• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan Diskusi 13 Oktober 2015 - Bapak Robert Setio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahan Diskusi 13 Oktober 2015 - Bapak Robert Setio"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Metafora Tubuh Perempuan sebagai Kritik terhadap Masyarakat dalam Kitab Hosea (Hosea 7.3-16)

Robert Setio

Pendahuluan

Desa Cabean dan desa Bakalan yang letaknya di daerah Boyolali mungkin tidak terkenal bagi kebanyakan kita. Tetapi kedua desa itu terkenal bagi para penggemar gigolo. (maaf jika saya membicarakan soal ini di sini. Tetapi sebenarnya saya mengikuti saja jejak Kitab Hosea yang juga mengangkat soal pelacuran. Bedanya, Hosea mengangkat soal pelacur perempuan, saya mengangkat soal pelacur laki-laki). Menurut pemberitaan (jadi bukan dari pengalaman pribadi saya), para pemuda di kedua desa itu sebenarnya tidak banyak berbeda dengan para pemuda di kebanyakan desa. Pada pagi hingga siang mereka bekerja secara “normal” – seperti pemuda di desa Cabean yang bekerja sebagai pembuat kandang ayam dari bambu – ketika malam

menjelang mereka berubah menjadi “kucing”, istilah yang kiranya banyak dipakai untuk menjuluki para gigolo (http://news.liputan6.com/read/269292/selamat-datang-di-desa-gigolo). Karena banyaknya pemuda di kedua desa tersebut yang menjadi gigolo maka kedua desa tersebut kemudian dikenal sebagai desa gigolo.

Alice A. Keefe dalam bukunya Woman’s Body and Social Body in Hosea (2010) mengatakan bahwa oleh para penafsir feminis, Kitab Hosea dianggap telah menjadi sumber dari pandangan yang merendahkan perempuan. Sudah kita ketahui bersama bahwa Kitab Hosea mempersamakan umat yang berdosa atau keberdosaan umat dengan pelacur perempuan (Gomer, isteri Hosea). Menurut Keefe, pemakaian gambaran pelacur perempuan tersebut memiliki dua masalah. Masalah pertama adalah pengaitan dosa dengan perempuan. Mengapa ketika berbicara tentang dosa, kok, yang dipakai sebagai gambaran adalah perempuan? Makanya, tadi saya membuka pembicaraan dengan mengangkat keberadaan pelacur laki-laki, supaya jelas poin yang

dimaksudkan oleh Keefe. Masalah kedua yang dilihat oleh Keefe pada Kitab Hosea adalah pada adanya pandangan dualistis yang memperlawankan Tuhan dengan alam.

Penjelasannya begini: dalam praktik keagamaan orang-orang Kanaan dikenal adanya pelacuran bakti yaitu pelacuran yang dilakukan dalam kerangka ritus keagamaan. Dalam ritus tersebut para peserta ibadah melakukan hubungan seksual dengan para pelacur bakti dengan maksud meminta kesuburan atas tanah ladang mereka pada dewa-dewa kesuburan. Keberadaan praktik yang semacam inilah yang menurut para ahli dikritik oleh Kitab Hosea. Cara mengkritiknya adalah dengan mengaitkan dosa dengan pelacuran. Dengan mengaitkan dosa dan pelacuran bakti, Kitab Hosea juga sudah memperlihatkan serangan terhadap praktik keagamaan Kanaan. Jadi yang berdosa bukan hanya ritus meminta keseburan itu saja, namun keseluruhan agama Kanaan. Kalau begitu, yang diserang sebenarnya adalah agama Kanaan, bukan pelacurannya. Nah, menurut Keefe, para ahli yang kritis terhadap serangan terhadap agama Kanaan itu kemudian melihat bahwa yang diserang itu bukan sekadar agama Kanaan saja, namun agama yang dekat dengan alam. Jadi agama Kanaan itu dianggap jelek karena ia dekat dengan alam. Di pihak lain, agama Israel menempatkan Tuhan sebagai yang berbeda dari alam. Tuhan Israel adalah Tuhan atas alam, bukan Tuhan yang berada di dalam alam.

Maksud Keefe mengangkat persoalan-persoalan itu ternyata bukan dalam rangka memberikan dukungan kepada pandangan-pandangan tadi. Justru sebaliknya, Keefe menganggap bahwa pandangan-pandangan kritis terhadap Hosea atau Kitab Hosea itu memperlihatkan cara berpikir dualistis khas Barat yang layak dipersoalkan. Dualisme yang dimaksudkan Keefe adalah “laki-laki (Hosea-Tuhan) vs. perempuan (Gomer-umat Israel)” dan “Tuhan (agama rasional) vs. dewa-dewa Kanaan (agama alam)”. Menurut Keefe, dualisme semacam itu belum dikenal oleh orang-orang Israel kuna. Di jaman itu, meskipun laki-laki nampaknya lebih dominan daripada

(2)

dengan sikap terhadap alam. Tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan alam seperti yang sering dilihat oleh para ahli Alkitab dan para teolog, khususnya yang Protestan. Keterkaitan antara laki-laki dan perempuan serta antara Tuhan dan alam itu begitu erat sehingga keberadaan yang satu tidak mungkin dapat dipisahkan dari keberadaan lainnya.

Setelah mengajukan gugatan terhadap pandangan yang dualistis itu, Keefe lalu masuk pada bagaimana membaca Kitab Hosea dengan pandangan yang integratif. Itu dilakukannya dengan menempatkan persoalan Kitab Hosea pada konteks sosial-politik. Bagi Keefe, Hosea adalah nabi yang sedang melancarkan kritik-kritik sosial-politik. Kalau demikian, cara membaca Keefe ini akan cocok dengan tema kita, tidak saja dalam soal “kiritik terhadap masyarakat (kritik sosial)”, namun juga dalam soal pemakaian “metafor tubuh perempuan”.

Hubungan seksual di luar pernikahan bukan pelacuran

Sudah menjadi kebiasaan ketika membaca kisah tentang pernikahan Hosea dengan Gomer, orang berpikir bahwa Gomer itu adalah pelacur dan mengawini seorang pelacur bagi Hosea adalah tindakan yang tidak menyukakan hati. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Keefe dan banyak penafsir lainnya, istilah esyet zenunim seharusnya tidak diterjemahkan dengan perempuan pelacur namun perempuan yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, Bahasa Inggrisnya:

fornication. Dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya sudah ada istilah zinah yang langsung berhubungan dengan kata Ibrani zana yang merupakan akar kata dari zenunim. Tetapi LAI memakai kata sundal yang artinya bisa (a) buruk kelakuan (tt perempuan) atau (b) perempuan jalang; pelacur (http://kbbi.web.id/sundal). Bila dibandingkan dengan zinah, kata sundal lebih cenderung ke arah pelacur. Maka LAI mengikuti kebanyakan penafsir yang menempatkan Gomer sebagai pelacur. Sebenarnya tidak salah juga menempatkan Gomer sebagai pelacur sebab ada kemungkinan memang dia adalah seorang yang berprofesi sebagai pelacur (tentang hal ini teks tidak dengan jelas mengindikasikannya). Tetapi jika karena itu perhatian kita lalu tertuju kepada masalah pelacurnya, maka kita meleset. Pelacuran tidak pernah dianggap salah oleh orang Israel kuna dan Alkitab Perjanjian Pertama. Kita mengingat kisah-kisah Tamar (Kej 38) dan Rahab (Yos 2) yang tidak nampak mempersoalkan profesi pelacur dan pelacuran. Kitab Amsal saja yang nampak mempersoalkan pelacuran (Ams 29.3), namun itupun dalam kerangka pemborosan. Tentu saja bagi kita sekarang, persoalannya jadi lain. Pelacuran bagi kita adalah perbuatan amoral. Tetapi itu kita, bukan orang Israel.

Tidak hanya pelacuran, hubungan di luar pernikahan pun sebenarnya tidak dianggap masalah bahkan ketika itu dilakukan dalam konteks perkosaan sebagaimana nampak pada teks Ulangan ini:

Apabila seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan maka haruslah laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh syikal perak kepada ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya, sebab laki-laki itu telah memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi. (Ul 22.28,29)

Apakah dengan begitu semua bentuk hubungan seks dihalalkan? Tidak! Ul 5.21 dengan tegas menyatakan “Jangan mengingini isteri sesamamu...”. Ketentuan itu berlaku umum sehingga dari situ kita tahu bahwa berhubungan seksual dengan seorang perempuan yang sudah menikah adalah tindakan terlarang! Jadi sepanjang seorang perempuan sudah atau masih memiliki suami, tidak boleh ada laki-laki lain berhubungan seksual dengannya. Peraturan ini merupakan

(3)

Kekacauan sosial

Masalah Gomer yang berkali-kali dijuluki sebagai esyet zenunim itu adalah masalah hubungannya dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Anak-anak yang dilahirkannya

kemudian disebut dengan anak-anak perzinahan juga (bene zenunim) (Hos 2.3). Apa yang terjadi di sini adalah sebuah kekacauan yang tidak dapat diterima.

Tetapi Kitab Hosea tidak berhenti sampai di situ saja. Mulai pasal 4 sampai 14 ada banyak sekali lontaran-lontaran kritis terhadap keadaan yang terjadi di masyarakat dan yang menyangkut para pemimpin, baik pemimpin politik maupun agama. Bila kita mengikuti Keefe maka kita perlu menghubungkan carut marut kondisi sosial-politik ini dengan soal kekacauan keluarga yang diungkap lewat pernikahan Hosea dan Gomer. Dengan kata lain, kekacuan keluarga Hosea adalah metafor dari kekacauan sosial-politik yang menjadi sasaran kritik nabi Hosea.

Kekacauan sosial-politik itu sendiri sudah banyak dibicarakan sejak kita membahas pasal 4. Tetapi porsi bacaan kita hari ini (7.3-16) masih merupakan sambungan tema itu.

Ay 3-7: mengindikasikan terjadinya intrik-intrik politik di kalangan para penguasa. Ada para penjilat yang melaporkan berita-berita kebohongan agar menyenangkan penguasa (“asal bapak senang”); tetapi motif mereka adalah untuk menjatuhkan kekuasaan karena sudah sejak semula pikiran mereka dipenuhi dengan upaya balas dendam, ketidakpuasan terhadap pemerintah dan seterusnya; akhirnya kekuasaan benar-benar tumbang sebagai hasil persengkongkolan gelap itu.

Jika kita mengaitkannya dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada Israel (Utara) pada abad ke-8 SZB, maka keruntuhan kerajaan Israel yang terjadi masa itu, dalam terang ayat-ayat tadi, harus dilihat sebagai hasil dari konflik internal di antara para penguasa Israel sendiri.

Keruntuhan Israel itu tersirat juga dalam paparan ayat 8-11 yang menggambarkan kejatuhan pamor Israel (Efraim) di antara bangsa-bangsa dan akhirnya mereka menjadi bangsa yang terjajah dan kekayaannya dihisap oleh bangsa asing. Dalam keadaan yang tidak berdaya, mereka masih berusaha bangkit, namun dengan meminta pertolongan bangsa-bangsa asing (Mesir dan Asyur). Tentu saja permintaan tolong kepada kekuatan asing ini didasarkan atas sebuah pertimbangan. Tetapi justru dengan meminta pertolongan asing itu, Israel menjadi semakin terpuruk.

Kejadian yang sama juga terjadi dalam sejarah bangsa kita. Konflik yang terjadi di antara para penguasa melemahkan negara. Tetapi di tengah konflik itu, ada penguasa yang sengaja meminta pertolongan asing demi mengalahkan pesaingnya yang adalah saudara sebangsanya sendiri. Dengan begitu, terbukalah peluang bagi penguasa asing untuk menjajah. Mungkin kisah ironis ini tidak berhenti di masa lalu saja. Sampai sekarang konflik-konflik perebutan kekuasaan di antara sesama anak bangsa masih terjadi. Demikian pula dengan usaha meminta bantuan asing untuk mengalahkan pesaing yang adalah sesama saudara sebangsa dan setanah air.

Ayat 14 sedikit mengungkap sumber dari intrik-intrik dan konflik-konflik politik itu yaitu “gandum dan anggur”, alias harta. Sebagai bangsa agraris Israel menggantungkan

(4)

keras memperoleh hasil yang lebih sedikit daripada yang bekerja lebih sedikit namun memiliki kekuasaan.

Metafor Tubuh Perempuan sebagai Kritik Sosial

Mengikuti jejak Keefe yang ingin mencari titik temu antara persoalan gender dengan persoalan sosial, dalam memenuhi tugas untuk membahas tema hari ini, saya ingin mengatakan bahwa Kitab Hosea pada umumnya dan teks kita hari ini pada khususnya, memperlihatkan bagaimana metafor tubuh perempuan dapat menjadi cermin akan kebobrokan sosial-politik baik yang terjadi di masa lampau (Israel) maupun sekarang (Indonesia).

1. Perempuan sebagai pelahir kehidupan

Seperti yang dilihat Hosea pada masanya, kita sekarang juga melihat suatu kondisi di tengah masyarakat yang berlawanan dengan metafor “perempuan sebagai pelahir kehidupan”. Banyak kejadian di tengah masyarakat kita yang justru menunjukan gejala “pemusnah kehidupan”. Ketidakpedulian sampai dengan kesengajaan yang melahirkan kerusakan lingkungan adalah salah satu dan terbesar dari kasus “pemusnahan kehidupan”. Pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan yang mungkin dampaknya tidak terlalu kita rasakan di Jawa namun jelas-jelas dirasakan di daerah Selat Malaka memperlihatkan ketiadaan “ibu yang melahirkan kehidupan”. Demikian juga penambangan batu bara yang menyisakan kerusakan parah pada tanah-tanah yang digali dan ditinggal begitu saja. Kalau mau menyebut semua kerusakan lingkungan yang terjadi di negeri ini, sampai berlembar-lembar kertaspun tidak akan cukup.

2. Perempuan sebagai pemberi makan

Sampai dengan hari ini, dunia dimana kita tinggal di dalamnya masih banyak diwarnai oleh kelaparan. Jutaan orang setiap hari terpaksa tidak bisa makan atau makan makanan yang tidak bergizi. Kita mungkin menyangka bahwa itu tidak terjadi di Indonesia. Tetapi itu jelas salah. Penyakit yang disebabkan oleh gizi buruk masih menimpa ribuan (minimal) anak Indonesia. Di kota-kota besar pun tidak semua orang bisa mendapatkan makanan yang layak setiap harinya. Mereka yang terpaksa makan makanan sisa yang dibuang di tempat-tempat sampah masih ada di bumi yang sebagian penduduknya mampu makan di restoran-restoran mahal dan yang punya peraturan: “makanan yang tidak terbeli harus dibuang”. Kita juga ingat bahwa krisis air minum sudah terjadi bahkan di Yogya ini. Berdirinya hotel-hotel dan apartemen-apartemen baru membuat kandungan air tanah merosot dengan cepat dan banyak orang mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih, apalagi air minum. Sementara produsen-produsen air minum kemasan sudah memblokir sumber-sumber air terbaik di negeri ini hanya untuk bisa digunakan bagi perusahaannya saja. Bukankah kita telah kehilangan sosok “perempuan sebagai pemberi makan”?

3. Perempuan sebagai penghubung

Masyarakat kita semakin hari semakin terpisah-pisah atas dasar primordialisme dan status sosial-ekonomi. Kecurigaan bahkan permusuhan antarkelompok masyarakat semakin marak terjadi. Bahkan di kampus ini saja sudah beberapa kali terjadi perkelahian antarkelompok suku. Sementara itu, diskriminasi juga masih terjadi bahkan dilakukan dengan dalih agama, sebagaimana yang dialami oleh kaum homoseks. Kita membutuhkan “figur ibu yang menghubungkan” kelompok-kelompok yang berbeda-beda itu.

Penutup

Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa perempuan tidak selalu dan tidak semuanya memperlihatkan sifat dan sikap seperti yang saya sebutkan di atas. Perempuan juga bisa bertindak yang

(5)

Referensi

Dokumen terkait

orang, sedangkan subjek penelitian yang akan dilaksanakan adalah karyawan. PT BPD Papua Cabang Timika sebanyak 89 orang, yang

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana program studi pendidikan guru sekolah dasar pendidikan

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah membuat suatu software basis data mengenai data pegawai pada Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia dengan menggunakan Visual

Implementasi Metode Pembelajaran Drill Sebagai Upaya Meningkatkan Aktivitas Dan Prestasi Belajar Mata Diklat Plc (Programmable Logic Control) Smk Muhammadiyah

In this study, stepwise multiple regression analyses were performed for both sexes and also the total sample to examine the relationships between the dependent variable

Dengan demikian gejala utama untuk diagnosis asma pada anak adalah batuk dan/atau mengi dengan karakteristik yang khas yaitu: timbul secara berulang yang menunjukkan adanya

Analisis kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii dilakukan dengan menggabungkan seluruh parameter, infrastruktur, dan aspek penunjang lainnya, maka

This holds for all non-negligible levels of supply shock noise, since at this level, the area where inflation rate improvements would have much more effect than equivalent