• Tidak ada hasil yang ditemukan

The typology of desa hutan rakyat (forest private villages): a case in Ciamis District

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The typology of desa hutan rakyat (forest private villages): a case in Ciamis District"

Copied!
346
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS DI KABUPATEN CIAMIS

TIEN LASTINI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

TIEN LASTINI. The Typology of Desa Hutan Rakyat (Forest Private Villages): A Case in Ciamis District. Under direction of ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HARDJANTO, and HERRY PURNOMO.

Management of private forest possesses specific characteristics that differ from state owned forest management. Therefore, the characteristics of desa hutan rakyat using typology approach were studied. The objective of this study was to determine private forest spatial distribution type, characteristics and types of desa hutan rakyat. This study was conducted in Ciamis District covering 363 villages. The analysis was performed on the basis of statistical data of private forest area and field data measurent and observation. The typology was developed based upon biophysical and socio-economic factors by the method of clustering analysis. There are six biophysical factors i.e. non rice field-land use, road density, distance to state forest area, distance to main road, land capacity, land configuration, and three of socio-economic factors i.e. population the spatial distribution pattern of private forest is clumped. The characteristic of private forest stand composition consist of three patterns, namely agroforestry, monoculture and polyculture. The result also shows that eight of all factors in typology determination have correlation in amount of 0.2 to 0.5 with the existence of private forest. The only factor that has no correlation with private forest area is the distance to main road. The clustering analysis produced two distinct desa hutan rakyat types, namely high potential area and low potential area types. The best variables for clustering of those desa hutan rakyat are the principle component analysis derived from eight correlated variables (non rice field land use, road density, distance to state forest area, land capacity, land configuration, population density, permanent home, and productive age population) with overall accuracy 64%. Those typologies of the desa hutan rakyat are as a preliminary information that can be used for long-term planning activities.

(4)

Dibimbingan oleh ENDANG SUHENDANG, I NENGAH SURATI JAYA, HARDJANTO, dan HERRY PURNOMO.

Hutan rakyat di masa yang akan datang memiliki peran yang semakin penting, yaitu sebagai sumber bahan baku kayu, kawasan ekologi dalam DAS, dan alternatif kepentingan lingkungan lainnya. Namun, sistem pengelolaan hutan rakyat dari dulu sampai saat ini tidak berubah. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek, sehingga dikhawatirkan terjadinya pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini dengan semakin tingginya harga kayu dan semakin rendahnya limit diameter yang diterima pasar.

Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk menjamin kelestariannya. Kelestarian hutan rakyat dalam hal ini ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan sosial seperti pada pengelolaan hutan pada umumnya. Dengan membandingkan konsep pengelolaan hutan ideal dengan karakteristik hutan rakyat diharapkan akan diperoleh cara mengelola hutan rakyat secara lebih profesional agar siap menghadapi tantangan ke depan yang semakin berat. Untuk menerapkan dan menganalisis konsep-konsep pelestarian perlu dibuat suatu perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah tersebut sebaiknya bersifat spesifik dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Oleh karena itu perlu upaya untuk menggali karakteristik dari wilayah yang ingin dikelola. Pengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristik tertentu disebut dengan tipologi. Tipologi dapat membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh.

Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat, dan membangun tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi. Terdapat enam peubah biofisik dan tiga peubah sosial ekonomi yang diteliti untuk membuat tipologi. Peubah biofisik yaitu : penggunaan lahan bukan sawah, kelerengan lahan, jarak ke kawasan hutan negara, jarak ke jalan besar, kemampuan lahan, dan kerapatan jalan. Tiga peubah sosial ekonomi yaitu: kepadatan penduduk, rumah permanen, dan umur produktif penduduk. Pemilihan peubah yang dominan menggunakan uji korelasi Spearmann dan analisis komponen utama. Kemudian dilakukan pengelompokkan dengan analisis gerombol (clustering analysis). Hasil pengelompokan diuji menggunakan uji keragaman dan evaluasi akurasi. Untuk mengetahui karakteristik spasial dengan tipe pola sebarannya, karakteristik struktur tegakan dan komposisinya, serta karakteristik pengelolaan hutan rakyat digunakan metode kuisioner, pengukuran tegakan di lapangan dengan plot, dan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait.

(5)

polikultur, dimana pola yang paling dominan adalah pola agroforestri. Kisaran diameter menunjukkan tiga kelas yang terbesar yaitu berkisar dari 0 sampai 15 cm. Ini menunjukkan diameter di atas tersebut sudah banyak terjual. Pada karakteristik pengelolaan hutan rakyat dari proses awal penanaman sampai pemanenan ditemui kekhasan dalam setiap tahapan. Harga jual kayu semakin meningkat sehingga pada saat ini keinginan menanam sudah demikian tinggi. Petani saat ini banyak mengandalkan bibit tidak dari alam lagi, tetapi sudah membeli dari penjual bibit. Kegiatan pemeliharaan dari tanaman belum dilakukan maksimal. Pemupukan pada pola monokultur hanya dilakukan pada satu tahun pertama saja, sedangkan pada pola agroforestri pemeliharaan dan pemupukan lebih intensif karena sekaligus untuk tanaman pertaniannya.

Pada pembentukan tipologi dari sembilan peubah yang diuji, terdapat delapan peubah yang memiliki korelasi berkisar 0,2 sampai 0,5. Tiga peubah terbesar adalah rasio kelerengan lahan, kerapatan jalan, dan rasio penggunaan lahan bukan sawah. Kelima peubah lainnya berurutan berdasarkan besarnya korelasi dengan luas hutan rakyat adalah jarak ke hutan negara, rasio umur produktif, kepadatan penduduk, kemampuan lahan, dan rasio rumah permanen. Hasil analisis komponen utama menghasilkan empat komponen utama yang ditandai dengan kumulatif proporsi lebih dari 70% dan nilai akar ciri lebih besar dari 0,7. Berdasarkan hasil pemilihan terhadap kemungkinan jumlah kelompok yang dapat terbentuk, maka dipilih delapan desain peubah yang diuji keragaman dan dievaluasi akurasinya. Hasil pengujian menunjukkan desain peubah dengan empat komponen utama menghasilkan dua kelompok yang memiliki uji keragaman yang baik dan nilai akurasi rata-rata umum terbesar yaitu sebesar 64%. Sedangkan yang kedua terbaik adalah desain peubah yang menggunakan dua peubah, yaitu rasio kelerengan lahan dan jaringan jalan, yang menghasilkan nilai akurasi rata-rata umum sebesar 63%.

Desain peubah empat komponen utama dan desain dua peubah tersebut menghasilkan dua tipologi desa hutan rakyat, yaitu tipe wilayah yang kurang berpotensi untuk berkembang hutan rakyat dan tipe wilayah yang berpotensi untuk berkembangnya hutan rakyat. Tipe 1 merupakan wilayah-wilayah desa yang penggunaan lahannya tidak didominasi hutan rakyat karena terdapat kondisi-kondisi yang kurang memungkinkan untuk perkembangnya hutan rakyat ditinjau dari aspek biofisik dan sosial ekonomi. Sedangkan Tipe 2 merupakan wilayah-wilayah desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Faktor-faktor biofisik dan ditambah dengan sosial ekonominya mendukung untuk berkembangnya pengelolaan hutan rakyat di wilayah ini.

(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

TIEN LASTINI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar. M.For.Sc.

Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S.

(9)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang M.S. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr.

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Hardjanto, M.S. Dr. Ir.Herry Purnomo, M.Comp.

Anggota Anggota

Diketahui

a.n. Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah “Tipologi Desa Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Ciamis” dibiayai oleh BPPS, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2006 sampai 2009.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS, Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS, dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku pembimbing. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Penguji luar komisi saat ujian tertutup Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar. M.For.Sc. dan Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S. dan saat ujian terbuka Prof. Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, M.S dan Dr. Ir. Harry Santoso.

2. Dekan Pascasarjana IPB, Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti Program S3 di IPB.

3. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB, diwakilkan oleh Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.S. yang telah memberikan dukungan dan bantuan pelayanan akademik selama penulis mengikuti Program S3.

4. Ditjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) selama 3 tahun.

5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 6. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunungkidul yang telah memberi

fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan. 7. Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K)

Kabupaten Ciamis beserta segenap aparat penyuluh lapangannya yang telah memberi fasilitas data dan pelayanan selama melaksanakan penelitian di lapangan.

(11)

9. Kedua orangtua, Ayahanda Iwa Wardiman dan Ibunda Nurmaliah dan kedua mertua Alm. Ading Suprihat Adisumarta, B.A dan E. Djuedah atas dorongan dan doanya yang tiada henti.

10.Suami tercinta Dr. Syamsul Falah, S.Hut. M.Si dan anakku tersayang Aliyya Najla Syaharani, beserta keluarga atas segala doa, kesabaran, dan dorongan semangatnya selama penulis menempuh studi dan menyelesaikan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan sehingga penulis terbuka menerima saran, kritik, dan masukan untuk perbaikan disertasi ini. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Muntok, Provinsi Bangka Belitung pada tanggal 15 Mei 1971 dari ayah Iwa Wardiman dan ibu Nurmaliah. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Penulis menikah dengan Dr. Syamsul Falah, S.Hut, M.Si pada tahun 1997 dan dikaruniai seorang anak Aliyya Najla Syaharani.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, lulus pada tahun 1995. Pada tahun 2001, penulis diterima beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2005. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan ke program doktor pada program studi dan universitas yang sama pada tahun 2006 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional.

Sejak tahun 2011, sampai sekarang menjadi dosen di Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu Teknologi Hayati ITB. Sebelumnya penulis bekerja sebagai dosen pada Universitas Winaya Mukti, Sumedang sejak tahun 2005 sampai tahun 2010.

(13)

xii

1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ……… 7

1.7 Kebaharuan (Novelty) ……… 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ………. 8

2.1 Hutan Rakyat ……….. 2.1.1 Pengertian Hutan Rakyat ………... 2.1.2 Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia ………. 2.1.3 Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat ……….. 2.1.4 Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat ……….. 2.2.1 Pengertian Hutan dan Pengelolaannya ……… 2.2.2 Sejarah Pengelolaan Hutan ……..……….. 2.2.3 Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan ……… 2.2.4 Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan …………... 2.2.5 Pengelolaan Hutan untuk Menjamin Kelestarian ……….. 21 2.3 Karakteristik Masyarakat Desa ……….. 33

2.4 Pola Sebaran Spasial ………...……..……….. 35

(14)

xiii 3.4.2 Analisis Pola Sebaran Spasial ………...……….

3.4.3 Analisis Tipologi ……….………..

3.4.3.1 Identifikasi Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Hutan Rakyat ... 4.1 Karakteristik Hutan Rakyat ...

4.1.1 Karakteristik Spasial Hutan Rakyat ... 4.1.1.1 Potensi Hutan Rakyat di Desa ... 4.1.1.2 Blok sebagai Batas Hutan Rakyat Satu Hamparan .. 4.1.1.3 Kajian Batas Wilayah Tanggungjawab ... 4.1.2 Karakteristik Struktur dan Komposisis Tegakan Hutan Rakyat ……... 4.3 Implikasi dalam Pengelolaan Hutan Rakyat … ...

(15)

xiv

Halaman

1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat ……… 20

2 Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi ……… 32

3 Klasifikasi kelas lereng ………..…… 48

4 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan ……… 49

5 Peubah-peubah tipologi hutan rakyat ……… 50

6 Jumlah kelas luas hutan rakyat dan batasan per kelas ……… 56

7 Perhitungan pola sebaran spasial di Kabupaten Ciamis dan Gunungkidul ... 59

8 Pembagian batas wilayah dan tanggungjawab di hutan rakyat ……… 64

9 Jumlah plot setiap pola tanam hutan rakyat ..……… 66

10 Jumlah pohon rata-rata per ha berdasarkan pola hutan rakyat dari 30 plot contoh …... 71

11 Korelasi Spearman antar peubah ……… 82

12 Nilai komponen utama (PC) pada lima peubah dan nilai kumulatifnya 86

13 Banyaknya anggota setiap kombinasi dan kelompok ……… 87

14 Jumlah desa setiap kelompok terpilih ……… 88

15 Ragam rata-rata antar kelompok dan dalam kelompok ……… 89

16 Nilai akurasi rata-rata umum dan akurasi Kappa ……… 90

17 Karakteristik desa setiap tipologi ……… 91

(16)

xv

Halaman

1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat ……… 16 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann …… 26 3 Tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu habitat... 35

4 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ……… 41

5 Lokasi penelitian (a) Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul 42

6 Diagram alir tahapan penelitian ……… 44

7 Nilai kritis uji chi-square untuk indeks dispersi; α:0,05 dan n<30 …… 46 8 Jarak lurus (a) Antar kawasan hutan dengan batas desa (b) Antar jalan

kolektor dengan batas desa ……… 47

9 Klasifikasi kelas hutan rakyat berdasarkan luasnya ……… 55 10 Perbandingan antar luas hutan rakyat*) dengan luas desa (a)

Kabupaten Ciamis (b) Kabupaten Gunungkidul ……… 57 11 Perbandingan penggunaan lahan untuk sawah dengan non sawah

dalam satu kabupaten ……… 58

12 Pola sebaran spasial desa hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ………… 60

13 Contoh penggunaan lahan di Dusun Pogorsari Desa Lumbung

Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis ……… 61

14 Contoh bentuk peta blok desa yang masih menggunakan persil di Desa

Sidamulih Kecamatan Pamarican Kabupaten Ciamis ……… 61

15 Contoh bentuk peta blok desa hasil revisi terbaru dari BPN di Desa

Sukaraharja Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis ……… 62

16 Tanda batas antar kepemilikan di hutan rakyat ………. 63 17 Perbandingan hirarki dan perkiraan luas rata-rata tiap bagian

pengelolaan hutan rakyat dengan Hutan Negara ……… 65 18 Karakteristik pola tanam hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ………… 69 19 Bentuk distribusi diameter yang ditemui di lapangan ……… 70 20 Perbandingan jumlah pohon rata-rata per ha pada tiap pola tanam dan

kelas diameter ……… 72

21 Pedagang bibit keliling dari desa ke desa ……….. 73 22 Aliran perdagangan kayu rakyat dari petani sampai konsumen lokal

dan pabrik …... 76 23 Contoh alur ideal perizinan penebangan kayu di Kabupaten

(17)

xvi

25 Perbandingan ragam dalam kelompok dengan ragam antar kelompok 89

26 Pengelompokan berdasarkan dua tipologi ……… 92

27 Karakteristik vegetasi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ……… 96

(18)

xvii

Halaman

1 Luas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ……… 108

2 Luas hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul ……… 116

3 Luas kawasan hutan KPH Ciamis Perum Perhutani Unit IIII ...……… 119

4 Contoh data luas kawasan hutan per petak KPH Ciamis ……… 120

5 Rekapitulasi data dari sembilan peubah yang diuji ………...………… 133 6 Analisis komponen utama (principal component analysis) ………… 145

7 Luas kepemilikan lahan ……… 147

8 Struktur diameter tegakan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis ……… 148

(19)

1.1. Latar Belakang

Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan kayu di Provinsi Jawa Barat dipenuhi dari hutan rakyat sebesar 56.6%, Perum Perhutani Unit III sebesar 4.8% dan sisanya sebesar 38,6% dari hutan di luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009). Selain sebagai sumber bahan baku kayu, keberadaan hutan rakyat menjadi alternatif dari sisi ekologis dari suatu DAS atau wilayah yang masih memerlukan kawasan bervegetasi selain dari hutan negara. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 menyatakan luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Hutan negara di Provinsi Jawa Barat mencakup 24,2 % dari luas provinsi (Dephut 2002). Jika ditambah dengan luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat seluas 165 025 ha (BPDASPS 2010), maka proporsi kawasan bervegetasi di Provinsi Jawa Barat bertambah menjadi 28%. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi lingkungan merupakan pendorong bagi perkembangan hutan rakyat. Peran dan fungsi hutan rakyat yang semakin penting di masa depan memerlukan upaya untuk menata lebih baik pengelolaan hutan rakyat.

(20)

Berdasarkan status kepemilikan lahannya, sebagian besar hutan di Indonesia terdapat di dalam kawasan hutan negara. Hutan negara dapat dikelompokkan atas dua bentuk pengelolaan yaitu hutan seumur (even aged forest), seperti pada hutan tanaman, dan hutan tidak seumur (uneven aged forest)

pada hutan alam (Suhendang 1999). Sedangkan hutan rakyat yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan karena kontribusinya cukup penting dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kayu masyarakat, bentuk pengelolaannya masih belum banyak dikaji secara intensif. Pengelolaan hutan rakyat masih sering dipandang banyak pihak sebagai suatu bentuk usaha yang tidak ekonomis. Persepsi ini tercipta karena pengelolaan hutan rakyat masih dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pihak swasta dan BUMN kehutanan, maka luasan hutan rakyat yang dimiliki oleh rakyat memang sangat tidak berarti (Awang et al. 2002). Meskipun hutan rakyat mungkin tidak menguntungkan dalam skala ekonomi tetapi perannya sangat nyata dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun pemiliknya sendiri.

Beberapa permasalahan ditemukan sehubungan pengelolaan hutan rakyat yang masih bersifat tradisional. Salah satu permasalahan adalah pengelolaan hutan rakyat masih bersifat individu, sehingga tidak adanya kepastian jaminan kontinuitas pasokan kayu bagi industri. Sebagian besar petani masih berpikir keuntungan ekonomi jangka pendek. Semakin diperlukannya tambahan pendapatan dan semakin tingginya harga kayu akan menyebabkan pemanenan yang berlebihan pada umur tebang dini. Permasalahan lainnya adalah terdapat keterbatasan akses dan pengetahuan pasar masyarakat, penebangan yang masih

(21)

Hutan rakyat di Indonesia memiliki beragam karakteristik. Keragaman ini dapat terjadi salah satunya akibat proses pembentukan awal yang terjadi secara tradisional atau terdapat campur tangan pemerintah. Hutan rakyat yang terbentuk secara tradisional sudah dikelola sejak lama secara turun menurun, seperti repong damar di Krui Lampung, kebun kemiri di Sulawesi Selatan, beberapa bentukan talun di Jawa Barat, dan lainnya (Foresta et al. 2000). Sedangkan hutan rakyat hasil campur tangan pemerintah umumnya dimulai di daerah kritis melalui program penghijauan. Wilayah-wilayah tersebut berupa lahan kering yang tidak ekonomis untuk tanaman pertanian sehingga sebagai alternatif lain ditanami pohon-pohonan.

Luas total hutan rakyat di Indonesia sebesar 5 149 746.4 ha (BPDASPS 2010). Pengertian hutan rakyat yang saat ini berkembang disamakan dengan pengertian hutan hak, yaitu hutan yang tumbuh di lahan milik atau lahan di luar kawasan hutan negara. Tetapi pemahaman ini sulit untuk beberapa daerah terutama di luar Pulau Jawa yang masih banyak terjadi konflik kepemilikan lahan. Pada tahun 1997 sampai 1999 konflik di sektor kehutanan cenderung meningkat cukup tajam. Dari 309 kasus konflik, 39% terjadi di areal Hutan Tanaman Industri (HTI), 34% di kawasan konservasi, dan 27% di areal Hak Penguasaan Hutan (HPH) (Wulan et al. 2004). Proses pengukuhan hutan negara untuk wilayah di luar Pulau Jawa masih banyak yang belum dilakukan, sehingga tidak ada kepastian secara hukum mengenai hak kepemilikan. Seringkali hutan yang diklaim milik masyarakat ternyata masuk ke dalam kawasan hutan negara dan sebaliknya. Kondisi serupa jarang terjadi wilayah di Pulau Jawa, karena sebagian besar hutan rakyat di Pulau Jawa sudah jelas kepemilikannya. Batas antara wilayah kawasan hutan negara dengan lahan milik di Pulau Jawa relatif lebih baik. Saat ini mulai dikembangkan sistem Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dimana petani diberi hak untuk mengelola kawasan hutan negara. Penelitian yang dilakukan ini menitikberatkan pada bentukan hutan yang sudah memiliki hak kepemilikan yang jelas, yaitu wilayah tersebut merupakan kepemilikan di luar negara.

(22)

mengelompok pada suatu areal tertentu tetapi tersebar berdasarkan letak, luas pemilikan lahan dan keragaman pola usaha tani. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi hutan negara yang relatif luas, sehamparan, dan segala keputusan dilakukan oleh pemerintah. Kondisi petani di Indonesia umumnya subsisten. Keadaan tersebut menjadikan petani dalam posisi lemah, seperti posisi tawar yang lemah dan informasi yang kurang. Penggabungan dan penataan sistem pengelolaan hutan rakyat sangat penting untuk memperkuat posisi petani menghadapi pihak luar.

Penataan sistem pengelolaan hutan rakyat dibuat dengan perencanaan wilayah yang bersifat spesifik mempertimbangkan karakteristik wilayah yang dihadapi. Pengelompokkan karakteristik suatu wilayah disebut dengan tipologi. Tipologi menghasilkan kelompok yang memiliki keseragaman unik antar obyeknya. Pengambilan unit pengamatan terkecil dalam penelitian ini adalah desa, karena desa merupakan struktur pemerintahan terkecil yang terdata di Indonesia secara rinci dari lembaga resmi. Otonomi daerah menjadikan desa merupakan bagian penting dalam proses desentralisasi, desa sebagai representasi negara dan struktur pemerintah yang paling dekat dengan rakyat, serta desa bisa menangkap keragaman terkecil potensi hutan rakyat yang terdata. Dengan mengelompokkan wilayah desa hutan rakyat tersebut, perencanaan dan pengelolaan hutan rakyat yang tepat sesuai dengan karakteristiknya dapat diterapkan. Tipologi ini dapat juga membantu menduga potensi sebaran hutan rakyat untuk wilayah yang belum diketahui dan belum dilakukan inventarisasi menyeluruh.

1.2. Perumusan Masalah

(23)

dipenuhi dari hutan rakyat sebanyak 3 juta m3/tahun (56,6%) , dan sisanya dari hutan luar Pulau Jawa (BPKH Wilayah XI 2009).

Kebutuhan kayu yang berasal dari hutan rakyat yang semakin besar akibat penurunan produksi kayu dari hutan negara telah mendorong kecenderungan terjadinya pemanenan yang dilakukan pada umur pohon yang semakin muda. Hal ini dapat mengancam kelestarian hutan rakyat itu sendiri. Sebagian besar petani hutan rakyat di Indonesia terutama di Pulau Jawa sudah berorientasi ekonomi dan komersial dalam memutuskan melakukan kegiatan hutan rakyat, tetapi tidak disertai dengan perubahan pengelolaan yang profesional. Petani hutan rakyat umumnya merupakan petani individual dan masih mengandalkan pengelolaan secara tradisional, sehingga proses pengelolaan dari penanaman sampai pemasaran dilakukan secara sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar petani.

Pengkajian perlu dilakukan untuk memahami sistem pengelolaan hutan rakyat karena hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Lingkungan fisik dan non fisik seperti aspek sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi sistem pengelolaan hutan rakyat di suatu wilayah perlu dikaji. Pola-pola hutan rakyat apa saja yang berkembang dalam suatu wilayah, dan perlu pengkajian korelasi pola tersebut terhadap pengaruh lingkungan sekitarnya.

(24)

dapat dijadikan patokan tercapainya kemantapan kawasan hutan di wilayah hutan rakyat.

Perencanaan yang tepat perlu dikaji untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi hutan rakyat dalam pengelolaanya terutama untuk menjaga kelestariannya ke depan. Perencanaan yang tepat adalah yang mempertimbangkan karakteristik dan potensi desa hutan rakyat bersangkutan sehingga dapat diterima semua pihak terutama oleh petani sebagai pelaksana. Sebagai informasi awal dilakukan tipologi untuk mengelompokan karakteristik wilayah dengan mempertimbangkan faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan. Dalam penelitian ini perlu menjawab permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan yang kuat dengan luas hutan rakyat di desa hutan rakyat dan bagaimana pola hubungannya?

2. Dapatkah faktor-faktor tersebut dipergunakan sebagai dasar dalam membuat kriteria tipologi desa hutan rakyat yang mengambarkan potensi luas hutan rakyat dalam desa tersebut?

1.3. Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan untuk :

1. Mengidentifikasi pola sebaran spasial dan karakteristik desa hutan rakyat.

2. Menentukan tipologi desa hutan rakyat berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi.

1.4. Hipotesis

1. Pola sebaran spasial dan karakterikstik desa hutan rakyat dapat ditentukan berdasarkan faktor biofisik dan sosial ekonomi.

(25)

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa masukan bagi pemilik lahan dan pihak yang terkait tentang strategi yang dapat dijalankan dalam pengelolaan hutan rakyat ke depan dengan memahami faktor-faktor penting yang terkait.

1.6. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Hutan rakyat dalam penelitian ini adalah hutan yang dikelola oleh masyarakat yang berada di atas areal milik di luar kawasan hutan negara. Pengelolaan hutan rakyat yang dimaksud dalam penelitian ini lebih ditekankan pada pengelolaan kayunya secara komersil sedangkan hasil non kayu yang berada di areal menjadi pertimbangan sebagai pembentuk pola tanam hutan rakyat.

Desa hutan rakyat adalah desa yang memiliki potensi untuk berkembang pengelolaan hutan rakyatnya. Perkembangan desa hutan rakyat tersebut didukung oleh faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi dari desa bersangkutan.

Pengertian tipologi banyak ditemukan dalam berbagai bidang ilmu, dan definisi dari berbagai sumber. Pengertian tipologi dalam penelitian ini diambil dari modifikasi Oxford English Dictionary (Soanes & Stevenson 2008), yaitu sebuah pengklasifikasian atau pengelompokkan obyek menurut kesamaan sifat dasar ke dalam tipe-tipe tertentu. Dalam penelitian ini tipologi dibatasi atas pengaruh faktor biofisik dan sosial ekonominya.

1.7 Kebaharuan (Novelty)

(26)

2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat

Berdasarkan aspek hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan rakyat jika dilihat hanya dari kepemilikan lahan maka dapat dikategorikan ke dalam hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Namun jika dilihat dari pengelolanya, maka hutan adat juga dapat dikategorikan menjadi hutan rakyat karena dikelola oleh masyarakat atau rakyat walau kepemilikan lahan dikuasai oleh negara. Sedangkan sebelumnya dalam Undang-Undang RI No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan rakyat dimasukkan sebagai hutan milik, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik.

Berbagai pengertian mengenai hutan rakyat dapat dilihat dari rangkuman Mindawati et al. (2006) sebagai berikut :

a. Hutan rakyat adalah merupakan tanaman pohon-pohonan (tanaman tahunan) yang terdiri dari berbagai jenis, baik tumbuh secara alami maupun ditanam dalam bentuk kebun atau terpencar-pencar di tanah penduduk yang berfungsi sebagai sumber kayu dan hasil hutan lainnya (Djajapertjunda 1959 dalam LP IPB 1990).

b. Hutan rakyat adalah sebutan lain untuk hutan yang berstatus hutan milik, menurut penjelasan (UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Departemen Pertanian 1967).

c. Hutan rakyat adalah tanaman kayu rakyat yang tumbuh diantara tanaman-tanaman pertanian lainnya, atau areal tanah kering yang ditanami pohon-pohon yang dapat diperdagangkan (Suyana 1976).

(27)

e. Hutan rakyat adalah istilah lain untuk kebun campuran, untuk hutan yang ditanami kombinasi antara tanaman berkayu dan tanaman pertanian serta tanaman buah-buahan (Maryanto 1984 dalam LP IPB 1990).

f. Hutan rakyat adalah suatu kebun yang hanya ditumbuhi beberapa pohon saja sebagai sentral, dimana pohon merupakan tumbuhan berkayu yang dapat mencapai tinggi lebih dari 4 meter dan berdiameter sama atau lebih besar dari 10 cm (Lembaga Penelitian IPB 1986 dalam LP IPB 1990). g. Hutan rakyat adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di atas tanah

milik dengan luas minimal 0.25 ha, dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50% dan atau pada tahun pertama jumlah batang minimal 500 batang/ha (Kepmenhut No. 49/Kpts-II/1997 Departemen Kehutanan 1999)

h. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, Departemen Kehutanan 1999). i. Hutan rakyat adalah merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang

dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat disebut hutan milik (Hardjanto 2001).

Menurut Awang et al. (2002), sudut pandang yang sering digunakan mengenai hutan rakyat adalah sudut pragmatisme, geografis, dan sistem tenurial (kepemilikan). Pandangan pragmatisme melihat hutan yang dikelola rakyat hanya dari pertimbangan pemerintah saja. Semua pohon-pohonan atau tanaman keras yang tumbuh di luar kawasan hutan negara langsung diklaim sebagai hutan rakyat. Pandangan geografis menggambarkan aneka ragam bentuk dan pola serta sistem hutan rakyat tersebut. Sistem hutan rakyat berbeda satu sama lain tergantung letak geografis: ada yang di dataran rendah, medium, dan dataran tinggi; dan jenis penyusunnya yang berbeda menurut tempat tumbuh dan kesesuaian dengan iklim mikro. Pandangan sistem tenurial berkaitan dengan status misalnya statusnya hutan negara yang dikelola masyarakat, hutan adat, hutan keluarga, dan lain-lain.

(28)

tabungan keluarga, sumber pendapatan, dan menjaga lingkungan. Namun, menurut Awang et al. (2002) pembatasan hutan negara dan hutan rakyat dianggap kaku dan justru seringkali tidak menjamin keberadaaan dan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri. Sebaiknya pengertian hutan rakyat harus diperluas yaitu hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara.

2.1.2. Sejarah Hutan Rakyat di Indonesia

Menurut Hinrichs et al. (2008) sejak tahun 1978, ketika diselenggarakan

Kongres Kehutanan Sedunia dengan tema ”Hutan untuk Rakyat” (Forest for People), pelan tapi pasti mulai terjadi pergeseran perspektif tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di negara-negara sedang berkembang. Para penentu kebijakan di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia, secara progresif telah menyadari bahwa mereka yang mengetahui dengan amat baik kondisi-kondisi hutan setempat tidak lain adalah rakyat yang tinggal dan hidup di kawasan sekitar hutan-hutan tersebut. Istilah hutan rakyat muncul dalam perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia yakni dalam satu artikel yang diterbitkan oleh FAO pada tahun 1978, berjudul ”Kehutanan untuk

Pembangunan Masyarakat Setempat”.

Sebenarnya istilah hutan rakyat sudah lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK Tahun 1967 dengan

terminologi „hutan milik‟. Di Jawa hutan rakyat dikembangkan pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mel1930-anjutk1930-an pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri”, yaitu melakukan penanaman pohon-pohonan di lahan rakyat. Program tersebut belum sempat dilaksanakan karena kekurangan biaya dan sarana lainnya, tetapi sudah memberi inspirasi kepada rakyat akan pentingnya menanam pohon di tegal dan pekarangan yang kosong (Simon 2010) .

(29)

program penghijauan mulai menunjukkan hasil yang cukup berhasil. Keberhasilan tersebut ditambah dengan faktor-faktor pendukung yanglain, maka pada dekade 1980-an di daerah Kapur Selatan telah dikenal adanya hutan rakyat dengan jati sebagai jenis dominan (Awang et. al. 2001 dan Simon 2010).

Sejarah perkembangan hutan rakyat di Jawa memiliki perbedaan dengan hutan milik atau hutan adat yang tumbuh di luar Pulau Jawa seperti Kebun Damar di Krui Lampung Barat, hutan rotan (simpukng) di Kutai Barat, tengkawang di Kalimantan Barat, Dusun Sagu di Papua dan Mamar di Nusa Tenggara. Khusus untuk pohon damar mulai dibudidayakan oleh penduduk setempat pada abad ke- 17, saat Inggris masuk wilayah Krui lewat pelabuhan Pulang Pisang. Pohon damar diperkirakan baru mulai dibudidayakan di daerah tersebut menjelang akhir abad ke-19. Pada tahun 1800-an, yaitu ketika kompeni Belanda masuk Krui, budidaya damar berkembang pesat. Proses pembentukan damar di Lampung serupa dengan pembentukan kebun karet di seluruh Sumatra maupun Kalimantan, yaitu dimulai dari perladangan berpindah. Oleh karena itu model pembentukan khepong damar di Lampung merupakan model yang telah teruji dan dapat meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus memelihara kawasan hutan dari proses degradasi.

2.1.3. Karakteristik Wilayah Pengelolaan Hutan Rakyat

Pengelolaan hutan rakyat memiliki karakteristik yang berbeda dengan hutan negara. Menurut Awang (2007) karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah :

1). Berada di tanah milik yang dijadikan hutan dengan alasan tertentu, seperti lahan yang kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan, dan faktor resiko kegagalan yang kecil.

2). Hutan tidak mengelompok, tetapi tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan.

(30)

4). Pemanenan dilakukan berdasarkan sistem “tebang butuh”, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil yang dapat di peroleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman.

5). Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat.

6). Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.

7). Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan petani hutan rakyat.

Menurut Suharjito (2000), beberapa faktor yang mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa adalah faktor ekologis, ekonomi, dan budaya. Hutan rakyat di Jawa umumnya dibudidayakan di areal-areal lahan kering daerah atas (upland areas). Budidaya hutan rakyat bukan pilihan yang utama bagi masyarakat pedesaaan Jawa pada umumnya. Jika kondisi lingkungan alam memungkinkan, pilihan yang utama adalah budidaya tanaman yang cepat menghasilkan dengan keuntungan tinggi.

Penyebaran hutan rakyat pada lahan milik terpencar-pencar dari satu lokasi ke lokasi lain dengan luasan yang relatif sempit (< 1 ha). Penyebarannya meliputi semua macam penggunaan lahan misalnya terdapat pada tegalan, ladang, kebun campuran, pekarangan dan sebagainya. Hutan rakyat banyak diusahakan pada lahan marjinal, dengan kondisi lereng yang berat, kesuburan tanahnya rendah, sulit mendapatkan air, dan sebagainya, sehingga tidak ekonomis dijadikan lahan pertanian (Haeruman et al. 1991).

(31)

Keragaan usaha hutan rakyat memiliki keragaman antar kecamatan tetapi cenderung seragam dalam kecamatan. Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya keragaman yaitu : tingkat perhatian terhadap hutan rakyat, persentase pendapatan, penyerapan tenaga kerja, kelestarian fisik, intensitas penutupan lahan, dan persentase pemenuhan kayu bakar dari hutan rakyat (Haeruman et al. 1991).

Menurut Berenschot et al. (1988) dalam Hardjanto (2003), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap budidaya pohon-pohon (Acacia mearnsii) di pedesaan Wonosobo-Jawa Tengah adalah kepadatan penduduk, pemilikan lahan, topografi, dan komersialisasi. Peningkatan kepadatan penduduk berarti ketersediaan tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-tanaman yang lebih intensif. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya pohon. Topografi yang curam mendorong petani membudidayakan pohon-pohon yang sesuai untuk keperluan konservasi lahan. Komersialisasi hasil pertanian cenderung menurunkan minat budidaya pohon-pohon. Berdasarkan hasil penelitian di Gunungkidul dan Banjarnegara, Van Der dan Van Dijk (1987) mengemukakan bahwa rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif. Demikian pula rumahtangga yang memiliki kemudahan akses ke pasar lebih cenderung memilih tanaman yang intensif.

Kendra dan Hull (2005) di Virginia Amerika Serikat menyatakan, terdapat peningkatan jumlah orang yang memiliki hutan pribadi. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti: gaya hidup sederhana (simple lifestyle), kerohanian (spirituality), pemeliharaan alam (nature preservation), ekonomi (economics), rekreasi (recreation), dan karakter derah (regional character). Metode yang digunakan untuk memilih faktor yang penting tersebut adalah dengan menstratifikasi populasi berdasarkan umur, pendapatan, luas areal kepemilikan, dan kriteria sosiodemografi

Menurut Hardjanto (2000), beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai berikut :

(32)

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.

2.1.4. Struktur Tegakan dan Pola Tanam Hutan Rakyat

Bentuk hutan rakyat di Indonesia sangat beragam dan pembagiannya tergantung dari sudut pandang yang berbeda pula. Menurut Hardjanto (2003), jika ditinjau dari asal mula keberadaannya, maka hutan rakyat dibagi atas :

1) Hutan rakyat tradisional : penanaman dilakukan oleh masyarakat sendiri tanpa campur tangan pemerintah.

2) Hutan rakyat Inpres : penanaman diprakarsai oleh pemerintah melalui bantuan penghijauan di tanah terlantar.

Menurut Michon (1983), hutan rakyat dibagi atas tiga tipe, yaitu:

1) Pekarangan : sistem pengaturan yang terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah. Luas minimum sekitar 0,1 ha, dipagari mulai dari sayur-sayuran hingga pohon yang berukuran sedang dimana tingginya mencapai 20 meter.

2) Talun : mempunyai ukuran yang lebih luas, penanaman pohon sedikit rapat, tinggi pohon–pohonnya mencapai 35 meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau liana.

3) Kebun campuran : jenis tumbuhan cenderung lebih homogen dengan jenis tanaman pokok cengkeh atau pepaya dan berbagai macam jenis tanaman herba. Kebun ini seringkali ditemui di sekitar desa.

Dari pola-pola yang ada menunjukkan keragaman yang sangat besar yang menjadi batas atau ciri hutan rakyat di lapangan.

Pola tanam hutan rakyat menurut Mindawati (2006) dan Purwanto et al.

(33)

1) Pola tanam hutan rakyat murni:

Lahan hanya ditanami dengan satu jenis tanaman kayu-kayuan. Jenis yang biasa dikembangkan dalam pola ini adalah sengon, jati atau mahoni dalam kelompok-kelompok kecil antara 2-8 ha di dalam satu blok atau bahkan dalam luas yang lebih kecil. Pola ini dipilih masyarakat karena alasan penurunan produktivitas lahan sehingga dilakukan penghutanan kembali yang diharapkan dapat mengembalikan kesuburan tanah. Alasan yang lain adalah semakin sedikitnya tenaga kerja akibat urbanisasi, dan mulai terdapatnya sumber-sumber pendapatan yang digunakan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2) Pola tanam hutan rakyat campuran :

Suatu areal tertentu yang ditanami 2-5 jenis tanaman kayu seperti sengon, mahoni, maesopsis, suren, jati, yang ditanam secara campuran dan berbeda kombinasinya pada setiap daerah. Dari teknik silvikultur, cara ini lebih baik daripada hutan rakyat murni. Jarak tanam masing-masing jenis tanaman dalam hamparan pemilik biasanya tidak teratur. Jumlah pohon setiap jenis bervariasi, demikian juga dalam satu jenis dijumpai variasi umur berbeda.

3) Pola tanam hutan rakyat dengan sistem agroforestri/wanatani

Hutan rakyat yang mempunyai bentuk kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti perkebunan, pertanian, pangan, peternakan, dan lain-lainnya secara terpadu. Pola tanam ini berorientasi kepada optimalisasi pemanfaatan lahan, baik dari segi ekonomi maupun ekologis.

Berdasarkan pengamatan di lapangan sangat sulit dijumpai sistem penanaman oleh petani secara monokultur (satu jenis). Secara garis besar Awang (2002), membagi pola tanam yang dilakukan oleh petani hutan rakyat sengon adalah sebagai berikut :

1. Pola 1 : Tanaman kayu-kayuan yang didominasi oleh jenis sengon. 2. Pola 2 : Tanaman sengon dan tanaman semusim

(34)

4. Pola 4: Tanaman sengon, tanaman semusim, buah dan tanaman per-kebunan (kapulaga, salak).

5. Pola 5 : Tanaman sengon dan tanaman perkebunan. 6. Pola 6 : Tanaman sengon dan tanaman buah-buahan.

Ditinjau dari awal keberadaan pohon yang berada di hutan rakyat, sebagian besar merupakan hasil campur tangan penanaman manusia walaupun ada yang tumbuh alami pada beberapa lokasi. Proses pemanenan kayu umumnya

berdasarkan “daur butuh”, yaitu menebang pohon pada saat petani memerlukan tambahan finansial, sehingga struktur tegakan yang terbentuk menjadi tidak seragam seperti hutan tidak seumur. Hal ini ditunjukkan dari beberapa penelitian, seperti Haeruman et al. (1990) di enam kabupaten di Jawa Barat; penelitian Hayono (1996) di Wonosobo dan penelitian Suryadi (2002) dalam Hardjanto (2003) di Leuwiliang Kabupaten Bogor. Kelestarian hutan rakyat dapat terwujud jika kondisi hutan rakyat membentuk struktur hutan normal dari distribusi kelas diameter seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Distribusi pohon menurut kelas diameter di hutan rakyat

Menurut Awang (2002), kelestarian hutan rakyat di suatu tempat sangat ditentukan oleh faktor-faktor: kebutuhan ekonomi masyarakatnya, kepatuhan terhadap hukum-hukum tradisional, sistem pengaturan dan pembagian manfaat antar warga masyarakat, dan pandangan-pandangan kebutuhan penyelamatan lingkungan (pelestarian air, pencegahan erosi, dan peningkatan pendapatan masyarakat). Jika unsur ekonomi terlalu menonjol di dalam kegiatan hutan rakyat, maka akan mengganggu lingkungan hidup. Jika hukum dan aturan adat/tradisi ditinggalkan maka sumberdaya hutannya akan rusak. Pembagian

(35)

manfaat yang tidak merata atas sumberdaya alam hutan akan menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan. Bahaya utama dari kelestarian hutan rakyat adalah jika terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil-hasil hutan yang ada di dalam hutan rakyat (terutama kayunya).

2.1.5. Unit Pengelolaan Hutan Rakyat

Menurut Awang et al. (2002), pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat sering dipandang banyak pihak sebagai sesuatu yang tidak perlu. Pandangan seperti ini tercipta ketika orang berfikir bahwa hutan rakyat itu dikelola dengan skala tidak ekonomis, luasannya kecil dan tidak menguntungkan. Jika dibandingkan dengan unit pengelolaan hutan milik negara dan swasta, maka luasan hutan rakyat tidak berarti. Kendati hutan rakyat tidak dalam skala ekonomi tetapi hutan rakyat dengan segala komoditasnya telah secara signifikan membantu kebutuhan pemiliknya, baik untuk tambahan pendapatan, bahan obat-obatan, sumber pangan, sumber pakan ternak, sebagai tabungan untuk pendidikan anak dan sumber bahan bangunan perumahan dan meubeler.

Menurut Hardjanto et al. (1987), untuk tujuan pengelolaan maka terdapat beberapa unsur kesatuan pengelolaan yang harus terpenuhi untuk mencapai prinsip kelestarian hasil dan kelestarian usaha. Unsur-unsur yang dimaksud, yaitu:

1). Azas kekekalan suplai

Menurut azas ini, luas yang ditebang sama dengan luas yang ditanam. Hal ini dapat diartikan persediaan kayu ada sepanjang waktu dengan jumlah yang dipanen sesuai dengan riap pohon bersangkutan.

2). Azas kekekalan pengusahaan

(36)

3). Kesatuan organisasi pelaksanaan pekerjaan.

Pembentukan organisasi terlebih dahulu harus melihat lingkup kegiatan yang ditangani, dan menentukan kemampuan petugas yang akan ditempatkan atau mengukur volume pekerjaan setiap bagian tugas yang harus dikerjakan oleh setiap anggota organisasi. Permasalahan yang timbul adalah jenis pekerjaan apa yang dapat memberikan ukuran yang jelas ke dalam luasan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Pekerjaan ini akan merupakan dasar bagi organisasi pelaksanaan pekerjaan. Pekerjaan tersebut berupa penyuluhan kepada petani yang mencakup seluruh kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat.

4). Kesatuan organisasi pengusahaan terkecil.

Dalam ilmu manajemen dikenal adanya hukum jenjang pengawasan (span of control). Hukum ini mengatakan bahwa apabila seorang petugas atau organisasi dari tingkat organisasi bawahan mempunyai wewenang untuk mengadakan interprestasi tentang perintah yang diterima dari atasannya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, maka perbandingan antara yang mengawasi dan yang diawasi menurut pengalaman adalah 1: 4-6. Oleh karena tenaga penyuluh merupakan tenaga yang mempunyai wewenang mengadakan interpretasi, maka perbandingan antara pimpinan penyuluh dan penyuluh mengikuti aturan tersebut. Jika kemampuan seorang tenaga penyuluh adalah satu desa dalam melaksanakan penyuluhan, maka satu kesatuan organisasi pembinaan lebih kurang 4-6 desa.

(37)

tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa rentangan kontrol adalah terbatas dimana jumlah angka pedomannya adalah :

a. Untuk satuan utama jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar 3 sampai dengan 10 orang.

b. Untuk satuan lanjutan jumlah pejabat bawahan langsung sebaiknya berkisar antara 10 sampai dengan 20 orang.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jenjang pengawasan (span of control) adalah :

1). Kesamaan fungsi. 2). Kedekatan geografis.

3). Tingkat pengawasan langsung yang dibutuhkan. 4). Tingkat koordinasi pengawasan yang dibutuhkan. 5). Perencanaan yang dibutuhkan.

6). Bantuan organisasional yang tersedia bagi pengawas.

Lastini (2005) melakukan pengelompokan hutan rakyat dengan berbagai peubah dimana menghasilkan peubah kepadatan penduduk dan jarak ke kota besar terdekat merupakan peubah dominan yang menghasilkan dugaan potensi hutan rakyat lebih baik dibanding dengan peubah lainnya.

Awang (2006), mencoba pelakukan pendekatan kebutuhan terbentuknya unit manajemen hutan rakyat berdasarkan kebutuhan DAS terhadap keberadaan hutan, dimana hutan rakyat merupakan salah satu pendukung yang sangat berarti. Terdapat dua pemikiran pokok yang mendasari terbentuknya unit manajemen hutan rakyat (UMHR), yaitu :

1). Penguatan kelompok-kelompok pengelola hutan rakyat. 2). Penataan kawasan unit manajemen hutan rakyat.

(38)

kelestarian pengelolaan hutan. Dari segi fisik satu unit manajemen adalah kumpulan lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), seperti hutan rakyat yang berada atau sebagian besarnya berada dalam satu hamparan yang relatif kompak. Di Desa Selapuro Wonogiri, unit manajemen berupa komunitas petani dalam satu dusun yang terdiri dari 682 keluarga dan luas hutan 262.77 ha (terletak di lahan pekarangan 96.22 ha, dan tegalan 166.55 ha). Sedangkan di Desa Sumberejo Wonogiri unit manajemen terdiri dari 958 keluarga petani dengan luas hutan 526.19 ha (terletak di lahan pekarangan 166.22 ha, dan tegalan 359.97 ha).

Tabel 1 Beberapa contoh unit pengelolaan pada hutan rakyat

Nama Unit Pengelolaan Luas/Jumlah orang

Desa Sumberejo dan Desa Selopuro (Wonogiri)

809,95 ha (2 desa : Desa Sumberejo 958 kk dan Desa Selopuro 682 kk) Koperasi Wana Manunggal

1179 ha (4 desa : Ngrejo, Karangmojo, Jatingarang, dan Alasombo)

(39)

sertifikasi dimungkinkan menurut kebijakan SLIMF, sepanjang seluruh anggota kelompok merupakan Hutan Kecil atau Hutan-Hutan yang Dikelola dengan Intensitas Rendah.

Berdasarkan data tahun 2008 telah ada 6 (lima) unit manajemen hutan rakyat yang telah diberikan sertifikasi dari beberapa lembaga sertifikasi seperti : Lembaga Ekolabeling Indonesia (LEI) dan SmartWood yang berpedoman pada skema FSC (Tabel 1). Luasan setiap unit pengelolaan beragam antara 159 ha sampai yang paling luas berkisar 2434 ha, dengan kesatuannya berdasarkan kumpulan kelompok petani dan koperasi.

2.2. Pengelolaan Hutan

2.2.1. Pengertian Hutan dan Pengelolaannya

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan The Dictionary of Forestry (Helms, 1998) menyatakan hutan adalah suatu karakteristik ekosistem yang dicirikan oleh penutupan pohon yang kurang lebih rapat, biasanya terdiri dari keragaman tegakan seperti komposisi jenis, struktur, dan kelas umur yang membentuk suatu persekutuan, dimana umumnya mengandung padang rumput, sungai dengan ikannya dan satwa liar. Hutan mencakup juga pengelompokan khusus seperti hutan industri (industrial forest), hutan milik bukan industri (nonindustrial private forest), hutan tanaman (plantations), hutan publik (public forest), dan hutan kota (urban forest).

(40)

pengelolaan hutan memiliki keistimewaan tersendiri, dimana terdapat lima keistimewaan pengelolaan hutan, yaitu :

(1) Faktor waktu

Pertumbuhan pohon sampai mencapai ukuran yang dapat dimanfaatkan umumnya lambat, sehingga muncul resiko perubahan permintaan pasar dan pengembalian modal yang lama.

(2) Identitas produk dan pabrik

Di dalam suatu pohon memiliki dua identitas yaitu sebagai produk dan pabrik penghasil produk itu sendiri, sehingga memanen hasil berarti juga menghilangkan pabrik.

(3) Manfaat majemuk (multiple use)

Terdapat manfaat tangible dan intangible dari hutan. Sulit menentukan prioritas yang akan diambil dari semua manfaat yang ada, dan seringkali memanfaatkan satu menghilangkan manfaat yang lain.

(4) Luas, topografi, dan assesibilitas lahan.

Lahan hutan umumnya terpencil, sulit dicapai, tidak subur, dan sulit dibajak, dan berada di tempat jauh seperti di pegunungan.

(5) Faktor teknis

Dasar dari pengelolaan hutan serupa dengan pertanian yang bergantung kepada lahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman terutama pohon harus diperhatikan. Faktor-faktor tersebut sangat kompleks yang meliputi tidak saja botani, fisiologi dan ekologi tanaman, tetapi juga geologi, pedologi, dan klimatologi.

Sejalan dengan waktu, kriteria pengelolaan hutan tersebut diatas mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Pada saat sekarang pengelolaan hutan meliputi penggunaan hutan untuk kepentingan pemilik dan masyarat. Pengelolaan hutan saat ini berusaha mengejar ketertinggalan perhatiannya terhadap kepentingan masyarakat. Pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan produksi kayu, keanekaragaman hayati, atau tujuan lainnya, keputusan didasari oleh pengetahuan dan nilai kepentingan manusia (Davis et al. 2001).

(41)

fungsi, dan konservasi hutan serta hubungan sumberdaya tersebut. Hutan dapat dikelola untuk menghasilkan kayu, air, kehidupan liar, rekreasi, atau kombinasinya.

Beberapa karakteristik utama yang dipegang dalam pengelolaan hutan menurut Suhendang et al. (2005) yaitu :

1. Berdasarkan pendekatan ekosistem dengan jasa lingkungan sebagai bentuk manfaat yang mutlak harus dihasilkan.

2. Bersifat multifungsi, sehingga perlu dilakukan pendekatan optimasi fungsi-fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial dari ekosistem hutan.

3. Untuk produksi kayu, maka hasil akan melekat pada pohon pembentuk tegakan yang sekaligus sebagai pabrik dalam proses produksi tersebut. 4. Dimensi waktu pengelolaan yang tidak terhingga (infinite). Dalam

pengelolaan hutan dipegang prinsip kelestarian (berkelanjutan).

5. Tingkat intensitas pengelolaannya lebih mengandalkan alam dan tidak seintensif pengelolaan perkebunan.

2.2.2. Sejarah Pengelolaan Hutan

Perhatian terhadap pengelolaan hutan menurut Meyer et al. (1961) dimulai dengan adanya kegiatan silvikultur pada kekaisaran Cina sekitar 1122 sebelum Masehi. Kegiatannya meliputi penjarangan tegakan, pemindahan pohon yang tidak diinginkan, pemangkasan, pembersihan, dan perlindungan. Komisi hutan dari pemerintah saat itu mengatur penebangan pohon, menghukum tindakan pencurian kayu, dan hanya mengizinkan penggunaan kayu untuk tujuan yang pasti. Kegiatan praktek kehutanan di Cina ini tidak berlanjut kemungkinan akibat perang dan periode kehancuran (chaos).

(42)

(Ordonance de Melum) di Perancis tahun 1376 dan Akta Hutan (Forest Act) tahun 1482, serta tahun 1543 di Inggris (Osmaston 1967).

Menurut Davis et al. (2001) berdasarkan perkembangan sejarah terdapat empat tahapan pendapat utama mengenai kelestarian hutan, yaitu:

1. Kelestarian Hasil dari Kayu Komersil (Sustained Yield of Commercial Timber).

Pengelolaan hutan tradisional lebih menekankan untuk produksi kayu. Kehutanan di Eropa pada tahun 1800-an, khususnya Jerman, menekankan aliran produksi kayu yang seimbang dalam suatu organisasi hutan.

2. Kelestarian Hasil untuk Multifungsi (Multiple Use-Sustained Yield)

Setelah perang dunia ke-2, ekonomi masyarakat di Amerika Serikat mengalami peningkatan. Banyak penduduk yang melakukan rekreasi ke luar rumah terutama di lahan publik. Kemudian secara formal dibuat

perundang-undangan pada tahun 1960 mengenai “The Multiple Use-Sustained Yield Act”.

Peraturan ini mengatur pengeluaran hutan selain kayu dan air dalam pengelolaan hutan nasional meliputi pemancingan, kehidupan liar, penyedia makanan ternak, dan rekreasi alam.

3. Fungsi alami dari ekosistem hutan (Naturally Functioning Forest Ecosystem). Hubungan manusia dengan alam saling mendukung. Pada tahun 1980 sampai awal 1990, negara melihat terdapat tekanan dan persaingan kuat untuk penggunaan hutan dan hasilnya. Secara bersamaan terjadi perkembangan dalam ilmu ekologi yang mendukung perlunya penyelamatan ekosistem alami dan kandungan genetik sebelum hilang secara permanen. Pertumbuhan politik lingkungan dengan tiba-tiba membawa perubahan politik baru.

4. Kelestarian Kemanusiaan – Ekosistem Hutan (Sustainable Human- Forest Ecosystem).

(43)

2.2.3. Konsep dan Kriteria Pengelolaan Hutan

Davis et al. (2001) menyatakan bahwa kelestarian hutan adalah pengakuan secara luas hubungan susunan antara ekologi, ekonomi, dan sosial. Kelestarian ini berarti mempertemukan kepentingan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi berikutnya. Pespektif dalam pengelolaan hutan dipandang dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Kehutanan Ekologi

Prinsip ini menganalisa sumberdaya hutan dari keanekaragaman hayati dan produktifitas ekologi. Ekologi hutan dibedakan oleh penekanan pola alami dan prosesnya. Pola gangguan alami dan prosesnya, sistem seleksi silvikultur, penyeleksian umur dan sebarannya, serta habitat dari suatu jenis digunakan sebagai arahan pengelolaan.

b. Prinsip Kehutanan Ekonomi

Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari keuntungan bersih maksimal terhadap manusia. Keuntungan dapat dipandang mikro (perusahaan) dan makro (wilayah dan nasional). Ekonomi mikro menganalisis keuntungan pada suatu perusahaan dan ditekankan pada akumulasi kekayaan. Sedangkan makro ekonomi menganalisa keuntungan dari ekonomi dan ditekankan pada kumpulan pengukuran kesejahteraan setiap pekerja, pendapatan, dan Gross National Product (GNP). Selain itu, untuk kehutanan pengukuran yang sering digunakan adalah nilai kiwari bersih (Net Present Value/NPV), dan pendugaan biaya alternatif untuk suatu pengukuran keanekaragaman hayati.

(44)

Gambar 2 Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann

Pada Gambar 2 terlihat bahwa ketika suatu tegakan mencapai waktu rotasi (R) maka dilakukan penebangan. Kemudian lahan segera menjadi hutan kembali setelah pemanenan tersebut. Formula Faustmann menunjukkan nilai lahan adalah nilai yang dihitung pada saat sekarang dari panen yang akan datang dengan waktu yang tak terhingga. Fungsi lahan tidak mengalami perubahan, yaitu tetap menjadi fungsi hutan terus menerus, ini terlihat dari rumusnya dimana terjadi ulangan tak terhingga, yaitu :

...

Terjadi ulangan tak berhingga ini merupakan ciri dan prinsip pengelolaan hutan dibanding pengelolaan lainnya.

c. Prinsip Kehutanan Sosial

Prinsip ini dinamakan dengan social forestry yang menganalisis melalui keberlanjutan kesejahteraan manusia, komunitas, dan masyarakat. Elemen kunci keuntungan hutan menggunakan prinsip ini meliputi distribusi keuntungan hutan, kapasitas kelompok untuk menerima perubahan,

0 R 2R 3R Tahun

(45)

penerimaan sosial dari keputusan, dan proses pembuatan keputusan berdasarkan demokrasi.

Deklarasi Rio yang dikeluarkan pada Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development, UNCED) yang diselenggarakan di Brazil Tahun 1992 mengamanatkan perlunya pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh (holistic), terpadu (integrated) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam konferensi ini adalah Prinsip-prinsip Kehutanan ( Principle on Forest). Prinsip tersebut melandasi Pengelolaan Hutan Lestari atau PHL (Sustained Forest Management/SFM) yang disepakati secara internasional. Prinsip utama dalam PHL adalah dicapainya manfaat hutan yang bersifat optimal dari fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial budaya hutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Suhendang 2004).

Dalam pengelolaan hutan berlandaskan ekosistem, kelestarian (keberlanjutan) hutan mengandung makna kelestarian dalam hal keberadaan wujud biofisik hutan, produktifitas (daya dukung) hutan, dan funsi-fungsi ekosistem hutan dengan komponen lingkungannya. Dari ketiga dimensi kelestarian hutan tersebut, kelestarian wujud biofisik merupakan prasyarat untuk diperoleh kelestarian produktivitas dan fungsi ekosistem hutan. Namun demikian, mempertahankan kelestarian wujud biofisik bukan berarti bahwa seluruh hutan harus dibiarkan utuh alami, tidak boleh disentuh atau dimanfaatkan sama sekali; melainkan kita manfaatkan sumberdaya hutan secara optimal dengan mempertahankan kelestarian daya dukungnya yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan (Suhendang 2004).

(46)

a) Kategori Pertama adalah PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan dilindungi, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial;

b) Kategori Kedua adalah PHBM pada tanah negara yang berdasarkan tata guna lahan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial;

c) Kategori ketiga adalah PHBM yang berada pada tanah adat dan hak milik yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu dan orientasi usahanya komersial. Kategori ini dapat berarti PHBM pada tanah-tanah yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa hasil hutan non kayu dan orientasi usahanya komersial;

d) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya kehutanan, jenis hasil hutan yang diproduksinya berupa kayu atau non kayu, namun dengan orientasi subsisten.

e) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, dan orientasi usahanya komersial. f) PHBM pada lahan-lahan yang berdasarkan tata gunanya diperuntukkan

sebagai kawasan budidaya non kehutanan dengan jenis hasil hutan yang diproduksi berupa kayu atau non kayu, namun orientasi usahanya subsisten.

2.2.4. Organisasi Hutan dan Unit Pengelolaan Hutan

(47)

berhubungan dengan unit lahan untuk gambaran pengukuran dan petunjuk kegiatan ke depan.

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dibagi atas beberapa tingkat, yaitu propinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Pembentukan unit pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi luasnya suatu organisasi unit pengelolaan hutan adalah (Davis dan Mason, 1966):

1). Pendirian dan pemeliharaan dari pemilikan lahan

Bagaimana lahan diperoleh dan didistribusikan dalam hubungan dengan kepemilikan lainnya dan penggunaan lahan, memerlukan pendirian dan pemeliharaan pada batas luar, trespass, dan klaim tanah yang merugikan, masalah akses dan prilaku masyarakat serta politiknya.

2). Tambahan rencana hasil ke depan

Jika penambahan lahan diperoleh, kapan, dimana, dan berapa banyak? Jawabannya mempengaruhi atministrasi dan subdivisi hutan.

3). Lawas (Scope) dan karakter pekerjaan yang dilakukan

Apakah dominan untuk produksi kayu atau untuk penggunaan lainnya dan bagaimana kepentingannya? Pertanyaan ini sangat penting di masyarakat dan berhubungan dengan kepentingan kepemilikan pribadi. Peningkatan produksi kayu mungkin perlu dihubungkan dan diseimbangkan dengan penggunaan lainnya.

4). Beban pekerjaan dan pengawasan

(48)

5). Area pemasaran

Bagian hutan sebagai penyedia kayu terutama untuk pabrik, kota, atau masyarakat akan mempengaruhi organisasi dan bagian hutan itu sendiri. 6). Topografi

Banyak bagian hutan ditentukan oleh karakteristik wilayahnya, seperti wilayah pegunungan untuk pengaturan kegiatan penebangan ditetapkan berdasarkan aliran air dan bentuk topografi.

7). Fasilitas transportasi

Tersedianya fasilitas transportasi akan sangat mempengaruhi organisasi hutan. Transportasi menjadi batasan untuk pemasaran kayu di banyak wilayah hutan. Terbukanya wilayah hutan oleh jalan darat maupun air akan mengubah kondisi administratif. Pada beberapa kondisi, besarnya wilayah di suatu bagian hutan dipengaruhi oleh transportasi. Keberadaan transportasi seperti jalan dan rel secara alami berhubungan dengan topografi.

8). Karakteristik hutan

Hutan didominasi oleh tegakan tua atau siap tebang. Sebagian merupakan persediaan, dan diperlukan regenerasi buatan dan lainnya yang penting hubungannya dengan administrasi hutan. Selain itu, perbedaan jumlah dan karakter serta tipe hutan seperti hardwood, konifer, atau gambut membedakan perlakuan dalam kegiatan di hutan.

9). Inventarisasi dan keperluan penyimpanan rekaman

Beberapa macam pengawasan inventarisasi dan kegiatan rekaman harus disimpan sesuai dan berarti dalam bagian hutan.

Gambar

Gambar 2  Pertumbuhan tegakan dan panen berdasarkan Model Faustmann
Tabel 2.  Standar kriteria  aspek ekonomi, sosial, dan ekologi
Gambar 4  Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
Gambar 6  Diagram alir tahapan penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait