• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI PERAIRAN

PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN SUSU

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

SKRIPSI

HARIADI SIRAIT

060805048

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN

PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

Ketegori : SKRIPSI

Nama : HARIADI SIRAIT

No Induk : 060805048

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (MIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Februari 2011

Pembimbing II Pembimbing I

Mayang Sari Yeanny, S,Si,M,Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc NIP. 19721126 1998022 002 NIP. 19581016 1987031 003

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

(3)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN SUSU

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Februari 2011

(4)

PENGHARGAAN

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karuniaNya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini yang berjudul ”Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara”, yang merupakan satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc, dan Ibu Mayang Sari Yeanny, M.Si sebagai Dosen Pembimbing penyelesaian skripsi ini, dalam memberikan panduan penuh kepercayaan kepada saya untuk menyempurnakan skripsi ini. Panduan ringkas, padat dan profesional telah diberikan kepada saya agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Drs. Arlen H.J, M.Si, Bapak Riyanto Sinaga S.Si, M.Si selaku Dosen Penguji dan Bapak Drs. Nursal, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang membimbing penulis selama masa perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ketua Departemen Biologi, Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc dan Pegawai Administrasi Rosalina Ginting, Erwin serta seluruh Dosen Pengajar di Departemen Biologi.

(5)

Bang Pato, Bang Daniel, Kak Tober, Jayana, Juventus, Reymon, Siti, Hotda, Nina, Desy Mery dan seluruh senior dan junior saya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, serta tim asisten Puslit Bang Lintong, Bang Frans, Amos, Marcel, yang banyak memberikan dorongan dan semangat kepada saya. Khusus kepada Resti Feronika Purba Amd. saya mengucapkan terimakasih, yang selalu memberikan motivasi kepada saya dalam penyelesaian skripsi ini

Akhirnya yang tidak terlupakan, terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan buat tiap tetes keringat, air mata, dan setiap doa kepada Yang Terhormat Ayahanda A. Sirait dan Ibunda M. Sitorus, kepada Abang saya Pak Desy S.H, Pak Philip S.H, Pak Cristian S.T, Pak Gloria S.E, Tumpal Kurniawan Amd, Kakak saya Mama Aline Amd, Dewi Amd dan Adik saya Ridoy Ekadarmawan S.T, yang selalu memberikan dukungan doa dan moril kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

(6)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN SUSU

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang “Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Perairan Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara” dilakukan pada bulan Juni 2010. Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan, dan pada tiap stasiun dilakukan tiga puluh kali ulangan. Titik pengambilan sampel menggunakan metode Purpossive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan jala kemudian dilakukan identifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman ikan terdiri dari 5 ordo, 15 famili, 16 genus dan 16 spesies. Kepadatan populasi ikan tertinggi adalah spesies Dermogenis sp. sebesar 6,13 ind/100m2 (stasiun II) dan kepadatan populasi terendah adalah pada spesies

Apogon sp. sebesar 0,94 ind/100m2 (stasiun III). Keanekaragaman ikan tertinggi sebesar 2,452 (stasiun I) dan keanekaragaman terendah sebesar 2,091 (stasiun III), secara keseluruhan keanekaragaman ikan di perairan Pulau Kampai tergolong sedang. Keseragaman ikan tertinggi terdapat pada stasiun I (0,884) dan terendah pada stasiun III (0,754). Pola distribusi setiap spesies yang didapat tergolong acak, seragam dan berkelompok. Keanekaragaman ikan di perairan Pulau Kampai dipengaruhi Suhu, salinitas dan BOD5.

(7)

THE DIVERSITY AND DISTRIBUTION OF FISHES AT KAMPAI ISLAND WATER PANGKALAN SUSU DISTRICT LANGKAT RESIDENCE

NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Research about “The Diversity and Distribution of Fishes at Kampai Island Waters, Pangkalan Susu District, Langka Residence, North Sumatera” was done at June 2010. Samples were taken from three stations and at each station was done thirty times of repetition. The point of sample taking was using Purposive Random Sampling Method. Samples were taken by using fishing net then identified that was done in Laboratory of Natural Resources and Environment Processing, Biology Department, Mathematic and Science Faculty, North Sumatera University. From result of research were taken fish that were consists of 5 ordos, 15 families, 16 genus and 16 species. The highest value of density is at Dermogenis sp with value 6,13 ind/100 m2 (station II) and the lowest value of density is at Apogon sp with value 0,94 ind/100 m2 (station III). The highest diversity is 2,452 (station I) and the lowest value of diversity is 2,091 (station III). Based on that value, the diversity of fishes at Kampai Island Waters is classified in middle level. The highest value of uniformity is at station I with value 0,884 and the lowest value of uniformity is at station III with value 0,754. Distribution pole of each species is classified in to random, uniform and group. Temperature, salinity and BOD5 have real influence

to the diversity of fishes.

(8)

DAFTAR ISI

Daftar Lampiran xi

Daftar Gambar xii

Bab 1 Pendahuluan 1

2.3 Pengambilan Sampel Ikan

2.4 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 2.5 Analisis Data

Hasil dan Pembahasan

3.1 Jenis-jenis Ikan dan Klasifikasi

3.2 Kepadatan Individu (ind/100m2), Kepadatan Relatif (KR %) dan Frekuensi Kehadiran (FK %) Ikan pada setiap stasiun penelitian. 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Ikan pada masing-masing stasiun penelitian

3.4 Indeks Similaritas

3.5 Indeks Distribusi (Morista) 3.6 Faktor Fisik-Kimia Perairan

3.6.1 Suhu

3.6.2 Penetrasi Cahaya

(9)

Bab 4 Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

44 44 44

(10)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 2.4 Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor

Fisik– Kimia Perairan 10

Table 3.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang didapat pada Stasiun Penelitian 14 Tabel 3.2 Kepadatan (ind/100m2), Kepadatan Relatif (KR %) dan Frekuensi

Kehadiran (FK %) Ikan pada setiap Stasiun Penelitian 27 Tabel 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)Ikan

pada masing-masing Stasiun Penelitian 30

Tabel 3.4 Indeks Similaritas (IS) Ikan pada masing-masing Stasiun

Penelitian 32

Tabel 3.5 Indeks Morista pada Setiap Stasiun Penelitian 33 Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik- Kimia yang diperoleh Pada Setiap

Stasiun Penelitian 34

Tabel 3.7 Nilai Korelasi yang diperoleh antar parameter fisik-kimia perairan dengan Keanekaragaman Ikan yang didapatkan pada setiap Stasiun

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman Lampiran A Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO 48 Lampiran B Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 49 Lampiran C Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) pada Berbagai

Besaran Temperatur Air 50

Lampiran D Peta Lokasi 51

Lampiran E Data Mentah Penelitian 52

Lampiran F Jenis dan Jumlah Spesies Ikan pada masing-masing Stasiun

Penelitian 54

Lampiran G Contoh Perhitungan 55

(12)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Stasiun I 7

Gambar 2. Stasiun II 7

Gambar 3. Stasiun III 8

Gambar 4. Ikan Tepu (Xenentodonsp.) 15

Gambar 5. Ikan Cucut (Dermogenys sp.) 16

Gambar 6. Ikan Belanak (Mugil sp.) 17

Gambar 7. Ikan Kekek Lendir (Leiognathus sp.) 17 Gambar 8. Ikan Kekek Emping (Secutor sp.) 18

Gambar 9. Ikan Tanda (Lutjanus sp.) 19

Gambar 10. Ikan Ketang Surat (Singanus sp.) 20

Gambar 11. Ikan Kedendang (Terapon jarbua) 20

Gambar 12. Ikan Ketang Rintik (Scatophagus sp.) 21

Gambar 13. Ikan Suding (Apogon sp.) 22

Gambar 14. Ikan Gulama (Johnius sp.) 23

Gambar 15. Ikan Pasir (Butissp.) 23

Gambar 16. Ikan Kerot-Kerot (Pomadasyssp.) 24

Gambar 17. Ikan Seriding (Ambasis sp.) 25

Gambar 18. Ikan Patin (Pangasius sp.) 26 Gambar 19. Ikan Sembilang (Plotosus sp.) 26

(13)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN SUSU

KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang “Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Perairan Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara” dilakukan pada bulan Juni 2010. Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan, dan pada tiap stasiun dilakukan tiga puluh kali ulangan. Titik pengambilan sampel menggunakan metode Purpossive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan jala kemudian dilakukan identifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan keanekaragaman ikan terdiri dari 5 ordo, 15 famili, 16 genus dan 16 spesies. Kepadatan populasi ikan tertinggi adalah spesies Dermogenis sp. sebesar 6,13 ind/100m2 (stasiun II) dan kepadatan populasi terendah adalah pada spesies

Apogon sp. sebesar 0,94 ind/100m2 (stasiun III). Keanekaragaman ikan tertinggi sebesar 2,452 (stasiun I) dan keanekaragaman terendah sebesar 2,091 (stasiun III), secara keseluruhan keanekaragaman ikan di perairan Pulau Kampai tergolong sedang. Keseragaman ikan tertinggi terdapat pada stasiun I (0,884) dan terendah pada stasiun III (0,754). Pola distribusi setiap spesies yang didapat tergolong acak, seragam dan berkelompok. Keanekaragaman ikan di perairan Pulau Kampai dipengaruhi Suhu, salinitas dan BOD5.

(14)

THE DIVERSITY AND DISTRIBUTION OF FISHES AT KAMPAI ISLAND WATER PANGKALAN SUSU DISTRICT LANGKAT RESIDENCE

NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Research about “The Diversity and Distribution of Fishes at Kampai Island Waters, Pangkalan Susu District, Langka Residence, North Sumatera” was done at June 2010. Samples were taken from three stations and at each station was done thirty times of repetition. The point of sample taking was using Purposive Random Sampling Method. Samples were taken by using fishing net then identified that was done in Laboratory of Natural Resources and Environment Processing, Biology Department, Mathematic and Science Faculty, North Sumatera University. From result of research were taken fish that were consists of 5 ordos, 15 families, 16 genus and 16 species. The highest value of density is at Dermogenis sp with value 6,13 ind/100 m2 (station II) and the lowest value of density is at Apogon sp with value 0,94 ind/100 m2 (station III). The highest diversity is 2,452 (station I) and the lowest value of diversity is 2,091 (station III). Based on that value, the diversity of fishes at Kampai Island Waters is classified in middle level. The highest value of uniformity is at station I with value 0,884 and the lowest value of uniformity is at station III with value 0,754. Distribution pole of each species is classified in to random, uniform and group. Temperature, salinity and BOD5 have real influence

to the diversity of fishes.

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Laut, seperti halnya daratan, dihuni oleh biota yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan mikroorganisme hidup.Biota laut hampir menghuni semua bagian laut, mulai dari pantai, permukaan laut sampai dasar laut yang terjeluk sekalipun. Keberadaan biota laut ini sangat menarik perhatian manusia, bukan saja kehidupannya yang penuh dengan rahasia tetapi karena manfaatnya yang besar bagi kehidupan manusia (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 3). Pemanfaatan sumber daya alam yang terus meningkat, dengan tujuan mengejar target pemenuhan kebutuhan secara menyeluruh tanpa memperhatikan aspek kelestarian, akan sangat mengancam kebaradaan sumber daya alam tersebut (Dahuri, 2003, hlm: 245).

Indonesia sebagai negara kepulauan terletak di antara Samudera Fasifik dan samudera hindia dan mempunyai tatanan geografi yang rumit dilihat dari topografi dasar lautnya. Dasar perairan indonesia di beberapa tempat, terutama di kawasan barat menunjukkan bentuk yang sederhana atau rata yang hampir seragam, tetapi di tempat yang lain terutama di kawasan timur menunjukkan bentuk-bentuk yang lebih majemuk, tidak teratur dan rumit (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 3).

(16)

sama-sama mempunyai pengaruh, yakni kedua sifat perubahan tersebut akan mengubah intensitas faktor-faktor lingkungan (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 7).

Jumlah dan keanekaragaman jenis biota yang hidup di laut sangat menakjubkan. Walaupun sudah banyak sekali diketahui jenis-jenis tersebut, ilmuan masih saja menemukan penghuni-penghuni baru, terutama di daerah terpencil dan di lingkungan laut yang dulunya tak pernah dijangkau orang. Perbedaan keadaan berbagai lingkungan di laut sangat besar dan penghuninya pun beraneka ragam. Namun demikian ada keteraturan dalam penyebaran makhluk-makhluk laut tersebut. Di laut terdapat makhluk-makhluk mulai dari yang berupa jasad-jasad hidup bersel satu yang sangat kecil sampai yang berupa jasad-jasad hidup yang berukuran sangat besar seperti ikan paus yang panjangnya lebih dari 10 meter. Ratusan ribu jenis biota laut telah di ketahui dan semua relung (niche = sebanding dengan mikrohabitat) di lingkungan laut dihuni oleh biota. Disebagian besar wilayah perairan terdapat banyak sekali jenis biota laut yang saling berinteraksi, tetapi di beberapa wilayah perairan yang lain hanya terdapat beberapa jenis biota laut yang hidup dan berinteraksi karena kendala makanan khususnya lingkungan umumnya (Romimohtarto & Juwana, 2001, hlm: 36).

Ikan merupakan vertebrata akuatik dan bernafas dengan insang (beberapa jenis ikan bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/gelembung udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi regio-regio. Otak itu di bungkus dalam kranium (tulang kepala) yang berupa kartilago (tulang rawan) atau tulang menulang. Ada sepasang mata. Kecuali ikan-ikan siklomata, mulut ikan itu di sokong oleh rahang. Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran-saluran semi sirkular, sebagai organ keseimbangan. Jantung berkembang baik. Sirkulasinya menyangkut aliran seluruh darah dari jantung melalui insang lalu keseluruh tubuh lain. Tipe ginjal adalah profonefros dan mesonefros (Brotowidjoyo, 1993, hlm: 181).

(17)

dari jaringan pengikat dilapisi oleh epitelium. Diantara sel-sel epitelium terdapat kelenjar uniselular yang mengeluarkan lendir yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin (Brotowidjoyo, 1993, hlm: 181).

Ikan merupakan organisme akuatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan, terutama yang diakibatkan oleh aktifitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.Limbah-limbah buangan yang dihasilkan oleh berbagai aktifitas manusia tersebut mempengaruhi kualitas perairan baik fisik, kimia dan biologis diantaranya terhadap penyebaran ikan (Rifai et al, 1984,hlm:44).

Air merupakan tempat ikan untuk melakukan berbagai macam aktivitas dalam seluruh siklus hidupnya. Semua fungsi vital ikan seperti makan, pencernaan, pertumbuhan, respon pada stimulus dan reproduksi tergantung pada air. Pada ikan aspek terpenting dalam air adalah oksigen yang terlarut dalam air, garam yan terlarut, cahaya, suhu, substansi yang beracun dan bahaya musuh (Marshall, 1982, hlm: 69).

Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan konsidi lingkungan. Misalnya, sebagai hewan yang hidup di air, baik itu yang hidup di perairan tawar maupun diperairan laut menyebabkan ikan harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karena ikan dilengkapi dengan organ yang di kenal sebagai linea lateralis. Organ ini tidak ditemukan pada hewan darat. Contoh lain perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan konsentrasi cairan tubuh memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya akibat difusi dan osmosis. Bila hal itu tidak dilakukan maka ikan laut dapat menjadi ikan kering yang asin, sedangkan ikan air tawar dapat mengalami kematian akibat kelebihan air (Fujaya, 2002, hlm: 4).

(18)

mencakup faktor fisik dan kimia yaitu cahaya, suhu, arus, garam-garam mineral, angin, pH, oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Sedangkan faktor teknologi dan kegiatan manusia berupa hasil teknologi dan kegiatan-kegiatan lain baik yang sifatnya memperburuk lingkungan seperti pabrik yang membuang limbahnya ke perairan maupun yang memperbaiki lingkungan seperti pelestarian daerah pesisir (Rifai et al, 1984, hlm: 44).

Pulau Kampai, secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.Pulau Kampai ini memiliki luas 700 ha, terdiri dari tujuh dusun yang dihuni 1200 kepala keluarga, saat ini penduduknya kurang lebih ada 4200 jiwa.Pulau Kampai berjarak lebihkurang 96 Km dari Kota Medan atau sekitar 53 Km dari Kota Stabat, Kabupaten Langkat.Di pulau Kampai ini terdapat berbagai aktivitas manusia antara lain: kegiatan domestik, pertambakan ikan, dan pembuangan limbah industri yang dapat mengubah faktor fisik-kimia perairan secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan faktor fisik-kimia tersebut akan mempengaruhi keberadaan ikan di dalam ekosistem perairan yang selanjutnya juga akan mempengaruhi biota air lainnya.Namun sejauh ini belum diketahui keanekaragaman ikan di perairan Pulau Kampai dan bagaimana hubungan keanekaragaman tersebut dengan nilai faktor fisik-kimia di perairan Pulau Kampai Langkat.Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan penelitian tentang Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Perairan Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara.

1.2Permasalahan

(19)

1.3TujuanPenelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi ikan di perairan Pulau Kampai.

b. Untuk mengetahui hubungan antara faktor fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman dan distribusi ikan di perairan Pulau Kampai.

1.4Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman dan distribusi ikan pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pulau Kampai.

b. Faktor fisik-kimia perairan mempunyai korelasi dengan nilai indeks keanekaragaman ikan di perairan Pulau Kampai.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk :

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman dan distribusi ikan di perairan Pulau Kampai.

(20)

BAB 2

BAHAN DAN METODA

2.1 Metode Penelitian

Penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel ikan dilakukan dengan Metode “Purpossive Random Sampling”pada tiga stasiun penelitian. Di masing-masing stasiun dilakukan sebanyak 30 kali ulangan pengambilan sampel yang dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2010.

2.2 Deskripsi Area

Pulau Kampai terletak di Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Pulau Kampai berjarak 3 jam dari kota Medan dan memiliki luas 700 Ha, terdiri dari tujuh dusun yang dihuni 1200 kepala keluarga (KK) dengan jumlah peduduk 4200 jiwa. Secara geografis Pulau kampai terletak pada 04˚11’31,9” LU dan 098˚14’14,5” BT sampai 04˚11’20,8” LU dan 098˚14’45,1” BT (Lampiran D). Di Kawasan perairan Pulau Kampai terdapat mangroveantara lain tanaman bakau (Avicenia sp., Rhizophora sp., Bruguiera sp.), api-api (Avicenia marina), buta-buta (Exceocaria agallocha), nipah (Nypha sp.). dan beberapa tempat aktivitas masyarakat seperti pertambakan ikan dan pemukiman penduduk.

a. Stasiun I

(21)

b. Stasiun

Stas geografis t stasiun ini b

c. Stasiun

Stas geografis t stasiun ini b

Ga

siun ini me terletak ant berupa pasir

ambar 1. St

merupakan d tara 04˚11’

tasiun II. P

aerah pemuk 20,8” LU

Mangrove (K

tambakan i dan 098˚14 T. Substrat

mbar 3). S T. Substrat

Secara pada

(22)

j dari setiap berisi alkoh

ngambilan s sampai jam pai jam 06 ameter 3 m sebanyak 3 r satu tempa ap pengamb

jenis ikan hol 70% seb um Pengelo MIPA USU,

nin (1968),

mbar 3. Stas

mpel

sampel ikan m 15.00 WI .00 WIB, y meter dan lu

30 kali ula at pengamb bilan sampel yang didap bagai penga

olaan Sum untuk diid dan Kottela

siun III. Pe

n dilaksanak IB, dan pad

yang dilaku uas mata ja angan pada bilan sampe l. Ikan yan pat dan dim awet. Sampe mber Daya dentifikasi d at et al (199

mukiman P

kan pada si da malam s

ukan denga ala 1,5 cm. a masing-m el ± 1 m da g didapat d masukkan k el yang diaw

Alam dan

an selang w diambil beb gi hari yaitu

nakan jala ilan sampel iun pengam waktu sekita

(23)

2.4 Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Suhu

Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan kedalam badan air ± 3 menit kemudian dibaca skala yang tertera pada termometer.

b. Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping Seechi yang dimasukkan kedalam badan air sampai keping seechi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk kedalam air.

c. Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya cahaya, kemudian dibaca skala yang tertera pada lux meter tersebut.

d. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan refraktometer, diambil sampel air sebanyak satu tetes lalu diteteskan pada permukaan alat refraktometer tersebut dan dilihat batas akhir pada skala.

e. pH (Derajat Keasaman)

(24)

f. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen)

Oksigen terlarut(DO= Disolved Oxygen) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).

g. BOD5 (Biological Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metode Winkler.Sampel air diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20oC kemudian diukur nilainya dengan metode winkler dimana nilai BOD5didapat dari pengurangan DO awal – DO akhir. Bagan kerja terlampir (Lampiran B).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik– Kimia Perairan

No Parameter

Fisik – Kimia Satuan Alat

Tempat Pengukuran

1. Suhu °C Termometer Air Raksa In – situ

2. Penetrasi Cahaya m Keping Sechii In – situ

3. Intensitas Cahaya Candela Lux meter In – situ

4. Salinitas 0/00 Refraktometer In – situ

5. pH Air - pH meter In –situ

6. DO (Oksigen Terlarut) mg/l Metoda Winkler In –situ

7. Kejenuhan Oksigen % Laboratorium

8. BOD5 mg/l Metoda Winkler Laboratorium

2.5 Analisisis Data

(25)

a. Kepadatan Populasi (K)

b. Kepadatan relatif (KR)

%

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

d. Indeks Keanekaragaman/ Diversitas Shannon-Wiener (H’)

menghitung keanekaragaman ikan

Pi = proporsi spesies ke-i Ln = logaritma Nature

Pi =  ni / N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

e.Indeks Equitabilitas / Indeks Keseragaman (E)

(26)

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya spesies dengan nilai E berkisar antara 0-1

f. Indeks Similaritas (IS) %

g. Indeks Distribusi(Morista)

1

N = jumlah total individu dalam total plot X2 = kuadrat jumlah individu per plot untuk total plot

Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut: Jika: Id = 1 (distribusi diacak)

Id < 1 (distribusi normal) Id > 1 (distribusi bergerombol)

h. Kejenuhan Oksigen

(27)

dimana: O2 (u) = nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 (t) = nilai konsentrasi yang sebenarnya (Lampiran D) sesuai dengan temperatur.

i. Analisis Korelasi

(28)

BAB 3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Jenis-jenis Ikan dan Klasifikasi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Pulau Kampai Kecamatan Pangkalan Susu kabupaten Langkat Sumatera Utara didapatkan jenis ikan yang termasuk kedalam SubKelas Osteichtyes, terdiri dari 5 ordo, 15 famili, 16 genus dan 16 spesies. Seperti terlihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang Didapat pada Stasiun Penelitian

ORDO FAMILI GENUS SPESIES NAMA DAERAH

1.Cyprinidontiformes 1. Belonidae 1. Xenentodon 1. Xenentodon sp. 1. Tepu

2. Lophiiformes 2. Antennaridae 2. Dermogenys 2. Dermogenys sp. 2. Cucut

3. Perciformes 3. Mugilidae

4. Leiognathidae

5. Lutjanidae

6. Singanidae

7. Teraponidae

8. Scatophagidae

9. Apogonidae

10. Sciaenidae

11. Eleotrididae

12. Haemulidae

3. Mugil

4. Leiognathus

5. Secutor

6. Lutjanus

7. Siganus

8. Terapon

9. Scatophagus

10. Apogon

11. Johnius

12. Butis

13. Pomadasys

3. Mugil sp.

4. Kekek Lendir

5. Kekek Emping

6. Tanda

7. Ketang Surat

8. Kedendang

9. Ketang Rintik

10. Suding

11. Gulama

12. Gabus pasir

13. Kerot-kerot

4. Rajiformes 13. Chandidae 14. Ambassis 14. Ambassis sp. 14. Seriding

5. Siluriformes 14. Pangasiidae

15. Plotosidae

15. Pangasius

16. Plotosus

15. Pagasius sp.

16. Plotosus sp.

15. Patin

(29)

Ciri-ciri U ng kepala 4 ng batang e

Menurut ang kepala ang total, ba t ke sirip e panjang, Ti

G s Dermogen

-tanda khu

ni memilik g kepala 4, g batang ek

yang didap

onsp.(Ikan T

usus:

ki panjang 4,1-4,5 cm, ekor 2,1-2,6

Kottelat & sepertiga d adan panjan ekor. Rahan ipe ekor me

Gambar 4. nys sp. (Ika

sus:

ki panjang 5-5,8 cm, l 6 cm, bukaan

& Whitten dari panjang ng dan kuru ngnya panja g total, pan s, letak sirip ang dan taj physerkal). m, tinggi kep

1,9 cm.

ulut 2,5-3,6 kepala 0.6-1

(30)

ni memiliki 2,5-3 cm, n mulut 2-2,

Menurut K m, lebar bad Bentuk bad ni memiliki ni terminal. d. Warna tub

Kottelat & i panjang 1 n seperlima

adan bulat p

Gambar 5. I

Kottelat & W dan kurang dan memanj

sirip pungg Tubuh me buh bagian

Whitten (1 12-15 cm. P a dari panjan panjang, tip

Ikan Cucut

nak), famil ng total. Ika pe ekor mem

(Dermogeny an tipe eko a yang bena epala lancip

ang kepala 2 ang batang

6), ikan ini iga dari pa miliki mulut

hyserkal).

2,3-2,9 cm, ekor 2-2,3

Panjang tot ima dari pa ak (homoce

pisah, tipe m itutupi oleh an perut puti

(31)

4. Spesies

s Leiognath

tanda khus

ni memiliki 2,9-3,1 cm n mulut 1-1,

Ikan ini m setengah d g total. Ter n tipe mulut . Tipe ekor , tinggi kep ,2 cm.

memiliki pan dari panjang rmasuk ikan t terminal da r ikan ini a

mbar 7. Ikan

ar 6. Ikan B

n Kekek L

tal 12,1-12, pala 2,3-2,6

njang total g total. Pan n yang mem

an mata yan adalah berc

n Kekek Len

Belanak (M cagak atau

ndir (Leiogn

Mugil sp.)

mili: Leiogn

ang kepala 6 ng batang e

(32)

5. Spesie ng total pad g total dan

ramping da rminal, bent

Ga

s Lutjanus s

-tanda khu

ni memiliki 5,1-5,4 cm n mulut

1,5-p. (ikan Ke

sus:

i panjang to , tinggi kep -0,8cm.

Kottelat & da umumn

lebar bada an sangat p tuk mulut bu

mbar 8. Ika

sp. (Ikan T

sus:

panjang tot m, tinggi ke

-1,8 cm. pipih. Pada

ulat dengan h dari panja bagian kep n tipe ekor b

Emping (Sec

mili: Lutjan

6 cm, panja cm, panja

: Leiognath

ang kepala ng batang e

: 109), ika ng kepala ang total. Ik

pala terdapa bercagak (H

cutor sp.)

idae

ang kepala 3 ang batang

hidae

2-2,2 cm, ekor 1,5-1,8

an ini mem seperempat kan ini mem

(33)

lebar t

pada gurat tenoid. Tub ocerkal) (Sa

s Singanus

a-tanda khu

ni memiliki 5-5,6cm, t n mulut 1-1,

Menurut K cm dengan Ikan ini b ungi sisik k nya terminal

neural pert ar bisa/racun

emilki Panj 7cm. pada

sisi yang l buh ramping aanin, 1968,

Gambar 9

Kottelat & W n lebar bada

berwarna h kecil. Pada l. Punggung ama dan bi n pada ujun

jang total + tubuh terd letaknya de g, tipe mulu

hlm: 241). a bagian ke

g dilengkap asanya terta ngnya. Tipe

24,3 cm, p dapat garis

ekat dengan

i sebuah du anam dibaw

ang kepala 2 ng batang e

35), panjang pala seperlim

badan pip pat mulut uri tajam me wah kulit di gak (homoc

ala + 4,5 cm Terdapat b buh ditutup pe ekor berc

ae

2,4-2,8 cm, ekor 2,1-2,5

g ikan ini a ma dari pa pih lateral

(34)

8. Spesie

jarbua, (Ika

usus:

i panjang to m, tinggi kep

-0,5 cm.

tal 11-13 cm al.Terdapat

ik sepanjan Bentuk tubuh

rkal (Saanin

mbar 11. Ika

kan Ketang

an Kedend

otal 2,4-3,3 pala 0,5-0,6

m dan leba 3 garis wa ng gurat sisi uh pipih/ ram

n, 1968, hlm

an Kedenda

Surat (Sing mping, tipe m: 244).

ang (Terapo

ganus sp.)

li: Terapon

ang kepala ang batang

m. Panjang k gkung ke b is sisik anta

mulut term ara gurat sis minal dan de

(35)

9. Spesie

s Scatophag

-tanda khu

ni memiliki 5,1-5,9 cm n mulut

1,1-Ikan ini bi 3,5 cm, l an mulut 1,2

gus sp. (Ika

sus:

panjang to m, tinggi kep

-1,3 cm.

sa mencapa lebar badan intik-bintik -jari keras 1 liki 4 duri

le.co.id/sear a=cr%3Dco

bar 12. Ikan

p. (Ikan Su

usus:

ki panjang to m, tinggi ke 2-1,5 cm.

an Ketang

otal 9,1-10,3 pala 2,2-2,8

ai panjang n badan b

dan tubu 13 dan bagi i yang taja arch?hl=id& ountryID).

n Ketang Ri

uding), fam ian sirip be am dengan &q=ciri+ikan

intik (Scatop

mili: Apogon

8 cm, panja cm, panjan

mili: Scato

ng kepala 2 ang batang e

njang kepa pai 7,5 cm bentuk seg erjari-jari lu n bentuk ek

n+scatophag

phagus sp.)

nidae

ang kepala 2 ng batang e

(36)

panjan ng total 23 n sepertiga

tidak ada g r yang tidak . Bentuk mu

s Johnius s

a-tanda khu

ini memilik n 3,7-4,2cm an mulut 1-1

Memiliki ng total, leb gung yang d, memiliki

Kottelat & 3 cm. Panj dari panjan garis warna k sempurna ulut termina

Gambar 13

sp. (Ikan G

usus:

ki panjang t m, tinggi ke

1,2 cm.

panjang to bar badan s

sedikit be i bentuk mu

Whitten (1 ang kepala ng badan, m

sepanjang a sepanjang

al dan denga

3. Ikan Sud

Gulama), fam

total 17,4-1 epala 2,6-2,

otal 12-19 sepertiga d ersambung. ulut termina

993, hlm: 1 a seperlima memiliki be sisi badan a

gurat sisik an tipe ekor

ding (Apogo

mili: Scian al (Saanin, 1

122), ikan in a dari panja rcak gelap atau di kepa k. Sirip pung r homocerka

n sp.)

idae

jang kepala ang batang

ang kepala g badan. Me

badan dan 968, hlm: 2

ni bisa men ang total. L

di pangkal ala, garis sa nggung dan

(37)

12. Spesie a bersisik, b

G

Gambar 14

(Ikan Gabu

usus:

ki panjang 3,6 cm, ting ut 0,7-1 cm.

Kottelat & W ari panjang

t. Berwarna bentuk mulu

Gambar 15.

4. Ikan Gula

us Pasir), f

total 13,9-ggi kepala 0

.

Whitten (19 total, leba a hitam kec

ut bercagak

. Ikan Gabu

ama (Johniu

famili: Eleo 5,5 kali leb epala pipih membulat.

tis sp.)

pala 2,7-3,5 tang ekor 2,

g kepala 6-ebih pendek h datar, pip

5 cm, ,9-3,4

(38)

13. Spesie

s Pomadasy

a-tanda khu id, sirip pu k hitam. M nin, 1968, hl

Ga

ki panjang 4,4 cm, ting

i panjang to tinggi kepa -0,8 cm.

n Kerot-Ker

total 10,7-ggi kepala 1

.

ga 50 cm. P a dari panj nggal mem ntuk mulut

Ikan Kerot-arah ekor, t

dan tipe e

madasyssp.)

ndidae

ng kepala 1 ng batang e

dae

pala 3,4-4,2 tang ekor 2,

(39)

n atas pingg mencapai pa

k mulut term

G

es Pangasiu

a-tanda khu

ini memilik n 2,3-2,7 cm an mulut 1,1

Menurut ng kepala ng total. M ari sirip pu

bang, bentu

Kottelat & W an ini mem rlima dari pa giran mata angkal sirip minal, tubuh

Gambar 17

us sp. (Ikan

usus:

ki panjang to m, tinggi ke 1-1,6 cm.

Kottelat & seperempat Memiliki kul unggung da uk ekor mem

Whitten (19 miliki panjan anjang total bagian dep perut atau hnya bening

7. Ikan Seri

n Patin ), fa

otal 8,8-10, epala 2,1-2

& Whitten t dari panja lit halus, du an sirip d mbulat.

993, hlm: 1 ng kepala se

l, otot pung pan. Sirip p sedikit lebih g sehingga d

ding ( Amba

amili: Pang

,3 cm, panj ,5 cm, panj

(1993, hlm ang total, l ua pasang s ada sempu disebut ikan

asis sp. )

ni tumbuh h ari panjang anjang men erpasangan e ekor berca n kaca.

a 2,5-3 cm, g ekor 2,6-3

kan ini mem n seperlima

g relatif pe n tujuh jar

(40)

16. Spesie

ni memiliki 1,8-2,4 cm apai bagian b

Gamba

p. (Ikan Se usus:

panjang to , tinggi kep ,4 cm.

epala seper . Ikan berku a (berduri ta ung denga

rlima dari p umis yang b ajam) sanga an sirip ek mata. Bentuk

19. Ikan Se

Patin (Pang

famili: Plo

2 cm, panjan 3 cm, panja

panjang tota bentuknya m at dekat den kor dan sir k ekor memb

embilang (P

gasius sp.)

tosidae

ng kepala 1 ng batang e

al. Lebar b memanjang ngan kepala rip dubur. bulat (Saan

Plotosus sp.)

1,7-2,4 cm, ekor 3,6-3,3

badan seper tanpa sisik a. Sirip pung

Sungut hi nin, 1968, 15

(41)

3.2 Kepadatan Populasi (ind/100m2), Kepadatan Relatif (KR %) dan FrekuensiKehadiran (FK %) Ikan pada setiap Stasiun Penelitian

Dari data yang diperoleh, setelah dianalisis didapatkan nilai kepadatan populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK) ikan pada setiap stasiun penelitian, seperti terlihat pada Tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2Kepadatan Populasi (ind/ 100m2), Kepadatan Relatif (KR 100%) dan Frekuensi Kehadiran (FK 100%) Ikan pada setiap Stasiun Penelitian

Spesies Stasiun I Stasiun II Stasiun III

K KR FK K KR FK K KR FK

Ambasis sp. 6,61 16,87 40 4,25 12,31 26,66 2,36 7,82 16,66 Apongonsp. 0 0 0 1,42 4,11 10 0,94 3,11 6,66

Butissp. 1,42 3,62 10 0 0 0 0 0 0

Dermogenissp. 2,36 6,02 16,66 6,13 17,75 30 5,19 17,19 33,33

Johniussp. 1,89 4,83 13,33 0 0 0 0 0 0

Leiognathussp. 4,25 10,85 26,66 5,66 16,39 40 2,36 7,82 16,66

Lutjanussp. 1,42 3,62 10 0 0 0 0 0 0

Mugilsp. 3,30 8,42 20 2,36 6,83 16,66 5,19 17,19 30 Pangasiussp. 0 0 0 3,30 9,57 23,33 2,36 7,82 16,66 Plotosussp. 0 0 0 2,36 6,83 16,66 2,83 9,37 20

Pomadasyssp. 1,89 4,83 13,33 0 0 0 0 0 0

Schatophagussp. 2,83 7,22 16,66 0 0 0 0 0 0 Secutorsp. 4,72 12,05 30 3,38 9,79 26,66 3,77 12,49 23,33 Singanussp. 3,77 9,62 23,33 4,25 12,31 30 5,19 17,19 30

TeraponJarbua 1,89 4,83 13,33 1,42 4,11 6,66 0 0 0

Xenentodonsp. 2,83 7,22 20 0 0 0 0 0 0

∑Jenis 13 10 9

total 39,18 100 253,30 34,53 100 226,63 30,19 100 213,36

Stasiun I = Daerah Mangrove (Kontrol) Stasiun II = Pertambakan Ikan

Stasiun III = Pemukiman Penduduk

Pada tabel di atas terlihat bahwa, pada stasiun I Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) tertinggi di dapatkan pada jenis Ambasis sp. yaitu masing-masing sebesar 6,61 ind/ 100m2, 16,87%, 40,00%. Hal ini disebabkan oleh kondisi faktor fisik kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH, DO, kejenuhan oksigen dan BOD5 yang mendukung pertumbuhan dari ikan jenis Ambasis sp.Ikan jenis ini biasanya dapat hidup dengan baik pada kawasan mangrove. Nontji (1983, hlm: 56), mengatakan bahwa ikan dari jenis

(42)

Lutjanus sp. yaitu masing-masing 1,42 ind/ 100m2, 3,62%, 10,00%. Hal ini disebabkan penetrasi cahaya yang tidak mendukung pertumbuhan ketiga spesies ini.

Jubaedah (2006, hlm: 41) menjelaskan bahwa penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan, terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang mengendap sebagai faktor pembatas. Kekeruhan dan kedalaman air mempunyai pengaruh terhadap jumlah dan jenis hewan akuatik. Cahaya dibutuhkan ikan untuk memangsa, menghindar dari predator atau untuk beruaya. Pada umumnya ikan berada pada daerah-daerah yang penetrasi cahanya masih baik, sedangkan daerah yang gelap dimana penetrasi cahaya sudah tidak ada hanya dihuni ikan buas atau predator yang menyukai tempat gelap.

Pada Stasiun II nilai K, KR, FK tertinggi di dapatkan pada jenis

Dermogenissp. sebesar 6,13 ind/ 100m2,17,75%, 30,00%. Tingginya nlai K, KR, FK dari Dermogenis sp. disebabkan oleh faktor fisik kimiayang mendukung pertumbuhan ikanDermogenis sp. seperti suhu, pH dan salinitas. Menurut(http://www.fao.org/docrep/field/003/AB88207.htmWBL/85-7) bahwa ikan dari jenis Dermogenis sp. kehidupannya, terutama sangat dipengaruhi kondisi suhu perairan, dimana jenis ini akan dapat hidup lebih baik pada suhu air berkisar antara 28 - 30° C. Disamping itu biasanya ikan ini banyak dijumpai disekitar karang, dermaga, pemecah ombak yang sudah ditumbuhi lumut, dengan suhu optimum sekitar 29° C. Nilai K, KR, FK terendah pada stasiun II terdapat pada jenis Apogon sp.dan Terapon jarbua sp. yaitu masing-masing 1,42 ind/ 100m2, 4,11%, 10,00%. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang cocok bagi pertumbuhan Apogon sp.dan Terapon jarbua sp.Sesuai dengan yang dinyatakan (http://www. Fishforum.com/post 89386-3/) bahwa ikan dari jenis

Terapon jarbua hidup pada substrat dasar yang berbatu.

Pada stasiun III nilai K, KR, FK tertinggi di dapatkan pada jenis

(43)

mendukung pertumbuhan ketiga spesies ini seperti pH, intensitas cahaya dan penetrasi cahaya. Nilai K, KR, FK terendah pada stasiun III terdapat pada jenis

Apogon sp. yaitu masing-masing 0,94 ind/ 100m2, 3,11%, 6,66%. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang cocok bagi pertumbuhan Apogon

sp. dan jenis ikan ini termasuk jenis ikan yang hidup soliter sehingga sulit ditangkap.Rifai et al (1983, hlm: 47), menyatakan jenis ikan yang diperoleh dalam jumlah sedikit umumnya merupakan predator yang hidupnya soliter atau terpisah-pisah dan tidak membentuk gerombol.

Dari seluruh jenis ikan yang didapat, ada beberapa spesies yang hanya terdapat pada stasiun I sebagi kontrol, yaitu Butis sp., Johnius sp., Lutjanus sp.,

Pomadasys sp., schatophagus sp. dan Xenentodon sp. Ikan ini berkembang baik pada daerah mangrove. Hal ini disebabkan karena stasiun ini masih tergolong baik (alami) karena belum adanya aktifitas manusia yang menghasilkan limbah kebadan air, hal ini dapat dilihat dari parameter faktor fisik kimia yang diperoleh (Tabel 3.6).

Ikan dari jenis Apogon sp., Pangasius sp., Plotosus sp., hanya terdapat pada stasiun II dan stasiun III, ketiga jenis ikan ini cocok hidup pada stasiun II dan stasiun III yang dianggap sudah mengalami pencemaran sedang. Hal ini terbukti dengan nilai BOD pada stasiun III sebesar 3,4 mg/l.Parameter BOD secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Dari penelitian yang dilakukan nilai BOD pada stasiun ini sebesar 4,2 mg/l. Hal ini menyebabkan spesies yang diperoleh sangat sedikit. Tiap-tiap spesies biotaakuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi BOD di suatu perairan (Jubaedah, 2006, hlm: 44).

Keberadaan ikan yang memiliki KR lebih besar dari 15% dan FK lebih besar 25%, pada stasiun I yaitu Ambasis sp., stasiun II yaitu Dermogenys sp dan

Leiognathus sp., sedangkan pada stasiun III yaitu Dermogenys sp.,Mugil sp. dan

(44)

25%dari suatu organisme pada suatu habitat menunjukkan bahwa habitat tersebut sangat baik untuk kehidupan dan perkembangannya.

Menurut Suin (2002, hlm:1) bahwa perubahan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila pada suatu daerah misalnya, kepadatan suatu organisme berlimpah dan karena suatu sebab faktor lingkungannya berubah maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara drastis, misalnya karena adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun. Sebaliknya bila pada suatu daerah kepadatan suatu jenis organisme rendah, karena adanya pencemaran dapat pula terjadi peningkatan kepadatan suatu jenis organisme rendah, karena adanya pencemaran dapat pula terjadi peningkatan kepadatan populasi yang tinggi, umpamanya pencemaran zat organik dapat menyebabkan kepadatan populasi bakteri pembusuk meningkat. Jelas ada suatu hubungan yang erat antara organisme dengan lingkungannya.

3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Ikan pada masing-masing Stasiun Penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian memperlihatkan indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (E) Ikan di Kawasan Pulau Sembilan seperti pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Ikan pada masing-masing Stasiun Penelitian

Keterangan STASIUN

I II III

Indeks keanekaragaman (H’) 2,452 2,196 2,091

Indeks keseragaman (E) 0,884 0,792 0,754

(45)

keanekaragaman sedang bila 2,302 < H’ < 6,907 dan keanekaragaman tinggi bila H’ > 6,907. Tingginya indeks keanekaragaman pada stasiun I disebabkan parameter fisik kimia yang diperoleh dari stasiun ini mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan ikan seperti Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, pH, DO, salinitas dan BOD5 (Tabel 3.6), sedangkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman pada stasiun III diduga karena adanya limbah-limbah pada kawasan tersebut yang mengganggu kehidupan sebagian ikan pada daerah tersebut, dimana stasiun III merupakan areal pemukiman penduduk dengan segala aktivitasnya. Sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui KEP No-51/MNLH/I/2004 yaitu DO> 3 mg/l. Salinitas s/d 340/00, pH 6.50-8.50 dan BOD5< 25 mg/l.

Menurut Kottelat dan Whitten (1993, hlm: 127), aktivitas rumah tangga dan saluran pembuangan pada kawasan tersebut menghasilkan limbah organik yang mengganggu kehidupan perairan. Perumahan penduduk yang terpisah dari daratan menyebabkan perlunya transportasi air bagi penduduk untuk beraktivitas di daratan.Limbah transportasi dan hilir mudiknya transportasi tersebut dapat mengganggu kehidupan ikan.

Stasiun II terletak pada kawasan pertambakan ikan kerapu, adanya limbah dari tambak yang tredapat disekitar stasiun ini, antara lain karena pestisida dan kapur yang sering digunakan mengganggu kehidupan ikan dikawasan tersebut. Stasiun ini jaga merupakan lintasan transportasi air bagi kehidupan nelayan. Noor

(46)

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai indeks keseragaman pada stasiun I sebesar 0,884, stasiun II sebesar 0,792 dan stasiun III sebesar 0,754. Menurut Krebs (1985, hlm: 512), nilai keseragaman berkisar anatara 0 - 1. Nilai keseragaman mendekati 1 dikatakan pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat seragam (merata).Sebaliknya jika nilai mendekati 0 berarti keseragaman rendah karena ada jenis yang mendominasi.Pada stasiun I nilai keseragaman sebesar 0,884 ini menunjukkan bahwa pembagian jumlah individu 88% merata pada stasiun ini.Pada stasiun II nilai indeks keseragaman sebesar 0,792 ini berarti bahwa keseragamannya 79% merata.Begitu juga stasiun III dengan indeks keseragaman 0,754 menunjukkan keseragaman 75% merata.

3.4 Indeks Similaritas

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai indeks similaritas (IS) seperti pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Indeks Similaritas (IS) Ikan pada masing-masing StasiunPenelitian

Stasiun I II III

I - 60,869 54,545

II - - 94,736

Keterangan:

Stasiun I : Daerah Mangrove (Kontrol) Stasiun II : Pertambakan Ikan

Stasiun III : Pemukiman Penduduk

Dari Tabel 3.4 dapat dilihat hasil pengamatan bahwa nilai indeks similaritas (IS) yang didapat pada stasiun penelitian bervariasi dan berkisar antara 54,545% - 94,736%. Suin (2002, hlm: 1), mengkategorikan kriteria Indeks Similaritas dikatakan sangat mirip apabila nilai IS 75-100%, mirip apabila nilai IS 50-75%, tidak mirip apabila nilai IS 25-50%, dan sangat tidak mirip apabila nilai IS ≤ 25%.

(47)

faktor ekologis dan faktor fisik kimia yang tidak jauh berbeda pada setiap stasiun seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH, dan DO.Kondisi yang hampir samaini menyebabkan terdapat kesamaan nilai spesies ikan di kedua stasiun tersebut. Dari nilai IS pada ketiga stasiun menunjukkan bahwa perbedaan kondisi perairan turut menentukan dan mempengaruhi keberadaan dan kepadatan ikan pada suatu perairan.

3.5 Indeks Distribusi (Morista)

Untuk melihat pola penyebaran tiap jenis ikan, maka digunakan Indeks Morista. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh nilai Indeks Morista seperti pada tabel berikut:

Tabel 3.5 Indeks Distribusi/ Morista pada Setiap stasiun Penelitian

No Spesies Indeks Morista Keterangan

1 Ambasis sp. 0,714 Normal

2 Apongon sp. 0 Normal

3 Butis sp. 0 Normal

4 Dermogenis sp. 1,108 Bergerombol

5 Johnius sp. 0 Normal

6 Leiognathus sp. 0,276 Normal

7 Lutjanus sp. 0 Normal

8 Mugil sp. 1,067 Bergerombol

9 Pangasius sp. 0 Normal

10 Plotosus sp. 0 Normal

11 Pomadasys sp. 0 Normal

12 Schatophagus sp. 6,0 Bergerombol

13 Secutor sp. 0,553 Normal

14 Singanus sp. 0,714 Normal

15 Terapon Jarbua 4,186 Bergerombol

16 Xenentodon sp. 0 Normal

(48)

Leiognathus sp., Lutjanus sp., Pangasius sp., Pomadasys sp., Plotosus sp., Secutor

sp.,Singanus sp.,Xenentodon sp., Dikategorikan distribusi spesies secara acak (random). Sedangkan Spesies yang memiliki nilai indeks distribusi berkelompok yaitu Dermogenis sp., Mugil sp., Schatophagus sp., Terapon Jarbua. Hal ini diduga karena spesies ini merupakan jenis ikan demersal yaitu ikan yang ciri-ciri hidupnya membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar dengan gerak/aktivitas yang relatif rendah (Kottelat & Whitten, 1993, hlm: 45). Odum (1996, hlm: 574) menyatakan bahwa populasi bergerombol dengan bermacam derajat merupakan pola yang paling umum dalam populasi dan hampir merupakan aturan apabila dipandang dari sudut individu.

Menurut Michael (1984, hlm: 143), bahwa bila diperoleh indeks morista bernilai 1 maka pola distribusi spesies tersebut adalah acak, bila diperoleh indeks morista bernilai >1 maka pola distribusi spesies tersebut adalah bergerombol, bila diperoleh nilai indeks morista <1 maka pola distribusi spesies tersebut adalah normal. Pola penyebaran suatu organisme bergantung pada sifat fisik-kimia lingkungan yang berupa nutrisi, substrat atau berupa faktor fisik kimia perairan tersebut. Suatu struktur komunitas alami tergantung pada cara organisme tersebar atau terpencar.

3.6 Faktor Fisik Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh nilai rata-rata faktor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada tabel 3.6

Tabel 3.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun

I II III

1 Suhu °C 28 29 29,5

2 Penetrasi Cahaya M 1,35 1,71 2,91

3 Intensitas Cahaya Candela 485 583 496

4 Salinitas 0/00 27 28 28,5

5 pH - 7,5 7,7 7,8

(49)

7 Kejenuhan Oksigen % 83,87 79,84 73,87

8 BOD5 mg/l 2,5 3,1 3,4

3.6.1 Suhu

Nilai Suhu yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 28 – 29,5°C, dengan suhu tertinggi terdapat pada stasiun III (pemukiman) dan terendah sebesar 28 pada stasiun I (mangrove). Tingginya suhu pada stasiun III disebabkan banyaknya aktifitas manusia.Secara keseluruhan ketiga stasiun penelitian masih dapat mendukung bagi kehidupan ikan.Perbedaan temperatur tersebut sangat berpengaruh terhadap aktifitas organisme akuatik di dalam air tersebut.Menurut Suin (2002, hlm: 63), bahwa berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan dari yang biasa, karena pembuangan sisa pabrik, misalnya, dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah.

Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar antara 150-300 C dan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 5

0

C (Cahyono, 2000, hlm: 34).Menurut Sutisna & Sutarmanto (1995, hlm: 49), menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik bagi ikan adalah antara 250C – 350C. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Hasil pengukuran suhu pada ketiga stasiun pada dasarnya masih normal dan belum membahayakan kehidupan biota laut sesuai dengan baku mutu air laut yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.

(50)

dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi.

3.6.2 Penetrasi Cahaya

Nilai penetrasi cahaya yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 135 – 2,91m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 2,91 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah diperoleh pada stasiun I sebesar 1,35 m. Yang mempengaruhi penetrasi cahaya pada lapisan air adalah ada tidaknya kanopi yang menutupi perairan tersebut, misalnya terdapat pohon dipinggir suatu perairan ataupun, banyaknya cahaya yang masuk akan mempengaruhi organisme yang berada dalam suatu badan perairan.Rendahnya nilai penetrasi pada stasiun I tersebut juga disebabkan karena daerah ini merupakan daerah yang berlumpur. Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi. Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman.Kekeruhan, terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas. Kekeruhan dan kedalaman air mempunyai pengaruh terhadap jumlah dan jenis hewan akuatik (Abdunnur, 2002, hlm: 13).

Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan.Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik kurang dari 45 cm batas pandang ikan akan berkurang (Kordi, 2004,hlm: 124).

(51)

penetrasi cahaya sudah tidak ada, hanya dihuni ikan buas atau predator yang lebih menyukai tempat gelap (Choliket,2005, hlm: 54). Air yang terlalu keruh dapat menyebabkan ikan mengalami gangguan pernapasan karena insangnya terganggu oleh kotoran. Selain itu dapat menurunkan atau melenyapkan selera makan karena daya penglihatan ikan terganggu (Cahyono, 2000, hlm: 153).

3.6.3 Intensitas Cahaya

Nilai intensitas cahaya yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 485 – 583 Candela.Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 583 Candela.Sedangkan intensitas cahaya terendah diperoleh pada stasiun I yaitu sebesar 485 Candela.Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun I adalah karena pada stasiun ini merupakan daerah mangrove sehingga terdapat banyak vegetasi. Menurut Barus (2004, hlm: 45), vegetasi yang ada di sepanjang aliran sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya.

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Rifai et al, 1983, hlm: 67).

3.6.4 Salinitas

(52)

kawasan tersebut yang menghasilkan limbah sehingga berdampak pada peningkatan kadar salinitas air.Di sisi lain perbedaan salinitas pada ketiga stasiun berkaitan dengan daerah penelitian ini merupakan daerah estuari, sehingga akan terjadi perubahan fluktuasi salinitas yang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh pasang surutnya air.

Salinitas adalah banyaknya zat terlarut dalam perairan (Nybakken, 1994, hlm:

294).Zat terlarut itu meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang

berasal dari organisme hidup dan gas-gas terlarut.Salinitas yang rendah dalam air laut

biasanya merupakan akibat dari percampuran dengan air sungai yaitu di muara-muara

sungai (Zottoli, 1983, hlm: 173).Perbedaan salinitas dalam suatu perairan dapat

mempengaruhi jenis-jenis ikan yang hidup di dalamnya.

Supriharyono (2000, hlm: 12-14) menyatakan bahwa muara merupakan perairan yang berhubungan bebas dengan laut sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Menurut Nybakken (1994, hlm: 296), pada daerah estuari yang terdapat aliran air tawar yang cukup memadai dan penguapan yang tidak terlalu tinggi, air tawar akan bergerak dan bercampur dengan air asin dibagian permukaan, sehingga salinitas akan turun. Kisaran ini masih sesuai dengan standar baku mutu air untuk biota perairan berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran salinitas normal perairan yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah s/d 340/00 (MNLH, 2004).

3.6.5 pH

(53)

(MNLH, 2004). Sutrisno (1987, hlm: 34), menyatakan pH optimum berkisar 6,0 – 8,0 sedangkan Michael (1994, hlm: 132), menyatakan nilai pH di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kemampuan air untuk melepas atau mengikat sejumlah ion hidrogen yang menunjukkan larutan tersebut asam dan basa.

pH air sangat berpengaruh terhadap organisasi air, baik tumbuhan maupun hewan yang hidup di dalamnya. pH air dapat digunakan untuk menyatakan baik buruknya kondisi suatu perairan sebagai lingkungan hidup. Adapun pH air yang dapat menjadikan ikan dapat tumbuh secara optimal yaitu berkisar antara 6,5-9,0 (Cahyono, 2000, hlm: 264).

Menurut Kristanto (2002, hlm: 73), bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

3.6.6 DO

(54)

Menurut Brotowidjoyo (1993, hlm: 49), kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5 – 7mg/l tidak mengubah jumlah toleransi konsumsi oksigen oleh ikan baik pada suhu rendah (20 – 250C) maupun tinggi (300C) sebagai batas optimum. Kisaran kandungan oksigen terlarut pada Perairan muara sungai Asahan masih berada pada kisaran normal yang masih dapat menopang kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu kualitas air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup melalui KEP No-51/MNLH/I/2004 yaitu > 3 mg/l (MNLH, 2004).

3.6.7 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun I (daerah kontrol) yaitu sebesar 82% dan kejenuhan oksigen terendah terdapat pada stasiun III (pemukiman penduduk) yaitu sebesar 73%. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun I memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dari seluruh stasiun penelitian yang dapat memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun III yang mengandung senyawa organik dari limbah pembuangan penduduk.

(55)

3.6.8 BOD5

Nilai BOD5 yang didapat pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 2,5 - 3,4 mg/l. BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 3,4 mg/l, sedangkan BOD5terendah diperoleh pada stasiun I sebesar 2,5 mg/l. Adanya perbedaan nilai BOD5disetiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organik yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipakai oleh mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun III (Pemukiman Penduduk) diakibatkan oleh banyaknya pencemaran organik pada lokasi tersebut sedangkan pada stasiun I yang merupakan daerah mangrove nilai BOD5 lebih rendah yaitu sebesar 2,5 mg/l. Nilai BOD5 pada perairan ini masih sesuai dengan baku mutu air untuk biota yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No-51/MNLH/I/2004 bahwa nilai BOD5 yang masih dapat menopang kehidupan biota adalah < 25 mg/l (MNLH, 2004).

Menurut Brower et al (1990, hlm: 67), bahwa apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10-20 mg/l O2 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran oleh senyawa organik tinggi. Selanjutnya Wardhana (1995, hlm: 90-91) mengatakan bahwa peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup.

3.7 Analisa Korelasi

(56)

Tabel 3.7 Nilai Korelasi yang diperoleh antar parameter fisik kimia perairan dengan Keanekaragaman Ikan yang didapatkan pada setiap Stasiun Penelitian

Suhu Penetrasi Cahaya

Intensitas Cahaya

Salinitas pH DO Kejenuhan Oksigen

BOD5 H’ -999* -859 -791 -0,999* -972 955 955 -999*

Keterangan: * = Berpengaruh nyata

- = Korelasi negatif

Dari tabel hasil analisis diatas Suhu, salinitas dan BOD5 berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman ikan, artinya apabila terjadi perubahan suhu, salinitas dan BOD5 pada suatu perairan maka akan berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman ikan. Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat

menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang

cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar antara 15 0

-30 0

C dan

perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 5 0

C (Cahyono, 2000, hlm: 265).

Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dan dapat menekan kenaikan ikan bahkan menyebabkan kematian bila kenaikan suhu sampai ekstrem (drastis). Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan adalah 25-32 °C. Bila suhu rendah ikan akan kehilangan nafsu makan, sebaliknya bila suhu terlalu tinggi ikan akan stres dan bahkan mati kekurangan oksigen. Bila suhu rendah maupun terlalu tinggi dapat membahayakan ikan, karena beberapa patogen berkembang baik pada suhu tersebut (Kordi, 2004, hal: 176-177).

(57)

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 99-127), oksigen merupakan salah satu faktor terpenting dalam sistem perairan, untuk mempertahankan hidupnya mahluk yang tinggal di air bergantung pada oksigen yang terlarut. Penentuan kadar oksigen terlarut dapat dijadikan ukuran untuk mementukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg/liter.Selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifannya, kehadiran pencemar, suhu air dan sebagainya.

(58)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan tentang Studi Keanekaragaman Ikan di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Jenis ikan yang didapat terdiri dari 5 ordo, 15 famili, 16 genus dan 16 spesies b. Kepadatan populasi tertinggi terdapat pada spesies Dermogenis sp. sebesar 6,13

ind/100m2 (stasiun II) dan kepadatan terendah terdapat pada spesies Apogon sp. sebesar 0,94 ind/100m2(stasiun III).

c. Keanekaragaman ikan tertinggi sebesar 2,452 (stasiun I) dan keanekaragaman terendah sebesar 2,091 (stasiun III). Secara keseluruhan tergolong sedang. d. Keseragaman tertinggi sebesar 0,884 (stasiun I) dan keseragaman terendah

sebesar 0,754 (stasiun III).

e. Pola distribusi setiap spesies ikan tergolong normal dan bergerombol.

f. Suhu, salinitas dan BOD5 berpengaruh nyata terhadap keanekaragaman ikan.

4.2 Saran

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Abdunnur.2002. Analisis Komunitas Makrozoobentos dalam Jurnal Ilmiah Mahakam.Vol. I. No.2.

Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. Medan: USU-Press.

Brotowidjoyo, M. D. 1993. Zoologi Dasar. Cetakan II. Jakarta: Erlangga

Brower, J. E., H.Z. Jerrold. & Car I.N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. USA, New York: Wm. C. Brown Publisher.

Cahyono, B. 2000.Budidaya Ikan Air Tawar.Yogyakarta: Kanisius

2010. Budidaya Ikan Patin Sepat Dan Baung. Jakarta: Pustaka Mina.

Choliket, A. 2005. Sebaran dan Struktur Komunitas Ikan di Sekitar EstuariaCitarum,Ciliwung dan Cisadane, Teluk Jakarta. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan"Torani" Universitas Hasanuddin Makassar No.1 Vol.14. Maret 2004: 01 -07.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset pembangunan BerkelanjutanIndonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara.Yogyakarta : Kanisius.

(http://www. Fishforum.com/post 89386-3/,diakses tanggal 15 agustus 2010).

(http://www.fao.org/docrep/field/003/AB88207.htmWBL/85-7, diakses tanggal 09 September 2010).

(http://www.google.co.id/search?hl=id&q=ciri+ikan+scatophagussp.++sp&btnG= telusuri&meta=cr%3DcountryID).

Jubaedah, I. 2006. Pengelolaan Waduk Bagi Kelestarian dan KeanekaragamanHayati Ikan. Jakarta: Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 1 No. 1, Mei 2006.

Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang

(60)

Koesbino. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum Bagian IV (Ekologi Perairan). Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan. Bogor: IPB.

Kordi, K.M.G. 2004.Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan.Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta.

Kottelat, M.A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S, Wirjoatmojo 1993. Freshwater Of Westren Indonesia and Sulawes. London: Periplus Edition.

Krebs, C. J. 1985. The Experimental Analkysis of Distributin and Abudancce. Third Edition. New York: Happer & Row Publisher.

Marshall, N. B. 1982. Biology of Fishes. New York: Capaprinon and Hall.

Michael, P. 1994. Metoda Ekologi Untuk Penelitian Ladang Laboratorium. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Nontji, A. 1983. Laut Nusantara. Jakarta: Gramedia.

Noor, R.,M. Khazali & I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. KAA/WI-IP. Bogor.

Nybakken, J.W. 1994. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

Rifai, S.A. Sukaya, N. & Nasution, Z. 1983. Biologi Perikanan. Edisi 1. Jakarta: Departemen Pendididkan dan Kebudayaan.

Romimohtarto. K & S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Jakarta: Djambatan

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan.Jilid 1 dan 2. Bandung: Bina Cipta.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.

Soemadji. 1995. Pemanfaatan Energi Hasil Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu. Laporan Penelitian. BadanPenelitian dan Pengembangan Industri Semarang

Soemarwoto, I. 1990. Biologi Umum 2. Jakarta: Gramedia.

Sugiyono.2005. Analisa Statistik-Korelasi Sederhana. http:// books168.com/ koefisien-korelasi-Product-moment-menurut sugiyono-pdf. html. Diakses Juni 2010.

(61)

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia.

Sutisna, D. H. & Sutarmanto. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Yokyakarta: Kanisius.

Sutrisno, C.T & E. Suciastuti. 1987. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Bina Aksara.

Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Gambar

Tabel 2.4. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor
Tabel 3.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang Didapat pada Stasiun Penelitian
Gambar 4.G. Ikan Tepu (Xenentodoonsp.)
Gambar 5. GIIkan Cucut (Dermogenyys sp. )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil identifikasi plankton yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian di Perairan Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat diperoleh berbagai

Keanekaragaman dan Distribusi Ikan Dikaitkan dengan Faktor Fisik dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan.. USU

Keanekaragaman Ikan di Sungai Deli Provinsi Sumatera Utara serta Keterkaitannya dengan Faktor Fisik Kimia Perairan.. Bioindikator

Tingginya nilai keanekaragaman fitoplankton pada stasiun tersebut dikarenakan faktor fisik kimia yang mendukung bagi pertumbuhan fitoplankton seperti kadar Nitrat

Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman ikan dan menganalisis hubungan keanekaragaman terhadap faktor fisik-kimia perairan di Sungai

Faktor fisik-kimia perairan juga sangat berpengaruh terhadap indeks keanekaragaman (H’), dimana pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol sehingga kondisi fisik-kimia

Nilai indeks dominansi pada setiap Stasiun memiliki nilai lebih kecil dari indeks keseragaman jenis artinya tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya diikuti dengan

ti = jumlah stasiun dimana spesies ke-i yang tertangkap % T = jumlah semua stasiun Indeks keanekaragaman Untuk menentukan keanekaragaman ikan digunakan indeks Shannon-Wiener Fachrul,