• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Empat Imam Mazhab Dan Ulama Kontemporer Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai (Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/Dsn-Mui/V/2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pandangan Empat Imam Mazhab Dan Ulama Kontemporer Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai (Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/Dsn-Mui/V/2010)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER TENTANG HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS

SECARA TIDAK TUNAI

(Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

RYCO PUTRA IRAWAN 107043203700

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

PANDANGAN EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER TENTANG HUKUM PRAKTEK JUAL BELI EMAS

SECARA TIDAK TUNAI

(Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010) Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (Ssy)

Oleh:

Ryco Putra Irawan NIM : 107043203700

Pembimbing

Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA NIP : 194512301967122001

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana (SI) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplak karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 Desember 2013

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Pandangan Empat Imam Mazhab dan Ulama Kontemporer Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai (Studi Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 77/DSN-MUI/V/2010). Telah diujikan dalam siding munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Hukum).

Jakarta, Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12

PANITIA UJIAN

Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag (…....………) NIP. 196511191994031004

Sekretaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, MSi (..…..………) NIP. 1974121310031211002

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, MA (...….…………..) NIP. 194512301967122001

Penguji I : Dr. H. A. Mukri Aji, MA (…....………) NIP. 195703121985031003

(5)

ABSTRAK

DSN-MUI mengeluarkan fatwa tentang jual beli emas secara tidak tunai ini untuk menjawab pertanyaan tentang hukum apa yang melekat pada emas saat bertransaksin jual beli . dalil yang menjadi dasar adalah hadis Nabi Saw. dalam ijma‟ para ulama bahwasannya emas adalah termasuk kedalam barang ribawi akan tetapi fatwa no: 77/DSN-MUI/V/2010 menghukumi mubah jual beli tersebut. Maka secara otomatis fatwa tersebut bertentangan dengan dengan hadis Nabi Saw dan ijma’ para ulama mazhab empat yang mengatakan bahwa jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan, antara lain, agar pertukaran itu dilakukan secara tunai; dan jika dilakukan secara tidak tunai, maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut dinyatakan sebagai transaksi riba; sehingga emas dan perak dalam pandangan ulama dikenal sebagai amwal ribawiyah (barang ribawi).

Dari latar belakang di atas, penulis akan menganalisa fatwa DSN-MUI tersebut dengan dua pokok permasalahan, yaitu apa alasan diperbolehkannya jual beli emas secara tidak tunai menurut fatwa DSN-MUI Nomor:77/DSNMUI/ V/2010 dan bagaimana relevansi fatwa tersebut dengan pendapat para ulamamazhab

Untuk menjawab permasalahan di atas penulis menggunakan Jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca atau meneliti buku-buku yang menurut uraian berkenaan dengan kepustakaan. Sumber data, baik data primer maupun data sekunder diperoleh dengan metode dokumentasi. Kemudian data yang sudah ada dianalisa dengan metode komparatif, metode komparatif ini digunakan untuk membandingkan fatwa DSN/MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 tentang jual-beli emas secara tidak tunai dengan pendapat ulama madzhab dan melihat relevansi fatwa tersebut dengan pendapat ulama madzhab.

(6)

ميحرلا نمحرلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih saying-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktunya.

Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menebarkan cahaya Islam keseluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam.

Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua ini karena doa dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si. Selaku Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menempuh pendidikan S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan meluangkan waktu dengan penuh keiklasan dan sabar, serta bimbingan kepada penulis.

(7)

Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.

5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta serta adik-adik dan saudara-saudaraku tersayang yang tak pernah kenal lelah untuk terus berkorban bagi penulis.

7. Untuk Nesia Suci Aristawati yang selalu sabar menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan kepada teman-temanku, Andri Agus Salim, Arwani, Rizki DP, M. Hanafi “terima kasih atas masukannya kepada penulis”. 8. Terima kasih kepada Guru-Guruku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang

insya Allah yang tidak mengurangi rasa ta’zim dan hormat penulis.

9. Teman- teman seperjuangan PMH 2007. Selama 4 tahun kenal dan kuliah bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.

Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Jakarta, 23 Januari 2014 M 21 Robiul Awal 1435 H

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...ii

LEMBAR PERNYATAAN ………...iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN………...…iv

ABSTRAK ………...v

KATA PENGANTAR ………...vi

DAFTAR ISI ……….....viii

BAB I PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang Masalah ……….1

B. Pembatasan Masalah ………..5

C. Perumusan Masalah ………5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………...6

E. Metode Penelitian ………...7

F. Review Studi Terdahulu ……….9

G. Sistematika Penulisan ………..….10

BAB II JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM……….12

A. Pengertian Jual Beli …………..………12

B. Sumber Hukum ……….14

C. Rukun dan Syarat Jual Beli ………....………..19

(9)

E. Jual Beli Yang Dilarang dalam Islam …….………..32

BAB III BIOGRAFI ULAMA EMPAT MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER………....38

A. Riwayat Hidup Ulama Empat Imam Mazhab ….………...38

1. Imam Abu Hanifah ………...38

2. Imam Malik ………..42

3. Imam Syafi‟I ……….47

4. Imam Hanbali ………52

B. Ulama Kontemporer……….56

1. DSN-MUI ……….56

2. Yusuf Al-Qardawi ………59

3. Wahbah al-Zuhaily...………..65

4. Syaikh Ali Jumu‟ah………....70

BAB IV JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI MENURUT IMAM MAZHAB EMPAT DAN ULAMA KONTEMPORER…………74

A. Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Menurut Para Imam Mazhab Empat dan Ulama Kontemporer………74

B. Analisis Pandangan Ulama Empat Imam Mazhab Tentang Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai………..84

(10)

BAB V PENUTUP………100

A. Kesimpulan ……….100

B. Saran-saran ……….…102

DAFTAR PUSTAKA ………103

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Umat Islam dalam mensosialisasikan ajaran agama Islam dengan menggunakan berbagai macam cara, agar agama Islam dan ajarannya tetap tegak di dunia sampai akhir zaman. Kewajiban menegakkan dan melestarikan ajaran agama Islam tersebut, tentunya menyangkut segala aspek kehidupan manusia secara luas, baik merupakan amal duniawi maupun pencarian bekal untuk kehidupan akhirat yang dijalankan oleh seluruh lapisan masyarakat sampai kapanpun.

Hukum Islam mengatur peri kehidupan manusia secara menyeluruh, mencakup segala aspeknya. Hubungan manusia dengan Allah di atur dalam bidang ibadah sedangkan hubungan manusia dengan manusia di atur dalam bidang muamalat1 dalam arti luas, baik dalam jual-beli, pewarisan, perjanjian-perjanjian, hukum ketatanegaraan, hubungan antar negara, kepidanaan, peradilan dan lain sebagainya. Keseluruhan dari aturan-aturan ini telah tertuang dalam hukum muammalat, karena sebagaimana diketahui bahwa sekecil apapun amal perbuatan manusia di dunia pasti akan dimintai pertanggung jawaban kelak di kehidupan setelah mati.

1

(12)

Hubungan antara sesame manusia berkaitan dengan harta ini dibicarakan dan diatur dalam kitab-kitab fiqh karena kecendrungan manusia kepada harta itu begitu besar dan sering menimbulkan persengketaan sesamanya, kalau tidak diatur, dapat menimbulkan ketidak stabilan dalam pergaulan hidup antara sesame manusia. Disamping itu penggunaan harta dapat bernilai ibadah bila digunakan sesuai dengan kehendak Allah yang berkaitan dengan harta itu.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat maka sudah semestinya jika mereka akan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya dalam bentuk hubungan guna mencukupi segala kebutuhannya.2

Sejarah dunia telah membuktikan, bahwa manusia tidak akan pernah bisa lepas dari pergaulan yang mengatur hubungan antara sesamanya di dalam segala keperluannya3 karena sejak dilahirkan sampai meninggal dunia manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan itu timbul berkenaan dengan pemenuhan kebuttuhan jasmani dan rohaninya. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia selalu mewujudkan dalam suatu kegiatan yang lazim disebut sebagai “tingkah laku”. Tingkah laku

yang kelihatan sehari-hari terjadi sebagai hasil proses dari adanya minat yang

2

H. Faturahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bag. I, cet I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997) hlm. 40

3

(13)

diniatkan dalam suatu gerak untuk pemenuhan kebutuhan saat tertentu. Di dalam kegiatan itulah pada umumnya manusia melakukan kontak dengan manusia lainnya.

Islam tidak membatasi kehendak seseorang dalam mencari memperoleh harta selama yang demikian tetap dilakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik.

Dalam jual beli, Islam juga telah menentukan aturan-aturan sehingga timbullah suatu perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terhadap peralihan hak atas suatu benda (barang) dari pihak penjual kepada pihak pembeli baik itu secara langsung maupun secara tidak (tanpa perantara). Maka dalam jual beli tidak lepas dari rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Oleh karena itu, dalam praktek jual beli harus dikerjakan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh Islam.

Sehubungan dengan hal itu, Islam sangat menekankan agar dalam bertransaksi harus didasari i‟tikad yang baik, karena hal ini memberikan

(14)

Syari‟at juga mengatur larangan memperoleh harta dengan jalan batil

seperti perjudian, riba, penipuan dalam jual beli, dan mengharamkan riba. Oleh karena itu, bunga transaksi tersebut bukanlah cara yang dibenarkan untuk memperoleh dan mengembangkan harta. Batasan antara perkara yang halal dan haram sangatlah jelas. Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 275 :











Artimya: Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Dari ayat tersebut, Allah melarang mencampurkan yang hak dengan yang batil dalam semua perkara, terdapat batas yang jelas terhadap keduanya. Sesungguhnya segala yang halal dan yang haram telah dijelaskan-Nya, serta sesuatu yang ada di antara keduanya (syubhat) yang mana kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Prinsip pokok dalam Islam adalah mengerjakan kedua hal yang ada (didunia dan diakhirat), kecuali segala seuatu yang telah diharamkan dalam Al-Qur‟an dan Hadis Nabi. Larangan tersebut sangatlah terbatas jumlahnya, baik berupa barang maupun perbuatan.

(15)

jual beli tersebut. Paktek jual beli emas yang terjadi pada masa sekarang, yaitu jual beli yang mengandung unsur ketidaktahuan atau kesamaran terhadap obyek yang telah diperjualbelikan, baik penjual maupun pembeli tidak dapat memastikan wujud dari obyek yang diperjualbelikan berdasarkan tujuan akad, yakni jual beli emas dengan sistem “investasi”. Kegiatan jual beli tersebut

sudah terbiasa dilakukan dan sudah menjadi adat atau kebiasaan oleh masyarakat, sehingga hal tersebut suatu hal yang wajar dan dapat diterima secara umum. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang

“Pandangan Empat Imam Mazhab Dan Ulama Kontemporer Tentang

Hukum Praktek Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka perlu adanya pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Untuk mengefektifkan dan memudahkan pengelolahan data, maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada seputar pembahasan tentang pandangan ulama empat imam mazhab dan ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Bagaimanakah pandangan Empat Imam mazhab tentang hukum praktek jual

(16)

b. Bagaimana relevansi fatwa DSN-MUI nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 dan pandangan Ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para ulama empat mazhab?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para empat Imam mazhab tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai

b. Untuk mengetahui bagaimana relevansi fatwa DSN-MUI nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 dan pandangan Ulama kontemporer tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai dengan pendapat para ulama empat mazhab

2. Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi masyarakat dalam hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai, dilihat dari segi manfaat dan mudharat dalam jual beli tersebut.

b. Dapat mendorong masyarakat untuk bermuamalat sesuai dengan syariat Islam.

(17)

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca atau meneliti buku-buku yang menurut uraian berkenaan dengan kepustakaan.4 Penelitian deskripsi dari obyek-obyek yang diamati yaitu jenis penelitian studi yang relevan dengan pokok-pokok permasalahan dan diupayakan jalan penyelesaiannya

2. Sumber Data

Sumber-sumber penelitian ini dapat dibedakan kepada dua jenis sumber data: data primer dan data sekunder.

a. Sumber Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku fikih para imam empat mazhab, fatwa DSN/MUI No.77/DSN-MUI/V/2010 tentang Kebolehan Jual-Beli Emas Secara Tidak Tunai, dan buku-buku karya ulama kontemporer.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder merupakan jenis data yang dapat dijadikan sebagai pendukung data pokok atau merupakan sumber data yang mendukung dan melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada pada data primer.5Dalam penelitian ini, sumber data sekundernya berupa

4

Kartini Kartono, MetodologiSosial, Bandung : MandarMaju, 1991, hlm 32 5

(18)

buku, dokumen-dokumen, karya-karya, atau tulisan-tulisan yang berhubungan atau relevan dengan kajian ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dokumen dan literatur yang berupa buku-buku, tulisan dan fatwa DSN-MUI tentang jual beli emas.Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu menelaah dokumen-dokumen yang tertulis, baik data primer maupun sekunder. Kemudian hasil telaahan itu dicatat dalam komputer sebagai alat bantu pengumpulan data.6

4. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode Komparatif. Metode komparatif ini digunakan untuk membandingkan fatwa DSN-MUI dan ulama kontemporer tentang kebolehan jual-beli emas secara tidak tunai dengan pendapat ulama empat madzhab.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan

Hukum.

6

(19)

E. Review Terdahulu

1. Siti Mubarokah (2103109) yang berjudul “Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jual beli mata uang harus dilakukan secara tunai dan nilainya harus sama. Artinya masing-masing pihak harus menerima atau menyerahkan mata uang pada saat yang bersamaan. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar pada saat transaksi dan secara tunai. Transaksi ini akan berubah menjadi haram apabila transaksi pembelian dan penjualan valuta asing yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati. Fatwa relevan dengan pendapat ulama mazhab, transaksi jual beli mata uang disyari‟atkan nilainya

sama dan transaksi dilakukan secara tunai sesuai dengan akad yang dilakukan. 2. Mudrikah (2102185) yang berjudul “Persepsi Ulama Karanggede Tentang Praktek Penukaran Emas Di Toko Emas Pasar Karanggede Kecamatan

Karanggede Kabupaten Boyolali”. Membahas tentang Pertukaran (al-sharf)

(20)

oleh pedagang emas dengan pembeli. Faktor yang menjadi motivasi masyarakat untuk melakukan praktek penukaran emas dengan emas tersebut karena: Masyarakat merasa bosan dengan modelnya Masyarakat ingin menukarkan emas yang lebih besar ukuran gramnya (timbangannya) , Biasanya oleh masyarakat, emas dijadikan barang simpanan (untuk di tabung). Pendapat sebagian ulama di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali, bahwa praktek penukaran emas dengan emas tidak sah. Namun praktek penukaran emas tersebut sudah menjadi adat atau kebiasaan dari masyarakat sejak dulu, sehingga sulit untuk dihilangkan. Praktek penukaran emas dengan emas di Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tidak sesuai dengan hukum Islam, karena syarat-syarat yang ada dalam penukaran barang sejenis banyak yang belum dipenuhi oleh kedua belah pihak.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu menetapkan suatu kerangka dasar penulisan. Secara garis besar dapat memberikan gambaran sebagai berikut:

(21)

Bab kedua, membahas tentang pengertian jual beli dalam Islam meliputi pengertian jual beli, sumber hukum jual beli, rukun dan syarat jual beli, macam-macam jual beli, dan jual beli yang dilarang dalam Islam

Bab ketiga, membahas tentang profil ulama empat imam mazhab dan ulama kontemporer serta istinbat hukum masing-masing

Bab keempat, menjelaskan analisis penelitian tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai menurut para imam mazhab empat dan ulama kontemporer, analisis pandangan ulama empat imam mazhab tentang hukum praktek jual beli emas secara tidak tunai, dan analisis terhadap relevansi fatwa DSN-MUI Nomor: 77/ DSN-MUI/V/ 2010, Yusuf al-Qardhawy, Ibnu Qayyim dan Ibnu Timiyah dengan pendapat para ulama mazhab.

(22)

BAB II

JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Jual Beli

Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-bai‟, al-tijarah, al-mubadalah (menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu).1 Menurut etimologi adalah:

ئش ب ئش ة ب قم

Artinya:“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lainnya”2 Sebagaimana Allah swt berfirman dalam Q.S. Fathir (35) ayat 29































/رطاف( ۳ : )

Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah

(al-Qur‟an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagai rezeki

yang kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan

rugi”.

Menurut kitab fikih Mazhab Syafi‟i, yang dimaksud dengan jual beli adalah

menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua belah pihak.3

1

Imam Ahmad bin Husain, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya: al-Hidayah), hal. 30 2

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hal. 67 3 Ibnu Mas‟ud dan Zaenal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi‟I,

(23)

Menurut mazhab Hanafiah, jual beli adalah pertukaran harta (maal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Pertukaran harta dengan harta di sini, diartikan harta yang memiliki manfaat serta terdapat kecendrungan manusia untuk menggunakannya, cara tertentu dimaksud adalah sighat atau ungkapan ijab dan qabul.

Menurut Imam Nawawi dalam kitab majmu‟, jual beli adalah pertukaran

harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.Sedangkan menurut Ibnu Qudamah menyatakan jual beli adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki dan dimiliki.4

Jual beli menurut burgerlijk wetboek (BW) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak-pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.5

Dari beberapa definisi di atas dapat di pahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan syara‟ dan disepakati. Sesuai dengan ketetapan hukum syara‟ maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal lain yang ada

4

Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), hal. 69 5

(24)

kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara‟.6

B. Sumber Hukum Jual Beli

Tidak sedikit kaum muslim yang lalai mempelajari hukum jual beli, bahkan melupakannya, sehingga tidak memperdulikan apakah yang dilakukan dalam jual beli itu haram atau tidak. Keadaan seperti itu merupakan kesalahan besar yang harus dicegah, agar semua kalangan yang bergerak pada bidang perdagangan mampu membedakan mana yang dibolehkan dan mana yang tidak.

Bagi mereka yang terjun dalam dunia usaha, khususnya perdagangan atau transaksi jual beli, berkewajiban mengetahui hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan jual beli tersebut sah atau tidak. Ini bertujuan supaya usaha dilakukan sah secara hukum terhindar dari hal-hal yang tidak dibenarkan.

Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur‟an, Sunah, Ijma‟, dan Qiyas yaitu: 1. Al-Qur‟an diantaranya:

a. Surah al-Baqarah (2) ayat 275

                                                                                    ) ) / رق لا : ۷۳ )

Artinya :“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

6

(25)

lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.7 Ayat di atas juga dipahami untuk melakukan jual beli dengan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam Islam dan tidak melakukan apa yang dilarang dalam Islam.

b. Surah al-Baqarah (2) ayat 188

                               ) / رق لا : )

Artinya :“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

c. Surah an-Nisa‟(4) ayat 29

                                           /ءاسنلا( ۴ : )

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

7

(26)

perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 188 dan an-Nisa ayat 29 bahwa keharusan mengindahkan peraturan-peraturan yang ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat di atas dengan batil, yakni pelanggaran terhadap ketentuan agama atau persyaratan yang disepakati. Penggunaan kata makan dalam kedua ayat diatas untuk melarang memperoleh harta secara batil dikarenakan kebutuhan pokok manusia adalah makan.Kalau makan yang merupakan kebutuhan pokok itu terlarang memperolehnya dengan batil, maka tentu lebih terlarang lagi bila perolehan dengan batil menyangkut kebutuhan sekunder maupun tersier.

Selanjutnya dalam surat an-Nisa‟ ayat 29 menekankan juga keharusan adanya keelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkan ( ض رت ع( م م.Walaupun kerelaan adalah sesuatu tersembunyi dilubuk hati, tetapi

indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan qabul atau apa saja yang dikenal adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.8

2. As-Sunah

م سو ي ع ه ى ص يب , ع ه يضر عف ر ب ةع فر ع : ق ؟ بيط بس س

)مك ح ححصو ر زب ور( .روربم عيب ك و , ديب جر ع 9

8

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 413 9

(27)

“Rifa‟ah bin Rafi‟ mengatakan bahwasannya Nabi saw. Ketika ditanya usaha apa yang terbaik. Jawab Nabi saw: Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap jual beli yang halal. (H.R. Al-Bazzar dan disyahkan oleh Al-Hakim)

Berdasarkan hadis di atas, Nabi saw telah menghalalkan pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri. Maksud dari pekerjaan dengan tangannya sendiri disini adalah sendiri untuk melakukan perniagaan atau jual beli. Jadi jual beli merupakan pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Nabi saw.

3. Ijma‟

Jumhur ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan manusia tidak mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.10

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang harus mengetahui apa saja yang dapat mengakibatkan suatu perdagangan atau jual beli itu sah secara hukum. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Allah swt mengharamkan adanya riba dan usaha yang paling baik adalah usaha yang dihasilkan dari tangannya sendiri, tentunya dari hasil usaha yang halal pula.

Dari beberapa ayat-ayat Al-Qur‟an, sabda Rasul dan ijma‟ di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum jual beli itu mubah (boleh).Akan tetapi hukum jual beli bisa berubah dalam situasi tertentu.

10

(28)

Menurut Imam Al-Syathibi (ahli fikih Mazhab Maliki) dalam buku Nasroen Haroen, hukum jual beli bisa menjadi wajib ketika situasi tertentu, beliau mencontohkan dengan situasi ketika terjadi praktek penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak naik, ketika hal ini terjadi maka pemerintah boleh memaksa para pedagang untuk menjual barang-barang dengan harga pasar sebelum terjadi kenaikan harga, dan pedagang wajib menjual barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah.11

Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hukum jual beli dibentuk guna untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat mengakibatkan jual beli tersebut menjadi sah atau tidak. Adapun yang disyariatkan untuk hukum jual beli berdasarkan Al-Qur‟an, Al-Sunnah, ijma‟ dan qiyas. Jika berdasarkan Al-Qur‟an

disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 275 yang menjelaskan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, surah al-Baqarah ayat, 188 dan surah an-Nisa‟ ayat 29. Jika menurut Al-Sunnah, Nabi saw menghalalkan perdagangan atau jual beli sebagai pekerjaan sendiri, dimana seseorang bekerja dengan usahanya sendiri yaitu perniagaan dan jual beli. Ijma di dapat dari jumhur ulama yang menyatakan jual beli diperbolehkan dengan alasan manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain, namun tidak boleh lepas dari yang disyaratkan

11

(29)

Al-Qur‟an dan hadis sehingga jual beli atau perniagaan tersebut dapat berjalan sesuai dengan syriat Islam.

C. Rukun dan Syarat Jual Beli 1. Rukun-rukun jual beli

Dalam pelaksanaan jual beli ada lima rukun yang harus dipenuhi seperti dibawah ini:

a. Penjual: ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan izin untuk menjualnya, dan sehat akalnya.

b. Pembeli: ia disyratkan diperbolehkan dalam arti ia bukan yang kurang waras, atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli.

c. Barang yang dijual: barang yang dijual merupakan barang yang diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli, dan barangnya jelas atau bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan ciri-cirinya.

d. Ikrar atau akad (ijab qabul) ijab adalah perkataan penjual, sedangkan qabul adalah ucapan si pembeli. Penyerahan (ijab) dan penerimaan (qabul) dilakukan dengan perkataan atau ijab qabul dengan perbuatan.12

12

(30)

e. Kerelaan kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Jadi, jual beli tidak sah dengan ketidakrelaan salah satu dari dua pihak.13 Adanya kerelaan tidak dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan qabul.14

2. Syarat-syarat jual beli

Syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama‟ adalah sebagai berikut:

a. Penjual dan pembeli, syaratnya yaitu:

1) Berakal, agar tidak terkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

2) Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan).

3) Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu ditangan walinya.

4) Baligh (berumur 15 tahun keatas atau dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umurnya, menurut pendapat sebagian ulama‟

mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan

13

Ismail Nawawi,Fiqih Muamalah, (Surabaya: Vira Jaya Multi Press, 2009), hal. 46 14

(31)

menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.15

b. Uang dan benda yang dibeli, syaratnya yaitu: 1) Suci barangnya

Suci barangnya adalah barang yang diperjualbelikan bukanlah barang yang dikategorikan barang najis atau barang yang diharamkan oleh syara‟

2) Dapat dimanfaatkan

Barang yang dapat dimanfaatkan adalah setiap benda yang akan diperjualbelikan sifatnya dibutuhkan untuk kehidupan manusia pada umumnya. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk diperjualbelikan atau ditukarkan dengan benda yang lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang dilarang yaitu menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan ini sangat relatif.Sebab, pada hakekatnya seluruh barang yang dijadikan objek jual beli adalah barang yang dapat dimanfaatkan, baik untuk dikonsumsi secara langsung ataupun tidak.Sejalan dengan perkembangan zaman yang makin canggih, banyak orang yang semula dikatakan tiodak bermanfaat kemudian di nilai bermanfaat.

3) Milik orang yang melakukan akad

15

(32)

Barang harus milik orang yang melakukan akad ialah orang yang melakukan transaksi jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah dari barang tersebut atau orang yang telah mendapat izin dari pemilik sah barang.Dengan demikian, jual beli barang oleh seseorang yang bukan pemilik sah atau tidak berhak berdasarkan kuasa si pemilik sah, dipandang sebagai jual beli yang batal.

4) Barang dapat diserahkan

Barang dapat diserahkan adalah barang yang ditransaksikan dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak berarti harus diserahkan seketika.Maksudnya adalah pada saat yang telah ditentukan objek akad dapat diserahkan karena memang benar-benar ada dibawah kekuasaan pihak yang bersangkutan.

5) Dapat diketahui barangnya (barang jelas)

(33)

6) Barang yang ditransaksikan ada ditangan

Barang yang ditransaksikan ada ditangan maksudnya ialah objek akad harus telah wujud pada waktu akad diadakan penjualan atas barang yang tidak berada dalam penguasaan penjual adalah dilarang, karena ada kemungkinan kualitas barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana perjanjian.16

c. Lafaz ijab dan qabul

Ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak.Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung.Apabila ijab dan qabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan barang dan uang telah berpindah tangan.17

Adapun macam-macam akad dalam ijab qabul, diantaranya adalah:

1) Akad dengan tulisan

Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, akad jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan qabul secara lisan, namun sah pula hukumnya apabila dilakukan dengan tulisan, dengan syarat kedua belah pihak (pelaku akad) tempatnya berjauhan tempat atau pelaku akad

16

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 37-40

17

(34)

bisu. Jika pelaku akad dalam suatu tempat dan tidak ada halangan untuk mengucapkan ijab qabul, maka akad jual beli tidak dapat dilakukan dengan tulisan, karena tidak ada sebab atau alasan penghalang untuk tidak berbicara.18

2) Akad dengan perantara utusan

Selain dapat menggunakan lisan dan tulisan, akad juga dapat dilakukan dengan perantara utusan kedua belah pihak yang berakad, dengan syarat utusan dari salah satu pihak menghadap ke pihak lainnya.Jika tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akad sudah menjadi sah.19

3) Akad orang bisu

Sebuah akad juga sah apabila dilakukan dengan bahasa isyarat yang dipahami oleh orang bisu. Isyarat bagi orang merupakan ungkapan dari apa yang ada didalam jiwanya tak ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi orang bisu boleh berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa isyarat, ini jika si bisu memahami baca tulis.

Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli di atas, para ulama‟ fikih mengemukakan beberapa

syarat lain yaitu:

18

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, hal. 122 19

(35)

(1) Syarat sah jual beli

Para ulama‟ fikih menyatakan bahwa suatu jual beli baru

dianggap sah apabila tersebut terhindar dari cacat dan apabila barang yang dijualbelikan itu benda bergerak, maka barang itu boleh langsung dikuasai pembeli dan harga barang dikuasai penjual. Sedangkan barang tidak bergerak, boleh dikuasai pembeli setelah surat menyuratnya diselesaikan.

(2) Syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli

Jual beli baru boleh dilaksanakan apabila yang berakad mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. Misalnya, barang itu milik sendiri (barang yang dijual itu bukan milik orang lain atau hak orang lain terkait dengan barang itu). Akad jual beli tidak boleh dilaksanakan apabila orang yang melakukan akad tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan akad.

(3) Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli Para ulama‟ fikih sepakat menyatakan akad jual beli baru

bersifat mengikat apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar. Apabila jual beli itu masih punya hak khiyar, maka jual beli itu belum mengikat dan masih boleh dibatalkan.20

20

(36)

Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, seperti yang sudah kita ketahui untuk melakukan jual beli tentunya harus adanya pedagang dan pembeli. Oleh karena itu, agar suatu perniagaan berjalan sesuai syariat Islam maka haruslah ada hukum dan syaratnya, adapun yang menjadi rukun jual beli meliputi penjual, pembeli, barang yang dijual, ikrar atau akad (ijab qabul), kerelaan kedua belah pihak. Untuk syaratnya meliputi 3 hal dari segi penjual dan pembeli, uang dan yang dibeli, dan lafaz ijab dan qabul, selain yang diwajibkan tersebut para ulama fikih mengemukakan beberapa pendapat mengenai syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli, yaitu syarat sah jual beli, syarat yang terkait dengan pelaksanaan jual beli, dan syarat yang terkait dengan kekuatan hukum akad jual beli tersebut.

D. Macam-Macam Jual Beli

Adapun macam-macam jual beli yang perlu kita ketahui, antara lain yaitu: 1. Jual beli yang sah

Suatu jual beli dikatakan sebagai jual beli yang sahih apabila jual beli tersebut disyari‟atkan memenuhi rukun dan syarat yang

(37)

yang rusak, tidak ada manipulasi harga dan harga buku (kwitansi) itupun telah diserahkan, serta tidak ada lagi hak khiyar dalam jual beli itu. Jual beli yang demikian ini hukumnya sahih dan telah mengikat kedua belah pihak.21

Ulama‟ sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila

dilakukan oleh orang yang balig, berakal, dapat memilih, dan mampu ber-tasarruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah berikut ini:

a. Jual beli orang gila

Ulama‟ fikih sepakat jual beli orang gila tidak sah.Begitu pula

sejenisnya, seperti orang mabuk dan lain-lain.22 b. Jual beli anak kecil

Ulama fikih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau kecil.Menurut ulama‟ Syafi‟iyah, jual beli anak

mumayiz yang belum balig tidak sah. Adapun menurut ulama‟ Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah jika ada izin walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberi keleluasaan untuk jual beli dan juga pengamalan, sesuai atas firman Allah swt dalam Al-Qur‟an surah an-Nisa‟ (4) ayat 6:

21

Nasrun Haroen,Fiqih Muamalah, hal. 121 22

(38)

                      

Artinya:“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

c. Jual beli orang buta

Jual beli orang buta di kategorikan sah menurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama Syafi‟iyah, jual beli orang buta itu tidak

sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.23

d. Jual beli terpaksa

Menurut ulama‟ Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa

seperti jual beli fudul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauqữf). Oleh karena itu, keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilangnya rasa terpaksa).Menurut ulama Malikiyah tidak lazim baginya ada khiyar.Adapun menurut ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah jual beli tersebut tidak sah, karena tidak ada kerida‟an ketika akad.24

e. Jual beli fusul

Jual beli fusul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya.Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah jual beli ini

23

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2003), h. 136

24

(39)

ditangguhkan sampai ada izin pemilik.Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi‟iyah jual beli fusul tidak sah.

f. Jual beli orang yang terhutang

Jual beli orang yang terhutang merupakan jual beli yang terhalang.Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut, atau sakit.Jual beli orang bodoh yang suka mengharamkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan pendapat paling sahih dikalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.Adapun menurut ulama Syafi‟iyah, jual beli tersebut

tidak sah karena tidak ahli dan ucapannya tidak dapat dipegang.25Begitu pula di tangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah, dan Hanafiyah, sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah dan

Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.

Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.Menurut ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak, seperti rumah, tanah, dan lain-lain.

25

(40)

g. Jual beli malja‟

Jual beli malja‟ adalah jual beli orang yang sedang dalam

bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.Jual beli tersebut fasid, menurut ulama hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.

2. Jual beli yang batil

Jual beli yang batil yaitu jual beli yang apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli tersebut pada dasar dan sifatnya tidak disyari‟atkan, seperti jual beli yang dilakukan

anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu barang-barang yang diharamkan syara‟, seperti bangkai, darah, babi, dan khamar.

3. Jual beli yang fasid

Ulama Hanafiyah yang membedakan jual beli yang fasid dengan jual beli yang batil.Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan barang-barang haram (khamar, babi, darah).Apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki, maka jual beli tersebut dinamakan fasid.

(41)

apabila salah satu rukun atau syarat jual beli itu tidak terpenuhi, maka jual beli itu batal.26

4. Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad

Transaksi jual beli yang barangnya tidak ada di tempat akad, hukumnya boleh dengan syarat barang tersebut diketahui dengan jelas klasifikasinya. Namun apabila barang tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan, akad jual beli akan menjadi tidak sah, maka pihak yang melakukan akad dibolehkan untuk memilih menerima atau menolak, sesuai dengan kesepakatan antara pihak pembeli dan penjual. 5. Transaksi atas barang yang sulit dan berbahaya untuk melihatnya

Diperbolehkan juga melakukan akad transaksi atas barang yang tidak ada di tempat akad, bila kriteria barang tersebut diketahui menurut kebiasaan, misalnya makanan kaleng, obat-obatan dalam tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui kran pompa dan lainnya yang tidak dibenarkan untuk dibuka kecuali pada saat penggunaannya, sebab sulit melihat barang tersebut dan membahayakan.27

Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa macam-macam jual beli dibagi dalam lima kategori yang pertama yaitu jual beli yang sah, untuk jual beli yang sah dikategorikan menjadi beberapa pilahan diantaranya yaitu,

26

Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, hal. 125-126 27

[image:41.612.135.549.115.561.2]
(42)

jual beli orang gila, jual beli anak kecil, jual beli orang buta, jual beli terpaksa, jual beli fusul, jual beli orang yang terhutang, dan jual beli malja‟. Yang kedua, yaitu jual beli yang bathil, ketiga jual beli yang

fasid, keempat jual beli yang barangnya tidak ada ditempat akad, dan yang terakhir jual beli yang barangnya sulit dan bernahaya untuk melihatnya.

E. Jual Beli yang Dilarang dalam Islam 1. Bai‟ al-gharar

Secara bahasa gharar bermakna ketidakpastian, ketidakpastian bagi dua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli.Secara istilah gharar berarti suatu transaksi yang akibat atau risikonya terlipat bagi dua

pihak yang bertransaksi.28

Bai‟ Al-Gharar adalah jual beli yang mengandung unsur risiko dan

akan menjadi beban bagi salah satu pihak dan mendatangkan kerugian financial. Gharar bermakna suatu yang wujudnya belum bisa dipastikan, diantara ada dan tiada, tidak diketahui kualitas dan kuantitas atau sesuatu yang tidak bisa diserahterimakan.29

Menurut Imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam. Menurut Imam al-Qarafi mengemukakan gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek

28

Al-Mu‟jam Al-Wasith, hal. 648 29

(43)

akad terlaksana atau tidak seperti melakukan jual beli ikan yang masih dalam air (tambak).

ورتشت ا : م س و ي ع ه ى ص ه سر ق : ق ع ه يضر د عسم ب ع ك س

حأ ور( ررغ إف ء يف د

) 30

Artinya:“Jangan membeli ikan yang masih dalam air, maka sesungguhnya

itu tipuan.”(H.R Ahmad dari Ibnu Mas‟ud).

Pendapat Imam al-Qarafi diatas sejalan dengan pendapat Imam as-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memanfang gharar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, bahwa gharar adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak, seperti penjual sapi yang sedang lepas.31

Sedangkan menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam:

a. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya.

b. Tidak diketahui harga dan barangnya. c. Tidak diketahu sifat barang atau harga. d. Tidak diketahui ukuran barang dan harga.

e. Tidak diketahui masa yang akan dating, seperti: “saya jual kepadamu, jika Jaed datang”.

30

Al Hafidh Ibn Hajar Asqolani, Buluqhul Maram min Adillatul ahkam, hal. 174 31

(44)

f. Menghargakan dua kali pada satu barang, seperti: kujual buku ini seharga Rp. 10.000 dengan tunai atau seharga Rp. 15.000 dengan cara utang.

g. Menjual barang yang diharapkan selamat.

h. Jual beli husda‟, misalnya pembeli memegang tongkat jatuh wajib membeli.

i. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar-melempar, seperti seorang melempar bajunya kemudian yang lainpun melempar bajunya, maka jadilah jual beli.

j. Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.32

2. Jual Beli Barang yang tidak ada penjualnya (bai‟ al-ma‟dlum)

Bentuk jual beli atas objek transaksi yang tidak ada ketika kontrak jual beli dilakukan. Ulama mazhab sepakat atas ketidaksahan akad ini.Seperti menjual mutiara yang masih ada didasar lautan, wol yang masih dipunggung domba, menjual buku yang belum dicetak dan lainnya.

Mayoritas ulama sepakat tidak diperbolehkan akad ini, karena objek tidak bisa ditentukan secara sempurna.Kadar dan sifatnya tidak bisa teridentifikasi secara jelas serta objek tersebut tidak bisa diserahterimakan.

32

(45)

Ibnu Qayyim dan Ibnu Taimyah memperbolehkan bai‟ al-ma‟dum dengan catatan objek transaksi dapat dipastikan adanya diwaktu mendatang karena adanya unsur kebiasaan.33

3. Jual beli suatu barang yang belum diterima.

Dilarang menjual belikan barang yang baru dibeli sebelum diterimakan kepada pembelinya, kecuali jika barang itu diamanatkan oleh si pembeli kepada penjualnya, maka menjualnya itu sah, karena telah dimiliki dengan penuh. Sabda Rasul saw:

م : ق م س و ي ع ه ى ص ه سر : ع ه يضر رير يب َع اف م عط رتش

)م سم ور( ت ي ىتح عبي 3

Artinya:“Abu Hurairah r.a mengatakan, sesungguhnya telah bersabda Rasulullah SAW: barang siapa yang membeli makanan janganlah ia menjualnya sehingga ia menerima takaran itu “. (HR. Muslim).

4. Jual beli barang najis

Menurut Hanafiyah, jual beli minuman keras, babi, bangkai dan darah tidak sah, karena hal ini tidak bisa dikategorikan harta secara asal. Tapi perniagaan atas anjing, macan, srigala, kucing diperbolehkan.Karena secara hakiki terdapat manfaat, seperti untuk keamanan dan berburu sehingga digolongkan sebagai harta.

Menjual barang najis dan manfaatnya diperbolehkan, asalkan tidak untuk dikonsumsi. Seperti kulit hewan, minyak dan lainnya.Intinya, setiap

33

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 83

34

(46)

barang yang memiliki nilai manfaat yang dibenarkan syara‟, maka boleh ditransaksikan.35

5. Bai‟ al-„inah

Bai‟ al-„inah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa dengan praktik

jual beli. Misalnya, Salwa menjual mobilnya seharga Rp.125.000.000 kepada Najwa secara tempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba, Salwa membelinya dari Najwa dengan harga Rp.100.000.000 secara kontan.

Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar Rp.125.000.000 kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Selisih Rp.25.000.000 dengan adanya perbedaan waktu merupakan tambahan ribawi yang diharamkan.

6. Bai‟atan fi bai‟ah

Imam Syafi‟i menjelaskan 2 penafsiran, yaitu:

a. Seorang penjual berkata, saya menjual barang ini Rp.2.000.000 secara tempo dan Rp.1.000.000 secara kontan, terserah mau pilih yang mana dan kontrak jual beli berlangsung tanpa adanya satu pilihan pasti dan jual beli mengikat salah satu pihak.

b. Saya akan menjual rumahku, tapi kamu juga harus menjual mobil kamu kepadaku.

35

(47)

Alasan dilarangnya bentuk transaksi pertama adalah adanya unsur gharar karena ketidak jelasan harga, pembeli tidak tahu secara pasti harga dalam akad yang disepakati penjual. Bentuk transaksi kedua dilarang karena mengandung unsur eksploitasi kepada orang lain. Penjual memanfaatkan kebutuhan pembeli dan mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan kemungkinan akan mengurangi kerida‟an pembeli.

7. Barang yang tidak bisa diserah terimakan.

Mayoritas ulama Hanafiyah melarang jual beli ini walaupun objek tersebut merupakan milik penjual.Seperti menjual burung merpati yang keluar dari sangkarnya, mobil yang dibawa pencuri dan lainnya.Ulama empat mazhab sepakat atas batalnya kontrak jual beli ini, karena objek transaksi tidak bisa di serahterimakan dan mengandung unsur gharar.36

Dari uraian yang telah diungkapkan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya dalam Islam adapula jual beli yang dilarang, untuk jual beli yang termasuk didalamnya yaitu Ba‟i al-Gharar dimana

jual beli tersebut mengandung unsur risiko dan akan menjadi beban bagi salah satu pihak dan mendatangkan kerugian finansial, kemudian jual beli yang tidak ada penjualnya (ba‟i al-ma‟dlum) jual beli suatu barang yang belum diterima, jual beli barang najis, ba‟i al-inah yaitu pinjaman atau jual beli yang direkayasa, bai‟atan fi bai‟ah dan yang terakhir barang yang tidak bisa diserah terimakan.

36

(48)

BAB III

BIOGRAFI EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER A. Riwayat Hidup Empat Imam Mazhab

1. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah

Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra‟yi.1Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qura‟an ataupun Hadis, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra‟yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan. Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah „urf. Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan

masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapakan hukum-hukum yang belum terjadi.

Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri yakni:

إ

خأ ي ه ت ب

إف تدجو إ جأ م

د خأ يف ر ثا و م سو ي ع ه ى ص ه سر ة سب

ح حص يت ع إف . قث ديأ يف تشف

ي ع ه ى ص ه سر ة ساو ه تك يف دجأ م

خأ م سو .م ريغ ق ى إ م ق م رخأ ا مث ت ش م ق عدأو ت ش م ب حصأ قب

إف

1

(49)

يريس ب و سح و يبعش و مي ربإ ى إ رما ى ت ي ف ود تج دق ا جر دعو بيس ب ديعسو

د تجأ أ . ود تج ك

2

Artinya:”Sesunggguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qura‟an) apabila menemukannyya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah saw dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas dikalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad.

فو ةقث ب خأ ةفي ح يبأ اك ي ع صو ي ع م قتس مو س ام عم يف ر و حبق م ر ر م إف . ىض ي د م سحتس ى ع يض ي س يق حبق إف س يق ى ع رمأ ىض ي م ر مأ د م ي ع سيقي مث فورع ثيدح ص ي ك و . ب س م عتي م ى إ عجر ىض ي عجري مث غئ س س يق يأ سحتسإ ى إ . ي إ عجر قفوأ ك 3

Artinya: “pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia, ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya.

Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada „urf manusia. Dan

ia mengamalkan hadis yang sudah terkenal dan kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadis itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana

lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika

2

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali Sabih

wa auladuh, t.th),h.91-92 3

(50)

atau tertib aturannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah menempatkan Al-Qura‟an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat, qiyas, istihsan, dan terakhir „urf. Tidak disebutkannya ijma‟ dalam rumusan ini bukan berarti

Imam Abu Hanifah menolak ijma‟ tetapi menggunakan ijma‟ sahabat yang

tergambar dalam ucapannya di atas.4 Jika terjadi pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena ada pertimbangan maslahat. Dengan kata lain pengguna qiyas dapat digunakan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat.5

Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah:

a. Al-Qur‟an sebagai sumber dari segala sumber hukum b. Al-Sunnah

Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Qur‟an, merinci yang masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur‟an tidak dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila

4

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.106 5

(51)

didalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-Sunnah tersebut harus diikuti.

Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadis yang diriwayatkan harus masyhur di kalangan perawi hadis terpercaya.6 Perawi hadis harus beramal berdasarkan hadis yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari periwayatnya. Perawi hadis tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya tersebar dikalangan umum.7

c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat)

Fatwa sahabat (Aqwalu al--Shahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbabun nuzul-nya serta asbabul wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah.8 d. Al-Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih

dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah e. Al-Istihsan

Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa, sebagaimana telah dijelaskan,

6

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami,h. 94 7

Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 100

8

(52)

berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu.9 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut keinginannya saja tanpa menggunakan metode.

f. „Urf

Abu Hanifah berpegang kepada‟urf dalam menetapkan hukum.10 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan mauamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. 2. Riwayat Hidup Imam Malik

Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadis.11 Al-Muwaththa‟ adalah kitab hadis yang merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw atau dari sahabat dan tabi‟in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal

termasuk beraliran al-Hadis.

Adapun metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istinbath) adalah :

9

Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 43

10

Muhammad Hasbi ash shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 177 11

(53)

a. Al-Qur‟an

Imam Malik bersandarkan nash Al-Qur‟an sebagai pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan zahir nash Al-Qur‟an atau keumumannya.12

b. Al-Sunnah

Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadis seperti yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadis. Imam Malik tidak menolak khobar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadis periwayatannya. Imam malik tidak mendahulukan qiyas dari khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadis mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.13

c. Amal Ahl al-Madinah

Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah saw, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi saw atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti azan ditempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma‟ semacam ini

12

Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99 13

(54)

dijadikan hujjah oleh Imam Malik.14Akan tetapi terkadang beliau menolak hadis apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.

d. Khabar Ahad dan al-Qiyas

Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten. kadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Kadang-kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.15 Jika khabar ahad tidak dikenal dikalangan masyarakat Madinah, maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak diangga

Gambar

tablet, tabung-tabung oksigen, bensin dan minyak tanah melalui kran

Referensi

Dokumen terkait

dikembangkan sendiri oleh guru agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik; (2) penggunaan perangkat pembelajaran seni tari kuntulan di sekolah dasar dengan model

Manajer Investasi memiliki kewenangan untuk membagikan atau tidak membagikan Hasil Investasi Yang Tidak Menjadi Basis Nilai Proteksi (jika ada) yang telah

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,

Menyadari bahwa betapa pentingnya pelayanan dilakukan oleh aparatur Kecamatan Paguyaman Pantai kepada pihak publik dalam Pengurusan e-KTP dan perlu diperhatikan agar

d. Deskripsi yang memaparkan atau menguraikan isi maupun struktur hukum positif berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan polisi terhadap

Selanjutnya, karena minat brand switching adalah tingkat kesenangan seseorang yang kuat (excitement) untuk melakukan pergantian (perpindahan) merek karena terdapat sesuatu yang

Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna karena berhubungan dengan faktor jumlah rokok yang di konsumsi orangtua atau anggota keluarga balita

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar passing atas dan bawah bolavoli melalui Penggunaan Media Audio Visual Pada Siswa Kelas VIII ASMP