Bidang Ilmu Sosial
Kode/Nama Rumpun Ilmu:593/Hubungan Internasional
LAPORAN AKHIR TAHUN KE 3 HIBAH BERSAING
Penyusunan Buku dan Artikel Diplomasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional
Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam
Ketua Peneliti: Ratih Herningtyas,S.IP,MA
NIDN: 0521017801
Anggota :
Prof. Dr. Tulus Warsito, M.Si NIDN: 0510105301
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ABSTRAK
Tujuan akhir penelitian tahun ke 3 adalah terbitnya buku peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi pemerintah daerah di Indonesia dan terdesiminasikannya artikel ilmiah dalam Jurnal Nasional terakreditasi.
Pengambilan lokasi penelitian di Propinsi DIY, terkait dengan telah ditetapkannya DIY sebagai daerah rawan bencana gempa bumi dan erupsi Merapi. Populasi penelitian adalah birokrasi, baik di level eksekutif maupun legislatif, di pemerintah daerah Propinsi DIY dengan metode sampling stratified random sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan penelusuran naskah buku diplomasi dengan menggunakan pendekatan soft power, penyebaran quisioner, wawancara mendalam dan focus group discussion kepada aparat birokrasi di pemerintah daerah Propinsi DIY, konsultasi pakar dan kemudian dijadikan analisis padu dalam buku Diplomasi Bencana Alam.
Untuk menyusun buku dan artikel Jurnal akan dilakukan penelitian pustaka dan curah gagas dengan ahli dan praktisi diplomasi di beberapa universitas di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
Bencana alam di Indonesia cenderung menjadi fenomena yang terus menerus
terjadi. Selama tahun 2008 saja, WALHI mencatat telah terjadi 359 bencana alam
yang menimpa sebagian wilayah di Indonesia, meliputi banjir, tanah longsor, dan
gempa bumi.1 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang rawan bencana gempa bumi, dan erupsi Merapi beserta efek yang
ditimbulkannya seperti bencana wedhus gembel dan banjir lahar dingin.
Dalam konteks tertentu, bencana seringkali difahami sebagai sesuatu yang
bersifat negatif. Namun dalam konteks studi diplomasi, issue bencana alam justru
dapat dikelola menjadi modal sosial positif untuk menyelesaikan problem sosial,
ekonomi, politik dan sosial budaya di daerah rawan bencana. Bencana alam memiliki
keunikan untuk dikapitalisasi sebagai instrumen strategis untuk membangun
kolaborasi kerjasama regional maupun internasional untuk meningkatkan infrastruktur
yang dapat mengurangi derajat kerugian material maupun immaterial dari bencana
yang sewaktu-waktu terjadi.
Peratruran Perundang-Undangan yang mengatur tentang bencana alam tidak
memasukkan konsep diplomasi bencana alam sebagai intrumen yang penting dalam
proses penanggulangan bencana alam. Kondisi ini kemudian berakibat kepada
penatalaksanaan bencana alam seringkali bersifat reaksioner, atau meminjam istilah
Jusuf Kalla, “bencana alam senantiasa berangkat dari angka 0.” Proses
penatalaksanaan managemen bencana alam yang pro-aktif melalui penguatan
diplomasi bencana alam diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar bagi
pemerintah pusat dan daerah untuk mengkapitalisasi isu bencana alam sebagai modal
sosial untuk membangun kerjasama internasional yang produktif bagi proses
mengurangi dampak dari bencana alam itu sendiri.2
1 WALHI : 359 Bencana Alam di Indonesia dalam http://www.antaranews.com/view/?i=1244199032
diakses pada 1 Maret 2010
2
Lihat lebih jauh dalam pandangan Kemenlu RI dalam memaknai arti penting diplomasi bencana http://www.rakyatmerdeka.co.id/internasional/2009/12/16/7133/Diplomasi-Kemanusian-antara-Indonesia-dan-Hongaria- atau lihat pernyataan Menlu Martin Natalegawa tentang tangible currency dalam diplomasi
Hasil penelitian Pelembagaan Diplomasi Bencana Alam Untuk
Mengkapitalisasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Untuk
Mengantisipasi dan Mengurangi Dampak Bencana Alam di Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta ini diharapkan dapat diterapkan untuk memecahkan masalah
strategis;
Pertama, terlembaganya konsep dan praktik diplomasi bencana alam dalam produk perundang-undangan yang terkait dengan bencana alam, sehingga akan
mendukung produktivitas dan efektivitas managemen bencana alam yang dilakukan
oleh pemerintah pusat maupun daerah. Penelitian dapat digunakan sebegai referensi
dasar bagi upaya revisi UU No 24 Tahun 2007 yang tidak mengatur secara sistematis
tentang arti penting diplomasi bencana alam.
Kedua, meningkatnya kerjasama internasional yang dibangun oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak dari
bencana alam. Penelitian ini diharapkan akan dapat mensitumuli inisiatif untuk
melakukan serangkaian kerjasama internasional antara pemerintah pusat dan daerah
dengan fihak negara asing, organisasi internasional berbasis pemerintah, organisasi
internasional berbasis non pemerintah, maupun perusahaan multi nasional untuk
mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam. Riset tentang penatalaksanaan diplomasi bencana di tingkat pemerintah daerah akan memperkuat kapasitas
diplomasi Indonesia secara umum dalam memperjuangkan kepentingan nasional yang
berhubungan dengan isu bencana alam.
Ketiga, meningkatnya pelembagaan strategi diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisasi issue bencana alam sebagai intrumen kerjasama internasional baik di
tingkat pusat dan daerah. Pelembagan strategi diplomasi bencana terhadap birokrasi di
daerah akan meningkatkan inisitaif dan profesionalitas birokrasi di daerah dalam
menjalankan praktik diplomasi bencana alam secara produktif dan efisien.
Keberhasilan birokrasi daerah menjalankan praktik diplomasi bencana alam yang
efektif dan efisien yang bersinergi dengan pemerintah pusat, akan mampu
mengakumulasi lebih banyak sumberdaya terutama dari luar negeri untuk mengurangi
dampak negatif dari bencana alam.
I.2. Tujuan Khusus
1. Menyusun buku peningkatan kapasitas diplomasi bencana alam bagi birokrasi
pemerintah daerah Propinsi DIY.
2. Menulis artikel Jurnal untuk dipublikasikan dalam Jurnal Nasional terakreditasi
I.3. Urgensi(Keutamaan) Penelitian
Penelitian tentang pelembagaan diplomasi bencana alam untuk
mengkapitalisasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional untuk
mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam di Pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta memiliki arti penting dalam beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, masihnya rendahnya political will dari pemerintah Indonesia dalam melakukan kapitalisasi isue bencana alam sebagai intrumen penting dalam
membangun kerjasama internasional untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak
bencana alam. Hal ini ditandai dengan tidak diaturnya konsep dan praktik diplomasi
bencana alam dalam produk perundang-undangan tentang bencana alam baik di level
pusat maupun daerah. Kondisi ini kemudian mengakibatkan terjadi persoalan
ketidakjelasan mekanisme pengaturan kebijakan terkait dengan penatalaksanaan
praktik diplomasi bencana alam sehingga mengakibatkan berbagai kebijakan pusat
dan daerah yang terkait dengan kerjasama internasional untuk mengantisipasi dan
mengurangi dampak bencana alam saling tunggu-menunggu.
Upaya untuk mengkapitalisasi issue bencana alam dalam membangun
kerjasama internasional sebagai kebijakan yang strategis, karena memungkinkan
proses transfer pengetahuan, tehnologi, pengalaman maupun good practices secara komprehensif dan sistematis dengan negara yang memiliki potensi kebencanaan yang
sama. Proses transformasi ini akan memungkinkan kapasitas pemerintah dalam
mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam akan semakin tinggi sehingga
proses managemen bencana alam yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun
daerah akan menjadi lebih baik.
Kedua, masihnya rendahnya kerjasama internasional yang dibangun oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya mengantisipasi dan mengurangi
dampak dari bencana alam. Selama ini kerjasama yang dibangun lebih menfokuskan
diri kepada kerjasama dalam hal rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
dibandingkan dengan kerjasama yang bersifat mempersiapkan sistem kebijakan dan
infra-struktur untuk menanggulangi bencana alam. Pilihan kebijakan ini
bersifat reaksioner, tidak fokus, dan parsial. Pengaruh kebijakan pemerintah dalam
membangun kerjasama internatif yang tidak komperehensif tersebut mengakibatkan
investasi sosial, ekonomi, tehnologi untuk mengantisipasi bencana alam menjadi
sangat rendah. Penelitian ini diharapkan akan dapat mensitumuli serangkaian
kerjasama internasional antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengantisipasi dan
mengurangi dampak bencana alam.
Ketiga, masih rendahnya pelembagaan strategi diplomasi bencana alam untuk mengkapitalisasi issue bencana alam sebagai intrumen kerjasama internasional.
Diplomasi pada dasarnya merupakan praktik untuk melakukan negosiasi dengan
stakeholder internasional, seperti negara, organisasi internasional yang berbasis
pemerintah (international-govermental organization), organisasi internasional yang berbasis non pemerintah (international non govermental organization), maupun perusahaan-perusahaan international (multi national corporation) untuk memperjuangkan pencapaian kepentingan nasional. Praktik diplomasi dengan aktor
tersebut membutuhkan seperangkat pengetahuan, skill, maupun etika diplomasi yang
memadai agar praktik diplomasi tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien.,
egaraPenelitian tentang
Rendahnya pelembagaan strategi diplomasi bencana alam dalam
mengkapitalisasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional mengakibatkan
kapasitas birokrasi daerah dalam menjalankan praktik diplomasi bencana alam
menjadi angat tidak memadai. Kondisi ini kemudian berakibat kepada rendahnya
inisiatif birokrasi di pemerintah daerah baik di level eksekutif dan yudikatif untuk
mengartikulasikan kerjasama internasional sebagai instrumen strategi untuk
BAB II STUDI PUSTAKA
Studi diplomasi bencana memaknai bencana sebagai sebuah instrumen yang
penting untuk memperjuangkan kepentingan politik seperti perdamaian, kepentingan
ekonomi seperti kolaborasi kerjasama ekonomi antar negara secara lebih intensif, atau
kepentingan sosial budaya untuk membangun komunitas humanis dan berkeadaban.
Fenomena bencana alam jika difahami dalam perspektif positif, justru dapat
memberikan nilai tambah yang sangat besar untuk menyelesaikan berbagai problem
kemanusian yang selama ini tak terpecahkan melalui diplomasi politik maupun
ekonomi yang seringkali berwatak distributif, menang dan kalah.
Menurut Louise K. Comfort, issue bencana sekarang ini menjadi isu yang
sangat krusial bagi peningkatan kualitas kesejahteraan manusia. Bencana harus
didefinisikan secara lebih luas, tidak hanya sebatas isu bencana alam semata namun
juga bencana penyakit menular yang memiliki efek global seperti endemic virus Flu
Burung, Flu Babi, ataupun isu pemananasan global. Pendefinisian bencana sebagai isu
global diharapkan akan dapat meningkatkan emphati dari masyarakat dunia untuk
terlibat bersama menyelesaikan problem bencana.
Disaster Diplomacy examines the role of disaster-related activities not just in international affairs and international relations, but also in political conflicts not involving more than one independent state. Disaster Diplomacy also embraces a wide definition of "disaster", not just rapid-onset events such as earthquakes and industrial explosions, but also events which are more diffuse in space and time such as droughts, epidemics, and global changes. These latter events have been termed "chronic disasters", "creeping changes", and "disaster conditions" amongst other terms.3
Studi kontemporer yang dilakukan oleh I. Kelman menunjukkan bahwa
bencana tidak selalu menjadi faktor yang buruk bagi masyarakat, namun dalam batas
tertentu dapat dikelola untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan konflik
yang selama ini tak terpecahkan, baik dalam konteks persoalan dalam level nasional
3
maupun antara negara.4 Argumen besar dari Kelman adalah bencana justru memberikan ruang yang besar bagi fihak-fihak yang memiliki potensi sebagai daerah
yang rawan bencana untuk mencari ruang yang bisa dikerjakan untuk mengurangi
resiko yang ditimbulkan dari bencana alam itu sendiri.
Studi Kelman tentang konflik Aceh memberikan gambaran yang sangat
menarik. Konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia, telah
berlangsung lebih dari 25 tahun, dan untuk menyelesaikan masalah konflik Aceh telah
dilakukan upaya perundingan damai semenjak tahun 1995 dengan melibatkan banyak
fihak. Namun upaya damai tersebut senantiasa mengalami jalan buntu. Baru pada
perdamaian Helsinki antara GAM dan Indonesia justru mengalami kemajuan yang
berarti, di mana perundingan ini terjadi pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami
di Aceh.5
Studi Kelman semakin menunjukan fungsionalitas diplomasi bencana alam6. Dalam studinya juga menunjukkan bahwa bencana alam juga dapat dikelola untuk
menjadi ruang bagi peningkatan kerjasama politik, ekonomi, sosial budaya yang lebih
luas. Negara-negara yang tergolong sebagai daerah yang rawan bencana atau
potensial mengalami bencana alam, yang sebelumnya tidak melakukan kerjasama
yang intensif, bahkan cenderung bermusuhan secara politik, kemudian memilih
melakukan kerjasama untuk mengurangi resiko dan dampak bencana. Indonesia, Cina
dan Jepang memilih meningkatkan kualitas hubungan kerjasama di samping karena
persoalan ekonomi, juga terkait dengan potensi Cina, Jepang dan Indonesia sebagai
daerah rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.
Studi tentang fungsionalitas diplomasi bencana alam juga dilakukan oleh
Weizhun. Menurut Weizhun, pertumbuhan ekonomi China yang progresif dalam 10
tahun terakhir ini tidak dapat dilepaskan dari upaya kapitalisasi pemerintah China
untuk mengelola bencana alam, sebagai sarana membangun kerjasama internasional
dengan negara-negara yang selama ini mencurigai kebijakan China yang interventif.
China bukan lagi dianggap sebagai kekuatan yang dianggap musuh, karena China
4 Kelman, I. 2006. "Disaster Diplomacy: Hope Despite Evidence?". World Watch Institute Guest Essay, 2006, Kelman, I. 2007. "Disaster diplomacy: Can tragedy help build bridges among countries?"
UCAR Quarterly, Fall 2007, p. 6, Kelman, I. 2007. "Weather-Related Disaster Diplomacy". Weather and Society Watch, vol. 1, no. 3, pp. 4,9
5 Kelman, I. and J.-C. Gaillard. 2007. "Disaster diplomacy in Aceh". Humanitarian Exchange, No. 37
(March 2007), pp. 37-39. Atau lihat dalam Gaillard, J.-C., E. Clavé, and I. Kelman. 2008. "Wave of peace? Tsunami disaster diplomacy in Aceh, Indonesia". Geoforum, vol. 39, no. 1, pp. 511-526.
6
justru menunjukan politik emphati untuk terlibat dalam kerjasama dengan
negara-negara yang rawan bencana alam. Dari sinilah kemudian investasi China dapat
ditanam di negara-negara yang selama ini menolak investasi modal dari China.
The practice of Disaster Diplomacy has a great influence and actual values on improving national and international interests. Disaster Diplomacy is flexible and multiform yet uncertain and there are some restrictions in the process of diplomatic practice. Disaster Diplomacy can also promote the Chinese role "as a responsible and powerful country".7
The Cambridge Review telah melakukan serangkaian penelitian tentang proses memaknai bencana ke dalam diskursus diplomasi bencana. Studi dari The Cambridge Review menunjukan temuan yang sangat menarik, bahwa diplomasi bencana alam memberikan peluang yang sangat luas bagi negara-negara yang selama
ini terlibat dalam konflik kepentingan politik maupun ekonomi, untuk kemudian
memilih bekerjasama daripada meneruskan pilihan untuk berkonflik.
The Cambridge Review of International Affairs which analyse critically the argument for disaster diplomacy as an opportunity to increase cooperation among rival states are re-examined in a CAS framework. Based on the application of CAS to the case studies, the article concludes that creative diplomacy for disaster reduction is most effective at the 'edge of chaos', that narrow region where there is sufficient structure to hold and exchange information, but also sufficient flexibility to adapt new alternatives to meet urgent needs. 8
Indonesia merupakan daerah yang teridentifikasi sebagai daerah yang rawan
terjadi bencana alam yang sangat beragam. Bencana yang terjadi mengakibatkan
penderitaan bagi masyarakat baik berupa korban jiwa manusia, kerugian harta benda
maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai antara lain kerusakan sarana dan prasarana serta fasilitas umum, penderitaan
masyarakat dan sebagainya.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga
7
Weizhun M, The Apocalypse of the Indian Ocean Earthquake and Tsunami". World Politics and Economy (Chinese Academy of Social Sciences), vol. 6 (in Chinese). Atau dalam Weizhun, M. and Q. Tianshu. 2005. "Disaster Diplomacy: A New Diplomatic Approach?". Shanghai Institute For International Studies International Review, Spring 2005, pp. 111-124 (in Chinese).
8
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.9
Pemaknaan secara negatif terhadap kondisi geografis dan topografis yang rawan
bencana alam justru akan melahirkan sikap dan kebijakan yang lari dari kenyataan
dan realitas kehidupan. Dari beragam studi tentang diplomasi bencana alam justru
menunjukkan bahwa Indonesia yang teridentifikasi rawan bencana alam justru dapat
memodifikasi realitas ini untuk diubah menjadi energi positif untuk membangun
kerjasama yang lebih luas. Hal ini akan dapat dicapai manakala pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah memiliki social awareness terhadap isu diplomasi bencana.
Dalam sejarah utuhnya diplomasi bencana alam beberapa kali berujung pada
hasil gemilang yang inspiratif dan menuai harapan untuk diaplikasikan lebih jauh.
Namun banyak upaya tidak sepenuhnya berhasil, bahkan beberapa mengalami
kegagalan yang memperburuk keadaan bencana. Kelman menjelaskan10 bahwa bencana alam pada dasarnya memperikan peluang yang jarang muncul karena
keadaan non-bencana mendominasi interaksi diplomatik. Bencana alam dapat
berdampak pada improvisasi, memperburuk, atau berdampak minimal tergantung
pada situasi yang dimainkan dan pilihan sikap pemain. Kemungkinan bencana alam
biasanya berdampak positif, namun selalu ada pihak yang berusaha menggagalkan
upaya diplomasi.
Kasus Yunani-Turki, Aceh, dan Afrika Selatan menjadi contoh berharga bagi
berhasilnya diplomasi bencana alam, dan banyak menuai kajian lebih lanjut. Namun
upaya diplomasi bencana alam di India-Pakistan, AS-Iran, dan AS-Kuba yang tidak
sepenuhnya berhasil, ditambah kegagalan massif seperti di Ethiopia-Eritrea, Filipina,
dan Sri Lanka menjadikan kajian diplomasi bencana alam menjadi penuh debat.
Diplomasi bencana alam untuk tujuan soft-power pun mencatatkan beberapa negara yang dianggap manipulatif dengan meng-endorse tuntutan yang berlebihan sebagai kompensasi pemberian bantuan, seperti AS dan Turki. Ada pula negara yang mau
menerima bantuan bencana alam, namun tetap menolak kerjasama internasional lebih
lanjut, bahkan meneruskan upaya yang dapat berujung pada bencana militer yakni
Korea Utara.
9
Definisi Bencana menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
10
Pada kasus India-Pakistan sebenarnya diplomasi bencana alam telah menjadi
katalis proses perdamaian di Kashmir selama beberapa putaran perundingan, namun
masalahnya diplomasi bencana alam sendiri tidak dapat berdiri sendiri dan perlu
disokong oleh diplomasi pada jalur lain. Dukungan diplomasi pada jalur lain kurang
pada kasus India-Pakistan. Kasus AS-Iran dan kasus AS-Kuba sebenarnya cukup
mirip, diplomasi bencana alam coba dilakukan berlapis-lapis melalui pemerintah,
para-diplomacy NGO, dan kerjasama akademisi dengan tujuan besar. Namun upaya ini gagal dikarenakan ada pihak-pihak berkuasa yang begitu berpengaruh dalam
pemerintahan untuk menggagalkan diplomasi bencana alam ini. Rezim Fidel Castro di
Kuba banyak disebutkan bertanggungjawab atas gagalnya diplomasi bencana alam
AS-Kuba. Pada kasus AS-Iran sebenarnya saling pengertian telah mulai terbangun
pada gempa bumi Bam di Iran, dengan masuknya bantuan AS ke Iran, Iran
mengajukan syarat bantuan ini tidak bertendensi politik. Namun media di kedua
negara yang berlebihan mengekspos rasa saling curiga akhirnya juga berkontribusi
pada gagalnya upaya diplomasi bencana alam. Hasilnya pada gempa bumi di selatan
Iran tahun 2005, Iran menolak bantuan dari AS. Pada tahun yang sama ketika AS
terkena dampak Badai Katrina, AS menolak pula bantuan dari Iran.
Diplomasi bencana alam sepenuhnya gagal di Ethiopia-Eritrea, Filipina, dan Sri
Lanka. Pada kasus Ethiopia-Eritrea diplomasi bencana alam sama sekali tidak
berkontribusi pada proses perdamaian, bahkan ketika perang dua negara masih
berlangsung diplomasi bencana alam justru memperburuk keadaan. Upaya diplomasi
bencana alam yang diinisiasi pihak ketiga, banyak menuai saling kecurigaan diantara
pemerintahan kedua negara. Dua negara saling tuduh terutama ketika Eritrea
menawari pelabuhannya diperbolehkan sebagai jalur masuk pasokan bantuan
kekeringan ke Ethiopia. Ethiopia menolak tawaran ini dengan alasan pelabuhan di
negara lain masih banyak dan kecurigaan bahwa Eritrea akan mencuri pasokan
bantuan. Diplomasi bencana alam di Filipina juga mengalami kegagalan. Ketika
banjir besar melanda Provinsi Quezon, pemerintah Filipina berusaha menjalankan
diplomasi bencana alam untuk merangkul separatis komunis New People Army (NPA). Namun sayangnya regu militer yang datang membantu proses tanggap
bencana di Provinsi Quezon dihadang tembakan peluru oleh kombatan NPA.
Pemerintah Filipina yang terintimidasi kemudian menyalahkan NPA sebagai pihak
yang bertanggungjawab atas kejadian banjir besar, dengan pengrusakan hutan. Tidak
untuk merangkul etnis Tamil dan Sinhala yang berkonflik berujung gagal. Kegagalan
ini dipicu perebutan bantuan bencana yang berujung konflik.
Kelman lebih lanjut menjelaskan bahwa kegagalan-kegagalan yang muncul
pada level substansi disebabkan beberapa faktor11. Faktor pertama adalah diplomasi bencana alam seringkali dipahami mengganggu proses tanggap bencana dan
rekonstruksi yang dianggap lebih penting. Kedua, bencana alam sendiri dapat
digunakan banyak pihak sebagai senjata untuk menekan dan menjatuhkan pihak lain.
Ketiga, penawaran pemberian bantuan sering dipahami sebagai bukti inferioritas dan
superioritas salah satu pihak. Keempat, kesalahan pemahaman bahwa bencana alam
seringkali dianggap sebagai jawaban final yang dapat menyelesaikan konflik.
Contoh keberhasilan diplomasi bencana alam Aceh, dan Yunani-Turki yang
berbasis pada dedikasi untuk memperbaiki hubungan dan saling pengertian diperlukan
masing-masing pihak agar diplomasi berjalan dengan baik dan saling
menguntungkan.
Peneliti telah membangun road map diplomasi bencana alam sebagai sebuah diskursus baru dalam mensikapi isu bencana alam sebagai sebuah fenomena
internasional dalam silabi perkuliahan diplomasi. Sebagai pengajar mata kuliah
diplomasi selama kurang lebih 10 tahun, peneliti telah melakukan berbagai riset
tentang studi diplomasi, baik dalam konteks diplomasi politik, ekonomi, atau bahkan
perang terhadap terorisme maupun obat bius.
Peneliti mulai menekuni untuk mengkaji diplomasi bencana alam dalam tiga
tahun terakhir, pasca terjadi gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2005, maupun
gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006. Apa yang terjadi di Yogyakarta bukan tidak
mungkin dapat terulang kembali, bahkan dengan tingkat kerusakan yang lebih besar.
Hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan kawasan yang berada dalam wilayah
Ring of fire dan sangat rawan gempa, karena terletak di antara pertemuan tiga lempeng yaitu Asia, Pasifik dan Australia. Daerah yang masuk rawan gempa adalah
sepanjang pantai barat Sumatera, sepanjang pantai selatan Jawa, Maluku dan Papua.
Daerah di Indonesia yang tidak dilewati lempengan tersebut hanyalah Kalimantan.12 Dalam asumsi yang dikembangkan peneliti, birokrasi pemerintah sebagai
garda depan pelayanan publik dituntut untuk mengedepankan aspek responsivitas,
11 I. Kelman, “Acting on Disaster Diplomacy”, pp. 227-34. 12
akuntabilitas, dan efisiensi. Aspek responsivitas menghendaki agar pelayanan publik
bisa memenuhi kepentingan masyarakat, termasuk dalam situasi darurat seperti
penanganan bencana alam. Sedangkan aspek akuntabilitas mengisyaratkan supaya
pelayanan publik lebih mengutamakan transparansi dan kesamaan akses setiap warga
negara untuk mendapatkan pelayanan publik yang mereka butuhkan. Proses dan harga
pelayanan-pelayanan publik juga harus transparan, dan didukung oleh kepastian
prosedur serta waktu pelayanan. Sedangkan aspek efisiensi meliputi pemenuhan
pelayanan publik yang cepat, serta hemat tenaga.
Gempa bumi yang terjadi di Aceh, Yogyakarta, dan Padang merupakan situs
bencana yang menyebabkan kerusakan yang massif, baik dalam konteks korban jiwa
maupun kerusakan infrastruktur. Terdapat kecenderungan bahwa segala keputusan
maupun pengelolaan bencana alam terpusat di Jakarta, sehingga berakibat kepada
keterlambatan bantuan dan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat korban bencana
alam sebagai implikasi birokrasi yang panjang. Proses mengurangi dampak dari
bencana alam yang dahsyat tersebut baik dalam konteks jangka pendek berupa
pemberian pelayanan medis dan pangan kepada korban gempa, maupun jangka
panjang berupa pelayanan rekonstruksi pemukiman dan prasarana umum, memiliki
dampak jangka panjang.
Pada skala yang lebih luas, bencana alam dapat melahirkan beberapa problem
sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang sangat serius di tingkat nasional sebagai
akibat terkonsentrasikannya sumber daya politik, ekonomi, sosial dan keamanan ke
daerah bencana. Ketergantungan pemerintah daerah kepada Pusat justru akan
memperburuk kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola isu bencana, karena akan
mudah dituduh oleh banyak stakeholders bencana alam sebagai pemerintah yang tidak responsif.
Problem yang juga sering muncul terkait dengan bantuan humaniter
internasional adalah adanya misi-misi tersembunyi (hidden agenda) dari fihak pemberi bantuan, baik atas nama negara maupun LSM internasional.13 Beberapa masalah yang muncul terkait isu ini adalah; pertama, kekhawatiran intervensi kekuatan asing sebagai akibat banyaknya tentara asing yang masuk ke wilayah
bencana dan memanfaatkannya untuk kebutuhan strategis maupun spionase yang pada
13
Lihat dalam
akhirnya akan mengancam keamanan nasional14. Kedua, kekhawatiran terjadinya trafficking terhadap anak-anak korban bencana yang tidak terkelola dengan baik.15
Ketiga, kekhawatiran terjadi penetrasi misionaris untuk menyebarkan agama tertentu terhadap korban bencana yang dapat menganggu kestabilan sosial dan politik
domestik.16Keempat, masalah politik terkait bantuan kemanusiaan yang diberikan oleh negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik. Kasus ini mencuat tatkala
terdapat sejumlah logistik yang dikelola oleh Satkorlak di Sumatera Barat terdapat
simbol-simbol resmi negara Israel.17
Beranjak dari studi yang telah dilakukan peneliti dalam 3 tahun terakhir ini,
peneliti mencoba menyusun road map penelitian sebagai berikut;
Pada tahap pertama, perlu dilakukan studi untuk menganalisis arti penting
diplomasi bencana alam dalam konteks managemen bencana alam. Terdapat
kecenderungan besar bahwa produk UU tentang bencana alam di level pusat dan
daerah belum menempatkan variabel diplomasi bencana alam sebagai sesuatu yang
perlu diatur secara sistematis. Sedangkan di berbagai negara yang memiliki potensi
bencana alam yang tinggi seperti Jepang, China, Turki, dan Iran telah menempatkan
variabel diplomasi bencana alam sebagai instrumen penting dalam memobilisasi
sumber daya untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam. Kedua, mengidentifikasi persoalan-persoalan yang timbul terkait dengan praktik diplomasi
bencana alam. Penelitian ini akan memperkuat argumen bahwa tidak
terintegrasikannya variabel diplomasi bencana alam dalam struktur
perundang-undangan akan menyebabkan proses memobilisasi sumberdaya untuk mengantisipasi
dan mengurangi dampak bencana alam akan menjadi tidak efektif dan efisien.
Ketiga, mengidentifikasi strategi, model, tehnik dan instrument diplomasi
bencana alam dalam membangun kerjasama internasional. Penelitian ini untuk
mengetahui variasi strategi, model, dan tehnik diplomasi bencana alam yang
14
Issue ini merebak dalam kasus bencana tsunami di Aceh, di mana banyak tentara dari Amerika Serikat maupun Australia yang terlibat dalam proses pemberian bantuan dengan membawa sejumlah peralatan medis maupun non medis berupa kapal tanker.
15 Kasus tentang trafficking hampir terjadi dalam setiap issue bencana alam, baik di Srilangka, Turki,
Iran, Afghanistan, maupun di Aceh dan Padang.
16 Kasus ini sempat mencuat dalam bencana alam di Padang maupun Aceh, sehingga Pimpinan Pusat
Muhammadiyah sempat menolak bantuan yang menyertakan symbol-simbol keagamaan tertentu. Lihat dalam pandangan Sudibyo Markus dalam Suara Muhammadiyah, Edisi Maret, 2010.
17
diterapkan di berbagai negara, dan dipilih sesuai dengan derajat kepentingan dari
pemerintah daerah di daerah bencana.
Keempat, menyusun usulan naskah akademik sebagai usulan untuk pembuatan
kebijakan strategis dalam penatalaksanaan diplomasi bencana alam di daerah.
Penelitian ini dipergunakan untuk melakukan proses restrukturisasi produk
perundangan yang berkaitan dengan bencana alam agar memasukkan konsep
diplomasi bencana alam sebagai instrumen penting dalam managemen bencana alam.
Kelima, setelah teridentifikasi kapasitas pemahaman birokrasi daerah terutama
di daerah rawan bencana, maka akan dilakukan program peningkatan kapasitas baik
dalam tataran konsep maupun perumusan kebijakan yang terkait dengan diplomasi
bencana alam.
Pada tahap keenam, road penelitian tentang issue diplomasi bencana alam agar
terlembagakan dalam konteks perundangan-undangan, maupun kurikulum pendidikan
baik dalam pendidikan nasional maupun kedinasan. Proses pelembagaan ini penting
dilaksanakan agar tidak terjadi mis-interpretasi akibat mis-konsepsi dalam memahami
BAB III
METODE PENELITIAN
a. Pendekatan
Penelitian untuk menyusun buku Diplomasi Bencana Alam menggunakan
pendekatan kualitatif untuk mengetahui makna dan relevansi diplomasi bencana alam
sebagai instrument kerjasama internasional untuk mengurangi dampak dari bencana
alam. Terdapat 3 pertanyaan pokok yang hendak diketahui; 1) Bagaimana birokrasi
pemerintah daerah Propinsi DIY memandang arti penting diplomasi bencana alam
dalam konteks managemen bencana 2) bagaimana mendiskursuskan birokrasi
pemerintah daerah Propinsi DIY sebagai birokrasi yang memiliki keahlian diplomasi
dalam mengelola bencana alam 3) Dan bagaimana langkah-langkah yang harus
dilakukan untuk melakukan kerjasama internasional oleh pemerintah daerah dengan
menggunakan kekuatan soft power bencana alam. b. Tekhnik pengumpulan data
Untuk mendapatkan informasi yang valid, penelitian ini melakukan: 1)
Penelitian pustaka 2) Survai dan focused group discussion terhadap birokrasi di pemerintah daerah Propinsi DIJ, baik eksekutif maupun legislatif, BNPB, Satkorlak,
PMI maupun stakeholder bencana alam lainnya untuk mengeksplorasi pengalaman
yang berstruktur dari aparat birokrasi tersebut dalam mengelola isu bencana 3).
Konsultasi pakar, curah gagas dengan ahli-ahli diplomasi di beberapa universitas di
Yogyakarta
c. Teknik analisis data
Teknis analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1) Untuk menganalisis tentang arti penting pelembagaan diplomasi bencana
alam dalam mendekonstruksi relevansi diplomasi bencana alam dalam konteks
mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana alam dipergunakan analisis wacana
maupun analisis isi terhadap dokumen-dokumen UU tentang kebencanaan alaman,
maupun praktik-paktik diplomasi bencana alam di berbagai negara
2) Untuk menganalisis efektivitas modul peningkatan kapasitas birokrasi pemerintah
daerah Propinsi DIY dilakukan melalui 5 tahap besar yakni,
Kedua tahap Learning, di mana dalam tahap ini pengukuran dilakukan untuk menentukan apakah mereka telah mempelajari prinsip, ketrampilan dan pengetahuan
tentang diplomasi bencana alam yang sudah mereka pelajari.
Ketiga, tahap aplikasi perilaku, di mana dalam tahap ini dilakukan pengukuran terhadap dimensi praktik yang diterapkan oleh stakeholder atas seperangkat
pengetahuan dan keahliaan yang dimilikinya. Dalam konteks ini seberapa jauh
inisiatif kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah dalam
mengkapitalisasi bencana alam sebagai modal social penting.
Keempat, Business Impact. Pada tahap ini diukur pengaruh pelembagaan diplomasi bencana alam terhadap berkurangnya resiko ataupun derajat kerusakan yang
ditimbulkan oleh bencana alam.
Kelima, Return of Investment, yakni melakukan pengukuran terhadap efektivitas pelembagaan diplomasi bencana alam dalam mengantisipasi dan menanggulangi
dampak bencana alam.
d. Populasi dan sampel
Populasi penelitian ini adalah birokrasi, baik di level eksekutif maupun
legislative, di pemerintah daerah Propinsi DIY, dengan mengambil sampel penelitian
dengan metode stratified random random sampling. e. Lokasi penelitian
Pengambilan lokasi penelitian di Propinsi DIY, terkait dengan posisi geografis
Propinsi DIY yang telah ditetapkan sebagai daerah rawan bencana gempa bumi, dan
Erupsi Merapi yang telah menyebabkan 7000 ribu penduduk meninggal dunia, 15.000
luka, dan sekitar 200 ribu rumah penduduk rusak parah dan sedang. Dan erupsi
Merapi yang menyebabkan 1000 penduduk meninggal dunia, 5000 luka, dan 55 ribu
rumah rusak parah.
Kegiatan tersebut dapat ditunjukkan secara ringkas melalui tabel berikut ini :
naskah artikel jurnal diplomasi bencana alam sebagai moda kerjasama internasional dalam
pengelolaan dan mitigasi bencana alam
buku dan
artikel jurnal
dengan
Konsultasi
pakar, curah
gagas dengan
ahli-ahli
diplomasi di
beberapa
universitas di
Yogyakarta
BAB IV
HASIL YANG DICAPAI
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian tahun ketiga ini meliputi 2 kegiatan utama, yaitu pertama,
pengumpulan dan kajian referensi tentang diplomasi bencana serta kedua, melakukan
wawancara dan hasilnya didiskusikan melalui Expert Meeting dengan beberapa tokoh atau peneliti yang terkait dengan isu diplomasi dan bencana. Hasil dari dua kegiatan
ini kemudian dirumuskan dan disusun menjadi sebuah buku teks yang berjudul
Diplomasi Bencana : Sejarah, Peluang dan Kerjasama Internasional.
Selama pelaksanaan penelitian, tidak ditemukan kendala berarti, baik dalam
proses pencarian referensi maupun wawancara dengan para ahli tentang diplomasi
dan isu-isu bencana. Sebagai sebuah isu yang relatif masih baru, diplomasi bencana
menjadi sebuah topik diskusi yang dinamis, cair dan memunculkan ide-ide dan
gagasan pengembangan yang bisa dipersiapkan sebagai topik kajian baru.
B. Hasil dan Pembahasan
Isu bencana menjadi salah satu isu dan tantangan kontemporer dalam dunia
Internasional yang membutuhkan perhatian, kajian dan penanganan khusus. Bencana
yang telah terjadi, mencatatkan sebuah fakta yang tidak bisa diabaikan, yaitu dampak
yang ditimbulkannya mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat baik berupa korban
jiwa, kerugian material-harta benda, kerusakan lingkungan serta musnahnya
hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai seperti kerusakan sarana dan prasarana,
fasilitas umum dan lain sebagainya. Selain itu, bencana juga merupakan sebuah
ancaman yang tidak dapat diprediksi oleh negara-negara dunia, ia dapat datang kapan
saja dan dimana saja, tidak membedakan apakah negara yang mengalami bencana
tersebut negara miskin, negara berkembang ataupun negara maju juga dapat
menghadapi ancaman bencana.
Di sisi yang lain, fenomena terjadinya bencana telah membuka sekat pembatas
antar negara dan asal kewarganegaraan yang selama ini terkotak-kotak dalam sebuah
batas teritorial dan aturan diplomatik yang kaku. Bencana telah mendorong
satu-satunya aktor yang terlibat, namun juga mendorong munculnya aktor-aktor lain
seperti lembaga-lembaga donor, individu dan kelompok-kelompok kemanusiaan
untuk membantu penanggulangan bencana di sebuah negara, atas nama solidaritas
kemanusiaan transnasional.
Melihat dampak terjadinya bencana yang menimbulkan beragam kerugian dan
kerusakan serta fenomena solidaritas kemanusian transnasional tersebut, sudah
sewajarnya jika kajian tentang bencana menjadi perhatian berbagai pihak, baik
individu, kelompok, organisasi maupun Negara yang secara politik memiliki otoritas
untuk mengeluarkan kebijakan dan sumberdaya untuk menghadapi peristiwa bencana.
Dalam taraf tertentu penyelesaian persoalan bencana disadari tidak dapat dilakukan
sendiri namun membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak. Dalam konteks ini,
bencana dapat dikembangkan sebagai sebuah kajian yang terkait dengan kerjasama
antar pihak, dan secara spesifik kerjasama antara Negara dan aktor internasional
lainnya.
1. Definisi dan Jenis Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana menyebutkan definisi bencana sebagai peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan bencana
berdasarkan faktor penyebabnya yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan
bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, dan tanah longsor. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Reduction (UN-ISDR) membagi bencana berdasarkan sebab terjadinya yaitu
bencana oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia
(man-made disaster). Selain itu UN-ISDR juga membedakan bencana
berdasarkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain:
Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made
hazards) yang dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological
hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya
biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan
penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) Kerentanan
(vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen
di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana .
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa ketiga jenis bencana yang
dibedakan berdasarkan faktor penyebabnya mengalami pertumbuhan yang
cukup serius. Perubahan iklim dan menurunnya daya dukung lingkungan
membawa konsekuensi meningkatnya jumlah kejadian bencana. Sementara
peristiwa-peristiwa non alam seperti kasus epidemi seperti SARS, Flu Burung,
dan Flu Babi ataupun kebocoran instalasi nuklir Fukusima juga
menggambarkan bagaiman ancaman bencana non alam juga mengalami
peningkatan. Ditambah lagi bencana sosial yang disebabkan persaingan antar
kelompok masyarakat, konflik sosial maupun konflik politik seperti yang
terjadi di Suriah, Myanmar atau bahkan yang terjadi di Poso, Ambon atau
Aceh membawa konsekuensi persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan.
2. Fakta Bencana (alam maupun manusia)
Menurut Buku Tahunan Statistik PBB untuk Asia dan Pasifik 2014,
wilayah Asia dan Pasifik merupakan wilayah yang paling rawan terjadinya
bencana alam di dunia. Jumlah kejadian bencana alam antara tahun 2004 dan
2013 yang dilaporkan, 41,2 persen atau 1.690 kejadian, terjadi di kawasan
Asia-Pasifik dan menyumbang lebih dari 60 persen dari jumlah masyarakat
yang kelaparan di dunia. Laporan ini juga menunjukkan bahwa kematian
akibat bencana di kawasan Asia-Pasifik naik lebih dari tiga kali lipat dalam
dekade terakhir, dimana sebagian besar akibat bencana yang ekstrim.
Di antara sub-wilayah Asia-Pasifik, Asia Tenggara – terutama
menewaskan lebih dari 350.000 yang diakibatkan oleh kurang lebih 500
insiden. Jumlah kematian yang tercatat dari bencana alam naik dari 205.388
antara tahun 1994 dan di tahun 2003 menjadi 713.956 antara tahun 2004 dan
2013, dengan 1,5 miliar orang yang terkena dampak bencana. Jumlah
kematian ini sebagian besar diakibatkan oleh efek dari berbagai bencana besar,
termasuk gempa bumi dan tsunami Samudera Hindia tahun 2004, gempa
Kashmir di Pakistan pada tahun 2005, gempa bumi Sichuan di Tiongkok pada
tahun 2008 dan topan Nargis di Myanmar, serta gelombang panas di Federasi
Rusia tahun 2010.
Berdasarkan kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis,
Indonesia memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap terjadinya bencana,
baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor
manusia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki
17.508 pulau, terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia, dan di
antara dua lautan, Lautan Hindia dan Pasifik. Selain itu, Indonesia berada
pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Indo Australia,
Eurasia dan Pasifik, yang berpotensi menimbulkan gempa bumi apabila
lempeng-lempeng tersebut bertumbukan. Indonesia juga mempunyai 129
gunung api aktif, 80 diantaranya berbahaya.18 Selain bencana gempa dan gunung berapi, bencana alam lainnya yang seringkali melanda Indonesia
adalah tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, kekeringan serta bencana
akibat ulah manusia seperti kegagalan teknologi, konflik sosial, kebakaran
hutan dan lahan.
Berdasarkan data yang dilansir BNPB, kejadian bencana yang terjadi
di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008
saja misalnya, terdapat peningkatan 46,66 % dari tahun sebelumnya, yaitu dari
888 kejadian bencana pada tahun 2007 menjadi 1.306 kejadian bencana di
tahun 2008. Sementara, di tahun 2009 terdapat peningkatan sejumlah 652
kejadian bencana atau terdapat peningkatan kejadian bencana sebanyak 50%
dari tahun 2008. Diagram berikut menggambarkan secara lebih jelas tren
peningkatan kejadian bencana dari tahun 2002 – 2009.
18
Diagram 4.1 Kejadian Bencana di Indonesia
Tahun 2002 – 2009
Sumber : Data Bencana tahun 2009, BNPB
Peningkatan kejadian bencana tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya karena peningkatan kejadian bencana alam atau sistem
pendataan bencana di tingkat daerah (BNPD) mengalami peningkatan.
Indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur peningkatan kejadian
bencana di Indonesia adalah meningkatnya jumlah bencana alam yang terjadi
sebagai akibat semakin rusaknya lingkungan. Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui peningkatan kerusakan lingkungan di Indonesia
adalah laju kerusakan hutan yng mencapai 1,1 juta hektar pertahun, sementara
kemampuan pemerintah melakukan rehabilitasi terhadap kerusakan hutan
“hanya” 500 ribu hektar pertahun. 19 Banyaknya hutan yang rusak tersebut menjadi penyebab meningkatnya kejadian bencana di Indonesia seperti banjir,
tanah longsor dll. Banjir merupakan salah satu kejadian bencana yang paling
sering terjadi sebagai akibat kerusakan hutan. Hal ini dibuktikan dengan data
rata-rata kejadian bencana banjir yang terjadi di kurun waktu 2002 -2009
adalah 297 kejadian/ tahun. Sebagai pembanding bencana kekeringan
sebanyak 156 kejadian/tahun atau kebakaran yang rata-rata terjadi sebanyak
147 kejadian/tahun. Untuk data lebih lengkapnya bisa dilihat dalam tabel 1
berikut ini :
19
Tabel 4.1
Rata-rata Kejadian Bencana di Indonesia tahun 2002-2009
Sumber : Data Bencana tahun 2009, BNPB
Dari sekian banyak kejadian bencana di Indonesia, gempa bumi adalah
kejadian bencana pada tahun 2009 yang mengakibatkan jumlah korban
meninggal dan hilang terbanyak. Bencana ini terjadi 12 kali dan menimbulkan
korban meninggal dan hilang sebanyak 1.330 jiwa. Data selengkapnya bisa
Grafik 4.1
Korban meninggal dan hilang akibat bencana tahun 2009
Sumber : Data Bencana tahun 2009, BNPB
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan
tren bencana di Indonesia menunjukkan peningkatan secara signifikan.
Kerugian akibat bencana setiap tahunnya mencapai lebih dari Rp10 triliun.
Angka itu tidak termasuk kerugian akibat bencana skala besar seperti gempa
dan tsunami di Aceh dan Mentawai, serta erupsi Gunung Merapi beberapa
waktu lalu.20 Peningkatan intensitas bencana dipengaruhi kondisi perubahan iklim akibat pemanasan global serta kerusakan lingkungan yang terjadi di
sebagian besar wilayah Tanah Air.
Berdasarkan data UN International Strategy for Disaster Reduction (UN/ISDR) dari tahun 1991 sampai 2005, Indonesia mengalami kerugian akibat dampak bencana sebesar USD 27.84 Juta. Sehingga Indonesia
menempati urutan 6 dunia setelah US (USD 364.94 Juta), Jepang (USD
208.88 Juta), China (USD 172.76 Juta), Rusia (USD 29.76 Juta) dan Korea
(USD 28.58 Juta). Dari delapan kejadian bencana besar di Indonesia, total
kerugian dan kerusakan sebesar Rp105 trilliun.
Kerugian untuk bencana gempa bumi dan tsunami Aceh dan Nias
sebesar Rp41,4 trilliun. Gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 sebesar
Rp29,1 trilliun. Gempa bumi di Sumatera Barat pada tahun 2007 sebesar
Rp2,5 trilliun. Banjir Jakarta tahun 2007 sebesar Rp5,2 trilliun. Gempa bumi
20
di Bengkulu tahun 2007 sebesar Rp1,9 triliun. Gempa bumi di Padang tahun
2009 sebesar Rp20,9 triliun. Kemudian kerusakan akibat gempa bumi dan
tsunami Mentawai tahun 2010 sebesar Rp 0,35 trilliun. Banjir bandang Wasior
tahun 2010 sebesar Rp0,28 trilliun dan Erupsi Merapi tahun 2010 sebesar
Rp3,56 trilliun
Sebagai akibat dari besarnya korban dan kerugian material akibat
terjadinya bencana alam, masyarakat cenderung menganggap bencana alam
sebagai sebuah peristiwa yang membawa konsekuensi negatif bagi kehidupan
mereka, seperti kehilangan anggota keluarga, harta benda dan kehilangan
kehidupan sosial yang telah mereka bangun bertahun-tahun. Pemaknaan
secara negatif terhadap bencana alam berkorelasi terhadap pemaknaan mereka
terhadap kondisi geografis dan topografis yang rawan bencana alam, yang
justru akan melahirkan sikap dan kebijakan yang lari dari kenyataan dan
realitas kehidupan. Realitas ini mendorong pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi negara untuk berperan lebih besar dalam upaya antisipasi
dan penanggulangan bencana di Indonesia.
3. Dampak bencana alam terhadap kehidupan manusia
Tahun 2011 disebut oleh portal National Geographic Indonesia
sebagai tahun yang memegang rekor terbesar dalam hal jumlah kerugian
akibat bencana alam sebagai hasil perhitungan sebuah perusahaan asuransi
asal Jerman. Selama enam bulan pertama pada 2011, jumlah kerugian akibat
bencana alam sudah mencapai 265 miliar dolar AS.21 Jumlah itu dua kali lipat
lebih besar dari kerugian akibat bencana sepanjang 2010 dan lima kali lebih
tinggi daripada rata-rata kerugian dalam sepuluh tahun terakhir. Kerugian
terbesar sebelumnya tercatat pada 2005, dengan jumlah kerugian sekitar 220
miliar dolar AS. Di sisi lain, jumlah korban jiwa akibat bencana alam pada
2010 masih lebih buruk dibandingkan 2011. Bencana alam sampai saat ini
mengakibatkan kematian 19.380 jiwa. Pada rentang waktu yang sama pada
tahun 2010, sudah 230.300 orang meninggal akibat bencana alam.22
Bencana alam terbesar pada enam bulan pertama 2011 adalah gempa
21
http://m.nationalgeographic.co.id/lihat/berita/1592/2011-pemegang-rekor-kerugian-terbesar-akibat-bencana-alam diakses pada tanggal 12 November 2011
22
bumi 9,0 SR yang terjadi 11 Maret di Jepang. Gempa besar itu diikuti dengan
gelombang tsunami serta bencana nuklir tersebut mengakibatkan kerugian
sekitar 210 miliar dolar AS. Data terkini dari Kepolisian Jepang menunjukkan
sudah 10.000 orang tewas akibat bencana tersebut. Lebih dari 17.440 orang
masih dinyatakan hilang dan 2.775 orang luka-luka.Masih ada sekitar 250.000
orang kehilangan tempat tinggal, kekurangan makanan, air minum, dan tempat
penampungan. Paling tidak 18.000 rumah hancur dan 130.000 rumah rusak
berat. Hitungan awal biaya pembangunan kembali Jepang adalah sekitar 25
triliun yen atau 309 miliar dollar AS. Dana itu termasuk untuk membangun
kembali infrastruktur, rumah, dan pabrik-pabrik. Namun, perkiraan biaya tidak
termasuk dampak ekonomi yang terjadi akibat bencana tersebut. Kerusakan
akibat gempa dan tsunami ini disebutkan sebagai terburuk yang dialami
Jepang sejak akhir Perang Dunia Kedua.
4. Penanggulangan Bencana dan Upaya Pengembangan Kerjasama antar Negara
Pasca Bencana Tsunami yang terjadi pada tahun 2004, bencana
menjadi sebuah isu dan persoalan global. Tak kurang dari 18 negara yang
terletak di sekitar Samudera Hindia terdampak dan merasakan berbagai
kerugian dan penderitaan akibat bencana tersebut. Kenyataan adanya ancaman
nyata dari bencana alam tersebut menggugah kesadaran global tentang potensi
bencana yang akan datang kapan saja dan bisa terjadi dimana saja. Hal ini
mendorong dan membangkitkan persatuan dan kesatuan serta solidaritas
nasional dan internasional. Semua negara di dunia, tidak hanya yang
terdampak langsung oleh bencana, bergandengan tangan untuk meringankan
beban para korban bencana. Bahkan dalam konteks Indonesia, bencana
Tsunami membawa peluang diselesaikannya konflik antara GAM dan
pemerintah Indonesia.
Kesadaran akan bencana juga membawa perubahan pada proses
legalisasi Undang-undang maupun peraturan pemerintah yang mengatur
tentang pengelolaan dan penanggulangan bencana, dibentuknya
lembaga-lembaga maupun organisasi pemerintah maupun non pemerintah yang
Indonesia, Asean Committee on Disaster Management – ACDM), maupun
kerjasama internasional dalam penanganan bencana untuk pengembangan
sistem peringatan dini, latihan dan gladi internasional, forum-forum kerjasama
riset, pengelolaan bantuan internasional dan lain sebagainya. Kajian tentang
bencana tidak lagi menjadi kajian “diatas meja”, namun telah terealisasi
menjadi kerjasama operasional yang berkembang pesat dengan beragam
bentuknya. Dalam konteks ini, isu bencana ternyata dapat digunakan sebagai
sarana kerjasama internasional yang menjadi salah satu kajian diplomasi.
Terminologi yang dianggap merepresentasikan pemanfaatan isu bencana
sebagai sarana kerjasama internasional itu kemudian lebih dikenal sebagai
BAB V KESIMPULAN
Penelitian Hibah Bersaing tahun ketiga dengan judul Penyusunan Buku dan
Artikel Diplomasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional Dalam
Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam, merupakan penelitian terakhir dari
penelitian multiyear yang dimulai pada tahun 2012. Penelitian multiyear ini diawali dengan penelitian dengan judul dengan Peningkatan Kapasitas Birokrasi Pemerintah
daerah Propinsi DIY Dalam Melakukan Diplomasi bencana Alam yang diselesaikan
tahun 2013. Penelitian tahun kedua yang dikerjakan tahun 2014 berjudul Penyusunan
Modul Peningkatan Kapasitas Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
Dalam Mengkapitalisasi Bencana Alam Sebagai Moda Kerjasama Internasional
Dalam Pengelolaan dan Mitigasi Bencana Alam di Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan penelitian Hibah Bersaing tahun kedua dari tiga tahun periode penelitian.
Dari keseluruhan hasil kegiatan dalam penelitian tahun pertama hingga tahun ketiga
ini ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum mengalami
peningkatan pengetahuan tentang bencana alam di Indonesia, persoalan
bencana alam di Yogyakarta yang menjadi bagian kehidupan masyarakat di
Daerah Istimewa Yogyakarta sehari-hari serta dampaknya bagi masyarakat
serta Undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan bencana alam.
2. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan
pengetahuan tentang konsep diplomasi bencana alam, pemanfaatannya dan
pihak-pihak yang potensial untuk praktek diplomasi bencana alam.
3. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami
peningkatan pengetahuan tentang praktik paradiplomasi sebagai alternatif
pemanfaatan diplomasi bencana , konsep dan manfaat sister city sebagai salah
satu bentuk praktek paradiplomasi dalam isu bencana
4. Birokrasi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami
peningkatan dalam hal pengetahuan menentukan negara mitra,
membuka kerjasama, pengetahuan tentang letter of intent dan mou dalam
pengembangan kerjasama serta pemanfaatan KJRI sebagai pintu masuk dalam
membuka kerjasama internasional.
5. Peningkatan kapasitas Birokrasi yang diamati dan diteliti penulis kemudian
didokumentasikan dalam Naskah buku Diplomasi Bencana: Sejarah, Peluang dan Kerjasama Internasional dengan ISBN 978-602-71592-9-7 yang bertujuan untuk mendesiminasi hasil penelitian tiga tahun ini kepada
masyarakat luas, khususnya birokrasi pemerintah daerah dari propinsi lainnya.
Selama pelaksanaan penelitian ini ditemukan satu contoh kasus bagaimana diplomasi
bencana alam dilaksanakan oleh pemerintah Prefektur Yamanashi Jepang yang
menginisiasi kerjasama dengan Pemerintah Propinsi DIY pada 12 Agustus 2014. 23 Mereka tertarik untuk belajar tentang Kegunungapian, mengingat Prefektur
Yamanashi juga memiliki gunung api yang masih aktif dan rawan bencana seperti
pemerintah propinsi DIY. Dari inisiasi ini muncul berbagai kerjasama diluar
kegunungapian dan penanggulangan bencana seperti budaya dan kerjasama ekonomi.
Dengan contoh kasus tersebut, penelitian ini telah membuktikan signifikansi dari
diplomasi bencana sebagai moda kerjasama internasional. Untuk selanjutnya
diharapkan pemerintah daerah khususnya DIY mampu berperan aktif menginisiasi
kerjasama internasional dengan negara-negara lain yang potensial memberikan
manfaat yang lebih luas. Oleh sebab itu diperlukan sebuah kegiatan lanjutan dari
penelitian ini untuk akselerasi pemanfaatan diplomasi bencana sebagai sarana
kerjasama internasional.
23
DAFTAR PUSTAKA
Gaillard, J.-C., E. Clavé, and I. Kelman. 2008. "Wave of peace? Tsunami disaster diplomacy in Aceh, Indonesia". Geoforum, vol. 39, no. 1
Kelman, I. 2006. "Disaster Diplomacy: Hope Despite Evidence?". World Watch Institute Guest Essay, 2006
---, 2007. "Disaster diplomacy: Can tragedy help build bridges among countries?" UCAR Quarterly, Fall 2007
---. 2007. "Weather-Related Disaster Diplomacy". Weather and Society Watch, vol. 1, no. 3
---, I. 2008. "Disaster Diplomacy: Diplomats should not rely on disasters". vol. 47, 12 April 2008
Kelman, I. and J.-C. Gaillard. 2007. "Disaster diplomacy in Aceh". Humanitarian Exchange, No. 37 (March 2007)
Kelman, I. and T. Koukis (eds). 2000. 'Disaster Diplomacy', special section in Cambridge Review of International Affairs vol. XIV, no. 1
Le Billon, P. and A. Waizenegger. 2007. "Peace in the Wake of Disaster? Secessionist Conflicts and the 2004 Indian Ocean Tsunami". Transactions of the Institute of British Geographers, vol. 32, no. 3
Louise K. Comfort, “Disaster: Agent of Diplomacy or Change in International Affairs?", Disaster Diplomacy Journal, 2002
Weizhun M, 2008, The Apocalypse of the Indian Ocean Earthquake and Tsunami". World Politics and Economy (Chinese Academy of Social Sciences), vol. 6
Weizhun, M. and Q. Tianshu. 2005. "Disaster Diplomacy: A New Diplomatic Approach?". Shanghai Institute For International Studies International Review, Spring 2005
http://www.antaranews.com/view/?i=1244199032 diakses pada 1 Maret 2010
http://www.sumbarprov.go.id/detail.php?id=347 diakses pada tanggal 14 Maret 2010
http://www.suaramedia.com/dunia-teknologi/sains/18235-potensi-gempa-indonesia-paling-tinggi-di-dunia.html diakses pada tanggal 14 Maret 2010
http://www.rakyatmerdeka.co.id/internasional/2009/12/16/7133/Diplomasi-Kemanusian-antara-Indonesia-dan-Hongaria-
LOCAL GOVERNMENT BUREAUCRACIES’ PERSPECTIVE ON DISASTER DIPLOMACY AS A MODE OF COOPERATION BETWEEN STATES
CASE STUDY: YOGYAKARTA SPECIAL PROVINCE INDONESIA
Ratih Herningtyas & Surwandono
Abstract
This paper aims to examine how the issue of disasters in Indonesia can be modified into a positive social capital to solve social, economic, political and social culture’s problems in disaster prone areas. The natural geographic and physical setting of Indonesia is located between the Indian Ocean, South China Sea, and Pacific Ocean, place the country at the center of typhoon, tectonic and volcanic belts. It has significant levels of exposure to earthquakes, tsunamis, volcanic eruptions, droughts, floods, and cyclones. Some of the latest and most destructive natural disasters were the earthquake followed by tsunami that hit Aceh on 2004, earthquake hit Yogyakarta and Central Java on 2006 and volcanic eruption of Mount Merapi Yogyakarta and Central Java 2011.
Data and analysis of this paper conducted by distributing questionnaires, in-depth interviews, and focus group discussion with the local government bureaucracy and practitioners in Yogyakarta.
This paper found that local government bureaucracy believes that disaster diplomacy can be utilized as a strategic means to increase cooperation between state, as well as social capital to solve certain problems in disaster prone areas. Using Para diplomacy practices in term of disaster issues, local government bureaucracy and Indonesian government in general, has abundant of possibility to improve cooperation and collaboration between states that can reduce the disasters’ material and immaterial losses, as well as intensify development of other potential cooperation in the wider issues.
Keywords : disaster, diplomacy, international cooperation, para diplomacy
Yogyakarta, 21 October 2015
LETTER OF ACCEPTANCE
The International Conference on Social Politics 2016 Number: 40/HI/ICSP/IX-2015
Dear Ratih Herningtyas and Surwandono,
We are pleased to inform you that your abstract entitled LOCAL GOVERNMENT
BUREAUCRACIES’ PERSPECTIVE ON DISASTER DIPLOMACY AS A MODE OF COOPERATION
BETWEEN STATES (CASE STUDY: YOGYAKARTA SPECIAL PROVINCE INDONESIA) has been
accepted for the International Conference on Social Politics 2016, Yogyakarta, Indonesia (26-28 January 2016). Please find the following page for the template of Full Paper.
An abstract is just the beginning: to participate in the conference you should submit a full paper due 25 November 2015 for peer review and register by no later than 2 December 2015. We would like to inform you as well that a number of selected papers will be published on Journal of Government and Politics.
If you have further questions, please do not hesitate to contact us at icsp@umy.ac.id or eko@umy.ac.id.
Sincerely yours,
Eko Priyo Purnomo, Ph.D.
Conference Chair
DIP
Bencana lebih sering dipandang sebagai hal yang negatif, yang identik dengan penderitaaan dan kenestapaan. Indonesia sebagai wilayah ring of fire, tidak harus diratapi namun justru harus disikapi dengan positif dan pro-aktif. Bencana tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjual ratapan serta kesedihan atau diplomasi tangisan (crying diplomacy), namun perlu dilembagakan diplomasi bencana sebagai modal sosial yang bermartabat untuk mengelola kebencanaan.
Buku ini akan mengantarkan pandangan baru, yang diangklat dari hasil riset yang mendalam terhadap praktik diplomasi bencana di berbagai negara bahwa bencana memiliki sejumlah hikmah yang dapat dikelola menjadi modal kemanusiaan bagi peningkatan kesejahteraan, rekonsiliasi, dan kerjasama internasional.
isbn
logo