• Tidak ada hasil yang ditemukan

Design strategy of Corporate Social Responsibility (CSR) in the economic empowerment of local communities and coastal resources management in Bontang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Design strategy of Corporate Social Responsibility (CSR) in the economic empowerment of local communities and coastal resources management in Bontang"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN

SUMBERDAYA PESISIR KOTA BONTANG

(Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)

TAUFIK HASBULLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(4)
(5)

TAUFIK HASBULLAH. Design Strategy of Corporate Social Responsibility (CSR) in the Economic Empowerment of Local Communities and Coastal Resources Management in Bontang (Case Study of PT Pupuk Kaltim). Under supervision of TRIDOYO KUSUMASTANTO, LUKY ADRIANTO and SUGENG BUDIHARSONO.

The purpose of this study is to analyze the impact of PT Pupuk Kaltim and the presence of its industrial activity on the economic growth of Bontang. To analyze the role of company’s CSR activities towards the economic empowerment on local communities and management of coastal resources in Bontang. and to develop a design strategy to economically empower local communities and coastal resources management in Bontang. Location Quotient (LQ) methods and Shift Share to observe the influence of company’s industrial activity and its economic impact on Bontang. Importance Performance Analysis (IPA) to observe the effectiveness of company’s CSR activities. To assess the sustainability of coastal areas, a modified method by measuring dimensional aspects of sustainability which are ecological, economic, socio-cultural, infrastructure and technology, as well as legal and institutional. The results of LQ analysis indicates that Bontang economic growth is highly correlated with the presence of manufacturing sector. Based on the analysis, which covers oil and gas industry, this study exceptionally concludes the presence of gas industry does have a strong role with a value greater than 1 and, coefficient of determination of 1.582 to the regional economy. Meanwhile, the shift share analysis shows that the role of regional economic structures is large enough to reach 92%. The ratio is mainly contributed by the potential of regional economic which is 46%. The results of IPA analysis show the significance of company’s CSR activities is sufficient to meet the expectations of coastal communities. Overall, the analysis concludes that the level of sustainability of coastal area in multi-dimensional value is 53.73, which lays in category of fairly continuous. Based on the analysis the sustainability of individual criterion are fairly sustainability for ecology (50.43), infrastucture and technological (60.83), and legal and institutional (55.33). Furthermore, the dimension of economic and socio-cultural are weak sustainability. The design of coastal development strategy is intended to encourage the Bontang City development sectors based on renewable coastal resources so that it can be a driving force for coastal economic activity in the future. Whereas, in particular for the CSR design strategy is to build economic self-reliance of local communities, community capacity building in integrated coastal management and resource conservation in coastal of Bontang City.

.

(6)
(7)

TAUFIK HASBULLAH. Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, LUKY ADRIANTO dan SUGENG BUDIHARSONO.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang sangat menentukan keberlanjutan pembangunan Kota Bontang yang berada di wilayah pesisir, dimana di dalamnya terdapat aktivitas ekonomi berskala besar yakni PT Pupuk Kaltim (PKT) dan PT Badak NGL (BADAK) yang perlu ditingkatkan perannya dalam pembangunan ekonomi maupun tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga mampu meningkatkan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir di Kota Bontang.

Penelitian ini dilakukan di seluruh kelurahan yang berbatasan langsung dengan pesisir Kota Bontang yaitu, Bontang Kuala, Bontang Baru, Lhok Tuan, Guntung, Berbas Pantai, Berbas Tengah, Tanjung Laut Indah, Tanjung Laut dan Kelurahan Belimbing.

Tujuan Penelitian ini adalah menganalisis keberadaan perusahaan industri pengolahan (PKT) terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Bontang, serta secara khusus menganalisis tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang, dengan mengambil studi kasus peran CSR di PKT, dimana selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun desain strategi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kota Bontang.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Location Quotient (LQ) dan Shift Share untuk melihat pengaruh keberadaan perusahaan industri pengolahan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Peran dan efektifitas program CSR terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan pesisir dianalisis menggunakan Importance Performance Analysis (IPA). Selanjutnya dalam mengkaji keberlanjutan wilayah pesisir digunakan metode Rapfish dengan mengukur lima dimensi keberlanjutan yakni, dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur dan teknologi, serta dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil analisis tersebut diatas dirumuskan menjadi desain dan strategi pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir.

(8)

masyarakat pesisir.

Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Bontang menunjukkan tingkat keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang secara multi dimensi sebesar sebesar 53,73 dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan, dimana diperoleh dari nilai dimensi ekologi sebesar 50,43, dimensi ekonomi 49,90, dimensi sosial budaya 48,18, dimensi infrastruktur dan tekhnologi sebesar 64,83 dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 55,33.

Strategi pengembangan kawasan pesisir Kota Bontang secara umum yaitu dengan mendorong perkembangan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya pesisir terbaharui sehingga dapat menjadi penggerak bagi kegiatan ekonomi pesisir. Sedangan secara khusus adalah dengan membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal, peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pesisir terpadu dan upaya pelestarian sumberdaya di wilayah pesisir Kota Bontang.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT DAN

SUMBERDAYA PESISIR KOTA BONTANG

(Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)

TAUFIK HASBULLAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Agus Heri Purnomo 2. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.

(13)

Dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT. Pupuk Kaltim)

Nama : Taufik Hasbullah

NIM : P31600029

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui :

Komisi Pembimbing,

Ketua

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota

Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi, Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

Alhamdulillah dengan segala karuniaNya disertasi berjudul “Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang (Studi Kasus PT Pupuk Kaltim)”, dapat diselesaikan.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sangat dalam kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS., sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc., Dr. Ir. Sugeng Budiharsono dan Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. (alm), sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi sejak awal penulisan proposal hingga penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih atas waktu dan masukan perbaikan disertasi disampaikan kepada Dr. Ir. Agus Heri Purnomo dan Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. sebagai penguji pada ujian tertutup serta Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. sebagai penguji pada ujian terbuka.

2. Rektor dan Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.

3. Para Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan yang telah memberikan ilmu selama penulis menjadi mahasiswa.

4. Direksi dan mantan Direksi PT Pupuk Kaltim khususnya Bapak Ir. Bowo Kuntohadi, MM., yang telah memberikan izin sehingga penulis dapat mengikuti studi ini tanpa meninggalkan tugas dan tanggung jawab penulis selama masih aktif menjadi karyawan, demikian pula teman-teman para manajer di lingkungan PT Pupuk Kaltim yang telah banyak memberikan support kepada penulis selama penyelesaian studi S3 di IPB ini.

(16)

penulis. Demikian pula saudara saya Gigih Widya W Socria dan keluarganya di Bontang dan Samarinda, yang telah memberikan support tidak pernah lelah sampai selesainya disertasi ini.

7. Kedua orang tua tercinta H. Hasbullah (Alm) dan Hj. Khuzaimah (Alm) yang telah membesarkan, mendoakan, mendidik, tiada henti sampai akhir hayatnya. Demikian pula kepada Uni Hj. Mardiah, Uni Hj. Rasyidah (alm), Uni Hj. Fauziah dan Uda H. Lukman, Uda H. Mukhlis (alm) dan Uda H. Muslim yang amat besar jasanya.

8. Dukungan dan doa keluarga tercinta: Istri Hj. Siti Adansiana (alm) beserta ananda tercinta M. Naser serta Ocha dan cucuku Zoe dan Raj, M. Yasser dan Annisa, serta istri tercinta Hj. Sandyana Samantha dan anak-anak: Echa, Alghifari dan Alfarabi.

9. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., yang sejak awal penulis masuk IPB sampai saat ini jika berjumpa senantiasa menyapa hangat dan memberikan wawasan dan motivasi yang sangat berharga.

10. Sahabatku Wakil Walikota Bontang, Bapak Isro Umargani, Ustadz. Harun Al Rasyid, SH serta Ustadz Nadif Ridwan, sahabatku Drs. Gunawan Ja’far yang senantiasa memberikan nasehat dan pencerahan. Demikian pula kepada sahabat dan teman-teman di lingkungan PT Daun Buah yaitu; Bapak Ir. Surya Madya, MM, Bapak Ir. Ezrinal Aziz, M.Sc., dan Bapak Ir. Rusli Burhan, M.Si., serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 11. Guru kehidupan dan inspiratorku Ir. H. Jamil Azzaini, M.Sc. dan Ustadz KH.

Arifin Ilham yang telah berkontribusi tak ternilai dalam kehidupan kami.

Semoga disertasi ini dapat bermanfaat dalam pengembangan masyarakat pesisir dan kelestarian sumberdaya pesisir Kota Bontang.

Bogor, Februari 2012

(17)

Penulis dilahirkan di Bukittinggi Sumatera Barat, pada tanggal 15 Februari 1953, merupakan anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari keluarga H. Hasbullah (alm) dan Hj. Khuzaimah (alm). Penulis menyelesaikan pendidikan sampai SMP di Bukittinggi dan di SMA Negeri 10 Jakarta, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya selesai S1 pada tahun 1981. Selanjutnya menyelesaikan program Magister Manajemen (S2) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1991. Pada tahun 2001 memasuki program studi (S3) Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Institut Pertanian Bogor sampai saat ini.

(18)

xix

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Kerangka Pemikiran... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1. Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir ... 11

2.1.1. Pengertian Wilayah Pesisir ... 11

2.1.2. Batasan Wilayah Pesisir ... 11

2.1.3. Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir ... 12

2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu (PWPT)... 13

2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 14

2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir... 16

2.3. Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir ... 19

2.4. Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir ... 23

2.4.1. Efek Dualisme Ekonomi... 23

2.4.2. Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole Theory) ... 25

2.4.3. Kajian-kajian Terkait Tentang Pemberdayaan Masyarakat Pesisir... 25

2.4.4. Konsep Pedesaan Wilayah Pesisir... 27

2.5. Pembiayaan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu... 28

2.5.1. Anggaran Formal... ... 29

2.5.2. Sektor Publik dan Kemitraan Swasta ... 30

2.6. Konsep dan Teori CSR... ... 31

2.6.1. Sejarah dan Evolusi Pemikiran CSR ... 34

2.6.2. Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (CSR) ... 36

2.7. Efek Dualisme Ekonomi Terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu ... ... 42

3.4.1. Data Lingkungan dan Sumber Daya Pesisir Kota Bontang ... 48

3.4.2. Data Sosial Ekonomi... 49

(19)

3.6. Metode Analisis Data ... 50

3.6.1. Analisis Kewilayahan Pesisir... 50

1) Analisis Biogeofisik Wilayah... 50

2) Analisis Ekonomi Wilayah ... 50

3.6.2. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 54

3.6.3. Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR Pesisir... 57

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1. Keadaan Wilayah Pesisir Kota Bontang ... 59

4.1.1. Sistem Lingkungan dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang... 59

4.1.2. Sistem Sosial Ekonomi Pesisir Kota Bontang ... 77

4.1.3. Gambaran Umum PKT ... 88

4.2. Analisis Ekonomi WilayahKota Bontang ... 99

4.2.1. Analisis Location Quotient... 99

4.2.2. Analisis Pendapatan Jangka Pendek ... 101

4.2.3. Analisis Shift Share ... 101

4.2.4. Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan Kota Bontang ... 102

4.3. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir... 104

4.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi... 104

4.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi... 106

4.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ... 108

4.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ... 110

4.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan ... 112

4.3.6. Status Keberlanjutan Multidimensi... 114

4.4. Analisis Desain Strategi CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir ... 117

4.4.1. Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR ... 117

1) Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) ... 117

2) Importance Performance Analysis (IPA)... 122

4.4.2. Model Pelaksanaan CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 124

1) Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir ... 124

2) Model Program Pengelolaan Wilayah Pesisir... 127

4.4.3. Desain Strategi CSR Wilayah Pesisir ... 129

4.4.4. Desain Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir ... 130

4.4.5. Desain Kebijakan CSR PKT... 132

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

5.1. Kesimpulan ... 133

5.2. Saran ... 134

DAFT AR PUSTAKA... 135

(20)

xxi

Halaman

1. Perbedaan -Persamaan CSR dan PKBL... 37

2. Lokasi Penelitian berdasarkan Jenis Wilayah ... 46

3. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 48

4. Jenis dan Sumber Data Primer... 49

5. Jenis dan Sumber Data Sekunder ... 49

6. Matriks Ringkasan Konsep Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan……… ... 54

7. Kategori Status Keberlanjutan wilayah pesisir berdasarkan Nilai Indeks Hasil Analisis MDS ... 55

8. Kondisi Perikanan Berdasarkan Gross Tonage (GT) perahu, alat tangkap dan hasil tangkapan nelayan Kota Bontang ... 61

9. Asumsi dan Prediksi Hasil Tangkapan dengan Peningkatan UpayaTangkap (Fishing Effort) ... 62

10. Presentase Penutupan dan Jenis Seagrass di perairan sekitar Bontang Kuala dan Tanjung Limau ... 64

11. Potensi Lahan Budidaya Rumput Laut ... 65

12. Jenis dan Kondisi Mangrove di Sungai Guntung ... 66

13. Jenis dan Kondisi Mangrove di Sungai Bontang Kuala ... 67

14. Percent Coverage Komponen Biotik dan Abiotik di Setiap Stasiun Terumbu Karang ... 69

15. Nilai r-k-s Berdasarkan Morfologi Karang... 71

16. Kegiatan Pariwisata di Pesisir Kota Bontang ... 74

17. Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan 2010 ... 78

18. Luas wilayah dan kepadatan penduduk Kecamatan 2010 ... 78

19. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan Migas atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (%) 2006-2009 ... 81

20. Kontribusi Sub Sektor Perikanan dan Industri Migas Bagi PDRB atas Dasar Harga Konstan Kota Bontang Tahun 2006-2009 ... 81

(21)

22. Keadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan tiap Kecamatan di

Wilayah Kota Bontang ... 85 23. Keadaan Prasarana dan Sarana Peribadatan tiap Kecamatan di

Wilayah Kota Bontang ... 85 24. Keadaan Prasarana dan Sarana Transportasi di Wilayah Kota

Bontang... 86 25. Perkembangan Industri Pengolahan dan PDRB Bontang Periode

2005-2009 dengan Harga Konstan Tahun 2000 (dalam juta)... 99 26. Perbandingan Hasil Perhitungan LQ Pada Industri Pengolahan

Dengan Migas dan Tanpa Migas di Bontang Periode 2005-2009 ... 100 27. Hasil Perhitungan Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Sektor

Industri Pengolahan di Bontang Periode 2005-2009 (dalam juta)... 101 28. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Bontang 2005-2009 (dalam

(22)

xxiii

Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 9 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995) ... 12 3. Kerangka Kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan (PEMSEA,

2003) ... 20 4. AcuanPelaksanaan CSR berdasarkan ISO 26000 ... 38 5. Scematic overview of ISO 26000 ... 39 6. Peta Lokasi Penelitian ... 45 7. Tahapan Penelitian ... 47 8. Importance Performance Analysis... 58 9. Peta StasiunTerumbu Karang ... 70 10. Bagan Struktur Organisasi PKT ... 91 11. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Ekologis Bontang ... 105 12. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Ekologis Bontang ... 106 13. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Ekonomi Bontang ... 107 14. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Ekonomi Bontang... 108 15. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Sosial Budaya Bontang... 109 16. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Sosial Budaya Bontang... 109 17. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi

wilayah pesisir Bontang ... 111 18. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi

wilayah pesisir Bontang ... 111 19. Hasil Analisis MDS terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan

wilayah pesisir Bontang ... 113 20. Hasil Analisis Leverage terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan

wilayah pesisir Bontang ... 113 21. Diagram Layang Perbandingan Hasil Analisis MDS terhadap tingkat

(23)
(24)

xxv

Halaman 1. Bagan Struktur Organisasi PKT ... 141 2. Hasil Tabulasi Score Indikator Keberlanjutan Sumberdaya Wilayah

Pesisir... 142 3. Hasil Tabulasi Responden tentang Persepsi Pelaksanaan CSR PKT ... 144 4. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Kinerja CSR PKT... 157 5. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Tingkat

Kepentingan CSR PKT ... 158 6. Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja

CSR PKT... 159 7. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Kinerja Program

CSR PKT... 160

8. Hasil Tabulasi Persepsi Responden terhadap Tingkat

Kepentingan Program CSR PKT ... 161 9. Hasil Perbandingan Harapan Masyarakat Terhadap Kinerja Program

(25)
(26)

1.1. Latar Belakang

Mengembangkan ekonomi masyarakat pesisir memiliki tingkat kesulitan

yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Hal ini disebabkan

karena kawasan pesisir memiliki karakteristik sumberdaya alam yang berbeda

yang selanjutnya mempengaruhi tindakan dan aksi pelaku ekonominya. Jadi

kondisi alam membuat perbedaan masyarakat dalam pandangan, sikap, dan

tindakan mereka dalam hal mengembangkan wilayah pesisir. Perbedaan cara

pandang inilah yang seharusnya dipahami pengambil keputusan yang terkait

dengan pembangunan kawasan pesisir. Pemahaman ini sangat diperlukan

supaya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir tepat arah, sasaran, guna dan

manfaat.

Chua dan Pauly (1989) mengelompokkan degradasi dan marjinalisasi

kawasan yang terjadi di Indonesia disebabkan (1) Sebagian besar sumberdaya

hayati pesisir mengalami eksploitasi lebih dan ekosistem pesisir mengalami

tekanan berat; (2) Terjadi degradasi lingkungan karena kerusakan dan polusi dari

laut dan darat; (3) Sebagian besar penduduk hidup dalam kondisi miskin,

sementara proses pemiskinan berlangsung terus dan di pihak lain makin terjadi

ketimpangan pendapatan; (4) Instansi yang ada tidak dapat menjawab

masalah-masalah yang muncul; (5) Penegakan hukum tidak berjalan dengan baik; (6)

Sangat kurang apresiasi publik terhadap pengelolaan yang berkelanjutan; (7)

Sangat kurang pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi; (8) Sangat

rendah kapasitas masyarakat, meskipun potensi yang ada cukup besar.

Kota Bontang di Propinsi Kalimantan Timur memiliki luas wilayah 49.757

Ha, dimana sekitar 34.977 Ha (70,29%) diantaranya merupakan wilayah pesisir

atau laut, sehingga karakteristik masyarakat Kota Bontang tentunya sangat

dipengaruhi oleh kehidupan pesisir dan laut. Masyarakat Kota Bontang

merupakan masyarakat heterogen yang terbentuk secara genekologis

(27)

penghidupan) dari berbagai etnis. Tercatat hampir 60-70% penduduknya adalah

pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan (etnis Bugis).

Dengan dibukanya Kota Bontang sebagai kawasan industri yang

digerakan oleh industri pengolahan gas alam cair PT. Badak NGL (BADAK) dan

PT. Pupuk Kaltim (PKT) menjadi faktor pendorong bagi para pendatang untuk

masuk wilayah ini dengan tujuan utama untuk mendapatkan pekerjaan. Pada

umumnya para pendatang yang memiliki pendidikan dan ketrampilan yang cukup

akan direspon pasar kerja dengan hasil yang lebihbaik.

Kebutuhan tenaga kerja dengan spesifikasi keterampilan tertentu telah

menjadi persoalan tersendiri di Kota Bontang. Kondisi ini dapat dilihat dari

penyerapan tenaga kerja untuk industri pengilangan gas alam cair dan industri

pupuk banyak menggunakan tenaga kerja dari luar Kota Bontang, dimana

BADAK dan PKT mensyaratkan kualitas yang tinggi dalam penyerapan tenaga

kerja yang belum dapat dipenuhi tenaga kerja lokal. Dalam lima tahun terakhir

yakni tahun 2006 sampai 2010, tercatat hanya 427 orang yang diterima sebagai

karyawan tetap PKT, terdiri dari 46% tenaga kerja lokal dan 54% berasal dari luar

Kota Bontang, sementara rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 2,98% per

tahun atau 3.120 jiwa per tahun. Dengan keberadaan dua perusahaan besar ini

adalah wajar jika jumlah penduduk Kota Bontang senantiasa bertambah.

Pembangunan kawasan industri dan kegiatan operasionalnya di wilayah

pesisir Kota Bontang juga menyebabkan perubahan ekologis yang memberikan

tekanan signifikan terhadap ekosistem wilayah pesisir, dimana pada akhirnya

dapat mengubah struktur pemanfaatan ruang pesisir Kota Bontang. Tekanan

terhadap sumberdaya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan

di wilayah tersebut serta rendahnya pemahaman akan upaya konservasi.

Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran setan (vicious circle) dimana penduduk

yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir. Namun

penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan

lingkungan. Salah satu aspek pengelolaan wilayah pesisir yang baik adalah

dengan mencarikan alternatif pendapatan sehingga mengurangi tekanan

(28)

Kondisi ini menuntut agar Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau

Corporate Social Responsibility (CSR) wajib lebih berperan dalam pembangunan

di Kota Bontang, khususnya dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat serta

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu di Kota Bontang.

CSR adalah upaya yang wajib dilakukan oleh suatu perusahaan untuk

mempertanggungjawabkan dampak operasionalnya terhadap pembangunan

yang berkelanjutan (sustainable development), dimana konsep pembangunan

berkelanjutan tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi (economic growth),

kelestarian terhadap lingkungan (environmental protection), dan kesetaraan

sosial (social equity). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan

ekonomi semata (profit), melainkan juga memiliki kepedulian terhadap

kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Pelaksanaan CSR di Indonesia dipayungi oleh Undang-Undang No. 40

tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Didalam Undang-Undang ini pada pasal

74 dinyatakan bahwa semua Perseroan Terbatas wajib hukumnya melaksanakan

tanggung jawab sosial (CSR), sehingga CSR menjadi bagian dari rencana

penganggaran perusahaan.

Sementara itu perusahaan negara berbentuk Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) memiliki acuan pelaksanaan tanggung jawab sosial berdasarkan

Undang-Undang BUMN Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal 88 ayat (1) UU No. 19

Tahun 2003 jo. Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007.

Didalam ketentuan tersebut semua BUMN yang berada dibawah pengelolaan

pemerintahan Indonesia wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Bina

Lingkungan (PKBL), dimana dananya adalah alokasi dari sisa keuntungan

perusahaan sebesar maksimal 2% untuk masing-masing kegiatan.

Dengan dasar pemikiran seperti yang telah diterangkan diatas, maka

perlu dilakukan suatu kajian tentang ”Desain Strategi Tanggung Jawab Sosial

Perusahaan dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya

(29)

1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Potensi yang begitu besar dimiliki Kota Bontang, baik sumberdaya alam

yang dapat pulih maupun yang tidak dapat pulih, merupakan tumpuan

pembangunan Kota Bontang dimasa yang akan datang, dimana segenap aktifitas

serta permukimannya dengan derap pembangunan yang sangat intensif berada

di kawasan pesisir. Kenyataan menunjukkan bahwa besarnya tekanan penduduk

dengan dinamika sosial ekonomi dan tuntutan pemerintah daerah untuk

memperoleh sumber dana bagi peningkatan akselerasi pembangunan telah

memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi lingkungan hidup dan

sumberdaya alam yang menjadi modal pembangunan masa kini dan masa yang

akan datang.

Isu dan permasalahan di pesisir Kota Bontang tidak jauh beda dengan

permasalahan kota-kota pesisir lainnya di Indonesia. Permasalahan yang ada

berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir oleh manusia. Pemanfaatan

sumberdaya ini selalu menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi fisik pesisir

Kota Bontang. Kerusakan fisik lingkungan antara lain disebabkan oleh adanya

aktivitas di darat dan aktivitas di laut. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas

di darat adalah pencemaran akibat limbah buangan industri dan rumahtangga,

sedangkan aktivitas di laut adalah adanya abrasi pantai, sedimentasi di dasar

perairan pantai, dan kerusakan ekosistem terumbu karang serta ekosistem

pesisir lainnya.

Kerusakan fisik lingkungan ini tidak terlepas dari adanya konflik

pemanfaatan ruang dari berbagai kegiatan yang ada di pesisir Kota Bontang. Di

kawasan pesisir Kota Bontang, intensitas penggunaan atau pemanfaatan ruang

cukup tinggi sehingga berpeluang timbulnya masalah yang berakibat negatif bagi

keberlanjutan keberadaan sumberdaya alam pesisir Kota Bontang.

Hasil penelitian UGM (2001), Sucofindo (2001), UNDIP (2002) dan IPB

(2010) menunjukkan adanya pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat potensial

seperti mangrove dan terumbu karang, serta konflik penggunaan ruang dan

sumberdaya di kawasan pesisir dan laut kota Bontang, yang pada akhirnya

(30)

Diperkirakan sekitar 100 Ha lahan mangrove telah beralih fungsi menjadi

kawasan pabrik industri PKT sejak tahun 1979, disamping itu dari pengamatan

transect line terumbu karang sepanjang 32 km di areal pesisir PKT, hanya sekitar

5 km (15%) saja yang berada dalam kondisi normal, selebihnya 21 km (66%)

dalam keadaan rusak dan 6 km (19%) dalam kondisi transisi, hal ini terjadi akibat

aktivitas dredging dan dumping sekitar 247.000 m3

Permasalahan yang berkembang di kawasanpesisirkotaBontang, antara

lain (Sucofindo, 2001; UGM, 2001; UNDIP, 2002; IPB, 2010) :

pasir laut pada saat

pembangunan dermaga dan pabrik PKT.

 Kawasan pesisir dan laut Kota Bontang saat ini dimanfaatkan untuk berbagai

kegiatan yaitu industri (PKT, BADAK, PT. Indominco), kawasan lindung

(Taman Nasional Kutai), permukiman, pertambakan, budidaya laut, alur

pelayaran, pelabuhan, daerah penangkapan ikan dan pariwisata. Kaitannya

dengan penggunaan ruang oleh industri besar yang ada diwilayah ini, belum

ada kajian yang membahas tentang kontribusi industri terhadap masyarakat

dan sumberdaya pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung.

 Terjadinya degradasi lingkungan di beberapa lokasi di Kota Bontang antara

lain : kerusakan terumbu karang, abrasi laut yang menyebabkan pulau-pulau

kecil menjadi berkurang luasannya, misalnya Pulau Beras Basah yang

menjadi andalan pariwisata Kota Bontang, hutan mangrove yang dialihkan

penggunaannya untuk pertambakan dan pemanfaatan lainnya.

 Intensitas aktivitas industri yang terus meningkat di Kota Bontang terutama

industri pengolahan berskala besar seperti PKTdanBADAK yang membuang

residu/limbah pabrik ke laut, mengakibatkan terjadinya pencemaran di

wilayah pesisir dan lautan.

 Masih dominannya sektor industri migas yang mengandalkan eksploitasi

sumberdaya tak terbaharui (non-renewable resources) sementara

sektor-sektor yang berkaitan dengan kawasan pesisir dan laut masih tertinggal.

 Adanya rencana pengembangan Kota Bontang yaitu perluasan kawasan

pesisir yang mencakup Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kertanegara,

rencana penggunaan lahan di wilayah perluasan Kota Bontang, rencana

(31)

kawasan lindung, kawasan budidaya, pariwisata, perikanan tangkap, industri,

pemukiman. Rencana tersebut selama ini belum didukung dengan kajian

ilmiah penetapan kawasan. Untuk itulah pemerintah Kota Bontang melalui

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) bekerjasama dengan

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB telah menerbitkan

Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah

(RTRW) yang mengatur hal tersebut.

 Masih tingginya tuntutan dan harapan masyarakat terhadap PKTterutama di

wilayah bufferzone. Hal tersebut perlu direspon secara proporsional oleh

perusahaan sehingga tercipta suasana kondusif. Suasana yang kondusif

sangat diperlukan perusahaan untuk bisa melakukan kegiatan produksi yang

berkelanjutan.

 Adanya pergerseran kepemilikan dunia usaha, dari kepemilikan pribadi

menjadi kepemilikan publik. Secara tidak langsung hal ini bermakna

perusahaan tidak lagi hanya sebatas institusi bisnis, tetapi telah bergeser

menjadi institusi sosial. Dunia usaha tidak hanya bertugas mencari

keuntungan, tetapi juga harus berperan menjadi institusi yang memiliki

tanggungjawab sosial.

 Kesadaran akan pentingnya CSR menjadi trend global seiring dengan

semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk

yang ramah lingkungan dan produksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah

sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

 Trend global lainnya di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang

memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan

program CSR.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut diatas,

maka rumusan masalah penelitian ini adalah :

1) Bagaimanaperan PKTterhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan

pengelolaan sumberdaya pesisir di Kota Bontang ?

2) Bagaimana tingkat keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah

(32)

3) Bagaimana efektifitas dan keberlangsungan program CSR PKT di Kota

Bontang ?

4) Bagaimana strategi CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan

pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan permasalahan yang ada, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Menganalisis peran PKT terhadap peningkatan perekonomian Kota Bontang

2) Menganalisis tingkat keberlanjutan (sustainability) dalam pengelolaan wilayah

pesisir di Kota Bontang.

3) Merumuskan strategi CSR PKT dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat

dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang

1.4. Manfaat Penelitian

1) Masukan bagi pemerintah Kota Bontang, bagi proses perencanaan dan

pengambil kebijakan dalam kaitannya kontribusi industri-industri besar yang

ada di Kota Bontang terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat dan

sumberdaya pesisir.

2) Masukan bagi pengambil kebijakan di lingkungan PKT, khususnya dalam

implementasi program CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan

sumberdaya pesisir Kota Bontang.

1.5. Kerangka Pemikiran

Kebijakan pemerintah Kota Bontang berdasarkan arahan pemanfaatan

ruang khususnya di wilayah pesisir lebih diarahkan pada pengembangan industri

khususnya pengembangan industri PKT.Karena perusahaan besar tersebut

diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap terlaksananya pengelolaan

wilayah pesisir terpadu, dan peningkatan perekonomian Kota Bontang.

Saat ini dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Kota

(33)

yang bermukim di wilayah pesisir termasuk yang mempunyai mata pencaharian

nelayan maupun petani ikan. Disatu sisi, perusahaan besar semakin berkembang

dan disisi lain masyarakat disekitarnya semakin termarginalkan. Hal ini

disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat pesisir dan semakin

langkanya sumberdaya pesisir yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Oleh

karena itu perlu upaya yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan yang

dihadapi oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir Kota Bontang.

Kegiatan usaha PKT banyak bersinggungan dengan beragam

stakeholders, khususnya masyarakat dan lingkungan di sekitar lokasi pabrik yaitu

wilayah pesisir Kota Bontang. Terkait hal tersebut, perusahaan memandang dan

sudah berkomitmen bahwa program CSR sebagai kegiatan yang sangat penting

baik bagi kepentingan perusahaan, lingkungan maupun masyarakat itu sendiri.

Untuk merealisasikan upaya tersebut perlu dilakukan analisis seberapa

besar kontribusi ekonomi dan tehnis dari PKT terhadap pengelolaan wilayah

pesisir terpadu, sehingga kedepan dapat dibuat suatu perencanaan CSR yang

terpadu sehingga baik bantuan yang diberikan berupa hibah, modal kerja,

pelatihan maupun fasilitas yang dibutuhkan dalam pemberdayaan ekonomi

masyarakat dan pengelolaan wilayah pesisir Kota Bontang dapat dilakukan

secara terpadu dan berkelanjutan.

Program-program tersebut semuanya didasarkan pada potensi daerah

serta kebijakan pemerintah Kota Bontang. Adapun kerangka pemikiran penelitian

mengenai tanggung jawa bsosial (CSR) PKT dalam pemberdayaan ekonomi

masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang.

Dalam kerangka pikir penelitian ini, diawali dengan mengidentifikasi

kondisi potensi sumberdaya wilayah pesisir Kota Bontang, kemudian dilanjutkan

melihat kondis iperusahaan yang ada (khususnya PKT). Dalam proses kegiatan

perusahaan (PKT) kaitannya dengan sumberdaya wilayah pesisir akan dikaji baik

dari aspek sumberdaya pesisirnya maupun dari aspek ekonominya sehingga

diharapkan dari aspek ekonomi dapat memberikan kontribusi terhadap PAD,

(34)

masyarakat di sekitarnya serta dari aspek sumberdaya pesisir dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Kajian dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana penerapan

tanggung jawab sosial (CSR) perusahaan (PKT) terhadap pemberdayaan

ekonomi masyarakat pesisir, sehingga diharapkan dapat meningkatkan tingkat

kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat disekitarnya dan sumberdaya

pesisir tetap terjaga kelestariannya. Untuk itu perlu merumuskan suatu desain

strategi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir

khususnya di Kota Bontang. Secara lengkap kerangka fikir penelitian ini disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1.Kerangka Pemikiran

(35)

2.1 Pengertian dan Batasan Wilayah Pesisir 2.1.1 Pengertian Wilayah Pesisir

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah

pertemuan antara darat dan laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian

daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan kearah laut

wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan

hutan dan perencanaan (Soegiarto, 1976; Dahuri, 1996).

2.1.2 Batasan Wilayah Pesisir

Dahuri (1996), mengemukakan bahwa pertanyaan yang seringkali muncul

dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas

dari suatu wilayah pesisir (coastal zone). Sampai sekarang belum ada definisi

wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di

dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara wilayah

daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu

wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas yang

sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap

garis pantai (cross-shore).

Berdasarkan kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu

wilayah pesisir dapat ditetapkan sebanyak dua macam, yaitu batas untuk wilayah

perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation

zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Wilayah

perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan (hulu) apabila terdapat

kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara

nyata (significant) terhadap lingkungan dan sumberdaya di pesisir. Oleh karena

itu, batas wilayah pesisir kearah darat untuk kepentingan perencanaan (Planning

(36)

pesisir dari DAS Citarum. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir

menetapkan dua batasan pengelolaannya (wilayah perencanaan dan wilayah

pengaturan), maka wilayah perencanaan selalu lebih luas dari pada wilayah

pengaturan (Dahuri, 1996). Batas wilayah pesisir menurut Pernetta dan Milliman

(1995) disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995)

2.1.3 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir

Dengan garis pantai terpanjang kedua didunia setelah Kanada, yaitu

81.000 km serta wilayah laut yang luasnya mencapai 5,8 juta km2

Kelompok pertama, sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan dapat

pulih mencakup ekosistem mangrove, wilayah pesisir, rumput laut dan padang

lamun, serta sumberdaya perikanan, yang secara potensial sangat besar dan , maka tidak

mengherankan bahwa secara potensial, Indonesia memiliki sumberdaya alam

pesisir dan lautan yang sangat besar. Secara garis besar, potensi pembangunan

kelautan Indonesia tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelompok besar yaitu

(1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tidak dapat

pulih (non-renewable resources) dan (3) jasa-jasa lingkungan (evironmental

(37)

beragam jenisnya. Sebagai ilustrasi, Indonesia memiliki luas ekosistem

mangrove sebesar 2,4 juta km2 dan wilayah pesisir seluas 75.000 km2

Berbagai jenis sumberdaya hayati laut beserta perairan pesisir yang luas

sangat potensial untuk dikembangkan melalui usaha mariculture (budidaya laut).

Usaha tersebut dapat digolongkan menjadi dua kegiatan, yaitu budidaya tambak

(brackish water ponds) dan budidaya laut (mariculture).

(Dahuri,

et.al., 1996). Sementara itu, di wilayah perairan Indonesia terdapat sedikitnya 7

marga dan 13 spesies lamun (seagrass) dengan sebaran mencakup di wilayah

perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Irian jaya.

Sedangkan untuk sumberdaya perikanan, negara kita sudah lama diakui sebagai

salah satu negara yang memiliki potensi perikanan terbesar di dunia. Data

terakhir menunjukkan bahwa potensi lestari sumberdaya perikanan nasional

adalah 5,649 juta ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan sebesar 40% (FAO,

1997).

Kelompok kedua, sumberdaya alam yang tidak dapat pulih, yang meliputi

seluruh jenis mineral dan gas, dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Kelas A

(Mineral Strategis ) seperti minyak bumi, gas alam dan batubara; Kelas B

(Mineral Vital) seperti emas, timah, nikel, dan bauksit, dan kelas C (Mineral

Industri) seperti granit, kaolin, pasir dan bahan pembangunan lainnya. Sebagai

ilustrasi, Indonesia memiliki cadangan migas yang besar dan terbesar di kurang

lebih 60 cekungan (basins) yang sebagian besar terdapat di wilayah pesisir dan

lautan seperti Kepulauan Natuna, Selat Malaka, Pantai Selatan Jawa, Selat

Makassar dan Celah Timor (Ditjen Migas, 1996)

Selain kedua sumberdaya tersebut diatas, yang tidak kalah pentingnya

adalah sumberdaya jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti pariwisata,

perhubungan laut, pemukiman dan sebagainya. Potensi kawasan pesisir sebagai

kawasan wisata bahari hampir tersebar di seluruh kawasan pesisir Indonesia.

2.2 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT)

Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone

Management atau disingkat ICM) merupakan kegiatan manusia didalam

mengelola ruang, sumber daya, atau penggunaan yang terdapat pada suatu

(38)

jasa jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir,

dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assessment)

tentang kawasan pesisir beserta sumber daya alam dan jasa jasa lingkungan

yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan

kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya;

guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses

pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan

mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi

masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan

dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc

Creary dalam Dahuri, 2006).

2.2.1. Prinsip Keterpaduan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan

pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber

daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated)

guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana

prinsip

Dalam konteks ini Dahuri (2006) membagi keterpaduan (integration)

dalam tiga dimensi :

keterpaduan memastikan konsistensi dalam implementasi kebijakan

terhadap tindakan pengelolaan.

1) Keterpaduan Sektoral

Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas,

wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada

tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat

pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai

tingkat pusat (vertical integration).

2) Keterpaduan Bidang Ilmu

Keterpaduan dari sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa didalam

pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan

interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu:

(39)

karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial yang terjalin

secara kompleks dan dinamis.

3) Keterpaduan Keterkaitan Ekologis

Keterkaitan ekologis (ecological linkages) sangat diperlukan dalam

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (PWPT) mengingat bahwa

perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula

ekosistem lainnya. Seperti dipahami bersama bahwa wilayah pesisir pada

dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem (mangrove, terumbu karang,

estuaria, pantai berpasir, dan lainnya) yang satu sama lain saling terkait, tidak

berdiri sendiri. Disamping itu, wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai

macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan

atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans) yang dapat mempengaruhi

suatu wilayah pesisir.

1)

Chua (2006) membagi prinsip keterpaduan menjadi tiga kategori utama,

yaitu keterpaduan sistem, fungsi dan kebijakan, dengan penjelasan sebagai

berikut ;

Keterpaduan Sistem

Keterpaduan sistem pada prinsipnya berupaya untuk menghubungkan

dimensi spasial dan temporal dari sistem sumberdaya pesisir dalam hal fisik,

seperti perubahan lingkungan, pola penggunaan sumberdaya dan sosial

ekonomi. Keterpaduan

2)

sistem melihat permasalahan mana yang relevan dalam

pengelolaan pesisir yang timbul dari lingkungan, hubungan sosial dan ekonomi.

Misalnya, membangun sebuah profil lingkungan pesisir membutuhkan

pengumpulan informasi yang cukup untuk mengintegrasikan berbagai elemen

sistem sumberdaya di wilayah tersebut.

Keterpaduan Fungsional

Keterpaduan fungsional merupakan keterpaduan dalam membagi peran

diantara para pemangku kepentingan (stakeholders) dimana dengan

terbangunnya keterpaduan peran dapat meminimalisir tumpang tindih

(overlaping) dalam pengelolaan wilayah pesisir, dengan keterpaduan fungsional

antar stakeholders juga dapat saling melengkapi. Skema zonasi pesisir yang

(40)

dari keterpaduan fungsional yang efektif. Skema ini menentukan jenis dan tingkat

kegiatan yang diperbolehkan di zona masing-masing sesuai dengan sasaran dan

tujuan ICM, dengan memberikan batasan yang ditetapkan untuk jenis-jenis

kegiatan proyek dan program yang boleh diimplementasikan.

3)

Pengalaman menunjukkan bahwa keterpaduan fungsional dan koordinasi

di tingkat lokal sangat penting dalam meminimalkan konflik dalam mencapai

kesepahaman antar stakeholders. Namun, keterpaduan fungsional perlu

dibarengi dengan alokasi sumberdaya keuangan, undang-undang, dan

pengembangan strategi pengelolaan pesisir di tingkat lokal maupun nasional.

Keterpaduan Kebijakan

2.2.2. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Keterpaduan kebijakan bertujuan untuk mensinkronisasi antara kebijakan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keterpaduan kebijakan membantu

merasionalisasi dan mengkoordinasikan kegiatan antar lembaga publik dan

dapat saling melengkapi antar program dan proyek. Keterpaduan Kebijakan

membuka peluang bagi strategi pengelolaan pesisir dalam menghadapi

tantangan perubahan, dengan tetap menyelaraskan terhadap tujuan

pembangunan ekonomi nasional.

Ditinjau dari perspektif manajemen, pada dasarnya ada empat unsur

pertanyaan pokok yang harus dijawab secara tepat didalam proses perencanaan

pengelolaan sumberdaya pesisir. Pertama, dimana berbagai macam kegiatan

manusia (pembangunan) harus ditempatkan diwilayah pesisir. Kedua,

bagaimana menentukan tingkat usaha yang optimal dari setiap kegiatan

pembangunan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan optimal adalah

suatu tingkat usaha kegiatan pembangunan yang secara sosial ekonomi

menguntungkan dan secara lingkungan (ekologis) masih dapat diterima. Ketiga,

”kapan” dan ”bagaimana” berbagai kegiatan pembangunan ini harus

dilaksanakan. Keempat, ”siapa” yang sebaiknya bertanggung jawab atas

pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta penegakan hukum dari program

pengelolaan ini.

Suatu perencanaan pada perinsipnya merupakan skenario yang

(41)

diinginkan dan harus didefinisikan secara jelas dan tepat pada awal tahap

perencanaan. Guna mendefinisikan secara proporsional, maka pendefinisian ini

hendaknya berdasarkan pada permasalahan dan isu dari pengelolaan

sumberdaya pesisir. Meskipun permasalahan ini secara rinci bervariasi dari satu

wilayah pesisir kewilayah yang lainnya, namun secara garis besar setiap upaya

pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia akan mengahadapi empat kelompok

masalah berikut (1) degradasi ekosistem, (2) pencemaran, (3) konflik

pemanfaatan sumberdaya, dan (4) ketidak efisienan pemanfaatan sumberdaya.

Sudah barang tentu, akar dari keempat masalah pokok ini harus ditelaah secara

cermat. Menghadapi permasalahan pokok ini, maka wajar bila tujuan

pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mencapai alokasi sumberdaya secara

optimal di antara berbagai penggunaan, serta untuk memelihara kapasitas

keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem pesisir itu sendiri. Analisa

permasalahan dan definisi tujuan tersebut menjadi landasan dan tolok ukur

utama bagi tahapan berikutnya.

Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan dilokasi yang

secara ekologis sesuai, maka kelayakan biofisik (biophysical suitability) dari

wilayah pesisir harus diidentifikasikan lebih dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik

ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical

requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan

(dibandingkan) dengan karakteristik biofisik wilayah pesisir itu sendiri. Dengan

cara ini dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) wilayah

pesisir.

Penempatan kegiatan pembangunan dilokasi yang sesuai, tidak saja

menghindarkan kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan

(viability) ekonomi kegiatan dimaksud.

Penentuan kelayakan biofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan

teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) seperti Arc/Info dan Arc View

(Kapetsky et al, 1987). Informasi dasar, biasanya tersedia dalam bentuk thematic

maps, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biofisik ini tidak saja meliputi

karakteristik daratan dan hidrometeorologi, tetapi juga oceanografi dan biologi

(42)

Apabila kelayakan biofisik ini dipetakan dengan informasi tentang tata

guna ruang saat ini, maka ketersediaan biofisik (biophysical availability) wilayah

pesisir pun dapat pula ditentukan. Selanjutnya, jika informasi tentang potensi

penggunaan (the future uses) wilayah pesisir juga tersedia, maka tata ruang

yang dinamis pun dapat disusun.

Tahap selanjutnya adalah menentukan tingkat usaha optimal dari setiap

kegiatan yang diplot pada lokasi yang sesuai menurut tata ruang tersebut di atas.

Tahap ini merupakan tugas yang paling menantang bagi para perencana dan

pengambil keputusan. Oleh karena tahap ini harus melibatkan paling sedikit 3

pertimbangan: berbagai tujuan yang mungkin saling bertentangan, timbal balik

sektoral dan regional baik yang ada di sistem wilayah pesisir ataupun yang

diluarnya, dan dinamika waktu.

Untuk dapat menentukan kapan dan bagaimana berbagai kegiatan

pembangunan dilaksanakan, diperlukan analisis antara lain mengenai: keadaan

infrastruktur, potensi, vegetasi, potensi sumberdaya manusia, dan kemampuan

administratif daerah yang sedang dipertimbangkan. Sedangkan untuk

menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas pelaksanaan,

pemantauan, dan evaluasi program yang sudah ditetapkan membutuhkan

analisis tentang aspek kelembagaan dan hukum yang ada, baik yang formal

maupun tidak formal. Dengan demikian, tahapan yang terakhir pada dasarnya

merupakan suatu upaya untuk menjamin terlaksananya segenap aktivitas yang

sudah ditetapkan pada tahap sebelumnya.

Analisis mengenai keadaan sosekbud dan aspek kelembagaan minimal

meliputi : statistik kependudukan, pola mata pencaharian, aspirasi penduduk

setempat tentang pembangunan wilayah pesisir dan kualitas lingkungan, pola

hak pemilikan sumberdaya, dan manajemen sumberdaya tradisional yang

sudah dianut masyarakat pesisir secara turun temurun. Informasi ini sangat

berguna untuk menjamin bahwa penduduk setempat akan diuntungkan oleh

setiap proyek pembangunan yang akan berlangsung di wilayahnya. Lebih jauh,

hasil analisis ini juga dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan

dalam merancang dan membangun suatu perangkat kelembagaan (institutional

arrangement) dan metode-metode tepat guna bagi pengelolaan sumberdaya

(43)

Perencanaan pada prinsipnya merupakan suatu yang dinamis dan

adaptif. Oleh karenanya, ia harus cukup luwes untuk dapat mengatasi berbagai

ketidak menentuan dan perubahan baik yang terjadi didalam atau diluar sistem

wilayah pesisir. Dalam konteks ini, suatu program pemantauan devaluasi yang

teratur dapat meningkatkan keluwesan dan adaptifitas dari perencanaan

pengelolaan sumberdaya pesisir, melalui mekanisme umpan balik (feedback

mechanism). Melalui proses perencanaan dan pengelolaan semacam ini

pembangunan sumberdaya wilayah pesisir berkelanjutan diharapkan dapat

tercapai.

2.3 Strategi Pembangunan Berkelanjutan (Strategy of Development Sustainability) dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi

kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Pembangunan

berkelanjutan memiliki tiga syarat sebagai berikut (1) Untuk sumberdaya dapat

pulih (renewable resources), laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju

regenerasi sumberdaya tersebut. (2) Untuk sumberdaya tidak dapat pulih (non

renewable resources, laju pemanfaatan sumberdaya tidak melampaui laju

penemuan inovasi baru atau substitusinya. (3) Adanya kemampuan mengekang

implikasi kegiatan pemanfaatan, termasuk di dalamnya adalah kemampuan

pengolahan limbah (Ginting, 2002).

Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya

merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang

batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam

yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute),

melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi

teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta

kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan

perkataan lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan

ekosistem alamiah sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk

memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.

Untuk dapat menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan ke

(44)

aspek ekologi maupun sosial, ekonomi dan budaya harus dipertimbangkan sejak

tahap perencanaan dari suatu proses pengelolaan ini, harus diidentifikasi dan

selanjutnya disinkronkan dengan kaidah-kaidah dari konsep pembangunan

berkelanjutan.

Kerangka strategi pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan

sumberdaya pesisir terpadu dapat terlihat dalam Gambar 3 berikut :

Gambar 3. Kerangka kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan unt uk Wilayah Kelautan Timur Asia ( PEMSEA, 2003)

Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat

dimensi : (1) Dimensi ekologis, (2) Dimensi Sosial-Ekonomi-Budaya, (3) Dimensi

Sosial Politik, dan (4) Demensi Hukum dan Kelembagaan.

1) Dimensi Ekologis

Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan berarti

bagaimana mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat disuatu

wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir agar total dampaknya tidak

melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk wilayah

pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia: (1) Jasa-jasa Pemerintah an

Policy and Funct ional, Sc ientific/ Expert Advice

Aspek Pemb angun an Berkelan jutan

Natural and

Man-Project and P rogram Habitat Protection,

Restoration and Management

Water Use and Supply Management

Food Security an Livelihood Management

Target State of Co asts Report ing

(45)

pendukung kehidupan, (2) Jasa-jasa kenyamanan, (3) Penyedia sumberdaya

alam, dan (4) Penerima limbah (Ortolano, 1984).

Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis

terdapat tiga prinsip yang dapat menjamin tercapainya pembangunan

berkelanjutan, yaitu : (1) Keharmonisan spasial, (2) Kapasitas asimilasi, dan (3)

Pemanfaatan berkelanjutan.

Keberadaan zona konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat

penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus

hidrologi dan unsur hara; membersihkan limbah secara alamiah; dan sumber

keanekaragaman hayati (biodiversity). Bergantung pada kondisi alamnya, luas

zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan

pembangunan sebaiknya antara 30 - 50 % dari luas totalnya.

Sementara itu, bila kita menganggap wilayah pesisir sebagai penyedia

sumberdaya alam, maka kriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat

pulih (renewable resources) adalah bahwa laju ekstraksinya tidak boleh melebihi

kemampuannya untuk memulihkan dari pada suatu periode tertentu (Clark,

1988). Sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (

non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat, sehingga efeknya tidak

merusak lingkungan sekitarnya.

Ketika kita memanfaatkan wilayah (perairan) pesisir sebagai tempat untuk

pembuangan limbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah total dari limbah

tersebut tidak boleh melebihi daya asimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal

ini, yang dimaksud dengan daya asimilasi adalah kemampuan suatu ekosistem

pesisir untuk menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi

terjadinya kerusakan lingkungan dan atau kesehatan yang tidak dapat ditoleransi

(Krom, 1986 dalam Bengen, 2000).

2) Dimensi Sosial Ekonomi

Secara sosial - ekonomi - budaya konsep pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan

penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus

diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan

(46)

kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuk negara

berkembang, seperti Indonesia, prinsip ini sangat mendasar, karena banyak

kerusakan lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan

mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat

pengetahuan yang rendah dari para pelakunya. Keberhasilan Pemerintah

Propinsi Bali dalam menanggulangi kasus penambangan batu karang, dengan

menyediakan usaha budidaya rumput laut sebagai alternatif mata pencaharian

bagi para pelakunya, adalah merupakan salah satu contoh betapa relevannya

prinsip ini bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia.

3) Dimensi Sosial Politik

Pada umumnya permasalahan (kerusakan) lingkungan bersifat

eksternalitas. Artinya pihak yang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlah

si pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yang biasanya masyarakat miskin

dan lemah. Misalnya, pendangkalan bendungan dan saluran irigasi serta

peningkatan frekwensi dan magnitude banjir suatu sungai akibat penebangan

hutan yang kurang bertanggung jawab didaerah hulu. Demikian juga dampak

pemanasan global akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer

yang sebagian besar disebabkan oleh negara-negara industri.

Ciri khas lain dari dari kerusakan lingkungan adalah, bahwa akibat dari

kerusakan ini biasanya muncul setelah beberapa waktu ada semacam time lag.

Contohnya, pencemaran perairan Teluk Minamata di Jepang terjadi sejak tahun

1940-an. Tetapi penyakit minamata dan itai-itai baru timbul pada awal 1960-an

(silent spring oleh Carson R, 1963).

Mengingat karakteristik permasalahan lingkungan tersebut, maka

pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan

suasana politik yang demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam

ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang

upaya pencegahan dan penanggulangannya.

4) Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan

(47)

bagi kelompok the haves dapat berbagi kemampuan dan rasa dengan

saudaranya yang masih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, sembari

mengurangi budaya konsumerismenya. Persyaratan yang bersifat personal ini

dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan

yang berwibawa dan konsisten. Serta dibarengi dengan penanaman etika

pembangunan berkelanjutan pada setiap warga dunia. Disinilah peran sentuhan

nilai-nilai keagamaan akan sangat berperan.

2.4 Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir

Pembangunan berkelanjutan telah menjadi isu global yang harus

dipahami dan diimplementasikan pada tingkat lokal. Pembangunan berkelanjutan

sering dipahami hanya sebagai isu-isu lingkungan, lebih dari itu pembangunan

berkelanjutan mencakup tiga hal kebijakan, yaitu pembangunan ekonomi,

pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan yang digambarkan oleh John

Elkington dalam bagan triple bottom line sebagai penemuan dari tiga pilar

pembangunan yaitu “profit, people, dan planet” yang merupakan tujuan

pembangunan.

Secara teoritis keterbatasan Negara berkembang dalam

mengembangkan perekonomian dapat ditelaah melalui pendekatan teori-teori

penghambat pembangunan. Implikakasi teoritis ini sangat berguna dalam

menyusun kerangka berfikir dalam melihat persoalan pemberdayaan ekonomi

masyarakat suatu daerah. Dari ketiga teori yang menghambat pembangunan,

dalam persoalan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir di Kota Bontang.

Pendekatan efek dualisme sosial dan teknologi merupakan pilihan dalam

menjelaskan kasus ini. Pilihan ini dijatuhkan mengingat keterlibatan PKT sebagai

perusahaan penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bontang yang cukup

berpengaruh. Pendekatan teori yang menghambat pembangunan ini seperti PKT

diharapkan sebagai kutub atau pusat pertumbuhan yang mampu memberikan

nilai tambah secara ekonomi bagi daerah sekitarnya.

2.4.1 Efek Dualisme Ekonomi

Salah satu dari ciri negara berkembang, perekonomiannya bersifat

dualistis. Artinya, dalam perekonomian kegiatan ekonominya dapat dibedakan

(48)

tradisional. Pada dasarnya ciri perekonomian yang bersifat dualistis tersebut,

terutama dualisme sosial dan teknologi, menimbulkan keadaan-keadaan yang

menyebabkan mekanisme pasar tidak berfungsi dengan semestinya.

Mekanisme pasar ini selanjutnya mengakibatkan sumberdaya yang

tersedia tidak digunakan secara efisien. Disamping itu penggunaan teknologi

yang terlalu tinggi di sektor modern menimbulkan kesulitan bagi negara untuk

mempercepat perkembangan kesempatan kerja di sektor modern. Kondisi inilah

yang menyebabkan masalah pengangguran yang dihadapi, dimana kesenjangan

antara tingkat pendapatan di sektor-sektor ekonomi modern dengan sektor

ekonomi tradisional.

Berbagai hambatan yang timbul dari adanya dualisme dari perekonomian

yang baru berkembang dari pengaruh sektor tradisional kepada kehidupan

masyarakat dan kegiatan perekonomian. Sebagian kegiatan ekonomi yang

bersifat dualisme, disatu sisinya menggunakan teknik-teknik yang sederhana dan

cara berpikir yang juga sederhana. Konsekuensi penggunaan teknik sederhana

menyebabkan produktifitas berbagai kegiatan produktif yang rendah. Dan

konsekuensi dari cara berpikir yang sederhana menyebabkan usaha-usaha

pembaharuan sangat terbatas.

Disamping dualisme ekonomi, dualisme teknologi memiliki akibat yang

cukup serius, yaitu: membatasi sektor modern untuk membuka kesempatan

kerja. Sektor modern terdiri dari sektor industri dan dalam sektor ini teknik-teknik

berproduksi bersifat padat modal. Dalam teknik produksi yang demikian sifatnya,

proporsi antara faktor-faktor produksi relatif tetap. Makin tinggi tingkat teknologi

makin terbatas kemampuannya untuk menyerap tenaga kerja dengan tingkat

kompetensi yang rendah.

Selain terjadinya implikasi buruk dari dualisme teknologi terhadap

penciptaan kesempatan kerja, harus pula disadari bahwa teknologi modern

mempercepat pertumbuhan ekonomi. Implikasi lainnya adalah kegiatan-kegiatan

dalam sektor modern pada umumnya mengalami perkembangan yang jauh lebih

pesat dari sektor tradisional. Hal ini berarti bahwa kesenjangan tingkat

Gambar

Gambar 1.Kerangka Pemikiran
Gambar 2. Batasan Wilayah Pesisir (Pernetta dan Milliman, 1995)
Gambar 3. Kerangka kerja Strategi Pembangunan Berkelanjutan untuk Wilayah
Tabel 1 berikut ;
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menunjukan bahwa adanya perusahaan yang bereputasi di Indonesia berdasarkan majalah Media Bisnis Indonesia yang berjudul “100 Excellent Growth Company Ranks 2018”

• Sistem ekonomi demokrasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem perekonomian nasional yang merupakan perwujudan dari falsafah Pancasila dan UUD 1945 yang berasaskan kekeluargaan

Adsorpsi asam humat pada permukaan padatan merupakan proses yang kompleks yang tergantung pada sifat permukaan zeolit alam dan sifat larutan asam humat itu

1. Drs.Soeprijadi,Mh um 10. Dr.Ir.Ika Sartika,MT APBN, Alokasi Anggaran LPM IPDN.. Pengabdian Masyarakat Perdesaan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pengabdian Masyarakat

Besarnya kompensasi pegawai yang bekerja di lapangan berbeda dengan pekerjaan yang bekerja dalam ruangan, demikian juga kompensasi untuk pekerjaan klerikal akan berbeda

Penelitian lain dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Kasimbar Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, menunjukkan pengetahuan mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian malaria (p

Dari sisi sistem yang dibutuhkan adalah database karena semua aplikasi web yang akan dibuat semua terhubung ke database dan akan melakukan tiga tahap yaitu input,