• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Hasil Analisis Buku PAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB IV Hasil Analisis Buku PAI"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. PROFIL DAN DESKRIPSI BUKU PAI UNTUK SMA KARYA SYAMSURI

Sebagai data primer pada penelitian ini adalah buku berjudul Pendidikan Agama Islam Untuk SMA, terdiri dari tiga buku untuk tiga kelas yakni X, XI, dan XII. Buku ini dikembangkan dengan model penyajian yang didasari oleh konsep bahwa belajar agama Islam adalah bagian dari mempelajari life skill (kecakapan hidup) agar siswa dapat memecahkan persoalan hidup dan berperan sebagai agen pemberi solusi terkait dengan masalah-masalah keislaman. Materi yang dikembangkan berdasarkan standar isi 2006 dilengkapi alokasi waktu program pembelajaran semester satu dan dua yang dapat dimodifikasi sesuai situasi sekolah bersangkutan. Materi yang diberikan meliputi; 1) Al Qur’an, 2) Aqidah, 3) Akhlaq, 4) Fiqih, dan 5) Sejarah Kebudayaan Islam. Dalam penyajiannya buku ini juga memberikan penekanan-penekanan pada aktifitas siswa belajar mandiri dengan adanya fitur-fitur seperti:

(2)

b. Kegiatan Siswa : berisi kegiatan belajar untuk dilakukan siswa secara mandiri

c. Coba Renungkan : berisi ajakan merenungkan suatu topic pembahasan yang relevan dengan kehidupan diri sendiri d. Pojok Kisah : berisi kisah-kisah teladan atau nasehat bijak

yang layak dijadikan rujukan dalam menimba pelajaran

e. Kamus Istilah : berisi penjelasan ringkas tentang istilah-istilah yang sering dipakai dalam membahas tema-tema keislaman

f. Internalisasi Budi Pekerti : suatu table khusus untuk menguji pemahaman dan penginternalisasian nilai-nilai islami yang relevan dengan bahasan materi

g. Kaji Kasus : berisi latihan yang mengajak siswa menganalisis permasalahan yang dihaadapi dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan rekomendasi solusi

h. Peragaan : berisi simulasi praktik ibadah

1. Cirri-ciri Khusus Masing-masing buku PAI Karya Syamsuri a. Buku PAI untuk SMA kelas X

(3)

Memuat sebanyak 12 tema yang dibagi dalam dua semester masing-masing semester 6 materi. Semester satu terdiri dari dua bab materi Al-Qur’an dan masing-masing satu bab materi untuk satu sub bab pelajran yang terintegrasi dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yakni; Aqidah, Akhlaq, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Pada semester dua terdiri dari masing-masing satu materi untuk sub pelajaran Aqidah, Akhlaq, Fiqih, dan SKI dan dua materi untuk sub pelajaran Akhlaq.

b. Buku PAI untuk SMA kelas XI

(4)

AL-Qur’an, dan SKI dan dua materi untuk sub pelajaran Akhlaq dan Fiqih.

c. Buku PAI untuk SMA kelas XII

Terdiri atas 181 halaman dengan sampul dominan berwarna kuning dan jingga dengan gambar semacam burung dan garis-garis lengkung yang membentuk seperti daun. Memuat sebanyak 12 tema yang dibagi dalam dua semester masing-masing semester 6 materi. Semester satu terdiri dari dua bab materi Al-Qur’an dan masing-masing satu bab materi untuk sub pelajaranyang terintegrasi dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yakni; Aqidah, Akhlaq, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Pada semester dua terdiri dari masing-masing satu materi untuk Aqidah, Al-Qur’an, Fiqih, dan SKI. Dan dua materi untuk sub pelajaran Akhlaq.

2. Bahan Pengajaran Buku Pendidikan Agama Islam untuk SMa Karya Syamsuri

a. Buku untuk SMA kelas X

(5)

a) Materi Al-Qur’an surah al-Baqarah, 2: 30, yang membahas tentang peranan manusia sebagai khalifah, al-Mu’minun, 23: 12-14; yang membahas tentang kejadian manusia, az-Zariyat 51-56; tentang tugas manusia, dan an-Nahl 16: 78; mengenai kewajiban manusia untuk bersyukur. Selain itu juga dibahas hokum tajwid masing-masing surah agar siswa selain diharapkan memahami dan memperhatikan kandungan ayat surat-surat tersebut juga mampu membacanya sesuai kaidah tajwid yang benar.

b) Materi Al-Qur’an surah Bayyinah, 98: 5 dan surah al-An’am, 6: 162-163, keduanya membahas tentang keikhlasan beribadah disertai hokum tajwid yang terkandung.

(6)

d) Materi Akhlaq dengan judul berperilaku terpuji ysng membahas tentang pengertian dan contoh perilaku terpuji serta membiasakan diri berperilaku terpuji.

e) Materi Fiqih yang membahas mengenai sumber-sumber hokum Islam, dan pengertian Hukum Taklifi, dan hokum Wad’i.

f) Materi SKI tentang sejarah dan strategi dakwah Rasulullah SAW. periode Makkah

2) Semster II

a) Materi Al-Qur’an surat Ali-Imran, 3: 159 yang menerangkan tentang musyawarah dan Asy-Syura, 42: 48 tentang anjuran untuk melaksanakan musyawarah. b) Materi Aqidah tentang Iman Kepada Malaikat dengan

sub bahasan pengertian dan tanda-tanda beriman kepada malaikat, contoh-contoh perilaku beriman kepada malaikat serta penerapan beriman kepada malaikat dalam sikap dan perilaku.

(7)

d) Materi Akhlaq dengan bahasan perilaku tercela yakni hasud, Riya’, aniaya, dan diskriminasi.

e) Materi Fiqih tentang Zakat, Haji, dan Wakaf.

f) Materi SKI tentang keteladanan Rasulullah SAW periode Madinah yang berisi sejarah dan strategi dakwah Rasulullah ketika di Madinah.

b. Buku untuk SMA Kelas XI

Terdiri dari 13 materi dengan rincian sebagai berikut: 1) Semster I

a) Materi Al-Qur’an surah al-Baqarah, 2: 148 tentang anjuran berlomba dalam kebaikan dan suat Fatir: 32 mengenai adanya tiga kelompok umat Islam, didalamnya juga disertai hukum-hukum tajwid yang terkandung dalam kedua surat.

b) Materi Al-Qur’an surah al-Isra’, 17: 26-27 tentang anjuan membantu kaum du’afa dan surat al-Baqarah: 177 tentang menyantuni kaum du’afa.

(8)

d) Materi Akhlaq tentang berperilaku terpuji yang terdiri dari Tobat dan Raja’.

e) Mater Fiqih dengan bahasan hukum Islam mengenai mu’amalah yang meliputi pengertian mu’amalah, transaksi ekonomi dalam Islam dan contoh-contohnya, penerapan transaksi ekonomu dalam Islam, dan kerjasama ekonomi dalam Islam.

f) Materi Ski tentang perkembangan Islam pada abad pertengahan dengan sub bahsan; sekilas tentang dunia Islam, perkembangan ajaran Islam, perkembangan ilmu pengetahuan serta perkembangan kebudayaan Islam pada abad pertengahan.

2) Semester II

a) Materi Al-Qur’an surah ar-Rum, 30: 41-42 dan surah al-A’raf, 7: 56-58 tentang larangan berbuat kerusakan di bumi, dan surah Sad, 38: 27-28 tentang keburukan kaum yang berbuat keburukan di bumui.

(9)

c) Materi Akhlaq terpuji dengan sub bahasan; etika Islam dalam berkarya dan tujuannya, maksud menghargai karya orang lain, sikap menghargai karya orang lain, dan membiasakan perilaku menghargai karya orang lain.

d) Materi Akhlaq tercela dengan bahasan; pengertian dosa besar, contoh-contoh dosa besar, dan menghindari perbuatan dosa besar.

e) Materi Fiqih tentang Perawatan Jenazah meliputi; Takziah dan Ziarah Kubur, dan tata cara dan etika perawatan jenazah dalam Islam.

f) Materi Fiqih tentang Khotbah, Tabligh dan Dakwah dengan sub bahasan pengertian, perbedaan dan ketentuan masing-masing dari Khotbah, Tabligh dan Dakwah.

(10)

pada masa modern, dan hikmah mempelajari sejarah perkembangan Islam pada masa pembaharuan.

c. Buku untuk SMA kelas XII 1) Semester I

a) Materi Al-Qur’an surah al-Kafirun, 109: 1-6 tentang tidak ada toleransi dalam hal keimanan dan peribadahan. QS. Yunus, 10: 40-41 tentang sikap terhadap orang yang berbeda pendapat dan QS. al-Kahfi, 18: 29 tentang kebebasan beragam.

b) Materi Al-Qur’an surah al-Mujadalah, 58: 11 tentang keunggulan orang beriman dan berilmu dan QS. aj-Jumu’ah, 62: 9-10 tentang dorongan agar rajin beribadah dan giat bekerja.

c) Materi Aqidah dengan pokok bahasan Iman Kepada Hari Akhir yang dikelompokan menjadi tiga sub bab yakni; hari kiamat sebagai hari pembalasan hakiki, perilaku pencerminan keimanan terhadap hari akhir, dan hikmah beriman kepada hari akhir.

(11)

e) Materi Fiqih tentang Munakahat dengan tiga sub pokok bahasan yakni; ketentuan hokum pernikahan dalam Islam, hikmah pernikahan, dan perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia.

f) Materi terakhir di semester pertama adalah Sejarah Kebudayaan Islam tentang perkembangan Islam di Indonesia, yakni dengan tiga sub bab; masuknya Islam di Indonesia, perkembangan Islam di Indonesia, dan hikmah perkembangan Islam di Indonesia.

2) Semester II

a) Materi Al-Qur’an surah Yunus, 10: 101 tentang IPTEK dan QS. al-Baqarah, 2: 164 tentang dorongan untuk mengembangkan IPTEK.

b) Materi Aqidah tentang Iman Kepada Qada dan Qadar dengan subbab; pengertian Qada dan Qadar, tanda-tanda keimanan kepada Qada dan Qadar, dan hikmah beriman kepada Qada dan Qadar.

c) Materi Akhlaq tentang perilaku terpuji yakni mengenai persatuan dan kerukunan.

(12)

e) Materi Fiqih tentang Mawaris yang dibagi menjadi 7 subbab; ketentuan mawaris, harta sebelum diwaris, ahli waris, hijab, perhitungan waris, perundang-undangan waris di Indonesia, dan hikmah waris.

f) Materi Sejarah Kebudayaan Islam tentang perkembangan Islam di Dunia yang meliputi; Islam di benua Asia, Islam di benua Eropa, Islam di benua Amerika, dan Hikmah pekembangan Islam di Dunia. B. HASIL ANALISIS BUKU TEKS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNTUK SMA; PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER

(13)

hierarkikan kesetaraan yang termuat dalam buku teks PAI pada SMA. Berikut adalah analisisnya;

1. Analisis Isi Buku Teks PAI Perspektif Kesetaraan Gender; Sebuah Ulasan

a) Analisis Isi Buku Teks PAI Kelas X Karya Syamsuri 1) Bab I

Bab ini membahas tentang asal usul kejadian manusia dan tugasnya sebagai khalifah. Ayat yang dibahas dalam bab ini ada 4 surah. Yang pertama adalah QS. al-Baqarah, 2: 30 mengenai kedudukan manusia di bumi adalah sebagai khalifah. Tertulis didalamnya ada 3 isi kandungan surah al-Baqarah tersebut;

1. Allah SWT memberitahukan kepada malaikat tentang rencananya akan menciptakan Adam (manusia) yang kedudukannya sebagai khalifah di bumi ini.

(14)

menaati perintah-Nya dan tidak mendurhakai-Nya. Karena itu mereka mengajuka pertanyaan kepada Allah SWT sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut.

3. Ketidaktahuan para malaikat dan kekhawatiran para malaikat menjadi hilang setelah mendapat penjelasan dari Allah bahwa Allah lebih mengetahui dari apa yang telah diketahui malaikat.1

Dari ketiga isi kandungan yang telah disebutkan salah satunya isi kandungannya yakni nomor 1 ditampilkan kembali pada fitur “Ingat”. Untuk menekankan bahwa manusia (Adam) adalah sebagai khalifah di bumi. Dalam ayat tersebut (QS. 2: 30) sesungguhnya tidak disebutkan bahwa Adam adalah khalifah. Tetapi memang dalam surah al-Baqarah ayat 31-34 (ayat-ayat selanjutnya) yang disebutkan secara eksplisit adalah bahwa Allah SWT meninggikan Adam (manusia) dengan pengetahuannya yang tidak dimiliki malaikat sehingga Allah memerintahkan malaikat dan iblis untuk bersujud (baca: menghormati dan memuliakan, karena jika diartikan sujud penghambaan akan menyalahi risalah tauhid). Namun esensi sebenarnya dari khalifah adalah manusia (yang pada saat itu diwakili Adam) sebagai pengelola bumi yang akan didiami,

(15)

sehingga setiap manusia pada hakikinya adalah khalifah untuk kelangsungan anak cucu Adam.

Kedua, adalah QS. al-Mu’minun, 23: 12-14 yang membahas

tentang asal dan proses kejadian manusia. Penyusun buku berusaha menyakinkan secara alamiah bahwa asal kejadian manusia adalah dari saripati tanah dengan pembuktian secara ilmiah yaitu lewat metode abu bekas bakaran diketahui bahwa unsur-unsur asli yang terdapat dalam diri manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sama dengan unsur-unsur yang terdapat dalam tanah, yaitu oksigen (O), Hidrogen (H), Zat belerang (S), Zat arang (C), Kalium (K), Natrium (Na), Yodium (J), Asama rang (CO2), Air (H2O), dan zat-zat lainnya yang berfungsi sebagai pelengkap.

(16)

Penjelasan atau tafsiran dari surat al-Mu’minun kali ini tidak menunjukan keberpihakan penyusun pada salah astu jenis kelamin, karena memang pada dasarnya ayat ini adalah ayat yang melegitimasi kesetaraan laki-laki dan perempuan berdasarkan asal kejadiannya, maka dapat dikatakan penjelasan QS. al-Mu’minun ayat 12-14 adalah dalil kesetaraan manusia hanya saja penyusun tidak menjelaskan lebih tajam bahwa perempuan dan laki-laki terbentuk dari unsur yang sama.

(17)

Iqlima. Qabil menolak keputudan tersebut, dia hanya mau menikah dengan Iqlima yang jauh lebih cantik dari Labuda. Pada akhirnya Qabil tetap tidak mau menunaikan perintah Allah SWT dan malah membunuh Habil dengan sebuah batu.

(18)

seharusnya bisa lebih menekankan kesamaan potensi ketaatan ataupun ketidakpatuhan manusia.

Keempat, adalah penjelasan tentang kewajiban bersyukur bagi manusia lewat surah an-Nahl, 16: 78. Pencantuman ayat ini berkaitan dengan bahwa Allah SWT telah mengeluarkan setiap manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak berilmu pengetahuan. Kemudian Allah SWT memberikan karunia berupa pendengaran, penglihatan, akal, hati, dan kalbu sebagai bekal dan alat untuk meraih ilmu pengetahuan. Pada penjelasan ini tujuan penyusun adalah Allah sebagai Sang Pencipta mampu menjadikan segalanya sebagai pelengkap ayat yang terdahulu telah dibahas mengenai tugas penghambaan manusia kepada Allah SWT dan pencantuman ayat ini dimaksudkan hanya untuk mendukung hal tersebut sehingga penjelasan isi dari yang tertulis dalam buku ini adalah tidak mengandung bias tapi sekali lagi penyusun tidak meng-expore lebih detail bahwa laki-laki dan perempuan sama berpotensi sama menerima karunia panca indra, akal dan kalbu untuk menjalani kehidupan sehingga posisi mereka adalah setara.

2) Bab II

(19)

al-An’am 162-163, namun kali ini dengan penanaman nilai yakni keikhlasan dalam menjalankan ibadah, karena ikhlas berarti tidak ada keterpaksaan dan ibadah itu bukan karena mengharap balasan meskipun Allah SWT menjanjikannya. Yang menarik dai bab ini adalah pada penjelasan kesimpulan kandungan ayat ini digunakannya kata “muslim/muslimah” bagi setiap konsekuensi ibadah yang ditentukan Allah. Kesimpulan dari ayat ini dijadikan 3 poin yakni; 1) seruan Allah SWT kepada setiap individu untuk berkeyakinan bahwa salatnya, hidupnya, dan matinya adalah semata-mata untuk Allah SWT, 2) Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan Pencipta, pemelihara, serta pengatur Alam semesta berikut segala isinya, 3) seruan Allah SWT kepada setiap individu manusi untuk berlaku ikhlas dalam berkeyakinan, beribadah, dan beramal, serta menjadi orang pertama dalam kaumnya yang berserah diri kepada-Nya.2

Berdasarkan kesimpulan itu penyusun buku menetapkan indicator perilaku mengamalkan surah al-An’am 162-163 dengan kembali menggunakan kata “musli/muslimah” sebagai berikut:

Muslim/muslimah yang memahami dan mengamalkan kandungan surah al-An’am, 6: 162-163 tentu akan bersikap serta berperilaku sebagai berikut:

(20)

1. Menyerahkan hidup dan matinya kepada Allah SWT, selama hayat dikandung badan ia akan menghambakan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menaatin segala peintah-Nya dan meninggalkan kepada larangan-Nya.

2. Memelihara diri dari bersikap dan berperilaku syirik, yakni dari menyekutukan Allah SWT seperti; meminta pertolongan kepada arwah orang mati, memuja senjata dan ajimat, serta menyembah sesame makhluk menganggapnya dapat memberikan mudharat dan manfaat dalam berbagai urusan. Ia tidak akan bersikap dan beperilaku syirik karena menyadari bahwa syirik merupakan dosa besar yang paling berat sehingga pelakunya tidak akan memperoleh ampunan Allah SWT, apabila sebelum meninggal dunia ia tidak akan betaubat dengan taubat yang sesungguh-sungguhnya. (lihat QS. an-Nisa, 4: 48)

3. Melandasi ibadah salatnya dan semua ibadah lainnya dengan niat ikhlas untuk memperoleh ridha Allah SWT semata, dan sama sekali tidak ada maksud untuk memperoleh sanjungan orang lain atau keuntungan dunia. Ia menyadari bahwa ibadah yang tidak dilakukan dengan ikhlas karena Allah SWT tentu tidak akan diterima-Nya.3

Selain dalam penjelasan QS. al-An’am 162-163, kata “muslim/muslimah” juga disertakan dalam penjelasanQS. al-Bayyinah, 98: 5 yang juga menerangkan tentang keikhlasan beribadah dengan redaksi sebagai beikut: “muslim/muslimah” yang melandasi pengalaman setiap ajaran agamanya dengan niat ikhlas

(21)

karena Allah SWT dan untuk memperoleh rida-Nya disebut mukhlis,

kata jamaknya mukhlisuun/mukhlisiin.4

Pada intinya, pada bab II ini tema yang disampaikan tidak controversial dan memihak salah satu jenis kelamin, karena keikhlasan beribadah mutlak kewajiban setiap hamba baik perempuan maupun laki-laki. Selanjutnya penyusun buku berusaha memasukan nilai yang bisa dianggap sebagai nilai kesetaraan gender dengan menggunakan kata “muslim/muslimah” untuk setiap konsekuensinya perintah dan larangan Allah SWT, anjuran, atau sikap-sikap yang seyogyanya dilakukan oleh setiap umat Islam. Padahal dalam kaidah bahasa Arab jika orang yang diajak bicara adalah campuran antara laki-laki dan perempuan maka kata ganti (dlamir) yang digunakan adalah dalam bentuk mudzakar.

(22)

laki atau perempuan yang sehausnya justru lebih universal dipakai dan lebih mudah diterima banyak orang, tetapi penyusun buku tidak menggunakan itu sehingga dapat diasumsikan memang penggunaan kata “muslim/muslimah” memang mengandung unsure relasi gender didalamnya, dan penyusun berusaha konsisten dari satu bab ke bab lainnya untuk 3 buku PAI tingkat SMA yang disusunnya. Hanya saja usaha penyusun untuk menyebutkan obyek manusia dalam dua bentuk yakni mudzakar dan muannats peneliti nilai kurang maksimal karena masih ada kata yang tetap disebutkan dalam bentuk mudzakar saja seperti mukhlis yang tidak disertai kata mukhlisah, padahal kalimatnya dibuka dengan kata muslim/muslimah, yakni: “muslim/muslimah yang melandasi pengalaman setiap ajaran agamanya disertai dengan ikhlas karena

Allah SWT dan untuk memperoleh ridha-Nya disebut mukhlis, kata

jamaknya mukhlisuun/mukhlisiin.”5

3) Bab III

Bab ini membahas tentang iman terhadap Allah SWT yang kita tahu esensinya adalah tauhid yakni mengesakan Allah SWT sebagai sang

(23)

mutlak bagi umat manusia baik berjenis kelamin perempuan ataupun laki-laki. Penjelasan mengenai iman kepada Allah SWT disampaikan penyusun dengan menggunakan sepuluh asma’ al husna yakni nama-nama baik yang yang disematkan untuk Allah SWT.

4) Bab IV

Bab ini diberi judul “Berperilaku Terpuji” dengan materi pokok

Husnuzhan yang diurai menjadi banyak perilaku. Dijelaskan didalamnya bahwa husnuzhan dapat diterapkan kepada Allah SWT, diri sendiri dan sesame manusia. Perilaku-perilaku dari husnuzhan

terhadap Allah SWT disebutkan adalah syukur, sabar, adapun

husnuzhan terhadap diri sendiri disebutkan dengan percaya diri gigih. Sedangkan husnuzhan terhadap sesame manusia dibagi menjadi dua yaitu dalam kehidupan keluarga, kehidupan bertetangga, dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(24)

1. Dalam gambar yang ditampilkan 4. 1 ditampilkan gambar seorang laki-laki yang sedang berzikir sebagai manivestasi syukurnya. Sebaiknya disertakan juga gambar perempuan karena perilaku yang dijelaskan toh tidak hanya satu. Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi persepsi relasi gender tapi perlu diingat bahwa penjelasan yang disertai gambar akan lebih mudah diingat dan membekas di pikiran siswa/siswi sehingga penyertaan satu gambar laki-laki yang menampakan spiritualnya bisa mengakibatkab munculnya hierarki spriritualitas bagi perempuan yang sejatinya memang telah menjadi epidemic didunia ini. Sebaiknya gambar yang ditampilkan adalah seperti gambar 4. 2 masih dalam bab yang sama yang menggambarkan suasana lomba khitobah yang diikuti dan dihadiri oleh siswa dan siswi sebuah sekolah. 2. Selain gambar juga terdapat bias yang lain yakni lewat

penjelasan dalam perilaku husnuzhan dalam berkeluarga yakni dengan pemetaan tugas ayah dan ibi dalam berkeluarga. Dikatakan bahwa “agar tujuan luhur tersebut dapat terwujud, maka suami sebagai kepala keluarga dan

(25)

hendaknya saling berprasangka baik tidak boleh saling

curiga, saling memenuhi hak dan melaksankan kewajiban

masing-masing dengan sebaik-baiknya.”6

Penjelasan tersebut secara eksplisit telah membagi peran publik menjadi milik ayah dan peran domestik menjadi milik ibu. Meski al-Qur’an melegitimasi keunggulan laki-laki sebagai kepala keluarga tapi sekali lagi itu dikarenakan konteks masyarakat Arab ketika itu yang tidak member peran banyak public bagi perempuan, seandainya kultur masyarakat lain memberi ruang publik yang luas terhadap perempuan tentu perempuan tidak harus menyandang gelar ibu rumah tangga saja. Dan celakanya masyarakat lebih familiar dengan istilah ibu rumah tangga dan ayah adalah kepala keluarga, sehingga dengan penjelasan tersebut sedari pendidikan menengah para siswi telah didoktrin sebagai ibu rumah tangga.

3. Bias ketiga ditampilkan melalui pojok kisah yang

meng-ekspose Salman al-Farisi sebagai teladan, tidak ada yang salah hanya saja dari 12 pojok kisah mayoritas tokohnya adalah laki-laki.

5) Bab V

(26)

Materi dalam buku ini adalah sumber hukum Islam, hukum

taklifi dan hukum wad’i. Secara material dalam bab ini materinya juga tidak controversial nagi isu gender karena yang menjadi kontroversi gender dalam hukum Islam adalah produk hukumnya yang lahir dari sebuah cara pembacaan yang berbeda. Dalam bab ini penyusun masih terlihat konsisten dalam penggunaan kata “muslim/muslimah” untuk setiap konsekuensi hukum dan perilaku yang dianjurkan. Yang disayangkan masih terdapat bias didalamnya yakni contoh-contoh mujtahid yang disertakan semuanya adalah dari kualitas maskulin seperti imam empat; Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Abu Hanifah. Dalam pojok kisah juga diceritakan ijtihad dua orang sahabat yang sedang bingung tentang hukum salat, mereka yang sedang melakukan safar, meski tidak disebutkan seacra eksplisit bahwa dua orang tersebut adalah laki-laki mengingat kondisi dan waktu itu dimana permpuan tidak boleh keluar tanpa mahram maka dapat dipastikan dua orang tersebut adalah laki-laki.

(27)

tetapi sesungguhnya ini menggambarkan kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat.

6) Bab VI

Pembahasan dalam bab ini adalah mengenai sejarah Rasulullah SAW pada masa beliau masih berada di Makkah. Materi yang disampaikan tentunya seputar usaha dan strategi Rasulullah dalam berdakwah yang mempunyai karakteristik syi’ar akidah pada periode Makkah ini. Tidak ada bias dalam penjelasan materi tetapi juga tidak ditemukan nilai-nilai kesetaraan gender didalamnya, bias hanya terdapat pada gambar yang lagi-lagi hanya diberikan kepada kualitas maskulin dan absennya kualitas feminism. Jika kita gali lebih dalam sebenarnya ini adalah masa dimana Nabi atas nama Islam mulai memberikan penghormatan bagi perempuan atas tradisi-tradisi jahil yang berlaku ketika itu semisal penguburan hidup-hidup bayi perempuan. Memang pada periode madinahlah mas berlakunya Syariah yang terdiri atas ibadah, muamalah, dan

munakahat, tetapi sejak mulai periode Makkah sesungguhnya Nabi

telah menjunjung harkat perempuan, maka sebaiknya pembaharuan-pembaharuan Islam atas nasib perempuan juga seharusnya dimasukkan dalam materi Sejarah Kebudayaan Islam.

(28)
(29)

dan pengajian dari masyarakat yang sebagian posisi publik adalah dkuasai laki-laki.

Sedangkan dalam fitur pojok kisah memang yang menceritakan tentang rencana persiapan perang Badar dimana Nabi mengusulkan untuk mengambil posisi di dekat mata air Badar, kemudian seorang sahabat yakni Hubab bin Munzir bertanya apakah keputusan tersebut adalah wahyu Allah atau haya pendapat Nabi sendiri, yang ternyata adalah pendapat Nabi sendiri, kemudian Hubab mengusulkan lokasi yang lain yakni air mata yang berdekatan dengan lokasi musuh. Kisah tersebut memang memiliki korelasi dengan materi musyawarah dimana Nabi mau melaksanakannya bahkan menerima pendapat sahabatnya. Dan sesungguhnya sekali lagi menggambarkan kondisi masyarakat yang lebih memilih pendekatan pelarangan bagi perempuan untuk bidang-bidangyang dirasa riskan bagi kualitas feminim dan itu terjadi hingga sekarang dimana mayoritas masyarakat akan melarang daripada harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk mengantisipasi kemungkinan buruk bagi perempuan.

8) Bab VIII

(30)

sebelumnya yakni antara penggunaan kata “muslim/muslimah” dengan gambar. Gambar 8. 1 menggambarkan 4 orang laki-laki sebagai sukarelawan bencana alam dan gambar 8. 2 adalah suasan salat jama’ah yang kebetulan jama’ahnya adalah laki-laki semua. Sedah menjadi rahasia umum bahwa fiqh memakmurkan perempuan untuk berjama’ah di masjid dan keluar rumah tanpa ada mahram alasan yang paling sering digunakan untuk melegalkan pendapat tersebut adalah karena takut akan munculnya fitnah dan mendapatkan gangguan yang memang diperkuat hadis-hadis Nabi. Namun jika kita kembalikan pada kondisi sekarang ini dimana teknologi begitu pesat, ada lampu dan padatnya pemukiman yang memungkinkan berdiri banyak masjid ataupun mushola bahkan dalam satu RT, sehingga pergi ke masjid bukanlah suatu yang menimbulkan fitnah atau gangguan, sedangkan menjadi sukarelawan juga tidak menjadi masalah karena sukarrelawan berangkat dan bekerja sebagai satu tim sehingga bisa saling menjaga. Maka sebaliknya jika ada dua gambar akan lebih baik jika salah satu gambar adalah mengilustrasikan perempuan.

(31)

yakni tentang bahwa malaikat tidak berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan,7 ini menraik karena dari sisi nama para

malaikat memiliki nama yang menurut konstruksi sosial adalah nama untuk jenis kelamin laki-laki, maka sebaiknya ada penekanan lebih mengenai malaikat yang tidak berjenis kelamin sehingga tidak menjadi stimulus superioritas bagi siswa laki-laki karena menurut mereka malaikatpun berpihak pada kualitas maskulin disamping Nabi-nabi yang semuanya laki-laki.8

9) Bab IX

Bab selanjutnya adalah materi berperilaku terpuji. Ada tiga subbab dalam mateir ini yakni pertama, Adab berpakaian dan berhias, kedua adab dalam perjalanan, dan ketiga adab dalam bertamu dan menerima tamu.

Subbab pertama tentang adab berpakaian dan berhias. Dalam etika berpakaian di Islam menutup aurat adalah esensi utamanya dan para feminis menganggap itu sesuatu yang sangat diskriminatif. Dalam penjelasannya penyusun buku menuturkan “aurat laki-laki dewasa ialah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali muka dan

7 Ibid. Hal. 108

(32)

telapak tangan”.9 Penyusun buku mencantumkan hal tersebut tentu

karena dalam berpakaian umat Islam dibatasi aurat. Masalah aurat sendiri berawal dari tentang bahwa salah satu syarat sah sholat adalah menutup aurat, batasan aurat yang semuala berlaku hanya dalam shalat kemudian diberlakukan di luar juga, meski terdapat perbedaan pendapat tentang batasan aurat diantara para imam fiqih tapi bahwa ada titik persamaan yakni dibedakannya antara aurat laki-laki dan perempuan. Dalam bahasa Indonesia, aurat diartikan dengan bagian badan yang tidak boleh kelihatan (menurut hukum Islam) yang berarti juga kemaluan.10 Maka penjelasan yang

disampaikan oleh penyusu buku menurut peneliti adalah mengandung bias karena diletakkan pada materi tentang adab berpakaian diluar shalat, sebaliknya jika hanya ditempatkan pada materi aurat shaat tentu tidak mengandung bias sama sekali.

Subbab kedua membahas adab dalam perjalanan. Dalam penjelasannya kali ini dapat ditemukan konsistensi penyusun buku antara penjelasan menggunakan kata “muslim/muslimah” sebagai subyek untuk setiap anjuran perilaku yang ditetapkan sebagai tat krama di jalan raya dengan gambar. Gambar 9.1 menggambarkan laki-laki melanggar jalur busway dan gambar 9.2 yang menunjukan

(33)

seseorang perempuan sedang mengemudikan mobil sambil menelpon. Disini dapat dikatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berpotensi untuk melanggar peraturan sama potensinya mereka berdua meraih prestasi. Hanya saja yang menjadi koreksi adalah mengapa pada saat potensi melanggar gambar perempuan diletakan sebagai penguat materi tapi tidak dalam materi yang memperlihatkan perilaku-perilaku baik seperti shalat, sukarelawan, da lainya. Sedangkan dalam subbab adab bertamu dan menerima tamu tidak ditemukan bias ataupun penjelasan yang terkait dengan relasi gender karena materi disampaikan dengan netral selayaknya tat krama menerima tamu dan bertamu yang tidak terkait dengan relasi geneder.

10) Bab X

(34)

dan perempuan terlihat tidak senang dengan presasi temannya. Dari gambar ini dapat kita simpulka bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi, bersikap terpuji atau tercela.

(35)

gender atau jenis kelamin yang dimiliki. Bahkan mati syahid sekalipun belum tentu menunjukkan superioritas seseorang yang sebagian besar para syahid adalah laki-laki, karena seringkali terdapat diskriminasi bagi perempuan hanya karena perempuan mengalami menstruasi sehingga dianggap tidak mampu menyamai kuaitas spiritual laki-laki. Maka sejatinya kisah ini dengan sendirinya menjadi argumen kesetaraan gender.

Bias ditemukan pada gambar 10. 2 yang mengilustrasikan seseorang laki-laki mendapat tindakan diskriminatif dari 3 orang siswi dan seorang siswa. Banyaknya model siswa yang dipakai peneliti anggap sebagai persepsi penyusun bahwa perempuan lebih sering melakukan tindakan tercela daripada perempuan. Namun dalm subbab ini terlihat penyusun masih menggunakan kata “muslim/muslimah” untuk anjuran berperilaku terpuji, juga ditemukan penjelasan yang mendukung kesetaraan gender yakni:

(36)

dikemukakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtuanya, keluarga, masyarakat dan negara.”11

11) Bab XI

Bab selanjutnya adalah pembahasan materi fiqih tentang Zakat, Haji dan Wakaf. Dari ketiga subbab yang dibahas hanya Haji saja yang peneliti temukan bias didalamnya yaitu tentang persyaratan pendaftaran haji yakni mengenai mahram bagi perempuan. Dalam hal ini yang patut dipertanyakan adalah dalam situasi bagaimanakah larangan itu masih perlu diterapkan?. Memang terdapat hadis yang menegaskan perempuan dilarang pergi sendirian tanpa mahram, tapi ini sebenarnya jika dikembalikan kepada konteks sosial waktu zaman Nabi dimana perjalanan jauh memang sangat berbahaya mengingat kondisi geografis jazirah Arab waktu itu. Dalam kasus ibadah haji yang dalam hal ini penyelanggaranya diatur oleh Negara dan pemberangkatannya pun dikelompokkan (bisa disebut kloter: kelompok terbang) yang dibentuk berdasarkan lokasi tempat pendaftar Haji tentu anggotanya adalah masih dalam satu daerah yang kemungkinan besar dikenal dan dapat dimintai bantuan, selain itu terdapat amirul hajj (pemimpin kelompok haji) yang sedia memberikan bantuan. Meski sebaiknya tetap ditemani mahram

(37)
(38)

yang lain porsinya sebaiknya diberikan pada profil perempuan agar tercipta situasi setara secara kuantitas.

12) Bab XII

Materi terakhir dalam buku pertama ini adalah tentang sejarah dakwah Nabi periode Madinah. Dalam penuturannya seperti dalam materi sejarah Nabi periode Makkah peneliti tidak menemukan strategi rasul yang berhubungan dengan perempuan padahal pada masa ini adalah masa produktifitas fiqih yang egaliter karena dalam literatur disebutkan bahwa pengekangan terhadap perempuan mulai terjadi sejak era Umar bin Khattab, maka sebaiknya penyusun buku Sejarah Kebudayaan Islam baik dalam yang berbentuk integrative dalam PAI ataupun tidak mempertimbangkan dimasukkannya strategi Nabi dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan, karena sejatinya esensi tauhid dalam Islam ialah kesamaan status sebagai hamba Tuhan sehingga menjadi penting menyampaikan argument dan strategi Nabi meninggikan manusia yang ditelapak kakinya surga. b) Analisis Isi Buku Teks PAI Kelas XI Karya Syamsuri

1) Bab I

(39)

kebaikan. Berdasarkan pembaca peneliti tidak ditemukan penjelasan dari ayat-ayat yang dimaksud yang mengarah pada bias tetapi jiga tidak peneliti temukan nilai-nilai kesetaraan gender. Didalamnya justru lebih terlihat nilai demokrasi, karena menyangkut cara dakwah umat Islam yang harus bijak. Seperti dalam bukau pertama kelas X penyusun juga masih menjaga upaya untuk menyebutkan kata “muslim/muslimah” bagi setiap konsekuensi ibadah ataupun anjuran perilaku baik dalam penjelasan maupun tulisan.

2) Bab II

(40)

tulisan. Hanya sedikit koreksi dalam pojok kisah dimana Rasulullah mengangkat seorang anak yatim sebagai anak asuh karena ia sedih karena ayahnya gugur dalam perang dan ibunya menikah lagi dengan seseorang yang jahat. Tidak dijelaskan apakah anak tersebut laki-laki atau perempuan, namun akan lebih baik lagi jika dikisahkan akhlaq rasul terhadap anak-anak yatim perempuan dan janda sehingga mengangkat martabat perempuan.

3) Bab III

Pembahasan pada bab III ini adalah mengenai iman kepada Rasul-rasul Allah. Dan seperti bab-bab sebelumnya penyusun juga masih menjaga upayanya untuk menyebutkan kata “muslim/muslimah” bagi setiap konsekuensi ibadah ataupun anjuran perilaku baik dalam penjelasan maupun tulisan. Yang menarik untuk dikaji dalam bab ini selanjutnya adalah penjelasan yang menyebutkan bahwa rasul adalah laki-laki. Penyusun menulis

“Ciri-ciri seorang rasul antara lain seorang laki-laki yang sehat

jasmani dan rohaninya, mempunyai akal yang sempurna, berjiwa

ismah (jiwa yang mampu mengendalikan diri dari berbuat dosa),

dan berasal dari keturunan baik-baik.”12 Pertanyaannya adalah

(41)

Ibnu Qosim al-Ghuzzi, pengerang kitab Fathul Qarib, menyatakan bahwa nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu oleh Allah. Dengan pengertian ini, jelas tak ada Nabi perempuan. Yang ada hanya nabi laki-laki.13 Namun, menurut Abd. Qasith Ghazalli setelah

mengecek ke sejumlah kitab, ternyata status kenabian tak hanya dimonopoli kaum laki-laki, ada juga Nabi dari kalangan perempuan. Misalnya Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (Juz II, hlm. 59) mengutip satu pendapat yang menyatakan bahwa tertutup pintu bagi hadirnya Nabi perempuan. Dikemukakan bahwa Maryam adalah salah seorang Nabi. Perempuan lain yang diangkat menjadi Nabi, menurut pendapat ini, adalah Sarah (ibi Nabi Ishaq, istri Nabi Ibrahim), dan ibu Nabi Musa.14 Ulama yang berpendapat demikian

misalnya bersandar pada ayat QS. al-Qashas, 28: 7 :















































Artinya:

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul.

(42)

Bagi ulama tersebut, wahyu hanya terjadi pada diri seorang nabi. Oleh karena itu, perempuan yang mendapatkan wahyu adalah seorang Nabi. Saya menyertai ulama tersebut; bahwa wahyu bukan hanya turun kepada laki-laki melainkan juga terhadap perempuan. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa Tuhan tidak melakukan diskriminasi jenis kelamin dalam perkara pewahyuan sekaligus penabian.

4) Bab VI

(43)

yang peneliti temukan juga dalam buku yang pertama untuk kelas X.

5) Bab V

Bab kelima ini membahas mengenai hukum Islam tentang mu’amalah. Baik transaksi ekonomi yang diperoleh oleh Islam serta peraturan Islam tentang ekonomi baik syarat, rukun maupun yang membatalkan. Tidak ada yang kontroversi dalam bab ini baik bias maupun nilai-nilai gender dalam penjelasan. Penulis juga masih konsisten menggunakan kata “muslim/muslimah” seperti bab sebelumnya. Hanya saja dua dari tiga gambar yang disertakan kesemuanya laki-laki sehingga ini peneliti anggap sebagai bias. Karena gambar 5. 2 adalah gambar dua pedagang yang keduanya laki-laki padahal profesi itu juga digeluti banyak perempuan, adapun gambar 5. 3 adalah gambar dua anak laki-laki tengah memainkan playstation, meski yang ditekankan adalah usaha rental

playstation-nya yang memang mayoritas pengguna jasanya adalah

anak laki-laki tapi pencantuman kesemua model yang laki-laki dan tidak member kesempatan bagi model perempuan kurang bisa diterima.

(44)

Perkembangan Islam pada abad pertengahan menjadi tema sentral pada pembahasan di bab lima, dan bias terlihat kental sekali dalam bab ini karena dari semua bidang kejayaan Islam mulai dari perkembangan ilmu pengetahuan, arsitektur, sastra dan gambar yang disampaikan diwakili oleh kualitas maskulin semuanya. Meski memang sejarah mencatat kesemua ilmuan Islam mayoritas adalah laki-laki tetapi sangat tidak bijak mencantumkan hal tersebut tanpa diberikan penjelasan apa yang menyebabkan semua diskriminasi terhadap perempuan terjadi. Maka karena sejarah adalah menyampaikan fakta, kesemua ilmuan yang mewakili zaman kemajuan dan keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi Islam tetap disampaikan tapi perlu juga dipertimbangkan menyampaikan kondisi riil yang mengekang perempuan sehinggan seidkit sekali perempuan yang mampu menjadi pioneer dibidang ilmu pengetahuna dan teknologi.

7) Bab VII

(45)

pojok kisah yang mengangkat kisah Ratu Balqis yang membangun bendungan untuk mengantisipasi musim kemarau untuk pengairan. Dalam tema ini penyusun tidak menggunakan kata “muslim/muslimah” dan diganti dengan umat manusia dan tidak menyebut salah satu jenis kelamin sehingga pada bab ini bisa dikatakan aman dari bias meski tidak ditemukan nilai gender.

8) Bab VIII

Bab kedelapan ini membahas tentang iman terhadap kitab-kitab Allah yang jika dikaitkan dengan relasi gender sebenarnya tidak ditemukan benang merah antara keduanya, yang wajib diyakini oleh umat Islam adalah percaya bahwa setiap huruf yang tertuang dalam kitab Allah adalah berasal dari-Nya dan harus diyakini kebenarannya, masalah apakah didalamnya terdapat kontroversi soal gender, bukan dalam kapasitas keimanan terhadap kitab hal tersebut harus dibahas, karena sebagai sesuatu yang turun ke muka bumi berdasarkan konteks sosiohistoris maka hal tersebut dapat dimaklumi dan bisa dibicarakan dengan berbagai pendekatan untuk mendapat kemaslahatan bersama.

(46)

menggandeng sang muslimah. Dan sekali lagi penyusun buku memberikan kursi kehormatan fitur pojok kisah kepada kualitas maskulin Abdullah bin Dinar yang takut akan Tuhan meski secara kasat mata ia tidak dapat melihat Tuhan ketika ia dirayuAbdullah bin Umar untuk menjual satu domba milik majikannya yang sedang digembalakan, jika ini menyangkut keimanan yang begitu terpatri pada seseorang, dari kubu feminism juga terdapat seseorang perempuan yang bisa dijadikan contoh bernama Masyitoh sang pembantu Fir’aun, sayangnya perempuan selalu tidak mendapatkan tempat didunia nyata bahkan dunia buku sekalipun.

9) Bab IX

(47)

berjenis kelamin laki-laki yang ditampilkan dan kali ini Ibn Rusyd tokohnya. Yang sedikit menarik adalah pencantuman hadis Nabi yang berbunyi “dari Abu Musa r.a dia berkata, “Nabi SAW mendengar seseorang laki-laki memuji orang lain dan

melebih-lebihkan dalam memujinya (mengandung unsure dusta) maka

Rasulullah SAW bersabda,”telah kamu hancurkan (telah kamu

patahkan) punggung laki-laki itu” (HR. Bukhari Muslim).15 Dengan

pencantuman hadis ini ada fakta yang tidak terbantahkan bahwa laki-laki pun bisa melakukan hal yang berlebihan dan berbohong (membicarakan orang) yang biasanya ditasbihkan kepada kaum Hawa.

10) Bab X

Bab ini diberi judul Perilaku Tercela dengan Fokus materi Dosa Besar. Secara proposional penyusun memberikan peran kepada laki-laki dan perempuan, ini peneliti lihat dari frekuensi kemunculannya antara perempuan dan laki-laki. Dari dua pojok kisah yang ditampilkan satu diberikan bagi kaum Adam dengan kisah kaum Nabi Lut AS, dan sisanya dikisahkan seseorang perempuan yang mencuri.16 Selanjutnya dari 3 gambar yang disajikan, 1 gambar

dilihatkan dua orang anak perempuan dan ibunya sedang 15 Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas XI, hal. 126

(48)

bercengkrama, 1 gambar memperlihatkan 2 orang laki-laki sedang menangkap seseorang yang bersalah sedangkan gambar yang tersissa tidak dapat diidentifikasi apakah itu laki-laki dan perempuan sehingga secara gambar bab ini tidak ditemukan bias. Dan penyusun masih menjaga konsistensinya dalam penggunaan kata “muslim/muslimah”.

11) Bab XI

(49)

dalam realitas kaum hawa memang sedikit ruang yang diberikan kepada mereka dalam perawatan jenazah bahkan ke kubur pun dimakruhkan. Bias lain dalam bab ini adalah dalam pojok kisah lagi-lagi diberikan kepada kualitas maskulin yakni kisah tentang sahabat yang disabdakan Rasulullah sebagai penghuni surge yang tidak disebutkan namanya, tapi jika karena penasaran sahabat Abdullah bin Umar yang bisa menginap 3 hari dirumahnya tentu dapat dipastikan sahabat tersebut adalah laki-laki.

12) Bab XII

Pada keduabelas ini membahas materi Khotbah, Tabligh, Dakwah. Pada bab ini sangat menarik untuk dibahas terutama terkait dengan materi khotbah baik Jum’at ataupun hari raya dan salat gerhana yang memang diperuntukan hanya untuk laki-laki. Dalam penjelasannya penyusun buku mengatakan “Khatib Jum’at dan da’I dalam beberapa hal berbeda. Misalnya khatib jum’at harus

laki-laki (muslim), sedangkan juru dakwah selain laki-laki (muslim),

boleh juga wanita (muslimat)”.17 Penjelasan seperti ini adalah sudah

(50)

adalah mengapa hukum salat jum’at itu sunah bagi perempuan? Ini berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadis Thariq bin Syihab, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim (dengan berjamaah) kecuali

kepada empat orang : hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan

orang yang sedang sakit.” Lalu penjelasan tersebut muncul pertanyaan lagi mengapa perempuan tidak wajib menjalankan salat jum’at? Ada hikmah dibalik itu semua, salat jum’at harus dilakukan berjama’ah, jika semua orang diwajibkan ikut tentu akan sangat mengkhawatirkan keamanan rumah, sehingga dengan hukum sunnah justru membawa kemanfaatan bagi laki-laki maupun perempuan, disamping itu anak-anak juga tidak diwajibkan sehingga harus ada yang menjaga mereka (jama’ah memiliki pahala dan mengasuh anak juga memiliki pahalanya sendiri).

13) Bab XIII

(51)

Al-Manfaluti dalam bidang sastra, sedangkan tokoh perempuan hanya empat yang disebutkan yaitu Aisyah Abdurrahman, Fatwa Taqwan, Nazek Al-Malaikah dan Layla Ba’labaki dengan alasan tidak banyaknya peranan perempuan dalam sector public. Mseki benar adanya bahwa peranan perempuan tidak banyak tetapi harus diingat bahwa ada penyebab yang mengakibatkan perempuan tidak mendapatkan tempat di sektor publik dan justru hal tersebut membuka aib dinasti patriarchal bahwa mereka ikut bertanggungjawab atas semua diskriminasi yang terjadi bagi perempuan sehingga tidak banyak perempuan hebat yang bisa dikenal oleh khalayak umum.

c) Analisis Isi Buku Teks PAI Kelas XII Karya Syamsuri 1) Bab I

(52)

yang artinya dalam masalah akidah tidak ada istilah perbedaan jenis kelamin, sehingga muslim/muslimah harus bisa menjaga keimanannya tapi juga harus mampu berinteraksi dan bertoleransi dengan penganut agaman lain. Sehingga peneliti sepakat dengan salah satu rumusan penyusun “setiap muslim/muslimah akan bertekad dan beusaha secara sungguh-sungguh agar selama hidup

di ala mini senantiasa menyakini kebenaran agama Islam yang

dianutnya dan mengamalkannya seluruh ajarannya dengan

bertaqwa kepada Allah SWT”.18 Kunci keimanan adalah taqwa yang

memang hanya taqwalah menjadi ukuran kemuliaan manusia di sisi Tuhan bukan jenis kelamin, bagaimana umat Islam akan menghargai umat agama lain jika penghormatan kepada sesame umat Islam sendiri tidak dirumuskan dalam ajaran dan hukum yang dianut?, padahal al-Qur’an sendiri yang notabene kalam sanag

Khaliq mendeklarasikan hal tersebut. 2) Bab II

Bab kedua membahas Quran surah al-Mujadilah, 58; 11 tentang keunggulan orang beriman dan berilmu dan QS. al-Jumu’ah, 62: 9-10 tentang dorongan agar rajin beribadah dan giat bekerja. Tema ini sebenarnya mengandung nilsi kesetaraan gender karena dalam deklarasinya, salah satunya adalah manusia laki-laki atau

(53)

perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi yang diargumentasi dengan beberapa ayat salah satunya QS. an-Nisaa’, 4: 124. Prestasi dan ilmu memiliki keterkaitan yang sangat erat, karena dengan ilmulah kesempatan untuk meraih prestasi lebih terbuka lebar sehingga jika masih ada pelarangan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi, hal tersebut justru menyalahi risalah Quran.

3) Bab III

(54)

“ada tujuh macam golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya (alam akhirat) yaitu: (1) Imam (pemimpin) yang adil, (2) pemuda yang rajin kepada Allah, (3) orang yang hatinya rindu kepada masjid, (4) dua orang yang saling berkasih sayang dengan dilandasi niat ikhlas karena Allah, baik tatkala keduanya berkumpul ataupun pada waktu berpisah, (5) orang laki-laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan yang cantik, kemudian menolaknya sambil berkata, sesungguhnya saya takut pada Allah, (6) orang yang bersedekah secara rahasia, sehingga tangan kirinya tidak mengetahuui apa yang disedekahkan tangan kanannya, (7) dan orang yang mengingat Allah ketika sendirian, sehingga mencucurkan air mata.” (H.R. Bukhari Muslim)19

Pada poin kelima digambarkan bahwa perempuan adalah sebagai makhluk penggoda, dan jika seseorang laki-laki menolak godaan tersebut bisa mendapatkan perlindungan Allah dari kejamnya hari akhir. Pada realitanya tidak hanya para perempuan yang menjadi penggoda bahkan kasus pemerkosaan dan pembunuhan lebih banyak ditemukan terhadap wanita, artinya meskipun hadis itu benar secara sanad dan matan, tapi penyusun buku sebaiknya juga memaknai hadis tersebut secara kontekstual dimana baik laki-laki ataupun perempuan sama-sama bisa menggoda dan tergoda, sehingga tidak ada hanya pada perempuan kesalahan itu ditimpahkan.

4) Bab IV

(55)

Adil, rida dan amal saleh menjadi kunci pembahasan dalam bab ini. Ketiga perilaku terpuji tersebut mutlak harus dilakukan oleh muslim/muslimah. Tidak ditemukan bias didalamnya dan seperti biasa penyusun buku menjaga konsistensinya dalam penyebutan kata”muslim/muslimah” atau “siswa/siswi”. Dan juga disertakan kisah yang sangat inspiratif tentang kisah seorang ibu bernama Ummu Su’aim yang sabar menerima kematian anaknya padahal suaminya sedang berada di luar rumah. Dikisahkan ketika suaminya pulang jenazah anknya diletakan disudut rumah agar tidak dilihat secara langsung oleh suaminya, bahkan ia telah mempersiapkan makanan dan berdandan sehingga mereka berdua bermesraan, setelah itu sang istri mengkiaskan bahwa tetangganya marah sewaktu barang yang dipinjamkan diminta kembali dengan kematian anaknya yang merupakan pinjaman dari Allah dan telah dimintanya kembali. Dengan kesabaran yang sedemikian rupa sehingga mampu membuat suaminya tidak gusar dengan kematian anaknya.

5) Bab V

(56)

rumusan penjelasan yang saya anggap harus diberi catatan lebih terkait relasi suami istri dan kepemimpinan. Pertama tentang kewajiban suami dan istri; disebutkan bahwa diantara kewajiban suami adalah (a) member nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal (QS. at-Thalaq, 65: 7), (b) memimpin serta membimbing istri dan anak-anak, agar menjadi orang yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan Negara.20 Dua rumusan tersebut

harus dipahami dengan hubungan yang ma’ruf bahwa laki-laki sebagai pemimpin ruamh tangga bukanlah kemudian secara mutlak menjadi superior disbanding perempuan. Karena ayat ini turun dalam konteks keluarga sehingga tidak benar jika kemudian suami melarang istri yang kebetulan menjadi pemimpin di masyarakat, kecuali ketika rumah tangga berjalan timpang sehingga harus diselaraskan terlebih dahulu.

Satu penjelasan lagi yang menurut hemat penulis memuat nilai kesetaraan yakni masih dalam rumusan kewajiban suami

“membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam

mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang

(57)

saleh”.21 Rumusan secara jelas menunjukan bahwa urusan sumur

dan dapur bukan hanya kewajiban istri melainkan kewajiban bersama suami dan istri.

6) Bab VI

Bab ini membahas sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Jika dikatakan pada bab ini penuh dengan bias benar adanya karena semua tokoh penyebar Islam di Indonesia yang disebutkan adalah laki-laki mulai dari Walisongo di era klasik hingga Ahmad Dahlan di era modern. Namun karena pada realitanya inilah fakta yang sebenarnya. Meski bias, materi ini mengatakan kondisi riil perkembangan Islam di Indonesia yang memang tidak banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh perempuan karena memang kondisi sosial historis tidak mengizinkannya, tokoh permpuan bukan berarti tidak ada sehingga mungkin lebih baik ditambahkan jika memang ada.

7) Bab VII

(58)

khalifah hendaknya senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuannya tidak secara eksplisit menunjukan nilai kesetaraan gender karena penyusun hanya menulis penguasa sebagai keterangan khalifah, tetapi jika dilihat dari sisi bahwa keduanya memang sebgai khalifah di bumi benar adanya sesuai firman Allah, sehingga keduanya seyogyanya meningkatkan ilmu pengetahuannya untuk kesejahteraan manusia di muka bumi.

8) Bab VIII

(59)

kematian atau bencana yang memang lebih popular dalam materi ini. Namun dalam kamus istilah, tanpa ada singkronisasi dengan dengan materi disebutkan tiga kata yakni poliandri, poligami, dan monogami. Harusnya istilah tersebut diletakan dalam materi

munakahat.

9) Bab IX

Bab ini membahas tentang persatuan dan kerukunan. Tidak ada bias yang berarti meski gambar yang ada hanya satu dan itu diwakili kualitas maskulin, tapi gambar tersebut hanya mencoba mengajak siswa-siswi untuk memperkokoh kerukunan agar tidak semua masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari diselesaikan di meja hijau.22 Nilai-nilai kesetaraan gender tidak juga

dimunculkan dalam bab ini, dengan asumsi bab ini lebih pada persatuan umat/warga untuk tetap menjaga kerukunan diatas perbedaan yang begitu kentara di bumi Indonesia ini.

10) Bab X

Perilaku tercela adalah pembahsan pokok pada bab kesepuluh yang terdiri dari Israf, Tabzir, Ghibah, dan fitnah. Tidak ada penjelasan yang menyudutkan salah satu kualitas karena diantara sifat-sifat tercela yang dijelaskan seringkali dialamatkan kepada

(60)

perempuan. Gambar yang ditampilkan juga sudah mewakili tiap kualitas meski tidak ada secara spesifik tentang nilai nilai diskriminasi gender tapi ada nilai penting yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya bahwa baik kualitas maskulin maupun feminism sama berpotensi untuk melakukan kebaikan dan meraih prestasi atau sebaliknya sama-sama berpotensi melakukan perilaku tercela seperti dijelaskan dalam bab kesepuluh ini.

11) Bab XI

Bab ini membahas tentang mawais yang dibagi menjadi 7 subbab; a) Ketentuan Mawaris, b) Harta sebelum diwaris, c) Ahli waris, d) Hijab, e) Perhitungan waris, f) Perundang-undangan waris di Indonesia, dan g) Hikmah waris. Dalam penjelasannya tentu penyusun buku merumuskan mawaris berdasarkan ilmu al-faraidh

(61)

keluarga sang suami. Dalam rumusannya penyusun menulis “anak laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat dari bagian anak

perempuan. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan bahwa

kewajiban dan tanggungjawab anak laki-laki lebih besar daripada

anak perempuan.”23 Penjelasan tersebut secara logis bisa diterima

dalam kultur masyarakat Arab tapi di Indonesia dimana banyak perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga tentu hal itu bisa dikatakan diskriminatif. Perlu diketahui, keseluruhan bagian perempuan dalam waris tidak semuanya mencerminkan 2:1. Hal ini terbukti dalam bagian laki-laki dan perempuan itu 2:1 ketika mereka sebagai anak. Ketika perempuan menjadi istri bagiannya seperempat kalau suaminya yang meninggal dan tidak punya anak dari pernikahan tersebut, jika memiliki anak maka bagiannya adalah seperdelapan. Ketika menjadi ibu bagiannya sama dengan bapak yaitu seperenam ketika mempunyai anak. Apabila tidak punya anak atau saudara bagian ibu sepertiga. Ketika menjadi saudara, baik laki-laki atau perempuan sama bagiannya yaitu seperenam. Tetapi jika kembali alasan harus memberi nafkah yang dipergunakan untuk memperkokoh bagian 2:1 maka kita harus lihat konteks turunnya ayat 11 surah an-Nisa:

(62)

















































































































































Artinya:

(63)

manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini sebenarnya turun karena latar belakang sosiologis masyarakat saat itu yaitu berdasarkan hadis tentang aduan istri Sa’ad bin Al-Rabi yang ditinggal mati suaminya dan semua harta suaminya diambil oleh saudara suaminya dan tidak menyisakan sedikitpun untuk kedua anak perempuan Sa’ad bin Al-Rabi,24 Hadis

tersebut:

Ya Rasulullah, kedua perempuan ini adalah anak Sa’ad bin Al-Rabi yang menyertai tuan dalam perang Uhud, ia telah gugur sebagai sahid. Paman kedua putrid ini mengambil harta bendanya dan tidak meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak kami sukar mendapatkan jodoh kalau tidak berharta. “Rasulullah SAW bersabda: “Allah akan memutuskan persoalan tersebut. “maka turunlah ayat tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Al-Turmizi, Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim yang bersumber dari Jabir.

Jelas dilihat dari asbab nuzul ayat tersebut karena anak Sa’ad bin Al-Rabi tidak diberi warisan sama sekali, dengan turunnya ayat tersebut berarti ada aturan hukum baru bahwa perempuan harus mendapat bagian warisan. Dengan melihat latar belakang turunnya ayat tentang pembagian warisan harus dibaca sebagai proses awal

(64)
(65)

khas dan cultural diaplikasikan dengan masyarakat lain yang memiliki karakteristik kultur yang berbeda.

12) Bab XII

Bab terakhir dalam buku ini adalah Sejarah Kebudayaan Islam tentang perkembangan Islam di Dunia yang meliputi; a) Islam di benua Asia, b) Islam di benua Eropa, c) Islam di benua Afrika, d) Islam di benua Australia dan Pasifik, e) Islam di benua Amerika, dan f) Hikmah perkembangan Islam di dunia. Perkembangan Islam dalam sebuah Negara tentu dipengaruhi juga oleh tokoh-tokoh yang mengajukan pemikiran sekaligus bergerak dalam perjuangan. Dalam penjelasannya tokoh-tokoh yang disebutkan semuanya adalah dari kualitas maskulin, seperti; Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, dan Abu A’la al Maududi yang merupakan tokoh-tokoh Islam di Pakistan, sehingga jika disebutkan bab ini terdapat bias secara frekuensi adalah benar adanya. Mengenai nilai-nilai kesetaraan gender secara eksplisit tidak disebutkan aleh penyusun buku, karena penyusun buku memilih hanya menggunakan kata muslim saja tanpa disertai kata muslimah, meski secara tekstual maksud dari penyusun buku adalah umat Islam secara keseluruhan. 2. Hasil Analisis Isi Buku Teks PAI Perspektif Kesetaraan

(66)
[image:66.612.107.536.155.711.2]

a) Kelas X

Tabel 2 Ba

b Gender Equity Bias Keterangan

I 1. Penjelasan mengenai

proses kejadian manusia

a. Hanya Adam yang ditunjuk sebagai

Khalifah

Catatan:

Esensi khalifah adalah manusia sebagai tangan

Allah dalam

mengelola bumi beserta isisnya sehingga menjadi manfaat bagi kehidupan

manusia dan tugas tersebut pada hakikatnya

dibebankan

kepada seluruh umat manusia II 2. Penggunaan

kata

“muslim/muslim ah”

b. Inkonsistensi kata. Kata mukhish yang tidak disertai kata

mukhishah

Catatan:

Dari unsur tema tentang kewajiban beribadah (misi tauhid) dengan keikhlasan secara implicit

mengandung

unsur gender

equality.

III 3. Penggunaan kata

“muslim/muslim ah”

c. Gambar 3.2 digambarkan laki-laki

pemaaf tapi

tidak ada

model perempuan padahal ada 10 perilaku

manivestasi

Catatan:

 Dari unsur

tema tentang iman kepada Allah (misi Tauhid)

mengandung unsur gender

(67)

asma’ al husna yang

dijelaskan

d. Asma’ al husna

yang

disebutkan dalam term

muzdakar

 Allah tidak berjenis

kelamin

laki-laki atau

perempuan, tema

muzdakar yang

dipakai dalam

asma’ al husna

sangat erat terkait dengan kaidah bahasa

Arab yang

menyaratkan dipakainya term muzdakar

untuk

mukhatab yang

plural IV 4. Penggunaan

kata

“muslim/muslim ah”

5. Gambar 4.2 suasana lomba

khitabah yang

diikuti siswa dan siswi

(kesempatan yang sama)

e. Gambar 4.1 digambarkan laki-laki sedang

berzikir; tidak

ada model

perempuan padahal ada 2 perilaku yang dijelaskan f. Pembagian

peran

domestic untuk istri dan peran publik untuk suami. Dalam

rumusan :

agar tujuan luhur tersebut dapat

terwujud,

maka suami sebagai kepala

Catatan:

Karena sedari awal penulisan tidak ada perspektif

gendr dalam

(68)

keluarga dan istri sebagai

ibu rumah tangga, pendamping suami, hendaknya saling berprasangka baik tidak

boleh saling curiga, saling memenuhi hak dan melaksanakan kewajiban masing-masing dengan sebaik-baiknya”.

g. Lagi; kualitas maskulin

dalam fitur pojok kisan V 6. Penggunaan

kata

“muslim/muslim ah”

h. Tokoh yang ditampilkan mayoritas dai kualitas

maskulin

i. Lagi; kualitas maskulin

dalam fitur pojok kisan

Catatan:

Karena sedari awal penulisan tidak ada perspektif

gendr dalam

penyusunannya

VI Tidak ada j. Tokoh yang

ditampilkan mayoritas dai kualitas

maskulin

k. Lagi; kualitas maskulin

dalam fitur pojok kisan

Catatan:

(69)

yang disampaikan pada siswa/siswi VII 7. Penggunaan

kata

“muslim/muslim ah”

l. Gambar 6.1 tentang rapat warga yang semuanya laki-laki (kemana warga

perempuan?) m. Dalam fitur kaji

kasus semua tokoh yang diperankan laki-laki

Catatan: Inkonsistensi

penjelasan dengan gambar

VIII 8. Penggunaan kata

“muslim/muslim ah”

9. Penjelasan

tentang bahwa malaikat bukan laki-laki bukan pula perempuan meski nama-nama mereka tergolong

maskulin

n. Gambar 8.1 menggambark an 4 orang laki-laki

sebagai sukarelawan bencana alam dan gambar 8.2 adalah suasana salat jama’ah yang kebetulan

jama’ahnya adalah laki-laki semua

o. Lagi; kualitas maskulin

dalam fitur pojok kisan

Catatan:

Terkait dengan sisiopsycolinguistik masyarakat arab yang taghlib al zdakar

IX 10. Penggunaan kata

“muslim/muslim ah”

11. Gambar 9.1 menggambarka n laki-laki melanggar jalur

busway dan

p. Batas aurat dalam salat diberlakukan pula dalam kehidupasn sehari-hari

Catatan:

Ada perbedaan pendapat

mengenai batas

aurat; tapi

[image:69.612.108.535.112.703.2]
(70)

gambar 9.2 yang menunjukan seorang perempuan sedang mengemudikan mobil sambil menelpon. Disini dapat dikatakan

bahwa baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berpotensi untuk melanggar

peraturan sama potensinya

mereka berdua meraih prestasi

kecuali telapak tangan dan muka, yang sejatinya hadis Nabi itu dalam batasan sholat, kemudian karena kultur cara berbusana

perempuan arab sehingga

disamakan antara aurat sholat dan sehari-hari

X 12. Penggunaan kata

“muslim/muslim ah”

13. Gambar 10.1 memperlihatkan interaksi

siswa-siswi yang

proposional, ada siswa laki-laki

dan siswi

perempuan

yang

sama-sama meraih prestasi

14. Rumusan:

“orang tua yang

membeda-bedakan perlakuan

q. Gambar 10.2 yang

mengilustrasik an seorang laki-laki

mendapat tindakan diskriminatif dari tiga siswi dan seorang siswa

Catatan:

Dalam fitur pojok kisah diceritakan 3 laki-laki yang masuk ke neraka karena sifat riya’

padahal perilaku mereka

mencerminkan spiritualitas

mereka. Ini

membuktikan jika tetap disepakatai adanya arcethype spiritual

partnership

tetaplah bahwa superioritas

[image:70.612.109.533.112.700.2]
(71)

terhadap anak-anaknya adalah contoh perilaku diskriminatif dalam keluarga. Misalnya anak perempuan tidak

disekolahkanka

n karena

dianggap tidak perlu, padahal

orang tua

mampu dan si anak juga ingin sekolah. Dalam undang-undang tentang Hak Asasi Manusia bagian 10, Hak anak Pasal 52

ayat 1

dikemukakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtuanya, keluarga, masyarakat, dan negara

oleh ketakwaan, keimanan dan keikhlasannya beribadah

terhadap Tuhan bukan karena gender atau jenis kelamin yang dimiliki.

XI Tidak ada r. Mahram bagi

perempuan yang

berangkat haji s. Lagi; kualitas

maskulin

dalam fitur pojok kisah t. Inkonsesisitens

i kata. Kata

Catatan:

Perlu dikaji ulang persyaratan

mahram karena pemberangkatan haji dilakukan secara

berkelompok dan dikawal amirul hajj<

Gambar

BaTabel 2Gender EquityBias
Gambar
gambar
BaTabel 3Gender EquityBias
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa service performance adalah penilaian menye- luruh konsumen terhadap hasil pelayanan yang dirasakan saat menerima pelayanan

(4) Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud ayat (3) Bupati atau Kepala Dinas tidak memberikan keputusan, permohonan keberatan penagihan pajak

Bahan kimia yang ada dalam cat tembok di anataranya adalah kalsium karbonat (CaCo), titanium dioksida (TiO), PVAC (Poly Vinly Acrylic), kaolin, pigmen, dan air.. Kalsium karbonat

Tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan atau hubungan sebab akibat dengan cara membandingkan hasil kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dengan

CE5012 Sistem Transportasi Publik dan Jalan Rel Public Transport Systems and Railway CE5013 Fasilitas Pelabuhan Port Facilities CE5014 Teknik Bandar Udara Airport Engineering

Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang aktivitas antikanker pada daun sirsak, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek sitotoksik ekstrak etanol,

Akan tetapi, masih terdapat kelemahan dalam penerapan pengendalian intern antara lain tidak terdapat job description secara jelas untuk para karyawan,

The second stage is about payment of local minimum wage policy in Malang City from company to Workers. In the implementation process, each company has obliged to pay