METAFORA DALAM PERIBAHASA BAHASA MELAYU
DIALEK BATUBARA
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
NAMA
: DEDY RAHMAD SITINJAK
NIM
: 070702003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU
MEDAN
METAFORA DALAM PERIBAHASA BAHASA MELAYU
DIALEK BATUBARA
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
NAMA : DEDY RAHMAD SITINJAK
NIM : 070702003
Diketahui Oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dra.Rozanna Mulyani, MA Dra.Asriaty R. Purba, M.Hum Nip.196006091986122001 Nip.196211221987031002
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk melengkapai salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Melayu.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN SASTRA DAERAH
PENGESAHAN
Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Pada : Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan
Dr. Syahron Lubis, M. A Nip :195110131976031001
Panitia Ujian :
No Nama Tanda Tangan
1. ……….. ………
2. ……….. ………
3. ……….. ………
4. ……….. ………
Disetujui Oleh :
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
Departemen Bahasa dan Sastra Daerah Ketua
KATA PENGANTAR
Dengan kerendahan hati yang mendalam penulis mengucapkan Alhamdullilahi Rabbil Alamin ke hadirat Allah SWT, karena atas segala karunia dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, seorang tokoh revolusioner dunia yang memiliki akhlak Al-Qur’an sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia.
Skripsi ini berjudul “Metafora Dalam Pribahasa Bahasa Melayu Dialek Batubara
Kendatipun demikian hal terbesar yang menginspirasi penulis menganggkat “
”. Penulis sengaja mengangkat judul ini sebagai judul skripsi penulis, karena belum ada yang menulisnya, dan juga dilatarbelakangi terhadap penutur bahasa daerah terutama generasi muda yang hampir meninggalkan bahasa daerahnya atau bahasa ibunya. Penulis juga menulis skripsi ini sebagai tugas akhir di Fakultas Ilmu Budaya USU dalam Bidang Ilmu Bahasa Daerah.
Metafora Dalam Pribahasa Bahasa Melayu Dialek Batubara
Penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang , rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II merupakan kajian pustaka yang terdiri atas kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan, Bab III terdiri atas metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, dan metode analisis data, Bab IV merupakan pembahasan tentang masalah yang ada pada perumusan masalah, dan Bab V merupakan kesimpulan dan saran.
” sebagai judul skripsi ini adalah agar takkan
hilang Melayu di bumi sebagai wujud kecintaan penulis terhadap budaya daerah sebagai warisan
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan dan pengkajian bahasa khususnya bahasa daerah yang dapat dijadikan acuan yang baik bagi generasi muda yang bergerak dalam bidang linguistik, serta tertarik untuk mendalami skripsi ini.
Medan, Desember 2011
ABSTRAKSI
Masyarakat Melayu yang selalu menjaga kelestarian budayanya seperti adat istiadat bahkan kebiasaan berbahasanya yang terkesan lembut menjadikan masyarakat Melayu memiliki ciri tersendiri. Kebiasaan berbahasa ini sering dilakukan masyarakat Melayu melalui peribahasanya.
Kebiasaan masyarakat Melayu berperibahasa yang selalu memiliki makna, fungsi, serta tujuan tersendiri menjadikan bahasanya mengandung metafora, begitu juga dengan masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara yang mana kebiasaan berperibahasa masih sering dijumpai pada masyarakat setempat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi karunia kesehatan, kesempatan, kekuatan dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus- tulusnya atas bantuan tenaga dan pikiran, serta bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A, Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, maka penulis dapat menyelesaikan studi pada waktu yang tepat. 2. Bapak Drs Warisman Sinaga M. Hum. sebagai Ketua Departemen Bahasa dan Sastra
Daerah Fakultas Ilmu Budaya USU, dan sekaligus dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing dan juga mengarahkan penulis selama studi di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Ibu Dra Herlina Ginting, M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan yang selalu memberi saran serta petunjuk kepada penulis hingga selesai skripsi ini.
4. Ibu Dra. Rozanna Mulyani, M.A. sebagai dosen pembimbing I dan Ibu Dra.Asriaty. R. Purba, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang memberikan perhatian dan senantiasa ramah dan bermurah hati membimbing penulis selama belajar di Departeman Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
urusan administrasi selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
6. Rekan-rekan aktivis se kawasan Fakultas Ilmu Budaya USU (Hasan Basri Hasibuan selaku Ketua HMI Kom’s FIB, Krisman selaku Ketua GMKI, Joko Syahputra selaku Ketua TO, dan Ketua HMD sekawasan Fakultas Ilmu Budaya dll…), sekawasan USU (Aulia FMIPA, Zulkadri Habibi FKG, Mahdi Fauzi FP, Trisnal FT, Bin Arts FH, Amalia Akitahara FKM, dll… ), sekawasan medan (Azhar, Sayuti, Adelwis IAIN, Habibi UMA, Tengku Putri UISU, Heri Dinata UMSU, dll…), yang selalu memberi motivasi dan memberi waktu untuk berdiskusi dan berjuang tentang akademis.
7. Rekan-rekan di IMSAD (Karo, Zoefri, Rina, HDS Group, Elisabeth, Bobers, Girson, Ardiani, Anke, F4 Group, Cuya, Bee M Zein, Taqim, Nadila, Fadhlan, Kibo, Amoy, Cii Wiwik, Cherly, Panji, Hanafi, Fanny, Hendra, Nuari dll…), yang telah menemani dan memberi dorongan dalam perkulihan.
8. Kepada kedua orang tua penulis ISKANDAR SITINJAK selaku ayah dan ZUBAIDAH SINAGA selaku ibu yang telah susah payah untuk membesarkan, mendidik, membiayai dan selalu menyayangi hingga penulis dapat menyelesaikan dengan mudah masa perkuliahan. Serta kakak , adik dan seluruh keluarga yang selalu memberikan motivasi dan semangat.
9. Keluarga besar Hijau Hitam Fak Ilmu Budaya (MPKPK FIB, Bg Eko, Bg Daru, Bg Zulfan, Bg Izala, Bg Palit, Golden Generation 06, Power Generation 07 And 08 Forever, dll…. ) yang selalu mewarnai dinamika saat penulis kuliah di Fakultas Ilmu Budata Universitas Sumatera Utara Medan sehingga mendapat banyak pelajaran yang menambah kedewasaan untuk penulis.
ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini tidak luput dari kekurangan maupun kesilapan karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Medan, , 2011 Penulis
DAFTAR ISI
halaman
KATA PENGANTAR……….…… i
UCAPAN TERIMAKASI……….. iii
DAFTAR ISI……….………...…... vi
BAB I PENDAHULUAN………... 1
1.1 Latar Belakang……… 1
1.2 Rumusan Masalah……….. 8
1.3 Tujuan Penelitian………... 9
1.4 Manfaat Penelitian……….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 10
2.1 Kepustakaan Yang Relevan………. 10
2.2 Teori Yang Digunakan..……….. 14
BAB III METODE PENELITIAN ………...……. 18
3.1 Metode Dasar………... 18
3.2 Lokasi Penelitian…...…….………... 18
3.3 Jenis dan Sumber Data...………. 19
3.4 Instrumen Penelitian ………... 19
3.6 Metode Analisis Data... 20
BAB IV PEMBAHASAN ... 21
4.1. Metafora Dalam Peribahasa Bahasa Melayu Dialek Batubara... 21
4.1.1. Metafora Bercitrakan Antromorfik... 21
4.1.2. Metafora Bercitrakan Hewan... 29
4.1.3. Metafora Bercitrakan Abstrak Ke Kongkrit... 37
4.1.4. Metafora Bercitrakan Sinestesia... 49
4.2. Fungsi Pribahasa Dalam Bahasa Melayu Dialek Batubara...…... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 57
5.1. Kesimpulan ... 57
5.2. Saran... 58
DAFTAR PUSTAKA... 59
LAMPIRAN
1. Data Informan.
ABSTRAKSI
Masyarakat Melayu yang selalu menjaga kelestarian budayanya seperti adat istiadat bahkan kebiasaan berbahasanya yang terkesan lembut menjadikan masyarakat Melayu memiliki ciri tersendiri. Kebiasaan berbahasa ini sering dilakukan masyarakat Melayu melalui peribahasanya.
Kebiasaan masyarakat Melayu berperibahasa yang selalu memiliki makna, fungsi, serta tujuan tersendiri menjadikan bahasanya mengandung metafora, begitu juga dengan masyarakat Melayu di Kabupaten Batubara yang mana kebiasaan berperibahasa masih sering dijumpai pada masyarakat setempat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Setiap manusia pasti menggunakan bahasa, baik bahasa lisan maupun
tulisan. sebab bahasa merupakan kegiatan rutin manusia yang alami sebagai
mana layaknya manusia bernafas. Bahasa merupakan alat komunikasi yang
berupa isyarat-isyarat vokal atau simbol yang dipakai oleh manusia untuk
menyampaikan pesan, gagasan, dan isi pikiran terhadap lawan bicara baik
bahasa lisan maupun tulisan.
Menurut rumusan linguistik (Ridwan,1995 : 15) bahasa adalah
isyarat-isyarat vokal yang arbiter (mana suka) yang digunakan oleh anggota
masyarakat (kelompok sosial) yang bermanfaat bagi kerjasama, saling
memahami, untuk mengenal dan memahami pribadi-pribadi, atau keperluan
harapan keinginan dan cita-cita. Menurut Chaer dan Agustina (1995 : 15) bahwa
bahasa adalah sebuah sistem artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah
kelompok yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan.
Bahasa tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial,
sebab fungsi bahasa sangat urgen (penting) bagi kehidupan manusia seperti apa
yang telah dinyatakan oleh Ritonga dan Mascahaya (2007 : 2) dalam bukunya
yang berjudul “Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa” bahwa secara umum
fungsi umum itu diperinci maka dapat dikatakan bahasa itu mempunyai fungsi
untuk :
a. tujuan praktis yaitu untuk mengadakan antar hubungan (interaksi) dalam
pergaulan sehari-hari.
b. tujuan artistik yaitu manusia mengolah dan mengungkapkan bahasa itu
dengan seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.
c. menjadi kunci pembelajaran pengetahuan-pengetahuan lain dan,
d. tujuan filologis yaitu mempelajari naskah-naskah tua untuk menyelidiki
latar belakang sejarah manusia, sejarah kebudayaan, sejarah adat, serta
perkembangan bahasa itu sendiri.
Jika dilihat dari penjelasan fungsi bahasa di atas, berarti bahasa sangat erat
kaitannya dengan segala aktivitas manusia yang ada di muka bumi ini, dapat
dikatakan bahwa fungsi bahasa sangat mempengaruhi tindak-tanduk
masyarakat.
Masyarakat Melayu merupakan masyarakat yang terkenal dengan seni
berbahasanya yaitu dengan pantun, peribahasa, dan ungkapan ini adalah budaya
yang tercermin dari masyarakat Melayu. Bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan bahkan disebut pula faktor dominasi dari kebudayaan
(Ridwan,dalam Ritonga dan Mascahaya, 2007 : 9)
Siregar (dalam Harahap dan Anuar, 2000 : 178) mengatakan bahwa
masyarakat Melayu Sumatera Timur menggunakan bahasa Melayu untuk
sehari-ungkapan. ini berhubungan pula dengan agama, keyakinan, pendidikan, ilmu
pengetahuaan, nilai hukum kekuasaan, pandangan masa depan, pandangan dan
sikap manusia. Pernyataan ini senada dengan apa dinyatakan oleh Alisyahbana
(dalam Harahap dan Anuar, 2000 : 48) bahwa pikiran dalam arti yang
seluas-luasnya, semata-mata berlaku dengan bahasa. Beliau juga menyatakan bahwa
bahasa itu adalah penjelmaan budi manusia yang paling jelas, terutama sekali
hubungan dengan kesanggupan untuk berpikir yang diberikan kepada manusia,
hubungan antara berpikir dengan bahasa adalah hubungan yang bersifat
dialektis. Tiap–tiap kemampuan berpikir membentuk konsep yang baru yang
menghendaki kata yang baru, contohnya, dalam pembentukan istilah–istilah
baru memberikan pijakan kepada pikiran yang terus memberi konsep baru yang
menghendaki kata yang baru pula.
Masyarakat Melayu seringkali dalam penyampaian sesuatu maksud tertentu
(berbahasa) menggunakan secara tidak langsung dan bersifat kiasan (methafora).
Banyak pertimbangan yang menyebabkan penyampaian maksud secara tidak
langsung, di antaranya menghindari ketersinggungan seseorang, dengan adanya
ujaran tertentu metafora ini sering digunakan untuk pengaburan arti bahasa.
Kecenderungan pemakaian metafora pada masyarakat Melayu yang sering
tampak antara lain, pada sastra lisan maupun tulisan, sebab masyarakat Melayu
terkenal dengan seni berbahasanya dan yang sering kita pahami dengan
peribahasa, pantun, gurindam, ungkapan, dan masih banyak lagi. Dan skripsi ini
penulis hanya membahas peribahasa yang ada pada masyarakat Melayu
dalam peribahasa bahasa Melayu dialek Batubara, yang digunakan oleh
masyarakat Melayu yang berada di wilayah kabupaten Batubara.
Jika mengkaji tentang peribahasa maka diketahui bahwa setiap bangsa
memiliki peribahasa dan kehadiran peribahasa dalam suatu bangsa sangat
dipengaruhi oleh pikiran, budaya, serta pengalaman yang ada pada suatu bangsa.
Masyarakat Melayu terkenal dengan sopan santun serta kecenderungan
berbasa basi. Bahasa Melayu pun mengikuti pula pola tingkah orang Melayu yang
cenderung menggunakan ungkapan yang tidak langsung dan bermakna
mendalam, contohnya adalah peribahasa, yang merupakan salah satu alat untuk
menyampaikan maksud secara tidak langsung dalam bahasa Melayu.
Dalam KBBI 1995 peribahasa adalah :
1. Kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya
mengiaskan maksut tertentu (dalam peribahasa termasuk bidal, ungkapan,
perumpamaan)
2. Ungkapan atau kalimat ringkasan padat yang berisi perbandingan,
perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau tingkah laku.
Kusmayadi (2008 : 78-79) mengatakan bahwa peribahasa itu adalah kalimat
atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan
tertentu. Dan Kusmayadi membagi peribahasa menjadi tiga bagian yaitu pepatah,
Peribahasa adalah ungkapan atau kalimat yang ringkas yang berisi
perbandingan, perumpamaan, nasehat, prinsip hidup, atau aturan aturan tingkah
laku. Peribahasa tidak sekedar hiburan semata, tetapi selalu ada pesan - pesan
moral yang dikemas dengan sangat cantik dan menarik sehingga pendengar atau
pembacanya memperoleh kearifan dari bentuk-bentuk peribahasa tersebut
(Sulisyo dan Sulisyo : 2007) dan Trianto (2006:52) menyatakn bahwa peribahasa
itu berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau tingkah laku
dan sumber peribahasa dapat berasal dari penghayatan masyarakat terhadap
kehidupan sehari-hari, ajaran agama, dan juga karya sastra.
Poerwadarminta (dalam Tarigan 1986:156) mengatakan peribahasa adalah
kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya. dan biasanya
mengiaskan suatu maksud tertentu. Pateda (2000:230) juga mengatakan bahwa
peribahasa itu adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan
biasanya mengiaskan maksud tertentu dan juga menyatakan bahwa di dalam
peribahasa termasuk juga bidal, perumpamaan, dan ungkapan.
Sudaryat (2009:89) mengatakan bahwa peribahasa adalah salah satu bentuk
idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan menunjukkan perlambang
kehidupan dan peribahasa itu meliputi pepatah, perumpamaan, dan pameo.
Akan tetapi Pratama (2008) menyatakan bahwa peribahasa itu meliputi
Untuk lebih jelas lagi maka penulis akan memaparkan jenis-jenis dari
peribahasa dan pengertiannya menurut para pakar.
- Pepatah
Menurut Pratama (2008) Pepatah adalah kiasan yang diungkapkan dengan
kalimat. Yang dikiaskan dengan keadaan atau prilaku seseorang, contoh : Rajin
pangkal kaya. Trianto(2006) Nababan (2008) dan Kusmayadi (2008) mengatakan
pepatah adalah peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran.
- Ungkapan
Menurut Trianto (2006) ungkapan adalah kelompok kata atau gabungan kata
yang menyatakan makna khusus maka kata pada ungkapan tidak dapat diartikan
kata perkata, Nababan (2008) mengatakan bahwa ungkapan adalah gabungan kata
atau prasa yang maknanya sudah menyatu dan tidak dapat ditafsirkan dengan
makna unsur yang membentuknya. Ungkapan adalah kiasan tentang keadaan atau
prilaku seseorang yang dituangkan dengan sepatah kata dan ungkapan tersebut
adalah bagian dari kalimat, contoh : Anak itu panjang tangan (suka mencuri)
Pratama (2008)
- Perumpamaan
Menurut Nababan (2008) dan Trianto (2006) perumpamaan adalah peribahasa
yang berisi perbandingan, biasanya menggunakan kata seperti bagai, bak, laksana,
dan lain-lain. Perumpamaan adalah kalimat yang mengungkapkan keadaan atau
Contoh : Bungkuk sehasta tidak terkedam (orang yang keras kepala dan susah
diatur) Pratama (2008).
- Ibarat atau Tamsil
Menurut Pratama (2008) Ibarat adalah perumpamaan, namun di dalam nya
terdapat penjelasan. Contoh : bagai kerakap diatas batu, hidup segan mati tak
mau. Tamsil yaitu peribahasa yang menggunakan pengandaiaan dalam
menjelaskan sesuatu tamsil digunakan untuk menyindir atau menasehati dengan
sedikit mengkritik contohnya tua-tua keladi makin tua makin menjadi, ibarat tebu
habis manis sepah dibuang (Sembobo 2009).
- Pameo
Menurut Djamaris (2001:33) pameo adalah kalimat (ungkapan) yang artinya
bertentangan atau tidak mungkin terjadi. Pameo adalah peribahasa yang dijadikan
semboyan contohnya Esah hilang dua terbilang, buruk muka cermin dibelah
(Darmayati dan Hidayani 2006:57) (Kusmayadi 2006:79). Menurut pratama
(2008) Pameo adalah kata-kata atau selogan yang menjadi populer karena sifatnya
memotivasi (memberikan semangat) atau sifatnya mengajak. Contoh :
memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat. Dan sekali
merdeka tetap merdeka.
Penulis mengangkat peribahasa sebagai suatu kajian linguistik melalui
metafora, akan tetapi karena cakupan peribahasa yang terlalu luas maka penulis
hanya membahas tentang peribahasa yang meliputi pepatah, ungkapan,
Melayu dialek Batubara yang cenderung selalu memakai bahasa yang tidak
secara langsung mengacu pada objeknya. Masyarakat Melayu tidak dapat
menghindarkan diri dari pemakaian bahasa dari pemakaian bahasa kias yang
dinamakan metafora.
1.2Rumusan Masalah
Setiap pembahasan memiliki masalah pokok yang akan dikaji, masalah
tersebut dapat kita artikan sebagai suatu hambatan dalam mencapai tujuan.
Peribahasa adalah merupakan gabungan dua kata atau lebih yang memiliki
hubungan yang erat dan membentuk satu kesatuan dan juga menunjukkan arti
khusus. Dalam mempelajari makna peribahasa, maka si penutur harus
memahami kaitan unsur budaya yang terkandung dalam makna peribahasa
tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Metafora apa saja yang terdapat dalam peribahasa bahasa Melayu dialek
Batubara ?
2. Apa fungsi metafora dalam peribahasa bahasa Melayu dialek Batubara ?
3. Apa makna metafora dalam peribahasa bahasa Melayu dialek
1.3Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali salah satu bentuk
wacana budaya Melayu, yang sampai saat ini masih dipertahankan. Kajian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam usaha mempertahankan budaya
daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan Nasional.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan di
atas, yaitu :
1. Untuk mengetahui metafora apa saja digunakan dalam bahasa Melayu
dialek Batubara.
2. Untuk mengetahui fungsi metafora dalam bahasa Melayu dialek
Batubara.
3. Untuk mengetahui makna metafora dalam peribahasa bahasa Melayu
dialek Batubara.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan memiliki kegunaan yang sangat banyak. Adapun
yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :
1. Untuk dapan dijadikan sebagai sumber penelitian bagi ilmu yang lainnya.
2. Untuk menambah khazanah kepustakaan pada bidang linguistik.
3. Untuk memberikan wawasan baru mengenai metafora dalam peribahasa
bahasa Melayu dialek Batubara.
4. Untuk menambah pengetahuan dalam pelajaran muatan lokal pada sekolah SD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Kepustakaan yang Relevan
Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya
selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, ini tidak
terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini. Agar
penulisan karya ilmiah lebih objektif, digunakan sumber-sumber yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas, baik berupa buku-buku maupun pemahaman
teoritis dan pemaparan dari fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan.
Penelitian terhadap bahasa Melayu dialek Batubara masih jarang dilakukan,
terutama bahasa yang mengandung makna kias (metafora) sehingga menyulitkan
peneliti untuk mencari referensi tetang bahasa Melayu dialek Batubara, tapi ini
tidak menyurutkan semangat peneliti untuk mengkaji bahasa Melayu dialek
Batubara tersebut.
Untuk mempertanggung jawabkan suatu karya ilmiah bukanlah pekerjaan
mudah, karena itulah disertakan data-data yang kuat yang ada hubungannya
dengan objek yang diteliti. Ada beberapa buku yang penulis gunakan dalam
memahami dan mendukung penelitian ini antara lain buku kumpulan kertas kerja
kolokium bahasa dan pemikiran Melayu / Indonesia oleh Darwis Harahap dan
Abdul Jalil HJ. Anuar (2000) digunakan untuk mengetahui bagaimana pemikiran
dalam berkomunikasi, khususnya Kabupaten Batubara. Sosiolinguistik suatu
pengantar karangan Abdul Chaer dan Lionie Agustina (1995) untuk mengetahui
peranan, hubungan, serta pengaruh bahasa pada budaya dan masyarakat Melayu
khususnya. Teori Semantik Edisi kedua karangan J.D Parera (2004) untuk
mengetahui tentang metafora dan teori analisis metafora.
Penulis juga menggunakan tesis magister sebagai referensi yang diperoleh
dari program pasca sarjana Universitas Sumatera Utara, yakni tesis Siti Aisyah
(2002) yang berjudul metafora leksikal dalam novel larung karya ayu utami suatu
kajian linguistik fungsional sistemik dan tesis Rahma (2002) yang berjudul
Metafora dalam surat keputusan.
Berkaitan dengan judul proposal skripsi yang penulis bicarakan, terlebih
dahulu penulis mengungkapkan beberapa defenisi metafora.
Kata metafora berasal dari meta- yang berarti setengah atau tidak
sepenuhnya seperti pada metafisika (setengah fisik setengah badaniah. Atau tidak
sepenuhnya badaniah) dan fora yang berarti mengacu atau merujuk. Dengan
demikian, metafora mencakup dua pandangan mengenai suatu masalah. Metafora
dapat dikatakan sebagai menginterpretasikan dan memproduksi sesuatu arti dari
dua sisi, artinya setengah-setengah atau tidak penuh lagi (Aisyah, 2002:9).
Lohprin (2007:23) mengatakan bahwa metafora adalah istilah konkrit yang
Jhonson (dalam Dilstone, 2002:92) menyatakan bahwa metafora adalah
sesuatu yang terjadi ketika gagasan-gagasan yang sangat heterogen dipertemukan
dengan paksa.
Metafora harusnya merupakan suatu susunan (struktur) di samping daya
kekuatannya untuk menyenangkan telinga serta mata dan struktur ini di
defenisikan sebagai proporsionalitas jenis (Aristoteles dalam Dillstone, 2002:93).
Defenisi metafora menurut Beckman dan Callow (1974:127) adalah suatu
perbandingan inplisit salah satu unsur yang dibandingkan yaitu citra memiliki
sebuah komponen makna dan biasanya, hanya satu dari komponen makna
tersebut yang relevan dan juga dimiliki oleh unsur kedua yaitu topik.
Menurut Keraf (1981:85) bahwa metafora adalah perubahan makna karena
persamaan sifat antar dua objek. Ia merupakan pengalihan semantik berdasarkan
kemiripan persepsi makna.
Laksana (2006:139-141) menyatakan secara umum metafora adalah
penerapan sebuah kata atau fase untuk seorang atau sesuatu tidak dalam
pengertian harfiah, melainkan sebagai perbandingan contohnya, mengatakan
bahwa seorang adalah ular, ia juga mengklasifikasikan beberapa kemungkinan
yang bisa dijangkau dengan metafora.
- Metafora menghidupkan bahasa.
- Metafora lebih efesien dan ekonomis dari pada bahasa sehari-hari, ia
memberi pengertian yang maksimum dengan menggunakan kata yang
minimum.
- Metafora membangun makna baru memudahkan anda menulis perasaan,
pemikiran, suatau pengalaman, dan sebagainya yang tidak mudah
dikatakan.
- Metafora mengisayaratkan kecemerlangan berfikir.
Dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan suatu fenomena mengapa
orang-orang menggunakan metafora untuk menggambarkan dirinya, sering bukan
karena mereka telah kehabisan analogi struktural tetapi merasa fikirannya harus
digambarkan dengan cara itu (Baeden dalam Aisyah, 2000:1).
Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan
sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan
(Poermadarminta dalam Tarigan, 1986:121).
Sudaryat (2008:102) menyatakan bahwa metafora adalah majas yang
membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk singkat misalnya
2.2 Teori yang Digunakan
Untuk mengumpulkan data yang akurat dan memiliki landasan yang kuat
maka dipandang perlu menggunakan teori yang nantinya akan digunakan dalam
meneliti di lapangan. Yang menjadi masalah sekarang ialah bagaimana kita
menganalisis sebuah ujaran yang berupa fase atau kalimat yang mempunyai
makna metafora.
Beecman dan Callow menjelaskan bahwa metafora itu terdiri atas :
a. Topik benda atau hal yang dibicarakan.
b. Citra bagai metaforis dari majas tersebut yang digunakan untuk
mendeskripsikan topik dalam rangka perbandingan.
c. Titik kemiripan bagian yang memperlihatkan persamaan antar topik dan
citra.
Neomark (dalam Parera 2004:133) mengusulkan beberapa konsep di bawah
ini untuk menganalisis metafora.
1. Objek
Objek adalah butir makna yang dilukiskan dengan metafora. Callaw dan
Beakman menyebutnya dengan topik. Topik adalah apa yang dibicarakan
dalam fase dan kalimat. Objek tampak dalam struktur luar dan dapat pula
tidak tampak. Ini berarti dalam analisis makna metafora diperlukan struktur
2. Citra
Dalam bahasa Inggris citra dipandang sebagi image dan oleh Ricards
dipadankan dengan vehicle. Citra adalah kejadian, proses, hal yang hendak
dipakai sebagi bandingan. Citra merupakan keterangan kepada objek atau
topik. Dikatakan pula bahwa citra dapat menjadi topik kedua.
3. Sense (titik kemiripan)
Antar objek dan citra terdapat aspek-aspek khusus yang mempunyai
kemiripan. Titik kemiripan itulah yang menjadi komentar topik /objek.
Dari tiga pilihan teori analisis yang dikemukakan oleh Neomark maka
penulis memakai teori citra, sebab penulis mengaggap menganalisis metafora
dengan teori citra adalah cara yang paling mudah dipahami untuk pemecahan
masalah yang mana telah tertulis pada bab II yaitu tujuan penelitian yang
mana bertujuan untuk menganalisa makna apa yang terkandung pada
peribahasa Melayu Batubara untuk mengetahui makna apa yang terkandung
dalam peribahasa Melayu Batubara maka teori citra merupakan teori yang
cocok untuk menganalisis masalah ini.
Parera (2004:199) menyatakan berdasarkan pilihan citra metafora dapat di
bedakan atas empat kelompok yaitu :
1. Metafora bercitrakan antromorfik.
Metafora bercitrakan antromorfik merupakan suatu gejala semesta. Para
pemakai bahasa ingin membandingkan kemiripan pengalaman dengan apa
dalam banyak bahasa dapat dicontohkan dengan mulut botol, jantung kota,
bahu jalan dan lain-lain.
2. Metafora bercitrakan hewan.
Metafora bercitrakan hewan, biasanya digunakan pemakai bahasa untuk
menggambarkan suatu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman
pemakai bahasa. Metafora dengan unsur binatang cenderung dikenakan pada
tanaman, misalnya lidah buaya, kuping gajah.
Metafora dengan unsur hewan juga di kenakan pada manusia dengan
citra humor, ironi, penyoratif, atau citra konotasi yang luar biasa, misalnya
fabel politik oleh Profesor Priono dengan judul Fabel MMM (Misi Mencari
Manfaat) dalam fabel MMM terdapat nama-nama seperti Mr. Badak bin
badak, profesor ada dalhak binuntu sahibul zahwi bukan profesor unta,
doktor harimau bin keledai, dan terdapat pula Majelis Pemerintah Rimba
(MPR) dan lain lain.
Dalam metafora bercitra hewan diungkapkan oleh Parera (2004:120)
bahwa manusia disamakan dengan sejumlah binatang misalnya dengan
anjing, babi, kerbau, singa, buaya, burung, dan lain-lain sehingga dalam
bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa seperti kerbau dicocok
hidungnya, ungkapan buaya darat dan ungkapan makian anjing lu dan
3. Metafora bercitrakan abstarak ke konkrit.
Metafora bercitrakan abstrak ke konkrit adalah mengalihkan
ungkapan-ungkapan yang abstrak ke ungkapan-ungkapan yang lebih konkrit. Sering kali
pengalihan ungkapan itu masih bersifat tarnsparan tetapi dalam beberapa
kasus penelusuran leksikal perlu dipertimbangkan untuk memenuhi
metafora tertentu. Contohnya secepat kilat, suatau kecepatan yang luar
biasa, moncong senjata, ujung senjata dan lain lain.
4. Metafora bercitrakan sinestesia.
Metafora bercitrakan sinestesia merupakan salah satu tipe metafora
berdasarkan penglihatan indra, pengalihan dari satu indra ke indra lain,
dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan enak
didengar untuk musik walau pun kata enak selalu dikatakan dengan indra
rasa, sedap dipandang mata merupakan pengalihan dari indra rasa keindra
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yang oleh Nawawi (1987 : 63)
diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Dengan demikian dalam penelitian ini penulis hanya mendeskripsikan
data-data fakta yang terdapat di lapangan.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Batubara namun peneliti memfokuskan
penelitian pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Medang Deras dan Kecamatan
Air Putih kemudian peneliti menentukan dua lokasi desa sebagai lokasi
3.3Jenis Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data lisan yang diambil langsung ke
lapangan dengan menunjuk beberapa informan yang dianggap dapat
menggunakan peribahasa ketika berkomunikasi dalam bahasa Melayu.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku
catatan, dan alat rekam, yang digunakan untuk merekam data dari informan.
3.5 Metode dan teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan
metode mengumpulkan data dengan metode simak yang dilanjutkan dengan
tenik lanjutan catat. Menurut Sudaryanto ( dalam Rahma, 2002 : 30) metode ini
dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial.
Karena metode penelitian ini memakai metode lapangan maka peneliti juga
memakai metode wawancara yaitu cara mengumpulkan data dengan
mengajukan pertanyaan langsung kepada informan atau seseorang yang
berwenang dalam suatu masalah.
a. Tenik rekam, yaitu dengan menggunakan tape recorder
b. Tenik catat, yaitu mencatat semua keterangan-keterangan yang
diperoleh dari informan.
3.6 Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, karena metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data.
Metode analisis data merupakan suatu langkah kritis dalam penelitian, karena
tahap dalam menyelesaikan masalah adalah dengan menganalisis data yang
telah dikumpul.
Untuk menganalisis data dilakukan prosedur sebagai berikut :
1. Menulis data yang diperoleh dari lapangan.
2. Data yang diperoleh akan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
3. Setelah diterjemahkan kemudian diklasifikasikan sesuai objek
pengkajian.
4. Setelah di klasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajian yang
telah ditetapkan yaitu metafora. dan
5. Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sitematis
sehingga semua data dipaparkan dengan baik.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1METAFORA DALAM PERIBAHASA BAHASA MELAYU DIALEK
BATUBARA
Metafora dalam peribahasa Melayu dialek Batubara jika dianalisa melalui
salah satu teorinya Neomark yaitu teori citra dalam bentuk peribahasa yang
penulis fokus kan pada ungkapan, pepatah, perumpamaan. maka uraiannya
adalah sebagai berikut.
4.1.1 Metafora Bercitrakan Antromorfik
Metafora bercitrakan antromorfik adalah suatu peribahasa yang
menggunakan apa yang terdapat pada diri manusia atau tubuh manusia sebagai
pencitraan keadaan yang terjadi pada tatanan sosial bermasyarakat, berikut
penulis akan menguraikan contoh metafora yang mencitrakan antromorfik sebagai
pencitraan pada peribahasa bahasa Melayu dialek Batubara.
4.1.1.1Metafora Bercitrakan Antromorfik Pada Ungkapan
Metafora Bercitrakan Antromorfik Pada Ungkapan
No Dialek
Batubara
1 Ondah hati Rendah hati Tidak angkuh
2 Koas kapalo Keras kepala Tidak bisa
dinasehati
3 Katokuk lutut Bertekuk lutut Duduk
bersilah
4 Muko kusut Muka (wajah, paras)
kusut
Sedang susah/
ditimpa
masalah
5 Gigit jai Gigit jari Tidak
mendapat
hasil dari
pekerjaan
6 Ae mato banyak Air mata banyak Mudah
menangis/
penangis
7 Podeh ati Pedih hati Perasaan yang
sedih
1. Ondah hati ‘Rendah hati’
‘Rendah’ secara leksikal memiliki arti sebagai kata keterangan yang menerangkan
posisi yaitu di bawah dan disandingkan dengan kata Hati ‘hati’ yang secara leksikal
memiliki arti kata sebagai penamaan suatu benda maka jika diartikan secara
leksikal maka ungkapan Ondah Hati memiliki arti kata hati yang di bawah, jika
diartikan secara peribahasa ungkapan Ondah hati mengandung makna metafora
yaitu merupakan suatu pencitraan dari sifat yang tidak sombong atau tidak
angkuh sebab uangkapan ondah hati mencitrakan sifat manusia dalam bertingkah
laku yang cendrung memancarkan sifat yang sederhana dan sifat yang tidak mau
menyombongkan diri, contoh kalimatnya ondah hati botullah budah tu, elok botul
sifatnya “rendah hati betullah anak itu, baik sekali sifatnya”.
2. Koas Kapalo ‘keras kepala’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kata Koas ‘keras’
secara leksikal memiliki arti kata sebagai kata sifat yang disandingkan dengan kata
Kapalo ‘kepala’ yang secara leksikal memiliki arti kata penamaan benda yaitu
kepala, maka jika diartikan ungkapan koas kapalo secara leksikal memiliki arti
kepala yang keras sedangkan jika diartikan menurut peribahasa maka ungkapan
koas kapalo mengandung makna metafora yang mana mengandung arti tidak bisa
dinasehati atau seseorang yang memiliki karakter yang susah untuk dirubah
ungkapan koas kopalo ini mencitrakan sifat manusia yang ingin menang sendiri
dan tidak mau mendengarkan kata orang lain walau pun itu kata orang tuanya,
kepala anak itu, bala yang dia dapat”.
3. Katokuk lutut ‘menekuk lutut’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kata katokuk
‘bertekuk’ secara leksikal memiliki arti kata kerja yaitu menekukkan sesuatu yang
disandingkan dengan kata lutut ‘lutut’ secara leksikal memiliki arti kata penamaan
benda yaitu lutut, maka jika diartikan ungkapan katokuk lutut secara leksikal
memiliki arti menekuk lutut sedangkan jika diartikan menurut peribahasa ungkapan
katokuk lutut mengandung makna metafora yang mana mengandung arti duduk
bersilah ungkapan katokuk lutut ini mencitrakan suatu pekerjaan cara duduk dengan
sopan menurut adat istiadat Melayu, contoh kalimatnya katokuk lututlah kau duduk
nya “bertekuk lututlah kau duduk nya”
4. Muko kusut ‘muka kusut’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kata muko ‘muka
atau wajah’ secara leksikal memiliki arti kata penamaan benda yaitu wajah atau
paras seseorang yang disandingkan dengan kata kusut ‘kusut’ secara leksikal
memiliki arti kata keterangan yang menerangkan kusut atau acak acakan, maka jika
diartikan ungkapan Muko kusut secara leksikal memiliki arti muka yang kusut atau
acak acakan sedangkan jika diartikan menurut peribahasa ungkapan muko kusut
mengandung makna metafora yang mana mengandung arti sedang mendapat
seseorang yang sedang kena masalah sebab orang-orang yang kena masalah atau
tertimpa musibah cendrung menunjukkan muka yang berkerut seperti kerutan
jeruk purut, contoh kalimatnya bamuko kusut budak tu sahabis manaimo apot
“bermuka kusut anak itu setelah menerima rapor”.
5. Gigit jai ‘gigit jari’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kata gigit
‘menggigit’ secara leksikal memiliki arti kata kerja yaitu melalukan pekerja dengan
menggunakan mulut dan gigi yang disandingkan dengan kata jai ‘jari’ secara
leksikal memiliki arti kata penamaan benda yaitu jari, maka jika diartikan
ungkapan gigit jai secara leksikal memiliki arti menggigit jari sedangkan jika
diartikan menurut peribahasa ungkapan gigit jai mengandung makna metafora
yang mencitrakan keadaan yang tidak mendapat penghasilan dari pekerjaan
ungkapan gigit jai mencitrakan sifat yang sering dilakukan seseorang ketika
mendapat kesialan dalam hal pekerjaan, orang bekerja bertujuan untuk mendapat
hasil ketika seseorang bekerja dan setelah bekerja tidak mendapatkan hasil maka
itulah yang dimaksud dengan kesialan, sehingga setelah lelah bekerja dan ternyata
belum mendapatkan hasil maka yang dilakukan hanya bisa gigit jari saja, contoh
kalimatnya manggigit jai uwak nun bagitu tuun dai kapal “ menggigit jari uwak
itu setelah turun dari kapal”.
6. Ae mato banyak ‘air mata banyak’
mata’ secara leksikal memiliki arti kata benda yaitu air yang berasal dari mata
yang disandingkan dengan kata banyak ‘banyak’ secara leksikal memiliki arti kata
keterangan sifat yaitu keterangan yang menerangkan sesuatu yang banyak, maka
jika diartikan ungkapan ae mato banyak secara leksikal memiliki arti air mata
yang banyak sedangkan jika diartikan menurut peribahasa ungkapan ae mato
banyak mengandung makna metafora yang mana mencitrakan orang yang mudah
menagis ungkapan ae mato banyak mencitrakan sifat orang yang dianggap cengeng
sehingga karena cengengnya di namai dan di ungkapkan dengan uangkapan airmata
banyak sebab orang yang cengeng selalu mengeluarkan air mata saat menangis,
contoh kalimatnya be ae mato banyak omaknya habis anaknyo maninggal “berair
mata banyak ibunya setelah anaknya meninggal”.
7. Podeh ati ‘Pedih Hati’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kata Podeh ati
‘Pedih Hati’ secara leksikal memiliki arti perasaan yang sedih. Dan jika diartikan
secara peribahasa memiliki arti perasaan yang sedih. Ungkapan podeh ati
mencitrakan seseorang perasaannya sedih diakibatkan sesuatu yang menyentuh
perasaannya, bisa karenakan ditimpa suatu persoalan dalam hidupnya ataupun
merasa iba melihat penderitaan orang lain, contoh kalimatnya podeh hati odan
manengok nasip badan ni “pedih hati saya melihat nasip badan ini”
4.1.1.2Metafora Bercitrakan Antromorfik Pada Pepatah
Metafora Bercitrakan Antromorfik Pada Pepatah
No Dialek
orang yang tahu tata
karma
1. Tibo Nampak muko,balek Nampak punggung.
‘datang kelihatan muka, pulang kelihatan pungungnya’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kalimat Tibo
Nampak muko, ‘datang Nampak muka’ secara leksikal memiliki arti keterangan
yaitu menerangkan seseorang yang datang dengan menampakkan
wajah yang disandingkan dengan kalimat Balek Nampak Punggung ‘pulang
Nampak punggung’ secara leksikal memiliki arti keterangan yaitu menerangkan
seseorang yang pergi dengan posisi membelakangi yang di tinggalkannya maka
yang tampak posisi belakang atau punggung dari orang yang pergi tersebut maka
jika diartikan pepatah datang Nampak muka, pulang Nampak punggung secara
leksika memiliki arti seseorang yang datang dengan menampakan wajah nya dan
seseorang yang pergi dengan menampakkan punggungnya. sedangkan jika
diartikan menurut peribahasa pepatah Tibo Nampak muko, Balek Nampak
punggung mengandung makna metafora yang mencitrakan suatu sifat kesopanan
yaitu datang dengan baik-baik dan pulang dengan baik-baik pula pepatah Tibo
Nampak muko, Balek Nampak punggung mencitrakan suatu pertemuan atau
kunjungan yang diawali dengan cara baik-baik yaitu dengan permisi kepada orang
yang tinggal di daerah yang dituju dan kemudian saat pulang atau pergi untuk
meninggalkan daerah yang dituju tadi tetap pergi dengan cara baik-baik yaitu
dengan permisi pula.
2. Nampak bosa kapalonyo balek Nampak muko kusut
‘lihat besar kepalanya pulang lihat muka kusut’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kalimat Nampak
bosa kapolonya balek Nampak muko kusut, ‘Lihat besar kepalanya pulang lihat
muka kusut’ secara leksikal memiliki arti keterangan yaitu lihat besar kepalanya
yang mencitrakan Setiap orang sombong suatu saat akan tertimpa masalah.
Pepatah Nampak bosa kapolonya balek Nampak muko kusut mencitrakan suatu
sifat manusia yang terlalu sombong yang dirinya yang sudah dianggapnya orang
besar yang mampu untuk menyanggupi hidupnya sendiri tanpa bahtuan orang lain,
tanpa ia menyadari bahwa selayaknya manusia adalah makhluk sosial yang harus
hidup bermasyarakat dan saling tolong menolong karena sebaik-baiknya manusia
adalah bermanfaat bagi orang lain, namun pada akhirnya dia sadari bahwa tak akan
ada manusia yang mampu hidup tanpa bantuan orang lain dan disebabkan oleh
kesombongannya maka akan datang silih berganti masalah dalam hidupnya.
4.1.1.3Metafora Bercitrakan Antromorfik Pada Perumpamaan
Metafora Bercitrakan Antromorfik Pada Perumpamaan
No Dialek
Batubara
Bahasa Indonesia Makna
1 Mocam mulut
leba.
Seperti mulut lebar. Tidak Bisa
Menjaga
rahasia.
1. Mocam mulut leba. ‘seperti mulut lebar’
Konsep metafora bercitrakan antromorfik yang memakai kalimat mocam
mulut leba ‘seperti mulut lebar’ secara leksikal memiliki arti keterangan yaitu
jika diartikan menurut peribahasa perumpamaan mocam mulut leba mengandung
makna metafora yang mencitrakan seseorang yang tidak dapat menyimpan rahasia.
3.1.2. Metafora Bercitrakan Hewan
Metafora bercitrakan hewan adalah suatu peribahasa yang menggunakan
hewan sebagai pencitraannya dan biasanya digunakan pemakai bahasa untuk
menggambarkan suatu kondisi atau kenyataan di alam sesuai pengalaman
pemakai bahasa.
4.1.2.1. Metafora Bercitrakan Hewan Pada Ungkapan
Metafora bercitrakan hewan pada ungkapan
No Dialek
Batubara
Bahasa
Indonesia
Makna
1 Mangula Mengular Berwatak licik dan
cendrung sering
berbohong demi
mendapatkan yang
diinginkannya
2. Kuping gajah Telingah gajah Seseorang yang
mendengarkan
pembicaraan orang
lain.
3. Utak kelinci Otak kelinci Orang yang selau
berpikiran jorok
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kata mangula
‘mengular’ secara leksikal memiliki arti kata kerja yaitu melakukan pekerjaan
yang bersentuhan dengan ular secara langsung jika diartikan menurut peribahasa
ungkapan mangula mengandung makna metafora yang mencitrakan seseorang
yang berwatak licik dan cendrung sering berbohong demi mendapatkan yang
dan mencitrakan cara berjalannya yang dengan merayap dan berkelok-kelok
yang mana mencitrakan ketidak lurusan cara berpikir seseorang, contoh
kalimatnya pande botul agen tu mangula ku tengok “pintar sekali agen itu
mengular ku lihat”.
2. Kuping gajah ‘telinga gajah’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kata kuping ‘telinga’
secara leksikal memiliki arti kata benda yaitu sala satu bahagian tubuh yang
berfungsi sebai alat pendegaran yang disandingkan dengan kata gajah
‘gajah’secara leksikal mengandung arti kata benda yaitu penamaan terhadap
nama binatang jika diartikan menurut peribahasa ungkapan kuping gajah
mengandung makna metafora yang mencitrakan Seseorang yang suka
mendengarkan pembicaraan orang lain. ungkapan kuping gajah mencitrakan
sifat seseorang yang sanagt hobi mendengarkan cerita yang membahas tentang
aib orang, kuping mencitrakan pendengaran sedangkan gajah mencitrakan
cakupan wilayah begitu luas, sehingga semua cerita tentang orang di sekitar nya
ia ketahui, contoh kalimatnya memang botul lah kau budak kuping gajah
“memang benarlah kau anak kuping gajah”.
3. Utak Kelinci ‘Otak Kelinci’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kata utak ‘otak’
secara leksikal memiliki arti kata benda yaitu benda putih yg lunak terdapat di
kata kelinci (kelinci) secara leksikal mengandung arti kata benda yaitu
penamaan terhadap nama binatang, jika kata utak kelinci diartikan secara
leksikal maka artinya adalah otak yang berasal dari kepala kelinci. Jika diartikan
menurut peribahasa ungkapan utak kelinci mengandung makna metafora yang
mencitrakan Orang yang selau berpikiran jorok terhadap setiap permasalahan
dan sipat seperti ini cendrung hanya kepada duniawi saja. Ungkapan utak
kelinci mencitrakan sifat kelinci yang sangat berhasrat sewaktu musim kawin
sehingga oaring yang disebut otak kelinci cendrung kepada halyang bersifat sex,
contoh kalimatnya botul lah kau budak otak kelinci “betullah kamu anak otak
kelinci”.
4. Tuntung kapo ‘Nama ikan (tuntung) kapur sirih’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kalimat Tuntung
kapo ‘Nama ikan (tuntung) kapur sirih’ secara leksikal memiliki arti Setiap
memiliki barang tidak terawat. jika diartikan menurut peribahasa pepatah
Tuntung Kapo mengandung makna metafora yang mana mengandung arti
orang yang setiap memiliki barang tidak mampu menjaga barang yang
dimilikinya dan berakhir pada kerusakan untuk barang tersebut. Pepatah
Tuntung Kapo ini mencitrakan manusia yang selama hidupnya selalu
menyepelekan barang yang dimilikinya sehingga berujung pada kerusakan
barangnya tersebut, sejatinya setiap insan manusia tidak akan mampu menilai
betapa berharganya segala sesuatu yang telah dimilikinya sebelum sesuatu
budak tuntung kapo kau, manyosal aku maminjamkan jadinya “anak tuntung
kapur kau, menyesal aku meminjamkan jadinya”.
4.1.2.2. Metafora Bercitrakan Hewan Pada Pepatah
Metafora Bercitrakan Hewan Pada Pepatah
No Dialek
Batubara
Bahasa Indonesia Makna
1 Ado ae ado ikan Ada air ada ikan ada negara
ada rakyatnya
2 Ado bangke ado
hering
Ada bankai ada hering Setiap ada
perempuan
jahat niscaya
aka ada lelaki
jahat pula
yang
mengunjungin
ya
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kata ado ae ‘ada air’
secara leksikal memiliki arti kata keterangan yaitu kata yang menerangkan
keberadaan air bahwasanya ada air yang disandingkan dengan kata ado ikan
(ada ikan) secara leksikal memiliki arti kata keterangan yaitu kata yang
menerangkan keberadaan ikan bahwasaanya ada ikan, jika diartikan menurut
peribahasa pepatah ado ae, ado ikan mengandung makna metafora yang
mencitrakan ada negara ada rakyatnya pepatah ado ae, ado ikan. mencitrakan
suatau wilayah yang setiap wilayah itu pasti memiliki penghuninya baik dia
penghuninya mahluk halus maupun manusia.
2. Ado Bangke, ado hering ‘Ada Bangkai Ada Hering’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kata ado bangke
‘ada banhkai’ secara leksikal memiliki arti kata keterangan yaitu kata yang
menerangkan keberadaan bangkai yang disandingkan dengan kata ado hering
(ada hering) secara leksikal memiliki arti kata keterangan yaitu kata yang
menerangkan keberadaan hering atau burung pemakan bangkai jika diartikan
menurut peribahasa pepatah ado bangke, ado hering mengandung makna
metafora yang mencitrakan Setiap ada perempuan jahat niscaya aka ada lelaki
jahat pula yang mengunjunginya pepatah ado bangke, ado hering mencitrakan
kebusukan sifat manusia yang yang merendahkan harga dirinya yaitu pelacur
dan sebusuk-busuk sifat pelacur pasti ada juga yang mengunjunginya.
Metafora Bercitrakan Hewan Pada Perumpamaan
No Dialek
Batubara
Bahasa Indonesia Makna
1 Mocam
Seperti lembu yang di
tusuk hidungnya
5. Mocam membolo anak haimau ‘seperti memelihara anak harimau’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kalimat mocam
mambolo anak haimau ‘seperti memelihara anak harimau’ secara leksikal
memiliki arti keterangan yaitu menerangkan sesuatu dengan pekerjaan
memelihara anak harimau jika diartikan menurut peribahasa pepatah mocam
membolo anak haimau mengandung makna metafora yang mana mengandung
sifat harimau yang biasanya buas dalam arti kata suka memakan daging mentah
dan bersifat agresif, hidupnya di hutan dan juga sering disebut raja hutan sebab
sifat nya yang selalu ingin merajai sehinggak tidak layak untuk di pelihara
karena kalau dipelihara akan merajai atau memangsa yang memeliharanya.
6. Mocam lombu dicucuk idung ‘seperti lembu di tusuk hidungnya’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kalimat macom
lombu dicucuk idung ‘seperti lembu ditusuk hidungnya’ secara leksikal
memiliki arti keterangan yaitu menerangkan sesuatu yang mirip seperti lembu
yang ditusuk hidung nya, jika diartikan menurut peribahasa pepatah mocam
lombu dicucuk idung mengandung makna metafora yang mana mengandung
arti orang yang selalu menuruti kemauan orang lain pepatah mocam lombu
dicucuk idung ini mencitrakan sifat lembu yang biasanya selalu menurut kepada
orang yang menarik tali lembu diikat pada hidung lembu, kemana diarahkan
tali tersebut maka lembu tersebut akan mengikut saja kanpa ada perlawanan
yang berarti.
7. Mocam Malopas Anjing Tajopit ‘seperti melepas anjing terjepit’
Konsep metafora bercitrakan hewan yang memakai kalimat mocam
malopas anjing tajopit ‘seperti melepas anjing terjepit’ secara leksikal memiliki
arti keterangan yaitu menerangkan sesuatu dengan pekerjaan melepaskan
anjing yang terjepit jika diartikan menurut peribahasa pepatah mocam malopas
tau balas budi pepatah mocam malopas anjing tajopit ini mencitrakan sifat
anjing yang ketika terjepit dan dilepaskan dari jepitan tersebut maka sianjing
akan langsung lari tanpa permisi.
4.1.3. Metafora Bercitrakan Abstrak Ke Kongkrit
Metafora abstrak ke kongkrit adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan
yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkrit sehingga mengandung arti
tertentu.
4.1.3.1. Metafora bercitrakan abstrak ke kongkrit pada ungkapan
Metafora bercitrakan abstrak kekongkrit pada ungkapan
No Dialek
Batubara
Bahasa Indonesia Makna
1 Intan payong Intan payung Anak
kesayangan
2 Umah tango Rumah tangga Keluarga
3 Timbang aso Timbang asa Memikirkan
kembali
5 Anak gampang Anak yang mudah Anak yang
lahir tanpa
ada status
hubungan
pernikahan
dari orang tua
si anak
6 Kojo koas Kerja keras Rajin dan
gigih dalam
bekerja
7 Anak haam
jadah
Anak haram jadah Anak yang
lahir yang
tidak
diketahui
siapa ayah
nya
sedangkan
orangtuanya
sudah lama
bercerai.
1. Intan Payong ‘intan payung’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkrit yang memakai kata intan
‘intan’ secara leksikal memiliki arti kata benda yaitu suatu perhiasan dari batu
berharga yang disandingkan dengan kata payung ‘payung’ secara leksikal
memiliki arti kata penamaan benda yaitu payung alat pengaman untuk
melindungi dari hujan maka jika diartikan ungkapan intan payung secara
leksikal memiliki arti payung yang memiliki intan sedangkan jika diartikan
menurut peribahasa ungkapan intan payong mengandung makna metafora
yang mencitrakan anak kesayangan ungkapan intan payong mencitrakan harga
intan yang berharga mahal sehingga harus disimpan dengan baik sebab jika
tidak disimpan dengan baik akan menjadi masalah yang besar karna banyak
orang yang mengincarnya dan payung yang bersipat menjaga atau melindungi
dari tetesan hujan atau cahaya terik matahari, contoh kalimatnya budak intan
payong “anak intan payung”
2. Umah Tanggo ‘rumah tangga’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kata
umah ‘rumah’ secara leksikal memiliki artikata benda yaitu bagunan untuk
tempat tinggal atau tempat berteduh yang disandingkan dengan kata tanggo
‘tangga’ secara leksikal memiliki arti kata penamaan benda yaitu alat bantu
untuk naik dan turun pada suatu tempat, maka jika diartikan ungkapan umah
tanggo secara leksikal memiliki arti tangga yang dijadikan rumah sedangkan
jika diartikan menurut peribahasa ungkapan umah tanggo mengandung makna
mencitrakan sekelompok orang yang membuat komunitas baru yang legal
dimata agama dan dimata adat kemudian akan menempuh perjalanan hidup
bersama baik suka maupun duka, contoh kalimatnya semoga kelen dapat
mambina umah tango yang sakinah, mawaddah, warohmah “semoga kalian
dapat membina keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah”.
3. Timbang Aso ‘timbang rasa’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kata
timbang ‘timbang’ secara leksikal memiliki arti kata sifat yaitu tidak berat
sebelah atau sama berat yang disandingkan dengan kata aso ‘asa’ secara leksikal
memiliki arti pengharapan atau keinginan, maka jika diartikan ungkapan
timbang aso secara leksikal memiliki arti menimbang harapan sedangkan jika
diartikan menurut peribahasa ungkapan timbang aso mengandung makna
metafora yang mana mengandung arti memikirkan kembali ungkapan timbang
aso ini mencitrakan suatu tindakan yang bersifat pengambilan keputusan secara
matang tanpa dengan memikirkan segala konsekuensi dari hasil pemikiran
tersebut, contoh kalimatnya sudah selayaknyo kita timbang asokan kepado
bapak bupati yang bau tepilih ni “sudah selayaknya kita timbang asakan kepada
bapak bupati yang baru terpilih ini”
4. Angkat Bicao ‘Angkat Bicara’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kata
angkat ‘angkat’ secara leksikal memiliki arti kata kerja yaitu meninggikan atau
memiliki arti kata kerja yaitu interaksi dengan menggunakan suara, maka jika
diartikan ungkapan angkat bicao secara leksikal memiliki arti menaikkan
bicara atau menaikkan interaksi melalui suara jika diartikan menurut peribahasa
ungkapan angkat bicao mengandung makna metafora yang mana mengandung
arti ikut bicara ungkapan angkat bicao ini mencitrakan seseorang yang ikut serta
berbicara dalam sebuah permasalahan, contoh kalimatnya kalo menuut kelen
salah, sudah sudah sepatutnya lah kita ni angkat bicao “kalau menurut kalian
salah, sudah sepatutnya kita ini angkat bicara”.
5. Budak Gampang ‘Anak Mudah’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kata
anak ‘anak’ secara leksikal memiliki arti kata benda yaitu keturunan yang masih
kecil baik dia itu hewan, manusia, atau tumbuhan yang disandingkan dengan
kata gampang ‘mudah’ secara leksikal memiliki arti kata mudah, tidak sukar
maka jika diartikan ungkapan anak gampang secara leksikal memiliki arti anak
yang mudah sedangkan jika diartikan menurut peribahasa ungkapan anak
gampang mengandung makna metafora yang mana mengandung arti Anak yang
lahir tanpa ada status hubungan pernikahan dari kedua orang tua si anak
ungkapan anak gampang ini mencitrakan anak hasil hubungan badan sepasang
manusia tanpa ada status pernikahan terlebih dahulu, contoh kalimatnya malang
botul nasip budah gampang nun “malang sekali nasip anak mudah itu”.
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kata
kojo ‘kerja’ secara leksikal memiliki arti kata kegiatan melakukan sesuatu yang
disandingkan dengan kata koas ‘keras’ secara leksikal memiliki arti kata padat
kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tidak mudah pecah, maka jika
diartikan ungkapan kojo koas secara leksikal memiliki arti suatu tindakan atau
kegiatan yang padat sedangkan jika diartikan menurut peribahasa ungkapan kojo
koas mengandung makna metafora yang mana mengandung arti Rajin dan gigih
dalam bekerja ungkapan kojo koas ini mencitrakan tindakan seseorang dalam
melakukan pekerjaan untuk mencapai cita-cita nya, contoh kalimatnya bakoja
koas budak tu untu mancai makan adek-adek nyo kaona ayah omaknya udah
meninggal “bekerja keras anak itu untuk mencari makan adik-adiknya karena
ayah ibunya sudah meninggal dunia ”
7. Anak Haam Jadah ‘Anak Haram Jadah’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kata
anak ‘anak’ secara leksikal memiliki arti kata benda yaitu keturunan yang masih
kecil baik dia itu hewan, manusia, atau tumbuhan yang disandingkan dengan
kata haam jadah ‘haram jadah’ secara leksikal memiliki arti kata sifat yang
tidak baik, maka jika diartikan ungkapan anak haam jadah secara leksikal
memiliki arti anak yang tidak baik sedangkan jika diartikan menurut peribahasa
ungkapan anak haam jadah mengandung makna metafora yang mana
mengandung arti Anak yang lahir yang tidak diketahui siapa ayahnya sedangkan
orang tuanya sudah lama bercerai ungkapan anak haam jadah ini mencitrakan
orang tanpa ada ikatan resmi sedangkan ia sudah lama bercerai sehingga tidak
diketahui siapa ayah yang sesungguhnya, contoh kalimatnya ibolah hati
manengok budak haam jadah tu “sedih hati melihat anak haram jadah itu”
8. Budak Sampan ‘Anak Perahu’
Konsep metafora bercitrakan abstrak ke kongkrit yang memakai kalimat
budak sampan ‘anak perahu’ secara leksikal memiliki arti perahu yang memiliki
anak, jika diartikan menurut peribahasa ungkapan Budak sampan mengandung
makna metafora yang mana mengandung arti nelayan, Pepatah budak sampan
ini mencitrakan manusia atau orang orang yang beraktivitas di dilaut dengan
sampan, ini mencitrakan kebiasaan masyarakat Melayu yang mayoritas mata
pencahariannya adalah dengan mengambil ikan ke laut sehingga masyarakat
Melayu menyebut nelayan sebagai budak sampan sebab keseharian dan
aktivitasnya selalu bersama sampan, contoh kalimatnya budak sampan tu tonga
mandapat banyak ikan “ anak sampan itu sedang mendapat banyak ikan”.
4.1.3.2. Metafora Bercitrakan Abstrak Ke Kongkrit Pada Pepatah
Metafora bercitrakan abstrak kekongkrit pada Pepatah
o Batubara
anak batu gilingan,
jadilah anak pohon
Ada Angin Ada Pohon
Nya
Segala
sesuatu pasti
ada asal
4
1. Jangan Peonah Jadi Budak Batu Giling, Jadilah Budak Pokok Pisang
‘Jangan pernah menjadi anak batu gilingan, jadilah anak pohon pisang’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kalimat
Jangan peonah jadi budak batu giling ‘Jangan pernah menjadi anak batu
gilingan’ secara leksikal memiliki arti anjuran yaitu agar tidak menjadi anak
batu gilingan yang disandingkan dengan kata jadilah budak pokok pisang
‘jadilah anak pohon pisang’ secara leksikal memiliki arti menganjurkan agar
menjadi anak pohon pisang maka jika diartikan pepatah Jangan peonah jadi
budak batu giling, jadilah budak pokok pisang secara leksikal memiliki arti
suatu anjuran untuk tidak menjadi anak batu gilingan dan dianjurkan menjadi
anak pohon pisang sedangkan jika diartikan menurut peribahasa ungkapan
Jangan peonah jadi budak batu giling, jadilah budak pokok pisang mengandung
jadilah anak yang dapat melindungi orang tua pepatah Jangan peonah jadi
budak batu giling, jadilah budak pokok pisang ini mencitrakan sifat anak
gilingan yang selalu menekan dan menginjak induknya saat ia melakukan
aktivitasnya sedangkan pohon pisang mencitrakan anak yang baik sebab ia
melindungi orangtuanya yaitu dengan melanjutkan atau menggantikan
orangtuanya saat orang tuanya telah mati.
2. Kalok Takot Lambong Beombak, Jangan Beumah Ditopi Pante
‘Kalau Takut Lambung Berombak, Jangan Berumah Di Tepi Pantai’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kalimat
Kalok takot lambong beombak ‘Kalau takut lambung berombak,’ secara leksikal
memiliki arti yang membingungkan yaitu pemakaian kata lambung berombak
secara leksikal diartikan lambung yang ada ombaknya yang disandingkan
dengan kata jangan beumah ditopi pante ‘jangan berumah ditepi pantai’ secara
leksikal memiliki arti larangan agar membuat tempat rumah ditepi pantai jika
diartikan pepatah Kalok takot lambong beombak, jangan beumah ditopi pante
secara leksikal memiliki arti suatu anjuran peringatan untuk tidak tinggal di
daerah pantai kalau tidak mau lambungnya bergelombang. sedangkan jika
diartikan menurut peribahasa ungkapan Kalok takot lambong beombak, jangan
beumah ditopi pante mengandung makna metafora yang mana mengandung arti
Kalau takut berhadapan dengaan penderitaan lebih baik jangan melakukan
sesuatu yang susah pepatah Kalok takot lambong beombak, jangan beumah
ditopi pante ini mencitrakan sesuatu anjuran yangmana lambung berombak
kebanyakan masyarakat Melayu yang tinggal di tepi pantai kebanyakan nelayan
dan dilaut akan kita jumpai berbagai macam masalah yang tak diduga jadi kalau
tidak mau dapat masalah makan dicitrakan dengan kalimat janagan tinggal di
topi pantai.
3. Ado Angin, Ado Pokoknya ‘Ada Angin Ada Pohonnya’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kalimat
Ado angin ado pokoknya ‘ada angin ada pohonnya’ secara leksikal memiliki arti
keberadaan angin yang memiliki pohon sedangkan jika diartikan menurut
peribahasa ungkapan Ado angin, ado pokoknya mengandung makna metafora
yang mana mengandung arti Segala sesuatu pasti ada asal usulnya pepatah Ado
angin, ado pokoknya mencitrakan sesutu permasalahan apapun itu pasti ada
penyebabnya, dan setiap orang itu pasti ada sejarah hidupnya.
4. Bara Yang Digonggam Bisa Jadi Api ‘Barang Yang Digenggam Bisa Jadi Api’
Konsep metafora bercitrakan abstrak kekongkret yang memakai kalimat
Bara Yang Digonggam Bisa Jadi Api ‘barang yang digengggam’ secara leksikal
memiliki arti keteranagan yaitu menerangkan suatu barang bisa jadi api jika
digenggam sedangkan jika diartikan menurut peribahasa pepatah Bara Yang
Digonggam Bisa Jadi Api mengandung makna metafora yang mana
mengandung arti Segala sesuatu yang dikerjakan jika dikerjakan
bersungguh-sungguh maka akan mencapai kejayaan. pepatah Bara Yang Digonggam Bisa
Jadi Api mencitrakan sesuatau pekerjaan yang jika dikerjakan secara sungguh