Disertasi
PERSEPSI PELANGGAN TERHADAP PELAYANAN PUSKESMAS,
PENGOBATAN LUAR PUSKESMAS DAN KEBUTUHAN
HIDUP SEHAT (KASUS DI KOTA KOTAMOBAGU
DAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
UTARA, PROVINSI SULAWESI UTARA)
MUTU BULAN MOKOGINTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Puskesmas, Pengobatan Luar Puskesmas dan Kebutuhan Hidup Sehat (Kasus Di Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi
Sulawesi Utara) . Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN sebagai Ketua
Komisi, PANG S. ASNGARI dan IGNATIUS DJOKO SUSANTO sebagai Anggota Komisi.
Dalam era otonomi daerah saat ini terjadi perubahan yakni Organisasi Pemerintah Kabupaten maupun Kota turut serta bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan kesehatan di wilayahnya. Pemerintah Daerah menetapkan bidang kesehatan sebagai salah satu kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.
Tujuan penelitian adalah: (1) Mengkaji persepsi pelanggan terhadap Pelayanan Puskesmas, Pengobatan Luar Puskesmas dan Kebutuhan Hidup Sehat Anggota Masyarakat; (2) Mengkaji kepuasan pelanggan terhadap kualitas layanan Puskesmas; (3) Mengkaji dan menjelaskan hubungan-hubungan antara karakteristik pelanggan, pengaruh tokoh informal, peran petugas kesehatan dan lingkungan sosial budaya dengan Persepsi pelanggan terhadap Pelayanan Puskesmas, Pengobatan Luar Puskesmas dan Kebutuhan Hidup Sehat; dan (4) Mendapatkan suatu strategi peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap standar pelayanan kesehatan oleh petugas kesehatan Puskesmas di Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
dengan kepuasan mereka terhadap petugas kesehatan yang memberi perlakuan tidak membedakan, bersifat simpatik dan memotivasi, manusiawi, memberikan penjelasan yang rinci, membina hubungan terbuka dengan pasien, teknik anamnesis/interview yang baik serta pilihan pasien terhadap petugas kesehatan yaitu yang berpenampilan menarik ataupun kurang menarik; dan (5) Terdapat hubungan dan pengaruh yang nyata positif antara karakteristik pelanggan, pengaruh tokoh informal, peran petugas kesehatan dan lingkungan sosial budaya terhadap persepsi pelanggan terhadap pelayanan Puskesmas dan persepsi pelanggan terhadap kebutuhan hidup sehat. Hubungan nyata negatif ditunjukkan oleh karakteristik pelanggan, pengaruh tokoh informal, peran petugas kesehatan, dan lingkungan sosial budaya dengan persepsi pelanggan terhadap pengobatan luar Puskesmas.
Persepsi pelanggan terhadap Pengobatan Luar Puskesmas berhubungan lemah dan tidak searah dengan karakteristik pelanggan, pengaruh tokoh informal, peran petugas kesehatan Puskesmas dan lingkungan sosial budaya. Hal ini menunjukkan persepsi masyarakat terhadap Pengobatan Luar Puskesmas, yaitu stimulus yang ditangkap oleh pancaindera individu, diorganisasikan dan kemudian diienterpretasikan cukup memberikan kesadaran dan pengertian bahwa pelayanan Puskesmas mereka persepsikan lebih baik daripada pengobatan luar Puskesmas.
Center Services, to the health treatment outside Community Health Center and the Needs for Healthy Life (Cases in Kotamobagu City and North Bolaang
Mongondow Regency, North Sulawesi) . Advisor BASITA GINTING SUGIHEN
as chairman, PANG S. ASNGARI, and IGNATIUS DJOKO SUSANTO as members. The research objectives are: (1) To analyse the quality of Community Health Center services, the Health treatment outside Community Health Center and the needs of community members for healthy life, (2) To find out about clients’ satisfaction from Community Health Center services, (3) To study and to analyse the relations between patients/clients characteristics, the influence of informal leaders, the role of medical workers and social cultural environment with the Clients’ perception to the Puskesmas services, the treatment outside Puskesmas and the needs of the patients’ for healthy life, and (4) To plan a strategy to improve the needs of community members to fullfil health service standard conducted by the Puskesmas medical workers in Kotamobagu City and North Bolaang Mongondow Regency, North Sulawesi. Respondents selected by using Slovin formula, 200 patients were selected at both area. The findings of this research are: (1) Clients’ perception to Community Health Center services tend to be high, i.e. the patients’ perception to Community Health Center’s medical workers, health service provided by the Community Health Center and the cure that has been given to clients, (2) The Client’s perception to the health treatment outside Community Health Center tend to be low, (3) The clients’ perception to the needs for healthy life tend to be high, especially physiologic needs, psychologic needs, spiritual needs and the needs for cheap health services, (4) Clients’ satisfaction of health services provided by Community Health Center tend to be high. These clients’ satisfaction have been measured from medical workers aptitutte, health services and the treatment that has been given, and (5) There were significant positive correlation between clients’ characteristic, the influence of informal leaders, the role of medical workers and social culture environment with client’s perception to Community Health Center services and client’s perception to the needs for healthy life. Significant negative correlation has been shown by the clients characteristics, the influence of informal leaders, the role of medical workers, social cultural environment with clients’ perception to the health treatment outside Community Health Center and clients’ perception to the needs for healthy life. Clients’ perception to health treatment outside Community Health Center has a weak relation with clients characteristics, the influence of informal leaders, the role of medical workers and social culture environment. It’s remain community perception to the health treatment outside Community Health Center, which is the stimulus that percieved by individual five senses, organized and then be interpreted have given enough awareness and understanding that Puskesmas services are considered better than the health treatment outside Puskesmas.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Persepsi Pelanggan terhadap Pelayanan Puskesmas, Pengobatan Luar Puskesmas dan Kebutuhan Hidup Sehat (Kasus di Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara, Provinsi Sulawesi Utara) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun kecuali bahan rujukan yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2009
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat lindungan dan anugerah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan. Pada kesempatan ini ijinkanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sangat mendalam kepada yang terhormat: Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, dan Prof. Dr. Pang. S. Asngari, Med selaku anggota Komisi Pembimbing atas keikhlasan dan kesabaran yang tiada batas dalam mengarahkan penulis sejak penyusunan rencana penelitian sampai dengan penyelesaian disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk melaksanakan studi di IPB. Terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS selaku Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia dan Dr. Ir. Siti Amanah, MSc selaku Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi dan kemahasiswaan, demikian pula penulis sampaikan terima kasih yang mendalam kepada staf pengajar yang ada di Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah membantu dan memberi kontribusi keilmuan selama penulis belajar. Tak lupa penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Rudi Tarumingkeng, Prof. Dr. Daniel Monintja, dan Alm. Dr. Djoko Purwanto yang memberi rekomendasi kepada penulis untuk belajar di Sekolah Pascasarjana IPB.
Mokoginta, Mochtar Kalauw SPt, MSi, dan Ramjan P. Mokoginta, SHut, MSi yang telah membantu selama penelitian lapangan.
Kepada kedua orang tua, Bapak Hi Abdullah Mokoginta dan Ibu Hj Oeke Mokodompit yang tercinta, penulis haturkan ucapan terima kasih yang tak terhingga. Kepada Kakak-Kakak: dr. Virginita Mokoginta dan Lisa Mokoginta, SPi, MBA serta adik Marini Mokoginta SPsi, penulis sampaikan terima kasih yang sangat mendalam atas dukungan dan perhatiannya. Tak lupa kepada Kakak-Kakak Ipar: Kombes. Pol. Drs. Alfons Toluhula dan Alam Lawelle, SPi serta Adik Ipar Hasirwan Nursyamsir, ST, penulis ucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan yang telah diberikan
Khusus kepada Istri tercinta Poula Mokoginta, SH serta anak-anak: Junio M.P. Mokoginta dan Thalia N. Mokoginta yang selalu menjadi sumber motivasi dan inspirasi, tak ada kata lain yang dapat penulis haturkan selain
“Papa sangat berterima kasih dan sangat menyayangi kalian.” Ucapan terima
kasih juga penulis haturkan kepada Ayah dan Ibu Mertua Bapak Rasyid Mokoginta dan Ibu Sri Lestari yang dengan tulus selalu mendorong penulis dalam penyelesaian studi.
Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada seluruh kawan-kawan PPN Angkatan 2005 program S2 dan S3 yang telah turut memberi dorongan motivasi baik selama dalam proses perkuliahan sampai dengan penulisan disertasi ini.
Akhir kata, ijinkanlah penulis menyampaikan ungkapan “jujurlah dalam
sikap, perkataan, dan perbuatan serta berikanlah pengabdian yang terbaik”,
dengan rendah hati dan segala keterbatasan, penulis sajikan disertasi ini, semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2009
HIDUP SEHAT (KASUS DI KOTA KOTAMOBAGU
DAN KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
UTARA, PROVINSI SULAWESI UTARA)
MUTU BULAN MOKOGINTA
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Persepsi Pelanggan terhadap Pelayanan Puskesmas, Pengobatan Luar Puskesmas dan Kebutuhan Hidup Sehat (Kasus di Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara)
Nama : Mutu Bulan Mokoginta
NRP : P061050091
Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua
Prof (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil AnwarNotodiputro, MS
Penguji Luar Komisi
Penguji UjianTertutup : Prof. Dr. Clara M. Koesharto
(Fakultas Ekologi Manusia Mayor
Gizi Masyarakat Departemen
Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor)
Penguji Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ali Khomsan
(Fakultas Ekologi Manusia Mayor
Gizi Masyarakat Departemen
Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Institut Pertanian
Bogor)
Dr. Sunarno Ranu Widjoyo
(Kepala Puslitbang Gizi dan
Makanan, Departemen
Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 9 April 1971 sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara keluarga Bapak Abdullah Mokoginta dan Ibu Oeke Mokodompit. Penulis tamat Sekolah Dasar pada SD RK XII Frater Don Bosco Manado tahun 1984, Selesai Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Manado tahun 1987, dan tamat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Manado tahun 1990.
Penulis meraih gelar Sarjana Ekonomi (S1) Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada tahun 1997 di Universitas Sam Ratulangi Manado. Pada tahun 2003 penulis meraih gelar Magíster Sains (S2) Bidang minat Manajemen Sumberdaya pada Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado dan berstatus sebagai Pegawai Tugas Belajar dari Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2005 penulis diutus sebagai Pegawai Tugas Belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada pendidikan Doktor (S3) Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dengan Jabatan terakhir sebagai Kepala Sub Bidang Kekayaan Inspektorat Kabupaten Bolaang Mongondow (sebelum tugas belajar S2) dan staf di bidang Litbang Bappeda Kabupaten Bolaang Mongondow (sebelum tugas belajar S3). Pangkat/golongan saat ini adalah Penata Tingkat 1/IIIc. Saat ini berada di bawah koordinasi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Bolaang Mongondow (karena status sebagai pegawai tugas belajar).
Menikah pada tahun 1999 dengan Poula Mokoginta dan saat ini dikaruniai dua orang anak masing-masing Junio Marzuki Pratama Mokoginta, lahir 3 Juni 2000 di Manado dan Thalia Nanda Mokoginta, lahir 13 September 2008 di Kotamobagu.
Halaman PRAKATA………...
RIWAYAT HIDUP……….
i ii
DAFTAR TABEL……… iii
DAFTAR GAMBAR…..………. iv
PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang………... 1
Masalah Penelitian…..………... 8
Tujuan Penelitian………... Kegunaan Penelitian……….. 9 Definisi Istilah…... 10
TINJAUAN PUSTAKA………...……….……….. 12 Persepsi……..……….
KInerja……… Puskesmas………... Penyuluhan……….. Pemberdayaan………. Pembangunan Masyarakat……….. Pelayanan Kesehatan……….. Kesehatan……… Kualitas Petugas Kesehatan……… Karakteristik Pelanggan……….. Peran Petugas Kesehatan……… Pengaruh Tokoh Informal………... Lingkungan Sosial Budaya………. Kepuasan Pelanggan Puskeamas………
Hipotesis ………... 48 Definisi Operasional dan Peubah Penelitian………... Tenik Pengumpulan Data……… Analisis Data………..
HASIL DAN PEMBAHASAN………... Deskripsi Lokasi Penelitian……… Deskripsi Petugas Kesehatan Puskesmas………... Karakteristik Pelanggan Puskesmas………... Tanggapan Pelanggan terhadap Pengaruh Tokoh Informal…………... Persepsi Pelanggan terhadap Peran Petugas Kesehatan Puskesmas... Persepsi Pelanggan terhadap Lingkungan Sosial Budaya………... Persepsi Pelanggan terhadap Pelayanan Puskesmas……….. Persepsi Pelanggan terhadap Pengobatan Luar Puskesmas……….... Persepsi Pelanggan terhadap Kebutuhan Hidup Sehat………... Kepuasan Pelanggan Puskesmas……… Hubungan Beberapa Peubah Bebas dengan Peubah Tidak Bebas…………. Pengaruh Beberapa Peubah Bebas terhadap Peubah Tidak Bebas………… Pembahasan Umum... Strategi Peningkatan Pemenuhan Kebutuhan Layanan Kesehatan
DAFTAR TABEL Deskripsi Petugas Kesehatan Medik di Dua Lokasi Penelitian... Deskripsi Petugas Kesehatan Paramedik di Dua Lokasi Penelitian... Deskripsi Petugas Pendukung Administrasi di Dua Lokasi Penelitian... Ciri-ciri Sampel Pelanggan Puskesmas di Dua Lokasi Penelitian………….…... Sebaran Sampel Menurut Lamanya Menjadi Pelanggan Puskesmas... Persentase dan Rataan Skor Pengertian Makna, Tujuan dan Manfaat Hidup Sehat... Persentase dan Rataan Skor Tanggapan Pelanggan terhadap Pengaruh Tokoh Informal... Persentase dan Rataan Skor Persepsi Pelanggan terhadap Peran Petugas
Kesehatan Puskesmas... Persentase dan Rataan Skor Persepsi Pelanggan terhadap Lingkungan Sosial Budaya... Persentase dan Rataan Skor Persepsi Pelanggan terhadap Pelayanan Puskesmas Persentase dan Rataan Skor Persepsi Pelanggan terhadap Pengobatan luar Puskesmas... Persentase dan Rataan Skor Persepsi Pelanggan terhadap Kebutuhan Hidup Sehat... Persentase dan Rataan Skor Kepuasan Pelanggan terhadap Pelayanan
Puskesmas... Hubungan Beberapa Peubah Bebas dengan Peubah Tidak Bebas di Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara... Hubungan Beberapa Peubah Bebas dengan Peubah Tidak Bebas di Kota
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
2. 3. 4.
Pembentukan Persepsi Menurut Litterer... Piramida Kebutuhan Manusia Menurut Maslow... Kerangka Berpikir dan Peubah Penelitian... Strategi Peningkatan Pemenuhan Kebutuhan Layanan Kesehatan Pelanggan Puskesmas...
Halaman 1. Peta Kota Kotamobagu dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara….……… 144 2. Hasil Analisis Korelasional (Pearson Product Moment) dan Regresi Linier
Berganda………. 151
TINJAUAN PUSTAKA
Persepsi
Persepsi adalah interpretasi individu akan makna sesuatu baginya dalam
kaitan dengan ”dunia”nya. Sanders et al. (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa
“Manusia adalah makhluk yang kompleks, tindakannya dipengaruhi oleh
banyak hal. . . . Tindakannya sangat dipengaruhi sesuai perannya dalam setiap
situasi, selalu kepada perilaku yang diharapkannya dan subyek untuk
mempengaruhi yang lain dalam situasi tertentu”
(“Man is very complex organism. His actions are influenced by many things. . . . His actions are strongly influenced by what perceive as his role in each situation, always toward the behavior expected of him and subject to
influences of others within the particular situation”).
Dari pernyataan Sanders, dapat disimpulkan bahwa persepsi individu
terhadap lingkungannya merupakan faktor penting dan menentukan
tindakannya. Sejalan dengan pernyataan Litterer (Asngari, 1984), yang
menyatakan bahwa persepsi sangat penting untuk mengetahui penyusunan atau
organisasi tingkah laku seseorang. Menurut Litterer, seseorang bertindak atas
dasar sesuatu yang dipikirkan, diketahui atau dimengertinya. Karena itu pula,
Ittelson dan Cantril (Asngari, 1984) menyatakan bahwa: “. . . penerimaan
memainkan peran penting dan sentral dalam kehidupan kita . . . kajian tentang
persepsi adalah salah satu yang paling lama, dibandingkan aktivitas manusia
saat ini . . . lewat persepsi . . . kita dapat berhubungan dengan dunia” (“. . .
perceiving plays such an important and central role in our living . . . the study
of perception is one of the oldest, as well as most recent activities of mankind. .
. Trough perception. . . we come in contact with the world”).
Persepsi didefinisikan dengan berbagai cara. Forgus dan Forgus dan
Melamed (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi sebagai proses
pengumpulan informasi (“the process of information extraction”). The New
Columbia Encyclopedia mendefinisikan pengorganisasian mental dan
interpretasi dari informasi yang ditangkap (“mental organization and
TINJAUAN PUSTAKA
Persepsi
Persepsi adalah interpretasi individu akan makna sesuatu baginya dalam
kaitan dengan ”dunia”nya. Sanders et al. (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa
“Manusia adalah makhluk yang kompleks, tindakannya dipengaruhi oleh
banyak hal. . . . Tindakannya sangat dipengaruhi sesuai perannya dalam setiap
situasi, selalu kepada perilaku yang diharapkannya dan subyek untuk
mempengaruhi yang lain dalam situasi tertentu”
(“Man is very complex organism. His actions are influenced by many things. . . . His actions are strongly influenced by what perceive as his role in each situation, always toward the behavior expected of him and subject to
influences of others within the particular situation”).
Dari pernyataan Sanders, dapat disimpulkan bahwa persepsi individu
terhadap lingkungannya merupakan faktor penting dan menentukan
tindakannya. Sejalan dengan pernyataan Litterer (Asngari, 1984), yang
menyatakan bahwa persepsi sangat penting untuk mengetahui penyusunan atau
organisasi tingkah laku seseorang. Menurut Litterer, seseorang bertindak atas
dasar sesuatu yang dipikirkan, diketahui atau dimengertinya. Karena itu pula,
Ittelson dan Cantril (Asngari, 1984) menyatakan bahwa: “. . . penerimaan
memainkan peran penting dan sentral dalam kehidupan kita . . . kajian tentang
persepsi adalah salah satu yang paling lama, dibandingkan aktivitas manusia
saat ini . . . lewat persepsi . . . kita dapat berhubungan dengan dunia” (“. . .
perceiving plays such an important and central role in our living . . . the study
of perception is one of the oldest, as well as most recent activities of mankind. .
. Trough perception. . . we come in contact with the world”).
Persepsi didefinisikan dengan berbagai cara. Forgus dan Forgus dan
Melamed (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi sebagai proses
pengumpulan informasi (“the process of information extraction”). The New
Columbia Encyclopedia mendefinisikan pengorganisasian mental dan
interpretasi dari informasi yang ditangkap (“mental organization and
persepsi sebagai . . . pemeliharaan organisme dalam hubungannya dengan
lingkungan (“Perception is . . . the organism’s maintenance of contact with its
environment”). Menurut Litterer (Asngari, 1984), persepsi adalah pengertian
pandangan manusia yang berkaitan dengan dunia di sekitar mereka (“the
understanding of view people have of things in the world around them”),
sedangkan Hilgard (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa persepsi adalah proses
dalam memahami obyek-obyek (“perception is the process of becoming aware
of objects”).
Combs, Avila dan Purkey (Asngari, 1984) mendefinisikan persepsi sebagai
interpretasi individu mengenai sesuatu yang mereka lihat, khususnya
bagaimana individu itu melihat diri mereka dalam kaitan dengan dunia dimana
mereka berada (“perception is the interpretation by individuals of how things
seem to them, especially in reference to how individuals view themselves in
relation to the world in which they are involved”).
Di lain pihak Allport (Asngari, 1984) menyebutkan bahwa persepsi
memiliki sesuatu yang harus dilakukan berkaitan dengan pemahaman
obyek-obyek atau kondisi mengenai kita, itu tergantung dari obyek-obyek lewat pancaindera
kita, bagaimana sesuatu dilihat oleh kita, didengar, dirasakan, dicium. Tetapi
persepsi juga termasuk pengertian tentang pemahaman, sebuah “arti” atau
sebuah “penghargaan” dari obyek-obyek ini
( . . . it (perception) has something to do with awareness of the objects or
condition about us. It’s dependent to a large extent upon the impression these object make upon our senses. It is the way things look to us, or the way they sound, feel, taste or smell. But perception also involves, to some degree, and
understanding awareness, a ‘meaning’ or a ‘recognition’ of these objects).
Pembentukan persepsi menurut Litterer, ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat ia hidup, dan
mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Orang bertindak sebagian
dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Di lain pihak,
pengalamannya berperan pada persepsi orang itu menurut Stogdill, Hilgard,
Litterer menunjukkan bahwa persepsi orang dipengaruhi oleh pandangan
seseorang pada suatu keadaan, fakta atau tindakan. Karena itu individu perlu
mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Litterer (Asngari, 1984), salah satu faktor dasar persepsi adalah
kemampuan orang-orang mengumpul fakta-fakta yang terbatas dan
bagian-bagian informasi kemudian menyusun dalam gambaran yang utuh. Proses ini
merupakan peran penting dalam persepsi (One of the basic factors in
perceptions is the ability of people to take a limited number of facts and pieces
of information and fit them into a whole picture. This process of closure plays
a central role in perception). Walaupun seseorang hanya mendapat
bagian-bagian informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran
yang menyeluruh dan orang itu akan menggunakan informasi yang
diperolehnya untuk menyusun gambaran yang menyeluruh.
Pembentukan persepsi ada tiga mekanisme: “selectivity, closure, and
interpretation.” Secara skematis ditunjukkan dalam Gambar 1:
Gambar 1. Pembentukan Persepsi menurut Litterer (Asngari, 1984)
Interpretation
Closure Selectivity
Informasi sampai ke individu
Mekanisme pembentukan
persepsi Pembentukan persepsi
Pengalaman masa silam
Persepsi
Informasi yang sampai pada seseorang menyebabkan individu yang
bersangkutan membentuk persepsi, dimulai dengan pemilihan atau
menyaringnya, kemudian informasi yang masuk tersebut disusun menjadi
kesatuan yang bermakna, dan akhirnya terjadilah interpretasi mengenai fakta
keseluruhan informasi itu. Pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam
dan dahulu memegang peranan yang penting. Dengan demikian makna
tersebut sangat penting bagi pengertiannya.
Litterer menekankan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu yang
dianggap berarti atau bermakna, tidak akan mempengaruhi perilakunya.
Sebaliknya, bila ia beranggapan bahwa hal tersebut dipandang nyata, walau
kenyataannya tidak benar atau tidak ada, akan mempengaruhi perilaku atau
tindakannya.
Studi-studi tentang persepsi pernah dilakukan oleh Biever mengenai peranan penyuluh pertanian, Biever, mendapatkan bahwa umur responden
berpengaruh nyata pada persepsi terhadap peranannya. Biever juga
mengemukakan bahwa ada kaitan antara persepsi dengan pendidikan.
Demikian pula dengan penemuan Griffith yang menunjukkan adanya kaitan
antara persepsi dan umur (Asngari, 1984).
Pada penelitian Beaver, mengenai persepsi ’county extention comittee
members’ dan penyuluh pertanian pada penyusunan program penyuluhan,
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan nyata dengan
persepsinya. Hasil yang sama dengan Beaver ditemukan oleh Griffith, yakni
umur secara nyata tidak ada kaitannya dengan persepsinya terhadap kegunaan
lembaga penyuluhan. Selain itu, White dalam penelitiannya menemukan tidak
ada hubungan antara persepsi dengan lamanya pengalaman bekerja dan tingkat
pendidikan formal respondennya (Asngari, 1984).
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan.
Penginderaan merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat penerima yaitu panca indera. Proses ini tidak berhenti di sini saja. Pada
susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi (Walgito,
2002).
Persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi
untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah
penginderaan, sebaliknya alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau
kognisi. Dalam hal persepsi mengenai orang itu atau orang-orang lain dan
untuk memahami orang dan orang-orang lain, persepsi itu dinamakan persepsi
sosial dan kognisinya pun dinamakan sebagai kognisi sosial (Sarwono, 1997).
Desiderato (Rakhmat, 2005) menggambarkan persepsi sebagai pengalaman
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan
makna pada stimuli inderawi. Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas.
Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna
informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi tetapi juga atensi, harapan,
motivasi dan memori.
Persepsi, seperti juga sensasi ditentukan oleh faktor personal dan faktor
situasional. Krech dan Crutchfield (Rakhmat, 2005) merumuskan dalil persepsi
yang pertama: ”persepsi bersifat selektif secara fungsional.” Dalil ini berarti
bahwa obyek-obyek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya
adalah obyek-obyek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.
Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana
emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi. Bila orang lapar dan
orang haus duduk di restoran, yang pertama akan melihat nasi dan daging,
yang kedua akan melihat limun atau coca-cola. Kebutuhan biologis
menyebabkan persepsi yang berbeda.
Maramis (2006) menjelaskan bahwa persepsi merupakan keseluruhan
proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindera (hal ini
dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak yang diartikan dan
selanjutnya mengakibatkan pengalaman yang disadari. Ada yang mengatakan
bahwa persepsi merupakan stimulus yang ditangkap oleh pancaindera individu,
menyadari dan mengerti sesuatu yang diindera itu. Ada yang dengan singkat
mengatakan: persepsi adalah memberikan makna pada stimulus inderawi.
Informasi jarak jauh diterima melalui penglihatan dan pendengaran.
Informasi jarak dekat bisa lewat penciuman (pada binatang bisa jarak jauh).
Umumnya bagi manusia, penglihatan dan pendengaran dianggap sangat dapat
dipercaya dan dipakai terutama untuk mengetahui bila terdapat konflik dalam
informasi yang masuk. Adapun indera yang lain tak kalah penting juga, karena
bisa membangkitkan suatu perasaan, seperti sexual (melalui pembauan dan
perabaan), lapar (melalui pembauan dan pengecapan), dan lain-lain. Sensasi
umumnya diartikan sebagai perasaan fisik dan emosi sebagai perasaan
psikologis.
Tubuh manusia merekam perubahan-perubahan pada lingkungan internal
dan eksternal. Rangsangan yang tidak berubah-ubah, yang terus menerus sama
saja, akhirnya menimbulkan kebiasaan, reseptor-reseptor sudah terbiasa dan
kita tidak menyadari lagi rangsangan itu, seperti tukang masak yang tidak
dapat menikmati lagi hasil makanannya karena penciumannya sudah
teradaptasi selama ia memasak. Demikian pula jika kita bersandar lama pada
tembok, maka bagian tubuh yang tersandar itu tidak akan merasakan lagi.
Seekor anjing yang sejak lahir dibesarkan dalam lingkungan yang miskin
akan stimulus, maka ia tidak akan menunjukkan respon menghindar yang
normal terhadap stimulus yang mengakibatkan rasa sakit, umpamanya hampir
ditabrak mobil atau hampir terkena lemparan batu. Penelitian pada manusia
mengenai hal ini lebih sukar, di suatu tempat asuhan, White (Maramis, 2006)
memperlihatkan bahwa bayi-bayi yang diberi lingkungan visual yang
merangsang, menunjukkan keterampilan menggenggam lebih baik daripada
yang tetap saja di lingkungan panti asuhan yang miskin stimulus,
membosankan serta monoton. Orang yang penglihatannya terganggu sejak
kecil karena katarak, setelah kataraknya diambil pada waktu dewasa, ternyata
kurang mampu memahami informasi visual. Hal ini terjadi karena proses
belajar melalui penglihatan terganggu, dan memahami informasi visual
perbedaan intensitas dan rangsangan yang masuk dan perbedaan itu masih
dapat dirasakan, makin lama makin kecil.
Harapan perseptual (perceptual expectancy) adalah mempersepsi sesuai
dengan harapan kita dan ketetapan atau kekonstanan obyek (object constancy)
dengan mempersepsi objek seperti konstan atau tetap saja dalam bentuk,
ukuran, terang dan warna. Kita melihat objek sebagai sama besar biarpun
berada pada jarak yang berbeda-beda dan gambaran pada retina berbeda juga.
Kita dapat membuat lukisan tiga dimensi dengan memakai garis-garis yang
berkonvergensi sebagai isyarat jarak (yang biasanya kita tidak menyadarinya),
yang biasanya tidak terdapat pada lukisan anak-anak.
Keragu-raguan persepsi, bila kita ragu-ragu mengenai sesuatu yang kita
persepsikan, dapat diatasi dengan pengalaman terdahulu, seperti dengan
kekonstanan perseptual. Hal ini adalah jalan pintas yang berguna, akan tetapi
terkadang dapat menimbulkan kekeliruan. Ini dapat terjadi bila seorang
petugas kesehatan membuat diagnosis pada pasien/pelanggan dan tidak
memeriksa data lain yang mungkin dapat mengubah diagnosis itu yaitu tidak
memeriksa diagnosis diferensial. Hal ini dapat mengakibatkan prasangka sosial
(social prejudice) bila warna kulit atau logat bicara menimbulkan pola respon
yang stereotip. Sebagai petugas kesehatan harus hati-hati dengan hal seperti
ini.
Rhine (Maramis, 2006), seorang psikolog Amerika Serikat, dengan
beberapa eksperimen pada para mahasiswanya telah membuktikan secara
ilmiah bahwa informasi dapat juga masuk pada kita tanpa melalui pancaindera.
Ia menamakan hal ini extrasensory perception atau ESP. Ia menemukan ada
ESP dalam ruang (mengetahui hal-hal yang terjadi di tempat lain: mengetahui
pikiran orang lain/telepati), dan ESP dalam waktu (proskopi: mengetahui masa
depan dan retrokognisi: mengetahu masa lalu). Bila kita menghadapi hal-hal
seperti ini, maka pertama-tama jangan langsung menolak atau menerima. Kita
harus kritis dan menyingkirkan segala macam kemungkinan lain yang dapat
saja terjadi seperti: sugesti, kebetulan, kepekaan pancaindera, penipuan, intuisi,
Gejala-gejala dan fenomena paranormal perlu juga diketahui oleh petugas
kesehatan agar dapat lebih memahami pasien karena masyarakat kita masih
percaya akan hal seperti itu. Namun sebagai petugas kesehatan harus dapat
bersifat obyektif, tidak langsung meremehkan atau mengejek. Petugas
kesehatan seyogyanya memahami pasien serta menghormati keyakinannya dan
dengan bijaksana perlu mengemukakan pandangan dari sudut kedokteran
ilmiah.
Kerusakan pada alat penerima (kerusakan sensorik) terhadap rangsangan
juga dapat memblokir proses persepsi seperti gangguan pada penglihatan
(buta), gangguan pada pendengaran (tuli), gangguan pada penciuman,
gangguan pada pengecapan, dan lain sebagainya.
Kebutuhan Hidup Sehat
Seorang Psikolog, Maslow (Maryam et al, 2007) mengidentifikasi hirarki
kebutuhan yang menurut pendapatnya memainkan peran yang sangat penting
dalam motivasi manusia. Orang yang lelah, lapar dan kesakitan akan
termotivasi untuk mendapatkan kebutuhan fisiologis/biologis sebelum menjadi
tertarik untuk belajar tentang perawatan diri dan pendidikan kesehatan.
Teori Maslow berpendapat bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan
dasar umum yang terdiri atas beberapa tingkatan yakni tingkatan kebutuhan
dasar fisik yang harus terpenuhi lebih dulu sebelum kebutuhan tingkat yang
lebih tinggi. Misalnya kebutuhan dasar akan makanan, cairan dan oksigen
harus dipenuhi lebih dulu atau sekurang-kurangnya sebagian terpenuhi agar
kehidupan dapat terus berlanjut. Menurutnya lagi, setiap orang berusaha keras
untuk menjadi segala sesuatu yang sanggup dicapainya karena manusia
mempunyai dorongan atau motivasi untuk mencapai potensi
setinggi-tingginya.
Hirarki Maslow diartikan sebagai proses atau sistem yang menempatkan
materi dan orang menurut derajat pentingnya. Hirarki kebutuhan adalah
penempatan persyaratan atau keperluan fungsi manusia berdasarkan derajat
kebutuhan manusia yang terdiri atas lima kategori, yaitu kebutuhan fisiologi,
keselamatan, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini
merupakan bagian vital dari sistem manusia tetapi kebutuhan fisiologis
merupakan prioritas teratas karena apabila tidak terpenuhi maka akan
berpengaruh pada kebutuhan lainnya.
Jika kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi maka kebutuhan keselamatan
merupakan prioritas teratas lagi, begitu terus sampai pada tingkatan teratas
yaitu aktualisasi diri. Semua kebutuhan ini terdapat dalam setiap individu,
tetapi prioritas dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat dan kegiatan
individu.
Tingkat kebutuhan yang lebih tinggi lagi adalah kebutuhan rasa aman dan
nyaman, kebutuhan dicintai dan dimiliki, kebutuhan harga diri serta kebutuhan
perwujudan diri. Tingkat kebutuhan tersebut merupakan rangkaian yang tidak
dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi karena setiap manusia
membutuhkannya. Misalnya pada pasien diare prioritas utama adalah
pemenuhan kebutuhan fisiknya yaitu kebutuhan akan cairan dan elektrolit,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan lainnya perlu diperhatikan
seperti rasa aman dan kasih sayang.
Gambar 2. Piramida Kebutuhan Manusia Menurut Maslow
(Sumber: Slamet, 1996) Kebutuhan
Aktualisasi Diri
Kebutuhan harga diri
Kebutuhan Hubungan sosial
Kebutuhan keamanan, keselamatan, Keterjaminan
Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat-sakit yang
merupakan hasil interaksi dengan lingkungan yakni sehat merupakan keadaan
seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang memungkinkan individu untuk
menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi secara optimal guna memenuhi
kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup sehari-hari (Maryam et al, 2007).
Mardikanto (1992) dalam bukunya Penyuluhan Pembangunan Pertanian
menjelaskan bahwa hal yang utama adalah Real Needs daripada Felt Needs.
Penekanan dalam uraian di atas tersebut adalah perlunya Real Needs bagi
masyarakat, agar harapan untuk berpartisipasi dalam program pemerintah
bidang layanan kesehatan untuk keberhasilan pembangunan kesehatan dapat
terwujud, dan tingkat kesejahteraan masyarakat semakin baik.
Kinerja
Kinerja seseorang memiliki kaitan dengan kebutuhan baik kebutuhan dasar
(basic needs) maupun kebutuhan sekunder (psikologic dan sosiologic needs)
dan penghargaan (recognition) yang didapatkannya. Apabila ada
keseimbangan antara tiga hal ini maka akan tercipta kualitas sumberdaya
manusia yang baik yang ditunjukkan dengan kinerja yang tinggi. Performance
atau kinerja yang baik menunjukkan sumberdaya manusia yang berkualitas
(qualified human resources) (Gilley dan Eggland, 1989).
Kinerja yang seimbang antara biological, psychological dan sociological
akan menghasilkan suatu gabungan kinerja yang proposional dan
menghasilkan suatu kinerja seseorang yang sesungguhnya, yaitu dengan
kematangan biological (umur yang sesuai, keadaan fisik yang baik) yang
memungkinkan seseorang melakukan dengan baik pekerjaan fisik, kematangan
sociological (kemampuan bersosialisasi dan berkumpul, berorganisasi) yang
mengakibatkan seseorang dapat bekerja sama dengan orang lain dan
kematangan psychological (penguasaan emosi, pengambilan keputusan yang
baik dalam tekanan, dan lain-lain) yang membuat seseorang dapat
menghasilkan kinerja yang baik dalam setiap keadaan yang muncul dalam
Dalam usaha peningkatan kinerja, ada dua hal yang menjadi pertanyaan: (1)
Hal apa yang penting dalam pengembangan individu petugas kesehatan? dan
(2) Tipe peningkatan apa yang sedang terjadi dalam suatu organisasi
Puskesmas? Dalam pengembangan orang-orang menunjuk pada usaha
peningkatan pengetahuan, kemampuan dan kompetensi juga peningkatan
perilaku dari individu-individu dalam organisasi Puskesmas baik dari sisi
personal maupun sisi professional. Refleksi ini memberi fokus pada
individunya dan juga merefleksikan komitmen filosofis untuk peningkatan
profesional dari orang-orang dalam organisasi (career development).
Akhirnya, pengembangan individu dalam organisasi diarahkan pada
peningkatan kinerja dengan tujuan organisasi tersebut mendapatkan manfaat
(benefit) yaitu organisasi Puskesmas yang efisien, lebih efektif dalam
berkompetisi dan manfaat yang lebih baik. Peningkatan kinerja baik individual
maupun organisasi tidak dapat terjadi sampai orang-orang tersebut
berpartisipasi dalam usaha yang dirancang dalam memperkenalkan
pengetahuan dan ketrampilan baru dan usaha meningkatkan perilaku yang
telah ada. Ini tentunya dapat dicapai lewat pengalaman kerja harian, namun
akan membutuhkan waktu yang lama serta hasil yang tidak dapat dijamin,
bahkan mungkin akan terjadi peningkatan pada hal-hal yang tidak diinginkan.
Dari perspektif organisasi, peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
kompetensi dari pegawai dan memperbaiki perilaku mereka, tapi harus
meningkatkan kinerja yang akan membawa pada competitiveness dan efisiensi.
Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata
performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Dictionary, terbitan
Amerika Serikat dan Kanada (1979), berasal dari akar kata “to perform”
dengan beberapa entri yaitu: (1) Melakukan, menjalankan, melaksanakan (to
do or carry out); (2) Memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau
nazar (to discharge of fulfill; as vow); (3) Melaksanakan atau
menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an understaking);
dan (4) Melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do
Beberapa pengertian berikut ini akan memperkaya wawasan kita tentang
kinerja (Rivai dan Basri, 2005) adalah sebagai berikut: (1) Menurut Stolovitch
dan Keeps (1992) kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan
merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang
diminta; (2) Griffin (1987) menyatakan bahwa kinerja merupakan salah satu
kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja; (3) Menurut Mondy dan
Premeaux (1993) Kinerja dipengaruhi oleh tujuan; (4) Hersey dan Blanchard
(1993) menjelaskan kinerja sebagai suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan
untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan. Seseorang harus memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan ketrampilan
seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman
yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya;
(5) Menurut Casio (1992) kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan
atas tugas yang diberikan; (6) Penjelasan kinerja, menurut Donnely, et al
(1994) merujuk pada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta
kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dikatakan
baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik; (7)
Pencapaian tujuan yang telah ditetapkan merupakan salah satu tolok ukur
kinerja individu. Ada tiga kriteria dalam melakukan penilaian kinerja , yaitu:
(a) tugas individu, (b) perilaku individu dan (c) ciri individu, pendapat ini
menurut Robbin (1996); (8) Schermerhorn, et al. (1991) menjelaskan kinerja
sebagai kualitas dan kuantitas dari pencapaian tugas-tugas, baik yang
dilakukan individu, kelompok maupun perusahaan; dan (9) Robbins (1996)
menjelaskan kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability
(A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu
kinerja = f (A x M x O ). Artinya, kinerja merupakan fungsi dari kemampuan,
motivasi dan kesempatan. Dengan demikian kinerja ditentukan oleh
faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan.
Menurut Blanchard (2007) organisasi yang berkinerja tinggi adalah
organisasi dengan: (1) Informasi yang terdistribusi dan komunikasi yang
Fokus tanpa henti pada kepuasan pelanggan, dan (5) Memiliki sistem dan
struktur yang memberi semangat.
Semua kinerja yang bagus bermula dari sasaran yang jelas. Mengklarifikasi
sasaran juga termasuk membuat orang-orang mengerti dua hal: (1) Apa yang
harus mereka lakukan? yaitu ruang lingkup dan tanggung jawab mereka dan
(2) Seperti apa sebuah kinerja yang baik? serta standar kinerja yang akan
mengevaluasi mereka.
Stettner (2005) mengemukakan bahwa banyak manajer/pimpinan baru
takut dengan penilaian kinerja, terutama ketika bertemu dengan karyawan yang
memiliki kinerja buruk atau tidak konsisten. Peninjauan ulang kinerja secara
formal menjadi lebih mudah bila secara tidak resmi kita memperbarui kualitas
kerja karyawan sepanjang tahun. Jika mereka selalu tahu hal-hal yang mereka
lakukan dengan baik dan hal-hal yang perlu mereka perbaiki, maka akan
terdapat beberapa kejutan selama penilaian yang dijadwalkan secara tetap. Ia
pula mengemukakan bahwa perlu diseimbangkan kekuatan dan kelemahan
ketika meninjau ulang kinerja seseorang. Jangan berlebihan dalam arah
manapun. Jika kita hanya memikirkan ketidak sempurnaan karyawan, maka
kita akan mengurangi semangat mereka, tetapi pengampunan yang tidak
hentinya dapat membuat karyawan menyimpulkan bahwa mereka tidak pernah
salah di mata kita (Stettner, 2005). Lebih jauh Stettner menyarankan untuk
selalu meningkatkan karyawan yang berkinerja buruk dan sedang dengan
menetapkan standar yang tinggi. Jika kita menoleransi kinerja yang buruk atau
sedang dari karyawan, maka riwayat kita akan tamat bersama dengan
sekelompok orang-orang yang tidak berprestasi. Dengan mengubah pekerja
berkinerja sedang menjadi bintang berkinerja tinggi, akan mempesonakan
atasan dan mendapat reputasi sebagai seorang pemimpin yang memerintah
dengan keras yang berorientasi pada hasil.
Puskesmas
Menurut Hatmoko (2006) Puskesmas adalah suatu satuan organisasi
masyarakat yang juga membina peranserta masyarakat di samping memberikan
pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah
kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain puskesmas
mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya.
Demikian pula dengan pendapat Azwar (Rahayu, 2006) bahwa Puskesmas
adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat
pembangunan kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu
wilayah tertentu.
Sebelum Puskesmas didirikan, pelayanan kesehatan di Kecamatan meliputi
Balai Pengobatan, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak, Usaha Hygiene Sanitasi
Lingkungan, Pemberantasan Penyakit Menular, dan lain-lain. Usaha-usaha
tersebut masih bekerja sendiri-sendiri dan langsung melapor kepada Kepala
Dinas Kesehatan Dati II (sekarang Kabupaten/Kota). Pelayan Balai
Pengobatan tidak tahu menahu hal-hal yang terjadi di BKIA, begitu juga
pelayan BKIA tidak mengetahui hal-hal yang dilakukan oleh pelayanan
Hygiene Sanitasi dan sebaliknya (Hatmoko 2006), sehingga pelayanan
Puskesmas saat ini merupakan suatu pelayanan yang integratif dan
terkoordinatif, sehingga sasaran peningkatan kesehatan masyarakat dapat
menjadi lebih efisien dan efektif.
Fungsi dan peran Puskesmas adalah: (1) Sebagai Pusat Pembangunan
Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya, (2) Membina peranserta
masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan
untuk hidup sehat, dan (3) Memberikan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya.
Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara: (a)
Merangsang masyarakat, termasuk swasta, untuk melaksanakan kegiatan
dalam rangka menolong dirinya sendiri; (b) Memberikan petunjuk kepada
secara efektif dan efisien; (c) Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan
teknis materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada
masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan
ketergantungan; (d) Memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada
masyarakat; dan (e) Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan
dalam melaksanakan program Puskesmas. (Hatmoko 2006)
Dalam konteks Otonomi Daerah saat ini, Puskesmas mempunyai peran
yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki
kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk ikut
serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang
dan dapat direalisasikan, tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi, serta
sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Rangkaian manajerial di atas
bermanfaat dalam penentuan skala prioritas daerah dan sebagai bahan
kesesuaian dalam menentukan RAPBD yang berorientasi kepada kepentingan
dan pengembangan masyarakat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut
berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan
pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu.
Program pokok puskesmas meliputi: (1) Kesejahteraan Ibu dan Anak
(KIA), (2) Keluarga berencana, (3) Usaha peningkatan gizi. (4) Kesehatan
Lingkungan, (5) Pemberantasan penyakit menular, (6) Upaya pengobatan
termasuk penanganan darurat kecelakaan, (7) Penyuluhan kesehatan
masyarakat, (8) Usaha kesehatan sekolah, (9) Kesehatan olah raga, (10)
Perawatan kesehatan masyarakat, (11) Usaha kesehatan kerja, (12) Usaha
kesehatan gigi dan mulut, (13) Usaha kesehatan jiwa, (14) Kesehatan mata,
(15) Laboratorium, (16) Pencatatan dan pelaporan sistem informasi kesehatan,
(17) Kesehatan usia lanjut, dan (18) Pembinaan pengobatan tradisional
(Hatmoko, 2006).
Penyuluhan
Menurut Asngari (2003), penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang
yang direncanakan atau dikehendaki yakni orang makin modern. Ini
merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu kelayan
agar lebih berdaya secara mandiri.
Makna orang modern sebagaimana disebutkan oleh Inkeles (Asngari, 2003)
adalah sebagai berikut: (1) Terbuka dan siap menerima perubahan
(pembaruan), pengalaman baru, inovasi, penemuan baru yang lebih baik,
pandangan baru dan sebagainya; (2) Orientasinya realistik/demokratis :
kecenderungan membentuk atau menerima pendapat lingkungan; (3)
Berorientasi masa depan dan masa kini, dan bukannya masa silam; (4) Hidup
perlu direncanakan dan diorganisasikan; (5) Orang belajar menguasai
lingkungan (tidak pasrah); (6) Rasa percaya diri tinggi, optimis dunia di bawah
kontrolnya; (7) Penghargaan pada pendapat orang lain, tiap orang memiliki
kelebihan dan kekurangan; (8) Memberi nilai tinggi pada pendidikan formal,
juga informal dan nonformal; (9) Percaya pada ipteks dan perkembangannya;
dan (10) Percaya bahwa imbalan harus seimbang dengan prestasinya.
Selanjutya yang dimaksud dengan penyuluhan pembangunan (termasuk
pembangunan di bidang kesehatan) adalah upaya transformatif melalui
pendekatan pendidikan, komunikasi, dan partisipasi agar masyarakat dapat
mengambil keputusan mengelola kegiatan menuju kesejahteraannya (Amanah,
2005).
Pemberdayaan
Meskipun tidak ada satu definisi tunggal tentang pemberdayaan atau
keberdayaan, namun umumnya keberdayaan berbicara tentang transformasi
hubungan kekuasaan (Power) yang meliputi penguasaan sumberdaya,
perubahan persepsi dan keyakinan akan diri sendiri; yang dapat dilihat sebagai
dampak maupun proses. Secara konseptual, pemberdayaan pada intinya
membahas cara individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan
sesuai dengan keinginan mereka. Konsep ini mulai tampak ke permukaan
sekitar dekade 1970-an, terus berkembang sepanjang 1980-an hingga 1990-an
Menurut Pranarka dan Vidhyanka (Yustina, 2004), munculnya konsep
pemberdayaan, untuk tujuan keberdayaan, merupakan akibat dari reaksi
terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya yang sebelumnya
berkembang di suatu negara. Pada awal gerakannya, konsep pemberdayaan,
agar terjadi keberdayaan, bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru
dalam pembangunan masyarakat (community development).
Tujuan pemberdayaan, agar terjadi keberdayaan, (Ife, 2002) adalah
meningkatkan kekuasaan (power) orang-orang yang tidak beruntung
(disadvantage). Ada tiga kelompok mereka yang disebut disadvantage: (1)
Primary structural disadvantage (kelas, gender, ras); (2) Other disadvantage
groups (umur, cacat fisik/mental, masyarakat yang terisolasi,
homoseks/lesbian); dan (3) Personal disadvantage (orang yang berduka cita,
mengalami masalah dalam hubungan keluarga, krisis identitas, masalah seks,
kesepian, malu dan masalah pribadi lainnya yang dapat membuat orang tidak
berdaya).
Dalam upaya memberdayakan masyarakat, Kartasasmita (Yustina, 2004),
berpendapat bahwa pendekatannya harus dimulai dengan menciptakan iklim
yang memungkinkan berkembangnya potensi masyarakat. Hal ini didasari
pemikiran bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Dengan kata lain tidak ada sama sekali masyarakat yang tanpa daya.
Pembangunan adalah upaya untuk membangun daya tersebut, dengan
mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.
Pembangunan Masyarakat
Semua pembangunan menyangkut bahkan ditujukan untuk masyarakat,
termasuk pembangunan kesehatan. Sebagai metode, pembangunan masyarakat
mempunyai karakteristik tersendiri. Pembangunan masyarakat tidak saja
bermaksud membina hubungan dan kehidupan setiap orang untuk hidup
masyarakat mempunyai kekuatan sendiri, seperti kerukunan, keakraban
solidaritas dan kebersamaan.
Dalam pembangunan masyarakat terdapat juga pembangunan sosial (social
development) yang merupakan salah satu upaya mewujudkan cita-cita negara
kesejahteraan (welfare state). Ponsioen (Ndraha, 1990) menjelaskan bahwa
pembangunan nasional merupakan pembangunan multidimensional dengan
tiga dimensinya, yaitu: (1) Pembangunan ekonomi, (2) Pembangunan politik,
dan (3) Pembangunan sosial.
Pelayanan sosial meliputi berbagai usaha perbaikan maupun pembangunan
di bidang pendidikan, kesehatan, kerohanian, perumahan, lingkungan hidup,
olah raga, jaminan sosial, asuransi dan berbagai upaya mencegah atau
memperbaiki akibat dari berbagai bencana alam, penyakit menular dan
sebagainya. Bantuan sosial termasuk juga dalam konsep ini.
Pekerja sosial (social worker) erat sekali berkaitan dengan pelayanan sosial,
bahkan dalam beberapa hal, keduanya memiliki bidang pengabdian yang sama.
Friedlander (Ndraha, 1990) mengungkapkan bahwa pekerjaan sosial meliputi
tiga prinsip yaitu: (1) Keyakinan akan harga, integritas dan martabat manusia
individual; (2) Tiap individu membutuhkan pertolongan dan berhak
menentukan sendiri kebutuhannya, menyatakan keinginannya, menunjukkan
kondisinya sebagaimana adanya dan memilih cara terbaik untuk mengatasinya.
Ia dituntut untuk menolong dirinya sendiri (self help); (3) Keyakinan bahwa di
dalam suasana dimana setiap orang diberi atau mempunyai kesempatan yang
sama, kemampuan setiap orang sajalah yang membedakannya dengan orang
lain. sehingga kemampuannya perlu ditingkatkan; dan (4) Keyakinan bahwa
hak individual manusia untuk dihormati, bermartabat, menentukan nasib
sendiri dan kesempatan yang sama, berkaitan dengan tanggung jawab
sosialnya terhadap dirinya sendiri, keluarganya dan masyarakatnya, serta
hubungan menerima dan memberi.
Inti pendekatan pada layanan kemanusiaan (human services) adalah bahwa
tetapi juga terlibat dalam identifikasi kebutuhan, perencanaan layanan yang
cocok dengan kebutuhan, dan monitoring serta evaluasi program (Ife, 2002).
Untuk menjadi pekerja pembangunan masyarakat dan organisasi, bukanlah
tugas yang mudah; itu adalah karir dan sebuah misi. Kualifikasi prospektif
yang harus dimiliki adalah: (1) Ia telah menunjukkan potensi dalam hal
pekerjaan pembangunan masyarakat; (2) Ia menunjukkan komitmen
profesional, arah tujuan, motivasi, kematangan yang tercantum dalam sejarah
pekerjaannya; (3) Ia berkeinginan memahami dan menghormati nilai-nilai dan
budaya masyarakat setempat; dan (4) Ia merupakan teladan yang baik dengan
orang yang bekerja dengannya (Andres, 1988).
Dalam definisi formal menurut PBB, community development (CD) adalah
sebuah proses usaha-usaha pemerintah disatukan dengan masyarakat untuk
peningkatan kondisi sosial, budaya dan ekonomi dalam komunitas (”...a
process whereby the efforts of Government are united with those of the people
to improve the social, cultural and economic condition in communities).
Namun satu kata kunci yang menjadi titik perhatian disini adalah “komunitas”
atau lebih tepatnya “bekerja dengan komunitas.” Jadi untuk mengidentifikasi
apakah sebuah aktivitas tergolong sebagai CD atau bukan, kita harus
menjawab apakah selama ini kegiatan kita di desa memang telah bekerja
bersama komunitas atau belum. Adanya partisipasi masyarakat menjadi
indikator yang mutlak.
Bergulirnya konsep “bekerja dengan komunitas,” merupakan bentuk kritik
terhadap pendekatan pembangunan sebelumnya yang top down dan kurang
memperhatikan keunikan, kemampuan dan kespesifikan permasalahan tiap
kelompok masyarakat. Secara umum dikenal tiga bentuk aktivitas dengan
komunitas (Community practice), yaitu: (1) Social action, (2) Social planning,
dan (3) Community development (Syahyuti, 2006).
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan menurut Levey dan Loomba (Muzaham, 1995), adalah
suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah
dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan,
keluarga, kelompok, dan ataupun masyarakat.
Sekalipun pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan
masyarakat, namun untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan kesehatan
yang baik, keduanya harus memiliki berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok
yang dimaksud adalah: (1) Tersedia dan berkesinambungan, (2) Dapat diterima
dan wajar, (3) Mudah dicapai, dan (4) Bermutu.
Departemen Kesehatan RI menyebutkan bahwa Puskesmas (Pusat
Kesehatan Masyarakat) adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional
yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
membina peran serta di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh
dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok.
Dalam pengertian yang lebih spesifik digambarkan bahwa Puskesmas
adalah satuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan
yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan dijangkau oleh
masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna dengan biaya yang
dapat dipikul oleh Pemerintah dan Masyarakat. Upaya pelayanan kesehatan
tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk
masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa
mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan.
Hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan dasar
kesehatan, namun ternyata hal ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang
miskin seringkali harus menghadapi perlakuan diskriminatif ketika
berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Dalam beberapa penelitian PSKK
UGM (Maika, 2007) terlihat banyak contoh perlakuan buruk yang dialami
orang miskin ketika mereka ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Sebagai
contoh adalah ilustrasi berikut ini yang merupakan salah satu temuan dari
diskriminasi pelayanan pengguna kartu sehat. Sebut saja namanya Ibu
Sumirah, 34 tahun, adalah istri muda seorang pensiunan dengan golongan I/d.
Ibu Sumirah hendak mengangkat tumor perut di RSUD milik pemerintah
daerah. Sudah lima hari ia dirawat di RSUD untuk melakukan pemeriksaan.
Ia menempati bangsal, satu ruangan berisi enam orang. Tumor perut yang
cukup besar mengharuskannya tidur terlentang dengan posisi kepala jauh lebih
tinggi untuk mempermudah bangun karena setiap saat ibu Sumirah berhajat air
kecil. Karena jatah pasien adalah satu bantal, untuk meninggikan posisi
kepala, ia minta satu bantal lagi pada perawat karena tempat tidur yang
digunakan tidak seperti rumah sakit kota-kota besar yang dengan mudah
mengatur posisi tempat tidur. Di luar dugaan perawat tidak memberikan seperti
yang diinginkan, namun mengambilkan sebuah dingklik agar ditaruh di bawah
bantal untuk meninggikan posisi kepala, sambil mengatakan, ”Ibu punya uang
berapa, kok mau minta tambahan bantal, bantalnya habis, kalau kurang ambil
saja di rumah.” Dengan segala kerendahan hati dan kepasrahan yang dalam, ia
kemudian diam dan tidak berkomentar sedikitpun (Maika, 2007).
”Kami yang membutuhkan mereka, jadi sebaiknya kami jangan
mengeluh.” Itulah ungkapan salah seorang pengunjung sebuah Puskesmas di
Yogyakarta ketika ditanya pendapat mereka tentang berbagai keluhan
mengenai minimnya pelayanan kesehatan di Puskesmas, termasuk dalam
menghadapi pelayanan yang kurang ramah atau perlakuan yang tidak
menyenangkan dari petugas kesehatan. Pelayanan yang diskriminatif juga
dirasakan para pengguna kartu sehat atau kartu miskin yang sebetulnya
diberikan pada masyarakat miskin untuk mempermudah akses mereka
mendapatkan pelayanan kesehatan, terutama untuk meringankan biaya.
Sehingga perlakuan yang kurang menyenangkan dari para petugas kesehatan
membuat sebagian dari mereka enggan untuk menggunakannya dengan alasan
takut diperlakukan secara semena-mena (Maika, 2007).
Dalam survei kepuasan pelayanan kesehatan terhadap Puskesmas di kota
Yogyakarta tahun 2005 oleh PSKK UGM (Maika, 2007), dari 69,83%
menggunakannya. Dari hasil penelitian yang sama juga terlihat bahwa
ketidakramahan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan adalah salah
satu keluhan utama yang dirasakan para pengunjung Puskesmas. Selain
keluhan mengenai ketidakramahan pelayan, mereka juga mengeluhkan
lambatnya proses pelayanan yang diterima sejak pertama kali mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan yaitu melakukan pendaftaran hingga
mengambil obat di bagian Farmasi. Menurut para pengunjung, keterlambatan
ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu cara kerja pelayan yang lambat, sistem
registrasi dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, serta kurangnya disiplin
kerja para petugas kesehatan yang terlihat sering membiarkan pasien lama
menunggu untuk dilayani. Selain itu, diskriminasi pelayanan di loket antrian
juga menjadi sorotan para pengunjung karena beberapa pelayan terlihat
mendahulukan orang yang mereka kenal dibanding dengan pengunjung lain.
Dari berbagai contoh kasus di atas, persoalan pelayanan kesehatan terutama
bagi para pengunjung fasilitas kesehatan publik milik pemerintah yang
umumnya adalah orang miskin, secara umum diwarnai oleh isu kesalahan
manusia, seperti ketidakramahan pelayan termasuk ketidakdisiplinan mereka
dalam menjalankan tugas adalah sebagai persoalan perilaku tiap-tiap individu.
Pendapat ini sempat terlontar dalam diskusi kelompok terfokus dengan para
praktisi kesehatan di kota Yogyakarta. Menurut seorang peserta diskusi yang
kebetulan adalah salah seorang kepala Puskesmas, sumberdaya manusia yang
ada di Puskesmas adalah penugasan dari lembaga yang berada di atasnya.
Sebagai seorang pemimpin institusi, mereka tidak berwenang untuk memilih
pegawainya dengan kualifikasi terbaik dan bersyarat ideal. Bisa saja pegawai
yang direkrut dari sisi profesional beretos kerja yang baik, tapi tidak diikuti
dengan kepribadian yang mendukung. Ada pula pegawai yang memiliki
persoalan pribadi dan masalah rumah tangga yang membuat dirinya selalu
terlihat bersikap tidak ramah terhadap orang lain. Semua itu adalah persoalan
sikap atau perilaku layanan umum yang sulit diubah oleh pihak luar. Pendapat
seperti itu juga dibenarkan oleh beberapa peserta diskusi yang lain (Maika,
Jika pendapat tersebut diyakini oleh banyak orang, bahwa sikap ramah atau
tidak ramah adalah persoalan perilaku personal yang tidak bisa diperbaiki oleh
orang lain, sama saja dengan membiarkan orang lain menderita karena
mengalami perlakuan yang tidak humanis dari orang seperti mereka. Hal
tersebut berarti membiarkan seseorang berlaku seenaknya pada orang lain.
Agar dapat memberikan pelayanan yang baik bagi semua warga termasuk
mereka yang berasal dari kelompok miskin karena sering menerima perlakuan
diskriminatif, persoalan perilaku pelayanan petugas kesehatan dirasakan perlu
segera ditangani. Hal lain yang menjadi keluhan pengunjung adalah minimnya
informasi yang diberikan dokter tentang penyakit dan kondisi kesehatan
mereka yang sesungguhnya.
Terdapat alasan mengapa banyak masyarakat tidak mendapatkan informasi
yang benar mengenai kesehatan mereka. Selain itu, mereka tidak memiliki
informasi mengenai obat-obatan yang mereka konsumsi, baik dalam hal jenis
obat, manfaat, cara penggunaan dan terutama efek samping. Dalam etika
kedokteran, informasi mengenai hal tersebut perlu disampaikan pada pasien.
Mungkin belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia untuk mengetahui
hubungan antara dokter dan pasien termasuk komunikasi mereka mengenai
berbagai informasi obat-obatan yang dikonsumsi pasien.
Waktu yang dibutuhkan dalam pemeriksaan adalah salah satu alasan yang
membuat tidak banyak informasi yang diberikan kepada pasien. Namun hal itu
sebetulnya bukan kendala bagi para petugas kesehatan untuk menyampaikan
informasi kepada pasien. Komunikasi antara petugas kesehatan, dokter, tetap
perlu dijaga terutama ketika informasi seperti itu dibutuhkan pasien tidak
hanya agar mereka tahu kondisi kesehatannya, tapi juga agar mereka dapat
lebih menjaga kesehatannya dan terhindar dari kondisi kesehatan yang lebih
buruk (Maika, 2007).
Kesehatan
Menurut Ensiklopedia Bebas Wikipedia, Kesehatan, pada organisme hidup, bisa dimengerti sebagai homeostatis, yaitu keadaan di mana suatu organisme
tenaga dan massa di seimbangankan, yakni dikurangi massa yang ditahan
untuk proses pertumbuhan biasa, serta harapan untuk kelangsungan hidup
organisme adalah positif. Organisasi Kesehatan Dunia / World Health
Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan fisik,
mental dan sosial yang sejahtera dan bukan hanya ketiadaan penyakit dan
lemah. Meskipun berguna dan tepat, definisi ini dianggap terlalu ideal dan
tidak nyata. Kalau menggunakan definisi WHO maka 70-95% orang di dunia
dapat dinyatakan sebagian sehat.
Ada sebuah ungkapan bahwa kesehatan adalah salah satu harta yang tidak
ternilai. Ungkapan lain menyatakan bahwa kesehatan itu mahal harganya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sangat penting bagi setiap individu.
Kesehatan sangat penting bukan hanya bagi fisik seseorang, tetapi juga secara
subjektif terhadap kesejahteraan mereka, bahkan lebih jauh bagi kehidupan
sosial politik seseorang di dalam masyarakat.
Secara sosiologis, penyakit mengancam group unity dan survival, baik
dalam unit kelompok sosial sebagai keluarga maupun masyarakat. Penyakit
dapat merusak komunikasi antar masyarakat, ketidakmampuan kepemimpinan,
mengurangi kemampuan anggota kelompok untuk menjalankan tugas dan
peran sosial mereka, baik yang assigned maupun yang ascribed, dan
mengubah cara kelompok untuk memperhatikan dan merespon satu sama lain.
Ini penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat memainkan perannya
dalam mempertahankan diri dari penyakit. Dengan segala keterbatasannya
mereka memiliki potensi untuk mengembangkan sumberdaya manusia agar
dapat meningkatkan produktivitas kerja. Dengan produktivitas yang tinggi bisa
memperbaiki kehidupan mereka. Untuk dapat meningkatkan produktivitas
kerja, mereka perlu menjaga kesehatan di samping keterampilan. Menjaga
kesehatan dapat dilakukan dengan banyak cara, di antaranya adalah dengan
membiasakan diri untuk melakukan pola hidup sehat, terpenuhinya gizi yang
seimbang dan ketika sakit mereka mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik