• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI MAKNA TAWAKKAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEMAHAMI MAKNA TAWAKKAL"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGAJIAN JUMAT PETANG BA’DA MAGHRIB

KAJIAN HADITS TEMATIK

MASJID MARGO RAHAYU NAMBURAN KIDUL YOGYAKARTA

Memahami Makna Tawakkal

TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.

Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang berasala dari riwayat Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu ‘anhu, yang berisi penjelasan tentang masalah tawakkal, yang teks lengkapnya sebagai berikut:

َنا ِ َع ُ ْ َع ُها َ َِِر ِبا ََّ

ْا ِ ْب َرَ ُع ْ َع

ْ

َ َ َسَو ِ ْيَ َع ُها ََ َص ِ ِي

َلاَق

:

ُقُزْرَي اَ َك ْ ُكَقَزَرَ ِ ِ لََ َت ََّح ِها َ َل َنْ

ُ َََ َتَ ْ ُكََّأ ْ َ

اًّا َِّب ُحْوُرَتو ، ا ًصاَ ِِ ْوُدغَت ، َ ْْ َّلا

“Dari Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu anhu , dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam , beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allâh dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allâh sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz I, hal. 30, hadits no. 52; At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz , hal. , hadits no. 2344; An-Nasâi, Sunan al-Kubrâ, juz , hal. , hadits no. 11805; Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah, juz , hal. , hadits no. 4164; Ibnu Mubarak, Az-Zuhd, juz , hal. , hadits no. 559; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, juz , hal. , hadits no. 4108; Abu Ya’la, Musnad Abî Ya’lâ, juz , hal. , hadits no. 242; ‘Abd bin Humaid, juz , hal. , hadits no. 10; dan Abu Dawud ath-Thayalisi, Musnad ath-Thayâlîsi, juz , hal. , hadits no. 51, dari Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu ‘anhu)

Hadits ini, menurut para ulama, adalah sebuah hadits yang menjadi landasan kajian tentang persoalan tawakkal, yang difahami oleh para ulama sebagai faktor yang sangat menentukan capaian kebahagiaan hidup bagi setiap orang, baik (kebahagian hidup) di dunia maupun akhirat.

(2)

﴿ اًجَرْ ََ ُ

َ ْلَعْ ََ َ ََا َِّت

َ

َي ْ َمَو

٢

ُب ِسَتْ ََ

َ ُثْيَح ْ ِم ُ ْقُزْرَيَو ﴾

َ

ى

ُ ُب ْسَح َ ُ َ ِ ََا َ َل

ْ َََ َتَي ْ َمَو

“… barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya…” [QS ath-Thalâq/65: 2-3]

Dikisahkan, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat di atas kepada Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu anhu, seraya bersabda kepadanya: “Seandainya seluruh manusia mengambil ayat ini, maka ayat ini cukup bagi mereka.”1 Maksudnya, seandainya manusia merealisasikan takwa dan tawakkal, mereka akan cukup dengan keduanya dalam urusan agama dan dunia mereka. Dan masalah ini telah dibahas pada syarah (penjelasan) hadits Abbdullan bin Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ,

“... Jagalah Allâh, niscaya Dia akan menjagamu ...”2

Sehingga ada ulama yang berkata: “Sesuai dengan kadar tawassulmu kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, Dia mengetahui kebaikan tawakkalmu kepada-Nya dari hatimu. Betapa banyak hamba yang menyerahkan urusannya kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ, kemudian Allâh ‘Azza wa Jalla mencukupi apa yang diinginkan hamba tersebut.”

Apa Makna Tawakkal Itu?

Secara bahasa, tawakkal berarti: “mewakilkan, yaitu menampakkan kelemahan dan bersandar atau bergantung kepada orang lain.”3

Ar-Râghib al-Ashfahani rahimahullâh (wafat th. 425 H.) berkata: “(kata) tawakkal itu (bisa) dikatakan dari dua sisi. (Jika) dikatakan: “tawakkaltu li fulân (Aku menjadi wakilnya si fulan),” maka maksudnya adalah dia menjadi wakil si Fulan. Dan (jika) dikatakan juga: wakkaltuhu fatawakkala lî, wa tawakkaltu ‘alaihi (aku menjadikan dia sebagai wakil,

1

Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz VIII, hal. 146.

2 Hadits Riwayat, At-Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas radhiyallâhu

‘anhumâ, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 667, hadits no. 2516. 3

Abul Husain Ahmad bin Faris (wafat th. 395 H.), Mujmal Maqâyis al-Lughah

(3)

kemudian dia menjadi wakilku, dan aku bertawakkal kepadanya),” maka maksudnya adalah aku bersandar atau bergantung kepadanya.”4

Ibnu Atsîr rahimahullâh (wafat th. 606 H.) berkata, “tawakkal terhadap suatu perkara adalah apabila bergantung dan bersandar padanya. (Ungkapan) Aku wakilkan urusanku kepada seseorang, berarti: "aku bersandar dan bergantung padanya.”5

Secara istilah, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullâh (wafat th. 795 H.) berkata, bahwa tawakkal ialah: “penyandaran hati dengan jujur kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ dalam upaya memeroleh kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya-bahaya dalam seluruh urusan dunia dan akhirat.”6

Sa’id bin Jubair rahimahullâh berkata, “tawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla ialah puncak iman.”7

Pengertian yang paling dekat yang dikumpulkan dari pengertian-pengertian di atas yakni, “tawakkal ialah: “keadaan hati yang tumbuh dalam mengenal Allâh ‘Azza wa Jalla, beriman kepada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengatur, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, memberi dan menahan, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terjadi.” Oleh karena itu, wajib bersandar dan berserah diri kepada-Nya, percaya kepada-Nya, yakin bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla akan mencukupinya.”8

Hakikat Tawakkal

Untuk memahami hakikat tawakkal, ada beberapa hak yang perlu kita ketahui.

1. Mengenal Allâh dan sifat-sifat-Nya seperti sifat maha kuasa-Nya, maha kaya-Nya, dan sifat terus-menerus mengurus makhluk-Nya, sifat maha tahu-Nya terhadap segala sesuatu dan mengetahui bahwa semua perkara itu bersumber dari kehendak-Nya. Pengetahuan tentang masalah-masalah ini merupakan langkah awal yang hendak manapaki jalan tawakkal.9 Orang-orang yang tidak mengimani hal-hal diatas, seperti orang yang mengatakan bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla itu tidak memiliki sifat, maka mereka tidak akan bisa bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla

2. Mengakui dan menetapkan adanya sebab, menjaganya dan melakukan sebab-sebab tersebut.

4

Al-Mufradât Li Alfâzhil Qur-ân, hal. 882. 5

An-Nihâyah Fî Gharîbil Hadîts, juz V, hal. 221. 6Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, juz II, hal. 497.

7Hilyatul Auliyâ’, juz IV, hal. 304, hadits no. 5638. 8

At-Tawakkul ‘Alallâh, hal. 22. 9

(4)

3. Hati sangat tergantung kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, bersandar kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan percaya dengan pengaturan-Nya. Sebagian orang yang berilmu, “Orang yang bertawakkal itu seperti anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa yang dapat melindunginya selain ibunya, maka begitu juga orang yang bertawakkal, dia tidak mengetahui sesuatu yang dapat melindunginya selain Rabb (Tuhan)-nya.10

4. Tawakkal adalah kemantapan di atas tauhid, bahkan hakikat tawakkal adalah sepenuhnya mentauhidkan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâdengan hati. Apabila di dalam hati masih ada noda kesyirikan maka tawakkalnya masih cacat. Dan bila seseorang sudah memurnikan tauhidnya maka tawakkalnya menjadi benar.11

5. Ridha. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Ridha adalah buah tawakkal. Barangsiapa yang menafsirkan tawakkal dengan ridha, maka dia telah menafsirkan tawakkal dengan buahnya yang maling mulia dan faedahnya yang paling agung. Karena sesungguhnya jika seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya maka dia akan ridha dengan apa yang diperbuat oleh Allâh ‘Azza wa Jalla.”12

6. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh mengatakan, “Rahasia tawakkal dan hakikatnya adalah kepasrahan dan ketergantungan hati kepada Allâh semata. Tidaklah tercela mengambil sebab (melakukan usaha, ed.) dengan tetap menjaga hati (agar bebas, ed.) dari ketergantungan kepada sebab tersebut. Adalah merupakan sebuah kesia-siaan, orang yang mengatakan, “Saya bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla” tetapi ia bersandar, bergantung dan memiliki keyakinan kepada selain-Nya. Jadi, tawakkal lisan berbeda dengan tawakkal hati. Oleh karena itu, tidak manfaatnya sedikitpun, ucapan seseorang yang mengatakan, “Saya berawakal kepada Allâh” tetapi ia masih bersandar dan bergantung kepada selain Allâh ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana orang yang berkata, “Saya bertaubat kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, sedangkan ia terus berkubang dengan maksiat.”13

Ketahuilah, bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan sebab-sebab yang telah ditakdirkan Allâh ‘Azza wa Jalla dan merupakan ketentuan-Nya bagi setiap makhluk, karena Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ memerintahkan makhluk-Nya untuk mengambil sebab-sebab (melakukan usaha, ed.) sekaligus memerintahkan mereka agar bertawakkal.

Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan anggota badan adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati, ialah: “iman kepada-Nya,” seperti apa yang bisa kita fahami dari firman Allâh ‘Azza wa Jalla:

اًعيِ ََ اوُرِفّْا ِو

َ

أ ٍتاَبُ اوُرِفّْاَف ْ

ُكَرْذِح اوُذُخ ا ُ َمآ َ يِ ََا اَ ليَأ اَي

10Ibid.,Madârijus Sâlikîn, hal. 126. 11Ibid.,Madârijus Sâlikîn, hal. 125. 12

Ibid., Madârijus Sâlikîn, hal. 127. 13

(5)

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama.” [QS an-Nisâ’/4: 71]

Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:

َوُدَع ِ ِب َن ُبِهْرُت ِلْيَ

ْا ِطاَبِر ْ ِمَو ٍةَ

ْ

َ

ُق ْ ِم ْ ُتْعََّتْسا اَم ْ ُ َ اولدِعَأَو

َ ْ ِ ِّوُد ْ ِم َ يِرَخآَو ْ ُ َوُدَعَو ِ ََا

ْ ُ ُ َ ْعَي ُ ََا ُ ُ ََ ُ َ ْعَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allâh dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedang Allah mengetahuinya.” [QS al-Anfâl/8: 60]

Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:

ِ ََا ِل ْض

َف ْ ِم ا ُغَتْباَو ِضْرَ ْْا ِِ اوُ َِِتّْاَف ُة ََ َّا ِتَي ِضُق اَذِإَف

ْفُ ْ ُكَ َعَل اًِْث

َك َ ََا اوُرُكْذاَو

َن ُحِ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” [QS al-Jumu’ah/62: 10]

Sahl at-Tusturi rahimahullâh berkata: “Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia telah mencela iman. Barangsiapa mencela usaha dan kerja, sungguh ia telah mencela sunnah.”14

Urgensi (Artipenting) Tawakkal

Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:

ُنِعَتْسَن َكاَيِإَو ُدُبْعََ َكاَيِإ

“Hanya Engkaulah yang kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” [QS al-Fâtihah/1: 5]

Ayat ini sarat akan makna tawakkal. Tawakkal memiliki artipenting dan kedudukan yang sangat luas dan universal, mengingat kompleksnya hal-hal yang berkait dengan tawakkal dan sangat banyaknya kebutuhan makhluk; juga

14Hilyatul Auliyâ’

(6)

karena keumuman tawakkal itu sendiri serta bisa dilakukan oleh kaum mukminin, kafir, orang yang baik, jahat, bahkan hewan sekali pun. Seluruh penghuni langit dan bumi berada dalam tingkatan tawakkal tertentu, namun objek yang mereka tawakkal itu berbeda-beda. Para wali Allâh ‘Azza wa Jalla dan orang-orang yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allâh ‘Azza wa Jalla, mereka bertawakkal kepada Allah dalam masalah keimanan, usaha menolong agama-Nya, menegakkan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya serta dalam kecintaan mereka kepada Allah dan dalam melaksanakan segala perintah-Nya.15

Maka jelaslah bahwa tawakkal merupakan asas dari seluruh keimanan dan kebaikan. Asas dari seluruh amalan Islam. Urgensi (artipenting)-nya ibarat sebuah jasad dengan kepalanya. Sebagaimana kepala tidak akan tegak kecuali dengan badan, demikian pula keimanan, kedudukan dan amalannya tidak akan tegak kecuali dengan tawakkal.16 Tawakkal mempunyai hubungan erat dengan iman, bahkan bisa dinyatakann sebagai bukti keimanan seseorang.

Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

َنِ ِمْؤُ ْ ُتْ ُك ْنِإ ا

ُ َََ َتَ ِ ََا َ َلَو

“…Dan hanya kepada Allâh hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar -benar orang yang beriman.” [QS al-Mâidah/5: 23]

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Dalam ayat ini Allâh ‘Azza wa Jalla menjadikan tawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla sebagai ‘syarat’ keimanan. Maka indikasi, lenyapnya keimanan adalah hilangnya tawakkal”. Lanjutnya lagi.

Dalam ayat yang lain Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

ْ َمآ ْ ُتْ ُك ْنِإ ِمْ َق اَي ٰ ََ ُ

َلاَقَو

ْ ُتْ ُك ْنِإ ا

ُ َََ َت ِ ْيَ َعَ ِ ََاِب ْ ُت

َنِ ِ ْسُ

“Berkata Musa, Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allâh, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri.” [QS Yûnus/10: 84]

Dalam ayat ini Allâh ‘Azza wa Jalla menegaskan, kebenaran pengakuan keislaman seorang hamba dengan sikap tawakkalnya. Maka semakin kuat sikap tawakkal seorang hamba, semakin kuat pula bukti keimanannya.

15

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 118. 16

(7)

Demikian juga sebaliknya, apabila lemah imannya, lemah pula tawakkalnya. Apabila tawakkalnya lemah, sudah bis diduga, bahwa keimanannya ‘lemah’.17

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

ْ ِ ْي

َ َع ْتَيِ ُت اَذِإَو ْ ُ ُب ُ ُق ْتَ ِجَو ُ ََا َرِكُذ اَذِإ َ يِ ََا َن ُ ِمْؤُ ْ ا اَ ََِإ

َن

ُ َََ َتَي ْ ِ ِبَر َٰ َلَو اًّاَ يِإ ْ ُ ْ َداَز ُ ُتاَيآ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal.” [QS al-Anfâl/8: 2]

Mengambil Sebab, Tidak Menafikan Tawakkal!

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Umat (Islam) ini telah bersepakat bahwa tawakkal tidak menafikan usaha untuk melakukan sebab (ikhtiar). (Bahkan), tawakkal seseorang tidak sah kecuali dengan mengambil atau melakukan faktor penyebab (berikhtiar, ed.). Jika tidak demikian, maka tawakkalnya rusak dan sia-sia.”18

Tawakkal tidak menafikan usaha mengambil atau melakukan sebab (ikhtiar). Sungguh Allâh ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengambil sebab dengan tetap tawakkal kepada-Nya. Jadi, berusaha mengambil sebab dengan anggota badan merupakan ketaatan kepada Allâh ‘Azza wa Jalla. Dan tawakkal dengan hati merupakan bukti keimanan kepada-Nya.

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

اًعيِ ََ اوُرِفّْا ِو

َ

أ ٍتاَبُ اوُرِفّْاَف ْ

ُكَرْذِح اوُذُخ ا ُ َمآ َ يِ ََا اَ ليَأ اَي

“Wahai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama.” [QS an-Nisâ’/4:71]

Ibnu Katsir rahimahullâh mengatakan, bahwa “Allâh ‘Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tetap waspada terhadap musuh. Ini berarti tuntutan untuk menakut-nakuti mereka dengan

17Tharîq Hijratain Wa Bâbus Sa’âdatain

, hal. 251. 18

(8)

mempersiapkan senjata dan memperbanyak personil pasukan untuk terjun ke medan pertempuran.”19

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh mengatakan: “tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk meraih apa yang diinginkan dan menolak segala yang dibenci. Barangsiapa yang mengingkari sebab (ikhtiar, ed.), maka tawakkalnya tidak akan pernah baik. Namun di antara (syarat, ed.) kesempurnaan tawakkal adalah ‘tidak bersandar’ kepada sebab tersebut dan menghilangkan ketergantungan hati kepadanya. Hatinya bergantung kepada Allâh bukan kepada sebab, sedangkan badannya berusaha dengan mengambil sebab.”20

Demikian pula Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan untuk melakukan sebab. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasûlullâh, apakah saya ikat onta saya lalu tawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakkal kepada-Nya? Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab:

ْ َََ َتَو اَ ْ ِقْعِإ

“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal.”21

Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan yang dikerjakan setiap hamba Allah terbagi ke dalam tiga bagian:

1. Ketaatan yang Allâh ‘Azza wa Jalla perintahkan kepada para hamba-Nya. Allâh ‘Azza wa Jalla menjadikan ketaatan sebagai sebab atau faktor agar selamat dari neraka dan masuk surga. Maka hal yang seperti ini harus dilakukan oleh seorang hamba, dengan tetap tawakkal dan meminta pertolongan kepada-Nya, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya.

2. Berupa perkara duniawi. Dalam masalah ini, Allâh ‘Azza wa Jalla tetap memerintahkan hamba-Nya untuk mengambil sebab, seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, berteduh ketika panas, menghangatkan diri dari hawa dingin, dan lainnya. Beliau (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:

19

Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, juz II, hal. 357. 20

Ibnu Qayyimal-Jauziyyah, Madârijus Sâlikîn, juz II, hal. 125

21 Hadits Hasan. Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 668. hadits no. 2517.

Dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Takhrîj

Musykilatil Faqr, hadits no. 22. Tentang mengambil sebab, para Ulama rahimahumullâh berkata, “Sebab-sebab yang dinashkan tidak boleh diingkari, tidak diyakini semata-mata. Mengingkarinya adalah kejahilan, bersandar semata-mata pada sebab adalah kesyirikan. Karena yang memberi manfaat, mudharat, mencegah, dan

(9)

َقْس

ُ

أَو ُ َع ْط

ُ

أ ْ ِِِإ ، ْ ُكِتَئْيَ

َك ُتْسَ ْ ِِِإ

“Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum.”22

Dalam riwayat lain dinyatakan:

ْ ِِْيِقْسَيَو ْ ُِِ ِع ّْ

ُي ْ َََر َدْ ِع للِظَأ ْ ِِِإ

“Aku senantiasa berada di sisi Rabb-ku yang memberiku makan dan minum.”23

Maksudnya bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla menguatkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan memberi beliau makan dengan hal-hal yang masuk ke hati beliau, yaitu al-futûh al-qudsiyyah, al-manh al-Ilahiyyah, dan ma’rifat rabbaniyah yang membuat beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak butuh makan dan minum dalam waktu tertentu.

Ada dari generasi salaf yang mempunyai kekuatan meninggalkan makanan dan minuman yang tidak dimiliki orang lain dan mereka tidak mendapatkan mudharat (bahaya) dengannya.

Dalam hadits yang panjang tentang keislaman Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu ‘anhu, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ِِ َّْب ُ َكُع ْتَ َََكَت َََح ُتْ ِ َس

َف َمَزْ َز ُءاَم ََِإ ٌماَعَط ْ ِِ َنََ اَم

ٍف ُج َةَفْخُس ْيِدِب

َك َ َل ُدِجَأ اَمَو

“Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zam-zam, maka aku menjadi gemuk sampai perutku sedikit gendut, dan aku tidak mendapati pada hatiku kelemahan karena lapar.”24

3. Berupa perkara dunia yang bersifat umum seperti berobat ketika sakit. Dalam masalah ini Ulama berselisih pendapat, apakah bagi orang yang tertimpa sakit lebih utama berobat atau tidak berobat jika si sakit ingin merelisasikan tawakkkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla.

22

Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ,

Shahîh Muslim, juz III, hal. 133, hadits no. 2618.

23 Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu,

Musnad Ahmad ibn Hanbal, juz II, hal. 377, hadits no. 8889. 24

(10)

Pendapat Imam Ahmad rahimahullâh bahwa tawakkal bagi orang yang sanggup melakukannya adalah lebih baik karena diriwayatkan dengan shahih dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اْ ُ اَق ، ٍباَسِح ِ َْْغِب ا

ًفْلَأ َنْ ُعْبَس ْ َِِم

ُ

أ ْ ِم َةَ َ

ْا ُلُخْدَي

ْ

:

ْ ُه ْ َم

َلاَق ؟ ِها َلْ ُسَراَي

:

َ

ََو ، َنْ ُقْ ََ ْسَي

َ َ ْيِ

َ

َا ُ ُه

َ

َ

ََو ، َنْوُ َْ ََّتَي

َنْ

ُ َََ َتَي ْ ِ ِبَر َ َلَو ، َنْوُ َتْكَي

.

“Tujuh puluh ribu orang dari ummatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka (Para sahabat) berkata, ‘Siapa mereka wahai Rasûlullâh?’ Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak bertathayyur (merasa sial dengan sesuatu), tidak melakukan kayy (berobat dengan besi panas), dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.”25

Para ulama yang berpendapat bahwa berobat lebih baik berpendapat, bahwa berobat adalah perilaku yang selalu dikerjakan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan beliau (Nabi) shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan sesuatu kecuali yang paling baik. Ulama tersebut menafsirkan permintaan ruqyah -- di sini – dimakruhkan, karena dikhawatirkan mengandung ‘syirik’.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh berkata: “Dalam hadits-hadits yang shahih diperintahkan untuk berobat, dan hal ini tidak menafikan tawakkal, sebagaimana juga kita menolak penyakit lapar dengan makan, rasa haus (kita lawan) dengan minum, (udara) panas dengan berteduh dan (cuaca) dingin dengan memakai baju hangat. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan melaksanakan sebab (syar’i) yang telah ditetapkan Allâh , baik secara Qadar maupun syar’i. Dan meniadakan sebab berarti mencela tawakkal, sebagaimana mencela perintah dan hikmah…”26

Begitu pula tentang rezeki, seandainya kaum Muslimin merealisasikan tawakkal kepada Allâh dengan hati mereka, Allâh ‘Azza wa Jalla pasti akan memberikan rezeki kepada mereka dengan sebab usaha yang paling rendah (ringan) sekali pun, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung-burung yang hanya dengan sekadar pergi di pagi hari dan kembali pada petang hari yang merupakan bagian dari kerja namun kerja ringan.

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

25

Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas, radhiyallâhu

‘anhumâ, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, hal. 124, hadits no. 6472 dan Muslim dari Imran bin Hushain, Shahîh Muslim, juz I, hal.137, hadits no. 547.

26

(11)

َََح َت ُ َ ْ َل ا ًسْفََ َنِإَف ِب

َ َّلا ْ ِِ اْ ُ ِ ََْأَو َها ا ُقَ ا ُتاَنا اَ ليَأ

اْوُذُخ ِب

َ َّلا ْ ِِ اْ ُ ِ ََْأَو َها اْ ُقَ اَف اَ ْ َع َأَّْبَأ ْنِإَو اَ َ ْزِر َ ِِْ َتْسَت

اَم اْ ُعَدَو َلَح اَم

َمُرَح

“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Allâh dan berusahalah dengan cara yang baik! Sesungguhnya satu jiwa itu tidak akan mati hingga rezekinya diberikan secara sempurna, walaupun lambat. Oleh karena itu bertakwalah kalian kepada Allâh ‘Azza wa Jalla dan berusahalah dengan cara yang baik! Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.”27

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, bahwa beliau radhiyallâhu ‘anhumâ mengatakan: “Orang-orang Yaman berangkat haji tanpa perbekalan. Mereka berkata, bahwa ‘Kami orang-orang yang bertawakkal.’ Mereka pun berangkat haji dan tiba di Mekah kemudian mengemis kepada manusia. Karena itu, Allâh ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat ini:

ٰىَ ْقَّا ِداَز ا َ َْْخ َنِإَف اوُدَوَزَتَو

ى

ِباَ

ْ

ْ

ْا ِِو

َ ْ

ُ

أ اَي ِن ُقَ اَو

“…Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku Wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” [QS al-Baqarah/2:197]28

Hal yang sama dikatakan oleh Mujâhid, Ikrimah, an-Nakhâ’i, dan generasi salaf lainnya. Jadi, tidak ada alasan yang melegalkan seseorang untuk meninggalkan sebab-sebab secara totalitas bagi orang yang hatinya tidak bergantung kepada manusia secara total.

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khatthab radhiyallâhu ‘anhumâ juga berusaha maksimal dan mereka juga mencari nafkah, dan tidak ada satupun dari mereka yang berkata, bahwa “Kami hanya duduk dan berpangku tangan hingga Allâh memberi kami rezeki.”

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

27 Hadits Riwayat Ibnu Majah dari jabir bin Abdullah, Sunan ibn Mâjah, juz III, hal.275 , hadits no. 2144.

28

(12)

ِ ََا ِل ْض

َف ْ ِم ا ُغَتْباَو ِضْرَ ْْا ِِ اوُ َِِتّْاَف ُة ََ َّا ِتَي ِضُق اَذِإَف

َن ُحِ ْفُ ْ ُك

َ َعَل اًِْثَك َ ََا اوُرُكْذاَو

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allâh dan ingatlah Allâh banyak-banyak agar kamu beruntung.” [QS Al-Jumu’ah/62: 10]

Setiap orang wajib mencari nafkah dengan mengerjakan sebab-sebab agar Allâh ‘Azza wa Jalla memberikan rezeki. Dan tidak boleh sekali-kali ia menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُتْ ُقَي ْ َم َعِي َضُي ْن

َ

أ اً ْ إ ِءْرَ

ْ اِب َََك

“Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menelantarkan orang yang ia beri makan.”29

Tidak boleh seorang muslim meminta-minta, mengemis atau menjadi beban bagi orang lain. Dia wajib mencari nafkah.

Orang yang bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla dengan benar ialah orang yang mengetahui bahwa Allâh ‘Azza wa Jalla telah menjamin rezeki dan kecukupan untuk hamba-Nya kemudian ia mengimani jaminan Allâh tersebut dengan hatinya, dan merealisasikan dengan sikap bergantung kepada-Nya karena Allâh telah menjamin rezekinya tanpa menempatkan tawakkal seperti sebab-sebab untuk mendatangkan rezeki, karena rezeki itu dibagi-bagikan kepada semua orang; orang baik maupun jahat, Mukmin maupun kafir, seperti dalam firman Allâh ‘Azza wa Jalla:

اَهَرَقَت ْسُ ُ َ ْعَيَو اَ ُ ْزِر ِ ََا

َ َل ََِإ ِضْرَ ْْا ِِ ٍةَباَد ْ ِم اَمَو

اَ َعَدْ َت ْسُ َو

ى

ٍنِبُم ٍباَتِك ِِ

ٌ ُل

“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allâh rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuuzh).” [QS Hûd/11: 6]

Sudah menjadi sunnatullâh terhadap semua makhluk, bahwa segala rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah

29

(13)

disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan; Semua itu tidak akan dapat dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Karena itu, Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ kan memberi rezeki kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi ini.

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

ِ ِقْزِر ْ ِم ا

ُ ََُو اَ ِبِكاَ َم ِِ ا ُشْ اَف

لل

ل

”… Maka jelajahilah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya…” [QS al-Mulk/67: 15]

Barangsiapa mau berusaha di atas permukaan bumi, niscaya ia akan mendapat rezeki.

Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

ِ ََا ِل ْض

َف ْ ِم ا ُغَتْباَو ِضْرَ ْْا ِِ اوُ َِِتّْاَف ُة ََ َّا ِتَي ِضُق اَذِإَف

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allâh.” [QS Al-Jumu’ah/62: 10]

Barangsiapa berjalan di muka bumi ini sambil mengharap karunia dan rezeki Allâh ‘Azza wa Jalla, niscaya ia termasuk orang-orang yang berhak menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia Allâh ‘Azza wa Jalla.

Semua amalan duniawi yang dikerjakan dengan penuh ketekunan dan disertai niat yang benar serta tidak menyimpang dari hukum-hukum Islam, merupakan ibadah. Jerih payah seseorang dalam mempertahankan hidup, demi kehormatan diri dan keluarganya, atau demi berbuat baik terhadap kerabat dan tetangganya, atau demi membantu usaha-usaha dakwah dan sosial dan menegakkan kebenaran, itu termasuk dalam kategori jihad fii sabîlillâh (berjuang di jalan Allâh). Karena itu, Allâh ‘Azza wa Jalla mensejajarkan dua perkara itu dalam firman-Nya:

للل

ِ ََا ِل ْضَف ْ ِم َن ُغَتْبَي ِضْرَ ْْا ِِ َن ُبِ َْْي َنوُرَخآَو

و

َنوُرَخآَو

(14)

Dalam menggalakkan usaha pertanian dan perkebunan, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْو

َ

أ ٌ ْْ َط ُ ْ ِم ُلُك

ْ

أَيَ ؛ ، ًًْرَز ُفَرْزَي ْو

َ

أ اًسْرَغ ُتِر

ْغَي ٍ ِ ْسُ ْ ِم اَم

ٌةَقَد َص ِ ِب ُ

َ َن ََ

َ

َِإ

َ

ٌةَ ْيِ كَب ْوَأ ٌناَسْنِإ

“Tidak seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian darinya, kecuali akan dinilai sebagai sedekah baginya.”30

Dalam menggalakkan usaha pertukangan dan kerajinan tangan, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ِي

َّ َنِإ َو ِهِدَي ِلَ َع ْ ِم َلُك

ْ

أَي ْن

َ

أ ْ ِم اً َْْخ لَّ اًماَع َط ٌدَح

َ

أ َلَك

َ

أ اَم

ِهِدَي ِلَ َع ْ ِم

ُلُكْأَي َنََ َدُواَد ِها

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada apa yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri. Dan adalah Nabi Dawud q makan dari hasil usaha kerjanya.”31

Walaupun banyak sekali hewan lemah tidak dapat mencari rezeki, namun Allâh ‘Azza wa Jalla berfirman:

ْ ُ اَيِإَو اَ

ُ ُزْرَي ُ ََا اَ َ ْزِر ُلِ ْ ََ ََ ٍةَباَد ْ ِم ْ ِي

أَكَو

َ

ى

ُعيِ َس ا َ ُهَو

ُ يِ َع

ْ

لا

“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allâh-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS Al-‘Ankabût/29: 60]

Jadi, selama seorang hamba masih hidup, maka rezekinya ada pada Allâh ‘Azza wa Jalla dan terkadang Allâh ‘Azza wa Jalla memberikan rezekinya kepadanya melalui usaha atau tanpa usaha. Karenanya, barangsiapa yang

30

Hadits Riwayat Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâriy, juz III, hal. 135, hadits no. 2320 dan Muslim , Shahîh Muslim, juz V, hal. 28, hadits no. 4055, dari Anas bin Malik

radhiyallâhu ‘anhu.

31

(15)

bertawakkal kepada Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ untuk mencari rezeki, maka ia menjadikan tawakkal sebagai sebab dan usaha. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla karena keyakinannya akan penjaminan-Nya, sungguh ia bertawakkal kepada Allâh dengan yakin dan membenarkan-Nya.

Pelajaran penting yang wajib diperhatikan dalam memahami tawakkal adalah: “Seseorang yang bersikap tawakkal akan selalu busa menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allâh, melakukan usaha untuk memeroleh apa pun yang diharapkan dengan sikap ridha dengan apa yang Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ sudah takdirkan. Sebagaimana penejelasan para ulama, bahwa buah tawakkal ialah: “ridha dengan qadha (takdir)." Siapa pun yang menyerahkan semua urusannya kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, ridha terhadap apa saja yang diputuskan baginya, dan memilihnya, sungguh ia telah merealisasikan sikap tawakkalnya kepada Allâh dalam keridhaannya.”

Jadi, jika orang bertawakkal kepada Allâh ‘Azza wa Jalla, jika ia bersabar atas cobaan penyakit, rezeki dan selainnya yang telah ditakdirkan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ baginya, maka ia adalah orang yang sabar. Jika ia ridha kepada apa saja yang ditakdirkan baginya setelah terjadi, maka ia orang yang ridha. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz rahimahullâh, “Pada pagi hari, aku tidak mempunyai kebahagiaan kecuali (ridha) pada qadha dan qadar Allah.”32

Demikianlah pembahasan ringkas tentang tawakkal. Mudah-mudahan bermanfaat.

Wallâhu a’lamu bish-shawâb.

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, dalam https://almanhaj.or.id/3831-tawakkal-kepada-allah-subhanahu-wa-taala.html)

32Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam

Referensi

Dokumen terkait

Selama melaksanakan Praktik Kerja Lapangan, kegiatan yang dilakukan praktikan antara lain, menganalisis dan mengklasifikasikan besaran pendapatan dan belanja daerah

Hasil analisis penerapan penilaian diri pada pembelajaran kelas berupa penyiapan bahan presentasi dimana kelas eksperimen sudah sistematis dalam penulisan materi

Sebuah kemungkinan lebih efektif, melalui lebih menantang, cara untuk menilai risiko  pada tingkat tinggi dalam organisasi besar adalah dengan proses akuntansi atau bisnis seperti ini

Untuk merealisasikan tahapan perencanaan lima tahunan tersebut, Pengadilan Negeri Purworejo telah menyusun Rencana Kinerja Tahunan pada setiap tahun anggaran

VaÞnost KriÞevaèkoga uèilišta nije bila samo u osuvremenjivanju nastave i vjeÞbi u podruèju agrikulturne i analitièke kemije veæ i u tome što je ono bilo rasadnik kemièara

Namun hasil prediksi menunjukkan persentase ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap RTRW meningkat tajam yaitu sebesar 20,5%.Arahan skenario tiga, dimana hutan dan

Penelitian ini merupakan PTK dimana dalam pelaksanaannya tidak hanya melihat hasil yang dicapai oleh siswa akan tetapi untuk mengetahui bagaimana aktivitas guru mengelola

Kedua,dasar pertimbangan hukum hakim terhadap pelaku tindak pidana dalam Putusan Nomor 1109/Pid.B/2013/PN.MKS berdasarkan proses pemeriksaan alat bukti keterangan saksi,