• Tidak ada hasil yang ditemukan

Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kabupaten Batang Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kabupaten Batang Jawa Tengah"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

MASTER PLAN HUTAN KOTA MANGROVE

KAWASAN PANTAI KABUPATEN BATANG

JAWA TENGAH

RAMA WISNU ATMAJA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Master Plan Hutan Kota Kawasan Pantai Kabupaten Batang, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Rama Wisnu Atmaja

(4)

ABSTRAK

RAMA WISNU ATMAJA. Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh ENDES N DACHLAN dan QODARIAN PRAMUKANTO.

Kawasan pantai Kabupaten Batang dimanfaatkan secara intensif sebagai pusat-pusat kegiatan manusia. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi menyebabkan lahan dengan kerentanan sedang mengalami peningkatan sebesar 3.07 % atau 795.16 ha selama 23 tahun terakhir. Rencana tata guna lahan untuk kawasan permukiman dan kawasan industri kawasan pantai Kabupaten Batang sebagian wilayahnya berada pada lahan kerentanan sedang. Oleh sebab itu diperlukan hutan kota untuk menjaga kestabilan ekologis dan lingkungan. Hutan kota kawasan pantai yang direncanakan memiliki total luas 837.03 ha atau 2.54% dari luas kawasan pantai dan 0.10% dari luas Kabupaten Batang dan tersebar di seluruh kawasan kecuali pada Kecamatan Banyuputih. Pembangunan hutan kota dibagi menjadi 3 tingkat konservasi, yaitu tingkat konservasi tinggi, sedang dan rendah. Pembagian tingkat tersebut berdasarkan tingkat kerentanan lahan dan kesesuaian lahan hutan mangrove kawasan pantai Kabupaten Batang. Berdasarkan 3 tingkat konservasi tersebut, master plan hutan kota dikembangkan menjadi 5 tipe, yaitu hutan kota tipe perlindungan, budidaya, rekreasi, pelestarian plasma nutfah dan tipe penyangga.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

MASTER PLAN

HUTAN KOTA MANGROVE

KAWASAN PANTAI KABUPATEN BATANG

JAWA TENGAH

RAMA WISNU ATMAJA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kabupaten Batang Jawa Tengah

Nama : Rama Wisnu Atmaja NIM : E34080067

Disetujui oleh

Dr Ir Endes N Dachlan, MS Pembimbing I

Ir Qodarian Pramukanto, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 ini ialah hutan kota, dengan judul Master Plan Hutan Kota Mangrove Kawasan Pantai Kabupaten Batang Jawa Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Endes N Dachlan, MS dan Bapak Ir Qodarian Pramukanto, MSi selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Arzyana Sunkar, MSi, Ibu Dr Ir Rita Kartika Sari, MSi dan Bapak Ir Siswoyo, MSi yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Bappeda, Dinas kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang dan Dishidros TNI AL, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, kakak, serta seluruh keluarga atas kasih sayang dan doanya. Terimaksaih kepada keluarga KSHE 45 (EDELWEIS), HIMAKOVA dan seluruh keluarga besar DKSHE atas bimbingan, motivasi, bantuan, kebersamaan serta memberikan ilmu pngetahuan. Terimakasih juga disampaikan kepada keluarga besar IMAPEKA, KSR Unit I IPB serta sahabat di Batang atas bantuan, motivasi dan doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Tempat dan Waktu Penelitian 3

Alat dan Bahan 4

Metode dan Pendekatan Perencanaan 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 11

Kerentanan Lahan 12

Prioritas Hutan Kota 28

Master Plan Hutan Kota 32

SIMPULAN DAN SARAN 46

Simpulan 46

Saran 46

(10)

DAFTAR TABEL

1 Alat penelitian dan fungsinya 4

2 Data dan informasi penelitian 5

3 Skoring penentuan kerentanan lahan 10

4 Klasifikasi kesesuaian lahan hutan mangrove 11

5 Matriks perubahan tutupan lahan tahun 1989-2012 12 6 Luas abrasi dan akresi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan

2012 18

7 Tekstur tanah kawasan pantai Kabupaten Batang 19 8 Luasan tingkat kerentanan lahan pada kawasan pantai Kabupaten

Batang tahun 1989 dan 2012 25

9 Tingkat konservasi lahan hutan kota kawasan pantai Kabupaten

Batang 30

10 Bentuk hutan kota pada setiap land use dan land cover kawasan

pantai Kabupaten Batang 34

11 Pemanfaatan sirkulasi hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang 42

12 Jenis-jenis pohon yang direncanakan 43

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir kerangka pemikiran 2

2 Peta lokasi penelitian 3

3 Tahapan perencanaan menurut Gold (1990) 5

4 Bagan alur pembuatan peta kemiringan lahan 7

5 Bagan alur pemotongan citra landsat 8

6 Bagan alur pembuatan peta tutupan lahan 8

7 Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota secara spasial 9 8 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989 13 9 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2000 14 10 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012 15 11 Grafik perubahan tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang

tahun 1989–2012 16

12 Peta abrsi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan 2012 17 13 Peta jenis tanah kawasan pantai Kabupaten Batang 20 14 Peta kemiringan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang 22 15 Peta arah arus pasang musim barat Kabupaten Batang 24 16 Peta kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989 26 17 Peta kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012 27 18 Peta kesesuaian lahan hutan mangrove Kabupaten Batang 29 19 Peta tingkat konservasi lahan hutan kota mangrove Kabupaten

Batang 31

20 Peta rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun

(11)

21 Substrat garis pantai (a) Plabuhan Kecamatan Gringsing (b) Celong

Kecamatan Banyuputih 34

22 Peta lokasi eksisting hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang 35 23 Peta Zonasi pemanfaatan hutan kota mangrove kawasan pantai

Kabupaten Batang 36

24 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Batang 38 25 Zonasi hutan kota tipe penyangga Kecamatan Kandeman dan

Kecamatan Tulis 39

26 Zonasi hutan kota tipe rekreasi, perlindungan dan budidaya

Kecamatan Gringsing 40

27 Zonasi hutan kota tipe rekreasi Pantai Sigandu Kecamatan Batang dan

Kecamatan Kandeman 41

28 Zonasi hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah Kecamatan Subah 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel hasil uji akurasi 49

2 Zonasi hutan kota tipe penyangga dan budidaya Kecamatan Tulis 50 3 Zonasi hutan kota tipe perlindungan dan budidaya Kecamatan Subah 51 4 Zonasi hutan kota tipe rekreasi, perlindungan dan budidaya Kecamatan

Subah 52

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kabupaten Batang terletak di jalur pantura dan berbatasan dengan Laut Jawa. Kawasan pantai wilayah ini dimanfaatkan secara intensif untuk kegiatan manusia seperti: pusat industri, permukiman, pelabuhan, perikanan, pertanian dan pariwisata. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan dan prasarana penunjang kegiatan manusia, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan karena adanya peningkatan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim mikro kawasan pantai Kabupaten Batang. SNC (2009) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dan hutan akan menimbulkan emisi gas rumah kaca CO2 (karbon dioksida) sebesar 47% dari seluruh sektor.

Perubahan iklim mengakibatkan kenaikan muka air laut karena adanya pencairan es di kutub, sehingga luas daratan semakin menyempit. Salah satu kerusakan yang diakibatkan oleh semakin kecilnya luasan hutan mangrove, semakin tingginya muka air laut serta semakin meningkatnya kekuatan gelombang, yaitu sejak tahun 1991 sampai 2003 kawasan pantai Kabupaten Batang mengalami abrasi pantai dengan laju 3.01 ha/tahun dan menghilangkan daratan seluas 36.08 ha (Irwani et al. 2004). Pada tahun 2010 telah terjadi abrasi pada kawasan pantai di delapan kelurahan dan merusak pantai sepanjang 7.5 km1). Hal tersebut menjadi salah satu masalah serius bagi Pemda, masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan dalam pengelolaan kawasan pantai Kabupaten Batang.

Pada dasarnya pantai memiliki keseimbangan dinamis, yaitu cenderung menyesuaikan bentuk profilnya, sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Ketika terjadi badai akan muncul dua kemungkinan, yaitu pantai kembali seperti semula oleh gelombang normal atau material terangkut ke tempat lain dan tidak kembali lagi sehingga disatu tempat timbul erosi dan di tempat lain akan menyebabkan sedimentasi (Pranoto 2007).

Hutan kota yang berisi tegakan pohon dan membentuk formasi lanskap tertentu tidak saja berfungsi sebagai penghasil oksigen (O2), menyerap polusi,

menjaga kestabilan suhu kota, menghilangkan bau, meredam kebisingan dan habitat bagi satwa; tetapi juga efektif dalam menahan gelombang laut. Peran fungsional dari hutan kota mangrove tersebut menjadi alasan yang memperkuat bahwa keberadaan hutan di kawasan perkotaan merupakan struktur yang dapat menjaga kestabilan lingkungan fisik dan biotik kota.

Kerangka Pemikiran

Permintaan akan lahan di kawasan perkotaan senantiasa meningkat. Tingginya permintaan akan lahan untuk pembangunan pusat industri, perdagangan, dan permukiman di kawasan pantai akan mengubah bentang alam kawasan pantai dan merambah lahan-lahan untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau). www

1)

(14)

2

Akan tetapi kota mempunyai luas yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan lahan perkotaan. Rencana tata ruang kota berperan penting memberikan arahan dalam pemanfaatan lahan dan sumberdaya kota secara efektif dan efisien yang berkesinambungan antara kepentingan yang ada. Salah satu arahan penggunaan lahan kota adalah memaksimalkan fungsi lahan perkotaan di kawasan pesisir pantai sebagai jalur hijau sempadan pantai dengan fungsi ekologis, sosial dan ekonomi yang seimbang. Keberadaan RTH terutama hutan kota dapat mengendalikan dan menjaga kualitas lingkungan pantai. Sistematika kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

(15)

3

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:

1. Melakukan evaluasi lahan untuk menentukan tingkat konservasi lahan lokasi hutan kota mangrove.

2. Menyusun rekomendasi konsep dan master plan hutan kota mangrove kawasan pantai Kabupaten Batang.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kabupaten Batang dan stakeholder lainnya yang berperan dalam pengelolaan kawasan pantai Kabupaten Batang.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 6 kecamatan yang berbatasan dengan pantai, yaitu Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus sampai bulan September 2012.

(16)

4

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Alat penelitian dan fungsinya

Nama alat Fungsi

Alat tulis Mencatat hasil pengamatan dan penelitian Kamera digital Merekam obyek lapangan

Software ArcGIS 9.3 Menganalisis data spasial dan image processing

Software ERDAS 9.1 Menganalisis data spasial dan image processing

Adobe Photoshop CS3 Membuat ilustrasi gambar dan memperhalus tampilan gambar yang telah dibuat

PC Komputer Menjalankan Software yang digunakan dalam penelitian

GPS (Global positioning system)

Menandai dan mengambil posisi koordinat geografis lokasi penelitian

Bahan yang dipergunakan dalam pembuatan master plan hutan kota mangrove adalah data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang bersifat keruangan, berbentuk citra, peta atau gambar. Data atribut adalah data yang berbentuk angka atau tulisan dan berfungsi dalam menginterpretasikan citra, peta dan informasi penting lainnya. Data-data tersebut didapatkan dengan melakukan studi harian dan survei lapang.

Metode dan Pendekatan Perencanaan

Pendekatan yang digunakan adalah tahapan perencanaan menurut Gold (1980) dengan modifikasi sampai pada tahap pembuatan master plan (Gambar 3). Pendekatan yang digunakan tersebut adalah pendekatan berdasarkan sumberdaya alam (ekologis).

Persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan penetapan latar belakang, tujuan, kegunaan studi, rencana kerja dan anggaran biaya yang dibutuhkan serta administrasi dan perijinan. Pendekatan studi terhadap sumberdaya alam, untuk mendapatkan kesesuaian tapak terhadap konsep.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan survei lapang dan studi harian, yaitu studi pustaka dan browsing internet. Data yang dikumpulkan berupa data spasial dan data atribut. Data spasial diperoleh dengan melakukan browsing di internet dan dari beberapa instansi, yaitu: Bappeda Kabupaten Batang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Batang (Tabel 2).

(17)

5 instansi, yaitu: Bappeda Kabupaten Batang, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Batang (Tabel 2).

Gambar 3 Tahapan perencanaan menurut Gold (1990)

Tabel 2 Data dan informasi penelitian Jenis Spasial Atribut Interpretasi Sumber Titik ground

check point

√ Mengecek kebenaran, ketepatan dan kenyataan kondisi di lapang

Survei lapang

Dokumentasi (foto lokasi)

√ Rekaman

obyek di lapang

Survei lapang

Citra Landsat √ Klasifikasi

perubahan garis pantai dan perubahan tutupan lahan

Internet

(http://earthexplorer.usgs.gov)

Citra ASTER GDEM

√ Klasifikasi

kelerengan lahan

Internet

(18)

6

Tabel 2 Data dan informasi penelitian (Lanjutan) Jenis Spasial Atribut Interpretasi Sumber

Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Batang

Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Batang

Berdasarkan data-data tersebut dapat disususn peta-peta tematik, seperti peta kemiringan lahan, peta jenis tanah, peta perubahan garis pantai, peta jarak dari pantai dan peta perubahan tutupan lahan.

Pembuatan Peta Kemiringan Lahan

Peta kemiringan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang didapatkan dari analisis terhadap Citra ASTER GDEM dengan menggunakan Software ArcGIS 9.3. Analisis data dilakukan terhadap data DEM (Digital Elevation Modeling) kemudian mengelompokkannya berdasarkan kecuraman suatu kawasan (klasifikasi lereng) sehingga menghasilkan data spasial lereng (Gambar 4).

Pembuatan Peta Digital

(19)

7

Gambar 4 Bagan alur pembuatan peta kemiringan lahan Analisis Data

Analisis data dilakukan secara spasial, deskriptif, kuantitatif dan kualitatif. Analisis spasial dilakukan untuk mengolah data-data spasial yang diperoleh. Analisis deskriptif, kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk menganalisis data-data atribut. Analisis kuantitatif bertujuan untuk melakukan penilaian data-data atribut dengan melakukan skoring data. Analisis kualitataif bertujuan untuk melakukan penilaian kualitas berdasarkan perhitungan hasil skoring. Analisis deskriptif bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan hasil analisis yang dilakukan sehingga didapatkan master plan. Berikut beberapa analisis spasial yang dilakukan untuk menghasilkan peta komposit.

Analisis Perubahan Tutupan Lahan

Sebelum melakukan analisis perubahan tutupan lahan dengan menggunakan citra landsat, terlebih dahulu dilakukan import data, layer stacking dan pemotongan citra landsat. Impor data dilakukan untuk menyesuaikan format data citra yang akan dianalisis, sehingga data tersebut dapat dianalisis dengan Software yang digunakan. Layer stacking atau proses penggabungan band dilakukan pada citra yang memiliki band lebih dari satu, seperti citra landsat. Citra yang hanya memiliki satu band seperti ASTER GDEM tidak perlu prosas layer stacking.

Kegiatan pemotongan (subset) peta dilakukan untuk memperjelas batasan wilayah penelitian (wilayah studi). Proses tersebut akan menghasilkan peta kerja (Gambar 5).

(20)

8

GPS dari lapang untuk mengetahui tingkat akurasi pembuatan kelas tutupan lahan (Gambar 6).

Gambar 5 Bagan alur pemotongan citra landsat

(21)

9

Analisis Perubahan Garis Pantai dan Jarak dari Pantai

Peta garis pantai dianalisis dengan melakukan digitasi garis pantai dari Citra Landsat pada tahun 1989, 2000 dan 2012. Pembuatan peta perubahan garis pantai dilakukan dengan melakukan overlay peta garis pantai dari tahun yang berbeda dengan tujuan untuk mengetahui perubahan garis pantai selama rentang waktu tertentu, sehingga dapat diketahui perubahannya. Peta jarak dari pantai dibuat menggunakan peta garis pantai tahun terakhir dianalisis dengan analyst tool (buffer). Peta jarak dari pantai digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan hutan mangrove.

Sintesis (Penentuan Lokasi Hutan Kota)

Pemilihan lokasi hutan kota dilakukan dengan proses overlay dan melakukan analisis skoring. Peta kerentanan kawasan pantai dihasilkan melalui

overlay peta-peta tematik, yaitu peta penutupan lahan, peta tata guna lahan

eksisting, peta jenis tanah, peta kemiringan lahan dan peta abrasi pantai. Peta kesesuaian lahan hutan mangrove dihasilkan melalui overlay peta-peta tematik, yaitu peta jenis tanah, peta jarak dari pantai dan peta kemiringan lahan (Gambar 7). Peta-peta tersebut diklasifikasikan dan diberi nilai yang berbeda-beda sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dan 4. Hasil penjumlahan nilai setiap kriteria dari peta tersebut akan menghasilkan nilai minimal dan maksimal yang akan dijadikan dasar selang prioritas lahan untuk hutan kota sebagai penahan abrasi pantai.

(22)

10

Tabel 3 Skoring penentuan kerentanan lahan

Kriteria Kelas Nilai

Wisata domestik, pertanian intensif dan perikanan

2 Lahan pertanian dan atau tambak tradisional 3 Pelabuhan, bandar udara dan industri kecil/sedang

4 Permukiman nelayan, pusat perekonmian, industri besar

Jenis tanah (substrat)3 Batu karang 1

Aluvial, tanah glei, planossol, hidromorf kelabu dan literite air tanah

(23)

11 Tabel 4 Klasifikasi kesesuaian lahan hutan mangrove

Kriteria Kelas Nilai

Jenis tanah Aluvial pantai 1

Aluvial hidromorf kelabu 2

Gleihumus, regosol 3

Sumber: Dimodifikasi dari a Framework for Land Evaluation FAO (1976)

Selang nilai yang didapatkan dari skoring kerentanan lahan kawasan pantai, yaitu 7-35 (Tabel 3). Selanjutnya dibagi menjadi 3, yaitu 7 ≤ kerentanan rendah < 16, 16 ≤ kerentanan sedang < 25 dan 25 ≤ kerentanan tinggi ≤ 35. Hasil skoring kesesuaian lahan hutan mangrove menghasilkan selang nilai antara 3-9 (Tabel 4). Kesesuaian lahan hutan mangrove dibagi menjadi 3, yaitu 3 ≤ sangat sesuai < 5, 5 ≤ sesuai < 8 dan 8 ≤ kurang sesuai ≤ 9. Penentuan tingkat konservasi hutan kota kawasan pantai dilakukan dengan melakukan overlay peta kerentanan lahan dengan peta kesesuaian lahan hutan mangrove kawasan pantai Kab. Batang. Master Plan

Pembuatan master plan dikembangkan dari peta hasil overlay kerentanan pantai dan kesesuaian lahan hutan mangrove. Arahan penyususnan master plan dilakukan berdasarkan sumberdaya, aktivitas dan fasilitas yang akan dikembangkan. Pada tahap ini digambarkan aktivitas, fasilitas-fasilitas yang dapat dikembangkan, tata letak dan elemen lanskap yang mendukung keberadaan tapak berupa zonasi tapak, tata guna lahan secara mikro dan perencanaan lanskap pada lokasi studi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Batang terletak di Propinsi Jawa Tengah, pada koordinat 0060 51’ 46” dan 0070 11’ 47” Lintang Selatan dan 1090 40’ 19” dan 1100 03’ 06” Bujur Timur. Kabupaten Batang memiliki kawasan pantai, dataran rendah hingga pegunungan dengan lokasi tertinggi mencapai 2 565 mdpl dan luas 85 425.84 ha yang terdiri dari 15 kecamatan. Sebelah utara kawasan Kabupaten Batang berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, sebelah barat dengan Kabupaten dan Kota Pekalongan, serta Kabupaten Kendal di sebelah timur (Perda Kab. Batang No. 7 Tahun 2011).

Suhu rata-rata Kabupaten Batang mencapai 24.40 oC dengan curah hujan

(24)

12

kawasan atas dan bawah. Kawasan atas, yaitu Kecamatan Wonotunggal, Bandar, Blado, Reban, Bawang dan Tersono memiliki curah hujan rata-rata 3 408 mm/th dengan jumlah hari hujan rata-rata 148 hari. Selanjutnya kawasan bawah, yaitu Kecamatan Batang, Kandeman, Tulis, Subah, Banyuputih, Gringsing, Pecalungan dan Warungasem memiliki curah hujan rata-rata 2 212 mm/th dengan jumlah hari hujan rata-rata 123 hari (DKP 2007).

Kerentanan Lahan

Analisis kerentanan lahan kawasan pantai dilakukan dengan melakukan penilaian dari beberapa parameter dari peta tematik dan data atribut, yaitu tutupan lahan, tata guna lahan, jenis tanah, kemiringan lahan, abrasi pantai, gelombang dan pasang surut. Pada analisis tersebut semua parameter yang digunakan dianggap memiliki bobot nilai yang sama.

Perubahan Tutupan Lahan

Perubahan tutupan lahan dianalisis melalui interpretasi citra landsat tahun 1989, 2000 dan 2012 path 120, row 65 akuisisi 21 Januari 1989, 30 Juli 2000 dan 12 Mei 2012. Klasifikasi tutupan lahan dibagi menjadi 6 kelas tutupan lahan, yaitu vegetasi pohon, vegetasi semak dan rumput, lahan terbuka, lahan terbangun, badan air dan tidak ada data (awan dan bayangan awan) dapat dilihat pada Gambar 8, 9 dan 10.

Tabel 5 dan Gambar 11 menunjukkan pada tahun 1989-2012 kawasan pantai Kabupaten Batang mengalami perubahan penutupan lahan. Tutupan lahan vegetasi pohon mengalami penurunan luas dari 17 448.13 ha menjadi 16 781.31 ha atau berkurang 3.82 % dari luas awal. Tutupan lahan vegetasi semak dan rumput mengalami penurunan luas dari 14 233.23 ha menjadi 10 1185.66 ha atau berkurang 28.43 % dari awal. Sebaliknya tutupan lahan terbangun mengalami kenaikan dari 1 154.16 ha menjadi 5 420.35 ha atau bertambah 369.63 % dari luas awalnya.

(25)

13

(26)

14

Gambar 9 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2000

(27)

15

Gambar 10 Peta tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2012

(28)

16

Gambar 11 Grafik perubahan tutupan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 1989–2012

Terjadinya perubahan luasan penutupan lahan tersebut dapat disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan-kegiatan manusia, sehingga terjadi pembangunan fasilitas penunjang serta jalur sirkulasi yang dibutuhkan (Carr dan Bilsborrow 2000). Peningkatan kegiatan manusia di kawasan pantai Kabupaten Batang karena adanya kepentingan dari pemangku kebijakan dan masyarakat menyebabkan penutupan lahan di kawasan pantai mengalami perubahan. Hal tersebut terbukti dengan semakin luasnya lahan terbangun dari tahun 1989, 2000 dan 2012 (Gambar 8, 9, 10 dan 11).

Perubahan tutupan lahan menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem yang mempengaruhi nilai, fungsi ekonomi dan ekologis lingkungan tersebut. Apabila dikaitkan dengan keberadaan hutan mangrove, Muryani (2008) menyatakan bahwa wilayah dengan hutan mangrove yang tebal akan memiliki keanekaragaman hayati yang semakin tinggi. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap nilai ekonomi dan ekologis lingkungan yang semakin tinggi pula.

Selama periode 23 tahun, yaitu tahun 1989 hingga 2012 tata guna lahan di kawasan pantai Kabupaten Batang mengalami perubahan. Hal tersebut menjadi salah satu parameter penilaian kerentanan lahan, yaitu sebagai parameter tata guna lahan eksisting pada dua tahun yang berbeda untuk mendapatkan perubahan kerentanan lahan yang terjadi pada kawasan pantai Kabupaten Batang. Oleh sebab itu dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang yang dilakukan oleh pihak terkait.

Abrasi Pantai

(29)

17

Gambar 12 Peta abrsi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan 2012

(30)

18

Abrasi pantai Kabupaten Batang mengakibatkan sebagian wilayah daratan menghilang dan menjadi laut. Pada selang 23 tahun, yaitu dari tahun 1989 hingga tahun 2012 luas abrasi pantai Kabupaten Batang mencapai 90.05 ha yang terdiri atas abrasi seluas 55.92 ha pada tahun 1989–2000 dan 34.13 ha pada tahun 2000-2012. Seperti halnya selama kurun waktu 23 tahun sejak tahun 1989–2012 terjadi akresi (sedimentasi) sebesar 59.54 ha yang terpusat pada muara-muara sungai di Kabupaten Batang (Tabel 6). Abrasi paling jauh terjadi di Kecamatan Batang, yang mencapai 144.28 m dengan lebar 378 m selama 23 tahun terakhir. Sebaliknya akresi paling jauh mencapai 127.34 m dengan lebar 152.18 m yang terjadi di Kecamatan Tulis.

Tabel 6 Luas abrasi dan akresi pantai Kabupaten Batang tahun 1989, 2000 dan 2012

Keterangan Selang Tahun Total

1989-2000 2000-2012

Abrasi (ha) 55.92 34.13 90.05

Akresi (ha) 20.72 38.82 59.54

Daratan hilang (ha) 35.2 -4.69 30.51

Abrasi pantai yang terjadi dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu secara alami dan akibat kegiatan manusia. Kondisi pantai Kabupaten Batang yang terbuka dan tidak memiliki penghalang memiliki kerentanan yang lebih tinggi akan terjadinya abrasi akibat gelombang dan arus pasang surut laut. Terlebih lagi wilayah muara sungai yang bersifat lebih dinamis terhadap perubahan garis pantai karena proses alami (Pranoto 2007). Sebaliknya pembangunan jetty di muara sungai dapat menghambat transport sedimen dan mengakibatkan pendangkalan muara sungai karena tertahannya sedimen dari hulu sungai. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya abrasi di kawasan sekitar muara sungai. Akresi pada muara sungai dapat terjadi apabila sedimentasi dari aliran sungai lebih besar dari transport sedimen olah arus laut dan sebaliknya pula abrasi. Hal tersebut dapat menyebabkan abrasi yang lebih besar apabila tidak ada upaya pengelolaan yang baik.

Jenis Tanah (Substrat)

Salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan kerusakan lingkungan suatu kawasan adalah jenis tanah. Hal tersebut dikarenakan tanah merupakan substrat atau tempat tumbuh vegetasi dan sebagai habitat dari sebagian jenis satwa dan binatang. Selain itu setiap jenis tanah memiliki kepekaan yang berbeda terhadap erosi yang dipengaruhi oleh tekstur tanah, terutama kandungan kadar debu dan pasir halus dalam tanah serta faktor lainnya seperti bahan organik, struktur dan permeabilitas tanah (Hardjowigeno 2007).

Menurut DKP (2007) jenis tanah di kawasan pantai Kabupaten Batang dibedakan menjadi 4 karakteristik (Gambar 13), yaitu:

(31)

19 dan kandungan lainnya hanya epipedon ochrik, histik atau sulfurik. Tanah aluvial mempunyai warna kelabu, coklat, hitam serta memiliki produktifitas sedang sampai tinggi yang biasanya digunakan untuk lahan pertanian dan permukiman.

b. Tanah andosol merupakan tanah dengan epidedon mollik, umbrik atau ochrik. Tanah ini memiliki horizon kambik dan bulk density (kerapatan limbak) kurang dari 0.85 g/cc serta didominasi bahan amorf atau > 60 % terdiri dari bahan vulkanik vitrik, cinder atau pyro klasik vitrik lainnya. Tanah andosol memiliki pH netral sampai asam yang berwarna kelabu coklat tua atau hitam. tanah yang memiliki produktivitas sedang sampai tinggi ini digunakan untuk pertanian, perkebunan dan perhutanan.

c. Tanah litosol merupakan tanah mineral yang ketebalannya 20 cm atau kurang, lapisan di bawahnya merupakan batuan keras yang padu. Tanah litosol merupakan tanah yang sangat muda, yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan dan hanya memiliki horison penciri epipedon ochrik atau histik bila tanah sangat lembek. Tanah jenis ini memiliki produktivitas rendah dengan pH, kandungan unsur hara dan permeabilitasnya bervariasi, biasanya digunakan untuk hutan, padang rumput dan tegalan untuk palawija..

d. Tanah podsolik merupakan tanah dengan horison penimbunan liat di horison bawah (horison argilik) dan memiliki tingkat kejenuhan < 50 % serta tidak memiliki horison albik. Tanah podsolik memiliki warna kuning sampai merah dengan produktivitas rendah sampai sedang dan biasanya digunakan untuk pertanian dan perkebunan yang berbatasan dengan hutan (Hardjowigeno 2007). Tabel 7 menjelaskan hasil analisis bahan organik dan tekstur tanah kawasan pantai Kabupaten Batang di beberapa stasiun pengamatan (DKP 2007).

Tabel 7 Tekstur tanah kawasan pantai Kabupaten Batang

(32)

20

Gambar 13 Peta jenis tanah kawasan pantai Kabupaten Batang

(33)

21 Tekstur tanah yang kasar seperti pasir memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap erosi, karena butiran yang besar (kasar) tersebut memerlukan lebih banyak energi untuk mengangkut. Semakin banyak kandungan bahan organik dalam tanah akan menjadikan tanah semakin mantap sehingga tahan terhadap erosi karena tidak mudah hancur. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat), menghasilakan tanah dengan porositas tinggi yang akan memperkecil aliran permukaan. Tanah dengan permeabilitas yang semakin tinggi akan semakin banyak meresapkan air sehingga memperkecil aliran permukaan dan dapat memperkecil erosi yang terjadi.

Tanah aluvial memiliki kepekaan erosi paling kecil dari jenis tanah lain yang ada di kawasan pantai Kabupaten Batang. Hal tersebut dikarenakan tanah aluvial memiliki tekstur kasar dari endapan yang tidak jauh dari sumbernya, selain itu sebagian besar tanah aluvial di sepanjang aliran besar akan memiliki campuran yang mengandung cukup banyak hara sebagai bahan organik tanah yang menjadikan struktur tanah semakin mantap sehingga tahan erosi. Tanah aluvial pantai merupakan jenis tanah yang paling sesuai untuk konservasi hutan mangrove (FAO 1976).

Kusmana et al. (2003) menyatakan substrat atau kondisi tanah bagi hutan mangrove dapat dikategorikan menjadi tanah berlumpur, berpasir dan berkoral. Terdapat pula pengkategorian tanah yang lain, yaitu tanah yang belum matang (lunak atau lembek) dan tanah yang sudah matang (stabil atau keras). Jenis substrat tersebut akan mempengaruhi penyebaran jenis mangrove. Jenis

Rhizophora spp. dan Avicennia spp. dapat tumbuh baik pada tanah lunak (belum begitu matang), sedangkan jenis Bruguiera spp., Sonneratia spp dan Ceriops spp. dapat tumbuh di tanah yang lebih keras atau matang (lebih dekat ke arah darat). Kemiringan Lahan (Slope)

Kawasan pantai Kabupaten Batang memiliki topografi bervariasi dari datar sampai curam. Berdasarkan hasil analisis sistem informasi goegrafis yang dilakukan, kemiringan lahan dibagi menjadi 5 kelas lereng yang dimodifikasi dari ketentuan kesesuaian lahan (Deptan 2008) (Gambar 16). Kawasan dengan topografi datar memiliki luas 7 027.77 ha atau 20.73 % dari luas kawasan pantai Kabupaten Batang yang tersebar di dekat pantai, kecuali di Kecamatan Banyuputih dan sebagian besar Kecamatan Gringsing. Kawasan dengan topografi datar akan mengalami pembangunan yang lebih cepat karena lebih memungkinkan untuk melakukan berbagai aktivitas manusia. Kawasan dengan topografi landai atau berombak memiliki luasan paling besar yang mencapai 9 823.52 ha atau 28.98 % dari luas kawasan pantai Kabupaten Batang dan tersebar di seluruh kecamatan. Kawasan dengan topografi bergelombang, berbukit dan curam terkonsentrasi di Kecamatan Tulis, Subah, Banyuputih dan Gringsing dengan luas topografi bergelombang seluas 8 632.27 ha atau 25.47 %, topografi berbukit 6 746.05 ha atau 19.90 % dan topografi curam seluas 1 665.51 ha atau 4.91 %.

(34)

22

Gambar 14 Peta kemiringan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang

(35)

23 lipat maka besarnya benda yang dapat diangkut menjadi 64 kali lipat, sedangkan berat benda yang dapat diangkut menjadi 32 kali lebih berat (Hardjowigeno 2007).

Kemiringan lahan yang paling baik sebagai lokasi hutan mangrove adalah lahan dengan kemiringan 1–2 %. Hal tersebut dikarenakan pada lahan yang sedikit miring akan mengalirkan kembali air pasang ke arah laut, sedangkan lahan yang benar-benar datar cenderung tidak dapat mengalirkan air pasang kembali ke laut, sehingga air akan menggenang (Kusmana et al. 2003).

Gelombang dan Arus

Gelombang dan arus menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya perubahan garis pantai, baik akresi (sedimentasi) atau abrasi (mundurnya garis pantai) besarnya proses abrasi (erosi) dan sedimentasi yang terjadi tergantung bersarnya energi gelombang yang dihempaskan ke pantai (Wahyudi et al. 2009). Arah datangnya gelombang dan arus sama seperti arah angin yang terjadi dan besar gelombang yang terjadi dipengaruhi besar kecilnya angin di atas permukaan air laut.

DKP (2007) menyatakan tinggi gelombang yang terjadi di kawasan pantai Kabupaten Batang berkisar antara 0.50–0.60 m dan tinggi gelombang maksimumnya mencapai 1.80 m yang terjadi pada musim barat (bulan Februari-Maret). Sebaliknya pada musim angin timur (bulan Agustus) tinggi maksimum gelombang yang terjadi adalah 0.50 m dengan rata-rata tinggi gelombang adalah 0.11 m. Faried dan Maharudin (2011) menyatakan bahwa peramalan gelombang di kawasan laut Kabupaten Batang dengan periode ulang 25 tahun, kawasan laut di Kabupaten Batang memiliki gelombang signifikan 1.11 m.

Gelombang yang memiliki pengaruh besar pada perubahan garis pantai di Kabupaten Batang terjadi pada musim barat, yaitu pada bulan Desesmber sampai Maret. Pada bulan-bulan tersebut gelombang yang terjadi sebagian besar mengarah ke timur, tenggara dan selatan, sehingga menyebabkan terjadinya pengikisan pada bibir pantai.

Pantai yang terbuka seperti di Kabupaten Batang memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap abrasi, karena berhadapan langsung dengan laut lepas. Sebaliknya daerah sekitar muara sungai ataupun pantai yang tertutup baik oleh hutan mangrove ataupun adanya penahan gelombang lainnya memiliki kerentanan lebih rendah.

Kawasan laut Kabupaten Batang memiliki kondisi yang cukup tenang pada musim-musim tertentu seperti pada musim timur antara bulan Mei sampai Oktober. Pengaruh gelombang di kawasan pantai Kabupaten Batang memiliki pengaruh bervariasi, yaitu dari kecil hingga besar dalam proses pergerakan sedimen yang mempengaruhi perubahan garis pantai dan tergantung pada waktu terjadinya angin barat dan angin timur kawasan tersebut.

(36)

24

besar karena kondisi perairan laut Kabupaten Batang bertipe terbuka. Kondisi tersebut menyebabkan pantai langsung terkena gelombang dari laut lepas, sehingga pada musim barat pantai mengalami tekanan yang tinggi yang dapat merubah garis pantai karena arah datangnya arus berpengaruh besar (Gambar 15).

Gambar 15 Peta arah arus pasang musim barat Kabupaten Batang Pasang Surut

Pasang surut air laut memiliki pengaruh yang cukup besar pada pergerakan sedimen di pantai. Hal tersebut karena pasang surut tidak hanya mempengaruhi air bagian atas, melainkan seluruh masa air dan memiliki energi yang besar, sehingga mampu membawa sedimen dalam jumlah besar dan mempengaruhi perubahan garis pantai (Supriharyono 2000).

(37)

25 muara sungai arus pasut lebih lambat daripada laju pengendapan sedimen, sehingga membentuk endapan (Handayani 2004).

Pada saat pasang, air laut masuk ke sungai hingga jarak tertentu dan akan mengaduk sedimen yang ada di sungai dan pada saat air surut arus akan menuju ke laut dengan membawa material yang teraduk saat pasang menuju ke laut. Hal tersebut menjadi masalah serius ketika di muara sungai hanya terdapat sedikit mangrove sebagai penahan atau bahkan sama sekali tidak ada penahan. Apabila di muara sungai dibangun jetty maka material sedimen yang terbawa arus surut tidak dapat menyebar atau tertahan oleh jetty, sehingga daerah sekitar muara tersebut memiliki risiko lebih besar terjadinya abrasi.

Pasang surut yang terjadi akan mempengaruhi kondisi penggenangan kawasan pantai. Karena itu pasang surut menjadi faktor penting dalam persebaran dan perkembangan mangrove. Lokasi terbaik yang dapat digunakan untuk penanaman mangrove terletak pada ketinggian lahan diantara permukaan laut rata-rata sampai permukaan rata-rata-rata-rata pasang tertinggi atau saat pasang purnama (Kusmana et al. 2003).

Potensi Terbentuknya Lahan Rentan

Perubahan penggunaan lahan berdampak terhadap berubahnya kerentanan lahan dari kerusakan. Analisis kerentanan lahan dilakukan pada dua tahun yang berbeda, yaitu tahun 1989 dan tahun 2012. Berdasakan kedua anlisis tersebut didapatkan perubahan lahan kritis pada kawasan pantai yang dijadikan acuan untuk menentukan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang (Gambar 16 dan 17).

Perubahan tutupan lahan memberikan pengaruh terhadap kualitas lahan. Apabila perubahan penggunaan lahan berada dalam batas daya dukung dan fungsi lahan maka kualitas lahan tidak akan berubah signifikan walaupun penggunaan lahan telah berubah. Kualitas lahan akan bersifat dinamis selama perubahan lahan terus terjadi pada lahan yang sama (Santoso 2011). Berdasarkan hal tersebut lahan yang berpotensi memiliki kerentanan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi parameter yang berpengaruh di kawasan tersebut. Tabel 8 menunjukkan perubahan luasan kerentanan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang pada tahun 1989 dan 2012.

(38)

26

(39)

27

(40)

28

Tabel 8 Gambar 16 dan 17 menunjukkan bahwa pada tahun 1989 dan 2012 kawasan pantai Kabupaten Batang memiliki potensi kerentanan lahan rendah hingga sedang. Penambahan luasan kerentanan lahan sedang terjadi karena adanya perubahan tutupan atau penggunaan lahan dari tahun 1989 hingga 2012. Pada lahan dengan potensi kerentanan rendah tahun 1989 dan 2012 berada pada penggunaan lahan vegetasi pohon, vegetasi semak dan rumput, badan air dan lahan terbuka. Lahan dengan kerentanan sedang berada pada penggunaan lahan terbangun, lahan terbuka, badan air, vegetasi semak dan rumput dan vegetasi pohon dengan kelerengan curam.

Tabel 8 menunjukkan bahwa pada tahun 1989 dan 2012, lahan dengan kerentanan sedang mengalami peningkatan. Hal tersebut menunjukkan penggunaan lahan pada kawasan pantai Kabupaten Batang mengalami perubahan yang cenderung menurunkan kualitas lahan tersebut. Perubahan yang terjadi pada lahan vegetasi pohon yang berubah menjadi lahan vegetasi semak dan rumput, lahan terbuka dan lahan terbangun akan menyebabkan potensi kerentanan lahan tersebut semakin besar. Perubahan lahan pada tingkat kerentanan sedang meningkat sebesar 795.16 ha atau 3.07%.

Prioritas Hutan Kota

Penggunaan lahan yang sesuai akan menghasilkan ekosistem yang seimbang dengan tingkat kerentanan yang cenderung stabil. Selain itu kesesuaian lahan dengan penggunaannya akan memberikan hasil yang optimal dari tujuan yang diinginkan. Hal tersebut karena dengan penggunaan lahan yang sesuai maka akan mendapatkan daya dukung lingkungan yang optimal, sehingga tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan lingkunganya akan lestari.

Kesesuaian Lahan Hutan Mangrove

Penentuan kesesuaian lahan hutan mangrove dilakukan dengan melakukan skoring dari peta kelerengan, jenis tanah dan jarak dari pantai. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, terdapat 3 kesesuaian lahan mangrove, yaitu sangat sesuai, sesuai dan kurang sesuai (Gambar 18).

(41)

29

Gambar 18 Peta kesesuaian lahan hutan mangrove Kabupaten Batang

(42)

30

Tingkat Konservasi Lahan Hutan Kota Mangrove

Penentuan unit tingkat konservasi hutan kota dilakukan dengan melakukan

overlay peta kesesuaian lahan mangrove dan kerentanan lahan. Kriteria tambahan yang dianalisis berupa peta penggunaan lahan eksisting. Berdasarkan analisis tersebut akan menghasilkan tingkat konservasi lokasi hutan kota kawasan pantai yang terbagi menjadi hutan kota berupa vegetasi mangrove dan vegetasi hutan pantai. Penentuan tingkat konservasi hutan kota kawasan pantai dibagi menjadi 3, yaitu unit tingkat konservasi tinggi, sedang dan rendah (Tabel 9).

Tabel 9 Tingkat konservasi lahan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang KLM

KL Tidak Sesuai Sedang Sesuai

Rendah KR KR KS

Sedang KR KS KT

Tinggi KS KT KT

Keterangan: KL (Kerentanan lahan); KLM (Kesesuaian Lahan Hutan Mangrove); KT (Konservasi Tinggi); KS (Konservasi Sedang); KR (Konservasi Rendah)

Unit tingkat konservasi tinggi lokasi hutan kota sebagian besar terdapat di sepanjang pantai Kecamatan Batang dan Kandeman serta sebagian kecil Kecamatan Tulis, Subah dan Gringsing dengan luas total 162.19 ha. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi tersebut memiliki kerentanan lahan sedang dengan abrasi pantai yang mencapai 6.27 m/tahun dan kesesuaian lahan hutan mangrove yang sangat sesuai. Sebaliknya unit tingkat konservasi sedang dan rendah lokasi hutan kota terdapat di seluruh kecamatan dengan luasan 1 637.99 ha untuk tingkat konservasi sedang dan 31 914.07 ha untuk tingkat konservasi rendah. Sebagian besar unit tingkat konservasi sedang dan rendah berada lebih jauh dari laut atau berada di belakang unit tingkat konservasi tinggi sehingga gelombang, pasang surut dan abrasi pantai tidak terlalu berpangaruh terutama pada unit tingkat konservasi rendah (Gambar 19).

Kesesuaian Tata Guna Lahan

Tata guna lahan sangat erat kaitannya dengan kondisi ekosistem lingkungan yang akan terbentuk. Pengalokasian penggunaan lahan harus memperhatikan aspek-aspek penting baik untuk kepentingan manusia maupun kelestarian lingkungan. Penggunaan lahan yang berkualitas akan mempertimbangkan keberlangsungannya hingga masa mendatang. Hal tersebut sesuai dengan prinsip pengelolaan secara lestari yang memperhatikan kondisi lingkungan.

(43)

31

(44)

32

Kawasan budidaya kawasan pantai Kabupaten Batang terdiri dari kawasan hutan produksi, kawasan budidaya pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan wisata, kawasan peruntukan permukiman kota dan kawasan permukiman desa. Kawasan-kawasan tersebut memiliki fungsi untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

Kawasan strategis di kawasan pantai Kabupaten Batang terdiri dari kawasan strategis pertumbuhan ekonomi, pendayagunaan SDA, teknologi tinggi dan kawasan strategis daya dukung lingkungan. Kawasan strategis memiliki nilai penting dan prioritas lebih dalam penataan ruang karena kawasan tersebut bersifat spesifik dan berpengaruh penting terhadap ekonomi, sosial, budaya dan politik (Perda Kab. Batang No. 7 Tahun 2011).

Evaluasi rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang dilakukan untuk mengetahui kesesuaian lahan dengan peruntukkan lahan yang direncanakan. Hal tersebut dikarenakan tata guna lahan akan mempengaruhi bentang alam sehingga ekosistem pada masa mendatang akan berubah. Pada Gambar 20 menunjukkan rencana penggunaan lahan jangka panjang pada kawasan pantai Kabupaten Batang.

Terdapat beberapa alokasi penggunaan lahan yang harus dilengkapi dengan hutan kota. Penggunaan lahan tersebut, antara lain lahan peruntukan kawasan permukiman kota yang berada di Kecamatan Batang dan kawasan industri di Kecamatan Kandeman. Sebagian wilayah lahan permukiman kota dan kawasan industri tersebut memiliki kerentanan sedang terhadap kerusakan lingkungan. Hal tersebut menjadikan lahan akan mengalami kerusakan dengan cepat. Oleh karena itu untuk menanggulangi hal tersebut penting adanya hutan kota untuk menjaga keseimbangan lingkungan kawasan tersebut.

Master Plan Hutan Kota

Master plan dikembangkan berdasarkan peta kelas konservasi lahan hutan kota mangrove (Gambar 19) dan peta rencana tata guna lahan kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2011-2031 (Gambar 20). Berdasarkan kedua peta tersebut dapat ditentukan bentuk pemanfaatan lahan hutan kota, sebagaimana disajikan pada Tabel 10.

(45)

33

(46)

34

Pembagian pemanfaatan lahan hutan mangrove kota didasarkan pada tingkat konservasi lokasi hutan kota yang direncanakan. Hutan kota yang direncanakan memiliki tipe yang disesuaikan dengan fungsinya masing-masing. Tipe-tipe hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang yang didasarkan pada tingkat konservasi lahan hutan kota mangrove (Tabel 10 dan Gambar 23).

Tabel 10 Bentuk hutan kota pada setiap land use dan land cover kawasan pantai Kabupaten Batang

Pemanfaatan Land cover/land use KT KS KR

Budidaya tambak (Wanamina) √ √

Pelestarian plasma nutfah √ √

Penyangga (Buffer) √ √

Perlindungan √ √

Rekreasi √ √

Keterengan: KT (Konservasi Tinggi); KS (Konservasi Sedang); KR (Konservasi Rendah)

Lokasi hutan kota mengrove tersebar di semua kecamatan kecuali Kecamatan Banyuputih dengan total luas hutan kota mencapai 857.23 ha atau 2.54 % dari luas kawasan pantai dan 0.10 % dari luas Kabupaten Batang (Gambar 23). Berdasarkan hasil pengamatan lapang di Kecamatan Banyuputih tidak ditemukan lokasi bervegetasi mangrove. Selain itu berdasarkan analisis kemiringan lahan juga didapatkan kondisi topografi bibir pantai kecamatan Banyupuyih dan sebagian kecamatan Gringsing bergelombang sampai curam pada lokasi tertentu dengan substratnya adalah batu karang (Gambar 21). Oleh sebab itu hutan kota yang dapat direncanakan pada lokasi tersebut adalah hutan kota dengan vegetasi hutan pantai.

Gambar 21 Substrat garis pantai (a) Plabuhan Kecamatan Gringsing (b) Celong Kecamatan Banyuputih

(47)

35

Gambar 22 Peta lokasi eksisting hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang

(48)

36

(49)

37 Rencana Zonasi

Pembagian zonasi hutan kota dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi hutan kota yang direncanakan. Pembagian zona dilakukan melalui pendekatan pertimbangan ekologis dan pemanfaatan fasilitas eksisting. Setiap hutan kota yang direncanakan memiliki zonasi yang disesuaikan dengan fungsi yang ingin dicapai dari masing-masing tipe hutan kota.

Hutan kota mangrove tipe perlindungan dan tipe budidaya memiliki zonasi, yaitu zona pemanfaatan dan zona perlindungan. Zona pemanfaatan dikembangkan untuk lokasi budidaya perikanan dengan sistem wanamina. Aktivitas yang direncanakan adalah pengembangan budidaya tambak, kawasan tangkapan dan pusat pemancingan. Zona perlindungan dikembangkan sebagai lokasi dengan fungsi perbaikan lingkungan, perlindungan lingkungan dan kegiatan pemanfaatan terbatas (Gambar 24).

Hutan kota tipe penyangga hanya memiliki satu zonasi yang digunakan sebagai penyangga bagi daerah di sekitarnya sehingga aktivitas yang dilakukan tidak mengganggu keseimbangan lingkungan (Gambar 25). Hutan kota tipe penyangga direncanakan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Ujung Negoro-Roban yang berada di Kecamatan Kandeman dan Kecamatan Tulis. Hutan kota tersebut diharapkan mampu menjadi penyangga bagi lingkungan disekitarnya, sehingga kegiatan manusia tidak merusak keseimbangan ekologis lingkungan.

Hutan kota tipe rekreasi memiliki zona pemanfaatan yang dikembangkan untuk kegiatan rekreasi alam dengan pengembangan fasilitas secara minimalis. Kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan adalah wisata umum, yaitu menikmati keindahan pantai, wisata memancing, foto hunting, wisata pendidikan dan wisata khusus seperti birdwatching. Zona perlindungan pada hutan kota tipe rekreasi digunakan sebagai perbaikan lingkungan dan pelestarian mangrove (Gambar 26).

Hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah dikembangkan menjadi tempat koleksi plasma nutfah dan sebagai habitat satwa. Pada hutan kota ini direncanakan memiliki zonasi hutan mangrove yang terdiri dari zona Api-api dan pedada, zona Bakau, zona Bakau dan Tancang, zona Tancang dan zona Nipah dan vegetasi hutan pantai. Hutan kota tipe ini direncanakan hanya memiliki satu zona yang berfungsi sebagai tempat pelestarian plasma nutfah sebagai fungsi utama, tempat koleksi mangrove, menjadi pelindung pantai dan menjadi salah satu arboretum di Kabupaten Batang.

Sirkulasi dan Fasilitas

(50)

38

(51)

39

(52)

40

(53)

41

(54)

42

Tabel 11 Pemanfaatan sirkulasi hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang Tipe

Rencana pembangunan fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan dari aktivitas yang direncanakan pada masing-masing hutan kota. Fasilitas yang dapat dibangun, antara lain pusat informasi, kantor pengelola, fasilitas ibadah, fasilitas kebersihan dan MCK, fasilitas permainan dan fasilitas pendukung lainnya yang disesuaikan. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung kegiatan dalam kawasan hutan kota dengan memperhatikan faktor ekologis dari tapak hutan kota. Fasilitas penunjang pada sirkulasi yang direncanakan adalah shelter atau tempat istirahat sementara yang tersebar di beberapa titik. Sebagai pendukung kegiatan yang direncanakan pula dramaga dan menara pengamatan pada lokasi tertentu.

Rencana Pemilihan Jenis Tumbuhan

Pemilihan jenis tumbuhan hutan kota disesuaikan dengan kondisi tapak lokasi hutan kota. Penyesuaian jenis tumbuhan dilakukan untuk mendapatkan hasil optimal baik dari segi keberhasilan pembangunan maupaun fungsi yang diharapkan. Pemilihan jenis tumbuhan dibagi menurut zona hutan kota yang direncanakan (Tabel 12). Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis (Dachlan et al. 2008), antara lain:

1. Kekayaan ekologis

Jenis tanaman yang dipilih harus mampu beradaptasi sehingga diutamakan dari jenis lokal. Selain itu juga untuk menunjang fungsi hutan kota dipilih juga jenis introduksi (bukan jenis lokal) yang adaptif dan tidak bersifat infasif terhadap jenis lokal.

2. Fungsi zona

Jenis yang dipilih disesuaikan dengan fungsi zona hutan kota sehingga tidak menimbulkan masalah kerusakan fasilitas dan membahayakan.

3. Ketersediaan benih atau bibit

Ketersediaan benih atau bibit sangat penting untuk mewujudkan fungsi hutan kota yang direncanakan. Oleh sebab itu perlu dilakukan kegiatan perbenihan dan pembibitan sebelum melakukan pembangunan hutan kota.

4. Penguasaan teknik silvikultur

(55)

43 Tabel 12 Jenis-jenis pohon yang direncanakan

Tipe HK

Jenis Pohon 1 2 3 4 5

Api-api (Avicennia spp.) √ √ √ √ √

Bakau (Rhizophora spp.) √ √ √ √ √

Bintaro (Cerbera manghas) √ √ √

Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) √

Keben (Baringtonia asiatica) √ √ √

Ketapang (Terminalia catappa) √ √ √

Merbau (Instia bijuga) √ √ √

Nipah (Nypa fruticans) √ √ √

Nyamplung (Calophyllum inophyllum) √ √ √

Nyirih (Xylocarpus granatum) √ √ √ penyangga; 5) HK tipe pelestarian plasma nutfah

Pemilihan jenis pohon disesuaikan dengan zonasi yang terbentuk berdasarkan lokasi hutan kota mangrove yang direncanakan. Pada bibir pantai hutan kota mangrove dipilih jenis seperti Api-api (Avicennia spp.), Bakau (Rhizophora spp.) dan Pedada (Sonneratia spp.) yang ditanam dengan jarak yang lebih rapat sehingga dapat lebih optimal untuk mencegah abrasi. Pada zona selanjutnya pada hutan kota mangrove tersebut dapat dipilih Bakau (Rhizophora

spp.), Tancang (Bruguiera spp.) dan Tingi (Ceriops spp.) yang disesuaikan dengan kondisi tanah dan pola pasang surut lokasi. Nipah (Nypa fruticans) dan jenis-jenis asosiasi vegetasi hutan pantai ditanam pada zona paling jauh dari pantai ataupun perbatasan antara hutan mangrove dan hutan pantai. Jenis-jenis yang paling banyak digunakan adalah Api-api (Avicennia spp.) dan Bakau (Rhizophora spp.) karena merupakan jenis pionir vegetasi mangrove (Kustanti 2011), sehingga dapat digunakan pada lahan-lahan hutan kota yang rusak. Untuk kawasan tepi sungai dapat ditanam Tancang (Bruguiera spp.) karena persebaran alami jenis tersebut adalah pinggir sungai yang jarang tergenang air tawar-payau (Kusmana et al. 2003).

Pemilihan jenis pohon hutan pantai lebih diutamakan pada jenis-jenis yang sering ditemukan berasosiasi dengan mangrove di Pulau Jawa, seperti Bintaro (Cerbera manghas), Ketapang (Terminalia catappa), Merbau (Instia bijuga), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Nyirih (Xylocarpus granatum) dan Waru laut (Thespesia populnea) (Kusmana et al. 2003). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) digunakan untuk menambah estetika pada hutan kota tipe rekreasi karena memiliki bentuk yang unik dan tahan terhadap angin kencang, sehingga tidak membahayakan (Tabel 12).

(56)

44

bakau (Rhizophora spp) dan Tancang (Bruguiera spp); zona Tancang (Bruguiera

(57)

45

Gambar 28 Zonasi hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah Kecamatan Subah

(58)

46

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan evaluasi kerentanan lahan kawasan pantai dan kesesuaian lahan hutan mangrove dapat ditentukan tingkat konservasi lahan hutan kota. Berdasarkan tingkat konservasi tersebut dapat ditentukan lokasi hutan kota. Tingkat konservasi lahan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang dibagi menjadi 3, yaitu kawasan dengan tingkat konservasi tinggi seluas 162.19 ha, kawasan tingkat konservasi sedang seluas 1 637.99 ha dan kawasan dengan tingkat konservasi rendah seluas 3 1914.07 ha.

2. Master plan hutan kota kawasan pantai Kabupaten Batang dibagi menjadi 5 tipe hutan kota, yaitu tipe perlindungan, tipe budidaya, tipe rekreasi, tipe pelestarian plasma nutfah dan tipe penyangga (buffer). Penentuan tipe hutan kota didasarkan pada tingkat konservasi hutan kota dimana hutan kota dengan tipe perlindungan, tipe rekreasi dan tipe pelestarian plasma nutfah berada pada tingkat konservasi tinggi dan sedang. Akan tetapi hutan kota tipe budidaya dan tipe penyangga (buffer) berada pada kawasan tingkat konservasi sedang dan rendah.

Saran

Penelitian lebih lanjut tentang rencana detail hutan kota mangrove disarankan dilakukan untuk memperkuat hasil dari penelitian yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan terutama pada aspek ekologi dan fisik tapak karena penelitian sebelumnya menggunakan data citra satelit.

Perencanaan pembangunan kawasan pantai yang dilakuakan lebih baik berpedoman pada aspek ekologis dan konservasi lingkungan, sehingga pengguanaan lahan dapat disesuaiakan dengan kemampuan lahannya serta lestari. Selain itu diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang tepat dalam menentukan peruntukan lahan kawasan pantai Kabupaten Batang, agar penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik wilayahnya.

DAFTAR PUSTAKA

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor: 07 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Batang Tahun 2011-2031. Batang (ID): Bappeda. Bengen DG. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem

Mangrove. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.

(59)

47 [internet]. Seoul (KR). [5 Juli 2013]; 43(8) [http://geog.ucsb.edu/~carr/DCarr_Publications/DLCarr_GeogEd_00.pdf]. Dachlan EN, Hermawan R, Ontarjo J, Kosmaryandi N, Prasetyo LB, Priyono A,

Arief H, Djamhari D. 2008. Penyusunan Master Plan Pembangunan Hutan Kota Bundayati Tanjung Selor Kabupaten Bulungan [laporan]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2004. Peraturan Direktur Jendral RLPS tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta (ID): Dirjen RLPS.

[DepPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya. Jakarta (ID): Dirjen Penataan Ruang.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu. Jakarta (ID): Direktorat Pengelolaan Lahan.

[DKP] Depertemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Rencana Tata Ruang Kabupaten Batang. [laporan]. Semarang (ID): Direktorat jendral Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Satker Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah.

[DKP] Depertemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global (Global Warming). Jakarta (ID): Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil. DKP.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Faried SM, Maharudin M. 2011. Perencanaan pembangunan pelindung pantai di Pantai Sigandu Batang [tugas akhir]. Semarang (ID): Jurusan Teknik Sipil. Fakultas teknik. Universitas Diponegoro Semarang.

Gold, SM. 1980. Recreation Planning and Design. New York (US): Mc Graw Hill Book.332.P.

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah Edisi Baru. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.

Handayani R. 2004. Pemanfaatan data landsat 7/ETM untuk melihat perubahan garis pantai tahun 1995 – 2000 di Teluk Cempi Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat [skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Irwani, Ambariyanto, Chrisna AS, Kurniasih S, Hermawan HT, Muslim, Wulandari SY. 2004. Studi penanganan abrasi di Pantai Utara Jawa Tengah [laporan]. Semarang (ID): Balitbang Provinsi Jawa Tengah.

Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. Kusmana C, penyunting. Bogor (ID): IPB Pr.

Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

(60)

48

Muryani. 2008. Analisis degradasi hutan mangrove Pantai Pasuruan menggunakan SIG [disertasi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.

Novita T. 2002. Aplikasi Citra Radar ERS-1 untuk mendeteksi perubahan garis pantai di daerah Pesisir Cilamaya Kab. Karawang Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Pranoto S. 2007. Prediksi perubahan garis pantai menggunakan model genesis.

Berkala Ilmiah Teknik Keairan [internet]. [diunduh 3 Jan 2013]; 13 (3): 145-154. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/25088/1/01-Sumbogo_145-154.pdf.

Santoso E. 2011. Analisis perubahan penggunaan lahan dan potensi lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

[SNC] Second National Communication. 2009. Summan For Policy Makers: Indonesia Second National Communication Under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta (ID): Kementrian Lingkungan Hidup.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta (ID): PT. SUN.

(61)

49 Lampiran 1 Tabel hasil uji akurasi

CLASSIFICATION ACCURACY ASSESSMENT REPORT --- Image File : d:/re_recode_2012.img

User Name : Rama

Date : Mon Feb 04 14:17:22 2013

ACCURACY TOTALS ---

Class Reference Classified Number Producers Users

Name Totals Totals Correct Accuracy Accuracy

--- --- --- --- --- --- Class 0 0 2 0 --- ---

Class 1 13 17 13 100.00% 76.47% Class 2 12 11 11 91.67% 100.00% Class 3 7 3 3 42.86% 100.00% Class 4 18 19 18 100.00% 94.74% Class 5 5 3 3 60.00% 100.00% Class 6 0 0 0 --- ---

Totals 55 55 48

(62)

50

(63)

51

(64)

52

(65)

53

(66)

54

Lampiran 6 Data potensi Cagar Alam di kawasan pantai Kabupaten Batang Kawasan

(67)

55 Lampiran 7 Data flora dan fauna kawasan pantai Kabupaten Batang tahun 2011

Jenis data Spesies Ket

Flora Jati (T. grandis), Bendo (E. scandens), Jrakah, Pasang (Quercus sundaica), Kedoya (D. gaudichaudianum), Suren(Toona sureni), Kemloko (Phyllanthus emblica), Kedawung (Parkia timoriana), Burahol (Stelechocarpus burahol), Jengkol (Pithecellobium jiringa), Jambu Mete (Agathislalillardieri), Aren (Arenga pinata), Klayu (Floribunda decaisne), Trengguli (Cassia fistula), Meranti jawa (D. littoralis), Bakau (Rhizophora mucronata), Bakau (R. apiculata), Api-Api (Avicennia marina), Tancang (Bruguiera gymnorrhiza), Bakau (R. stylosa), Api-Api (Avicennia officinalis), Api-Api (A. Lanata), Bogem (Sonneratia sp.), Kerakas (Acrostichum aureum), Bakung-bakung (Scaevola taccada), Nipah (Nypa fruticans), Gulung-Gulung (Spinifex liioreus), Pandan (Pandanus tectorius), Deruju (Acanthus ilicifolius), Kacang-kacangan (Ipomea pescarprea), Waru (Hibiscus tiliaceus), Bintaro (Cerbera manghas), Nyamplung (Calophyllum inopphylum), Ketapang (Terminalia catappa) .

Fauna Lutung budeng (Trachypithecus auratus), Babi hutan (Sus scrofa), Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), Ular, Linsang (Prionodon linsang), Biawak (Varanus salvator), Garangan (Herpestes javanicus), Elang jawa (Speziatus bartelsi), Bido (Spilornis cheela), Raja udang (alcedo meninting), Bangau hitam (Ephippiorhynchus asiaticus), Takur tulung tumpuk (Megalaima javensis), Prenjak (Prinia familiaris), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Trocok (Pycnonotus goiavier)

(68)

56

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan Batang pada tanggal 21 Juni 1990 sebagai anak keempat dari 4 bersaudara pasangan Cucu Karyanto dan Sri Hanah. Pendidikan formal ditempuh penulis di TK Kasih Ibu Proyonanggan, SD Negeri 4 Karangasem, SMP Negeri 3 Batang, SMA Negeri 1 Batang. Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008 dan tahun 2009 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) periode 2009-2011, KSR PMI UNIT I IPB periode 2009-2011 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Pekalongan-Batang (IMAPEKA) Periode 2009-2010.

Kegiatan-kegiatan yang pernah penulis ikuti selama berada di IPB, diantaranya Eksplorasi Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Gunung Burangrang, Jawa Barat (2010), ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (2010), menjadi relawan KSR IPB saat meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta (2010), Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Slamet-Nusa Kambangan (2010), Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, TN Gunung Halimun Salak dan KPH Cianjur (2011) dan Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur (2012).

Gambar

Gambar 1  Diagram alir kerangka pemikiran
Gambar 2  Peta lokasi penelitian
Tabel 2  Data dan informasi penelitian
Tabel 2  Data dan informasi penelitian (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peta Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Skala 1:100.000 Kenampakan Penggunaan Lahan Sawah Pada Jenis Tanah Latosol Coklat Tua Desa

Jenis apakah dari kelas Gastropoda yang mendominasi di Pantai Ujung. Negoro

Studi ini bertujuan untuk membuat suatu rencana lanskap kawasan rekreasi Pantai Widarapayung, salah satu dari serangkaian obyek wisata pantai di Cilacap yang akan

Overlay dilakukan pada peta curah hujan, kemiringan lereng, peta infiltrasi tanah dan peta penggunaan lahan yang merupakan parameter kerentanan banjir yang digunakan

Hasil analisis model transformasi gelombang dan parameter gelombang pecah di dekat pantai menunjukkan bahwa gelombang yang pecah di dekat pantai Pekalongan dan Batang

Hasil perhitungan erosi dengan raster calculator pada peta curah hujan, peta jenis tanah, peta panjang dan kemiringan lereng, peta tutupan lahan menghasilkan peta bahaya

Zona 2 berada pada bagian tengah dari garis pantai Kabupaten Garut (Gambar 10) dan termasuk kedalam SKW Pameungpeuk yang memiliki 3 kawasan pantai wisata, yaitu Pantai Santolo,

Untuk mengetahui perubahan masing-masing fungsi kawasan dapat dilakukan dengan melakukan overlay/tumpang tindih peta batas kawasan hutan dengan peta tutupan lahan tahu