• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia (studi atas pandangan ulama muhammadiyah dan NU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia (studi atas pandangan ulama muhammadiyah dan NU)"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

DI INDONESIA

(STUDI ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

SITI KHODIJAH NIM : 1110045100038

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

SITI KHODIJAH, NIM 1110045100038, Judul Skripsi: “HUKUMAN

POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUAN DI INDONESIA (STUDI

ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU)” Konsentrasi

Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hukuman untuk tindak pidana pencurian dalam Islam ialah hukuman potong tangan, sedangkan dalam KUHP ialah hukuman penjara dan denda. Dalam Islam harta merupakan salah satu dari lima hal yang harus dijaga, untuk dapat terpeliharanya harta dalam Islam maka akan dapat terwujud melalui hukuman yang setimpal, yaitu hukuman potong tangan.

Pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia, yang bertujuan untuk membandingkan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dan pemberlakuannnya di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, sedangkan sumber data yang digunakan yaitu sumber data primer dari hasil wawancara dengan Ulama Muhammadiyah, dan NU; dan sumber sekunder yang dihasilkan dari studi kepustakaan. Adapun teknik analisis yang digunakan adalah analisis perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan bagi pencuri dan pemberlakuannya di Indonesia.

(6)

ii

selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh mahluk. Dengan kuasa

dan rahmat-Nya kita senantiasa selalu diberikan kesehatan dan keselamatan serta

nikmat yang tak terkira. Dengan penuh keikhlasan dan kebahagiaan, penulis

bersyukur atas nikmat yang telah diberi Allah SWT.

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah

SAW. Nabi terakhir yang telah membawa perubahan kepada umatnya dari zaman

jahiliya ke zaman Islamiyah. Keselamatan dan kesejahteraan semoga selalu

dilimpahkan kepada para keluarga, seluruh sahabat, dan pengikutnya hingga akhir

zaman.

Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tiadalah

kemampuan daya dan upaya melainkan atas kehendak dan ridho-Nya, sehinggga

penulis dapat menyelesaikan studi dan mencapai gelar (S1) Sarjana Strata Satu di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan menghasilkan

sebuah katya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang penulis angkat dengan tema

HUKUMAN POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA DI INDONESIA (STUDI ATAS PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH

DAN NU)”.

Selama pembuatan skripsi ini tidak sedikit kesulitan dan kendala yang

dialami penulis, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan

(7)

iii

kesulitan dan kendala itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,

seyogyanyalah penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya

kehadirat Allah Yang Maha Kuasa. Dan meengucapkan terima kasih yang tiada

terhingga serta menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang ikut terlibat

atas terselesaikannya skripsi ini.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Yth:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para pembantu Dekan.

2. Ibu Dra. Hj. Maskufa, M. Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah

Jurusan Kepidanaan Islam, dan kepada Ibu Rosdiana, MA Sekertaris

program Studi Jinayah Siyasah.

3. Bapak Dr. Khamami Zada, MA dan bapak Afwan Faizin, M. Ag., sebagai

dosen pembimbing penulisan skripsi, yang telah banyak memberikan

ilmunya dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dengan

penuh kesabaran dan keikhlasan.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, dan seluruh karyawan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakrta.

5. Kepada kedua orang tua penulis, Abah yakni Alm. H. Amirudin yang telah

berjuang membesarkan, mendidik dengan penuh kasih sayang sampai

akhir hayatnya yang sangat penulis cintai dan sayangi sampai saat ini.

(8)

iv

mencapai apa yang diperoleh saat ini, pengorbanan Abah dan Ibu tak

mungkin bisa penulis balas dengan apapun. Terima kasih Abah dan Ibu ku

tercinta kalian adalah cahaya dan penyemangat ku.

6. Kepada keluarga tercinta kakak-kakak ku dan adikku yaitu: ka Hanafi, ka

Amin, Ka Amanah, ka Hilmi, ka Syarif dan adiku Hambali terima kasih

atas dukungan kalian. kalian adalah penyemangat penulis dalam

menyelesaiakan skripsi ini.

7. Kepada saudara penulis yaitu Fauziyah Tasya yang telah membantu

menemani penulis dalam menyelesaikan penulisan ini, dan juga kepada

teman-teman jurusan Kepidanaan Islam angkatan 2010, Amanah, Azizah,

Izzatulailah, Ika Wahyuni Ayu Safitri, Luthfiah Rahmah, Siska Novrianti,

Reniati Sumanta, Maslahatunnisa, Luluk Husnawati (SS), dan semuanya

yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebaikan kalian

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada perwakilan PP Muhammadiyah Jakarta Pusat yaitu bapak Ma;rifat

Iman, bapak Fahmi Salim, dan bapak Risman Muchtar. dan perwakilan

PBNU Jakarta Pusat yaitu bapak Masdar Fuadi Mas’ud, bapak Arwani

Faisal, dan bapak Cholil Nafis yang telah meluangkan waktunya untuk

penulis wawancarai dan kepada staf-staf PP Muhammadiyah dan PBNU

(9)

v

panjatkan kepada Allah SWT, serta diiringi doa semoga amal baik tersebut

di atas diterima oleh Allah SWT dan dibalas dengan pembalasan yang

berlipat ganda. Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin melakukan

yang terbaik dalam penulisan ini. Penulis sangat menyadari keterbatasan

kemampuan penulis, dan mungkin masih banyak kekurangan dan

kesalahan. Saran dan masukan dari para pembaca sangat diharapkan demi

pembenaran dan kessempurnaan skripsi ini dan semoga membawa manfaat

khususnya bagi penulis dan para pembaca semua.

Jakarta, 8 April 2015 Penulis

Siti Khodijah

(10)

vi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistimatika Pembahasan ... 7

BAB II HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM A. Pengertian Potong Tangan ... 10

B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian 10 C. Hukuman Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut Ulama Fiqih ... 15

D. Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan ... 17

(11)

vii

INDONESIA

A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia... 28

B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia ... 32

C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia ... 35

D. Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam ... 37

BAB IV PANDANGAN ULAMA MUHAMMADIYAH DAN NU TENTANG HUKUMAN POTONG TANGAN DAN PEMBERLAKUANNYA DI INDONESIA A. Pandangan Ulama Muhammadiyah Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia ... 46

B. Pandangan Ulama NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia ... 53

C. Perbandingan Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia ... 60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 70

(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah hukum yang paling sempurna, mencakup

semua aspek kehidupan baik mencakup hubungan antara manusia maupun

hubungan antara manusia dan tuhan. Hukum Islam juga memberikan

perlindungan kepada manusia dengan memberikan larangan dan perintah

yang mengatur manusia. Hal ini dapat dilihat dari maksud-maksud hukum

(al-makasid syariah) yang terdapat dalam lima tujuan syariat yaitu: memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan, memelihara

kehormatan, dan memelihara harta benda.1

Hukum Islam juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman

dengan mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam hukum Islam dan

asas-asas hukum yang dapat berlaku umum dan dapat diterima oleh masyarakat.

Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kejahatan pun

semakin berkembang dengan bertambahnya angka kejahatan dan

bertambahnya macam-macam jenis kejahatan. Sedangkan hukum yang ada di

Indonesia adalah hukum peninggalan Belanda yang sudah dapat dikatakan

usang. Kalaupun ada hukum-hukum baru yang ditetapkan pemerintah

merupakan hukum yang bersifat khusus tidak bersifat global. Hal ini

mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan mana yang layak digunakan

1

(13)

yang khusus (lek speciale) dan global (lex generele).2 Hal ini berakibat pada pemberian sanksi pidana pada kejahatan.

Pada tahun-tahun terakhir semakin banyak terjadi kejahatan terhadap

harta atau pencurian. Hal ini mungkin disebabkan oleh sanksi hukuman yang

terlalu ringan. Sanksi tindak pidana terhadap harta khususnya dalam hal

tindak pidana pencurian dapat dilihat dalam KUHP.

Dalam hukum Islam,pencurian termasuk salah satu jarimah hudud,

karena secara tegas dan teknisnya sudah diatur dalam nash-nash al-Qur’an dan hadits.3 Pencurian termasuk cara yang tidak sah dalam mengambil harta

orang ain.4 Untuk itu pencurian dalam hukum pidana Islam diancam dengan

hukuman potong tangan.

Hukuman potong tangan didasarkan atas penyelidikan mental dan

kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukuman tersebut adalah hukuman yang

sesuai dengan perseorangan maupun untuk masyarakat, dan oleh karena itu

merupakan hukuman yang paling baik, sebab bisa mengurangi bilangan

jarimah dan bisa menjamin ketentraman masyarakat.5

Namun, hukum potong tangan bagi pencuri yang telah ditulis dalam

syariat Islam tidak diberlakukan di Indonesia, karena Indonesia mengadopsi

hukum Barat dengan menggunakan KUHP dimana pelaku pencurian tidak

dihukum potong tangan, melainkan dipenjara dan denda.

2

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang 2005), h. 193.

3

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 14.

4

Abdurahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 62

5

(14)

Dengan kaitan inilah, peranan para ulama tidak dapat diragukan lagi

karena sangat penting, baik dalam soal agama maupun dalam soal

politik.6Ulama Indonesia menyadari, kemajemukan dan keragaman umat

Islam dalam pikiran dan paham keagamaan merupakan rahmat bagi umat

yang diterima sebagai pelangi dinamika untuk mencapai kebenaran hakiki.7

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua organisasi Islam

terbesar dan tertua di Indonesia telah berusaha, bahkan sejak sebelum

kemerdekaan, untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum yang

berhubungan dengan Islam, terutama menyangkut kepentingan masyarakat

umum.8 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis bermaksud menggali

pandangan Muhammadiyah dan NU tentang pemberlakuan hukuman potong

tangan di Indonesia. Karena itu penulis tertarik membahas permasalahan di

atas dengan judul “Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia (Studi atas Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok masalah dalam studi ini adalah perbandingan pandangan

Ulama Muhammadiyahdan NU tentang hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia. Pokok masalah tersebut di atas diuraikan

dalam beberapa pertanyaan berikut ini:

6

Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, h. 53.

7

www.mui.or.id

8Rifyal Ka’bah,

(15)

1. Bagaimana pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang

hukuman potong tangan?

2. Bagaimana pandangan ulama Muhammadiyah dan NU tentang

pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia?

3. Bagaimana perbandingan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU

tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia?

Perbandingan pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU yang

dijadikan fokus kajian dalam studi ini dibatasi pada hukum potong tangan

bagi pencuri (hudud) dan pemberlakuannya di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini bertujuan, pertama, menjelaskan tentang

syariat Islam di Indonesia; kedua,menjelaskan pandangan ulama

Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan

pemberlakuannya di Indonesia. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan:

a. Menjelaskan pandangan ulama Muhammadiyah dan NU

tentang hukuman potong tangan;

b. Menjelaskan pandangan ulam Muhammadiyah dan NU

tentang pemberlakuan hukuman potong tangan di Indonesia;

c. Menjelaskan perbandingan pandangan ulama

Muhammadiyah dan NU tentang hukuman potong tangan dan

(16)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna dalam menambah

wawasan tentang hukuman potong tangan dalam hukum

pidana Islam.

b. Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang

hukuam potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia.

c. Sebagai penambah bahan bacaan dalam kepustakaan dan

sebagai referensi.

D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu

Sejauh ini peneliti belum menemukan secara spesifik penelitian yang

membahas tentang hukuman potong tangan, namun banyak penelitian yang

menyinggung tentang hukuman potong tangan, baik mengenai sanksi

potong tangan untuk tindak pidana pencurian maupun hanya

menyinggungnya secara umum mengenai penelitian tersebut. Berikut ini

paparan tinjauan umum tentang karya penelitian tersebut.

Mardani dalam bukunyaKejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan Di Nanggroe Aceh Darussalam,menjelaskan bahwa hukuman potong tangan merupakan hukuman yang sangat asas (mendasar) dalam pencurian. Oleh karena itu,

hukuman potong tangan tidak bisa dibatalkan walaupun adanya pemaafan

(17)

diganti dengan hukuman lain yang lebih ringan dari hukuman potong

tangan.

Siti Katijah Binti Salleh menulis skripsi yang berjudul Pelaksanaan Hukum Pidana Pencurian Enakmen Kesalahan Jinayah Syariah Di Terengganu. Inti dari kesimpulan skripsi tersebutialah bahwa hukuman pidana potong tangan tidak dapat dilaksanakan di Terengganu karena

halangan yang dihadapi dari pihak Pemerintah Federal yang tidak bisa

menerima hukum hudud.

Hidayatullah menulis skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pencurian Uang Melalui Internet Banking. Isi dari skripsi tersebut tidak terlalu menyinggung tentang hukuman potong

tangan namun dapat diambil kesimpulan bahwa hukuman potong tangan

diperintahkan Allah SWT, sebagai hukuman kepada pencuri, baik laki-laki

maupun perempuan.

Penelitian di atas baru sebatas mengkaji hukum potong tangan di

Aceh dan Terengganu. Karena itu penulis bermaksud membahas pandangan

ulama Muhammadiyah dan NU teetntang pemberlakukan hukuman potong

tangan bagi pidana pencurian di Indonesia.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang berdasarkan data-data wawancara yang berkaitan

(18)

bersifat deskriptif yaitu menggambarkan masalah, menyusun,

mengumpulkan data penelitian.

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Sumber yang digunakan adalah sumber primer yaitu hasil

wawancara dengan Ulama Muhammadiyah, dan NU; dan sumber

sekunder yaitu literatur/karya ilmiah dan data-data yang diperoleh dari

buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah yang akan diteliti.

3. Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis perbandingan,yaitu

membandingkan pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU tentang

hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia.

Adapun mengenai teknik penulisan, penulis menggunakkan

buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2012.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika yang disajikan untuk mempermudah pembaca dalam

memahami materi yang dibahas dalam penelitian ini, penulis membagi

dalam 4 (empat) bab. Bab pertama bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab

ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini,

yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) Latar Belakang

(19)

Penelitian, (4) Tinjauan Pustaka, (5) Metode Penelitian, dan (6) Sistematika

Pembahasan.

Bab kedua berjudul“Hukuman Potong Tangan dalam Hukum Pidana

Islam”. Di dalam bab ini menyajikan uraian tentang hukuman potong tangan

bagi pencuri dalam hukum pidana Islam. Bab ini terdiri atas 5 (lima)

sub-bab utama, yaitu (1) Pengertian Potong Tangan, (2) Dasar Hukum Potong

Tangan bagi Tindak Pidana Pencurian, (3) Hukuman Potong Tangan bagi

Tindak Pidana Pencurian Menurut Ulama Fiqih, (4) Teknis Eksekusi

Hukuman Potong Tangan, dan (5) Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong

Tangan.

Bab ketiga berjudul “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di Indonesia”. Bab ini menyajikan bagaimana kedudukan hukum Islam dalam hukum positif di Indonesia. Bab ini terdiri atas empat (4)

sub-bab utama, yaitu (1) Sejarah Hukum Islam di Indonesia, (2) Hukum Islam

dalam Konstitusi Indonesia, (3) Hukum Islam dalam Undang-Undang

Indonesia, dan (4) Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.

Bab keempat yaitu “Pandangan Ulama Muhammadiyah dan NU Tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di Indonesia”. Dalam bab ini diuraikan analisis perbandingan pandangan para ulama

tentang hukuman potong tangan dan pemberlakuannya di Indonesia. Bab ini

menyajikan tiga (3) sub-bab utama yaitu: (1). Pandangan Ulama

Muhammadiyah tentang Hukuman Potong Tangan dan Pemberlakuannya di

(20)

Pemberlakuannya di Indonesia (3). Perbandingan Pandangan Ulama

Muhammadiyah dan NU tentang Hukuman Potong Tangan dan

Pemberlakuannya di Indonesia.

Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan

rekomendasi. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok/ inti temuan penelitian

yang dihasilkan. Selain itu, dimuat juga saran terkait tindak lanjut atas

(21)

10

HUKUMAN POTONG TANGAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Potong Tangan

Secara bahasa, potong tangan dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata,

yaitu

عط

ق

dan

د ا

. Kata

عطق

merupakan isim masdar dari lafadz

عطق

-

عطقي

-

عطق

yang berarti (memotong atau memutuskan),1sedangkan kata

د ا

merupakan

isim dari lafadh

عا او ا : )دْيا( د ا

yang berarti (tangan, lengan).2Secara

istilah potong tangan berarti memotong atau memutuskan tangan mulai dari

telapak tangan sampai pergelangan.

Definisi di atas sama dengan definisi menurutempat Imam Madzhab,

Ulama Zahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, yang mendefinisikan hukuman potong tangan yaitu memotong tangan pelaku pencurian mulai dari telapak tangan

sampai pergelangan tangan.3 Karena menurut mereka batas minimal dari

tangan ialah mulai dari jari sampai pergelangan tangan.

B. Dasar Hukum Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian

Potong tangan adalahhukuman yang sangat asasi dalam pencurian.

Oleh karenanya tidak hapus dengan adanya pemaafan, baik dari korban

maupun dari penguasa. Hukuman ini tidak boleh diganti dengan hukuman

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, t.t), h. 348.

2

Al-Munawwir, kamus Arab-Indonesia, h. 1697

3

(22)

lain atau yang lebih ringan dari padanya.4 Allah berfirman di dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:

ءازج امهيدْيأ اْوعطْقاف ق اّ ا اّ ا

امب

. ْ حزْيزع ها ها اا ا ّك

: دئام ا(

3

(

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagiapa yang mereka kerjakan dan sebagaisiksaan dari Allah. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”.5

Asbab Al-Nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat ini disebutkan

dalamsebuah riwayat dalam sebuah peristiwa pencurian pada masa Nabi

SAW. Seorang laki-laki mencuri sekarung gandum milik tetangganya,

mengambil dan menyimpannya di rumah seseorang. Karena karung itu sobek,

maka ia dapat dilacak. Sementara itu, si empunya mengadu kepada Nabi

SAW tentang barangnya yang dicuri serta mencurigai tetangganya yang

ternyata benar. Nabi SAW tak menyukai hal ini bahwa ia mencurigai

tetangganya yang muslim melakukan pencurian. Namun tatkala benar-benar

terbukti bahwa karung tersebut dicuri oleh tetangganya itu, maka ia lari ke

4

Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam (Jakarta: Indhill CO, t.th),h. 119.

5

(23)

semak belukar dan mati. Ayat Al-Qur’an di atas diturunkan setelah peristiwa ini terjadi.6

Firman Allah dalam Qs. Al-Maidah pada lafadz اْوعطْقاف

potonglah”,bermakna al-ibanah (penjelasan) dan al-izaalah (penghilangan). Penghilangan atau pemotongan ini tidak diwajibkan kecuali dengan

terpenuhinya beberapa syarat yang perlu diperhitungkan keberadaannya, pada

orang yang melakukan pencurian, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang

dicuri.7 Pada lafadz

امهيدْيأ“tangan keduanya”

, Allah tidak berfirman

امهْيدي

(harfiyah: kedua tangan mereka berdua).Terjadi perbedaan pendapat oleh para

pakar bahasa Arab membahas masalah tersebut.

Ibnu Al-Arabi berkata, “para fukaha memperkuat apa yang dikemukakan oleh para pakar bahasa Arab itu, karena sangkaan baik terhadap

mereka. Al- Khalil bin Ahmad dan Al-Farra’ berkata, “setiap sesuatu yang ada pada tubuh manusia, apabila sesuatu itu disebutkan untuk dua orang,

maka sesuatu itu harus dijamakkan”. Oleh karena itu Allah berfirman,

اْوعطْقاف

امهيدْيأ

(harfiyah: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,

potonglah tangan-tangan keduanya), dan tidak berfirman:

ام

هْيدي اْوعطْقاف

(harfiyah: potonglah kedua tangan keduanya). Maksudnya adalah, potonglah

tangan kanan si ini dan tangan kanan si itu. Namun demikian, menurut aturan

bahasa Arab, diperbolehkan mengungkapkan

امهْيدي ا

ْوعطْقاف

(harfiyah:

potonglah kedua tangan keduanya), sebab kalimat ini merupakan asal.

6

Abdurahman I Doi. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakrta: Rineka Cipta, 1992), h. 63.

7

(24)

Ibnu Al-Arabi berkata, “ini berdasarkan (pendapat yang menyatakan) bahwa yang boleh dipotong hanyalah tangan kanan, padahal tidak demikian.

Akan tetapi, yang boleh dipotong itu tangan-tangan dan kaki-kaki. Dengan

demikian, firman Allah:

امهيدْيأ

itu kembali kepada empat perkara, yang

terhimpun pada dua perkara (yaitu tangan dan kaki). Sebab lafadzh

ام

adalah

tatsniah. Dengan demikian pula, firman Allah itu dikemukakan secara fasih.8 Rasulullah sendiri, seperti yang telah dikemukakan oleh Ibnu

Abdulbar, pernah mengeksekusi potong tangan terhadap seorang wanita yang

bernama Fatimah binti al-Aswad bin Abdul „Asadal-Makhzumi yang mencuri harta seseorang. Seperti ditegaskan Awdah, hukuman potong tangan yang

seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an tidak boleh ditukar dengan bentuk hukuman lain yang lebih ringan.9

Sejak zaman para sahabat, hukuman potong tangan telah ditetapkan

untuk tindak pidana pencurian. Orang pertama yang memberi keputusan

hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah

memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Laki-laki

pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah SAW karena mencuri

adalah Al-Khiyar bin Abdi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pertama

yang dihukum potong tangan karena mencuri adalah Murrah binti sufyan bin

Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu Bakar pernah memotong tangan kanan

seorang pencuri kalung dan umar memotong tangan Ibnu Samurah, saudara

8

Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, h. 415-416.

9

(25)

Abdurrahman bin Samurah. Hal ini telah disepakati bersama. Sepintas ayat

ini bersifat umum, setiap pencuri harus dihukum potong tangan. Akan tetapi

ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda Rasulullah SAW, tangan pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar atau lebih. Jadi jelaslah hukumanini hanya berlaku pada sebagian pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena

hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin

Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits,Al-Syafi’i, dan Abu Saur. Imam Malik berkata,”tangan pencuri dipotong juga karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri sesuatu seharga dua dirham

yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya, tangan pencuri

tersebut tidak boleh dipotong”.10 Dengan demikian, ayat tentang potong tangan harus dihubungkan dengan hadis Nabi. Berikut ini versi lengkap dari

hadis tersebut.

مع بأ ْبا ْ ا ْب ْب احْس ْب ْحي ا ثدح

-ْح ظ ا

بأ ْبا اق

ق ,ا ثدح : مع

ْ ع , ْمع ْ ع , ْ ٌز ا ع ْ ع ْب ا ْس ا ْخا : ا خاا ا

ا ْي عب ف اّ ا عطْقي س ع ها ص ا وس اك :ْ اق شئاع

.ادعاصف

Artinya: Diceritakan dari Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, dan Ibnu Abu Umar menyampaikan kepada kami dengan lafadz milik Yahya-Ibnu Abu Umar menggunakan lafadz haddatsana, sedangakan dua perawi yang lain menggunakan lafadz akhbarana-dari az-Zuhri, dari Amrah

10

M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 103.

11

(26)

bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah saw memotong tangan pencuri yang mencuri seperempat dinar atau lebih”.

ْب هادْع ْب دْيزي ْ ع ,دمح ب زيزع اد ع ا ثدح : دْع ا حْا ْب ْشب ثدح

عمس اه أ شئاع ْ ع , ْمع ْ ع ,دمح ْب ْ ب بأ ْ ع , اهْا

ع ها ص

ا

.ادعاصف ا ْي عب ْ فا اس دي عطْق ا : ْوقي س

Artinya: Diceritakan dari Bisyr bin al-Hakim al-Abddi menyampaikan kepadaku dari Abdul Aziz bin Muhammad, dari Yazid bin Abdullah bin al- Had, dari Abu Bakar bin Muhammad, dari Amrah, dari Aisyah yang mendengar Nabi saw bersabda, “tangan pencuri tidak

dipotong kecuali jika dia mencuri sebanyak seperempat dinar atau lebih”.

C. Hukuman Potong Tangan Bagi Tindak Pidana Pencurian Menurut Ulama Fiqih

Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa hukuman potong tangan dijatuhkan untuk pencurian yang sempurna.13Hukuman potong tangan, yang

sering dipandang sebagai tidak manusiawi bagi yang menentangnya atau

sebagai hukuman yang serta merta dijalankan apa adanya bagi pendukung

literaturnya, pada prakteknya tidaklah dilakukan tanpa konteks.14

Pada dasarnya hukuman potong tangan tidak dijatuhkan dalam tidak

pidana pencurian jika pencuri tidak berhasil mengeluarkan barang curian dari

12

Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hijjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Shohih Muslim,h. 667.

13

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2008), h. 91.

14

(27)

tempat penyimpanannnya.15 Ada beberapa pendapat madzhab mengenai

penjatuhan hukuman potong tangan bagi pencuri yang hanya ikut membantu

mengawasi dalam hal pencurian.

Pertama,menurut Imam Malik, hukuman potong tangan tidak dapat dijatuhkan kepada seseorang yang hanya ikut membantu mengawasi dalam

pencurian baik dari dalam maupun dari luar rumah.

Kedua,menurut Imam Abu Hanifah, orang yang membantu tidak wajib dijatuhi hukuman potong tangan, kecuali jika barang yang diambil

masing-masinng pencuri dan yang membantu mencapai satu nisab. Jika

setelah dibagi dua nilai barang masing-masing tidak mencapai satu nisab,

keduanya tidak dikenakan hukuman potong tangan.

Ketiga,menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hukuman potong tangan harus dijatuhkan bagi mereka yang melakukan pencurian atau hanya ikut

membantu dalam pencurian jika nilai yang ia keluarkan mencapai satu nisab,

hukuman potong tangan ini berlaku bagi siapa saja yang melakukan atau yang

membantu dalam pencurian.

Keempat,menurut Imam Syafi’i, hukuman potong tangan atas orang yang membantu pencurian hanya berlaku dengan dua syarat. Pertama,

membantu pencuri mengeluarkan barang-barang curian dari rumah. Kedua,

setelah barang curian ditotal dan dibagi rata, setiap pencuri mendapat satu

nisab. Mazhab Syi’ah Zaidiyah sepakat dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

15

(28)

Hukuman potong tangan harus dijatuhkan kepada mereka yang membantu

pencurian, baik dari dalam maupun dari luar rumah.16

Pada dasarnya hukuman potong tangan akan tetap diberlakukan

kepada siapa saja, baik oleh si pelaku langsung maupun oleh mereka yang

hanya ikut membantu dalam pencurian. Namun, dalam hal ini hukuman

potong tangan tersebut dijatuhkan apabila barang yang dicuri mencapai satu

nisab.Apabila barang yang dicuri tidak mencapai satu nisab, maka

hukumannya bukanlah hukuman potong tangan tetapi hukuman ta’zir.

D. Teknis Eksekusi Hukuman Potong Tangan

Ulama al-Mazahib al-Arba’ah berbeda pendapat dalam menetapkan teknis eksekusi potong tangan pada diri pencuri.Menurut Hanafiyah dan

Hanabilah, yang dipotong tangan itu tangan kanan dan kaki kiri. Dipotong

tangan kanan pada pencurian yang pertama dan kaki kiri pada pencurian

yang kedua kali. Jika terjadi pencurian yang ketiga kalinya, maka tidak

dipotong tapi dipenjara selama waktu tidak ditentukan, sampai meninggal

dunia atau sampai nampak taubatnya.17 Mereka berargumentasi pada amal

sahabat Ali bin Abi Thalib R.A:

ع ْ ضح : اق ْبأ ْ ع ْو ْقمْا دْعس ْ بأ ْبدْعس ْ ع شْع ْوبأ ا ثدح

ض ب اطْبأ ْب

اقف اقف س ْدق ج ا د ا عْوطْق ج ب أ ْع ها

ب، ْقْا ْ ع ا ا قف . ْ ْ مْا ْ أاي ْعطْقا ْو اق ؟ا ف ْ ا باحْصا

أ

16

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 95-96.

17

(29)

أب ، اعط ا كْأي ءْ ش

اب ، با ج ْ ّ ْغي ءْ ش اب ، اص ا أض او ي ءْ ش

ا ف جاح ع ْوقي ءْ ش

ج خأف ا ايأ ْ ّ

.

)

) قه ا ا

3

Artinya:

Telah menceritakan kepada Abu Mu’syir dari Said bin Abi Said Al Maqbiri dari ayahnya, ia berkata: “ Aku telah menghadiri Ali bin Abi Thalib membawa seorang laki-laki yang putus sebelah tangan dan kakinya, yang pernah mencuri. Ia (Ali) bertanya kepada sahabatnya, bagaimana pendapat kalian tentang hal ini. Mereka menjawab, potong ya Amirul Mu’minin. Ali R.A. berkata: “Aku bunuh dia jika kudapati dia membunuh. Sebab dengan apa dia memakan makanan, dengan apa dia berwudhu untuk shalat, dengan apa bersuci dari junub, dengan apa ia berdiri untuk keperluannya. Maka Ali R.A. memasukan dia ke penjara selama beberapa hari, kemudian mengeluarkannya.

Sedangkan menurut Imam yang lainnya, yaitu Imam Malik, Imam

Syafi’i dan Imam Ahmad, pencuri yang mencuri untuk ketiga kalinya yaitu

dikenai hukuman potong tangan kirinya. Apabila ia mencuri untuk ke empat

kalinya maka dipotong kaki kanannya. Apabila ia masih mencuri untuk

kelima kalinya maka ia dikenai hukuman ta’zir dan dipenjara seumur hidup

(sampai ia mati) atau sampai ia bertobat.19 Sebagaimana hadits di bawah ini:

ح ا ثدح

باث ْب بعْص ْ ع دجا ثدح : اهْا ْقع ْب دْ ع ْب ادْع ْبدم

ء ج : اق ادْع ْب باج ْ ع , د ْمْا ْب دمح ْ ع , ْب ْبز ا ْب ادْع ْب

ا اّب

ام ! ا ْوس اي :او اقف ,)) و ْقا(( : اقف س ع ها ص

18

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulus as-Salam,juz 2, (Bandung: Dahlan, tt), h. 29.

19

(30)

:او اقف :)) و ْقا(( : اقف اّ ا ب ء ج ث ,عطقف : اق ,)) ْوعطْقا(( : اقف , س

عطْقا(( : اقف , س ام ! ا ْوس اي

: اقف ّ اّ ا ب ء ج ث ,عطقف اق,)) ْو

ب أ ث ,عطقف اق,)) ْوعطْقا(( : اقف , س ام ! ا ْوس اي :او اقف :)) و ْقا((

! ا ْوس اي :او اقف :)) و ْقا(( : اقف عبا ا

أف ,)) ْوعطْقا(( : اقف , س ام

ْقْأف ا ْ ْجا ث , ا ْ قف ب ا ْق طْاف : باج اق ,)) و ْقا(( : اقف ّ ا ْا ب

ف ا

. ا حْا ْ ع ا ْ

ْب

Artinya: Muhammad binAbdullah bin Ubaid bin Aqil al-Hilali menyampaikan kepada kami dari kakeknya, dari Mush’ab bin Tsabit bin Abdullah bin az-Zubair, dari Muhammad bin al-Munkadir bahwa Jabir bin Abdullah berkata, “seorang pencuri dihadapkan kepada Nabi saw, lantas beliau bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah, dia hanya mencuri, Rasulullah saw menjawab, potonglah (tangan kanannya). Lalu, tangan laki-laki itu dipotong. Beberapa waktu kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk kedua kalinya, belaiu bersabda , bunuhlah dia. Mereka berkata wahai Rasulullah dia hanya mencuri. Beliau bersabda, potonglah (kaki kirinya). Kaki laki-laki itu ppun dipotong. Kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk ketiga kalinya. Beliau bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah dia hanya mencuri. Rasulullah menjawab, potonglah (tangan kirinya). Lalu tangan laki-laki itu dipotong. Lalu laki-laki itu dihadapkan untuk keempat kalinya. Beliau bersabda, bunuhlah dia. Mereka berkata, wahai Rasulullah dia hanya mencuri. Beliau menjawab, potonglah (kaki kanannya). Kaki laki-laki itu pun dipotong. Kemudian laki-laki itu dihadapkan untuk kelima kalinya. Beliau bersabda, bunuhlah dia. “Jabir melanjutkan, “lalu kami membawa laki-laki itu dan membunuhnya. Kami melemparkannya ke sumur dan melemparinya dengan batu”.(4410)

20

(31)

Adapun batas pemotongan menurut ulama yang empat, yaitu Imam

Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah dari

pergelangan tangan. Sedangkan menurut Khawarij pemotongan dari pundak.

Alasan jumhur ulama adalah karena pengertian minimal dari tangan itu

adalah telapak tangan dan jari. Alasan Khawarij adalah karena pengertian

tangan itu mencakup keseluruhan dari sejak ujung jari sampai batas pundak.21

Perbedaan pendapat tentang batasan tangan ini terjadi karena semua batasan

yang mereka sebutkan termasuk ke dalam cakupan makna

دياا

tangan; baik

jari, pergelangan, siku, maupun sampai bagian pundak.22

Setelah dipotong, tangan pencuri harus mendapatkan tindakan medis.

Yaitu bisa dengan ditempelkan pada besi yang sudah dipanaskan dengan api

atau cara-cara lainnya agar darahnya berhenti. Dengan demikian, orang yang

dipotong tangannya tidak mengalami kondisi kritis yang bisa berakibat pada

kehilangan nyawa dan kematian. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW,

mendapat ajuan seorang pencuri yang telah mencuri mantel. Mereka berkata,

wahai Rasulullah, orang ini telah mencuri. Rasulullah SAW, bertanya, “aku menduga dia tidak mencuri?” pencuri berkata, benar, aku telah mencuri,

wahai Rasulullah. Beliau bersabda, sabda beliau merupakan hadits yang

diriwayatkan oleh Hakim dari hadits Abu Hurairah.

21

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. h. 92.

22

(32)

، ب او ْ ا ( : يف لاقو ، ا ْع ب قاسف ، ْي يبأ ثي ح ْ م مكاحْلا ج ْخأ

لاقو ،اًضْيأ را ْلا ج ْخأو ) و سْحا مث ، وعطْقاف

دا ْسإب ْأب ال :

“Hakim meriwayatkannya dari hadits Abu Hurairah ra, ia meriwayatkan hadits tersebut dengan makna yang sama, (bawalah dia dan potonglah tangannya, kemudian bakarlah (bekas potongan tangannya))”.24

Al-Bazzar juga meriwayatkan dan ia berkata sanadnya tidak ada yang berkomentar.

Setelah dilaksanakan hukuman potong tangan, orang itu dibawa

menghadap beliau lantas bersabda, “bertaubatlah kepada Allah.” Dia

menjawab, aku telah bertaubat kepada Allah. Beliau bersabda, “ ya Allah berilah taubat taubat kepadanya.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga

kali (H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i).25

Sebagai pelajaran bagi pencuri dan tindakan untuk menimbulkan efek

jera bagi yang lainnya, syariat memerintahkan agar tangan pencuri yang telah

dipotong digantungkan dilehernya. Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi

meriwayatkan, serta mengatakan hasan gharib, dari Abdullah bin Mahiriz, bahwa dia mengatakan, aku bertanya kepada Fudhalah tentang

penggantungan tangan pencuri di lehernya, apakan tindakan ini termasuk

sunnah? Dia menjawab, seorang pencuri dihadapkan kepada Rasulullah

23

Al-Hafidz Ahmad Bin Hajr Al-Atskolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Sarikat Bengkulu Indah, tt), h. 277.

24

Maksud dari membakar bekas potongan tangan tersebut yaitu dilakukan tindakan medis kepada pelaku agar darahnnya berhenti mengalir.

25

(33)

SAW, lantas tangannya dipotong. Setelah itu beliau menyuruh agar tangan

pencuri itu digantungkan di lehernya. 26

E. Hikmah dan Tujuan Hukuman Potong Tangan

Salah satu yang dibanggakan oleh manusia adalah harta. Ajaran Islam

bukan matereialisme, melainkan Islam mengajarkan kepada umat Islam

untuk berusaha sekuat tenaga sesuai kemampuan untuk mencari harta. Syariat

Islam yang ditetapkan oleh Allah swt, dan Muhammad Rasulullah saw

memuat seperangkat aturan dalam hal memperoleh harta. Memperoleh harta

dengan cara yang haram seperti berbuat curang, merugikan orang lain,

mencari keuntungan yang berlebihan, dan lain-lain harus dihindari oleh umat

Islam. Mengganggu dan merusak sistem nilai yang berkaitan dengan bidang

ekonomi. Asas-asas pembinaan dan pengembangan perekonomian yang

ditetapkan oleh syariat Islam berlandaskan atas prinsip suka sama suka, tidak

merugikan sepihak, jujur, transparan, dan lain-lain. Sebagai konsekuensi dari

sistem tata aturan tentang bagaimana cara memperoleh dan/atau mendapatkan

harta, maka syariat Islam menetapkan aturannya.

Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan

potong tangan bagi para pencuri, menunjukan bahwa pencuri dikenai sanksi

hukum potong tangan adalah pencuri yang profesional, bukan pencuri iseng,

atau bukan karena keterpaksaan. Sanksi potong tangan atas hukuman bagi

pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut:

26

(34)

1. Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadipencurian,

mengingat hukumannya yang berat.

2. Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan

untuk kali berikutnya.

3. Menumbuhkan kesadaran kepada setiap orang agar menghargai dan

menghormati hasil jerih payah orang lain.

4. Menumbuhkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.27

Hikmah dan tujuan pemberian hukuman potong tangan bagi pencuri

dilaksanakan dalam rangka mencegah agar ia tidak melakukan pencurian,

sebagai balasan atas tindak pidana yang ia lakukan, dan gambaran bagi orang

lain agar tidak mengikuti perbuatan itu.28 Hukuman potong tangan didasarkan

atas penyelidikan mental dan kejiwaan manusia. Oleh karena itu hukum

tersebut adalah hukuman yang sesuai untuk perseorangan maupun untuk

masyarakat, dan oleh karena itumerupakan hukuman yang paling baik, sebab

bisa mengurangi bilangan jarimah dan bisa menjamin ketentraman

masyarakat.29

Akan tetapi keadaan tersebut tidak diterima oleh mereka yang

mengatakan bahwa hukuman potong tangan adalah hukuman yang kejam.

Pandangan ini tidak tepat, karena kalau tidak berisi kekejaman dan hanya

berisi kelemahan serta kelunakan, maka namanya bukanhukuman lagi. Dalam

hukum positif itu sendiri beberapa macam pencurian dihukum dengan kerja

27

Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam. (Jakarta: sinar Grafika, 2009), h. 67-68.

28

Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 117.

29

(35)

berat seumur hidup atau hukuman kerja berat sementara. Tentunya hukuman

pemotongan tangan membuat lebih ringan daripada kalau ia diletakan dalam

selnya selama umurnya, bagaikan hewan dalam kandangnya atau bagaikan

mayat dalam kuburnya, dengan terampas kemerdekaannya dan jauh pula dari

keluarga serta sanak saudaranya. Kalau hukuman mati berakibat hilangnya

nyawa dan hancurnya seluruh badan, sedang hukuman mati diterima oleh

hampir seluruh negara di dunia, maka tentunya hukuman potong tangan

terlebih-lebih dapat diterima, kalau ia hanya berakibat hilangnya sebagian

anggota badan.30

Pada prinsipnya, tujuan ditetapkannya syariat adalah untuk

mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, baik kemaslahatan jangka pendek

maupun jangka panjang. Objek perwujudan kemaslahatan tersebut terdapat

dalam lima perkara pokok, yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.31

Harta merupakan salah satu kebutuhan inti dalam kehidupan, di mana

manusia tidak akan bisa terpisah darinya.

ا

ْلاو ل ا ْلا

ايْ لا ويحْلا ْي ْو

Artinya:

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. (QS. Al-Kahfi (18): 46).32

30

Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam Menuju Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggroe Aceh Darussalam, h. 135-136.

31

Abdul Mughits, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta : Artha Rivera, t.t), h. 118-119.

32

(36)

Al-Maziri mengatakan, Allah menjaga harta benda dengan

menetapkan hukum potong tangan dan potong kaki bagi pencuri. Allah

mengkhususkan hukum untuk pencurian, karena jika dibandingkan tingkat

kriminal lain yang hampir sejenis dengan pencurian sangat kecil dan mudah

didatangkan atau didapatkan buktinya, seperti merampas dan meng-ghasab. Amanah yang mulia adalah yang paling mahal

Sedang amanah termurah adalah hinanya khianat Maka pahamilah hikmah sang maha pencipta.33

Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat

Islam adalah:

a.

Pencegahan

(

ْجز ا عْ ا

)

Pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar

ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak

terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Di samping mencegah pelaku,

pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku

agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia juga bisa

mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan

dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang

sama.

Oleh karenanya tujuan hukuman adalah pencegahan maka

besarnya hukuman harus sesuai dan cukup mampu mewujudkan

tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang

33

(37)

diperlukan, dengan demikian terdapat prinsip keadilan dalam

menjatuhkan hukuman. Tujuan yang pertama ini sangat jelas efeknya

adalah untuk kepentingan masyarakat, sebab dengan tercegahnya

pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman,

tentram, dan damai. Meskipun demikian, tujuan yang pertama ini ada

juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya

jarimah maka pelaku akan selamat dan ia terhindar dari penderitaan

akibat dari hukuman itu.34

b. Perbaikan dan pendidikan

(

ب

ْيدْه ا اْص ْا

)

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik

pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari

kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syariat Islam

terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan

timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah

bukan karena takut akan hukuman, melainkan akan kesadaran diri dan

kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat rida

dari Allah swt.35

Hukuman yang diberikan ditujukan untuk memberikan efek

jera dan dapat mengurangi tindakan kejahatan, terutama kejahatan

pencurian. Karena pada akhir-akhir ini kejahatan pencurian marak

terjadi, sehingga membuat masyarakat menjadi resah dan terancam.

34

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 137-138.

35

(38)

Dengan adanya hukuman potong tangan diharapkan dapat mencegah

tindakan kejahatan dan membuat pelaku atau orang lain tidak

(39)

28

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah Hukum Islam di Indonesia

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Islam masuk ke

Indonesia dalam waktu yang tidak serentak. Perkembangan agama Islam di

Indonesia makin luas penyebarannya melalui jalan perdagangan dan

pelayaran.1 Proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan melalui

jalur perdagangan dan perkawinan, secara tidak langsung memberikan andil

bagi tersosialisasinya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.2

Sebelum kedatangan Belanda, hukum Islam sebenarnya telah

mempunyai kedudukan tersendiri di Indonesia. Hal ini terbukti dari beberapa

fakta. Misalnya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah salah

seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal pada pertengahan abad ke XIV

Masehi. Melalui kerajaan ini, hukum Islam madzhab Syafi’i disebarkan ke

kerajaan-kerajaan Islam lainnya di kepulauan nusantara.3

Islam tetap memiliki eksistensinya di Indonesia sampai datangnya

para penjajah di bumi Indonesia. Sebelum kedatangan orang-orang Belanda

pada tahun 1596 di Indonesia, hukum-hukum yang berlaku di daerah-daerah

Indonesia pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis yang disebut

1

Sutrisno Kutoyo, Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998). h. 7-8.

2

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005). h. 45.

3Rifyal Ka’bah,

(40)

hukum adat. Dalam sistem hukum adat tidak dikenal pemisahan hukum

pidana dan hukum privat. Di berbagai daerah hukum adat tersebut

dipengaruhi oleh agama Islam (Aceh, Palembang, ujung pandang) dan agama

Hindu.4

Pemerintah kolonial Belanda, yang menghadapi rakyat Indonesia

dengan mayoritasnya sebagai pemeluk agama Islam, perlu memusatkan

perhatian terhadap agama Islam.5 Melihat keberadaan hukum Islam di masa

kerajaan Islam, yang telah dijalankan dengan penuh kesadaran oleh

pemeluknya sebagai refleksi dan pantulan atas penerimaan Islam sebagai

agama yang diyakininya telah mendorong pihak kolonial Belanda untuk

mengakui eksistensi hukum Islam. Kemudian pada tanggal 25 Mei 1760

dikeluarkanlah Resolutie der Indische Regeering yang berisi ketentuan diberlakukannya sekumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum

kewarisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC

bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan Compendium Freijer dan sekaligus dapatlah dikatakan sebagai legislasi hukum Islam pertama di

Indonesia.6

Kemudian muncul teori Receptie In Complexu, yang berarti bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam

keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan, atau dengan kata lain hukum

4

S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1986). h. 43.

5

Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda-cet.3,(Jakarta: Balai Pustaka, 2009). h.56

6

(41)

mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama

Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya.7 Bahkan pemberlakuan hukum

Islam semakin luas, yaitu melalui pasal 78 RR dalam Stbl Hindia Belanda

1855 : 2 ayat (2). 8

Karena kolonial Belanda takut akan berkembangnya hukum Islam,

maka Belanda melakukan penyempitan dengan teori Receptie. Pemerintah Belanda melakukan upaya penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam.

Menurut teori ini, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat

mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku bagi umat Islam apabila

telah diresepsi oleh hukum adat. Hukum adatlah yang menentukan ada

tidaknya hukum Islam.9 Hukum Islam mempunyai peran dalam kehidupan

masyarakat pada waktu itu, meskipun hanya masalah perdata dan

pemberlakuannya yang dipersempit pada waktu itu.

Setelah kolonial Belanda hengkang dari Indonesia dan disusul dengan

kedatangan bangsa Jepang, bangsa Indonesia tetap dapat melakukan kegiatan

keislamannya. Meskipun tujuan utama Jepang adalah politik, namun Jepang

tetap melakukan pendekatan dengan Islam karena melihat masyarakat

Indonesia yang patuh terhadap Islam. 10

7

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 219.

8

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005).h. 39.

9

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam ; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. h. 20

10

(42)

Secara berangsur-angsur Jepang mengakui organisasi-organisasi Islam

yang dibentuk oleh bangsa Indonesia.11 Terbentuknya pengajian-pengajian

baik di langgar, masjid, maupun di lapangan, biasanya mendatangkan kiai

terkenal. Pelaksanaan pengajian-pengajian itu tanpa ada pengawassan yang

ketat dari pihak Jepang, karena Jepang memberikan kebebasan kepada rakyat

Indonesia meskipun itu merupakan salah satu siasat Jepang agar mendapat

dukungan dari rakyat Indonesia untuk melawan sekutu. 12 Hukum Islam pada

masa Jepang mendapatkan ruang yang terbuka bagi masyarakat Indonesia

untuk melakukan kegiatan keislamannya.

Setelah Jepang kalah, Jepang memberikan janji kepada bangsa

Indonesia yaitu memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Kemudian Jepang membentuk BPUPKI, dalam sidang BPUPKI yang

membicarakan tentang dasar negara, di mana para tokoh muslim dan tokoh

nasionalis memperdebatkan masalah dasar negara. Kubu muslim

menginginkan Islam lah yang menjadi dasar negara Indonesia, namun kaum

nasionalis menginginkan Indonesia tidak berdasarkan Islam.

Setelah melalui perdebatan yang cukup lama akhirnya para kubu

muslim dan nasional sepakat merumuskan lima dasar yang menjadi dasar

negara dengan nama Pancasila. Sila pertama dirumuskan “Ketuhanan Yang

Maha Esa” walaupun rumusan tersebut awalnya adalah “Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Demi

11

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987). h. 23

12

(43)

menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, keberadaan hukum Islam

tetap diperhatikan dan mendapat ruang di hati bangsa Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, dan dipimpin oleh Soekarno dan Moh

Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, hukum Islam kurang mendapat

perhatian khusus dari pemerintah atau hukum Islam mengalami masa suram

pada waktu itu. 13

Begitupun pada masa pemerintahan Soeharto atau Orde Baru,

kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru sungguh sangat

tidak memihak kepada aspirasi umat Islam sebagai mayoritas penduduk

negara Indonesia, yang juga berjasa besar dalam setiap perjuangan bangsa.

Islam tidak mendapatkan ruang yang luas seperti yang diharapkan kaum

muslimin di Indonesia. Ini sama halnya seperti mendaur ulang apa yang

dilakukan pemerintah Orde Lama terhadap Islam. 14

B. Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia

Indonesia dikenal dengan negeri muslim terbesar di dunia.15 Sebagai

negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.16 Konstitusi menjadi konsep dan kajian utama

ilmu-ilmu kenegaraan (ilmu administrasi negara, politik, pemerintahan,

13

Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, h. 108.

14

M Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan ”Islam politik” di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya (Anggota IKAPI), 1999), h. 119.

15

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 97.

16

(44)

hukum tata negara dan ilmu negara sendiri).17 Indonesia sebagai negara

dengan jumlah muslim terbesar tentu mempunyai hubungan erat dengan

agama. Agama sebagai refleksi atas iman tidak hanya terbukti dalam ucapan,

keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana iman

itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini. Kesadaran akan iman atas ajaran

agama (Islam) yang dipeluknya di dalam jaringan realitas dunia yang

menyangkut seantero hidup dan kehidupan pribadi dan masyarakat.18

Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi Negara

Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD NRI 1945). UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur

kehidupan berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan

yang adil dan rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan

bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana

tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi,

“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip Ketuhanan yang ditanamkan dalam

UUD 1945 merupakan suatu perwujudan akan pengakuan keagamaan. 19

Dalam perspektif Islam, hal ini memberikan pengakuan terhadap

eksistensi agama Islam sebagai agama resmi dan hukum Islam sebagai hukum

yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pembukaan, pasal 29 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, serta penafsiran Hazairin

17 Inu Kencana Syafi’i,

Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), h. 97.

18

Muhammad Said, Peranan Islam Dalam Penghayatan, Pengamalan dan Pengamanan Pancasila, ( Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), h. 46.

19

(45)

atas pasal 29 ayat (1) UUD 45, hukum Islam merupakan sumber

pembentukan hukum nasional di Indonesia. Lebih lanjut menurut

penafsirannya pula, di dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan

terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan

dengan hukum Islam. Peraturan perundang-undangan tidak boleh

bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia bagi

umat masing-masing agama bersangkutan.20 Selanjutnya mengenai Islam

dalam perspektif konstitusi, secara yuridis konstitusional, UUD 1945

memproteksi hak warga negara mengenai kebebasan bagi pemeluk agama

Islam untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan syariat Islam.

Eksistensi ideologi Islam secara expressiv verbis terdapat pada Pembukaan UUD 1945 sekaligus sebagai Pancasila yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa” yang terkesan mengutip ayat pada Q.S. Al-Ikhlas ayat (1) yaitu

“Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”.

Lebih lanjut pada pasal 29 ayat (1) UUD 1945 disebutkan yaitu

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga dapat

disimpulkan bahwaUUD 1945 mempunyai nilai keislaman yang tinggi yang

berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan sifat bangsa yang percaya bahwa terdapat kehidupan lain di masa nanti

setelah kehidupan di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar

nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan

20

(46)

yang baik di masa nanti. Di samping itu, dalam perspektif konstitusi terdapat

keseimbangan mengenai hubungan negara, hukum, dan agama. Agama

sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam,

terbukti prinsip ketuhananmenjadi sila yang pertama dalam Pancasila.21

C. Hukum Islam dalam Undang-Undang Indonesia

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia

merupakan bagian dari agama Islam yang universal sifatnya. Sebagaimana

halnya dengan agama Islam yang universal sifat-sifatnya itu. Hukum Islam

berlaku bagi orang Islam dimana pun ia berada, apapun nasionalitasnya.

Agama Islam misalnya, adalah agama yang mengandung hukum yang

mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam

masyarakat. Dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas

penduduknya beragam Islam seperti Indonesia, unsur hukum agama harus

benar-benar diperhatikan. Tentang kedudukan hukum Islam dalam

pembangunan hukum nasional, menurut Menteri Kehakiman Ali Said

(1981-1983) pada upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata

Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, di samping hukum adat

dan hukum eks-Barat, hukum Islam merupakan salah satu komponen tata

hukum Indonesia, menjadi salah satu sumber bahan baku bagi pembentukan

hukum nasional.22

21

Al-Yasa’ Abu Bakar, Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Aceh: Dinas Syariat Islam, 2005), h. 84.

22

(47)

Hukum Islam amat pantas menjadi sumber pembentukan hukum

nasional, karena dinilai mampu mendasari dan mengarahkan dinamika

masyarakat Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Hukum Islam

mengandung dua dimensi, yakni: pertama, dimensi yang berakar pada nash qat’i, yang bersifat universal, berlaku sepanjang zaman, kedua, dimensi yang berakar pada nash zanni, yang merupakan wilayah ijtihadi dan memberikan kemungkinan epistemologis hukum bahwa setiap wilayah yang dihuni oleh

umat Islam dapat menerapkan hukum Islam secara beragam, lantaran faktor

sosiologis, situasi dan kondisi yang berbeda-beda.

Upaya membentuk hukum positif dengan bersumberkan hukum Islam,

sebenarnya telah berlangsung lama di Indonesia, namun masih bersifat

parsial, yaitu: tentang perkawinan, kewarisan, perwakafan, penyelenggaraan

haji, dan pengelolaan zakat. Untuk mengupayakan pembentukan hukum

positif bersumberkan hukum Islam yang lebih luas dan selaras dengan

tuntutan perkembangan zaman diperlukan perjuangan gigih yang

berkesinambungan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik, serta

komitmen yang tinggi dari segenap pihak yang berkompeten.23

Karena Indonesia adalah mayoritas penduduk beragama Islam maka

perlunya dibentuk perundang-undangan yang berdasarkan asas-asas Islam,

dimana undang-undang tersebut memiliki tempat yang diakui oleh

masyarakat, seperti Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang

23

(48)

Penyelenggaraan Ibadah Haji24 yang merupakan perubahan atas

Undang No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat25 merupakan

perubahan atas Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan

Zakat, Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-undang

No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah,26 dan Instruksi Presiden RI

No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.27

Baik dalam Undang-Undang tersebut diatas atau dalam Kompilasi

Hukum Islam, terdapat eksistensi hukum Islam di Indonesia. Karena dilihat

banyaknya hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam menangani

sesuatu yang khusus terutama masalah hukum perdata Islam, maka

pemerintah perlu membuat undang-undang tersebut. Kompilasi hukum Islam

sendiri merupakan kumpulan dari hukum-hukum Islam. Dengan demikian,

keberadaan hukum Islam di Indonesia ikut mewarnai berlakunya hukum

positif di Indonesia.

D. Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam

Aceh adalah salah satu daerah dalam wilayah Republik Indonesia

yang memiliki keistimewaan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Legitimasi ini diberikan oleh pemerintah pusat untuk memenuhi harapan

masyarakat Aceh yang menginginkan daerah ini berlaku hukum syariat

sebagaimana dahulu kala di masa kesultanan Aceh. Akhirnya pemerintah

24

Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

25

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

26

Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

27

(49)

pusat menyetujui dengan membuat UU No. 44 tahun 1999 yang antara lain

mengatur tentang syariat Islam di Aceh. Selanjutnya untuk mengatur tentang

pelaksanaan syariat Islam tersebut, dibuatlah Perda No. 5 tahun 2000.

Perda No. 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam

menyatakan bahwa seluruh aspek syariat akan diterapkan, termasuk yang

berhubungan dengan „aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama; baitu al-mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi Muslim; perayaan hari raya Muslim; pembelaan Islam; struktur

peradilan, peradilan pidana dan warisan, membentuk wilayatu al-hisbah

(WH) sebagai badan pengawasan dan penegakan syariat, tetapi tidak ada

perincian mengenai bagaimana ia berfungsi.

UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah

Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU

PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal

25 – 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan

nasional. Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk

agama Islam.

Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang

lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir

sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

(50)

dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat

Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga),

mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan),

tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.

Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk

pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama

hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang

sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga

kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam;

penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan;

pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam

bentuk infaq dan sedekah.28

Aceh juga mengatur kehidupan masyarakat dalam bidang jinayah

yang diatur dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan

Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun

No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).29

Dalam qanun No. 12 Tahun 2003 TentangKhamar dan sejenisnya, di

dalamnya mengatur larangan tentang mengkonsumsi minuman khamar dan

sejenisnya. Minuman khamar (minuman keras) dalam hukum Islam sangat

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini untuk bertujuan untuk menemukan jawaban atas masalah penelitian dalam rangka memberikan gambaran yang komprehensif dan mendalam mengenai Nahdlatul Ulama (NU) sebagai

Setelah melihat perbedaan antara tokoh Nahdlatul ulama dan tokoh Muhammadiyah yang terkait tentang hukum pembuatan kue berbentuk makhluk bernyawa, serta membandingkan

Perbedaan Pandangan Lembaga Bahtsul Masail Nahdaltul Ulama dan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang aplikasi Ta’aruf Online Dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti,

Maka dari kesimpulan pandangan aktivis NU terhadap toleransi beragama di Indonesia adalah, aktivis Nahdhatul Ulama berpandamgan bahwa toleransi merupakan sebuah

Jadi dapat disimpulkan bahwa mengenai jawaban dari Ulama Nahdlatul Ulama dan Ulama Muhammadiyah yang sudah dipaparkan di atas, penulis lebih setuju dengan

Asuransi Jiwa Perspektif Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM-NU) dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) (Studi tentang Karakteristik

Ketiga , sebagai akibat hukum yang timbul dari pandangan intelektual NU dan Muhammadiyah Jawa Timur atas “fatwa- fatwa” mereka, setidaknya telah memberikan

Ketika menganalisa terkait hukum kunut nazilah di tengah pandemi Covid-19 dalam pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ini, penyusun menggunakan metode fi> fahmi an-Nash