2 Dampak Pencemaran Udara

5.2.1 Korelasi parameter vegetasi dengan kesehatan masyarakat

(35)

menunjukkan bahwa LAI dan tinggi pohon merupakan parameter vegetasi yang mempunyai korelasi negatif dengan konsentrasi zat pencemar. LAI merupakan perbandingan antara luas proyeksi tajuk dan luas tajuk, sehingga semakin tinggi LAI maka tajuk pohon akan semakin luas. Hal ini akan meningkatkan penjerapan dan penyerapan partikel debu di udara oleh pekarangan akan semakin tinggi. Partikel debu merupakan salah satu zat pencemar yang akan memengaruhi kesehatan masyarakat sehingga dengan adanya pekarangan dapat mengurangi kadar debu di udara (Wardhana 2004).

5.2.2 Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan masyarakat

Potensi pencemaran yang terdapat di lokasi penelitian akan mempengaruhi kesehatan masyarakat. Gangguan kesehatan ini akan dialami oleh semua orang baik laki-laki, perempuan, anak-anak maupun dewasa akan berpotensi terkena penyakit yang disebabkan karena pencemaran udara ini. Hal ini disebabkan oleh semua orang membutuhkan O2 dari udara yang sama sedangkan kondisi udara

yang ada sudah tercemar. Ada tiga cara masukkanya bahan pencemar udara ke tubuh manusia yaitu melalui sistem pernapasan atau inhalasi, melalui sistem pencernaan ingestasi dan penetrasi kulit (Budiyono 2001).

Jenis zat pencemar akan memberikan pengaruh yang berbeda untuk kesehatan. Zat pencemar yang banyak terjadi di lokasi penelitian adalah debu sehingga penyakit yang banyak terjadi di lokasi penelitian adalah jenis penyakit yang disebabkan karena debu. Gangguan kesehatan dari zat pencemar ini tergantung dari ukuran yang terhembus ke udara. Menurut Budiyono (2001) pada tingkat konsentrasi tertentu zat pencemar akan berakibat langsung terhadap kesehatan baik secara mendadak atau akut, menahun atau kronis dengan gejala-gejala yang samar. Gejala ini biasanya dimulai dari iritasi saluran pernapasan, iritasi mata hingga timbulnya kanker paru-paru.

(36)

Sumber : Puskesmas Kecamatan Gunung Putri (2011).

Gambar 6 Sepuluh penyakit terbesar Desa Gunung Putri dan Desa Keranggan. Berdasarkan Gambar 6 jenis penyakit gangguan pernapasan di duga akibat dari pencemaran udara yang terjadi di desa tersebut ISPA merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak di derita warga Desa Gunung putri. Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan tahunan dari tahun 2007 hingga 2011 Puskesmas Kecamatan Gunung Putri jumlah penderita penyakit ini mengalami fluktuasi dari tahun ketahun untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber : Puskesmas Kecamatan Gunung Putri (2007, 2008, 2009, 2010, 2011)

(37)

kesehatan yang dialami warga di kedua RW tersebut antara lain gangguan pernapasan, pusing, batuk dan iritasi mata. Gangguan kesehatan tersebut diduga karena adanya pencemaran udara. Jumlah warga, jenis penyakit dan jumlah kasusu yang terjadi per tahun yang diduga dampak dari pencemaran udara berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Pendugaan jumlah kasus dan jenis penyakit yang diduga karena pencemaran udara RW 03 dan RW 06 tahun 2012

No Jenis Penyakit Penderita

Rata-rata frekuensi

Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa jumlah kasus penyakit yang terjadi di RW 03 cukup tinggi yaitu sebanyak 192,04 kasus dengan kasus batuk merupakan jenis penyakit terbanyak yang terjadi yaitu 108,00 kasus. Jumlah kasus di RW 06 lebih rendah dibanding dengan RW 03 yaitu 56,79 kasus. Pendugaan jumlah kasus pertahun akan menggambarkan kasus yang terjadi setiap tahun di RW 03 dan RW 06.

(38)

Gambar 8 Pendugaan perbandingan jumlah kasus penyakit akibat pencemaran udara di RW 03 dan RW 06 tahun 2012.

RW 03 merupakan daerah dengan kerapatan vegetasi yang rendah sehingga potensi pencemaran udara akan mengganggu kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan sebagian besar responden sering mengalami batuk sebanyak 56 % dari seluruh kasus yang terjadi. Batuk merupakan jenis penyakit yang diduga karena pencemaran udara yang disebabkan oleh kadar debu di udara yang tinggi. Persentase gangguan kesehatan yang dialami oleh warga RW 03 dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Persentase penyakit yang diduga karena pencemaran udara warga RW 03 tahun 2012.

Jenis penyakit yang diduga karena pencemaran udara warga RW 06 tidak jauh berbeda dengan warga yang berada di RW 03. Hal ini disebabkan letak kedua lokasi ini yang berdekatan serta mempunyai jarak yang sama dengan sumber pencemar. Berdasarkan hasil wawancara gangguan kesehatan yang paling

(39)

banyak dialami adalah sakit kepala dan gangguan pernapasan sebanyak 33% dan 32% dari seluruh kasus yang terjadi. Jenis penyakit dan persentase warga RW 06 yang mengalami gangguan kesehatan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Persentase penyakit yang diduga karena pencemaran udara warga RW 06 tahun 2012.

Mengacu pada Tabel 9 maka dugaan terhadap jumlah kasus penyakit per kapita yang terkena dampak pencemaran udara akan dapat dihitung. Kasus perkapita ini akan menggambarkan peluang sakit setiap orang dalam satu tahun. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 10.

Tabel 10 Pendugaan jumlah kasus penyakit karena dampak pencemaran udara di RW 03 dan RW 06 tahun 2012

Jenis penyakit Jumlah kasus per tahun kasus per kapita RW 03 RW 06 RW 03 RW 06 Sakit kepala 56,04 19,00 1,87 0,63 Gangguan pernapasan 6,00 17,99 0,20 0,60 Batuk 108,00 7,80 3,60 0,26 Iritasi mata 22,00 12,00 0,73 0,40

Pelupa 0,00 0,00 0,00 0,00

Tidak sakit 0,00 0,00 0,00 0,00 Jumlah total 19,04 56,79 6,40 1,89

Tabel 10 memperlihatkan bahwa jumlah kasus penyakit karena dampak pencemaran udara di RW 03 lebih tinggi yaitu 192,04 kasus di bandingkan dengan RW 06 sebanyak 56,79 kasus penyakit. Jumlah kasus pertahun ini akan mempengaruhi kasus per kapita masing-masing RW. Berdasarkan Tabel 10

Sakit kepala 33%

Gangguan pernapasan

32% Batuk

14%

(40)

terlihat bahwa peluang sakit setiap orang RW 03 lebih tinggi yaitu sebanyak 6,04 kasus setiap tahun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi vegetasi, lokasi tempat bekerja atau lokasi aktivitas keseharian. Wawancara di lakukan kepada responden dengan lokasi kerja di luar dari sumber pencemar sehingga faktor tempat bekerja untuk penelelitian ini dapat diabaikan. Responden yang bekerja di sumber pencemar secara langsung akan terpapar dengan zat pencemar.

5.2.3 Biaya pengobatan sebagai dampak pencemaran udara

Pengobatan merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh ketika mengalami gangguan kesehatan. Penyakit yang diduga diakibatkan oleh pencemaran udara dapat menyerang kepada seluruh masyarakat baik laki-laki perempuan bahkan juga anak-anak sehingga biaya pengobatan yang harus dikeluarkan sama. Biaya pengobatan ini sebagai bentuk kerugian ekonomi dalam jangka pendek. Kerugian ekonomi dalam jangka panjang akibat pencemaran udara ini yaitu timbulnya masalah sosial ekonomi keluarga dan masyarakat (Budiyono 2001)

Pengobatan penyakit yang diduga disebabkan oleh pencemaran udara yang terjadi di RW 03 dan RW 06 dapat dihitung dengan menggunakan standar pengobatan dari salah satu rumah sakit swasta di Bogor dengan menggunakan obat generik. Perhitungan biaya pengobatan akan memperlihatkan biaya yang harus disediakan oleh masyarakat per kapita. Perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Pendugaan biaya pengobatan penyakit akibat pencemaran udara di RW 03 dan RW 06 Gunung Putri tahun 2012

Jenis penyakit Kasus per kapita

Biaya per Gangguan pernapasan 0,20 0,60 340.000 68.000 203.887 Batuk 3,60 0,26 347.000 1.249.200 90.220 Iritasi mata 0,73 0,40 360.000 264.000 144.000

Pelupa 0,00 0,00 0 0 0

(41)

Berdasarkan Tabel 11 memperlihatkan biaya pengobatan per kapita yang harus disediakan oleh warga RW 06 lebih rendah dibandingkan dengan warga RW 03. Biaya pengobatan per kapita per tahun warga RW 03 mencapai Rp 2.205.112,- atau tiga kali lipat pengobatan per kapita per tahun RW 06 hanya berkisar Rp 649.640,-. Biaya ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan pengeluaran untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara (Fuady 2003). Biaya yang semula disediakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena pencemaran udara masyarakat harus menyediakan biaya yang lebih untuk biaya pengobatan.

5.2.3 Biaya yang dikeluarkan untuk menjaga kesehatan

Berbagai zar pencemar yang terkandung di dalam udara akan berpotensi menimbulkan berbagai macam gangguan kesehatan. Upaya pencegahan untuk menghindarkan dari penyakit juga perlu untuk dilakukan. Berdasarkan hasil wawancara di RW 03 dan RW 06 terlihat 50% dan 40% warga melakukan upaya pencegahan. Upaya yang dilakukan antara lain dengan mengkonsumsi vitamin tambahan, menggunakan masker serta olah raga. Warga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk upaya pencegahan ini. Perhitungan biaya pencegahan ini dibuat dengan harga standar vitamin dan masker. Biaya yang harus disediakan oleh warga untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Pendugaan biaya pencegahan yang dikeluarkan oleh warga RW 03 dan RW 06 tahun 2012 Biaya pencegahan per kapita 303.000 162.400

(42)

Kondisi RW 03 yang mempuyai kerapatan vegetasi rendah sehingga tidak ada filter terhadap zat-zat pencemar. Hal ini menyebabkan udara yang ada banyak mengandung zat pencemar sehingga dibutuhkan biaya yang lebih untuk menjaga kesehatan karena pencemaran lingkungan. Biaya ini menunjukkan perubahan pengeluaran untuk menghindari polutan yang berbahaya (Fuady 2003).

5.2.4 Pendapatan yang hilang karena dampak pencemaran udara

Salah satu faktor yang memepengaruhi kondisi tubuh manusia adalah kualitas udara, yaitu dengan kondisi udara yang bersih maka kesehatan manusia akan semakin baik. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada warga di RW 03 dan RW 06 menunjukkan pendapatan warga yang hilang akibat sakit karena pencemaran udara di kedua lokasi tersebut dapat dihitung dengan banyaknya hari kerja yang ditinggalkan. Penghitungan pendapatan yang hilang didasarkan pada waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan. Dimana waktu yang dibutuhkan untuk sembuh masing-masing jenis penyakit berbeda. Hal ini tergantung kondisi badan manusia itu sendiri sehingga dalam perhitungan ini waktu kerja yang hilang dihitung hanya 1 hari yaitu waktu yang digunakan untuk berkunjung berobat.

Produktivitas kerja akan berpengaruh terhadap tingkat upah akibat berubahnya status kesehatan sehingga akan berakibat pada bertambah atau berkurangnya waktu kerja (Fuady 2003). Upah yang diterima akan berkaitan dengan jenis pekerjaan. Perhitungan pendapat warga yang hilang karena sakit akibat pencemaran udara dengan mengelompokkan jenis pekerjaan menjadi empat (4) kelompok yaitu pekerjaan sendiri (wiraswasta), PNS, karyawan serta tidak bekerja. Pengelompokan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Pendugaan jumlah kasus per tahun berdasarkan jenis pekerjaan RW 03 dan RW 06 tahun 2012

Jenis pekerjaan Jumlah responden Kasus perkapita

(43)

Perhitungan pendapatan yang hilang menggunakan standar pendapatan pedagang kelontong dan UMR (upah minimum regional). Pekerjaan sendiri menggunakan standar pendapatan pedagangan kelontong karena sebagian besar warga di lokasi penelitian merupakan pedagang kelontong. Standar gaji karyawan menggunakan UMR Kabupaten Bogor sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561/Kep-1540-bangsos/2011 tentang Upah Minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Barat yang menegaskan bahwa UMR Kabupaten Bogor sebesar Rp 1.174.200,-.. PNS dan tidak bekerja tidak dihitung karena kedua pekerjaan meskipun tidak sakit tidak ada pendapatn yang hilang. Kerugian yang ditimbulkan adalah pekerjaan tersebut harus digantikan oleh orang lain. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan pendapatan yang hilang RW 03 lebih besar dari RW 06 untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Pendugaan pendapat yang hilang per kapita RW 03 dan RW 06 tahun 2012 Pekerjaan sendiri 25,61 18,93 75.000 1.920.400 1.419.750 Karyawan 102,42 17,04 53.000 5.428.331 902.961

PNS 6,40 1,89 0 0 0

Tidak bekerja 57,61 18,93 0 0 0 Total 192,04 56,79 7.348.731 2.322.711

Pendapatan yang hilang per kapita 244.957,7 77.423,7

Berdasarkan pada Tabel 14 terlihat bahwa pendapatan yang hilang per kapita per tahun warga RW 03 mencapai Rp 244.957,7,-. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadinya perubahan tingkat upah karena berkurangnya produktivitas kerja.

5.3 Valuasi Pekarangan

(44)

pekarangan rumah yang menjadi filter dalam mereduksi sumber pencemar bagi penghuni rumah.

Pekarangan memberikan manfaat besar untuk lingkungan. Dari data hasil wawancara terlihat bahwa nilai ekonomi pekarangan sangat tinggi. Hasil perhitungan biaya yang harus dikeluarkan karena pencemaran udara dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Biaya yang harus disediakan RW 03 dan RW 06 tahun 2012 karena pencemaran udara tahun 2012

Biaya Dampak Pencemaran RW 03 (Rp.) RW 06 (Rp.) Biaya pengobatan 2.205.112 649.640 Biaya pencegahan 303.000 162.400 Pendapatan yang hilang 244.957,7 77.423,7 Total 2.753.069,7 889.463,7

Biaya yang harus disediakan per kapita per tahun oleh RW 03 akibat pencemaran udara yaitu sebesar Rp 2.753.069,7,- dan RW 06 sebesar Rp

889.463,7-. Perhitungan dengan pendekatan pendugaan jumlah kasus per kapita pertahun yang terkena dampak pencemaran udara adalah VP = Rp 2.753.069,7 - Rp 889.463,7 = Rp 1.863.606,-. Perhitungan biaya ini menunjukkan potensi biaya yang harus disediakan oleh pemerintah setiap tahunnya untuk setiap orang apabila akan memberikan biaya subsidi kesehatan.

5.4 Persepsi Masyarakat 5.4.1 Karakteristik responden

(45)

5.4.2 Persepsi masyarakat terhadap pekarangan

Persepsi masyarakat tentang pekarangan dapat dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan pada kedua lokasi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara terlihat bahwa 87 % responden di RW 03 dan 60% responden RW 06 sudah mengetahui bahwa pekarangan merupakan bagian dari ruang terbuka hijau. Pengetahuan masyarakat tentang pengertian pekarangan hanya apa yang dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat mengetahui tentang pekarangan merupakan lahan disekitar rumah.

Masyarakat belum mengetahui manfaat secara ekologi dari pekarangan. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa masyarakat melihat manfaat yang dapat dirasakan langung. Hal ini sesuai hasil wawancara dimana pengetahuan masyarakat tentang pekarangan ini tidak menghasilkan sikap masyarakat untuk mempertahankan keberadaan pekarangan. Berdasrkan hasil wawancara sebanyak 66% responden di RW 06 dan 67% responden di RW 03 lebih memilih menjadikan pekarangan sebagai kontrakan. Hal ini disebabkan oleh kondisi lokasi penelitian yang dekat dengan kawasan industri sehingga banyak penduduk pendatang yang mencari tempat tinggal di lokasi penelitian. Sebagian besar responden menyatakan bahwa ketika dibangun sebagai kontrakan akan lebih cepat dalam mendapatkan uang.

Pandangan masyarakat tentang manfaat pekarangan sudah baik dari 77 % responden sudah mengetahui keberadaan pohon di pekarangan akan mengurangi pencemaran udara. Selain itu juga responden merasakan kesejukan adanya vegetasi di pekarangan. Hal ini terlihat di RW 06 dimana pekarangan masyaraaat masih banyak yang ditanami berbagai macam tanaman baik tumbuhan buah maupun jenis tanaman yang lain.

5.4.3 Persepsi masyarakat terhadap permasalahan lingkungan

(46)

RW 06 lebih rapat darai pada RW 03. Kondisi vegetasi yang arapat akan menyerap dan menjerap zat pencemar lebih baik sehingga warga di RW 06 merasakan udara yang lebih sehat.

Sebanyak 50% responden RW 03 dan 70% responden RW 06 menyatakan setuju bahwa pencemaran udara akan mempengaruhi kesehatan masyarakat. Responden RW 03 lebih banyak yang menyatakan setuju karena kondisi RW 03 yang padat dengan bangunan dengan kerapatan pohon 8 pohon per hektar. Hal ini menyebabkan masyarakat di RW 03 banyak terganggu kesehatannya akibat pencemaran udara.

5.4.4 Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pohon di pekarangan

(47)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Valuasi pekarangan berdasarkan pendekatan biaya kesehatan yang dihitung per kapita per tahun di Desa Gunung Putri sebesar Rp 1.863.606,-. Nilai ekonomi ini dapat dikonversi ke jumlah penduduk yang sesuai dengan jumlah warga di suatu lokasi. Nilai ekonomi ini memperlihatkan nilai manfaat yang diberikan pekarangan setiap tahunnya dan akan bertambah setiap setiap tahunnya. Hal ini didukung karena Desa Gunung Putri merupakan salah satu desa yang berada di kawasan industri dengan ancaman pencemaran udara yang cukup tinggi. Kawasan industri yang terus berkembang setiap tahun akan menyebabkan peningkatan aktivitas transportasi karena distribusi hasil produksi pabrik. Hal ini akan meningkatkan pencemaran udara dari sumber begerak.

2. Keberadaan pekarangan dapat mengurangi tingkat pencemaran, sehingga diperlukan kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga atau bahkan meningkatkan fungsi pekarangan. Hal ini dapat dilakukan dengan menanam berbagai jenis tanaman yang disesuikan dengan ketersediaan lahan di sekitar rumah. Masyarakat sudah mengetahui manfaat keberadaan pohon di pekarangan. Pengetahuan ini belum diikuti dengan sikap warga untuk tetap menjaga keberadaan pekarangan. Hal ini terlihat dari keinginan masyakarat untuk membangun pekarangan menjadi rumah atau kontrakan yang langsung menghasilkan uang.

6.2 Saran

1. Dinas Kesehatan, Puskesmas Keranggan dan rumah sakit di sekitar Desa Gunung Putri perlu memperbanyak cadangan obat yang digunakan untuk pengobatan batuk dan gangguan pernapasan karena jenis penyakit ini yang paling banyak dialami oleh warga Desa Gunung Putri.

(48)

hubungan antara konsentrasi polutan di udara ambien dengan tingkat kesehatan masyarakat.

(49)

VALUASI RUANG TERBUKA HIJAU TIPE PEKARANGAN

BERDASARKAN PENDEKATAN BIAYA KESEHATAN

(Studi Kasus Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri,

Kabupaten Bogor)

ANA WIDIYAWATI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran. Perkembangan industri Kerapatan rendah Reduksi penyakit Vegetasi pekarangan Penyakit Dampak negatif tehadap
Tabel 1   Kualitas baku udara ambien Kabupaten Bogor tahun 2012
Tabel 2   Zat pencemar yang mempengaruhi kesehatan
Gambar 5   Kondisi umum lokasi penelitian (a) RW 06;  (b) RW 03.
+7

Referensi

Dokumen terkait