• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi dan Partisipasi Masyarkat Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Persepsi dan Partisipasi Masyarkat Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP

PENGELOLAAN HUTAN MANGGROVE DI PANTAI

BUNGA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATUBARA

T E S I S

Oleh: DARWIS 087004010/PSL

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP

PENGELOLAAN HUTAN MANGGROVE DI PANTAI

BUNGA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATUBARA

T E S I S

Diajukan Untuk memperoleh Gelar Magister Sains

Pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

O l e h : DARWIS 087004010/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Penelitian : PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI PANTAI BUNGA KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATUBARA

Nama : DARWIS

Nomor Pokok : 087004010

Program Studi : PSL

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik

Dr. Delvian, SP, MP Anggota

Prof. Dr. Erman Munir, MSc Anggota

Ketua Program Studi Direktur

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 11 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. B. Sengli J. Damanik, MSc Anggota : 1. Dr. Delvian, SP, MP

(5)

PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN MANGGROVE DI PANTAI BUNGA

KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATUBARA

ABSTRAK

Pemanfaatan hutan mangrove secara berlebihan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan di sekitarnya membuat hutan mangrove menjadi rusak. Masyarakat tidak menyadari dampak dan akibat bencana yang ditimbulkan dari eksploitasi atau pemanfaatan hutan mangrove yang secara berlebihan tersebut. Pemanfaatan hutan mangrove secara berlebihan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan di sekitarnya membuat hutan mangrove menjadi rusak. Masyarakat tidak menyadari dampak dan akibat bencana yang ditimbulkan dari eksploitasi atau pemanfaatan hutan mangrove yang secara berlebihan tersebut. Pantai Bunga di Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi memiliki kawasan hutan mangrove di atas pesisir pantai dengan luas wilayah sekitar 635 Ha yang merupakan wilayah pesisir sekitar 30,6% dari luas keseluruhan wilayah. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove adalah baik di mana sebanyak 64,9% responden menyatakan mengetahui, sebanyak 60,6% menyatakan mengetahui manfaat mangrove dan sebanyak 5,3% menyatakan sangat mengetahui manfaat mangrove. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove juga baik ditunjukkan dari tingginya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan hutan mangrove (73,4%), partisipasi aktif dalam hal pemeliharaan hutan mangrove (64,9%), dan partisipasi masyarakat secara swadaya melakukan pengelolaan hutan mangrove menurut 62,8% sudah baik,. Faktor pengetahuan, penginterpretasian, kecenderungan, kesempatan kerja, dan kesempatan berpartisipasi berpengaruh positif terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Mesjid Lama. dan faktor pengetahuan, kesempatan kerja, dan kesempatan berpartisipasi berpengaruh signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove.

(6)

COMMUNITY’S PERCEPTION AND PARTICIPATION IN MANGROVE FOREST MANAGEMENT IN PANTAI BUNGA AREA, TAWALI

SUBDISTRICT, BATUBARA DISTRICT

ABSTRACT

The excessive utilization of mangrove forests without considering the environmental conditions surrounding has damaged the mangrove forests. The community do not realize the impact and the consequences of disasters caused by exploitation or the excession utilization of mangrove forests. Bunga beach in the village of Mesjid Lama District Talawi have mangrove forests on the coast with a total area of about 635 hectare which is the coastal area of approximately 30.6% of its total area. The community perception on the management of mangrove forests is good where as many as 64.9% of respondents claimed to know, as much as 60.6% claimed to know the benefits of mangroves and of 5.3% reported very to know the benefits of mangroves. The community participation in mangrove forest management is also well demonstrated by the high participation in the implementation of the management of mangrove forests (73.4%), active participation in maintenance of mangrove forests (64.9%), self-reliance and community participation to manage mangrove forests by 62, 8% is good. Factors of knowledge, interpreting, trends, employment opportunities, and opportunities to participate positively affected people's participation in the management of mangrove forest in the village of Mesjid Lama and factors of knowledge, employment opportunities, and opportunities to participate significantly influence public participation in the management of mangrove forests.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, tak ada kata yang tak terucap selain rasa syukur penulis

panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas kehadiratnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul ”Persepsi dan Partisipasi Masyarkat

Terhadap Pengelolaan Hutan Mangrove di Pantai Bunga Kecamatan Talawi

Kabupaten Batubara”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Sains Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan

moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat

pada waktunya. Oleh sebab itu ucapan terima kasih yang mendalam penulis

sampaikan secara khusus kepadaProf. Syamsul Arifin, SH. MH, Dr. Delvian, SP. MSi

dan Ir.O.K. Nazaruddin Hisyam, MS. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat

bagi masyarakat luas, walaupun masih ada kelemahan didalam penulisannya.

Selain penulis juga ingin mengucapkan kepada kepada berbagai pihak yang

telah banyak membantu penulis mulai dari awal perkuliahan sampai pada akhir studi

di Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yaitu :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan di Program Magister Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

2. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan S2 di SPs USU.

3. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku Ketua Program Studi dan Bapak Drs.

Chairuddin, MSc selaku Sekretaris Program Magister Pengelolaan Sumberdaya

(8)

4. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mengajarkan berbagai ilmu selama mengikuti

kuliah di SPs USU.

5. Isteri terkasih Siti Fatimah yang telah membantu dengan memberikan doa dan

dukungannya serta Ananda tercinta Muhammad Rais, Nurhayati, Khairul Adha

dan Amiruddin Darfat.

6. Ayahanda H. Jamaluddin dan Ibunda Hj. Gading Fatimah serta Bapak

Abdurrahman dan Ibu Siti Asnah terima kasih atas doanya, telah membuktikan

bahwa kasih orang tua sepanjang masa.

7. Teman – teman di PSL terima kasih atas dukungannya serta semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan pendidikan S2 ini.

Akhir kata, kapada Allah SWT penulis memohon ampun atas kesalahan

selama masa pendidikan dan penyusunan tesis ini dari perbuatan yang tidak

diridhoinya. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, 11 Agustus 2011 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

2.3. Nilai Ekonomis Hutan Mangrove ... 19

2.4. Kedudukan Kawasan Manggove dan Peranan Fungsi Ekologisnya 23 2.5. Konsep Dasar dan Arahan Pemulihan Hutan Mangrove ... 28

2.6. Paradigma Baru Pembangunan Ekowisata... 29

2.7. Ekowisata Hutan Mangrove ... 30

2.8. Persepsi Masyarakat ... 33

2.9. Partisipasi Masyarakat ... 35

III. METODE PENELITIAN ... 40

4.2. Kondisi Hutan Mangrove di Lokasi Peneltian... 50

4.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Mangrove ... 51

(10)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Luas Wilayah Luas Kecamatan Talawi per Desa, 2010 --- 46

2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Talawi, 2010 --- 47

3. Jumlah Penduduk Kecamatan Talawi Berdasarkan Umur, 2010 --- 48

4. Jumlah Penduduk Kecamatan Talawi Berdasarkan Mata Pencaharian ---- 49

5. Persentase Persepsi Responden --- 51

6. Persentase Partisipasi Responden Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove -- 54

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi masyarakat --- 58

8. Kondisi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat --- 59

9. Uji Anova --- 59

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Halaman

1. Foto Lokasi Penelitian ... 72

2. Skor jawaban Responden ... 79

3. Hasil Perhitungan Statistik ... 85

4. Kuesioner ... 86

(13)

PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN MANGGROVE DI PANTAI BUNGA

KECAMATAN TALAWI KABUPATEN BATUBARA

ABSTRAK

Pemanfaatan hutan mangrove secara berlebihan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan di sekitarnya membuat hutan mangrove menjadi rusak. Masyarakat tidak menyadari dampak dan akibat bencana yang ditimbulkan dari eksploitasi atau pemanfaatan hutan mangrove yang secara berlebihan tersebut. Pemanfaatan hutan mangrove secara berlebihan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan di sekitarnya membuat hutan mangrove menjadi rusak. Masyarakat tidak menyadari dampak dan akibat bencana yang ditimbulkan dari eksploitasi atau pemanfaatan hutan mangrove yang secara berlebihan tersebut. Pantai Bunga di Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi memiliki kawasan hutan mangrove di atas pesisir pantai dengan luas wilayah sekitar 635 Ha yang merupakan wilayah pesisir sekitar 30,6% dari luas keseluruhan wilayah. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove adalah baik di mana sebanyak 64,9% responden menyatakan mengetahui, sebanyak 60,6% menyatakan mengetahui manfaat mangrove dan sebanyak 5,3% menyatakan sangat mengetahui manfaat mangrove. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove juga baik ditunjukkan dari tingginya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pengelolaan hutan mangrove (73,4%), partisipasi aktif dalam hal pemeliharaan hutan mangrove (64,9%), dan partisipasi masyarakat secara swadaya melakukan pengelolaan hutan mangrove menurut 62,8% sudah baik,. Faktor pengetahuan, penginterpretasian, kecenderungan, kesempatan kerja, dan kesempatan berpartisipasi berpengaruh positif terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Mesjid Lama. dan faktor pengetahuan, kesempatan kerja, dan kesempatan berpartisipasi berpengaruh signifikan terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove.

(14)

COMMUNITY’S PERCEPTION AND PARTICIPATION IN MANGROVE FOREST MANAGEMENT IN PANTAI BUNGA AREA, TAWALI

SUBDISTRICT, BATUBARA DISTRICT

ABSTRACT

The excessive utilization of mangrove forests without considering the environmental conditions surrounding has damaged the mangrove forests. The community do not realize the impact and the consequences of disasters caused by exploitation or the excession utilization of mangrove forests. Bunga beach in the village of Mesjid Lama District Talawi have mangrove forests on the coast with a total area of about 635 hectare which is the coastal area of approximately 30.6% of its total area. The community perception on the management of mangrove forests is good where as many as 64.9% of respondents claimed to know, as much as 60.6% claimed to know the benefits of mangroves and of 5.3% reported very to know the benefits of mangroves. The community participation in mangrove forest management is also well demonstrated by the high participation in the implementation of the management of mangrove forests (73.4%), active participation in maintenance of mangrove forests (64.9%), self-reliance and community participation to manage mangrove forests by 62, 8% is good. Factors of knowledge, interpreting, trends, employment opportunities, and opportunities to participate positively affected people's participation in the management of mangrove forest in the village of Mesjid Lama and factors of knowledge, employment opportunities, and opportunities to participate significantly influence public participation in the management of mangrove forests.

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Isu global yang paling banyak dibicarakan saat ini adalah penurunan kualitas

lingkungan dan perubahan iklim yang salah satu penyebabnya oleh deforestasi dan

degradasi hutan. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan mengalami

penurunan kualitas dan kuantitas yang sangat cepat. Tercatat bahwa luas mangrove di

seluruh dunia hanya mencapai 15,2 juta hektar atau tidak sampai 1% dari luas

keseluruhan hutan global (LKBN Antara, 2006).

Laju deforestasi di kawasan Asia Tenggara merupakan yang tertinggi di

dunia, yaitu pada angka 0,91 persen per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan laju deforestasi di kawasan Amerika Selatan yang hanya

mencapai angka 0,38 persen per tahun.Tingginya laju deforestasi di Asia Tenggara

tentu saja tidak terlepas dari peran Indonesia sebagai negara dengan persentase hutan

paling luas di kawasan ini (LKBN Antara, 2006).

Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah

pulau sekitar 17.508 dan di dukung oleh garis pantai kurang lebih 81.000 km, garis

pantai yang panjang ini menunjukan bahwa bahwa negara ini memiliki sumber daya

pesisir potensial, baik sumberdaya alam hayati maupun sumber daya alam non-hayati

seperti hutan mangrove (Departemen Kehutanan, 2007).

Luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta Ha yang terdiri atas

3,8 juta Ha terdapat kawasan hutan dan 4,8 juta Ha terdapat diluar kawasan hutan.

(16)

mangrove di dalam kawasan hutan dalam keadaan baik dan 4,2 juta Ha (87,50%)

hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak (Departemen Kehutanan,

2007).

Demikian halnya Kabupaten Batubara, menurut data terakhir dari hasil

pemotretan udara (citra land satelite) tahun 2001, menunjukan bahwa hutan

mangrove yang ada di Kabupaten Batubara adalah seluas 1.598,38 Ha.Jika

dibandingkan dengan keadaan saat ini luas hutan mangrove yang ada 876,06 Ha,

keadaan dan kondisi hutan mangrove sudah harus menjadi perhatian yang serius dari

Pemerintah Daerah Kabupaten Batubara. Keadaan ini akan tergambar nyata disaat

kita mengadakan observasi ke lapangan dimana banyak sudah lokasi areal hutan

mangrove yang sudah berubah fungsi menjadi lahan tambak dan kebun- kebun

rakyat (Dinas Kehutanan Batu Bara, 2010).

Pantai Bunga di Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi memiliki kawasan

hutan mangrove di atas pesisir pantai dengan luas wilayah sekitar 635 Ha yang

merupakan wilayah pesisir sekitar 30,6% dari luas keseluruhan wilayah. Ekosistem

pesisir Desa Mesjid Lama terdiri dari ekosistem alam yang meliputi ekosistem hutan

mangrove, pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu (Dinas Kehutanan

Batu Bara, 2010).

Hutan mangrove di Desa Mesjid Lama di sekitar Pantai Bunga telah banyak

dialih fungsikan antara lain untuk kegiatan pertambakan (perikanan), perkebunan

(umumnya kebun kelapa sawit), pariwisata, permukiman, bahkan masih sering

terlihat kegiatan pengrusakan hutan mangrove, sehingga hutan mangrove yang

(17)

Di samping kegiatan yang menurunkan kualitas mangrove di Pantai Bunga

terdapat juga masyarakat yang melestarikannya seperti penanaman kembali bibit

mangrove, pemasangan rambu-rambu peringatan untuk tidak menebang hutan,

memisahkan kegiatan nelayan dari lokasi Pantai Bunga.

Menurut Sastropoetro (1988) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

partisipasi masyarakat antara lain:

1. Pendidikan/pengetahuan; kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan,

kedudukan sosial dan percaya terhadap diri sendiri.

2. Penginterpretasian; kemampuan menerjemahkan konsep kedalam prilaku.

3. Kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi,tujuan dan kepentingan

organisasi penduduk.

4. Kesempatan kerja yang lebih baik

5 Kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai program pembangunan

Berdasarkan pengamatan sementara secara umum dapat dikemukakan bahwa

pengetahuan masyarakat tentang perlunya mangrove relatif rendah, sehingga tingkat

kepekaan terhadap munculnya masalah baru akibat rusaknya hutan mangrove relatif

tidak ada. Demikian juga halnya penginterpretasian dari keberadaan hutan mangrove

belum berkembang secara positif, banyak masyarakat menganggap hutan mangrove

adalah sumber energi kayu bakar, adanya kecenderungan menyalahartikan motivasi,

tujuan dan kepentingan organisasi penduduk yang menanam hutan mangrove.

Disamping itu keberadaan lapangan kerja yang minim, serta kesempatan

(18)

Pemanfaatan hutan mangrove secara berlebihan tanpa memperhatikan kondisi

lingkungan di sekitarnya membuat hutan mangrove menjadi rusak. Masyarakat tidak

menyadari dampak dan akibat bencana yang ditimbulkan dari eksploitasi atau

pemanfaatan hutan mangrove yang secara berlebihan tersebut. Masyarakat

diharapkan berusaha untuk mengelola dan memperbaiki serta menjaga kawasan hutan

mangrove tersebut. Persepsi yang benar dari masyarakat dan partisipasi masyarakat di

sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya bagi

pengelolaan hutan mangrove (Rahmawati, 2006).

Mengembangkan Pantai Bunga diperlukan kajian tentang Persepsi dan

Partisipasi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Hutan Manggrove di Pantai Bunga

Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara.

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang maka dapat diambil rumusan permasalahan

penelitian ini yaitu:

1. Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di

Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara?

2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap

pengelolaan hutan mangrove di Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten

Batubara?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian.

(19)

1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove

di Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi partisipasi

masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di Pantai Bunga Kecamatan

Talawi Kabupaten Batubara

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini untuk :

- Ilmu pengetahuan, sebagai bahan masukan untuk pengembangan wahana ilmu

pengetahuan tentang persepsi masyarakat dan faktor-faktor apakah yang

mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove

di Pantai Bunga Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara.

- Masyarakat, sebagai informasi tentang persepsi masyarakat terhadap

pengelolaan hutan mangrove di kawasan Pantai Bunga Kecamatan Talawi,

serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan hutan mangrove.

- Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka kebijakan

Pengembangan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove di

kawasan Pantai Bunga Kecamatan Talawi, serta partisipasi masyarakat dalam

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Mangrove

Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugis) dan grove

(Inggris). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,

dan vloedbosschen. Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan

yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar

muara sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari

genangan di saat kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi

mayoritas pesisir pantai di daerah tropis dan sub tropis yang didominasi oleh

tumbuhan mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di

tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik

(Departemen Kehutanan, 2007).

Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri

tumbuhan yang hidup di darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan

atau dengan kata lain berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat

darat yang keduanya bersatu di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan

dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan

pencemar. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang

(21)

Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah

yang miskin oksigen atau bahkn anaerob. Pada hutan mangrove: tanah, air, flora dan

fauna hidup saling memberi dan menerima serta menciptakan suatu siklus ekosistem

tersendiri. Hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air,

menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat

kawin/pemijahan, dan lain-lain (Departemen kehutanan, 2007).

Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam

bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah

mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Hutan mangrove sangat berbeda dengan

tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan subtropis, ia dapat dikatakan merupakan

suatu hutan di pinggir laut dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Akarnya,

yang selalu tergenang oleh air, dapat bertoleransi terhadap kondisi alam yang ekstrem

seperti tingginya salinitas dan garam. Hal ini membuatnya sangat unik dan menjadi

suatu habitat atau ekosistem yang tidak ada duanya. Kita sering menyebut hutan di

pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau.Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat

dinamakan hutan mangrove (Rahmawati, 2006).

Istilah ‘mangrove’ digunakan sebagai pengganti istilah hutan bakau untuk

menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon

mangrove Rhizophora spp, karena bukan hanya pohon mangrove yang tumbuh di

sana. Selain mangrove, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya.

Hutan-hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama

di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Hutan

(22)

yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai

yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang

terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung

(Nybakken, 1982).

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.

Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi

mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah

yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil)

yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan

kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan

ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada

bagian arah daratan (Nybakken, 1982).

Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus

serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya.

Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti

sediakala. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat, ekosistem mangrove

mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan

terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan

salinitas (Nybakken,1982).

Mangrove merupakan suatu ekosistem hutan yang sangat toleran terhadap

kadar garam yang terdapat di pesisir pantai yang terlindung (berlumpur), muara

sungai dan sepanjang pinggir sungai di daerah tropis dan subtropis

(23)

Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman lain.

Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon

yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh,

mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya

tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram

(halophytes), namun mangrove lebih bersifat fakultatif daripada bersifat obligatif

karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar (MacKinnon, 2000).

2.1.1. Ciri-Ciri Hutan Mangrove

Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan

Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor

dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian Sungai Kapuas, sampai ke pedalaman

sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat,

dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang

sangat luas (MacKinnon, 2000).

Di samping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat

tumbuh secara “coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis

yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi

dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas

tegakan nipah Nypa fruticans. Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari

penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :

(24)

2. memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar

melengkung dan menjulang pada mangrove Rhizophora spp., serta akar yang

mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia

3. memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di

pohonnya, khususnya pada Rhizophora;

4. memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon (MacKinnon, 2000).

Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi

ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove berfungsi dan

bermanfaat sebagai : penahan abrasi pantai; penahan intrusi (peresapan) air laut;

penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO

2.1.2. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

2

Dilihat dari fungsi dan manfaat sosial dan ekonomi, hutan mangrove juga

berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan

dan penelitian); penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan

baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah; penghasil tannin untuk ) di udara, dan

bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai. Secara Biologi hutan mangrove

berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat hidup (berlindung, mencari makan,

pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang); sumber bahan organik

sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan

kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya

dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa

(25)

pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit; penghasil bahan

pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera

sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis

untuk obat sakit gigi,); tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap

dan petambak., dan pengrajin atap nipah. (Rahmawaty, 2006)

Fakta selamatnya penduduk Pulau Simeuleu pada saat bencana tsunami Aceh

di Pulau Simeuleu tahun 2004 merupakan bukti nyata dari manfaat mangrove. Selain

pengetahuan lokal masyarakat Simeuleu dalam mengantisipasi tsunami, keberadaan

hutan mangrove di sekeliling mereka dianggap berperan sangat besar dalam memecah

gelombang tsunami. Dalam kasus lain, salah satu harian terkemuka memberitakan

tentang keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Langkat

Timur, Sumut, seluas 800 ha sejak tahun 2003 yang mampu meningkatkan hasil

tangkapan nelayan setempat. Nelayan daerah ini bisa mengantongi minimal Rp

30.000 per hari dari penjualan ikan, kepiting, dan udang. Artikel lain memberitakan

tentang adanya penurunan hasil udang budidaya di Propinsi Lampung yang mencapai

18% di tahun 2009 akibat serangan virus sebagai dampak turunnya kualitas perairan

(LKBN Antara, 2006).

Turunnya kualitas perairan ini selain disebabkan karena akumulasi

pengelolaan lingkungan yang kurang baik, berkurangnya areal mangrove di sekitar

tambak sebagai pengendali kualitas perairan juga ditengarai sebagai penyebab

utamanya (LKBN Antara, 2006)

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa secara ekologi dan ekonomi,

(26)

abrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m

dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam

sekitar 50% energi gelombang tsunami (Dahuri,1991)

Selain itu, hutan mangrove sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi

flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran

hara dalam ekosistem mangrove. Walaupun fakta dan penelitian telah menunjukkan

keuntungan yang sangat besar dari keberadaan mangrove, luas areal hutan mangrove

terus menyusut (Dahuri, 1991).

Ketidakjelasan kebijakan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat,

propinsi dan kabupaten/kota, seringkali menjadi penyebab munculnya persoalan

tumpang tindih peruntukan areal di atas hutan mangrove. Perubahan paradigma

pengelolaan hutan dari pola sentralisasi ke desentralisasi menambah daftar panjang

permasalahan (Dahuri,1991).

Kondisi yang sama pun terjadi di wilayah pesisir Sumatera, khususnya

Kabupaten Batubara Sumatera Utara. Kerusakan hutan mangrove sebagai sabuk hijau

(green belt) di pesisir timur sumatera utara sudah sangat memprihatinkan. Lebih dari

lima puluh persen kerusakan telah terjadi yang banyak disebabkan oleh konversi

hutan untuk peruntukan lain, pencemaran pantai oleh sampah dan industri, kurangnya

kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga

kehidupan darat dan lautan, kurangnya usaha penataan dan penegakan hukum, belum

adanya penataan ruang pesisir, pencemaran wilayah pesisir dan belum optimalnya

(27)

Tekanan yang terus menerus ini telah mengakibatkan kelestarian hutan

mangrove sebagai benteng utama daerah pesisir semakin terancam. Harapannya

untuk memperbaiki ekosistem wilayah pesisir perlu dilakukan pembangunan

sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya berbasis

masyarakat, dan pengembangan iptek dan budaya bahari. Pelibatan masyarakat

sebagai subjek sentral dan kemitraan antara masyarakat pantai dengan LSM dan

pemerintah merupakan suatu kesepakatan dan komitmen untuk mendukung kegiatan

pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan (Dahuri,1991).

Otonomi daerah haruslah dipersepsikan sebagai upaya pengembalian hak-hak

masyarakat daerah. Oleh karena itu, diharapkan semua perda yang berkaitan dengan

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil

haruslah berdasarkan hasil rumusan dari masyarakat lokal. Juga intervensi negara

yang berlebihan sudah harus diakhiri, sehingga masyarakat benar-benar menjadi

pelaku utama dalam semua aspek pembangunan. Khusus untuk pemerintah daerah,

disarankan agar pengelolaan dan penyelamatan mangrove menjadi prioritas dalam

rencana pembangunan daerah (Departemen Kehutanan, 2007).

Penurunan kualitas lingkungan dan perubahan iklim yang salah satunya

disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan merupakan isu global yang paling

banyak dibicarakan saat ini. Hutan tropis pada khususnya, sering dilaporkan

mengalami penurunan kualitas dan kuantitas yang sangat cepat. Tingginya laju

deforestasi di Asia Tenggara tentu saja tidak terlepas dari peran Indonesia sebagai

negara dengan persentase hutan paling luas di kawasan ini. Implikasi dari laju

(28)

finansial pemerintah akibat illegal logging

Walaupun luasannya relatif kecil, ekosistem mangrove memiliki fungsi

penyangga kehidupan manusia yang lebih tinggi daripada ekosistem manapun karena

tingkat produktivitas primer (NPP) yang sangat tinggi. Akan tetapi, karena luas

mangrove yang relatif kecil ini juga, eksistensinya sebagai ekosistem penyangga

kehidupan manusia sering di

, kerugian ekonomi akibat tutupnya

industri hilir kehutanan seperti pabrik kayu lapis yang kekurangan stok bahan

mentah, fragmentasi habitat flora dan fauna, turunnya keanekaragaman hayati,

sampai pada kontribusinya dalam peningkatan gas rumah kaca di atmosfir.

Dari data di atas, hutan mangrove memiliki bagian yang relatif kecil dibandingkan

dengan hutan hujan tropis (Departemen Kehutanan, 2007).

marginal

Dalam kasus lain, salah satu harian terkemuka memberitakan tentang

keberhasilan rehabilitasi hutan mangrove di Suaka Margasatwa Langkat Timur,

Sumut, seluas 800 hektar sejak tahun 2003 yang mampu meningkatkan hasil

tangkapan nelayan setempat. Nelayan daerah ini bisa mengantongi minimal Rp

30.000 per hari dari penjualan ikan, kepiting, dan udang. Artikel lain memberitakan

tentang adanya penurunan hasil udang budidaya di Propinsi Lampung yang mencapai kan. Masyarakat awam lebih menganggap

hutan mangrove sebagai tempat sarang nyamuk, ular, tempat yang menyeramkan,

angker dan tidak memiliki nilai ekonomi. Karena anggapan tersebut, hutan ini banyak

dikonversi menjadi lahan tambak, real estate atau taman hiburan dan rekreasi yang

lebih menjanjikan secara ekonomi. Menurut FAO, selama 25 tahun terakhir 3,6 juta

hektar (sekitar 20%) hutan mangrove telah dikonversi menjadi peruntukan lain

(29)

18% di tahun 2009 akibat serangan virus sebagai dampak turunnya kualitas perairan.

Turunnya kualitas perairan ini selain disebabkan karena akumulasi pengelolaan

lingkungan yang kurang baik, berkurangnya areal mangrove di sekitar tambak

sebagai pengendali kualitas perairan juga ditengarai sebagai penyebab utamanya

(Dahuri,1991).

Selain itu, hutan mangrove sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi

flora dan fauna yang hidup di daerah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran

hara dalam ekosistem mangrove. Sebuah penelitian menunjukkan adanya hubungan

yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan

budidaya, yaitu semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi

perikanan pun turut meningkat. Hutan mangrove merupakan elemen kawasan pesisir

yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan

menetralisir bahan-bahan pencemar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bahwa

tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16

kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari

tambak yang masih ber-mangrove (silvofishery

Walaupun fakta dan penelitian telah menunjukkan keuntungan yang sangat

besar dari keberadaan mangrove, luas areal hutan mangrove terus menyusut.

Ketidakjelasan kebijakan dan kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, propinsi

dan kabupaten/kota, seringkali menjadi penyebab munculnya persoalan tumpang

tindih peruntukan areal di atas hutan mangrove. Perubahan paradigma pengelolaan

hutan dari pola sentralisasi ke desentralisasi menambah daftar panjang permasalahan

(Dahuri, 1991).

(30)

Program agro-marinepolitan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil Sumut

memiliki prospek yang cukup cerah yang muaranya dimaksudkan untuk memacu

kemajuan dan kemakmuran secara berkelanjutan dan berkeadilan melalui

pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir, kelautan dan perikanan (Dahuri, 1991).

2.1.3. Upaya Melestarikan Hutan Manggrove.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan

hutan mangrove antara lain:

1. Penanaman kembali mangrove. Penanaman mangrove sebaiknya melibatkan

masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat dalam pembibitan,

penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan mangrove berbasis

konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada masyarakat antara lain

terbukanya peluang kerja sehingga terjadi peningkatan pendapatan

masyarakat.

2. Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll.

Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat

dimanfaatkan sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau

bentuk lainnya.

3. Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan

memanfaatkan mangrove secara bertanggungjawab.

4. Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi.

5. Peningkatan pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang konservasi

(31)

7. Program komunikasi konservasi hutan mangrove

8. Penegakan hukum

9. Perbaikan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.

Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat

penting dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat pesisir. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa

konsep-konsep lokal (kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu

ditumbuh-kembangkan kembali sejauh dapat mendukung program ini

(Rahmawati, 2006).

2.2. Hutan Mangrove dan Perikanan

Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur

hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi

anak-anak ikan, tempat kawin/ pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi

organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik

(detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting

dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur

meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai

organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta.

Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya

didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil

(32)

mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis

komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus

hidupnya (Santoso, 2000).

2.3. Nilai Ekonomis Hutan Mangrove

Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat

ekosistem hutan mangrove ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti

Madura dan Irian Jaya dapat mencapai triliunan rupiah (Atmanto, 1995).

Pada workshop perencanaan strategis pengendalian kerusakan hutan

mangrove se-Sumatera di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat

Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara

LH (1995) tentang hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan mangrove

Hasilnya ternyata sangat mencengangkan, di Pulau Madura, diperoleh Total

Economic Value (TEV) sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun,

Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV

untuk seluruh Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun (Atmanto, 1995).

Berdasarkan hasil analisa biaya dan manfaat terhadap skenario pengelolaan

ekosistem mangrove disarankan skenarionya: 100% hutan mangrove tetap

dipertahankan seperti kondisi saat ini, sebagai pilihan pengelolaan yang paling

optimal, kenyataannya, telah terjadi pengurangan hutan mangrove, di Pulau Jawa,

pada tahun 1997 saja luasnya sudah tinggal 19.077 ha (data tahun 1985 seluas

170.500 ha) atau hanya tersisa sekitar 11,19 persen saja (Savitri dan M. Khazali.

(33)

Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha menjadi

hanya 500 ha (8 %), kemudian di Jabar, dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha.

Sedangkan di Jateng, tinggal 13.577 ha dari 46.500 ha (tinggal 29 %). Sementara luas

tambak di Pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jabar (50.330 ha), Jateng

(30.497 ha), dan di Jatim (47.913 ha). Dikhawatirkan apabila di waktu mendatang

dilakukan ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove atau terjadi

pengrusakan dan penyerobotan lahan hutan mangrove, maka kemungkinan besar akan

sangat sulit untuk mendapatkan hutan mangrove di Jawa, bahkan di daerah manapun

di Indonesia ini (Savitri dan Khazali, 1999).

Mengingat betapa pentingnya arti kelestarian hutan mangrove ini bagi

kelangsungan hidup ekosistem kelautan maka sudah selayaknya dan sewajarnya

apabila pemerintah daerah memperhatikan keselamatan hutan-hutan mangrove yang

ada di wilayahnya (Rahmawati, 2006).

Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan

khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau

kecil, dan merupakan potensi sumber daya alam yang sangat potensial. Hutan

mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan

terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan

dan pengelolaannya (Dahuri, 1991).

Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena

merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.

Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga

(34)

mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan

atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman

sedimentasi, abarasi, pencegahan intrsi air laut , serta sebagai sumber pakan habitat

biota laut (Khazali, 2005).

Kondisi hutan mangrove pada umumnya memiliki tekanan berat, sebagai

akibat dari tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain dirambah dan atau

dialih fungsikan, kawasan mangrove di daerah Batubara, untuk kepentingan tambak,

kini marak terjadi. Akibat yang ditimbulkan terganggunya peranan fungsi kawasan

mangrove sbagai habitat biota laut, perlindungan wilayah pesisir, dan terputusnya

mata rantai makanan bagi bioata kehidupan seperti burung, reptil, dan berbagai

kehidupan lainnya (Savitri dan Khazali, 1999)

Tekanan terhadap hutan mangrove di wilayah Kabupaten Batubara, sebagai

akibat tumbuh berkembangnya pusat-pusat kegiatan dan aktivitas manusia; juga

disebabkan oleh beberapa aspek kegiatan antara lain; (a) pengembangan permukiman,

(b) pembangunan fasilitas rekreasi, (c) pemanfatan lahan pasang surut untuk

kepentingan budidaya pertambakan (Rahmawati, 2006).

Selain terciptanya perubahan dan kerusakan lingkungan, di bagian wilayah

hulu juga ikut andil dalam memperburuk kondisi kawasan pantai. Berbagai bentuk

masukan bahan padatan sedimen (erosi), bahan cemaran baik yang bersumber dari

industri maupun rumah tangga, merupakan salah satu faktor penyebab penyebab

pendangkalan pantai dan keruskan ekosistem mangrove (Savitri dan Khazali, 1999).

Mencermati atas uraian fenomena atas dasar laporan hasil kajian di atas, maka

(35)

1. Kawasan mangrove sebagai jalur penyangga wilayah pantai dan kawasan pantai

Batubara peranan fungsi ekosistemnya terganggu: dan memberikan

kecenderungan semakin teancamnya sumberdaya alam hayati baik kehidupan

flora maupun fauna;

2. Tatanan sosial masyarakat terdekat dengan kwasan jalur penyangga baik di

darat maupun di Kawasan Pantai Bunga, tingkat ekonominya sangat rendah

dibanding dengan tingkat sosial masyarakat daerah lain.

2.4. Kedudukan Kawasan Manggrove dan Peranan Fungsi Ekosistemnya

Pada ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai dengan

habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut. Pada

masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya mulai dari

pantai hingga ke daratan, dengan urutn jenis paling luar dijumpai Avecennia sp, dan

secara berangsur-angsur diikuti oleh jenis-jenis Rhizopra sp, Bruguiera sp, Ceriops

sp dan Xylocarpus sp (Dahuri, 1991).

Karakteristik mngrove yang menarik, merupakan hasil adaptasi terhadap

lingkungan dan atau habitatnya. Tapak mangrove bersifat anaerobik bila dalam

keadaan terendam; oleh karena itu beberapa jenis mangrove mempunyai sistem

perakaran udara yang spesifik. Akar tunjang (stilt roots) dijumpai pada genus

Rhizopora, akar napas (pneumatophores) pada genus Avicennia dan sonneratia; akar

lutut (knee roots) pada genus Bruguiera; dan akar papan (plank roots) yang dijumpai

pada genus Xylocarpus (Dahuri, 1991).

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan, mempunyai

(36)

fungsi fisik mangrove mampu mengendalikan abrasi dan penyusupan air laut (intrusi)

ke wilayah daratan; serta mampu menahan sampah yang bersumber dari daratan,

yang dikendalikan melalui sistem perakarannya (Onrizal, 2002).

Jasa biologis mangrove sebagai sempadan pantai, berperan sebagai penahan

gelombang , memperlambat arus pasang surut, menehan serta menjebak besaran laju

sedimentasi dari wilayah atasnya. Selain itu komunitas mangrove juga merupakan

sumber unsur hara bagi kehidupan hayati (biota perairan) laut, serta sumber pakan

bagi kehidupan biota darat seperti burung, mamalia dan jenis reptil. Sedangkan jasa

mangrove lainnya juga mampu menghasilkan jumlah oksigen lebih besar dibanding

dengan tetumbuhan darat (Onrizal, 2002).

Peranan fungsi ekologis kawasan mangrove yang merupakan tempat

pemijahan, asuhan dan mencari maka bagi kehidupan berbagai jenis biota perairan

laut, di sisi lain kawasan mangrove juga merupakan wahana sangtuari berbagai jenis

satwa liar, sepeti unggas (burung), reptil dan mamalia terbang, serta merupakan

sumber pelestarian plasama nuftah (Sukarjo,1993).

Manfaat ekonomis mangrove, juga cukup memegang peranan penting bagi

masyarakat, karena merupakan wahana dan sumber penghasilan seperti ikan, ketam,

kerang dan udang, serta buah beberapa jenis mangrove dapat dimanfaatkan sebagai

bahan makanan. Manfaat lainnya merupakan sumber pendapatan masyarakat melalui

budidaya tambak, kulit mangrove bermanfaat dalam industri penyamak kulit, industri

batik, patal, dan pewarna jaring, serta sebagai wahana wisata alam, penelitian dan

(37)

Mencermati atas karakteristik ekosistem dan peranan fungsinya, nampaknya

degradasi (kerusakan) kawasan mangrove akan menyebabkan berbagai fenomena

baik terhadap kehidupan biota perairan, dan kehidupan liar lainnya, maupun sebagai

sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan pembangunan

dan pengembangan kawasan “tambak” yang kurang terkontrol, akan menyebabkan

terdegradasinya habitat maupun vegetasinya, yang secara langsung mupun tidak

langsung peranan fungsi menjadi terganggu (LKBN Antara, 2006).

Mencermati uraian di atas serta rendahnya pengetahuan masyarakat awam

terhadap makna konservasi sumber daya mangrove, maka kondisi dan keberadaan

kawasan mangrove secara alamiah di daerah dihadapkan pada tiga tantangan strategis

yaitu :

1. Pengelolaan secara profesional untuk tujuan pelestarian, penyelamatan

(pengamanan), dan pemanfaatan secara terbatas berdasarkan peranan

fungsinya.

2. Meningkatkan kualitas baik terhadap habitat dan jenis, untuk

mempertahankan keberadaan sebagai akibat terdegradasinya kawasan, baik

karena ulah aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, maupun secara

alami (abrasi), sedimentasi dan pencemaran limbah padat (sampah).

3. Pengembangan kawasan-kawasan berhabitat mangrove, untuk dijadikan

kawasan hijau hutan kota berbasis mangrove (Departemen Kehutanan, 2007).

Mengacu terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

sumberdaya Alam Hayati, bahwa pengertian konservasi pada hakikatnya merupakan

(38)

secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Dalam pada

itu, tindakan konservasi yang dilakukan mencakup tiga kegiatan yaitu : (1)

perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan keragaman jenis baik

flora maupun fauna termasuk ekosistemnya, dan (3) pemanfaatan sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya secara optimal dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan,

2007)

Dalam pada itu, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity), merupakan

bagian tak terpisahkan dari pengertian sumber daya alam hayati, dimana kawasan

jalur penyangga wilayah pantai, termasuk di dalamnya. Hal ini mengingat ada tiga

komponen konservasi yang harus ditangani yaitu : (1) degradasi kawasan penyangga,

(2) tatanan kehidupan sosial masyarakat , dan (3) keikutsertaan masyarakat dalam hal

pemanfaatan sumber daya secara optimal berkelanjutan (Sukarjo, 1993).

Di beberapa daerah, keanekaragaman hayati merupakan sumber daya vital,

sebagai penyangga dan penyeimbang lingkungan hidup wilayah perkotaan yang

diperankan oleh tabiat ekosistemnya. Pengaruh aktivitas manusia sejak dekade abad

XVII telah berlangsung, namun demikian pada abad terakhir ini pengaruh tersebut

meningkat secara dramatis. Berkurang dan berubahnya kawasan mangrove di jalur

penyangga sempadan pantai bukan saja kibat pengaruh alam, akan tetapi lebih nyata

akiba desakan alih fungsi kawasan. Sebagai akibat yang ditimbulkannya, hilangnya

jenis-jenis satwa liar karena daya dukung habitatnya yang tidak memadai lagi

(39)

Demikian halnya dengan semakin berkurang dan berubahnya kawasan hijau

penyangga sempadan sungai, hingga menyebabkan kurang nyamannya kehidupan

masyarakat di sekitarnya. Secara umum ada tiga alasan mendasar mengapa

konservasi keanekaragaman hayati perlu dilakukan :

1. Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari prinsip hidup hakiki.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa setiap jenis kehidupan liar

(flora dan fauna) mempunyai hak untuk hidup. Hal ini mengingat bahwa

dalam Piagam PBB tentang sumber daya alam, menegaskan bahwa setiap

bentuk kehidupan wajib dihormati tanpa mempedulikan nilainya bagi

manusia.

2. Ragam hayati, pada dasarnya sebagai bagian dari daya hidup manusia.

Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa ragam hayati membantu

planet bumi untuk tetap hidup, karena memainkan peranan penting dalam

halsistem penunjang kehidupan, mulai dari mempertahankan keseimbangan

materi kimiawi (melalui siklus biogeokimia), dan mempertahankan kondisi

iklim, daerah aliran sungi (DAS) serta berfungsi untuk memperbarui tanah

dan komponennya.

3. Ragam hayati menghasilkan manfaat ekonomi. Pengertian tersebut

memberikan gambaran bahwa ragam hayati merupakan sumber dari seluruh

kekayaan sumber daya biologis yang memilki nilai ekonomis. Dari ragam

hayati, manusia memperoleh makanan, kesehatan karena mampu

menyediakan oksigen (O2) bebas, serta memiliki nilai budaya yang spesifik

(40)

Dari tiga uraian alasan di atas, memberikan gambaran bahwa keragaman

hayati merupakan bagian tak terpisahkan dari konsep pengembangan pemulihan

kawasan (hutan) mangrove yang dinilai telah terdegradasi (Sukarjo,1993).

Dalam Keppres 32 Tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,

dijelaskan bahwa kawasan penyangga pada dasarnya merupakan buffer yang

berfungsi sebagai perlidungan terhadap kawasan yang dilindungi (protected area).

Dalam kontek kawasan penyangga pantai, dimaksudkan sebagai kawasan (jalur) yang

berfungsi sebagai perlindungan terhadap keutuhan pantai dan atau pesisir. Jalur

penyangga ini dapat berupa komunitas vegetasi atau (formasi) pantai dan atau

mangrove.

2.5. Konsepsi Dasar dan Arahan Pemulihan Kawasan Manggrove

Mencermati uraian pentingnya konservasi sumber daya alam hayati, dengan

demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove dalam bidang

konservasi dapat dilakukan melalui (1) penanganan dan pengendalian lingkungan

fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya, (2) pemulihan secara ekologis baik

terhadap habitat maupun kehidupannya, (3) mengharmoniskan perilaku lingkungan

sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui, mengerti, memahami, hingga pada

akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung jawab untuk mempertahankan,

melestarikannya, serta (4) meningkatkan akuntabilitas kerja institusi yang

bertanggung jawab dan atau pihak-pihak terkait lainnya (Sukarjo, 1993).

Adapun langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan pengendalian

(41)

peningkatn kualitas habitat, dan (b) peningkatan pemulihan kualitas kawasan hijau

melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau perkayaan jenis tetumbuhan yang

sesuai (Sukarjo, 1993).

Terhadap pemulihan habitat, dilakukan terhadap kawasan-kawasan

terdegradasi atau terganggu fungsi ekosistemnya, untuk pengembalian peranan fungsi

jasa bio-eko-hidrologis, dilakukan dengan cara : (a) rehabilitasi, dan atau (b)

reklamasi habitat; sedangkan peningkatan kualitas kawasan hijau dilakukan dengan

pengembangan jenis-jenis tetumbuhan yang erat keterkaitannya dengan sumber

pakan, tempat bersarang atau sebagai bagian dari habitat dan lingkungan hidupnya

(Sukarjo,1993).

Mengharmonisasikan perilakulingkungan sosial dapat dilakukan dengan cara

memberikan penyuluhan, pelatihan, dan atau menunjukkan contoh-contoh aktivitas

yang berwawasan pelestarian lingkungan.

Agar langkah kongkrit di atas dapat dilakukan serasi dan selaras serta sejalan

berdasarkan kaidah-kaidah konservasi, akuntabilitas kinerja petugas juga perlu

dibekali dengan pengetahuan yang dinilai memadai (Sukarjo,1993).

2.6.

Secara global, sektor pariwisata (termasuk ekowisata) pada saat ini menjadi

harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia sebagai sektor yang dapat diandalkan

dalam pembangunan ekonomi. Pada saat ini sektor pariwisata telah menjadi idustri

swasta yang terpenting di dunia. Menurut

Paradigma Baru Pembangunan Ekowisata

(42)

terbukti pada tahun 1993 pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dengan

pendapatan lebih dari US$ 3,5 triliyun atau 6 % dari seluruhnya (Omarsaid,1999).

Masalah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan pada saat ini sangat

menonjol dan menjadi isu internasional yang mendapat perhatian khusus. Di sisi lain,

justru kepariwisataan alam mengalami perkembangan yang meningkat dan signifikan.

Kepariwisataan alam kemudian berkembang ke arah pola wisata ekologis yang

dikenal dengan istilah ekowisata (ecotourism) dan wisata minat khusus (alternative

tourism). Pergeseran dalam kepariwisataan internasional terjadi pada awal dekade

delapan puluhan. Pergeseran paradigma pariwisata dari mass tourism ke individual

atau kelompok kecil, maka wisata alam sangat berperan dalam menjaga keberadaan

dan kelestarian obyek dan daya tarik wisata (ODTW) alam pada khususnya dan

kawasan hutan pada umumnya. Pergeseran paradigma tersebut cukup berarti dalam

kepariwisataan alam sehingga perlu diperhatikan aspek ekonomi, ekologi, dan

masyarakat lokal/sosialnya (Omarsaid,1999).

Wisatawan saat ini sangat peka terhadap permasalahan lingkungan.

Menyesuaikan dengan kondisi positif ini, konsep-konsep pariwisata dikembangkan

sehingga timbul inovasi-inovasi baru dalam kepariwisataan. Salah satu konsep

pariwisata yang sedang marak ialah ekowisata, dengan berbagai teknik pengelolaan

seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang berbasiskan masyarakat yang

dilaksanakan secara terpadu, dimana dalam konsep pengelolaan ini melibatkan

seluruh stakeholder yang kemudian menetapkan prioritas–prioritas. Dengan

(43)

berpedoman tujuan utama, yaitu tercapainya pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan (Omarsaid,1999).

Konsep ekowisata ini dinilai cocok untuk dikembangkan di Indonesia,

dengan beberapa alasan yang melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan

keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada sumberdaya alam dan budaya

sebagai atraksi. Namun disisi lain Indonesia juga mengalami ancaman terbesar dari

degradasi keanekaragaman hayati baik darat maupun laut, sehingga memerlukan

startegi yang tepat dan alat/sarana yang tepat pula, guna melibatkan kepedulian

banyak pihak, untuk menekan laju kerusakan alam (Sukarjo,1993).

Kedua pelibatan masyarakat, konsep ini cocok untuk mengubah

kesalahan-kesalahan dalam konsep pengelolaan pariwisata terdahulu, yang lebih bersifat

komersial dan memarginalisasikan masyarakat setempat, serta mampu menyerap

tenaga kerja yang lebih besar. Namun lebih dari itu, demi keberhasilan usaha ini tidak

semua kawasan yang memiliki mangrove memiliki potensi pariwisata untuk

dikembangkan, yang mana dapat ditentukan atas faktor-faktor lokasi yang harus

memenuhi kategori seperti keunikan dan dapat dijangkau, Perencanaan ekowisata dan

persiapan oleh masyarakat untuk menjalankan ekowisata sebagai usaha bersama,

Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kegiatan ekowisata, interpretasi atas

alam dan budaya yang baik. Kemampuan untuk menciptakan rasa nyaman, aman

kepada wisatawan, dan juga usaha pembelajaran kepada wisatawan, serta menjalin

hubungan kerja yang berkelanjutan kepada pemerintah dan organisasi-organisasi lain

(44)

Dilemanya ialah kegiatan pariwisata tidak melulu menghasilkan hal-hal yang

indah atau ideal, bahkan sangat sering hal-hal negatif dalam lingkungan dan

masyarakat karena kegiatan pariwisata yang terlalu intensif dan secara bersamaan

tidak terkelola dengan baik, dan akhirnya membunuh sumber daya yang melahirkan

pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan ekowisata harus dilakukan

secara berkelanjutan, yaitu dengan memperhatikan lingkungan, masyarakat dan

pergerakan perekonomian yang terjadi sebelum dan selama ekowisata dijalankan.

Ekowisata mampu memberikan kontribusi secara langsung melalui konservasi, yang

artinya mendapatkan dana untuk menyokong kegiatan konservasi dan pengelolaan

lingkungan, termasuk didalamnya penelitian untuk pengembangan. selain itu,.

Kontribusi ekowisata secara tidak langsung melalui konservasi untuk meningkatnya

kesadaran publik terhadap konservasi pada tingkat lokal, nasional bahkan

internasional. Selain itu, pendidikan konservasi selama berwisata menjadi bagian

pengalaman yang terbentuk selama wisatawan berekowisata, yaitu dengan melibatkan

wisatawan secara langsung terhadap kegiatan pelestarian (sekaligus meningkatkan

kualitas produk ekowisata yang ditawarkan) (Omarsaid,1999).

2.8. Persepsi Masyarakat

(45)

1. Menurut kamus besar bahasa Indonesia persepsi diartikan sebagai tanggapan

(penerimaan) langsung dari sesuatu: serapan atau proses seseorang mengetahui

beberapa hal melalui panca inderanya.

2. Rahmat J. (1998) menjelaskan persepsi adalah pengalaman tentang objek,

pariwisata atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan atau persepsi ialah: memberikan makna pada

stimulasi (sensory stimuli) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.

3. Menurut Harvey dan Smith (dalam Sajogjo, 1982) persepsi adalah; suatu proses

untuk membuat penilaian (judgment) atau membangun kesa (impression)

mengenai berbagai macam hal yang terdapat di lapangan penginderaan

seseorang.

4. Atkiston (1987) menjelaskan bahwa presepsi adalah: penelitian bagaimana kita

mengintegrasikan sensasi ke dalam percepsi itu mengenali dunia (percepts adalah

hasil dari proses perceptual)

5. David Krech dalam Suparni (1992) mendefinisikan persepsi adalah : peta

kognitif individu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan fisik,

melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai

objek tertentu, diseleksi dengan kepentingan utamannya dan dipahami menurut

kebiasaanya

Sesuai dengan pendapat-pendapat para ahli diatas, bahwa persepsi dapat

diartikan sebagai penerimaan stimulus, pengolahan stimulus dan penerjemahaan atau

penafsiran stimulus yang telah diorganisasi untuk mempengaruhi prilaku dan

(46)

Sedangkan faktor-faktor yang menentukan presepti meliputi faktor struktural

berasal dari sifat stimuli fisik dan efek syaraf yang ditimbulkan, faktor fungsional

meliputi kebutuhan, pengalaman masa lalu juga segi-segi personalnya, dijelaskan

bahwa menentukan presepsi buka jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang

yang memberikan respon dari stimuli tersebut dan faktor-faktor perhatian yang

dipengaruhi oleh pengaruh internal seperti pengaruh biologis, pengaruh sosio

psikologis, pengaruh kimia dan juga pengaruh eksternal seperti gerakan intensitas

stimuli, waktu terjadinnya stimuli dan perulangan

Persepsi merupakan kesadaran atau pengetahuansuatu organism tentang

obyek-obyek dan kejadian-kejadian yang ada di lingkungan yang dimunculkan oleh

rangsangan organ-organ indera sensoris, hal ini menunjuk pada cara bagaimana kita

menafsirkan dan menata informasi yang kita terima melalui alat indera.

Adanya faktor subyektif yang mempengaruhi persepsi maka dimungkinkan

terjadi persepsi seseorang terhadap hal yang sama berbeda dengan persepsi orang

lain. Selain itu persepsi juga menentukan lebih lanjut secara berbeda atas seseorang

dengan yang lain, mengenai apa dan bagaimana yang akan mereka lakukan sebagai

implikasinya. Karena persepsi mengenai hutan mangrove yang berbeda, maka

terjadilah prilaku yang berbeda, sebagai contoh: masyarakat Jawa Barat pada

umumnya lebih menyukai pantainya bersih dari mangrove karena mangrove dianggap

sebagai sarang nyamuk dan ular, sedangkan masyarakat Muara Angke segan

menanam mangrove karena mangrove digunakan sebagai tempat bersarang burung

(47)

mangrove agar mereka tetap dapat berburu udang sungai memakan sejenis cacing

(tambelo) yang hidup di batang mangrove sedangkan masyarakat Sinjai Timur

(Sulsel) sangat mendukung konservasi mangrove karena dapat membuktikan bahwa

ketika mangrove ditanam subur ikan lebih mudah ditangkap dan jumlahnya banyak

(Arimbi, 1993).

2.9. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat secara umum merupakan suatu proses yang melibatkan

masyarakat. Peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antara

dua kelompok atau sebagai proses dimana masalah- masalah dan kebutuhan

lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Secara sederhana

didefinisikannya sebagai feed forward information (komunikasi dari pemerintah

kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feed back information (komunikasi

dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan) (Arimbi,1993).

Keterlibatan secara aktif dari masyarakat atau sering disebut partisipasi adalah

sangat menentukan dalam rangka keberhasilan mencapai tujuan pembangunan

termasuk rehabilitasi hutan dan lahan. Tjokroamidjojo 1996 mengatakan, bahwa

berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif

dari masyarakat pada umumnya. Tidak saja dari pengambilan kebijakan tertinggi,

para perencanaan, pegawai pelaksana operasional, tetapi juga dari petani-petani,

nelayan, buruh, pedagang kecil, pengusaha dan lain-lain, keterlibatan aktif ini disebut

(48)

Menurut Soetrisno (1995), partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah

mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Partisipasi rakyat dalam pembangunan adalah

kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan

membiayai pembangunan. Ada 9 (sembilan) tipe partisipasi yang dapat terjadi dalam

pembangunan di daerah, yaitu :

1. Partisipasi tipe sukarela dengan inisiatif dari bawah

2. Partisipasi dengan imbalan yang inisiatifnya datang dari bawah

3. Partisipasi desakan atau paksaan (enforced) dengan inisiatif dari bawah

4. Partisipasi sukarela (volunteered) dengan inisiatif dari atas

5. Partisipasi imbalan (rewarded) dengan inisiatif dari atas

6. Partisipasi paksaan dengan inisiatif dari atas

7. Partisipasi sukarela dengan inisiatif bersama (through shared initiative)

8. Partisipasi imbalan dengan inisiatif bersama, dan

9. Partisipasi paksaan dengan inisiatif bersama (dari atas dan dari bawah)

Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan berarti adanya

tindakan nyata yang dilakukan masyarakat dalam berbagai upaya pengendalian

dampak lingkungan. Peran masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 berbunyi:

“Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka

pengelolaan lingkungan hidup”. Kemudian dipertegas dalam penjelasan bahwa hak

dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam

(49)

tahap pelaksanaan dan penilaian. Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa

peran serta masyarakat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:

a. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan

b. Menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat

c. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan

sosial.

d. Memberikan saran dan pendapat,dan

e. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan

2.9.1. Pentingnya Partisipasi

Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting dalam pembangunan,

sehingga hampir semua negara mengakui adanya kebutuhan akan partisipasi dalam

semua proses pembangunan. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep pembangunan

dari bawah yang melibatkan peran serta masyarakat (bottom up) untuk mengimbangi

modus konsep pembangunan dari atas (top down) (Zulkarnain dan Dodo, 1989).

Pentingnya partisipasi dari seluruh masyarakat dapat dilihat : pertama,

partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai

kondisi, kebutuhan masyatakat setempat, yang tanpa kehadirannya program

pembangunan serta proyek-proyeknya akan gagal; kedua ,bahwa masyarakat akan

lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam

proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk

(50)

ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam

pembangunan masyarakat mereka sendiri (Zulkarnaen dan Dodo,1989).

Atmanto (1995), mengemukakan unsur penting dari partisipasi adalah:

1. Komunitas yang menumbuhkan pengertian yang efektif

2. Perubahan sikap, pendapat dan tingkah laku yang diakibatkan oleh pengertian

yang menumbuhkan kesadaran

3. Kesadaran yang didasarkan atas perhitungan dan pertimbangan

4. Spontanitas yaitu kesediaan melakukan sesuatu yang tumbuh dari dalam lubuk

hati sendiri tanpa dipaksa orang lain dan

5. Adanya rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama.

2.9.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh beberapa factor

yang akan mempengaruhi besar kecilnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Sastropoetro (1988) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi

masyarakat :

1. Pendidikan, kemampuan membaca dan menulis, kemiskinan, kedudukan

sosial dan percaya terhadap diri sendiri.

2. Penginterpretasian

3. Kecenderungan untuk menyalah artikan motivasi,tujuan dan kepentingan

organisasi penduduk yang biasanya mengarah pada timbulnya persepsi yang

salah terhadap keinginan dan motivasi serta organisasi penduduk seperti

(51)

4. Kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan dan tempat tinggal.

Gambar

Tabel 1. Luas Kecamatan Talawi per Desa Tahun 2010 (Kecamatan Talawi Dalam Angka, 2010)
Tabel 2.  Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Talawi Tahun 2010 (Kecamatan Talawi Dalam Angka, 2010)
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Talawi Berdasarkan Umur Tahun  2010 (Kecamatan Talawi Dalam Angka, 2010)
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kecamatan Talawi Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010 (Kecamatan Talawi Dalam Angka, 2010)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan prosedur lelang pemilihan jasa konsultansi Perencanaan Teknis Sarana dan Prasarana Gedung Kampus 2 IAIN Palu pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Aturan yang berupa larangan dan sanksi yang diberlakukan dalam Hukum Adat Sasi di Desa Ohoider Tawun sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa tersebut

Apakah ada hubungan yang signifikan antara tiap dimensi adjustment problems (tugas sekolah yang tidak menantang, miskinnya hubungan interpersonal, harapan orang tua,

siswa pada penerapan model pembelajaran Inside-Outisde Circle (IOC) dan model pembelajaran make a match dalam materi penyajian data di kelas VII SMP (2) nilai peningkatan

Wajo selama ini menerapkan pembelajaran fisika yang konvensional yaitu pembelajaran yang dilakukan di kelas denga metode ceramah terhadap siswa, terbatasnya model-model

Validitas item dari suatu tes adalah ketepatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir item, dalam mengukur apa yang seharusnya diukur lewat butir tersebut. 40 Tinggi rendahnya skor

Objektif umum kajian ini adalah untuk mengenal pasti hubungan antara peruntukan masa, jenis dan cara pengelolaan guru terhadap kerja rumah bagi mata pelajaran Bahasa Cina dengan

Bagaimana pengaruh struktur kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, debt covenant, dan growth opportunities secara simultan terhadap konservatisme akuntansi pada sektor