DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN
SUMBERDAYA PESISIR KOTA BONTANG
(Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)
TAUFIK HASBULLAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
TAUFIK HASBULLAH. Design Strategy of Corporate Social Responsibility (CSR) in the Economic Empowerment of Local Communities and Coastal Resources Management in Bontang (Case Study of PT Pupuk Kaltim). Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO, LUKY ADRIANTO and SUGENG BUDIHARSONO.
The purpose of this study is to analyze the impact of PT Pupuk Kaltim and the presence of its industrial activity on the economic growth of Bontang. To analyze the role of company’s CSR activities towards the economic empowerment on local communities and management of coastal resources in Bontang. and to develop a design strategy to economically empower local communities and coastal resources management in Bontang. Location Quotient (LQ) methods and Shift Share to observe the influence of company’s industrial activity and its economic impact on Bontang. Importance Performance Analysis (IPA) to observe the effectiveness of company’s CSR activities. To assess the sustainability of coastal areas, a modified method by measuring dimensional aspects of sustainability which are ecological, economic, socio-cultural, infrastructure and technology, as well as legal and institutional. The results of LQ analysis indicates that Bontang economic growth is highly correlated with the presence of manufacturing sector. Based on the analysis, which covers oil and gas industry, this study exceptionally concludes the presence of gas industry does have a strong role with a value greater than 1 and, coefficient of determination of 1.582 to the regional economy. Meanwhile, the shift share analysis shows that the role of regional economic structures is large enough to reach 92%. The ratio is mainly contributed by the potential of regional economic which is 46%. The results of IPA analysis show the significance of company’s CSR activities is sufficient to meet the expectations of coastal communities. Overall, the analysis concludes that the level of sustainability of coastal area in multi-dimensional value is 53.73, which lays in category of fairly continuous. Based on the analysis the sustainability of individual criterion are fairly sustainability for ecology (50.43), infrastucture and technological (60.83), and legal and institutional (55.33). Furthermore, the dimension of economic and socio-cultural are weak sustainability. The design of coastal development strategy is intended to encourage the Bontang City development sectors based on renewable coastal resources so that it can be a driving force for coastal economic activity in the future. Whereas, in particular for the CSR design strategy is to build economic self-reliance of local communities, community capacity building in integrated coastal management and resource conservation in coastal of Bontang City.
.
TAUFIK HASBULLAH. Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, LUKY ADRIANTO dan SUGENG BUDIHARSONO.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang sangat menentukan keberlanjutan pembangunan Kota Bontang yang berada di wilayah pesisir, dimana di dalamnya terdapat aktivitas ekonomi berskala besar yakni PT Pupuk Kaltim (PKT) dan PT Badak NGL (BADAK) yang perlu ditingkatkan perannya dalam pembangunan ekonomi maupun tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir di Kota Bontang.
Penelitian ini dilakukan di seluruh kelurahan yang berbatasan langsung dengan pesisir Kota Bontang yaitu, Bontang Kuala, Bontang Baru, Lhok Tuan, Guntung, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Tanjung Laut Indah, Tanjung Laut dan Kelurahan Belimbing.
Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis keberadaan perusahaan industri pengolahan (PKT) terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bontang, serta secara khusus menganalisis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang, dengan mengambil studi kasus peran CSR di PKT, dimana selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun desain strategi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kota Bontang.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Location Quotient (LQ) dan Shift Share untuk melihat pengaruh keberadaan perusahaan industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Peran dan efektifitas program CSR terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan pesisir dianalisis menggunakan Importance Performance Analysis (IPA). Selanjutnya dalam mengkaji keberlanjutan wilayah pesisir digunakan metode Rapfish dengan mengukur lima dimensi keberlanjutan yakni, dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil analisis tersebut diatas dirumuskan menjadi desain dan strategi pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir.
masyarakat pesisir.
Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Bontang menunjukkan tingkat keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang secara multi dimensi sebesar sebesar 53,73 dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, dimana diperoleh dari nilai dimensi ekologi sebesar 50,43, dimensi ekonomi 49,90, dimensi sosial budaya 48,18, dimensi infrastruktur dan tekhnologi sebesar 64,83 dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 55,33.
Strategi pengembangan kawasan pesisir Kota Bontang secara umum yaitu dengan mendorong perkembangan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya pesisir terbaharui sehingga dapat menjadi penggerak bagi kegiatan ekonomi pesisir. Sedangan secara khusus adalah dengan membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal, peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pesisir terpadu dan upaya pelestarian sumberdaya di wilayah pesisir Kota Bontang.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN
SUMBERDAYA PESISIR KOTA BONTANG
(Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)
TAUFIK HASBULLAH
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Agus Heri Purnomo 2. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)
Nama : Taufik Hasbullah
NIM : P31600029
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui :
Komisi Pembimbing,
Ketua
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Alhamdulillah dengan segala karuniaNya disertasi berjudul “Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim)”, dapat diselesaikan.
Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sangat dalam kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc., Dr. Ir. Sugeng Budiharsono dan Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. (alm), sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi sejak awal penulisan proposal hingga penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih atas waktu dan masukan perbaikan disertasi disampaikan kepada Dr. Ir. Agus Heri Purnomo dan Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. sebagai penguji pada ujian tertutup serta Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. sebagai penguji pada ujian terbuka.
2. Rektor dan Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.
3. Para Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah memberikan ilmu selama penulis menjadi mahasiswa.
4. Direksi dan mantan Direksi PT Pupuk Kaltim khususnya Bapak Ir. Bowo Kuntohadi, MM., yang telah memberikan izin sehingga penulis dapat mengikuti studi ini tanpa meninggalkan tugas dan tanggung jawab penulis selama masih aktif menjadi karyawan, demikian pula teman-teman para manajer di lingkungan PT Pupuk Kaltim yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama penyelesaian studi S3 di IPB ini.
penulis. Demikian pula saudara saya Gigih Widya W Socria dan keluarganya di Bontang dan Samarinda, yang telah memberikan support tidak pernah lelah sampai selesainya disertasi ini.
7. Kedua orang tua tercinta H. Hasbullah (Alm) dan Hj. Khuzaimah (Alm) yang telah membesarkan, mendoakan, mendidik, tiada henti sampai akhir hayatnya. Demikian pula kepada Uni Hj. Mardiah, Uni Hj. Rasyidah (alm), Uni Hj. Fauziah dan Uda H. Lukman, Uda H. Mukhlis (alm) dan Uda H. Muslim yang amat besar jasanya.
8. Dukungan dan doa keluarga tercinta: Istri Hj. Siti Adansiana (alm) beserta ananda tercinta M. Naser serta Ocha dan cucuku Zoe dan Raj, M. Yasser dan Annisa, serta istri tercinta Hj. Sandyana Samantha dan anak-anak: Echa, Alghifari dan Alfarabi.
9. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., yang sejak awal penulis masuk IPB sampai saat ini jika berjumpa senantiasa menyapa hangat dan memberikan wawasan dan motivasi yang sangat berharga.
10. Sahabatku Wakil Walikota Bontang, Bapak Isro Umargani, Ustadz. Harun Al Rasyid, SH serta Ustadz Nadif Ridwan, sahabatku Drs. Gunawan Ja’far yang senantiasa memberikan nasehat dan pencerahan. Demikian pula kepada sahabat dan teman-teman di lingkungan PT Daun Buah yaitu; Bapak Ir. Surya Madya, MM, Bapak Ir. Ezrinal Aziz, M.Sc., dan Bapak Ir. Rusli Burhan, M.Si., serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 11. Guru kehidupan dan inspiratorku Ir. H. Jamil Azzaini, M.Sc. dan Ustadz KH.
Arifin Ilham yang telah berkontribusi tak ternilai dalam kehidupan kami.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan masyarakat pesisir dan kelestarian sumberdaya pesisir Kota Bontang.
Bogor, Februari 2012
Penulis dilahirkan di Bukittinggi Sumatera Barat, pada tanggal 15 Februari 1953, merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari keluarga H. Hasbullah (alm) dan Hj. Khuzaimah (alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sampai SMP di Bukittinggi dan di SMA Negeri 10 Jakarta, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya selesai S1 pada tahun 1981. Selanjutnya menyelesaikan program Magister Manajemen (S2) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1991. Pada tahun 2001 memasuki program studi (S3) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Institut Pertanian Bogor sampai saat ini.
xix
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxv
1. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
1.5. Kerangka Pemikiran... 7
2. TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir ... 11
2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir ... 11
2.1.2. Batasan Wilayah Pesisir ... 11
2.1.3. Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir ... 12
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu (PWPT)... 13
2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 14
2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir... 16
2.3. Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 19
2.4. Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir ... 23
2.4.1. Efek Dualisme Ekonomi... 23
2.4.2. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) ... 25
2.4.3. Kajian-kajian Terkait Tentang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir... 25
2.4.4. Konsep Pedesaan Wilayah Pesisir... 27
2.5. Pembiayaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu... 28
2.5.1. Anggaran Formal... ... 29
2.5.2. Sektor Publik dan Kemitraan Swasta ... 30
2.6. Konsep dan Teori CSR... ... 31
2.6.1. Sejarah dan Evolusi Pemikiran CSR ... 34
2.6.2. Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) ... 36
2.7. Efek Dualisme Ekonomi Terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu ... ... 42
3.4.1. Data Lingkungan dan Sumber Daya Pesisir Kota Bontang ... 48
3.4.2. Data Sosial Ekonomi... 49
3.6. Metode Analisis Data ... 50
3.6.1. Analisis Kewilayahan Pesisir... 50
1) Analisis Biogeofisik Wilayah... 50
2) Analisis Ekonomi Wilayah ... 50
3.6.2. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 54
3.6.3. Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR Pesisir... 57
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
4.1. Keadaan Wilayah Pesisir Kota Bontang ... 59
4.1.1. Sistem Lingkungan dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang... 59
4.1.2. Sistem Sosial Ekonomi Pesisir Kota Bontang ... 77
4.1.3. Gambaran Umum PKT ... 88
4.2. Analisis Ekonomi WilayahKota Bontang ... 99
4.2.1. Analisis Location Quotient... 99
4.2.2. Analisis Pendapatan Jangka Pendek ... 101
4.2.3. Analisis Shift Share ... 101
4.2.4. Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan Kota Bontang ... 102
4.3. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir... 104
4.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi... 104
4.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi... 106
4.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ... 108
4.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ... 110
4.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan ... 112
4.3.6. Status Keberlanjutan Multidimensi... 114
4.4. Analisis Desain Strategi CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir ... 117
4.4.1. Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR ... 117
1) Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) ... 117
2) Importance Performance Analysis (IPA)... 122
4.4.2. Model Pelaksanaan CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 124
1) Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir ... 124
2) Model Program Pengelolaan Wilayah Pesisir... 127
4.4.3. Desain Strategi CSR Wilayah Pesisir ... 129
4.4.4. Desain Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir ... 130
4.4.5. Desain Kebijakan CSR PKT... 132
5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 133
5.1. Kesimpulan ... 133
5.2. Saran ... 134
DAFT AR PUSTAKA... 135
xxi
Halaman
1. Perbedaan -Persamaan CSR dan PKBL... 37
2. Lokasi Penelitian berdasarkan Jenis Wilayah ... 46
3. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 48
4. Jenis dan Sumber Data Primer... 49
5. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 49
6. Matriks Ringkasan Konsep Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan……… ... 54
7. Kategori Status Keberlanjutan wilayah pesisir berdasarkan Nilai Indeks Hasil Analisis MDS ... 55
8. Kondisi Perikanan Berdasarkan Gross Tonage (GT) perahu, alat tangkap dan hasil tangkapan nelayan Kota Bontang ... 61
9. Asumsi dan Prediksi Hasil Tangkapan dengan Peningkatan UpayaTangkap (Fishing Effort) ... 62
10. Presentase Penutupan dan Jenis Seagrass di perairan sekitar Bontang Kuala dan Tanjung Limau ... 64
11. Potensi Lahan Budidaya Rumput Laut ... 65
12. Jenis dan Kondisi Mangrove di Sungai Guntung ... 66
13. Jenis dan Kondisi Mangrove di Sungai Bontang Kuala ... 67
14. Percent Coverage Komponen Biotik dan Abiotik di Setiap Stasiun Terumbu Karang ... 69
15. Nilai r-k-s Berdasarkan Morfologi Karang... 71
16. Kegiatan Pariwisata di Pesisir Kota Bontang ... 74
17. Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan 2010 ... 78
18. Luas wilayah dan kepadatan penduduk Kecamatan 2010 ... 78
19. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan Migas atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (%) 2006-2009 ... 81
20. Kontribusi Sub Sektor Perikanan dan Industri Migas Bagi PDRB atas Dasar Harga Konstan Kota Bontang Tahun 2006-2009 ... 81
22. Keadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan tiap Kecamatan di
Wilayah Kota Bontang ... 85 23. Keadaan Prasarana dan Sarana Peribadatan tiap Kecamatan di
Wilayah Kota Bontang ... 85 24. Keadaan Prasarana dan Sarana Transportasi di Wilayah Kota
Bontang... 86 25. Perkembangan Industri Pengolahan dan PDRB Bontang Periode
2005-2009 dengan Harga Konstan Tahun 2000 (dalam juta)... 99 26. Perbandingan Hasil Perhitungan LQ Pada Industri Pengolahan
Dengan Migas dan Tanpa Migas di Bontang Periode 2005-2009 ... 100 27. Hasil Perhitungan Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Sektor
Industri Pengolahan di Bontang Periode 2005-2009 (dalam juta)... 101 28. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Bontang 2005-2009 (dalam
xxiii
Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 9 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995) ... 12 3. Kerangka Kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan (PEMSEA,
2003) ... 20 4. AcuanPelaksanaan CSR berdasarkan ISO 26000 ... 38 5. Scematic overview of ISO 26000 ... 39 6. Peta Lokasi Penelitian ... 45 7. Tahapan Penelitian ... 47 8. Importance Performance Analysis... 58 9. Peta StasiunTerumbu Karang ... 70 10. Bagan Struktur Organisasi PKT ... 91 11. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Ekologis Bontang ... 105 12. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Ekologis Bontang ... 106 13. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Ekonomi Bontang ... 107 14. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Ekonomi Bontang... 108 15. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Sosial Budaya Bontang... 109 16. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Sosial Budaya Bontang... 109 17. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi
wilayah pesisir Bontang ... 111 18. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi
wilayah pesisir Bontang ... 111 19. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan
wilayah pesisir Bontang ... 113 20. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan
wilayah pesisir Bontang ... 113 21. Diagram Layang Perbandingan Hasil Analisis MDS terhadap tingkat
xxv
Halaman 1. Bagan Struktur Organisasi PKT ... 141 2. Hasil Tabulasi Score Indikator Keberlanjutan Sumberdaya Wilayah
Pesisir... 142 3. Hasil Tabulasi Responden tentang Persepsi Pelaksanaan CSR PKT ... 144 4. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Kinerja CSR PKT... 157 5. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Tingkat
Kepentingan CSR PKT ... 158 6. Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja
CSR PKT... 159 7. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Kinerja Program
CSR PKT... 160
8. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Tingkat
Kepentingan Program CSR PKT ... 161 9. Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja Program
1.1. Latar Belakang
Mengembangkan ekonomi masyarakat pesisir memiliki tingkat kesulitan
yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Hal ini disebabkan
karena kawasan pesisir memiliki karakteristik sumberdaya alam yang berbeda
yang selanjutnya mempengaruhi tindakan dan aksi pelaku ekonominya. Jadi
kondisi alam membuat perbedaan masyarakat dalam pandangan, sikap, dan
tindakan mereka dalam hal mengembangkan wilayah pesisir. Perbedaan cara
pandang inilah yang seharusnya dipahami pengambil keputusan yang terkait
dengan pembangunan kawasan pesisir. Pemahaman ini sangat diperlukan
supaya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir tepat arah, sasaran, guna dan
manfaat.
Chua dan Pauly (1989) mengelompokkan degradasi dan marjinalisasi
kawasan yang terjadi di Indonesia disebabkan (1) Sebagian besar sumberdaya
hayati pesisir mengalami eksploitasi lebih dan ekosistem pesisir mengalami
tekanan berat; (2) Terjadi degradasi lingkungan karena kerusakan dan polusi dari
laut dan darat; (3) Sebagian besar penduduk hidup dalam kondisi miskin,
sementara proses pemiskinan berlangsung terus dan di pihak lain makin terjadi
ketimpangan pendapatan; (4) Instansi yang ada tidak dapat menjawab
masalah-masalah yang muncul; (5) Penegakan hukum tidak berjalan dengan baik; (6)
Sangat kurang apresiasi publik terhadap pengelolaan yang berkelanjutan; (7)
Sangat kurang pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi; (8) Sangat
rendah kapasitas masyarakat, meskipun potensi yang ada cukup besar.
Kota Bontang di Propinsi Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 49.757
Ha, dimana sekitar 34.977 Ha (70,29%) diantaranya merupakan wilayah pesisir
atau laut, sehingga karakteristik masyarakat Kota Bontang tentunya sangat
dipengaruhi oleh kehidupan pesisir dan laut. Masyarakat Kota Bontang
merupakan masyarakat heterogen yang terbentuk secara genekologis
penghidupan) dari berbagai etnis. Tercatat hampir 60-70% penduduknya adalah
pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan (etnis Bugis).
Dengan dibukanya Kota Bontang sebagai kawasan industri yang
digerakan oleh industri pengolahan gas alam cair PT. Badak NGL (BADAK) dan
PT. Pupuk Kaltim (PKT) menjadi faktor pendorong bagi para pendatang untuk
masuk wilayah ini dengan tujuan utama untuk mendapatkan pekerjaan. Pada
umumnya para pendatang yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang cukup
akan direspon pasar kerja dengan hasil yang lebihbaik.
Kebutuhan tenaga kerja dengan spesifikasi keterampilan tertentu telah
menjadi persoalan tersendiri di Kota Bontang. Kondisi ini dapat dilihat dari
penyerapan tenaga kerja untuk industri pengilangan gas alam cair dan industri
pupuk banyak menggunakan tenaga kerja dari luar Kota Bontang, dimana
BADAK dan PKT mensyaratkan kualitas yang tinggi dalam penyerapan tenaga
kerja yang belum dapat dipenuhi tenaga kerja lokal. Dalam lima tahun terakhir
yakni tahun 2006 sampai 2010, tercatat hanya 427 orang yang diterima sebagai
karyawan tetap PKT, terdiri dari 46% tenaga kerja lokal dan 54% berasal dari luar
Kota Bontang, sementara rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 2,98% per
tahun atau 3.120 jiwa per tahun. Dengan keberadaan dua perusahaan besar ini
adalah wajar jika jumlah penduduk Kota Bontang senantiasa bertambah.
Pembangunan kawasan industri dan kegiatan operasionalnya di wilayah
pesisir Kota Bontang juga menyebabkan perubahan ekologis yang memberikan
tekanan signifikan terhadap ekosistem wilayah pesisir, dimana pada akhirnya
dapat mengubah struktur pemanfaatan ruang pesisir Kota Bontang. Tekanan
terhadap sumberdaya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan
di wilayah tersebut serta rendahnya pemahaman akan upaya konservasi.
Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran setan (vicious circle) dimana penduduk
yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir. Namun
penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan
lingkungan. Salah satu aspek pengelolaan wilayah pesisir yang baik adalah
dengan mencarikan alternatif pendapatan sehingga mengurangi tekanan
Kondisi ini menuntut agar Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau
Corporate Social Responsibility (CSR) wajib lebih berperan dalam pembangunan
di Kota Bontang, khususnya dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat serta
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu di Kota Bontang.
CSR adalah upaya yang wajib dilakukan oleh suatu perusahaan untuk
mempertanggungjawabkan dampak operasionalnya terhadap pembangunan
yang berkelanjutan (sustainable development), dimana konsep pembangunan
berkelanjutan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi (economic growth),
kelestarian terhadap lingkungan (environmental protection), dan kesetaraan
sosial (social equity). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan
ekonomi semata (profit), melainkan juga memiliki kepedulian terhadap
kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Pelaksanaan CSR di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Didalam Undang-Undang ini pada pasal
74 dinyatakan bahwa semua Perseroan Terbatas wajib hukumnya melaksanakan
tanggung jawab sosial (CSR), sehingga CSR menjadi bagian dari rencana
penganggaran perusahaan.
Sementara itu perusahaan negara berbentuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) memiliki acuan pelaksanaan tanggung jawab sosial berdasarkan
Undang-Undang BUMN Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal 88 ayat (1) UU No. 19
Tahun 2003 jo. Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007.
Didalam ketentuan tersebut semua BUMN yang berada dibawah pengelolaan
pemerintahan Indonesia wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan (PKBL), dimana dananya adalah alokasi dari sisa keuntungan
perusahaan sebesar maksimal 2% untuk masing-masing kegiatan.
Dengan dasar pemikiran seperti yang telah diterangkan diatas, maka
perlu dilakukan suatu kajian tentang ”Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya
1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Potensi yang begitu besar dimiliki Kota Bontang, baik sumberdaya alam
yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih, merupakan tumpuan
pembangunan Kota Bontang dimasa yang akan datang, dimana segenap aktifitas
serta permukimannya dengan derap pembangunan yang sangat intensif berada
di kawasan pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa besarnya tekanan penduduk
dengan dinamika sosial ekonomi dan tuntutan pemerintah daerah untuk
memperoleh sumber dana bagi peningkatan akselerasi pembangunan telah
memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi lingkungan hidup dan
sumberdaya alam yang menjadi modal pembangunan masa kini dan masa yang
akan datang.
Isu dan permasalahan di pesisir Kota Bontang tidak jauh beda dengan
permasalahan kota-kota pesisir lainnya di Indonesia. Permasalahan yang ada
berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir oleh manusia. Pemanfaatan
sumberdaya ini selalu menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi fisik pesisir
Kota Bontang. Kerusakan fisik lingkungan antara lain disebabkan oleh adanya
aktivitas di darat dan aktivitas di laut. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas
di darat adalah pencemaran akibat limbah buangan industri dan rumahtangga,
sedangkan aktivitas di laut adalah adanya abrasi pantai, sedimentasi di dasar
perairan pantai, dan kerusakan ekosistem terumbu karang serta ekosistem
pesisir lainnya.
Kerusakan fisik lingkungan ini tidak terlepas dari adanya konflik
pemanfaatan ruang dari berbagai kegiatan yang ada di pesisir Kota Bontang. Di
kawasan pesisir Kota Bontang, intensitas penggunaan atau pemanfaatan ruang
cukup tinggi sehingga berpeluang timbulnya masalah yang berakibat negatif bagi
keberlanjutan keberadaan sumberdaya alam pesisir Kota Bontang.
Hasil penelitian UGM (2001), Sucofindo (2001), UNDIP (2002) dan IPB
(2010) menunjukkan adanya pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat potensial
seperti mangrove dan terumbu karang, serta konflik penggunaan ruang dan
sumberdaya di kawasan pesisir dan laut kota Bontang, yang pada akhirnya
Diperkirakan sekitar 100 Ha lahan mangrove telah beralih fungsi menjadi
kawasan pabrik industri PKT sejak tahun 1979, disamping itu dari pengamatan
transect line terumbu karang sepanjang 32 km di areal pesisir PKT, hanya sekitar
5 km (15%) saja yang berada dalam kondisi normal, selebihnya 21 km (66%)
dalam keadaan rusak dan 6 km (19%) dalam kondisi transisi, hal ini terjadi akibat
aktivitas dredging dan dumping sekitar 247.000 m3
Permasalahan yang berkembang di kawasanpesisirkotaBontang, antara
lain (Sucofindo, 2001; UGM, 2001; UNDIP, 2002; IPB, 2010) :
pasir laut pada saat
pembangunan dermaga dan pabrik PKT.
Kawasan pesisir dan laut Kota Bontang saat ini dimanfaatkan untuk berbagai
kegiatan yaitu industri (PKT, BADAK, PT. Indominco), kawasan lindung
(Taman Nasional Kutai), permukiman, pertambakan, budidaya laut, alur
pelayaran, pelabuhan, daerah penangkapan ikan dan pariwisata. Kaitannya
dengan penggunaan ruang oleh industri besar yang ada diwilayah ini, belum
ada kajian yang membahas tentang kontribusi industri terhadap masyarakat
dan sumberdaya pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terjadinya degradasi lingkungan di beberapa lokasi di Kota Bontang antara
lain : kerusakan terumbu karang, abrasi laut yang menyebabkan pulau-pulau
kecil menjadi berkurang luasannya, misalnya Pulau Beras Basah yang
menjadi andalan pariwisata Kota Bontang, hutan mangrove yang dialihkan
penggunaannya untuk pertambakan dan pemanfaatan lainnya.
Intensitas aktivitas industri yang terus meningkat di Kota Bontang terutama
industri pengolahan berskala besar seperti PKTdanBADAK yang membuang
residu/limbah pabrik ke laut, mengakibatkan terjadinya pencemaran di
wilayah pesisir dan lautan.
Masih dominannya sektor industri migas yang mengandalkan eksploitasi
sumberdaya tak terbaharui (non-renewable resources) sementara
sektor-sektor yang berkaitan dengan kawasan pesisir dan laut masih tertinggal.
Adanya rencana pengembangan Kota Bontang yaitu perluasan kawasan
pesisir yang mencakup Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kertanegara,
rencana penggunaan lahan di wilayah perluasan Kota Bontang, rencana
kawasan lindung, kawasan budidaya, pariwisata, perikanan tangkap, industri,
pemukiman. Rencana tersebut selama ini belum didukung dengan kajian
ilmiah penetapan kawasan. Untuk itulah pemerintah Kota Bontang melalui
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) bekerjasama dengan
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB telah menerbitkan
Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) yang mengatur hal tersebut.
Masih tingginya tuntutan dan harapan masyarakat terhadap PKTterutama di
wilayah bufferzone. Hal tersebut perlu direspon secara proporsional oleh
perusahaan sehingga tercipta suasana kondusif. Suasana yang kondusif
sangat diperlukan perusahaan untuk bisa melakukan kegiatan produksi yang
berkelanjutan.
Adanya pergerseran kepemilikan dunia usaha, dari kepemilikan pribadi
menjadi kepemilikan publik. Secara tidak langsung hal ini bermakna
perusahaan tidak lagi hanya sebatas institusi bisnis, tetapi telah bergeser
menjadi institusi sosial. Dunia usaha tidak hanya bertugas mencari
keuntungan, tetapi juga harus berperan menjadi institusi yang memiliki
tanggungjawab sosial.
Kesadaran akan pentingnya CSR menjadi trend global seiring dengan
semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk
yang ramah lingkungan dan produksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah
sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Trend global lainnya di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang
memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan
program CSR.
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas,
maka rumusan masalah penelitian ini adalah :
1) Bagaimanaperan PKTterhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan
pengelolaan sumberdaya pesisir di Kota Bontang ?
2) Bagaimana tingkat keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah
3) Bagaimana efektifitas dan keberlangsungan program CSR PKT di Kota
Bontang ?
4) Bagaimana strategi CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Menganalisis peran PKT terhadap peningkatan perekonomian Kota Bontang
2) Menganalisis tingkat keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah
pesisir di Kota Bontang.
3) Merumuskan strategi CSR PKT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat
dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang
1.4. Manfaat Penelitian
1) Masukan bagi pemerintah Kota Bontang, bagi proses perencanaan dan
pengambil kebijakan dalam kaitannya kontribusi industri-industri besar yang
ada di Kota Bontang terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
sumberdaya pesisir.
2) Masukan bagi pengambil kebijakan di lingkungan PKT, khususnya dalam
implementasi program CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan
sumberdaya pesisir Kota Bontang.
1.5. Kerangka Pemikiran
Kebijakan pemerintah Kota Bontang berdasarkan arahan pemanfaatan
ruang khususnya di wilayah pesisir lebih diarahkan pada pengembangan industri
khususnya pengembangan industri PKT.Karena perusahaan besar tersebut
diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap terlaksananya pengelolaan
wilayah pesisir terpadu, dan peningkatan perekonomian Kota Bontang.
Saat ini dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Kota
yang bermukim di wilayah pesisir termasuk yang mempunyai mata pencaharian
nelayan maupun petani ikan. Disatu sisi, perusahaan besar semakin berkembang
dan disisi lain masyarakat disekitarnya semakin termarginalkan. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir dan semakin
langkanya sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Oleh
karena itu perlu upaya yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir Kota Bontang.
Kegiatan usaha PKT banyak bersinggungan dengan beragam
stakeholders, khususnya masyarakat dan lingkungan di sekitar lokasi pabrik yaitu
wilayah pesisir Kota Bontang. Terkait hal tersebut, perusahaan memandang dan
sudah berkomitmen bahwa program CSR sebagai kegiatan yang sangat penting
baik bagi kepentingan perusahaan, lingkungan maupun masyarakat itu sendiri.
Untuk merealisasikan upaya tersebut perlu dilakukan analisis seberapa
besar kontribusi ekonomi dan tehnis dari PKT terhadap pengelolaan wilayah
pesisir terpadu, sehingga kedepan dapat dibuat suatu perencanaan CSR yang
terpadu sehingga baik bantuan yang diberikan berupa hibah, modal kerja,
pelatihan maupun fasilitas yang dibutuhkan dalam pemberdayaan ekonomi
masyarakat dan pengelolaan wilayah pesisir Kota Bontang dapat dilakukan
secara terpadu dan berkelanjutan.
Program-program tersebut semuanya didasarkan pada potensi daerah
serta kebijakan pemerintah Kota Bontang. Adapun kerangka pemikiran penelitian
mengenai tanggung jawa bsosial (CSR) PKT dalam pemberdayaan ekonomi
masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang.
Dalam kerangka pikir penelitian ini, diawali dengan mengidentifikasi
kondisi potensi sumberdaya wilayah pesisir Kota Bontang, kemudian dilanjutkan
melihat kondis iperusahaan yang ada (khususnya PKT). Dalam proses kegiatan
perusahaan (PKT) kaitannya dengan sumberdaya wilayah pesisir akan dikaji baik
dari aspek sumberdaya pesisirnya maupun dari aspek ekonominya sehingga
diharapkan dari aspek ekonomi dapat memberikan kontribusi terhadap PAD,
masyarakat di sekitarnya serta dari aspek sumberdaya pesisir dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana penerapan
tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan (PKT) terhadap pemberdayaan
ekonomi masyarakat pesisir, sehingga diharapkan dapat meningkatkan tingkat
kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat disekitarnya dan sumberdaya
pesisir tetap terjaga kelestariannya. Untuk itu perlu merumuskan suatu desain
strategi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir
khususnya di Kota Bontang. Secara lengkap kerangka fikir penelitian ini disajikan
pada Gambar 1.
Gambar 1.Kerangka Pemikiran
2.1 Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir 2.1.1 Pengertian Wilayah Pesisir
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian
daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut
wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan perencanaan (Soegiarto, 1976; Dahuri, 1996).
2.1.2 Batasan Wilayah Pesisir
Dahuri (1996), mengemukakan bahwa pertanyaan yang seringkali muncul
dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas
dari suatu wilayah pesisir (coastal zone). Sampai sekarang belum ada definisi
wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di
dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara wilayah
daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu
wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang
sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap
garis pantai (cross-shore).
Berdasarkan kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu
wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah
perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation
zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah
perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat
kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara
nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya di pesisir. Oleh karena
itu, batas wilayah pesisir kearah darat untuk kepentingan perencanaan (Planning
pesisir dari DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir
menetapkan dua batasan pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah
pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas dari pada wilayah
pengaturan (Dahuri, 1996). Batas wilayah pesisir menurut Pernetta dan Milliman
(1995) disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995)
2.1.3 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir
Dengan garis pantai terpanjang kedua didunia setelah Kanada, yaitu
81.000 km serta wilayah laut yang luasnya mencapai 5,8 juta km2
Kelompok pertama, sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan dapat
pulih mencakup ekosistem mangrove, wilayah pesisir, rumput laut dan padang
lamun, serta sumberdaya perikanan, yang secara potensial sangat besar dan , maka tidak
mengherankan bahwa secara potensial, Indonesia memiliki sumberdaya alam
pesisir dan lautan yang sangat besar. Secara garis besar, potensi pembangunan
kelautan Indonesia tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu
(1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tidak dapat
pulih (non-renewable resources) dan (3) jasa-jasa lingkungan (evironmental
beragam jenisnya. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki luas ekosistem
mangrove sebesar 2,4 juta km2 dan wilayah pesisir seluas 75.000 km2
Berbagai jenis sumberdaya hayati laut beserta perairan pesisir yang luas
sangat potensial untuk dikembangkan melalui usaha mariculture (budidaya laut).
Usaha tersebut dapat digolongkan menjadi dua kegiatan, yaitu budidaya tambak
(brackish water ponds) dan budidaya laut (mariculture).
(Dahuri,
et.al., 1996). Sementara itu, di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7
marga dan 13 spesies lamun (seagrass) dengan sebaran mencakup di wilayah
perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Irian jaya.
Sedangkan untuk sumberdaya perikanan, negara kita sudah lama diakui sebagai
salah satu negara yang memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Data
terakhir menunjukkan bahwa potensi lestari sumberdaya perikanan nasional
adalah 5,649 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan sebesar 40% (FAO,
1997).
Kelompok kedua, sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, yang meliputi
seluruh jenis mineral dan gas, dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Kelas A
(Mineral Strategis ) seperti minyak bumi, gas alam dan batubara; Kelas B
(Mineral Vital) seperti emas, timah, nikel, dan bauksit, dan kelas C (Mineral
Industri) seperti granit, kaolin, pasir dan bahan pembangunan lainnya. Sebagai
ilustrasi, Indonesia memiliki cadangan migas yang besar dan terbesar di kurang
lebih 60 cekungan (basins) yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan
lautan seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, Pantai Selatan Jawa, Selat
Makassar dan Celah Timor (Ditjen Migas, 1996)
Selain kedua sumberdaya tersebut diatas, yang tidak kalah pentingnya
adalah sumberdaya jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti pariwisata,
perhubungan laut, pemukiman dan sebagainya. Potensi kawasan pesisir sebagai
kawasan wisata bahari hampir tersebar di seluruh kawasan pesisir Indonesia.
2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT)
Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone
Management atau disingkat ICM) merupakan kegiatan manusia didalam
mengelola ruang, sumber daya, atau penggunaan yang terdapat pada suatu
jasa jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir,
dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment)
tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan
yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan
kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya;
guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses
pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan
mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi
masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan
dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc
Creary dalam Dahuri, 2006).
2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan
pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber
daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated)
guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana
prinsip
Dalam konteks ini Dahuri (2006) membagi keterpaduan (integration)
dalam tiga dimensi :
keterpaduan memastikan konsistensi dalam implementasi kebijakan
terhadap tindakan pengelolaan.
1) Keterpaduan Sektoral
Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,
wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada
tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat
pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai
tingkat pusat (vertical integration).
2) Keterpaduan Bidang Ilmu
Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu:
karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin
secara kompleks dan dinamis.
3) Keterpaduan Keterkaitan Ekologis
Keterkaitan ekologis (ecological linkages) sangat diperlukan dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT) mengingat bahwa
perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula
ekosistem lainnya. Seperti dipahami bersama bahwa wilayah pesisir pada
dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang,
estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak
berdiri sendiri. Disamping itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai
macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan
atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans) yang dapat mempengaruhi
suatu wilayah pesisir.
1)
Chua (2006) membagi prinsip keterpaduan menjadi tiga kategori utama,
yaitu keterpaduan sistem, fungsi dan kebijakan, dengan penjelasan sebagai
berikut ;
Keterpaduan Sistem
Keterpaduan sistem pada prinsipnya berupaya untuk menghubungkan
dimensi spasial dan temporal dari sistem sumberdaya pesisir dalam hal fisik,
seperti perubahan lingkungan, pola penggunaan sumberdaya dan sosial
ekonomi. Keterpaduan
2)
sistem melihat permasalahan mana yang relevan dalam
pengelolaan pesisir yang timbul dari lingkungan, hubungan sosial dan ekonomi.
Misalnya, membangun sebuah profil lingkungan pesisir membutuhkan
pengumpulan informasi yang cukup untuk mengintegrasikan berbagai elemen
sistem sumberdaya di wilayah tersebut.
Keterpaduan Fungsional
Keterpaduan fungsional merupakan keterpaduan dalam membagi peran
diantara para pemangku kepentingan (stakeholders) dimana dengan
terbangunnya keterpaduan peran dapat meminimalisir tumpang tindih
(overlaping) dalam pengelolaan wilayah pesisir, dengan keterpaduan fungsional
antar stakeholders juga dapat saling melengkapi. Skema zonasi pesisir yang
dari keterpaduan fungsional yang efektif. Skema ini menentukan jenis dan tingkat
kegiatan yang diperbolehkan di zona masing-masing sesuai dengan sasaran dan
tujuan ICM, dengan memberikan batasan yang ditetapkan untuk jenis-jenis
kegiatan proyek dan program yang boleh diimplementasikan.
3)
Pengalaman menunjukkan bahwa keterpaduan fungsional dan koordinasi
di tingkat lokal sangat penting dalam meminimalkan konflik dalam mencapai
kesepahaman antar stakeholders. Namun, keterpaduan fungsional perlu
dibarengi dengan alokasi sumberdaya keuangan, undang-undang, dan
pengembangan strategi pengelolaan pesisir di tingkat lokal maupun nasional.
Keterpaduan Kebijakan
2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Keterpaduan kebijakan bertujuan untuk mensinkronisasi antara kebijakan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterpaduan kebijakan membantu
merasionalisasi dan mengkoordinasikan kegiatan antar lembaga publik dan
dapat saling melengkapi antar program dan proyek. Keterpaduan Kebijakan
membuka peluang bagi strategi pengelolaan pesisir dalam menghadapi
tantangan perubahan, dengan tetap menyelaraskan terhadap tujuan
pembangunan ekonomi nasional.
Ditinjau dari perspektif manajemen, pada dasarnya ada empat unsur
pertanyaan pokok yang harus dijawab secara tepat didalam proses perencanaan
pengelolaan sumberdaya pesisir. Pertama, dimana berbagai macam kegiatan
manusia (pembangunan) harus ditempatkan diwilayah pesisir. Kedua,
bagaimana menentukan tingkat usaha yang optimal dari setiap kegiatan
pembangunan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan optimal adalah
suatu tingkat usaha kegiatan pembangunan yang secara sosial ekonomi
menguntungkan dan secara lingkungan (ekologis) masih dapat diterima. Ketiga,
”kapan” dan ”bagaimana” berbagai kegiatan pembangunan ini harus
dilaksanakan. Keempat, ”siapa” yang sebaiknya bertanggung jawab atas
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta penegakan hukum dari program
pengelolaan ini.
Suatu perencanaan pada perinsipnya merupakan skenario yang
diinginkan dan harus didefinisikan secara jelas dan tepat pada awal tahap
perencanaan. Guna mendefinisikan secara proporsional, maka pendefinisian ini
hendaknya berdasarkan pada permasalahan dan isu dari pengelolaan
sumberdaya pesisir. Meskipun permasalahan ini secara rinci bervariasi dari satu
wilayah pesisir kewilayah yang lainnya, namun secara garis besar setiap upaya
pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia akan mengahadapi empat kelompok
masalah berikut (1) degradasi ekosistem, (2) pencemaran, (3) konflik
pemanfaatan sumberdaya, dan (4) ketidak efisienan pemanfaatan sumberdaya.
Sudah barang tentu, akar dari keempat masalah pokok ini harus ditelaah secara
cermat. Menghadapi permasalahan pokok ini, maka wajar bila tujuan
pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mencapai alokasi sumberdaya secara
optimal di antara berbagai penggunaan, serta untuk memelihara kapasitas
keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem pesisir itu sendiri. Analisa
permasalahan dan definisi tujuan tersebut menjadi landasan dan tolok ukur
utama bagi tahapan berikutnya.
Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan dilokasi yang
secara ekologis sesuai, maka kelayakan biofisik (biophysical suitability) dari
wilayah pesisir harus diidentifikasikan lebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik
ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical
requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan
(dibandingkan) dengan karakteristik biofisik wilayah pesisir itu sendiri. Dengan
cara ini dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) wilayah
pesisir.
Penempatan kegiatan pembangunan dilokasi yang sesuai, tidak saja
menghindarkan kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan
(viability) ekonomi kegiatan dimaksud.
Penentuan kelayakan biofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan
teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) seperti Arc/Info dan Arc View
(Kapetsky et al, 1987). Informasi dasar, biasanya tersedia dalam bentuk thematic
maps, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biofisik ini tidak saja meliputi
karakteristik daratan dan hidrometeorologi, tetapi juga oceanografi dan biologi
Apabila kelayakan biofisik ini dipetakan dengan informasi tentang tata
guna ruang saat ini, maka ketersediaan biofisik (biophysical availability) wilayah
pesisir pun dapat pula ditentukan. Selanjutnya, jika informasi tentang potensi
penggunaan (the future uses) wilayah pesisir juga tersedia, maka tata ruang
yang dinamis pun dapat disusun.
Tahap selanjutnya adalah menentukan tingkat usaha optimal dari setiap
kegiatan yang diplot pada lokasi yang sesuai menurut tata ruang tersebut di atas.
Tahap ini merupakan tugas yang paling menantang bagi para perencana dan
pengambil keputusan. Oleh karena tahap ini harus melibatkan paling sedikit 3
pertimbangan: berbagai tujuan yang mungkin saling bertentangan, timbal balik
sektoral dan regional baik yang ada di sistem wilayah pesisir ataupun yang
diluarnya, dan dinamika waktu.
Untuk dapat menentukan kapan dan bagaimana berbagai kegiatan
pembangunan dilaksanakan, diperlukan analisis antara lain mengenai: keadaan
infrastruktur, potensi, vegetasi, potensi sumberdaya manusia, dan kemampuan
administratif daerah yang sedang dipertimbangkan. Sedangkan untuk
menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi program yang sudah ditetapkan membutuhkan
analisis tentang aspek kelembagaan dan hukum yang ada, baik yang formal
maupun tidak formal. Dengan demikian, tahapan yang terakhir pada dasarnya
merupakan suatu upaya untuk menjamin terlaksananya segenap aktivitas yang
sudah ditetapkan pada tahap sebelumnya.
Analisis mengenai keadaan sosekbud dan aspek kelembagaan minimal
meliputi : statistik kependudukan, pola mata pencaharian, aspirasi penduduk
setempat tentang pembangunan wilayah pesisir dan kualitas lingkungan, pola
hak pemilikan sumberdaya, dan manajemen sumberdaya tradisional yang
sudah dianut masyarakat pesisir secara turun temurun. Informasi ini sangat
berguna untuk menjamin bahwa penduduk setempat akan diuntungkan oleh
setiap proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayahnya. Lebih jauh,
hasil analisis ini juga dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan
dalam merancang dan membangun suatu perangkat kelembagaan (institutional
arrangement) dan metode-metode tepat guna bagi pengelolaan sumberdaya
Perencanaan pada prinsipnya merupakan suatu yang dinamis dan
adaptif. Oleh karenanya, ia harus cukup luwes untuk dapat mengatasi berbagai
ketidak menentuan dan perubahan baik yang terjadi didalam atau diluar sistem
wilayah pesisir. Dalam konteks ini, suatu program pemantauan devaluasi yang
teratur dapat meningkatkan keluwesan dan adaptifitas dari perencanaan
pengelolaan sumberdaya pesisir, melalui mekanisme umpan balik (feedback
mechanism). Melalui proses perencanaan dan pengelolaan semacam ini
pembangunan sumberdaya wilayah pesisir berkelanjutan diharapkan dapat
tercapai.
2.3 Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pembangunan
berkelanjutan memiliki tiga syarat sebagai berikut (1) Untuk sumberdaya dapat
pulih (renewable resources), laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju
regenerasi sumberdaya tersebut. (2) Untuk sumberdaya tidak dapat pulih (non
renewable resources, laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju
penemuan inovasi baru atau substitusinya. (3) Adanya kemampuan mengekang
implikasi kegiatan pemanfaatan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan
pengolahan limbah (Ginting, 2002).
Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya
merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang
batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam
yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute),
melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi
teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta
kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan
perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan
ekosistem alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk
memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.
Untuk dapat menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan ke
aspek ekologi maupun sosial, ekonomi dan budaya harus dipertimbangkan sejak
tahap perencanaan dari suatu proses pengelolaan ini, harus diidentifikasi dan
selanjutnya disinkronkan dengan kaidah-kaidah dari konsep pembangunan
berkelanjutan.
Kerangka strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan
sumberdaya pesisir terpadu dapat terlihat dalam Gambar 3 berikut :
Gambar 3. Kerangka kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan unt uk Wilayah Kelautan Timur Asia ( PEMSEA, 2003)
Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat
dimensi : (1) Dimensi ekologis, (2) Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya, (3) Dimensi
Sosial Politik, dan (4) Demensi Hukum dan Kelembagaan.
1) Dimensi Ekologis
Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti
bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat disuatu
wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak
melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah
pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) Jasa-jasa Pemerintah an
Policy and Funct ional, Sc ientific/ Expert Advice
Aspek Pemb angun an Berkelan jutan
Natural and
Man-Project and P rogram Habitat Protection,
Restoration and Management
Water Use and Supply Management
Food Security an Livelihood Management
Target State of Co asts Report ing
pendukung kehidupan, (2) Jasa-jasa kenyamanan, (3) Penyedia sumberdaya
alam, dan (4) Penerima limbah (Ortolano, 1984).
Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis
terdapat tiga prinsip yang dapat menjamin tercapainya pembangunan
berkelanjutan, yaitu : (1) Keharmonisan spasial, (2) Kapasitas asimilasi, dan (3)
Pemanfaatan berkelanjutan.
Keberadaan zona konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat
penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus
hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber
keanekaragaman hayati (biodiversity). Bergantung pada kondisi alamnya, luas
zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan
pembangunan sebaiknya antara 30 - 50 % dari luas totalnya.
Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia
sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat
pulih (renewable resources) adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi
kemampuannya untuk memulihkan dari pada suatu periode tertentu (Clark,
1988). Sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (
non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak
merusak lingkungan sekitarnya.
Ketika kita memanfaatkan wilayah (perairan) pesisir sebagai tempat untuk
pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah
tersebut tidak boleh melebihi daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem
pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi
terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi
(Krom, 1986 dalam Bengen, 2000).
2) Dimensi Sosial Ekonomi
Secara sosial - ekonomi - budaya konsep pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan
penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus
diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan
kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara
berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak
kerusakan lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan
mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat
pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemerintah
Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan
menyediakan usaha budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian
bagi para pelakunya, adalah merupakan salah satu contoh betapa relevannya
prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia.
3) Dimensi Sosial Politik
Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan bersifat
eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah
si pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin
dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta
peningkatan frekwensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan
hutan yang kurang bertanggung jawab didaerah hulu. Demikian juga dampak
pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer
yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri.
Ciri khas lain dari dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari
kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu ada semacam time lag.
Contohnya, pencemaran perairan Teluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun
1940-an. Tetapi penyakit minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an
(silent spring oleh Carson R, 1963).
Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan
suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam
ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang
upaya pencegahan dan penanggulangannya.
4) Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan
bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan
saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sembari
mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini
dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan
yang berwibawa dan konsisten. Serta dibarengi dengan penanaman etika
pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Disinilah peran sentuhan
nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan.
2.4 Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir
Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu global yang harus
dipahami dan diimplementasikan pada tingkat lokal. Pembangunan berkelanjutan
sering dipahami hanya sebagai isu-isu lingkungan, lebih dari itu pembangunan
berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan yang digambarkan oleh John
Elkington dalam bagan triple bottom line sebagai penemuan dari tiga pilar
pembangunan yaitu “profit, people, dan planet” yang merupakan tujuan
pembangunan.
Secara teoritis keterbatasan Negara berkembang dalam
mengembangkan perekonomian dapat ditelaah melalui pendekatan teori-teori
penghambat pembangunan. Implikakasi teoritis ini sangat berguna dalam
menyusun kerangka berfikir dalam melihat persoalan pemberdayaan ekonomi
masyarakat suatu daerah. Dari ketiga teori yang menghambat pembangunan,
dalam persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Bontang.
Pendekatan efek dualisme sosial dan teknologi merupakan pilihan dalam
menjelaskan kasus ini. Pilihan ini dijatuhkan mengingat keterlibatan PKT sebagai
perusahaan penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bontang yang cukup
berpengaruh. Pendekatan teori yang menghambat pembangunan ini seperti PKT
diharapkan sebagai kutub atau pusat pertumbuhan yang mampu memberikan
nilai tambah secara ekonomi bagi daerah sekitarnya.
2.4.1 Efek Dualisme Ekonomi
Salah satu dari ciri negara berkembang, perekonomiannya bersifat
dualistis. Artinya, dalam perekonomian kegiatan ekonominya dapat dibedakan
tradisional. Pada dasarnya ciri perekonomian yang bersifat dualistis tersebut,
terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang
menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi dengan semestinya.
Mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumberdaya yang
tersedia tidak digunakan secara efisien. Disamping itu penggunaan teknologi
yang terlalu tinggi di sektor modern menimbulkan kesulitan bagi negara untuk
mempercepat perkembangan kesempatan kerja di sektor modern. Kondisi inilah
yang menyebabkan masalah pengangguran yang dihadapi, dimana kesenjangan
antara tingkat pendapatan di sektor-sektor ekonomi modern dengan sektor
ekonomi tradisional.
Berbagai hambatan yang timbul dari adanya dualisme dari perekonomian
yang baru berkembang dari pengaruh sektor tradisional kepada kehidupan
masyarakat dan kegiatan perekonomian. Sebagian kegiatan ekonomi yang
bersifat dualisme, disatu sisinya menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan
cara berpikir yang juga sederhana. Konsekuensi penggunaan teknik sederhana
menyebabkan produktifitas berbagai kegiatan produktif yang rendah. Dan
konsekuensi dari cara berpikir yang sederhana menyebabkan usaha-usaha
pembaharuan sangat terbatas.
Disamping dualisme ekonomi, dualisme teknologi memiliki akibat yang
cukup serius, yaitu: membatasi sektor modern untuk membuka kesempatan
kerja. Sektor modern terdiri dari sektor industri dan dalam sektor ini teknik-teknik
berproduksi bersifat padat modal. Dalam teknik produksi yang demikian sifatnya,
proporsi antara faktor-faktor produksi relatif tetap. Makin tinggi tingkat teknologi
makin terbatas kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dengan tingkat
kompetensi yang rendah.
Selain terjadinya implikasi buruk dari dualisme teknologi terhadap
penciptaan kesempatan kerja, harus pula disadari bahwa teknologi modern
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Implikasi lainnya adalah kegiatan-kegiatan
dalam sektor modern pada umumnya mengalami perkembangan yang jauh lebih
pesat dari sektor tradisional. Hal ini berarti bahwa kesenjangan tingkat