POTENSI KARTOGRAFIS DATA LANDSAT-7
UNTUK PEMETAAN PENUTUP
I PENGGUNAAN LAHAN
OLEH:
SURLAN
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SURLAN. Potensi Kartografis Data Landsat-7 untuk pemetaan penutuplpenggunaan lahan. Di bawah bimbingan U.S. WIRADISASTRA, sebagai Ketua, dan MUHAMAD ARDIANSYAH sebagai anggota komisi pembimbing.
Tujuan penelitian ini adalah menemukan keakuratan geometri citra Landsat-7, menemukan tingkat ketelitian hirarki klasifikasi penutuplpenggunaan lahan, dan menemukan tingkat kedetilan informasi citra Landsat-7 untuk peta penutuplpenggunaan lahan. Penelitian dilaksanakan dengan metode pengolahan citra dan survey di sekitar Jakarta, Bogor dan Bekasi. Ketelitian geometris citra Landsat-7 diuji dengan menggunakan sejumlah titik kontrol 4 titik, 9 titik dan 25 titik yang sebarannya diatur sedemikian rupa. Titik-titik kontrol diperoleh dari citra rupa bumi skala 1 : 25 000 dan citra IKONOS. Model matematik yang digunakan adalah model polinomial derajat satu dan dua. Potensi kandungan informasi citra Landsat-7 untuk pemetaan penutuplpenggunaan lahan dilakukan berbagai proses pengolahan digital pada citra Landsat-7 untuk meningkatkan kemampuan interpretasi obyek, seperti : enhanment, filter, fusi, dan klasifikasi. Selanjutnya dilakukan interpretasi visual pada citra Lndsat-7 RGBI = 5,4,2,8 yang hasilnya kemudian dibandingkan dengan peta rupa bumi skala 1 : 25 000 atau citra Ikonos. Pengecekan lapangan dilakukan untuk membandingkan, membetulkan atau menambahkan informasi terhadap citra hasil interpretasi. Obyek-obyek yang diamati disesuaikan dengan rekomendasi klasifikasi penutuplpenggunaan lahan untuk pemetaan tematik dasar (BAKOSURTANAL, 2000), yaitu : permukiman, perdagangan, jasa dan industri, kelembagaan, transportasi, tubuh air (sungai, kanal, situ dll), obyek lainnya (bandara, stadion olah raga, obyek wisata dll), serta lahan bervegetasi.
Dengan memperhitungkan semua faktor kesalahan yang berpengaruh terhadap ketelitian geometrik citra dimana satu sama lain merupakan variabel stokastik yang independen maka diperoleh ketelitian geometrik untuk citra pankromatik dengan titik kontrol peta rupa bumi dan titik kontrol menggunakan citra IKONOS masing-masing untuk 4 titik kontrol mp(rupa bumi) = 23.99 meter dan mp(lKONOS) = 15 meter , 9 titik kontrol mp(rupa bumi)
=
20.40 meter dan mp(lKONOS)=
12.39 meter , dan 25 titik kontrol m,(rupabumi)=
16.69 meter dan mp(lKONOS) = 12.14 meter. Sedangkan untuk kanal multispektral diperoleh ketelitian berturut-turut 4 titik kontrol mM(rupa bumi) = 39.35 meter dan mM(lKONOS)=
28.72 meter, 9 titik kontrol mM(rupa bumi)=
36.94 meter dan mM(IKONOS) = 24.8 meter, dan 25 titik kontrol mM(rupa bumi) = 31.37 meter dan mM(IKONOS)=
23.66 meter.Registrasi citra Lansat-7 dengan menggunakan titik kontrol citra IKONOS yang memiliki kesalahan geometrik 5 m (produk ReferenceslOrtho) dan 12 m (produk Geo) memberikan kesalahan posisi berturut-turut antara 2 12 -13 m untuk citra pankromatik dan
2
23-
26 m untuk citra multispektral dan antara+
16-17
m untuk citra pankromatik dan 2 26-
28 m untuk citra multispektral. -Hal ini berarti citra pan kromatik memenu hi persyaratan geometrik untuk peta skala 1 : 25 000, sedangkan untuk citra multispektral memenuhi persyaratan geometrik untuk peta skala 1 : 50 000.
Hal ini berarti citra pankromatik memenuhi persyaratan geometrik untuk peta skala 1 : 50 000, sedangkan citra multispektral hanya memenuhi persyaratan untuk peta skala 1 : 100 000.
Hasil analisis interpretasi visual terhadap citra Landsat-7 RGBI = 5,4,2,8 di daerah perkotaan menunjukkan bahwa citra tersebut mampu memberikan informasi penutuplpenggunaan lahan sampai tingkat klasifikasi orde Ill. Sedangkan pada daerah perdesaan umumnya hanya sampai tingkat klasifikasi orde 11.
Permukiman perkotaan maupun permukiman perdesaan dapat diidentifikasi berdasarkan warna, pola dan asosiasi. Baik secara visual maupun digital kedua wilayah ini dapat didelimitasi hanya saja batasnya agak sulit dideliniasi.
Obyek industri sebagian besar dapat diidentifikasi berdasarkan warna, bentuk bangunan dan asosiasi. Secara visual obyek industri ini mudah didelimitasi dan dapat dideliniasi baik berdasarkan bentuk bangunan maupun batas areal wilayahnya. Obyek jasa dan perdagangan umumnya dapat diidentifikasi dan didelimitasi, sedangkan yang terletak di tengah permukiman baik warna maupun bentuknya mirip dengan permukiman.
Obyek kelembagaan (perkantoran) tidak secara langsung dapat diidentifikasi. Obyek tersebut mirip dengan obyek permukiman dan obyek jasa dan industri.
Jalan dengan berbagai kategori pada peta rupa bumi skala 1 : 25 000 sebagian besar dapat diidetifikasi dan dideliniasi. Kecuali pada daerah permukiman padat atau bervegetasi nampak terputus-putus atau tidak nampak sama sekali. Namun demikian pola jalan masih bisa dikenali dan dapat dipetakan dengan dukungan survei lapang.
Vegetasi umumnya dapat diidentifikasi berdasarkan warna, sedangkan jenisnya dapat dibedakan berdasarkan warna, pola, tekstur, dan asosiasi. Namun demikian untuk dapat mengidentifikasi jenis vegetasi dan mendeliniasi batasnya dengan benar diperlukan dukungan hasil pengecekan lapang.
Tubuh air secara umum mudah diidentifikasi berdasarkan warna, pola dan bentuk, serta dapat dideliniasi.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
Potensi Kkartografis Data LANDSAT-7 Untuk Pemetaan Penutupl PenggunaanLahan
Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya.
POTENSI KARTOGRAFIS DATA LANDSAT-7
UNTUK PEMETAAN PENUTUP
1
PENGGUNAAN LAHAN
SURLAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAlNS
pada
Program Studi llmu Tanah
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Maret 1958 di Kuningan, Jawa Barat. Anak ke 7 dari 8 bersaudara dari ayahanda Taslim Kartawinata (alm) dan ibunda Asih (almh).
Penulis menamatkan Sekolah Dasar Negeri 1 pada tahun 1970, Sekolah
Menengah Pertama Negeri 1 tahun 1973 dan Sekolah Menengah Atas Negeri pada tahun 1976 di Kabupaten Kuningan. Pada tahun 1977 penulis memasuki jurusan Matematika Fakultas Matematika dan llmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada tahun 1982 dengan gelar sarjana Matematika.
Sejak tahun 1982 diangkat sebagai pegawai negeri sipil pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sampai sekarang.
vii
PRAKATA
Puji syukur ke Hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas izin-Nya penulis
dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu syarat dalam memperoleh
gelar Magister Sains (S2) pada Program Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada terutama komisi pembimbing yaitu : Bapak Dr. Ir. U.S. Wiradisastra, M.Sc
selaku Ketua, Dr. Ing. Muhamad Ardiansyah selaku anggota, atas bimbingan,
kesabaran dan saran atas tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua LAPAN, Bapak
Ir. Mahdi Kartasasmita, Phd, Deputi Wakil Ketua Bidang Penginderaan Jauh,
Bapak Drs. Bambang T. Sukmana, Dipl.lng, Bapak Dr. Ir. Uup. S. Wiradisastra, M. Sc, Bapak Dr. Ing. Muhamad Ardiansyah, Ibu Dr. Ir. Astiana Sastiono, M. Sc
Ketua Jurusan llmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, dan Bapak Prof. Dr.
Sudarsono, M. Sc Ketua Program Studi llmu Tanah Program Pascasarjana IPB,
serta semua dosen Pascasarjana yang telah mendukung terlaksananya program
kerjasama LAPAN-IPB sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan S2.
Kepada rekan mahasiswa Pascasarjana penulis mengucapkan terima
kasih atas kerjasamanya selama ini sehingga penulis merasakan masa
pendidikan ini indah dan mengesankan.
Akhir kata terima kasih tak terhingga diucapkan kepada istriku tercinta
Sri Gustiningsih dan anak-anakku Putri Gustimimiti, Citra Dwiputra dan Gumbira
Dri Putra atas dukungan dan kesetiannya baik dalam suka maupun duka selama mengikuti program pendidikan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat adanya.
Bogor, Agustus 2002
DAFTAR IS1
Halaman
...
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR ... xi i PENDAHULUAN
...
Latar Belakang 1
Tujuan penelitian ... 3
...
Hipotesis 3
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Klasifikasi Pemetaan PenutuplPenggunaan Lahan
...
4Satelit Penginderaan Jauh Untuk Pemetaan ... 7
Sistem Landsat-7 ... 10
Sisten Satelit Resolusi Tinggi lkonos ... 14
Pengolahan Citra Digital ... 17
Klasifikasi Digital ... 26
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
Bahan dan Alat ... 34
Metode Penelitian ... 35
HASlL DAN PEMBAHASAN
... Analisis Geometri Citra Lansat-7
Rektifikasi Dengan Menggunakan Peta Rupa Bumi
...
skala 1 : 25 000
Rektifikasi Dengan Menggunakan Citra Ikonos ...
... Sumber dan Analisis Kesalahan
Kandungan lnformasi Data Landsat.7 ... ...
...
Aspek kartografis Citra Landsat-7 KESIMPULAN DAN SARAN
... Kesimpulan
DAFTAR TABEL
Halaman Nomor
1 . Rekomendasi Klasifikasi PenutupIPenggunaan Lahan untuk
Pemetaan Tematik Dasar di Indonesia ... Persyaratan Ketelitian Geometri pada Peta Topografi ...
Persyaratan Ketelitian Geometri pada Peta Topografi di Negara Berkembang ... Analisis Ketelitian Geometri untuk Data Landsat ... Perbandingan Karakteristik Landsat-5 dan Landsat.7 ... Karakteristik Sensor Satelit IKONOS ... Karakteristik Parameter Satelit IKONOS ...
... Confusion Matrix
... Data satelit yang digunakan
Simpangan Baku Rektifikasi Kanal Multispektral Terhadap Peta ... Rupa Bumi skala 1 : 25 000
Simpangan Baku Rektifikasi Kanal Pankromatik Terhadap Peta Rupa Bumi skala 1 : 25 000 ...
Simpangan Baku Rektifikasi Kanal Multispektral Terhadap Citra I konos ... Simpangan Baku Rektifikasi Kanal Pankromatik Terhadap Citra I konos ... Rata-rata kesalahan untuk citra Pankromatik dan Multispektral ... Hasil Analisis Citra Visual Citra Landsat-7 Daerah Cikarang ... Perbandingan Obyek dari Citra Landsat-7 RGBI = 5.4.2. 8 dengan
... Citra Ikonos
Hasil Analisis Visual Citra Landsat-7 Wilayah Senayan ...
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
13 13 13 37 44 ... Konfigurasi Teknik Landsat-7 dan
... Mekanisme Optical ETM+
... Geometri CCD-Sensor..
Model Pengambilan Jumlah dan Sebaran Titik Kontrol ... ... Jumlah dan Sebaran Titik Kontrol
Beberapa Contoh Citra Landsat-7 Warna Gabungan Kanal
... Merah (R), Hijau (G), dan Biru (B)
Beberapa Contoh Citra Landsat-7 Kanal Pankromatik Sebelum dan ... Sesudah Transformasi
Beberapa Contoh Perbandingan Citra Landsat-7 RGB dengan RGBl ... Daerah Cikarang dan Sekitarnya
Beberapa Contoh Perbandingan Citra Landsat-7 RGB dengan RGBI ... Daerah Senayan-Monas dan Sekitarnya
Citra Landsat-7 RGBl =5,4,2,8 Wilayah Cikarang-Bekasi.. ... Citra Landsat-7 RGBl =5,4,2,8 Sekitar Stadion Senayan.. ...
Citra Landsat-7 RGBl =5,4,2,8 Monas dan Sekitarnya ... Peta PenutupIPenggunaan Lahan dari Citra Landsat-7 Wilayah
... Cikarang dan Sekitarnya..
Peta Rupa Bumi skala 1 : 25 000 Wilayah Cikarang-Bekasi ...
Peta PenutupIPenggunaan Lahan dari Citra Landsat-7 Wilayah ... Senayan dan Sekitarnya..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peta yang akurat, terkini dan mutakhir merupakan media inventarisasi
dan informasi mengenai sumber kekayaan alam, maupun sebagai sarana yang
mutlak diperlukan bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional
serta sebagai alat bantu untuk keperluan monitoring dan evaluasi.
Sebagai negara berkembang yang berpenduduk padat dan bertumpu
pada pengelolaan sumber daya alam pertanian dalam pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakatnya akan berakibat pada peru bahan penutuplpenggunaan
lahan yang cepat. Hal ini menyebabkan lemahnya persyaratan peta yang terkini,
terutama bagi peta penutuplpenggunaan lahan yang akan cepat usang dan
harus selalu diaktualkan.
Ketersediaan peta tematik di lndonesia khususnya peta
penutuplpenggunaan lahan, masih mengalami berbagai kendala. Selain adanya
berbagai macam versi karena berbagai tuntutan kebutuhan yang berbeda, ha1
lain yang tak kalah pentingnya adalah keaktualan informasi yang seringkali
sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan.
Teknologi satelit inderaja dalam membantu pemetaan tematik telah
dimulai sejak mulai beroperasinya satelit Landsat pada tahun 1972. Sejak saat
itu teknologi penginderaan jauh berkembang sangat cepat baik dari sisi teknologi
sensor, maupun hardware dan softwarenya. Dengan meningkatnya resolusi
spasial dan juga teknologi opt0 elektronik, sistem satelit hampir dapat
menggantikan peran foto udara. Dari sisi ini hampir tidak ada lagi perbedaan
satelit penginderaan jauh untuk pemetaan belum dapat dilaksanakan secara
tepat guna dan optimal, terutama belum adanya panduan yang baku secara
nasional untuk penyusunan peta-peta tematik.
Beberapa penelitian yang terkait dengan penyediaan peta
penutuplpenggunaan lahan dengan menggunakan data satelit inderaja telah
banyak dilakukan. lgbokwe (1992) menggunakan data Landsat-TM untuk
memetakan perubahan penutuplpenggunaan lahan di daerah Sahel Afrika untuk
skala 1 : 100 000. Ajayi (1992) menggunakan data spot pankromatik untuk
pemetaan topografi di daerah Bandung. Beberapa penelitian yang terkait
dengan teknik pengolahan data satelit telah dilakukan oleh Kushardono (1997),
Schumaher ( I 990), Moeller (1 991) dengan menggunakan data Landsat-TM dan
SPOT untuk klasifikasi penutuplpenggunaan lahan. Klasifikasi penutupl
penggunaan lahan pada penelitian tersebut dilakukan dengan proses otomatis
secara digital dengan menggunakan kanal multispektral atau pankromatik saja.
Pada penelitian ini digunakan data kanal multispektral dan pankromatik dimana
untuk mengklasifikasikan penutuplpenggunaan lahan dilakukan secara visual
dan digital.
Dengan dioperasionalkannya satelit Landsat-7, terutama dengan sistem
sensor ETM dan adanya kanal pankromatik dengan resolusi spasial 15 m, diharapkan dapat meningkatkan kontribusi peranan data satelit dalam menuju
penyusunan panduan nasional penggunaan data satelit untuk pemetaan tematik.
Untuk itu perlu dikaji secara komprehensip tentang kemampuan data Landsat-7
tersebut untuk pemetaan tematik, terutama untuk meningkatkan ketelitian
geometri dan kualitas serta kuantitas isi informasi dari skala 1 : 100 000 menjadi
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan suatu metode dalam
mengoptimalkan pemanfaatan data Landsat-7 untuk pemetaan
penutuplpenggunaan lahan, dengan cara:
a) menemukan keakuratan geometri citra Landsat-7
b) menemukan tingkat ketelitian hirarki klasifikasi penutuplpenggunaan
lahan
c) menemukan tingkat kedetilan informasi citra Landsat-7 untuk peta
penutupl penggunaan lahan
Hipotesis
a) Jumlah dan sebaran titik kontrol mempengaruhi keakuratan geometri
b) Citra Landsat-7 dapat digunakan untuk merevisi peta
penutuplpenggunaan lahan sampai dengan skala 1 : 25 000 dan dapat
dijadikan dasar pembuatan peta penutuplpenggunaan lahan sampai
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Klasifikasi Pemetaan PenutupIPenggunaan Lahan
Satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pemetaan
penggunaan lahan dan penutup lahan terletak pada pemilihan sistem klasifikasi
yang tepat, yang dirancang untuk suatu tujuan dimaksud. Klasifikasi
penutuplpenggunaan lahan adalah upaya pengelompokan penutuplpenggunaan
lahan dalam penyajian data spasial yang akan dijadikan pedoman atau acuan
dalam proses interpretasi .
Klasifikasi penutup dan penggunaan lahan yang digunakan di Indonesia
umumnya disesuaikan dengan tujuan masing-masing pengguna baik individu
maupun organisasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pemetaan lahan.
Beberapa klasifikasi penutuplpenggunaan lahan yang telah diusulkanl
digunakan diuraikan di bawah ini.
a) Klasifikasi penggunaan lahan menurut Kardono Darmoyuwono (1971)
merupakan sistem klasifikasi tunggal, yang dilengkapi dengan simbul area
untuk penggambaran pada peta, ditekankan untuk wilayah pedesaan
dengan skala kecil.
b) Sistem klasifikasi penutup lahanlpenggunaan lahan menurut Badan
Pertanahan Nasional (1977), membagi wilayah pedesaan dan perkotaan
sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi penutup
lahanlpenggunaan lahan pedesaan disajikan dalam berbagai skala, yakni
1 : 5 000 sld 1 : 12 500. Masing-masing klasifikasi disajikan secara terpisah, yakni bukan merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang berjenjang.
c) Sistem klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan untuk Indonesia
menurut Malingreau (1 981), didasarkan pada kombinasi sistem physiognomik
dan sistem fungsional. Cara penyajian masing-masing klasifikasi dilakukan
secara bertingkat, dengan 4 tingkat klasifikasi, yaitu jenjang I hingga
jenjang IV. Klasifikasi penggunaan lahan jenjang berikutnya merupakan
rincian dari jenjang sebelumnya.
d) Sistem klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan menurut United
States Geologi Sunley (USGS), dikembangkan berdasar penggunaan citra
penginderaan jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya. Sistem
klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berjenjang, yaitu dari tingkat I
(umum) hingga tingkat IV (rinci).
e) Klasifikasi penutuplpenggunaan lahan menurut Regional Physical Planning
Programme for Transmigration (RePPPRoT) (1983-1990) dibangun dengan
menggunakan data penginderaan jauh sebagai sumber utama datanya. Peta
penutuplpenggunaan lahan disajikan pada skala 1 : 250 000, ditujukan untuk
evaluasi lahan, dimana peta penutuplpenggunaan lahan sebagai salah satu
masukan datanya.
f) Klasifikasi penggunaan lahan menurut neraca sumber daya alam spasial
daerah merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang diarahkan untuk
pengelolaan sumber daya alam, yang ditekankan pada kategori penggunaan
lahan yang terkait dengan sumber daya alam (NSSAD, 1998). Klasifikasi
disajikan secara berjenjang dalam kelas dan sub-kelas.
Berbagai macam sistem klasifikasi di atas menunjukkan betapa sulitnya
Fakultas Geografi UGM bekerjasama dengan BAKOSURTANAL dalarn kegiatan
pembakuan spek metodologi kontrol kualitas pemetaan tematik dasar dalam
mendukung perencanaan tata ruang (2000), merekomendasikan sistem
klasifikasi penutuplpenggunaan lahan yang sedapat mungkin
[image:137.616.78.557.255.675.2]mengakomodasikan berbagai kebutuhan pengguna (Tabel 2.1 ).
Tabel 2.1. Rekomendasi Klasifikasi PenutupIPenggunaan Lahan untuk Pemetaan Tematik Dasar di Indonesia
Tingkat I
1. Daerah perkotaan dan terbangun
2. Daerah Perdesaan
Sumber : Bakosurtanal
Tingkat II Permukiman perkotaan Perdagangan, jasa, industri Transportasi, komunikasi,
I
Permukiman perdesaan
I
Perrnukiman perdesaan Tingkat Ill Permukiman perkotaan Perdagangan, jasa, industri Transportasi, komunikasi, utilitisLahan terbangun lainnya Bukan lahan terbangun
utilitis
Lahan terbangun lainnya Bukan lahan terbangun
Lahan bervegetasi diusahakan
Sawah irigasi Sawah tadah huian
Lahan bervegetasi tidak diusahakan
(lahan kosong)
Sawah pasang surut Tegalan
Perkebunan Hutan lahan kering Hutan lahan basah Belukar
Lahan tidak bervegetasi
Semak Rumput Lahan terbuka
/
Waduk Tubuh perairanTambak Rawa
Gumuk pasir Danau
I
SunaaiI
Satelit Penginderaan Jauh untuk Pemetaan
Menurut kemungkinan penggunaannya satelit penginderaan jauh dapat
dibedakan dalam 3 kelompok (Konecny, 1990), yaitu sistem satelit untuk
meteorologi dan oceanografi, sistem satelit untuk inventarisasi dan pemantauan
sumber daya alam, sistem satelit untuk penyediaan peta tematik dan topografi.
Kelompok pertama merupakan satelit-satelit yang memiliki resolusi spasial
rendah (1-5 km), tetapi dengan waktu periode ulang yang pendek
(sehari sekali atau lebih). Kelompok kedua merupakan satelit-satelit yang
memiliki resolusi spasial menengah
(2
20 m), minimal memiliki 3 kanal spektraldengan periode ulang sekitar 1 bulan. Sedangkan kelompok ketiga harus
memiliki resolusi spasial tinggi ( 5 1 5 m), dengan spektral rendah (1-3 kanal) dan
periode ulang juga rendah
(2
1 tahun).Hal penting yang harus diperhatikan dalam penggunaan data
penginderaan jauh untuk pemetaan, yakni persyaratan untuk memperoleh
kualitas peta yang benar. Ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi, yakni
ketelitian planimetris, ketelitian elevasi, detectability.
Batasan ketelitian posisi, tinggi dan kedetilan kandungan peta pada saat
ini tidak ada standarisasi yang tegas. Di Kanada misalnya, untuk peta topografi
skala 1 : 250 000 dan 1 : 50 000 menggunakan standar Nato-Kelas-A. Untuk itu
90 % titik-titik yang teridentifikasi secara nyata pada peta harus memenuhi
ketelitian planimetri
5
0.5 mm (Gauthier 1988). Di USA NMAS (National Map Accuracy Standards) menentukan 63 % titik-titik yang teridentifikasi secara nyatapada peta skala 1 : 24 000 tidak boleh melebihi 0.3 mm (Welch et al. 1985). Di
Australia 90 % titik-titik yang teridentifikasi secara nyata pada peta skala
Ketelitian planimetris yang disyaratkan umumnya mempunyai standar
baku 0.2 mm pada masing-masing skala, sedangkan untuk ketelitian elevasi,
jika suatu titik memiliki standar baku
2
oh maka interval kontur harus 5oh(Konecny, 1990). Tuntutan persyaratan ketelitian yang harus dipenuhi untuk peta
topografi misalnya, ditunjukkan dalam Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
Tabel 2.2. Persyaratan Ketelitian Geometris pada Peta Topografi (Konecny, 1990).
Tabel 2.3. Persyaratan Ketelitian Geometris pada Peta Topografi di Negara Berkembang (Konecny, 1989).
Penelitian mengenai kajian analisis geometris untuk data Landsat, dirangkumkan
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Analisis Ketelitian Geometri untuk Data Landsat
Jumlah titik
I I I I I
Dilakukan dengan menggunakan data Landsat MSS (resolusi = 79m)
I I
I
Colvocoresses1
I
I
I
I
I
O X
Kontrol
O X
banding ow
& McEwen,
1973
Baehr & Schur,
Forrest , 1974
/
Penyelesaian parameter 1974Derouchie &
Affine
Transformasi affine
Polinomial derajat 4
Polinomial derajat 2
Baehr, 1975 Derouchi, 1976 16 15 Nasu & Anderson, 1976
Steiner & Kirby
Polinomial derajat 3
Filter-prediksi
Penyelesaian parameter
(steifen dengan 11 scene)
I I I I 1 1
1
Mohamad. 19801
Polinomian deajat 2g
6
6
1
471
1
18
Penyelesaian parameter
Transformasi affine
Welch & Lo,
I
Polinomial derajat 2 untuk koreksiI
9 1977Dowman &
I
1
KolinearitasI
I
66I
67I
I
192 183 66 31 356 25 32 21 ketinggian Transformasi affine 10
1
411I I I I I
Dilakukan dengan menggunakan data Landsat -TM (resolusi = 30m)
Walker u.a ,
73
9
Sawada u.a ,
1981
Schur, 1982
1
19841
Affine 1 1 6 51
I
3 11
1
46
57
65
Model analitik dengan
Sumber : Wu (1 984)
36 58 67 I 140 66
menggunakan parameter lintasan
satelit
Kollinearitas
83 124
66
3
83
(blh=
0.10)
20 35 35
[image:140.612.74.554.171.694.2]Sistem LANDSAT-7
Landsat-7 merupakan program lanjutan dari seri Landsat sebelumnya,
yang diluncurkan ke orbit pada tanggal 15 April 1999. Landsat-7 mengelilingi
bumi pada ketinggian sekitar 705 km dengan sudut inklinasi 98 derajat dan
waktu lintas khatulistiwa jam 10 a.m. Orbit satellit diprogram dengan siklus
pengulangan 16 hari sesuai Landsat Worldwide Reference System. Landsat-7
mempunyai 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal dengan resolusi spasial 30 m, satu
kanal pankromatik dengan resolusi spasial 15 m dan satu kanal termal dengan
resolusi spasial 60 m (NASA, 2000).
Landsat-7 membawa instrumen Enhanced Thematik Mapper Plus
(ETM +). Instrumen ETM
+
merupakan multispektral scanning radiometer yang dapat mendeteksi radiasi terfilter spektral pada daerah tampak mata, infra merahdekat, dan infra merah termal. ETM+ menyajikan suatu nadir viewing dengan
delapan kanal multispektral scanning radiometer, yang dirancang untuk
menerima, memfilter dan mendeteksi radiasi bumi dengan lebar cakupan 185 km
melalui gerakan cross-track scanning sepanjang lintasan satelit. Perbandingan
karakteristik Landsat-5 dengan Landsat-7 disajikan pada Tabel 2.5.
Mekanisme sistem ETM+ ditunjukkan pada Gambar 2.1. Scan mirror
menyapu dengan arah barat-timur dan timur-barat memotong arah lintasan,
sementara satelit bergerak arah utara-selatan. Sebuah teleskop ditempatkan
untuk memfokuskan energi ke sepasang cermin (scan line corrector) yang
kembali diarah kan ke focal plane. Scan line correcfor diperlu kan untuk
mengoreksi overlap dan underlap diantara dua baris yang berurutan yang
diakibatkan gerakan orbit along-track dan cross-track scanning. Energi yang
untuk kanal 1-4 dan 8 (pankromatik) diletakkan. Sebagian energi diarahkan dari
PFP oleh Relay Optik ke Cold Focal Plane, dimana detektor untuk kanal 5 7 , dan
6 diletakkan.
Dengan intrumen ETM+ ini, Landsat 7 mempunyai program utama untuk meningkatkan kualitas data radiometrik, yang memenuhi persyaratan kalibrasi
Tabel 2.5. Perbandingan Karakteristik Landsat-5 dan Landsat-7 Sistem Landsat- 5 Kecepatan transmisi (Mbps) Masa Operasi
Pan : 0,5-0,9 1984-1 999
15 Sensor
Sumber : U.S.Department of the interior, U.S. Geological survey (1999). MSS
Kana1 (p,)
4: 0,5-0,6 5: 0,6-0,7
l:lh'i+ SCAhWIZR ASSEhU3LY
ULL APERTURE
WDIA TOR
D o o n
(cI,osE!,)
CTATlC IZhYT73
A!!M
70- A L C
-
so:,m
/&.!PA y13,2'pj:iR'ip Siiij:!,!P~
r'ft?%O!l!j Al-l'M-fi G I I & < ~ I ~ , ~ ~ I ) X-13AAQ
[image:144.612.141.476.75.404.2]1 ~ 1 7 - r ~ ~ ~
-
AhTENA (GYLfi-j)Gambar 2.1. Konfigurasi Teknik Landsat-7 dan Sumber : Landsat-7 Sciene Data Users Handbook ( NASA, 2000)
S a n mirrors
Cold I'rirne f m 1 plane ( i s o n s p c s c c c n d )
\
'!
\
, ,I *
- <.4J
I
!?adlator toS C ~ i i n c
'
: R :(:cc'!) 5 ; ) 2 U
tor, cclian ~'C!CXCO!X ':; a d
!
7C15. ...
Itcia\. oplic '! ;at '. I ,!
/
Y
./
[image:144.612.93.479.81.705.2]\
/'Gambar 2.2. Mekanisme Optical ETM+
Sistem Satelit Resolusi Tinggi IKONOS
Satelit IKONOS-2 diluncurkan pada bulan September 1999 dan datanya
mulai dipasarkan oleh Space lmageng secara komersial pada awal 2000.
IKONOS merupakan salah satu satelit generasi lanjutan yang memiliki resolusi
spasial sangat tinggi dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan citra
stereo. Satelit ini mempunyai kemampuan hampir menyamai foto udara dan
dapat menghasilkan citra di mana saja di seluruh dunia.
Sensor, Parameter-parameter Satelit lkonos dan Prinsip Kerjanya
IKONOS memiliki sensor yang terdiri dari 5 kanal, yaitu 4 kanal
multispektral dengan resolusi spasial masing-masing 4 meter dan 1 kanal
pankromatik dengan resolusi spasial 1 meter. Karakteristik sensor dan
[image:145.612.71.527.508.685.2]parameter satelit lkonos disajikan pada Tabel 2.6 dan tabel 2.7.
Tabel 2.6. Karakteristik Sensor Satelit lkonos
Nama Kanal
Kanal-5
1
Pankromatik/
0.45-
0.901
1 Kanal-1 (Biru)Kanal-2 (Hijau) Kanal-3 (Merah)
Kanal-4 (I mfra Merah Dekat)
I 1 I
Resolusi Radiometrik : Data direkam dengan 11 bitlpixel (2048 tingkat keabuan) Sumber : Space Imaging, 2001.
Jenis Kanal Multispektral Multispektral Multispektral Multispektral Panjang Gelom bang (Mikrometer) Resolusi Spasial (Meter)
0.45
-
0.53 0.52-
0.61 0.64-
0.72 0.77-
0.884
4
4
Tabel 2.7. Karakteristik Parameter Satelit lkonos
Parameter Satelit
I
Tinggi Lintasan dan Period
1
680 km & 98 menit Karakteristik FokusI
Skala Citra Nominal
I
1 : 68 000 10 m1
Field of view1
0.930-1
I
I
Resolusi Kanal pankromatik (nadir)
1
0.82 m, resampling ke l m Panjang barisan & ukuran pixelI I
1
Resolusi Kanal multispektral (nadir)1
3.30 m, resampling ke 4m 13.816 & 12 pmI
Ukuran scene nominal 1 1 x 1 1 km
Stereo imaging
/
Along-track, juga cross-trackI
Image collection rate
1
6000 barisldetik Revisit dan repeat-cycle timesSumber : Space Imaging, 2001.
1-3 & 14 hari
Seperti satelit-satelit resolusi tinggi pada umumnya, satelit lkonos juga
menggunakan sensor barisan scanner linier opt0 elektronik, yakni suatu sensor
yang terdiri dari suatu barisan foto diode yang kokoh dengan resolusi tinggi,
mengambil barisan permukaan bumi tegak lurus dengan arahljalur terbang
(Gambar 2.3). Transformasi citra ke obyek dapat dibentuk sebagai berikut :
(x,y)
=
f (X,Y,Z), dengan x adalah banyaknya baris yang merupakan-
-
--
-
-
-
-
CCD-Sensor Panjang Focust
---
Ketinggian Terbang
!
!
i
\
\
j.
\ 'i
\
& 4 = v . at [image:147.612.142.467.107.353.2]\
'
\
\
\!
Gambar 2.3. Geometri CCD-Sensor
Pergerakan ke arah depan dari pembawa sensor (satelit) membentuk
sederetan barisan citra dalam arah lintasan. Prinsip kerja dari barisan penyiam
didasarkan pada bahwa suatu barisan sensor yang sangat sensitif terhadap
fotodiode yang terdiri dari sejumlah besar deretan detektor diskrit dikenai oleh
cahaya melalui sebuah obyektif yang selalu terbuka.
Dalam satu barisan sensor terjadi muatan listrik yang dependen secara
linier terhadap cahayalsinar yang jatuh dalam interval penyinaran. Ini akan
diteruskan dalam register kaca yang dinamis dalam interval waktu tertentu
secara paralel dan selanjutnya dibaca secara serial melalui penguat arus yang
telah disediakan. Selanjutnya signal-signal digital disimpan pada alat penyimpan
yang disediakan misalnya HDDT. Metode perolehan data barisan scanner ini
Pergerakan bagian mekanik dari barisan scanner dengan cermin yang
bergerak atau prisma yang berputar tidak lagi diperlukan. Dalam ha1 ini
terbentuk sebuah sistem alat yang kompak dengan kebutuhan energi listrik
yang rendah (sedikit).
Dalam bidang scanner terbentuk suatu barisan sensor linier dengan proyeksi
sentral perspektif, dan efek panorama dalam ha1 ini tidak terjadi.
Barisan sensor diskrit dan perekaman perolehan data spektralnya
memberikan langsung nomor kolom dan masing-masing nilai keabuan dari
masing-masing piksel. Interval spektral dari CCD-sensor terbentang dari sinar
tampak sampai inframerah dekat.
Pengolahan Citra Digital
Di dalam proses citra digital operasi-operasi geometri bukan merupakan
operasi utama. Namun di sisi lain ia tidak dapat dihindarkan, terutama jika citra
akan digunakan untuk dihubungkan dengan data spasial yang lain, yang dalam
prakteknya sering ditemui dalam penerapan sistem informasi geografis (SIG).
lstilah geocoded, yakni menegaskan bahwa referensi geometri citra
harus sesuai dengan permukaan bumi. Dalam geocoded tidak hanya diperlukan
bidang referensi, tetapi juga : pengembangan model geometri, pengukuran titik
kontrol dan analisisnya, perhitungan perataan, perhitungan ketelitian, dan
analisis ekonomi dari metode yang dipergunakan. Model geometri ditentukan
oleh dua hal, yakni sistem perolehan data dan perencanaan penggunaan data.
Data citra yang dihasilkan oleh sensor memiliki penyimpangan geometri
yang secara mendasar disebabkan oleh kesalahan orientasi maupun kesalahan
obyek itu sendiri, seperti rotasi bumi, kelengkungan bumi dan topografi akan
menambah kesalahan ini.
Suatu koreksi dari penyimpangan geometri ini harus terlebih dahulu
diselesaikan. Itu secara mendasar terdiri dari dua kemungkinan, pertama dapat
dihitung langsung dari citra, dimana ia dirubah secara geometri dan radiometri
melalui suatu transformasi pada proyeksi peta yang diberikan sebelumnya.
Metode ini dapat ditemukan pada pembuatan peta dari citra. Cara lainnya
penyimpangan tidak dikoreksi secara langsung, melainkan ia direkontruksi dalam
suatu alat pemrosesan fotogrametri untuk dapat dihitung. Hasilnya adalah
informasi garis, yang menggambarkan informasi topografi secara ortofoto. Citra
yang asli tetap tidak berubah. Ini adalah cara untuk membuat peta garis. Tidak
tergantung terhadap hasil akhir dari analisis geometri, koreksi terjadi melalui
model matematik yang sesuai, yang menghubungkan antara sistem koordinat
dari citra ke suatu sistem koordinat tanah.
Model matematik untuk analisis geometri citra didasarkan pada model
umum dari sistem opto-mekanik scanner dan opto-elektronik scanner. Dalam
prakteknya dikenal dua model matematik dalam koreksi geometrik dari citra
satelit, yakni model dengan menggunakan parameter dan model tanpa
menggunakan parameter. Pada model dengan parameter posisi sensor pada
saat pengambilan gambar yang dikenal sebagai parameter orientasi dijadikan
dasar untuk analisis. Dengan bantuan parameter ini titik pada citra dihubungkan
secara geometri dengan titik pada obyek. Model tanpa parameter adalah
Penyelesaian dengan Parameter
Parameter orientasi ditentukan dengan bantuan garis dalam ruang yang
menghubungkan sistem koordinat obyek tiga dimensi (X,Y,Z) dan sistem
koordinat citra dua dimensi (x,y). Dengan ini penyebab penyimpangan akan
dieliminir dan dapat dihitung. Cara ini dapat dibedakan dari cara tanpa parameter
adalah dari kemungkinan untuk analisis 3 dimensi dengan menggunakan
peralatan fotogrametri yang biasa dipergunakan dalam pembuatan peta grafis.
Analisis dapat dilakukan baik secara digital maupun analog. Model matematik
yang digunakan pada cara ini biasanya menggunakan persamaan kolinier, yaitu
suatu persamaan garis lurus dalam ruang yang menghubungkan titik (x,y) pada
citra dengan titik obyek (X,Y,Z). Model ini digunakan terutama untuk sistim
sensor barisan linier yang juga dapat merekam data secara stereoskopis, seperti
SPOT, MOMS, JERS-OPS, IKONOS dll.
Penyelesaian tan pa Parameter
Penyelesaian tanpa parameter menggambarkan hubungan antara
koordinat citra (x,y) dengan koordinat obyek (X,Y) dengan bantuan fungsi
interpolasi. Metode ini tidak dibangun berdasarkan suatu parameter perekaman
yang mengakibatkan berbagai variasi penyimpangan. Citra ditransformasikan
melalui bantuan fungsi matematik untuk dicowkan dengan jaringan titik kontrol.
Dalam penerapannya model ini hanya diterapkan untuk data digital saja.
Berbagai model fungsi matematik telah dikembangkan (Baker & Mikhai1,1975).
Dalam prakteknya fungsi polinomial banyak digunakan sebagai model
Dengan memasukan titik-titk yang mempunyai koordinat citra (x,y) dan
koordinat obyek (X,Y) kedalam persamaan diatas maka koefisien am , aI0 , . . .
, a,, , bm , bqO , . . . , b,, dapat dihitung. Untuk memudahkan dalam penyelesaian
persamaan dengan derajat polinomial n
=
1,2,3,4,5 membutuhkan 3,6,10,15,21titik kontrol.
Pemrosesan Citra Digital untuk Optimalisasi lnterpretasi Citra
Keberhasilan dari suatu interpretasi dan analisis citra, selain tergantung
terhadap pengalaman dan pengetahuan interpreter juga tergantung terhadap
kualitas gambar itu sendiri. Manipulasi radiometris dan geometris yang
diharapkan pada suatu citra seringkali diperlukan untuk memperbaiki kualitas
citra, terutama untuk memperoleh hasil interpretasi yang lebih baik.
Suatu proses manipulasi terhadap citra melalui komputer ditunjukan
sebagai analisis citra digital (Ehlers, 1984). Persyaratan untuk penerapan
analisis citra digital, yakni bahwa citra yang akan dikerjakan ditempatkan dalam
bentuk digital. Bagi data dalam bentuk analog tentu saja harus dirubah terlebih
dahulu kedalam bentuk digital, misal melalui scanner.
Sebuah citra digital merupakan suatu fungsi berdimensi dua F(x,y) dari
suatu intensitas, dimana x dan y adalah koordinat titik dari bidang gambar, dan
harga F meningkat secara proporsional terhadap kecerahan pada titik-titk yang
berbeda. Pemrosesan citra digital dalam ha1 ini adalah perubahan terhadap
harga fungsi F atau koordinat (x dan y).
Perbaikan kontras
Perbaikan kontras adalah suatu cara untuk memudahkan interpretasi citra
Sifat kekontrasan dari citra satelit terutama dipengaruhi oleh sensitifitas dari
sensor dan efek atmosfir. Faktor-faktor diatas seringkali mengakibatkan proses
kuantisasi pada citra terjadi tidak optimal. Perubahan kontras seringkali dicapai
melalui fungsi linier dari citra orisinal S. Hal ini mempengaruhi suatu transformasi
dari distribusi nilai keabuan. Citra yang dihasilkan S' dihitung sebagai berikut :
Konstanta a berpengaruh terhadap perubahan kontras, sedangkan b mengubah
kecerahan citra. Dalam ha1 ini berlaku :
1
a1
> 1 gambar yang dihasilkan lebih kontrasI
aI
< 1 3 gambar yang dihasilkan kurang kontrasb > 0 a gambar yang dihasilkan akan lebih terang
b <
0
gambar yang dihasilkan akan lebih gelapPemilihan parameter diatas mudah dilakukan secara interaktif pada layar
monitor dengan memperhatikan citra yang dihasilkan. Dalam praktek
perhitungannya harga tingkat keabuan dari citra yang diperoleh adalah sebagai
berikut :
0
, jika a*(S(x,y) + b)(0
,S(X,Y)
=
255, jika a*(S(x,y) + b) 255,Selain dengan cara diatas perubahan kontras dapat juga dicapai melalui
perubahan histogram (Ehlers, 1984).
Operasi perbaikan kontras selain dapat dilakukan titik demi titik, juga
dapat dilakukan untuk suatu ketetanggaan tertentu. Cara seperti itu
diperkenalkan oleh Gonzales & Wintz (1987), dengan nilai keabuan S'(x,y)
tergantung terhadap penyimpangan baku o dan mean p dari sekitar pixel-pixel
dengan ukuran baris dan kolom tertentu dari S(x,y), dan dihitung sebagai
berikut:
S'(~,Y)
=
A(x,y)*[S(x,y)-
p(x,y)l + POCY)M adalah harga mean dari keseluruhan S(x,y)
Citra Rasio
Rasio citra umumnya dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih
optimal dari perbedaan antar kanal, dan dalam penonjolan beberapa
kenampakan obyek tertentu. Kombinasi beberapa kanal untuk mendapatkan
komposit warna sering memanfaatkan hasil rasio antar kanal, yang dikenal
dengan citra rasio kolektif. Citra rasio kolektif dari Landsat-TM, misal: (kanal
merah
=
715, kanal hijau = 513, kanal biru = 311) dapat mempertegas perbedaanobyek-obyek di daerah urban (Schumacher, 1991).
Transformasi Warna
Citra berwarna dalam penginderaan jauh mempunyai peranan yang
penting terutama untuk interpretasi visual. Dalam penayangannya pada layar
masing kanal ditampilkan dengan warna dasar merah, hijau, dan biru (RGB)
pada layar monitor atau warna laser pada pencetak film.
Selain dalam sistem di atas, citra berwarna dapat diuraikan berdasar
intensity, hue, dan saturation (IHS). lntensitas (intensity) merupakan
pengukur dari terangnya tiap pixel, corak (hue) merupakan pengukur dari warna,
dan kejenuhan (saturation) merupakan indikator dari kedalaman atau kemurnian
warna. Pada umumnya sistem pemrosesan citra mempunyai kemampuan untuk
mengkonversi dari RGB ke IHS.
Transformasi IHS biasanya digunakan sebagai alternatif dari perentangan
korelasi (decorelation stretching) dan untuk mengkombinasikan data yang
mempunyai resolusi spasial dan temporal yang berbeda. Transformasi warna
dari data Landsat-7, misalnya dapat dilakukan dengan mengisi kanal merah
dengan kanal 5, kanal hijau dengan kanal 4, kanal biru dengan kanal 2 dan
setelah ditransformasikan ke dalam sistem IHS kemudian intensitas diisi dengan
kanal pankromatik. Selanjutnya kanal-kanal IHS yang baru ditransformasikan
kembali kedalam sistem RGB , maka akan diperoleh citra berwarna dengan
resolusi spasial mengikuti resolusi spasial kanal pankromatik ( 1 5m x 15m). Hasil
ini diharapkan dapat memperbaiki tingkat kedetilan extraksi informasi.
Analisis Citra Visual
Analisis citra visual atau interpretasi citra dapat didefinisikan sebagai
aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran permukaan
bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan
menilai maknanya. Analisis visual menunjuk pada kemampuan pandangan
interpretasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman
interpreternya.
lnterpretasi visual merupakan suatu kegiatan pemecahan masalah yang
meliputi deteksi dan identifikasi obyek di muka bumi pada citra, dengan
mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsur-unsur utama spektral dan spasial,
serta melalui kondisi temporalnya. Howard (1991) mengutip dari Estes dan
Simonett (1975) menunjukkan enam buah unsur pengenalan citra yang penting,
yakni rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, bayangan dan pola.
I . Rona : Rona menunjukan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada
citra hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas secara
logaritmik antara hitam dan putih. Permukaan basah misalnya akan nampak
lebih gelap pada citra pankromatik dengan pantulan kurang lebih 2,7 lebih
kecil dari pada permukaan kering (Krinov, 1947). Lapisan tanah bawah yang
terkelupas nampak cerah pada foto udara pankromatik bila dibandingkan
dengan liputan vegetasi disekitarnya. Rumput kering, salju, dan pasir nampak
cerah.
2. Warna : Warna dapat dipresentasikan dengan tiga unsur (sebagai contoh
hue, value, dan chroma). Perbedaan warna pada kertas cetakan atau pada
layar monitor lebih mudah dikenali oleh mata manusia daripada perbedaan
rona pada citra hitam putih.
3. Pola : Pola merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk
mendeskripsi tata ruang pada citra, termasuk di dalamnya pengulangan
kenampakan-kenampakan alami. Pola sering dapat diasosiasikan dengan
geologi, topografi, tanah, iklim dan komunitas tanaman. Pemahan terhadap
pola sangat membantu di dalam analisis geomorfologi. Pola aliran dan
dapat digunakan misalnya untuk mengetahui morfogenesis suatu
lahantertentu.
4. Bentuk : Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk
menunjukan pada konfigurasi umum suatu obyek sebagaimana terekam
pada citra penginderaan jauh. Bentuk lembah sering memberikan petunjuk
penting terhadap proses pelapukan dan usia lembah tersebut, dan dapat
merupakan indikasi terhadap jenis batuan penyusunnya.
5. Tekstur : Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dan
citra satelit. Tekstur sangat penting dalam menunjang pengolahan spektral
secara digital baik untuk citra optik dan lebih-lebih citra radar. Tekstur
merupakan hasil dari rona, ukuran, bentuk, pola, bayangan, dan kualitas
pantulan obyek; dan tekstur bervariasi menurut skala citra. Jika skala
diperkecil tekstur menjadi lebih halus.
6. Ukuran : Seringkali tiga unsur interpretasi (bentuk, ukuran, dan letak)
digabungkan menjadi satu ke dalam istilah informasi kontextual. Ukuran
dapat menyajikan luas suatu daerah yang merupakan kelompok tertentu
yang homogen. Dalam analisis data stereo, ukuran dipakai misalnya untuk
mengetahui kemiringan dan panjang suatu lereng.
7. Bayangan :Bayangan sering sangat membantu didalam identifikasi pada foto
udara atau citra yang bersekala besar, yang berpengaruh pada tekstur dan
rona citra misalnya pada daerah berbukit. Bayangan sering menjadi faktor
penghambat pada analisis citra secara otomatik.
8. Delineasi batas : Didalam proses mengkaji unsur diagnostik citra, delineasi
batas pada citra yang memisahkan kelas-kelas yang berbeda dapat
Klasifikasi Digital
Pada prinsipnya teknik klasifikasi adalah menggunakan informasi spektral
atau informasi spasial dari suatu citra dalam rangka membagi citra menjadi
beberapa kelas yang berbeda dan mempunya arti terhadap obyeknya
(Dewanti, 1998).
Mueler (1 983), dalam meningkatkan ketelitian klasifikasi dengan metode
Maksimum Likelihood, menekankan pada cara pengambilan training area yang
memenuhi 4 syarat :
I. Ukuran dari training area : harus memenuhi syarat utama yakni agar
kovarian matrik tidak singular, haruslah pixel-pixel suatu training area saling
independen linier. Jadi pada n kelas obyek minimal n + l pixel pada tiap-tiap
kelasnya. Untuk mencapai hasil yang lebih baik, disarankan 10 kali dari
jumlah pixel minimum diatas.
2. Kehomogenan training area : untuk ha1 ini dharapkan hanya pixel-pixel dari
kelas itu saja yang berada pada training area dan distribusinya harus sedapat
mungkin berdistribusi normal. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat
histogramnya pada tiap-tiap kana1 dan definisikan interval harga tingkat
keabuan yang terrnasuk pada training area tersebut, harga tingkat keabuan
yang ada di luar interval tersebut harus dikeluarkan. Dalam banyak ha1
adalah seringkali sangat susah membuat training area untuk memisahkan
pixel-pixel dari dua kelas yang berbeda, seperti terjadi pada obyek jalan atau
sungai. Seringkali tercampur pixel-pixel dari dua kelas, misal jalan dengan
hutan. Dalam ha1 ini adalah membantu jika sebelumnya dilakukan klasifikasi
unsuvervised.
3. Refresentatif - kelas : suatu persyaratan penting untuk dapat menerapkan
normal. Pada kenyataannya persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi, karena
tidak terpenuhinya simetrisasi dari kelas-kelas obyek pada ruang spektral.
Pada penentuan kelas dapat dilakukan dengan menandai training area,
sedemikian sehingga seluruh pixel dapat terkelompokan.
4. Keterpisahan kelas : untuk menajamkan keterpisahan kelas biasanya
dilakukan tranformasi divergensi dan Jeffreys-Matusita Distance.
Schumacher (1991) mengembangkan berbagai metode klasifikasi
terbimbing menggunakan data penginderaan jauh Landsat-TM, yakni klasifikasi
berbasis pixel (maximum likelihood), klasifikasi konteks, klasifikasi fuzzy dan
klasifikasi multitemporal. Pada klasifikasi terakhir dituntut adanya ketelitian
geometri yang sangat tinggi.
Metode Klasifikasi Maximum Likelihood
Maximum likelihood merupakan suatu metode klasifikasi yang banyak
dikenal dalam penginderaan jauh, dimana suatu pixel yang mempunyai
kemiripan maksimum (maximum likelihood) di klasifikasikan dalam kelas tertentu.
Lk didefinisikan sebagai probabilitas posterior dari pixel yang termasuk kelas k.
dimana
Lk = P(WX)
=
P(k) * P(Xlk)lCP(i)*P(X/i)P(k) : probabilitas prior dari kelas k
P(Xlk) : probabilitas bersyarat untuk kejadian X dari kelas k atau fungsi probabilitas densiti
Seringkali P(k) diasumsikan sama untuk satu sama lainnya dan CP(i)* P(X/i)
Untuk alasan matematik, suatu distribusi normal multivariat digunakan
sebagai fungsi probabilitas densiti. Dalam kasus distribusi normal, Lk dapat
diexpresikan sebagai berikut :
Dimana : n : banyaknya kanal
X : citra dari n kanal
Lk(X) : kemungkinan dari X masuk ke kelas k
pk : vektor rataan dari kelas k
Ck : matrik varian-kovarian dari kelas k
1 Ck 1 : determinan dari Ck
Dalam kasus dimana matrik varian-kovarian simetris, Lk sama seperti jarak
euclidian, sedangkan jika deterrninan sama satu dengan lainnya, Lk menjadi
sama dengan jarak Mahalanobis.
Analisis Tekstur
Tekstur adalah suatu kombinasi dari pola pengulangan dengan frekuensi
teratur. Dalam interpretasi visual mempunyai beberapa type, sebagai contoh,
halus, agak halus, kasar dan seterusnya. Analisis teksture didefinisikan sebagai
klasifikasi atau segmentasi dari ciri-ciri tektural yang berkaitan dengan bentuk
Dalam pemrosesan citra digital adalah sulit untuk memformulasikan
tekstur secara matematik, sebab tekstur tidak dapat distandarkan secara
kuantitatif, selain itu volume datanya biasanya juga besar.
Teknik ekstraksi tekstur secara umum dibedakan menjadi lima kategori
yaitu Struktural, Statistik, Spektral, Stokastik dan Morfologi (Chen, 1995).
Pendekatan statistik yang dikombinasikan dengan data spektral dapat digunakan
untuk perbaikan klasifikasi penutup lahan.
Pendekatan statistik menekankan pada perbandingan rona antara suatu
piksel yang diamati dengan rona-rona yang dimiliki tetangganya, yang
selanjutnya diadakan pengujian kemiripan (similarity) dengan piksel yang sedang
diamati. Satu unit ketetanggaan piksel merupakan unit pembangun (unit analisis)
tekstur yang diberi nama unit Texel (Texture Element).
Salah satu algoritma yang digunakan dalam analisis tekstur berbasis
statistik adalah Grey-Tone Spasial Dependence Matrix (GTSDM). Pada
algoriitma ini pengaturan piksel dalam suatu texel ditentukan oleh jarak spasial
tertentu dan sekaligus tergantung juga pada posisi piksel yang bertetanggaan.
Posisi relatif terhadap piksel pusat dinyatakan dalam suatu sudut yang besarnya
ditentukan berlawanan dengan arah putaran jarum jam. Dalam ruang
ketetanggaan, kemiripan antara piksel pusat dengan piksel tetangga dihitung
pada sudut-sudut tertentu, misalnya : oO, 45O, go0, 135', dan seterusnya, dan
dihitung dengan rumus-rumus sbb :
P(i,j, d, @ )
=
#{((k, I), (m, n)) 4 L y x Lx )x ( L , x L J ~ ~ - ~ = o , 11-n
/
= d , l(k,l) = i, l(m, n) = j}p(i,j, d, 4 9 )
=
#i((k, I), (m, n)) 4 L y x L, )Or (k-m
=
-d, I-n=
d),l(k,l)
=
i, l(m,n) = jJp(i,j, d,
9@
) = #i((k, I), (m, n))4,
x Lx )x ( ~ , x ~ $ I k - m = d , 11-n
I
= 0 ,I(k,l)
=
i, I(m,n)=
jJP(;,j, d,
7350
) = #i((k, 11, (m, n)) 4 L y x Lx )x ( ~ , x ~ ~ ) / k - m = d , / I - n
I
=d)or (k -m =-d, I-n =-d),
l(k,l) = ;, l(m,n)
=
j}Dimana # menyatakan jumlah elemen dalam himpunan.
Data kemiripan dalam seluruh citra dapat digunakan untuk membentuk
sebuah matriks yang biasa disebut Matriks Ketergantungan (Dependence
Matrix), yang ukurannya ditentukan oleh tingkat keabuan yang digunakan pada
citra digital, misalnya untuk tingkat keabuan 256 maka ukuran matriksnya adalah
256 baris x 256 kolom.
Ketelitian klasifikasi
Transformasi Divergensi
Keterpisahan statistik (statistical separability) merupakan suatu analisis
yang digunakan untuk menguji performansi dari sebuah pengklasifikasi.
Pengklasifikasi yang baik memiliki kemungkinan kesalahan paling kecil di dalam
membedakan antara kelas yang satu dengan yang lainnya. Suatu ukuran untuk
menunjukkan keterpisahan statistik antar kelas dari training sample ialah harga
Forrnulasinya diberikan sebagai berikut :
Dij
=
%[Tr{(Z,-
Zj)( Zil-
z,-')} + T~{(z;' + Zj-')( pi-
pj)( pi-
Ltj)T}]TD,
=
2000 * {I-
exp(-D,,/8))Keterangan :
i , ~
=
pasangan kelaslsignature ke i dan jD = nilai divergensi
C
=
matriks kovarian kelas berukuran NxN (N=jumlah kanal kombinasi)P
=
matriks rataan kelas ukuran N x lTr, -1, T = operasi trace, invers, dan transpose matrik
TD
=
Transformasi DivergensiDivergensi tertransformasi memiliki nilai maksimum atau nilai saturasi
sebesar 2000 dimana diperoleh kemungkinan kesalahan 0 %. Melalui harga TD
ini dapat ditentukan apakah sebuah pasangan kelas memiliki keterpisahan yang
baik atau kurang baik, yaitu :
a. Jika TD,, G 2000, keterpisahan kelas I dan j baik
b. Jika TDij << 2000, keterpisahan kelas I dan j kurang baik.
Jika seluruh kombinasi pasangan kelas mempunyai harga TD,
z
2000,maka diperolah sebuah pengklasifikasi dengan kemungkinan kebenaran yang
tinggi. Harga TD,,, dari seluruh kombinasi pasangan kelas, dapat dijadikan
Confusion Matrix
Keakuratan hasil klasifikasi dapat dihitung dengan cara membandingkan
citra hasil klasifikasi dengan data referensi. Data referensi yang dimaksud dapat
berupa :
-
Data cek lapangan yang diambil secara acak pada areal yang dicakup citra satelit untuk masing-masing kelas-
Areal data latih digital (training site) yang sudah dibuat sebelumnya dari hasil interpretasi secara visual diatas citra satelit dengan bantuanmonitor komputer
-
Peta penutup lahan digital, yang merupakan data digital dengan ukuran data, resolusi spasial dan waktu pembuatannya mendekatitanggal perolehan data satelit yang akan dikelaskan
Keakuratan hasil klasifikasi biasanya ditunjukkan dalam bentu k confusion
matrix yang menggambarkan hubungan antara data referensi dengan hasil
klasifikasi dalam persen dan dari confusion matrix dapat dihitung keakuratan
rata-rata hasil klasifikasi.
Ketelitian pemetaan dapat dihitung dengan rumus :
"
crpr.w/MA = ( Short, 1982)
X c r P'X" + X ~ p l . r t . / + X c ~ p L r e /
Ket : MA = Ketelitian pemetaan (mapping accurary)
&,
=
jumlah kelas x yang terkoreksiXO
=
jumlah kelas x yang masuk ke kelas lain (omisi)Xco
=
jumlah kelas x tambahan dari kelas lain (komisi)Hasil perhitungan kemudian diekspresikan dalam bentuk tabel yang
Tabel 2.8. Confusion Matrix
Kelas-kelas hasil
Persentase yang terdapat dalam tabel merepresentasikan proporsi dari klasifikasi A
B C Jumlah pixel hasil pengecekan lapang
pixel-pixel pengecekan lapangan dalam masing-masing kelas yang ditandai oleh
pengklasifikasi yang termasuk benar dan yang salah. Ketelitian klasifikasi Total Kelas pengecekkan lapangan
35 (70%) 10 (20%) 5 (10%)
5 0
seringkali dihitung dari rata-rata seluruh persentasi yang benar.
C
A
2 (5%) 37 (93%) 1 (2%)
40 B
(4%) (7%) 41 (89%)
46
Gambar
Dokumen terkait
The first study was imply that flashcard media is an effective media in vocabulary teaching, and the second study imply that English vocabulary learning using
Meski sempat menuai kritik dari sebagian mahasiswa UI, akhirnya dengan bangga pada tanggal 13 Mei 2011, diadakan peluncuran awal Perpustakaan UI yang baru saja rampung
Hasil analisis regresi berganda menunjukkan faktor manajemen peternak yang memengaruhi CR adalah jenis hijauan yang diberikan ke ternak dengan besar faktor 0,199
yang positif pada siswa maka akan membentuk perilaku positif pada siswa, sebaliknyarendahnya pemberian punishment positif pada siswa maka pembentukan perilaku pada
Alhamdulillahhirobbil’alamin selalu penulis panjatkan atas nikmat dan berkah yang senantiasa allah swt limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya, (Loka, 2012). Tetapi
1) Dokumen RKU PHHK/ RPKH & lam-pirannya yang disusun berdasar- kan IHMB/risalah hutan dan dilaksa-nakan oleh Ganis PHPL Timber Cruising dan/atau Canhut. 2) Dokumen RKT/
Hasil refleksi menunjukkan bahwa tindakan siklus II yang dilakukan dengan pembelajaran menggunakan metode inquiry telah mendapat perhatian dari siswa terbukti hampir semua