• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

RINGKASAN

IKHSAN. D24080129. 2012. Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam

Lemak Terbang. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt, M.Sc. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.

Gas metan (CH4) yang dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di dalam rumen ternak ruminansia berkontribusi secara signifikan terhadap akumulasi gas metan di atmosfer yang berdampak pada efek pemanasan global. Proses pembentukan gas metan melibatkan gas hidrogen (H2) yang juga terkait dengan produksi dan komposisi asam lemak terbang (VFA; volatile fatty acids) dari fermentasi nutrien. Dengan adanya keterkaitan tersebut, produksi gas metan secara stoikiometri dapat diestimasi dari komposisi VFA rumen. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat akurasi nilai gas metan melalui pendekatan stoikiometri dibandingkan dengan nilai gas metan yang didapatkan melalui pengukuran.

Penelitian dilaksanakan di Fakultas Peternakan IPB, Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan komputer dan data publikasi beserta data mentahnya. Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16.0 dan diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Penaksiran kesalahan estimasi dilakukan dengan perhitungan mean square prediction error (MSPE) dan root mean square prediction error (RMSPE).

Hasil menunjukkan bahwa persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Moss et al. (2000) terhadap CH4 observasi sebelum penyesuaian adalah y = 0,4231x – 3,1762 dengan R2 = 0,4645 dan persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007) terhadap CH4 observasi sebelum penyesuaian adalah y = 0,3735x – 3,2963 dengan R2 = 0,4778. Sedangkan, persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Moss et al. (2000) terhadap CH4 observasi setelah penyesuaian adalah y = 0,8446x – 4,6719 dengan R2 = 0,6619 dan persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007) terhadap CH4 observasi setelah penyesuaian adalah y = 0,7405x – 4,8011 dengan R2 = 0,6714. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model estimasi Moss et al. (2000) memiliki nilai RMSPE yang lebih kecil yaitu sebesar 8,01% daripada model estimasi Hegarty dan Nolan (2007) yaitu sebesar 10,73%.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya emisi CH4 dapat diestimasi secara cukup akurat melalui komposisi VFA. Namun, terdapat bias antara CH4 estimasi dan CH4 observasi. Penyesuaian dengan mempertimbangkan H2 recovery dapat mengurangi bias secara signifikan. Estimasi model stoikiometri Moss et al. (2000) lebih mendekati nilai CH4 observasi dari pada estimasi model stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007).

(2)

ABSTRACT

Estimation of Methane Emission Generated from Tropical Plants Fermentation in Rumen Environment In Vitro Using Volatile Fatty Acids Compotition

Ikhsan, A. Jayanegara and T. Toharmat

Rumen is the home to billions of microbes, including bacteria, methanogens, protozoa and fungi. These microbes breakdown feed to produce volatile fatty acids (VFA), carbon dioxide, ammonia and methane (CH4). Metabolic hydrogen in the form of reduced protons (H) is used during CH4 formation as well as during VFA synthesis. Therefore, VFA molar proportion in the rumen is stoichiometrically related to CH4 emission. The aim of this study was to evaluate methane emission between experimental and model estimates. The data sets were obtained from a published literature. Samples used were leaves from 27 tropical plant species. Model comparison was based on Duncan’s test. Prediction error was conducted by computing mean square prediction error (MSPE) and root mean square prediction error (RMSPE). Results showed that linear equation of Moss model to CH4 observed before adjustment was y = 0.4231x – 3.1762 with R2 = 0.4645, whereas Hegarty model to CH4 observed before adjusment was y = 0.3735x – 3.2963 with R2 = 0.4778. Further, linear equation of Moss model to CH4 observed after adjusment was y = 0.8446x – 4.6719 with R2 = 0.6619, while Hegarty model to CH4 observed after adjustment was y = 0.7405x – 4.8011 with R2 = 0.6714. Validation assessment showed that estimation model of Moss et al. (2000) had lower RMSPE value, i.e. 8.01%, than that of Hegarty and Nolan (2007) model, i.e. 10.73%. This study demonstrated that the low or high methane emission can be estimated by VFA composition with a sufficient accuracy. Adjusment by considering H2 recovery lowered the bias significantly. Comparison of predicted versus observed CH4 production showed that Moss model had closer to the ideal line (where predicted values are the same with the observed values) than Hegarty model.

(3)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komposisi kimiawi di atmosfer terus mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4). Cahaya panas matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi, sebaliknya bumi mengembalikan panas tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmosfer menyaring sejumlah cahaya panas yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa adanya efek rumah kaca alami ini maka suhu yang ada pada saat ini akan lebih rendah dan kehidupan mahluk hidup di bumi niscaya tidak mungkin ada. Akan tetapi permasalahan yang kini muncul adalah ketika konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer berlebih.

Pemanasan global telah menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling sering dibicarakan baik oleh peneliti, pemerintah, badan organisasi di tingkat nasional maupun internasional karena dampak negatif yang ditimbulkan dapat mengancam kelangsungan mahluk hidup di bumi. Pemanasan global mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi sumber bencana lingkungan seperti badai, iklim yang tidak stabil, peningkatan suhu, kenaikan permukaan air laut, mencairnya es di kutub, banjir dan bencana lingkungan lainnya. Pemanasan global diakibatkan oleh gas rumah kaca berbentuk gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menghambat radiasi sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi ke atmosfer, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer yang dapat meningkatkan pemanasan bumi, diantaranya disebabkan oleh aktivitas manusia di berbagai sektor seperti sampah, energi, kehutanan, pertanian dan peternakan (Sudarman, 2010).

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa peternakan merupakan salah satu penyumbang gas metan terbesar dimana gas metan merupakan salah satu komponen penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas metan dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia yang secara signifikan berkontribusi terhadap akumulasi gas metan di atmosfer sehingga panas matahari yang hendak dipantulkan kembali ke luar angkasa akan terhambat dan berdampak pada terjadinya pemanasan global.

(4)

2 kehilangan gross energy pada pakan sebanyak 2% hingga 15%. Sehingga, dengan kualitas nutrisi pakan yang baik maka energi tidak banyak digunakan untuk proses produksi gas metan melainkan untuk proses produksi dan reproduksi ternak.

Hidrogen metabolik dalam bentuk proton tereduksi (H) dapat digunakan selama sintesis VFA atau tergabung ke dalam bahan organik mikroba. Kelebihan hidrogen yang dihasilkan selama konversi heksosa menjadi asetat atau butirat akan digunakan dalam jalur propionat, tetapi sebagian besar dikonversi menjadi CH4 (Moss et al., 2000). Karena itu, proporsi asetat, butirat dan propionat menentukan jumlah H2 yang tersedia di dalam rumen untuk digunakan oleh metanogen. Dari hubungan tersebut maka secara stoikiometri dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH4 di dalam rumen.

Secara umum pengukuran emisi gas metan dapat dilakukan baik secara in vivo

melalui metode open-circuit respiratory chambers maupun in vitro melalui metode gas chromatography dan infrared methane analyzer. Akan tetapi, untuk mengukur emisi gas metan dengan semua metode tersebut dibutuhkan alat dan biaya yang tidak murah terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga diharapkan estimasi emisi gas metan secara stoikiometri melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) dapat menjawab masalah tersebut.

Tujuan

(5)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Pemanasan Global

Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas, sedangkan cuaca yaitu keadaan udara pada saat tertentu di wilayah tertentu yang relatif sempit dalam jangka waktu yang singkat. Misalnya pagi, siang maupun sore keadaannya berbeda (cerah, mendung ataupun hujan) di setiap tempat. Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas karbondioksida (CO2), metan (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehinga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi (Latief, 2010).

Dampak gas-gas rumah kaca terhadap pemanasan global sangat bervariasi; untuk jumlah konsentrasi yang sama tiap-tiap gas rumah kaca memberikan dampak pemansan global yang berbeda. Untuk memudahkan dalam membandingkan dampak yang berlainan ini maka dipakailah Indeks Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potential = GWP). Indeks GWP ditentukan dengan menggunakan CO2 sebagai acuan yaitu dengan membandingkan satu satuan berat gas rumah kaca tertentu dengan jumlah CO2 yang memberikan dampak pemanasan global yang sama. Misalnya 1 ton gas metan (CH4) akan memberikan dampak yang sama dengan 21 ton gas CO2 (Sudarman, 2010).

Gas Metan dan Kontribusinya Terhadap Pemanasan Global

(6)

4 Peningkatan emisi gas metan saat ini berada pada kisaran 30 hingga 40 Tg (1012 g) per tahun. Agar konsentrasi emisi gas metan global pada level tersebut stabil, diperlukan pengurangan emisi gas metan atau peningkatan penyerapan gas metan kira-kira pada jumlah yang sama dengan emisi gas metan yang dikeluarkan. Pengurangan emisi gas metan ini merepresentasikan sekitar 10% dari sumber antropogenik yang ada sekarang (di mana ternak ruminansia berkontribusi sekitar 30%). Jumlah tersebut lebih sedikit daripada persentase pengurangan yang diperlukan untuk menstabilkan gas rumah kaca yang lainnya. Kemudian, karena gas metan memiliki masa tinggal di atmosfer yang lebih pendek dan penyerapan secara radiasi yang lebih besar dari pada gas karbondioksida, maka strategi pengurangan emisi gas metan dapat memperlambat pemanasan global dalam waktu dekat ini (Moss et al.,

2000).

Permasalahan muncul ketika terjadi konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah, sejak awal revolusi industri mendekati 30%, konsentrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia (antropogenik) merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca. Pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, sampah organik, tanah yang tergenang air seperti rawa-rawa dan persawahan akan melepaskan gas metan (CH4), ikut meningkatkan gas rumah kaca. Dampak yang luas dan serius dari gas rumah kaca bagi lingkungan geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi: (1) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (2) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, (3) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (4) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (5) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit (Latief, 2010)

(7)

5 dilakukan dengan penghambatan metanogen, persediaan akseptor elektron alternatif dan pengembangan pemberian pakan rendah emisi metan disyaratkan untuk menghasilkan reduksi emisi metan yang berarti pada ternak ruminansia (McAllister dan Newbold, 2008).

Kontribusi Ternak Ruminansia Terhadap Produksi Gas Metan

Pertanian secara umum dan khususnya produksi peternakan, berkontribusi pada pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca non-CO2 yaitu CH4 dan N2O. CH4 paling banyak diemisikan dari ternak ruminansia, sementara, N2O utamanya diemisikan dari lahan yang diberi pupuk (Monteny et al., 2006).

Gas metan pada ternak ruminansia berasal dari dua sumber yaitu berasal dari hasil dari fermentasi saluran pencernaan (enteric fermentation) dan kotoran (manure). Fermentasi dari saluran pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metan yang dihasilkan oleh sektor peternakan. Pembentukan gas metan di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Metan yang diproduksi di saluran pencernaan ternak sebesar 80 - 95% diproduksi di dalam rumen dan 5 - 20% di dalam usus besar. Metan yang dihasilkan dalam rumen dikeluarkan melalui eruktasi ke atmosfir (Martin et al., 2008)

Gas metan (CH4) merupakan gas rumah kaca kedua paling banyak diemisikan dari ternak dan merupakan sumber utama emisi terbesar di Jepang (Shibata dan Terada, 2010). Produksi gas metan dari ternak ruminansia lebih banyak dihasilkan dari pakan berupa rumput daripada leguminosa. Penggunaan rumput hay yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan energi sebanyak emisi metan ke lingkungan sebagai gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global (Mirzaei et al., 2008).

(8)

6 Produksi metan dari ternak ruminansia telah banyak dikaji karena hubungan ternak ruminansia sebagai produsen dari gas metan. Proses metanogenesis terbentuk oleh archaea metanogen, sekelompok mikroorganisme yang hidup dan berkembang dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat untuk memproduksi metan. Mikroba lainnya juga dapat mempengaruhi produksi metan baik itu dikarenakan keterkaitannya dengan metabolisme hidrogen (H2) atau dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah mikroba metanogen atau anggota mikroba lainnya. Hidrogen (H2) merupakan elemen kunci untuk produksi metan di dalam rumen. Diantara produsen H2, protozoa memiliki posisi yang menonjol terhadap mikroba metanogen yang menyokong transfer H2 antar spesies. Korelasi positif yang kuat dapat dilihat antara jumlah protozoa dengan emisi gas metan, dan dikarenakan kelompok ini tidak esensial untuk fungsi rumen, protozoa dapat menjadi sebuah target untuk mitigasi metan. Sebuah faktor penting yang berhubungan dengan tingginya produksi H2 adalah degradasi bahan makanan tanaman berserat (Morgavi et al., 2010).

Sektor peternakan secara kolektif sebanding dengan ~25% emisi metan ke atmosfer dari aktifitas manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa sektor peternakan merupakan penyumbang emisi metan terbesar. Penelitian skala kecil dengan menggunakan teknik yang mirip seperti kandang tertutup atau tiruan rumen dapat menentukan emisi per ekor ternak yang dapat menggambarkan emisi skala nasional dan global berdasarkan pendekatan proporsi konstan konsumsi energi yang dikeluarkan sebagai metan (Lassey, 2008).

Strategi Menurunkan Emisi Gas Metan

Selama beberapa dekade terakhir, hasil penelitian mengenai produksi gas metan di dalam rumen beserta pencegahannya telah banyak diangkat. Pada awalnya, produksi gas metan merepresentasikan kehilangan gross energy pada pakan (2-15%), sehingga tujuan akhir yang harus dilakukan adalah peningkatan efisiensi pakan. Alasan kedua dilakukannya penelitian tersebut dikarenakan peran gas metan terhadap fenomena pemanasan global dan rusaknya lapisan ozon (Van Nevel et al., 1996).

(9)

7 sekumpulan mikroba metanogen harus dihubungkan dengan perubahan mikrobiota rumen dan ketersediaan H2. Jumlah protozoa dan produksi metan berkorelasi secara langsung. Beberapa strategi yang paling berhasil untuk mereduksi emisi metan memiliki kecenderungan efek negatif pada protozoa. Keseimbangan antara penghasil H2 dan penghasil selain H2 di dalam komunitas fibrolitik dapat digeser untuk mengurangi metanogenesis tanpa merubah kemampuan mendegradasi seratnya. Menurunkan proses metanogenesis rumen merupakan suatu hal yang mungkin, dengan beberapa strategi yang sudah ada dan strategi lainnya yang belum diuji. Suatu hal yang mungkin untuk memodifikasi ekosistem mikroba untuk menurunkan produksi metan, tetapi manipulasi komponen mikroba dari sistem tersebut harus terintegrasi (Morgavi et al., 2010).

Pengurangan emisi gas metan secara efektif dapat dicapai dengan beberapa strategi diantaranya dengan memperbaiki efisiensi produksi ternak, mengurangi fermentasi pakan per unit produk, atau merubah susunan pola proses fermentasi di dalam rumen. Banyak strategi yang mutakhir dan berpotensi telah dievaluasi, tetapi tidak semua dapat diaplikasikan pada level peternakan, dan dalam banyak kasus potensi efek negatif dan biaya tidak secara penuh diteliti. Strategi yang efektif, meningkatkan produktivitas, dan tidak berpotensi negatif pada produksi ternak adalah suatu tantangan yang lebih besar yang dapat dijawab oleh produsen (Boadi et al., 2004). Pengembangan strategi pemberian pakan yang dapat mereduksi emisi metan ternak ruminansia akan bermanfaat baik jangka panjang dalam mengurangi laju akumulasi gas rumah kaca, maupun jangka pendek dalam mengurangi kehilangan energi pada ternak (Jayanegara et al., 2009a).

Fraksi senyawa polifenol yang secara nyata menurunkan produksi gas metan adalah total fenol (yang terdiri atas senyawa fenol tanin dan senyawa fenol bukan tanin) dan total tanin, sedangkan tanin terkondensasi tidak terbukti menurunkan gas metan melalui koefisien korelasi. Namun, beberapa hasil penelitian lain menyatakan bahwa tanin terkondensasi secara signifikan dapat menurunkan emisi metan. Berdasarkan hal tersebut, efek tanin terkondensasi terhadap produksi metan masih belum konsisten, apakah dapat menurunkan emisi metan atau tidak. Hal ini sangat bergantung pada tanaman sumber tanin terkondensasi tersebut, karena struktur senyawa tanin terkondensasi sangat bervariasi antara satu tanaman dengan tanaman lainnya (Jayanegara et al., 2009a).

Estimasi Produksi Gas Metan

(10)

8 ternak, komponen penyusun susu dan komponen kecernaan pakan. Model yang dikembangkan untuk memprediksi emisi CH4 dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok utama: (1) model empirik (statistik) yang berhubungan dengan konsumsi nutrien untuk menghasilkan CH4 secara langsung, dan (2) model mekanistik dinamik yang menguji untuk mensimulasikan emisi CH4 berdasarkan deskripsi matematika dari biokimia fermentasi rumen (Kebreab et al., 2006). Kedua model tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Salah satu model mekanistik statis untuk mengestimasi emisi gas metan adalah melalui model stoikiometri berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007) dan Moss et al. (2000). Menurut Hegarty dan Nolan (2007) komposisi VFA dapat digunakan untuk memprediksi produksi metan melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4– 0,25 C3– 0,25 C5

Prediksi produksi metan dari persamaan di atas didasarkan atas beberapa asumsi berikut:

 VFA hanya merupakan produk akhir fermentasi (tidak ada hidrogen yang digunakan dalam produksi polimer sel)

 Tidak ada H2 bebas yang keluar dari rumen

 Proses pencernaan mikroba terjadi secara anaerob (tidak ada H2 yang digunakan untuk mereduksi O2 menjadi H2O)

 H2 tidak digunakan di dalam reaksi lain, misalnya, reaksi reduksi sulfat menjadi sulfida atau reaksi dari ikatan rangkap di dalam asam lemak.

Hal ini mungkin menjadi asumsi yang kurang tepat karena prediksi berdasarkan produksi VFA yang secara teori akan menghasilkan estimasi pengukuran yang berlebih dari produksi metan yang sebenarnya dikarenakan terjadinya asimilasi hidrogen selama sintesis polimer-polimer mikroba dan reaksi lainnya yang tidak diikutsertakan. Hal penting yang harus diketahui dari reaksi yang tidak spesifik ini adalah sulit untuk mengukur dan mungkin bergantung pada bercampurnya spesies bakteri dan mikroba lain yang ada. Pengaruhnya dapat lebih besar ketika faktor penghambat produksi metan ada di dalam pakan ternak (Hegarty dan Nolan, 2007). Sedangkan, menurut Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh Montoya et al. (2011) produksi metan dapat dihitung melalui persamaan:

CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4

(11)

9 dari VFA mempengaruhi produksi metan di dalam rumen. Asam asetat dan butirat mendorong produksi metan sementara hidrogen digunakan untuk pembentukan propionat di dalam rumen. Teori perhitungan tersebut telah memperkuat estimasi produksi metan secara

in vitro dimana pada hasil akhir dapat dihitung.

(12)

10 Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Prediksi Emisi Metan Melalui Model Empirik dan

Mekanistika. Tipe Model

Prediksi Model Empirik Model Mekanistik

Deskripsi Merupakan model statis yang

3. Informasi iklim dan manajemen terhitung di dalam model 4. Menghitung populasi metanogen

dan efisiensinya dalam laju produksi

Kelemahan 1. Membutuhkan lahan yang luas dan percobaan yang 3. Prediksi metan tidak akurat

ketika ada gangguan karena hanya berdasarkan karakteristik pakan dan tidak memperhitungkan faktor lain

(13)

11

MATERI METODE

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian bertempat di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan berlangsung dari bulan Februari sampai April 2012.

Materi

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop, software Microsoft excel 2010, dan software SPSS 16.0.

Bahan yang digunakan adalah data publikasi berikut data mentahnya yang diperoleh dari hasil penelitian Jayanegara et al. (2011) terhadap 27 jenis spesies hijauan makanan ternak ruminansia yang diinkubasi dengan menggunakan Hohenheim Gas Test (HGT). Pada penelitian tersebut data emisi gas metan dianalisis dengan menggunakan gas kromatografi. Data pertama (Tabel 2) berisi komposisi kimia berikut kandungan total tanin pada setiap spesies hijauan yang diujikan (dalam g/kg bahan kering) dengan 2 kali ulangan dan data kedua (Tabel 3) berisi total gas (ml), produksi CH4 (ml), total VFA (mmol/l) dan proporsi VFA individual (% total VFA) setelah diinkubasi pada setiap jenis hijauan masing-masing dengan 8 kali ulangan. Data dari penelitian tersebut belum dilakukan estimasi emisi gas metan melalui komposisi asam lemak terbang (VFA).

Prosedur

Perhitungan Nilai CH4

Satuan ml yang diperoleh dari data hasil pengukuran in vitro CH4 Jayanegara et al.

(2011) diubah menjadi satuan mmol/l dengan menggunakan persamaan gas ideal berikut:

PV = nRT

Keterangan:

P = tekanan gas (atm)

V = volume gas (L)

n = jumlah mol (mmol)

(14)

12 T = suhu mutlak gas (K = 273 + suhu celcius)

Metode estimasi dilakukan melalui pendekatan stoikiometri VFA terhadap gas metan dengan dua model, yaitu:

1. Berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007) dengan asumsi H2 recovery 100%, CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4– 0,25 C3– 0,25 C5

2. Berdasarkan Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh Montoya et al. (2011) dengan asumsi H2 recovery 90%,

CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4

Keterangan:

C2 = asetat

C3 = propionat

C4 = butirat

C5 = valerat

Pada software microsoft excel, data C2, C3, C4, dan C5 yang diperoleh dari Jayanegara et al.

(2011) setelah diubah menjadi satuan mmol/l kemudian dihitung dengan masing-masing persamaan di atas.

H2 recovery dihitung berdasarkan persamaan Demeyer dan Van Nevel (1979) yaitu 2Hu/2Hp x 100, dimana Hu merupakan hydrogen utilized dan Hp merupakan hydrogen

produced, dengan 2Hu = 2 Propionat + 2 Butirat + 4 Metan + Valerat dan 2Hp = 2 Asetat +

Propionat + 4 Butirat + 2 iso-Valerat + 2 Valerat. Kemudian CH4 observasi setelah mengalami penyesuaian dihitung melalui persamaan berikut:

CH4 setelah penyesuaian = CH4 sebelum penyesuaian x 100/H2 recovery.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16.0, kemudian diuji lanjut menggunakan uji Duncan dan dianalisis dengan uji-t. Penaksiran kesalahan dari estimasi dilakukan dengan perhitungan mean square prediction error (MSPE):

(15)

13 Keterangan: n = banyaknya pengamatan

Oi = CH4 observasi

Pi = CH4 prediksi

(16)

14 Tabel 2. Komposisi Kimia Spesies Hijauan yang Diuji (g/kg bahan kering)a

(17)

15 25 Psidium guajava Myrtaceae Daun pohon 921 146 35 385 294 120 223

26 Sesbania grandiflora Fabaceae Daun perdu 895 312 28 251 200 70 285 27 Swietenia mahagoni Meliaceae Daun pohon 899 112 45 281 222 78 254 Keterangan: aJayanegara et al. (2011)

b

Neutral detergent fiber c

Acid detergent fiber d

Non-fiber carbohydrates = (bahan organik - protein kasar - ekstrak eter - aNDForm - total phenol)

Tabel 3. Rataan Total Gas, CH4, CH4/Total Gas dan Profile Asam Lemak Rantai Pendek Ketika Inkubasi Pada Hijauan yang Diujia

No. Spesies Total gas

(ml)

CH4

(ml)

CH4/total gas

(ml/l)

Asam lemak rantai pendek (proporsi molar)b Total

(mmol/l) C2 C3 C4 iso C4 C5 iso C5 C2/C3

1 Acacia mangium 14,3 2,63 134 45,2 74,2 17,3 7,0 0,61 0,39 0,46 4,29

2 Acacia vilosa 5,3 0,84 76 42,4 71,3 18,8 7,8 0,96 0,69 0,54 3,83 3 Albizia falcataria 16,8 2,39 106 58,4 76,7 15,4 6,4 0,70 0,38 0,44 5,03 4 Artocarpus heterophyllus 29,7 3,70 113 61,3 74,9 16,9 6,4 0,77 0,39 0,60 4,47 5 Calliandra calothyrsus 19,1 2,34 112 54,0 76,4 15,8 6,0 0,76 0,45 0,60 4,95 6 Canna indica 10,9 2,70 171 56,9 73,5 16,5 8,1 0,94 0,44 0,58 4,49 7 Carica papaya 42,8 7,36 159 79,2 69,1 19,3 7,4 1,67 0,81 1,72 3,62 8 Clidemia hirta 20,4 2,68 105 53,0 75,3 15,5 7,5 0,79 0,42 0,54 4,93 9 Cyacas rumphii 17,3 3,03 139 53,6 74,4 15,7 7,9 0,73 0,47 0,82 4,77 10 Erythrina orientalis 24,9 4,53 152 60,2 71,9 17,6 7,2 1,59 0,57 1,13 4,10 11 Eugenia aquea 8,1 1,03 93 42,9 76,1 14,5 8,0 0,61 0,40 0,39 5,31 12 Hibiscus tiliaceus 13,4 2,79 185 50,6 74,7 15,4 7,9 1,06 0,41 0,52 4,87

13 Ipomoea batatas 36,8 5,54 140 71,7 74,3 16,5 7,3 0,92 0,40 0,57 4,52 14 Lantana camara 32,2 4,90 132 63,6 73,8 17,3 7,2 0,74 0,50 0,59 4,37

(18)

16 15 Leucaena diversifolia 26,8 3,71 115 60,8 74,5 17,9 5,6 0,85 0,40 0,72 4,21 16 Leucaena leucocephala 28,4 4,15 124 63,6 74,0 18,5 6,1 0,63 0,46 0,40 4,01 17 Manihot esculenta 35,1 6,22 155 75,9 71,9 17,4 7,3 1,40 0,75 1,30 4,17 18 Melia azedarach 39,0 5,86 141 72,5 71,7 19,5 6,7 0,85 0,53 0,74 3,79 19 Mimosa invisa 15,4 2,40 129 55,7 73,2 18,2 6,5 1,05 0,61 0,53 4,08 20 Morinda citrifolia 40,1 7,21 161 75,2 69,9 21,2 6,5 1,30 0,44 0,65 3,36 21 Myiristica fragrans 18,5 1,99 94 53,6 76,3 14,5 7,2 0,77 0,44 0,79 5,34 22 Paspalum dilatatum 35,9 5,03 128 62,2 73,1 16,8 7,7 1,36 0,51 0,58 4,38 23 Persea americana 16,3 3,18 150 56,6 75,9 14,8 7,8 0,75 0,36 0,44 5,15 24 Pithecellobium jiringa 15,6 2,05 96 56,6 75,5 15,6 7,0 0,68 0,62 0,58 5,00 25 Psidium guajava 13,3 2,11 115 49,6 74,1 16,3 8,0 0,78 0,36 0,44 4,65 26 Sesbania grandiflora 35,3 5,97 148 74,6 72,7 18,7 6,0 1,43 0,54 0,67 3,92 27 Swietenia mahagoni 20,1 1,59 68 50,8 75,8 16,7 5,4 0,81 0,48 0,75 4,55 SEM 0,74 0,136 2,2 0,95 0,18 0,16 0,08 0,037 0,013 0,026 0,050 P <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 MSDc 4,43 0,760 16,9 10,45 3,16 2,94 1,35 0,870 0,290 0,493 0,870 Keterangan: aJayanegara et al. (2011)

b

C2, asetat; C3, propionat; C4, butirat; C5, valerat; C2/C3, rasio asetat/propionat c

beda nyata minimum

(19)

17 HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai dari masing-masing emisi CH4 berturut-turut melalui estimasi model stoikiometri menurut Hegarty dan Nolan (2007), estimasi model stoikiometri menurut Moss et al. (2000), dan pengukuran CH4 observasi setelah penyesuaian Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05).

(20)

18 Acacia villosa. Pada Tabel 4 spesies hijauan Acacia villosa memiliki kandungan total tanin tertinggi dibandingkan dengan spesies hijauan lainnya yaitu sebesar 220 g/kg bahan kering.

Tanin atau polifenol merupakan senyawa metabolit sekunder alami yang terdapat pada tanaman dan sangat prospektif untuk digunakan dalam menurunkan emisi metan yang dihasilkan oleh ternak ruminansia (Jayanegara et al., 2009b). Hal ini dapat terlihat dari hubungan total tanin dan emisi metan pada Tabel 4 yang secara umum memperlihatkan bahwa antara tanin dan emisi CH4 memiliki korelasi yang negatif. Pada spesies hijauan yang memiliki kandungan tanin yang tinggi akan menghasilkan emisi CH4 yang rendah. Begitu pula sebaliknya, pada spesies hijauan yang memiliki kandungan tanin yang rendah akan menghasilkan emisi CH4 yang tinggi. Tanin kemungkinan dapat menghambat proses metanogenesis secara langsung dan juga melalui penghambatan terhadap pertumbuhan protozoa (Patra dan Saxena, 2010). Tanin dapat melindungi protein dari degradasi mikroorganisme rumen sehingga protein dapat tersedia pada saluran pencernaan pasca rumen. Kompleks ikatan tanin-protein kemudian dapat lepas pada pH rendah di abomasum dan protein dapat didegradasi oleh enzim pepsin sehingga asam amino yang dikandungnya tersedia bagi ternak. Dengan terhambatnya degradasi protein dan serat mengakibatkan terhambatnya produksi gas yang merupakan hasil samping dari proses fermentasi nutrien pada pakan (Jayanegara et al., 2009b). Oleh karena itu, produksi gas metan yang juga merupakan hasil samping dari proses fermentasi nutrien pada pakan dapat ditekan oleh adanya kandungan tanin pada pakan.

Estimasi emisi gas metan yang dilakukan melalui kedua model stoikiometri menurut Hegarty dan Nolan (2007), berdasarkan nilai-nilai yang diperoleh pada Tabel 4 menghasilkan estimasi yang berlebih dari emisi metan observasi. Hal tersebut dikarenakan adanya asimilasi hidrogen selama sintesis polimer mikroba dan reaksi lainnya tidak diikutsertakan (Hegarty dan Nolan, 2007) atau dengan kata lain model stoikiometri tersebut mengasumsikan bahwa H2 digunakan sepenuhnya untuk produksi gas metan. Pada kenyataannya, tidak semua H2 yang dihasilkan di dalam rumen digunakan oleh bakteri metanogen menjadi gas metan (CH4).

(21)

19 serta dalam berbagai reaksi redoks lainnya (Czerkawski dan Breckenridge, 1975). Sedangkan pada model stoikiometri menurut Moss et al. (2000), H2 recovery diasumsikan sebesar 90%, sehingga estimasi menurut persamaan Moss lebih mendekati hasil pengukuran CH4 observasi dari pada model stoikiometri menurut persamaan Hegarty dan Nolan (2007). Pada pengukuran CH4 observasi, H2 recovery dihitung melalui persamaan2Hu/2Hp x 100 (Demeyer, 1979). Namun, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai H2 recovery yang didapat sangat beragam yaitu antara 28,9-56,2%. Dengan demikian, model stoikiometri VFA menurut Moss juga mengalami estimasi yang berlebih terhadap CH4 observasi setelah mengalami penyesuaian. Hal itu dikarenakan H2 recovery yang diasumsikan oleh Moss sebesar 90%, lebih tinggi dari H2 recovery sebenarnya melalui pengukuran secara in vitro.

Dibandingkan dengan sebelum penyesuaian (Gambar 1), kedua garis estimasi model Hegarty dan Nolan (2007) dan Moss et al. (2000) jauh lebih mendekati garis ideal pada CH4 setelah penyesuaian (Gambar 2). Hal tersebut dikarenakan pada pengukuran CH4 setelah penyesuaian diasumsikan 100% H2 recovery, sehingga metanogen di rumen dianggap melakukan aktivitas metanogenesis dimana semua hidrogen digunakan untuk mereduksi karbon-dioksida. Dengan demikian nilai CH4 setelah penyesuaian menjadi lebih besar dibandingkan dengan nilai CH4 sebelum penyesuaian yang menyebabkan garis estimasi model Hegarty dan Nolan (2007) dan Moss et al. (2000) lebih mendekati garis ideal.

(22)

20 Gambar 1 dan Gambar 2 memperlihatkan garis linear Moss selalu lebih mendekati garis ideal dari pada garis linear Hegarty, akan tetapi nilai R2 pada model stoikiometri Hegarty sedikit lebih besar baik terhadap CH4 observasi sebelum penyesuaian maupun setelah penyesuaian. Pada Gambar 1 data dari persamaan keduanya menunjukkan hasil yang cukup akurat untuk mengestimasi tinggi rendahnya emisi gas metan akan tetapi masih terdapat bias yang cukup besar antara

y = 0,3735x - 3,2963

Gambar 1. Hubungan antara CH4 Observasi sebelum penyesuaian dan CH4 estimasi

(23)

21 CH4 yang diestimasi dan CH4 yang diobservasi. Setelah melalui penyesuaian yang mempertimbangkan H2 recovery ternyata bias tersebut dapat diperkecil secara signifikan seperti terlihat pada Gambar 2.

Uji-t dapat dilihat pada Tabel 5 menunjukkan nilai-p untuk masing-masing uji-t berpasangan adalah kurang dari 0,001 yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara nilai emisi gas metan melalui pengukuran dan nilai emisi gas metan melalui estimasi baik itu berdasarkan estimasi model Hegarty dan Nolan (2007) maupun estimasi model Moss et al. (2000). Begitu juga perbedaan antara kedua model estimasi tersebut terdapat perbedaan yang sangat nyata.

Tabel 5. Sampel Uji-t Berpasangan dan Nilai P

Sampel Uji-t Berpasangan Nilai-p Observasi vs Hegarty dan Nolan (2007) <0,001 Observasi vs Moss et al. (2000) <0,001 Hegarty dan Nolan (2007) vs Moss et al. (2000) <0,001

Nilai RMSPE disajikan pada Tabel 6 sehingga dapat dilihat seberapa jauh nilai-nilai peubah hasil estimasi model Hegarty dan Nolan (2007) dan Moss et al. (2000) menyimpang dari alur nilai-nilai aktual emisi gas CH4 observasi melalui pengukuran dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai estimasi kedua model tersebut mengikuti perkembangan nilai aktual emisi gas CH4 observasi melalui pengukuran. Hasil validasi model menunjukkan bahwa estimasi model Moss et al. (2000) memiliki nilai RMSPE yang lebih kecil yaitu sebesar 8,01% daripada estimasi model Hegarty dan Nolan (2007) yaitu sebesar 10,73%. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara stoikiometri estimasi model Moss et al. (2000) lebih baik untuk menduga tinggi rendahnya emisi gas metan dibandingkan dengan estimasi model Hegarty dan Nolan (2007).

Tabel 6. Mean Square Prediction Error (MSPE) dan Root Mean Square Prediction Error (RMSPE)

MSPE RMSPE (%)

Observasi - Hegarty dan Nolan (2007) 115,10 10,73

(24)

22 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tinggi rendahnya emisi gas metan (CH4) dapat diestimasi secara cukup akurat melalui komposisi asam lemak terbang (VFA). Namun, terdapat bias antara CH4 estimasi dan CH4 observasi. Penyesuaian dengan mempertimbangkan H2

recovery dapat mengurangi bias secara signifikan. Estimasi model stoikiometri Moss et al. (2000) lebih mendekati nilai CH4 observasi dari pada estimasi model stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007).

Saran

(25)

ESTIMASI EMISI GAS METAN YANG DIHASILKAN DARI

FERMENTASI HIJAUAN TROPIS DALAM RUMEN

IN VITRO

MELALUI KOMPOSISI

ASAM LEMAK TERBANG

SKRIPSI IKHSAN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(26)

ESTIMASI EMISI GAS METAN YANG DIHASILKAN DARI

FERMENTASI HIJAUAN TROPIS DALAM RUMEN

IN VITRO

MELALUI KOMPOSISI

ASAM LEMAK TERBANG

SKRIPSI IKHSAN

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(27)

RINGKASAN

IKHSAN. D24080129. 2012. Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam

Lemak Terbang. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt, M.Sc. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.

Gas metan (CH4) yang dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di dalam rumen ternak ruminansia berkontribusi secara signifikan terhadap akumulasi gas metan di atmosfer yang berdampak pada efek pemanasan global. Proses pembentukan gas metan melibatkan gas hidrogen (H2) yang juga terkait dengan produksi dan komposisi asam lemak terbang (VFA; volatile fatty acids) dari fermentasi nutrien. Dengan adanya keterkaitan tersebut, produksi gas metan secara stoikiometri dapat diestimasi dari komposisi VFA rumen. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat akurasi nilai gas metan melalui pendekatan stoikiometri dibandingkan dengan nilai gas metan yang didapatkan melalui pengukuran.

Penelitian dilaksanakan di Fakultas Peternakan IPB, Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan komputer dan data publikasi beserta data mentahnya. Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16.0 dan diuji lanjut dengan menggunakan uji Duncan. Penaksiran kesalahan estimasi dilakukan dengan perhitungan mean square prediction error (MSPE) dan root mean square prediction error (RMSPE).

Hasil menunjukkan bahwa persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Moss et al. (2000) terhadap CH4 observasi sebelum penyesuaian adalah y = 0,4231x – 3,1762 dengan R2 = 0,4645 dan persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007) terhadap CH4 observasi sebelum penyesuaian adalah y = 0,3735x – 3,2963 dengan R2 = 0,4778. Sedangkan, persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Moss et al. (2000) terhadap CH4 observasi setelah penyesuaian adalah y = 0,8446x – 4,6719 dengan R2 = 0,6619 dan persamaan garis linear pada model estimasi stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007) terhadap CH4 observasi setelah penyesuaian adalah y = 0,7405x – 4,8011 dengan R2 = 0,6714. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model estimasi Moss et al. (2000) memiliki nilai RMSPE yang lebih kecil yaitu sebesar 8,01% daripada model estimasi Hegarty dan Nolan (2007) yaitu sebesar 10,73%.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya emisi CH4 dapat diestimasi secara cukup akurat melalui komposisi VFA. Namun, terdapat bias antara CH4 estimasi dan CH4 observasi. Penyesuaian dengan mempertimbangkan H2 recovery dapat mengurangi bias secara signifikan. Estimasi model stoikiometri Moss et al. (2000) lebih mendekati nilai CH4 observasi dari pada estimasi model stoikiometri Hegarty dan Nolan (2007).

(28)

ABSTRACT

Estimation of Methane Emission Generated from Tropical Plants Fermentation in Rumen Environment In Vitro Using Volatile Fatty Acids Compotition

Ikhsan, A. Jayanegara and T. Toharmat

Rumen is the home to billions of microbes, including bacteria, methanogens, protozoa and fungi. These microbes breakdown feed to produce volatile fatty acids (VFA), carbon dioxide, ammonia and methane (CH4). Metabolic hydrogen in the form of reduced protons (H) is used during CH4 formation as well as during VFA synthesis. Therefore, VFA molar proportion in the rumen is stoichiometrically related to CH4 emission. The aim of this study was to evaluate methane emission between experimental and model estimates. The data sets were obtained from a published literature. Samples used were leaves from 27 tropical plant species. Model comparison was based on Duncan’s test. Prediction error was conducted by computing mean square prediction error (MSPE) and root mean square prediction error (RMSPE). Results showed that linear equation of Moss model to CH4 observed before adjustment was y = 0.4231x – 3.1762 with R2 = 0.4645, whereas Hegarty model to CH4 observed before adjusment was y = 0.3735x – 3.2963 with R2 = 0.4778. Further, linear equation of Moss model to CH4 observed after adjusment was y = 0.8446x – 4.6719 with R2 = 0.6619, while Hegarty model to CH4 observed after adjustment was y = 0.7405x – 4.8011 with R2 = 0.6714. Validation assessment showed that estimation model of Moss et al. (2000) had lower RMSPE value, i.e. 8.01%, than that of Hegarty and Nolan (2007) model, i.e. 10.73%. This study demonstrated that the low or high methane emission can be estimated by VFA composition with a sufficient accuracy. Adjusment by considering H2 recovery lowered the bias significantly. Comparison of predicted versus observed CH4 production showed that Moss model had closer to the ideal line (where predicted values are the same with the observed values) than Hegarty model.

(29)

ESTIMASI EMISI GAS METAN YANG DIHASILKAN DARI

FERMENTASI HIJAUAN TROPIS DALAM RUMEN

IN VITRO

MELALUI KOMPOSISI

ASAM LEMAK TERBANG

IKHSAN D24080129

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(30)

Judul : Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang

Nama : Ikhsan Nim : D24080129

Menyetujui,

Mengetahui, Ketua Departemen,

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.) NIP: 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 24 Juli 2012 Tanggal Lulus:

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(31)

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada hari Senin tanggal 21 Mei 1990 pukul 07.00 WIB di Tasikmalaya, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Ibu Iyar Juarsih dan Bapak Yaya Tahyana.

Penulis mengawali pendidikan dasar di SD Negeri Pinayungan V Karawang (1996-2002). Pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMP Negeri 1 Karawang (2002-2005). Pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1 Karawang (2005-2008).

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Selama menempuh pendidikan sarjana, penulis berkesempatan mendapatkan beasiswa Tjipta Sarjana Bangun Desa (TSBD) dari Eka Tjipta Foundation (ETF) - Sinarmas Group.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus, diantaranya Organisasi Mahasiswa Daerah (Omda) Karawang IPB, Asrama Sylvasari IPB, Merpati Putih IPB, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) IPB, Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter) IPB, Koperasi Peternak Kelinci (Kopnakci) Bogor, Daya Mahasiswa Sunda (Damas) Bogor, dan Informatika Bogor Club (IBC) Bogor.

Bogor, 1 Agustus 2012

(32)

KATA PENGANTAR Assalamu'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh

Alhamdu lillaahirobbil „aalamiin wash-sholaatu wassalaamu „alaa sayyidina

wa habibina wa syafi‟ina muhammadin wa „alaa alii washohbihii ajma‟iin amma ba‟du. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Estimasi Emisi Gas Metan yang Dihasilkan dari Fermentasi Hijauan Tropis dalam Rumen In Vitro Melalui Komposisi Asam Lemak Terbang”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Sayyidina Muhammad SAW, seraya berharap semoga dengan syafa’atnya menjadikan ilmu yang dimiliki penulis dan skripsi ini menjadi bermanfaat dan penuh berkah.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan dari Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi estimasi emisi gas metan secara stoikiometri melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) terhadap pengukuran emisi gas metan dengan teknik in vitro.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan. Aamiin.

Wassalamu‟alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh

Bogor, 1 Agustus 2012

(33)

DAFTAR ISI

Halaman RINGKASAN ... i ABSTRACT ... ii LEMBAR PERNYATAAN ... iii LEMBAR PENGESAHAN ... iv RIWAYAT HIDUP ... v KATA PENGANTAR ... vi DAFTAR ISI ... vii DAFTAR TABEL ... viii DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x PENDAHULUAN ... 1

(34)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Keunggulan dan Kekurangan Prediksi Emisi Metan Melalui Model Empirik dan Mekanistik ...

8 2. Komposisi Kimia Spesies Hijauan yang Diuji ...

14 3. Total Gas, CH4, CH4/Total Gas dan Profile Asa m Lemak

R ant ai P endek Ket i ka Inkub asi P ada H i j auan yan g Diuji ...

15 4. Total Tanin (Jayanegara et al., 2011), CH4 Estimasi, H2

Recovery dan CH4 Setelah Penyesuaian ...

17 5. Sampel Uji-t Berpasangan dan Nilai P ... 21 6. Mean Square Prediction Error (MSPE) dan Root Mean

(35)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Hubungan Antara CH4 Observasi Sebelum Penyesuaian dan

CH4 Estimasi ... 20 2. Hubungan Antara CH4 Observasi Setelah Penyesuaian dan

(36)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Sumber Data Estimasi Metan dari VFA (Jayanegara et al., 2011) ...

(37)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komposisi kimiawi di atmosfer terus mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO2) dan metan (CH4). Cahaya panas matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi, sebaliknya bumi mengembalikan panas tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atmosfer menyaring sejumlah cahaya panas yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa adanya efek rumah kaca alami ini maka suhu yang ada pada saat ini akan lebih rendah dan kehidupan mahluk hidup di bumi niscaya tidak mungkin ada. Akan tetapi permasalahan yang kini muncul adalah ketika konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer berlebih.

Pemanasan global telah menjadi salah satu masalah lingkungan yang paling sering dibicarakan baik oleh peneliti, pemerintah, badan organisasi di tingkat nasional maupun internasional karena dampak negatif yang ditimbulkan dapat mengancam kelangsungan mahluk hidup di bumi. Pemanasan global mempengaruhi perubahan iklim sehingga menjadi sumber bencana lingkungan seperti badai, iklim yang tidak stabil, peningkatan suhu, kenaikan permukaan air laut, mencairnya es di kutub, banjir dan bencana lingkungan lainnya. Pemanasan global diakibatkan oleh gas rumah kaca berbentuk gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menghambat radiasi sinar matahari yang dipantulkan oleh bumi ke atmosfer, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat. Meningkatnya jumlah gas rumah kaca di atmosfer yang dapat meningkatkan pemanasan bumi, diantaranya disebabkan oleh aktivitas manusia di berbagai sektor seperti sampah, energi, kehutanan, pertanian dan peternakan (Sudarman, 2010).

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa peternakan merupakan salah satu penyumbang gas metan terbesar dimana gas metan merupakan salah satu komponen penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas metan dihasilkan oleh kelompok mikroba metanogen di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia yang secara signifikan berkontribusi terhadap akumulasi gas metan di atmosfer sehingga panas matahari yang hendak dipantulkan kembali ke luar angkasa akan terhambat dan berdampak pada terjadinya pemanasan global.

(38)

2 kehilangan gross energy pada pakan sebanyak 2% hingga 15%. Sehingga, dengan kualitas nutrisi pakan yang baik maka energi tidak banyak digunakan untuk proses produksi gas metan melainkan untuk proses produksi dan reproduksi ternak.

Hidrogen metabolik dalam bentuk proton tereduksi (H) dapat digunakan selama sintesis VFA atau tergabung ke dalam bahan organik mikroba. Kelebihan hidrogen yang dihasilkan selama konversi heksosa menjadi asetat atau butirat akan digunakan dalam jalur propionat, tetapi sebagian besar dikonversi menjadi CH4 (Moss et al., 2000). Karena itu, proporsi asetat, butirat dan propionat menentukan jumlah H2 yang tersedia di dalam rumen untuk digunakan oleh metanogen. Dari hubungan tersebut maka secara stoikiometri dapat digunakan untuk mengestimasi emisi CH4 di dalam rumen.

Secara umum pengukuran emisi gas metan dapat dilakukan baik secara in vivo

melalui metode open-circuit respiratory chambers maupun in vitro melalui metode gas chromatography dan infrared methane analyzer. Akan tetapi, untuk mengukur emisi gas metan dengan semua metode tersebut dibutuhkan alat dan biaya yang tidak murah terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sehingga diharapkan estimasi emisi gas metan secara stoikiometri melalui komposisi asam lemak terbang (VFA) dapat menjawab masalah tersebut.

Tujuan

(39)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Pemanasan Global

Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun yang penyelidikannya dilakukan dalam waktu yang lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas, sedangkan cuaca yaitu keadaan udara pada saat tertentu di wilayah tertentu yang relatif sempit dalam jangka waktu yang singkat. Misalnya pagi, siang maupun sore keadaannya berbeda (cerah, mendung ataupun hujan) di setiap tempat. Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas karbondioksida (CO2), metan (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehinga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi (Latief, 2010).

Dampak gas-gas rumah kaca terhadap pemanasan global sangat bervariasi; untuk jumlah konsentrasi yang sama tiap-tiap gas rumah kaca memberikan dampak pemansan global yang berbeda. Untuk memudahkan dalam membandingkan dampak yang berlainan ini maka dipakailah Indeks Potensi Pemanasan Global (Global Warming Potential = GWP). Indeks GWP ditentukan dengan menggunakan CO2 sebagai acuan yaitu dengan membandingkan satu satuan berat gas rumah kaca tertentu dengan jumlah CO2 yang memberikan dampak pemanasan global yang sama. Misalnya 1 ton gas metan (CH4) akan memberikan dampak yang sama dengan 21 ton gas CO2 (Sudarman, 2010).

Gas Metan dan Kontribusinya Terhadap Pemanasan Global

(40)

4 Peningkatan emisi gas metan saat ini berada pada kisaran 30 hingga 40 Tg (1012 g) per tahun. Agar konsentrasi emisi gas metan global pada level tersebut stabil, diperlukan pengurangan emisi gas metan atau peningkatan penyerapan gas metan kira-kira pada jumlah yang sama dengan emisi gas metan yang dikeluarkan. Pengurangan emisi gas metan ini merepresentasikan sekitar 10% dari sumber antropogenik yang ada sekarang (di mana ternak ruminansia berkontribusi sekitar 30%). Jumlah tersebut lebih sedikit daripada persentase pengurangan yang diperlukan untuk menstabilkan gas rumah kaca yang lainnya. Kemudian, karena gas metan memiliki masa tinggal di atmosfer yang lebih pendek dan penyerapan secara radiasi yang lebih besar dari pada gas karbondioksida, maka strategi pengurangan emisi gas metan dapat memperlambat pemanasan global dalam waktu dekat ini (Moss et al.,

2000).

Permasalahan muncul ketika terjadi konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bertambah, sejak awal revolusi industri mendekati 30%, konsentrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia (antropogenik) merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca. Pembusukan pakan ternak, kotoran hewan, sampah organik, tanah yang tergenang air seperti rawa-rawa dan persawahan akan melepaskan gas metan (CH4), ikut meningkatkan gas rumah kaca. Dampak yang luas dan serius dari gas rumah kaca bagi lingkungan geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi: (1) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (2) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, (3) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (4) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (5) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit (Latief, 2010)

(41)

5 dilakukan dengan penghambatan metanogen, persediaan akseptor elektron alternatif dan pengembangan pemberian pakan rendah emisi metan disyaratkan untuk menghasilkan reduksi emisi metan yang berarti pada ternak ruminansia (McAllister dan Newbold, 2008).

Kontribusi Ternak Ruminansia Terhadap Produksi Gas Metan

Pertanian secara umum dan khususnya produksi peternakan, berkontribusi pada pemanasan global melalui emisi gas rumah kaca non-CO2 yaitu CH4 dan N2O. CH4 paling banyak diemisikan dari ternak ruminansia, sementara, N2O utamanya diemisikan dari lahan yang diberi pupuk (Monteny et al., 2006).

Gas metan pada ternak ruminansia berasal dari dua sumber yaitu berasal dari hasil dari fermentasi saluran pencernaan (enteric fermentation) dan kotoran (manure). Fermentasi dari saluran pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metan yang dihasilkan oleh sektor peternakan. Pembentukan gas metan di dalam rumen merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Metan yang diproduksi di saluran pencernaan ternak sebesar 80 - 95% diproduksi di dalam rumen dan 5 - 20% di dalam usus besar. Metan yang dihasilkan dalam rumen dikeluarkan melalui eruktasi ke atmosfir (Martin et al., 2008)

Gas metan (CH4) merupakan gas rumah kaca kedua paling banyak diemisikan dari ternak dan merupakan sumber utama emisi terbesar di Jepang (Shibata dan Terada, 2010). Produksi gas metan dari ternak ruminansia lebih banyak dihasilkan dari pakan berupa rumput daripada leguminosa. Penggunaan rumput hay yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan energi sebanyak emisi metan ke lingkungan sebagai gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global (Mirzaei et al., 2008).

(42)

6 Produksi metan dari ternak ruminansia telah banyak dikaji karena hubungan ternak ruminansia sebagai produsen dari gas metan. Proses metanogenesis terbentuk oleh archaea metanogen, sekelompok mikroorganisme yang hidup dan berkembang dalam kondisi anaerob termasuk di dalam rumen. Di dalam rumen, mikroba metanogen memanfaatkan H2 dan CO2 sebagai substrat untuk memproduksi metan. Mikroba lainnya juga dapat mempengaruhi produksi metan baik itu dikarenakan keterkaitannya dengan metabolisme hidrogen (H2) atau dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah mikroba metanogen atau anggota mikroba lainnya. Hidrogen (H2) merupakan elemen kunci untuk produksi metan di dalam rumen. Diantara produsen H2, protozoa memiliki posisi yang menonjol terhadap mikroba metanogen yang menyokong transfer H2 antar spesies. Korelasi positif yang kuat dapat dilihat antara jumlah protozoa dengan emisi gas metan, dan dikarenakan kelompok ini tidak esensial untuk fungsi rumen, protozoa dapat menjadi sebuah target untuk mitigasi metan. Sebuah faktor penting yang berhubungan dengan tingginya produksi H2 adalah degradasi bahan makanan tanaman berserat (Morgavi et al., 2010).

Sektor peternakan secara kolektif sebanding dengan ~25% emisi metan ke atmosfer dari aktifitas manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa sektor peternakan merupakan penyumbang emisi metan terbesar. Penelitian skala kecil dengan menggunakan teknik yang mirip seperti kandang tertutup atau tiruan rumen dapat menentukan emisi per ekor ternak yang dapat menggambarkan emisi skala nasional dan global berdasarkan pendekatan proporsi konstan konsumsi energi yang dikeluarkan sebagai metan (Lassey, 2008).

Strategi Menurunkan Emisi Gas Metan

Selama beberapa dekade terakhir, hasil penelitian mengenai produksi gas metan di dalam rumen beserta pencegahannya telah banyak diangkat. Pada awalnya, produksi gas metan merepresentasikan kehilangan gross energy pada pakan (2-15%), sehingga tujuan akhir yang harus dilakukan adalah peningkatan efisiensi pakan. Alasan kedua dilakukannya penelitian tersebut dikarenakan peran gas metan terhadap fenomena pemanasan global dan rusaknya lapisan ozon (Van Nevel et al., 1996).

(43)

7 sekumpulan mikroba metanogen harus dihubungkan dengan perubahan mikrobiota rumen dan ketersediaan H2. Jumlah protozoa dan produksi metan berkorelasi secara langsung. Beberapa strategi yang paling berhasil untuk mereduksi emisi metan memiliki kecenderungan efek negatif pada protozoa. Keseimbangan antara penghasil H2 dan penghasil selain H2 di dalam komunitas fibrolitik dapat digeser untuk mengurangi metanogenesis tanpa merubah kemampuan mendegradasi seratnya. Menurunkan proses metanogenesis rumen merupakan suatu hal yang mungkin, dengan beberapa strategi yang sudah ada dan strategi lainnya yang belum diuji. Suatu hal yang mungkin untuk memodifikasi ekosistem mikroba untuk menurunkan produksi metan, tetapi manipulasi komponen mikroba dari sistem tersebut harus terintegrasi (Morgavi et al., 2010).

Pengurangan emisi gas metan secara efektif dapat dicapai dengan beberapa strategi diantaranya dengan memperbaiki efisiensi produksi ternak, mengurangi fermentasi pakan per unit produk, atau merubah susunan pola proses fermentasi di dalam rumen. Banyak strategi yang mutakhir dan berpotensi telah dievaluasi, tetapi tidak semua dapat diaplikasikan pada level peternakan, dan dalam banyak kasus potensi efek negatif dan biaya tidak secara penuh diteliti. Strategi yang efektif, meningkatkan produktivitas, dan tidak berpotensi negatif pada produksi ternak adalah suatu tantangan yang lebih besar yang dapat dijawab oleh produsen (Boadi et al., 2004). Pengembangan strategi pemberian pakan yang dapat mereduksi emisi metan ternak ruminansia akan bermanfaat baik jangka panjang dalam mengurangi laju akumulasi gas rumah kaca, maupun jangka pendek dalam mengurangi kehilangan energi pada ternak (Jayanegara et al., 2009a).

Fraksi senyawa polifenol yang secara nyata menurunkan produksi gas metan adalah total fenol (yang terdiri atas senyawa fenol tanin dan senyawa fenol bukan tanin) dan total tanin, sedangkan tanin terkondensasi tidak terbukti menurunkan gas metan melalui koefisien korelasi. Namun, beberapa hasil penelitian lain menyatakan bahwa tanin terkondensasi secara signifikan dapat menurunkan emisi metan. Berdasarkan hal tersebut, efek tanin terkondensasi terhadap produksi metan masih belum konsisten, apakah dapat menurunkan emisi metan atau tidak. Hal ini sangat bergantung pada tanaman sumber tanin terkondensasi tersebut, karena struktur senyawa tanin terkondensasi sangat bervariasi antara satu tanaman dengan tanaman lainnya (Jayanegara et al., 2009a).

Estimasi Produksi Gas Metan

(44)

8 ternak, komponen penyusun susu dan komponen kecernaan pakan. Model yang dikembangkan untuk memprediksi emisi CH4 dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok utama: (1) model empirik (statistik) yang berhubungan dengan konsumsi nutrien untuk menghasilkan CH4 secara langsung, dan (2) model mekanistik dinamik yang menguji untuk mensimulasikan emisi CH4 berdasarkan deskripsi matematika dari biokimia fermentasi rumen (Kebreab et al., 2006). Kedua model tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Salah satu model mekanistik statis untuk mengestimasi emisi gas metan adalah melalui model stoikiometri berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007) dan Moss et al. (2000). Menurut Hegarty dan Nolan (2007) komposisi VFA dapat digunakan untuk memprediksi produksi metan melalui persamaan stoikiometri berikut:

CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4– 0,25 C3– 0,25 C5

Prediksi produksi metan dari persamaan di atas didasarkan atas beberapa asumsi berikut:

 VFA hanya merupakan produk akhir fermentasi (tidak ada hidrogen yang digunakan dalam produksi polimer sel)

 Tidak ada H2 bebas yang keluar dari rumen

 Proses pencernaan mikroba terjadi secara anaerob (tidak ada H2 yang digunakan untuk mereduksi O2 menjadi H2O)

 H2 tidak digunakan di dalam reaksi lain, misalnya, reaksi reduksi sulfat menjadi sulfida atau reaksi dari ikatan rangkap di dalam asam lemak.

Hal ini mungkin menjadi asumsi yang kurang tepat karena prediksi berdasarkan produksi VFA yang secara teori akan menghasilkan estimasi pengukuran yang berlebih dari produksi metan yang sebenarnya dikarenakan terjadinya asimilasi hidrogen selama sintesis polimer-polimer mikroba dan reaksi lainnya yang tidak diikutsertakan. Hal penting yang harus diketahui dari reaksi yang tidak spesifik ini adalah sulit untuk mengukur dan mungkin bergantung pada bercampurnya spesies bakteri dan mikroba lain yang ada. Pengaruhnya dapat lebih besar ketika faktor penghambat produksi metan ada di dalam pakan ternak (Hegarty dan Nolan, 2007). Sedangkan, menurut Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh Montoya et al. (2011) produksi metan dapat dihitung melalui persamaan:

CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4

(45)

9 dari VFA mempengaruhi produksi metan di dalam rumen. Asam asetat dan butirat mendorong produksi metan sementara hidrogen digunakan untuk pembentukan propionat di dalam rumen. Teori perhitungan tersebut telah memperkuat estimasi produksi metan secara

in vitro dimana pada hasil akhir dapat dihitung.

(46)

10 Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Prediksi Emisi Metan Melalui Model Empirik dan

Mekanistika. Tipe Model

Prediksi Model Empirik Model Mekanistik

Deskripsi Merupakan model statis yang

3. Informasi iklim dan manajemen terhitung di dalam model 4. Menghitung populasi metanogen

dan efisiensinya dalam laju produksi

Kelemahan 1. Membutuhkan lahan yang luas dan percobaan yang 3. Prediksi metan tidak akurat

ketika ada gangguan karena hanya berdasarkan karakteristik pakan dan tidak memperhitungkan faktor lain

(47)

11

MATERI METODE

Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian bertempat di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan berlangsung dari bulan Februari sampai April 2012.

Materi

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop, software Microsoft excel 2010, dan software SPSS 16.0.

Bahan yang digunakan adalah data publikasi berikut data mentahnya yang diperoleh dari hasil penelitian Jayanegara et al. (2011) terhadap 27 jenis spesies hijauan makanan ternak ruminansia yang diinkubasi dengan menggunakan Hohenheim Gas Test (HGT). Pada penelitian tersebut data emisi gas metan dianalisis dengan menggunakan gas kromatografi. Data pertama (Tabel 2) berisi komposisi kimia berikut kandungan total tanin pada setiap spesies hijauan yang diujikan (dalam g/kg bahan kering) dengan 2 kali ulangan dan data kedua (Tabel 3) berisi total gas (ml), produksi CH4 (ml), total VFA (mmol/l) dan proporsi VFA individual (% total VFA) setelah diinkubasi pada setiap jenis hijauan masing-masing dengan 8 kali ulangan. Data dari penelitian tersebut belum dilakukan estimasi emisi gas metan melalui komposisi asam lemak terbang (VFA).

Prosedur

Perhitungan Nilai CH4

Satuan ml yang diperoleh dari data hasil pengukuran in vitro CH4 Jayanegara et al.

(2011) diubah menjadi satuan mmol/l dengan menggunakan persamaan gas ideal berikut:

PV = nRT

Keterangan:

P = tekanan gas (atm)

V = volume gas (L)

n = jumlah mol (mmol)

(48)

12 T = suhu mutlak gas (K = 273 + suhu celcius)

Metode estimasi dilakukan melalui pendekatan stoikiometri VFA terhadap gas metan dengan dua model, yaitu:

1. Berdasarkan Hegarty dan Nolan (2007) dengan asumsi H2 recovery 100%, CH4 = 0,5 C2 + 0,5 C4– 0,25 C3– 0,25 C5

2. Berdasarkan Moss et al. (2000) yang juga digunakan oleh Montoya et al. (2011) dengan asumsi H2 recovery 90%,

CH4 = 0,45 C2 – 0,275 C3 + 0,40 C4

Keterangan:

C2 = asetat

C3 = propionat

C4 = butirat

C5 = valerat

Pada software microsoft excel, data C2, C3, C4, dan C5 yang diperoleh dari Jayanegara et al.

(2011) setelah diubah menjadi satuan mmol/l kemudian dihitung dengan masing-masing persamaan di atas.

H2 recovery dihitung berdasarkan persamaan Demeyer dan Van Nevel (1979) yaitu 2Hu/2Hp x 100, dimana Hu merupakan hydrogen utilized dan Hp merupakan hydrogen

produced, dengan 2Hu = 2 Propionat + 2 Butirat + 4 Metan + Valerat dan 2Hp = 2 Asetat +

Propionat + 4 Butirat + 2 iso-Valerat + 2 Valerat. Kemudian CH4 observasi setelah mengalami penyesuaian dihitung melalui persamaan berikut:

CH4 setelah penyesuaian = CH4 sebelum penyesuaian x 100/H2 recovery.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS 16.0, kemudian diuji lanjut menggunakan uji Duncan dan dianalisis dengan uji-t. Penaksiran kesalahan dari estimasi dilakukan dengan perhitungan mean square prediction error (MSPE):

(49)

13 Keterangan: n = banyaknya pengamatan

Oi = CH4 observasi

Pi = CH4 prediksi

(50)

14 Tabel 2. Komposisi Kimia Spesies Hijauan yang Diuji (g/kg bahan kering)a

Gambar

Tabel 1. Keunggulan dan Kelemahan Prediksi Emisi Metan Melalui Model Empirik dan Mekanistika
Tabel 2.  Komposisi Kimia Spesies Hijauan yang Diuji (g/kg bahan kering)a
Tabel 3.  Rataan Total Gas, CH4, CH4/Total Gas dan Profile Asam Lemak Rantai Pendek Ketika Inkubasi Pada Hijauan yang Diujia
Tabel 4. Total Tanin (Jayanegara et al., 2011), CH4 Estimasi, H2 Recovery dan CH4
+7

Referensi

Dokumen terkait