• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab VIII

Dalam dokumen BAB IV Hasil Analisis Buku PAI (Halaman 45-50)

Bab kedelapan ini membahas tentang iman terhadap kitab-kitab Allah yang jika dikaitkan dengan relasi gender sebenarnya tidak ditemukan benang merah antara keduanya, yang wajib diyakini oleh umat Islam adalah percaya bahwa setiap huruf yang tertuang dalam kitab Allah adalah berasal dari-Nya dan harus diyakini kebenarannya, masalah apakah didalamnya terdapat kontroversi soal gender, bukan dalam kapasitas keimanan terhadap kitab hal tersebut harus dibahas, karena sebagai sesuatu yang turun ke muka bumi berdasarkan konteks sosiohistoris maka hal tersebut dapat dimaklumi dan bisa dibicarakan dengan berbagai pendekatan untuk mendapat kemaslahatan bersama.

Dalam bab ini penulis mulai menggunakan lagi kata “muslim/muslimah” hanya saja seperti kasus terdahulu penyusun tidak konsisten karena hanya menyebutkan muslim saja tanpa

menggandeng sang muslimah. Dan sekali lagi penyusun buku memberikan kursi kehormatan fitur pojok kisah kepada kualitas maskulin Abdullah bin Dinar yang takut akan Tuhan meski secara kasat mata ia tidak dapat melihat Tuhan ketika ia dirayuAbdullah bin Umar untuk menjual satu domba milik majikannya yang sedang digembalakan, jika ini menyangkut keimanan yang begitu terpatri pada seseorang, dari kubu feminism juga terdapat seseorang perempuan yang bisa dijadikan contoh bernama Masyitoh sang pembantu Fir’aun, sayangnya perempuan selalu tidak mendapatkan tempat didunia nyata bahkan dunia buku sekalipun.

9) Bab IX

Berperilaku terpuji menjadi judul pada materi kesembilan yaitu tentang menghargai karya orang lain. Dalam bab ini penyusun masih melakukan inkonsistensi dengan penyebutan kata “muslim/muslimah”, dalam satu penjelasan penyusun menggunakan kedua kata tersebut tapi penjelasan yang lain penyusun hanya menggunkan salah satunya terutama yang lebih sering term mudzakar yang dipakai. Meski demikian, gambar dalam bab ini tidak mengandung unsur bias karena memperlihatkan adanya potensi yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk meraih prestasi, hanya saja dalam fitur pojok kisah lagi-lagi ilmuan

berjenis kelamin laki-laki yang ditampilkan dan kali ini Ibn Rusyd tokohnya. Yang sedikit menarik adalah pencantuman hadis Nabi yang berbunyi “dari Abu Musa r.a dia berkata, “Nabi SAW mendengar seseorang laki-laki memuji orang lain dan melebih-lebihkan dalam memujinya (mengandung unsure dusta) maka Rasulullah SAW bersabda,”telah kamu hancurkan (telah kamu patahkan) punggung laki-laki itu” (HR. Bukhari Muslim).15 Dengan pencantuman hadis ini ada fakta yang tidak terbantahkan bahwa laki-laki pun bisa melakukan hal yang berlebihan dan berbohong (membicarakan orang) yang biasanya ditasbihkan kepada kaum Hawa.

10) Bab X

Bab ini diberi judul Perilaku Tercela dengan Fokus materi Dosa Besar. Secara proposional penyusun memberikan peran kepada laki-laki dan perempuan, ini peneliti lihat dari frekuensi kemunculannya antara perempuan dan laki-laki. Dari dua pojok kisah yang ditampilkan satu diberikan bagi kaum Adam dengan kisah kaum Nabi Lut AS, dan sisanya dikisahkan seseorang perempuan yang mencuri.16 Selanjutnya dari 3 gambar yang disajikan, 1 gambar dilihatkan dua orang anak perempuan dan ibunya sedang 15 Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA kelas XI, hal. 126

16 Lagi suatu realita yang menunjukan laki-laki atau perempuan punya potensi yang sama besar dalam kebaikan ataupun keburukan.

bercengkrama, 1 gambar memperlihatkan 2 orang laki-laki sedang menangkap seseorang yang bersalah sedangkan gambar yang tersissa tidak dapat diidentifikasi apakah itu laki-laki dan perempuan sehingga secara gambar bab ini tidak ditemukan bias. Dan penyusun masih menjaga konsistensinya dalam penggunaan kata “muslim/muslimah”.

11) Bab XI

Bab ini membahas tentang perawatan jenazah. Dalam bab sebelumnya telah disebutkan banyak bias dalam salah satu bab fiqih ini. Seperti lapis kain yang harus disematkan pada mendiang, hal tersebut juga dijelaskandalam materi ini karena memang sudah menjadi semacam aturan yang tidak dapat diubah. Namun meskipun demikian ada hikmah yang terkandung dalam jumlah lapis kain ini, yakni secara biologis konstruk tubuh perempuan memang membutuhkan lebih banyak penutup untuk menjaga aurat perempuan. Meski gambar yang ditampilkan semuanya laki-laki dari 3 gambar, 2 dapat diterima karena 2 gambar adalah ilustrasi memandikan mayat sehingga tentu saja gambar laki-laki lebih etis dan secara aurat dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan yang lain adalah gambar jamaah salat jenazah yang dilakukan semuanya oleh kualitas maskulin, yang sebenarnya menggambarkan bahwa

dalam realitas kaum hawa memang sedikit ruang yang diberikan kepada mereka dalam perawatan jenazah bahkan ke kubur pun dimakruhkan. Bias lain dalam bab ini adalah dalam pojok kisah lagi-lagi diberikan kepada kualitas maskulin yakni kisah tentang sahabat yang disabdakan Rasulullah sebagai penghuni surge yang tidak disebutkan namanya, tapi jika karena penasaran sahabat Abdullah bin Umar yang bisa menginap 3 hari dirumahnya tentu dapat dipastikan sahabat tersebut adalah laki-laki.

12) Bab XII

Pada keduabelas ini membahas materi Khotbah, Tabligh, Dakwah. Pada bab ini sangat menarik untuk dibahas terutama terkait dengan materi khotbah baik Jum’at ataupun hari raya dan salat gerhana yang memang diperuntukan hanya untuk laki-laki. Dalam penjelasannya penyusun buku mengatakan “Khatib Jum’at dan da’I dalam beberapa hal berbeda. Misalnya khatib jum’at harus laki-laki (muslim), sedangkan juru dakwah selain laki-laki (muslim), boleh juga wanita (muslimat)”.17 Penjelasan seperti ini adalah sudah menjadi jumhur ulama dan tertera dalam banyak literature fiqih, dan penjelasan hal tersebut juga bisa dianggap bias. Namun demikian, hal ini sangat terkait dengan kewajiban salat jum’at yang hanya diperuntukan untuk laki-laki, yang menjadi pertanyaan 17 Syamsuri, Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XI, hal. 126

adalah mengapa hukum salat jum’at itu sunah bagi perempuan? Ini berdasarkan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadis Thariq bin Syihab, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim (dengan berjamaah) kecuali kepada empat orang : hamba sahaya, wanita, anak-anak, dan orang yang sedang sakit.” Lalu penjelasan tersebut muncul pertanyaan lagi mengapa perempuan tidak wajib menjalankan salat jum’at? Ada hikmah dibalik itu semua, salat jum’at harus dilakukan berjama’ah, jika semua orang diwajibkan ikut tentu akan sangat mengkhawatirkan keamanan rumah, sehingga dengan hukum sunnah justru membawa kemanfaatan bagi laki-laki maupun perempuan, disamping itu anak-anak juga tidak diwajibkan sehingga harus ada yang menjaga mereka (jama’ah memiliki pahala dan mengasuh anak juga memiliki pahalanya sendiri).

Dalam dokumen BAB IV Hasil Analisis Buku PAI (Halaman 45-50)

Dokumen terkait