• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Hutan untuk Menjamin Kelestarian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat

2.2.5 Pengelolaan Hutan untuk Menjamin Kelestarian

Suhendang (2004) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan membutuhkan sinergi yang baik antara fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial. Kelestarian merupakan proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan tertentu dalam menghasilkan barang dan jasa hutan, yang diperlukan secara berkelanjutan tanpa adanya pengurangan terhadap nilai dan produktivitas hutan di masa yang akan datang, dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan fisik dan sosial.

Tabel 2. Standar kriteria aspek ekonomi, sosial, dan ekologi

Aspek LEI ITTO FSC SLIM

Ekonomi (Produksi) Kelestarian Sumberdaya Kelestarian Hasil Kelestarian Usaha Ketersediaan Produksi Hutan Ukuran unit pengelolaan Keuntungan dari hutan yang nyata. Banyaknya dan frekuensi

pemanenan. Sosial Kejelasan sistem tenurial dan

hutan komunitas

Terjaminnya pengembangan & ketahanan ekonomi komunitas Terbangunnya hubungan sosial yang setara dalam proses produksi

Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas

Aspek ekonomi, sosial dan kultural.

Jumlah tenaga kerja

Tipe kepemilikan dan tenurial lahan. Kegiatan sosial yang nyata.

Ekologi Stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara & ganggungan dapat

diminimalisir dan dikelola Ekosistem langka dapat dipertahankan dan

ganggungan terhadapnya dapat diminimalisir Keamanan Sumberdaya hutan Kesehatan dan kondisi ekosistem hutan Keanekaragaman Biologi

Tanah dan Air

Proporsi lahan untuk perlindungan

Sumber : Lei, 2006 http://www.lei.or.id/indonesia/news_detail.

FSC, http://www.gtz.de/de/dokumente/en-d61-slimfs-initiative

Kelestarian hutan dapat dicapai dengan menetapkan kriteria dan indikator yang dapat diterapkan dalam sebuah unit pengelolaan (management unit) dan perencanaan tingkat tinggi seperti di regional maupun nasional. Kriteria kelestarian untuk tingkat kesatuan pengelolaan hutan dan contoh indikatornya diterangkan di ITTO (1992) dalam Kuncahyo (2006) :

a) Kriteria keamanan sumber, contoh indikator yaitu ketetapan kawasan hutan tetap, rencana pengelolaan, kejelasan tata batas, tingkat penebnaagan, serta perjanjian masa konsensi hutan.

b) Kriteria keberlanjutan hasil kayu, contoh indikatornya yaitu aturan yang jelas dan resmi tentang pemanenan, produktivitas tanah jangka panjang, inventarisasi tegakan sebelum penebangan, jumlah pohon atau volume pohon yang boleh ditebang per hektar, monitoring tegakan sisa tebangan, pencatatan

hasil hutan tahunan, areal produksi yang bersih, dan pencatatan areal tebangan hutan.

c) Kriteria konservasi flora dan fauna, contoh indikatornya yaitu perlindungan ekosistem dalam areal konsensi hutan dan unit pengelolaan, serta tingkat gangguan vegetasi setelah penebangan.

d) Kriteria manfaat sosial ekonomi, contoh indikatornya yaitu jumlah tenaga kerja yang diserap, macam pekerjaan, dan jumlah volume pekerjaan yang dapat dikaitkan dengan pengelolaan hutan.

e) Kriteria pengamanan dalam perencanaan dan pengaturan, contoh indikatornya yaitu konsultasi kemasyarakatan dan rencana pengelolaan hutan dengan memasukkan pemanfaatan hutan secara tradisional.

Kriteria kelestarian untuk tingkat pengelolaan yang umum digunakan di Indonesia meliputi aspek ekonomi, sosial, dan ekologi disajikan pada Tabel 2.

Varma et al (2000), melakukan pengukuran kelestarian hutan dengan menggunakan seleksi lewat kriteria dan indikator. Kriteria dan Indikator yang telah dibangun dan diteliti sebelumnya (ITTO 1992, Helsinki Process 1995, Montreal Process 1995) sebagai berikut :

a. Keadaan dari sumberdaya hutan

b. Konservasi terhadap keanekaragaman biologi. c. Kesehatan hutan, vitalitas, dan integritas. d. Fungsi Produksi kayu dan produk lainnya e. Perlindungan tanah dan air

f. Fungsi sosial-ekonomi .

2.3. Karakteristik Masyarakat Desa

Definisi desa menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P49/Menhut- II/2008 tentang hutan desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Popkin (1986), desa adalah lembaga kunci yang menyediakan jaminan keamanan kepada para petani dalam masyarakat prakapitalis. Desa adalah suatu

kolektifitas yang meratakan kesempatan-kesempatan hidup dan meminimalkan resiko-resiko hidup bagi warganya.

Keadaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan di Indonesia menarik untuk diteliti karena lebih dari 83% rumah tangga di Indonesia tinggal di pedesaan, dan kondisi desa memerlukan bantuan pemikiran untuk memecahkan masalah yang dihadapinya (Sayogyo 1981). Rendahnya pendapatan, sempitnya penguasaan lahan, rendahnya pendidikan, sulitnya mencari pekerjaan, dan lain- lain merupakan masalah-masalah dalam kehidupan rumah tangga didesa. Kondisi penguasaan lahan yang sempit dan sifat menggantungkan diri pada sektor pertanian membuat petani sukar meningkatkan pendapatannya.

Ciri-ciri rumah tangga masyarakat pedesaan adalah sebagai berikut : a. Rumah tangga di desa mempunyai fungsi rangkap, yaitu sebagai unit

produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial-ekonomi. b. Tujuan utama rumah tangga di pedesaan adalah untuk mencukupi kebutuhan

para anggotanya.

c. Implikasi penting bagi pola penggunaan waktu antara lain adalah rumah tangga petani miskin akan bekerja keras untuk mendapatkan tambahan produksi, meskipun kecil mereka sering menambah kegiatan bertani dengan pekerjaan lain walaupun hasilnya per jam kerja lebih rendah, rumah tangga petani miskin juga menunjukkan ciri-ciri self exploitation (White 1976 dalam

Kartasubrata 1986).

Masyarakat pedesaan pada dunia ketiga umumnya dan pedesaan khususnya, sangat erat dengan kemiskinan. Hal ini dikarenakan secara relatif sumberdaya manusia berkualitas sangat rendah, penguasaan aset (lahan) yang sempit serta sulitnya iklim demokrasi di segala bidang (Hardjanto, 2003).

Petani pengelola hutan rakyat biasanyanya subsisten yang merupakan ciri umum petani Indonesia. Golongan petani yang subsisten tersebut menurut Scott (1976) memiliki kebiasaan mendahulukan selamat, artinya apa yang diusahakan prioritas pertama adalah mencukupi kebutuhan konsumsi sendiri yang disebut dengan etika subsisten. Petani subsisten umumnya memiliki penghasilan yang sangat rendah, lahan yang kecil, keluarga besar, hasil-hasil panen yang sangat variabel, dan sedikit kesempatan bekerja di luar. Pada tingkat ini, petani sulit

menghadapi keputusan yang mengandung resiko tinggi, seperti melakukan investasi besar dan perubahan inovasi yang drastis.

Masyarakat desa memiliki pola hubungan yang secara struktur sangat tergantung kepada pemimpin. Masalah ini dapat dianggap sebagai kekuatan maupun kelemahan. Kelemahan pada masyarakat seperti ini adalah, jika pemimpin formal dan informal desa tidak memiliki sikap inisiatif akan mengakibatkan dinamika kehidupan masyarakatnya mengalami stagnasi. Namun, ketergantungan terhadap pemimpin dapat dianggap sebagai kekuatan, sebab tipe masyarakat seperti ini akan lebih mudah dimobilisasi, melalui tokoh-tokoh masyarakatnya (Haryanti et al 2003). Selain itu menurut Scott (1976), terdapat banyak jaringan dan lembaga di luar lingkungan keluarga yang seringkali berfungsi sebagai pelindung selama krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Petani akan dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, aparat desanya, seorang pelindung yang berpengaruh, dan negara.

Dokumen terkait