• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Di Hulu Sungai Asahan Porsea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Di Hulu Sungai Asahan Porsea"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

Rosida Ambarita : Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Di Hulu Sungai Asahan Porsea, 2010.

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI HULU

SUNGAI ASAHAN PORSEA

SKRIPSI

ROSIDA AMBARITA

050805053

s

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI HULU

SUNGAI ASAHAN PORSEA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ROSIDA AMBARITA

050805053

s

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI

HULU SUNGAI ASAHAN PORSEA

Kategori : SKRIPSI

Nama : ROSIDA AMBARITA

Nomor Induk : 050805053

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(MIPA) UNIVERSITAS SUMETERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juli 2009

Pembimbing II Pembimbing I

Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc Mayang Sari Y., S.Si., M. Si

NIP 131 695 907 NIP 132 206 571

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua

(4)

PERNYATAAN

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI HULU SUNGAI ASAHAN PORSEA

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini hasil karya saya sendiri, kecuali beberapa kutipan

dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2009

(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil

penelitian ini yang berjudul “Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan Porsea” dalam waktu yang telah ditetapkan yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Ibu Mayang Sari Yeanny,.S.Si,.M.Si selaku Dosen

Pembimbing I dan Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus,.M.Sc selaku Dosen

Pembimbing II dan donatur dalam penelitian ini yang telah banyak memberikan

dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar terutama saat penulis

memulai penulisan hingga penyusunan hasil penelitian ini. Dan juga kepada Bapak

Drs. Nursal,.M.Si dan Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti,.MS. selaku dosen penguji.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto,.M.Sc,

selaku Dosen Pembimbing Akademik dan sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA

USU dan kepada Ibu Roslina Ginting dan Abang Ewin selaku pegawai administrasi

Departemen Biologi.

Saya juga berterimakasih kepada tim lapangan Misran Hasudungan Siregar,

Toberni Santika Situmorang, Abang Dave dan Hariadi yang membantu penelitian ini.

Dan juga kepada tim sukses (Phylee Rasmitha, Olen, Sarah, Erni Lamtiur, Taripar

Mahmud, Becca dan Nana), abang asuh saya Nardo Banjarnahor S.Si, kakak dan

abang stambuk’04, rekan-rekan stambuk’05 dan junior stambuk’06 dan ’07 serta buat

rekan-rekan kost Gg.Berkat 2 dan abang Bae Ope yang telah banyak memberikan

semangat dan dorongan kepada penulis dalam penyelesaian hasil penelitian ini.

Akhirnya yang tidak terlupakan, terimakasih yang sebesar-besarnya buat tiap

tetes keringat, air mata dan setiap doa kepada yang tercinta Ayahanda U. Ambarita

(6)

Ambarita, dan Lilis Karina Ambarita. Juga kepada keluarga besar Oppung Andi dan

Oppung Nova yang telah banyak memberikan dukungan doa dan moril.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil

penelitian ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Sebelum dan sesudahnya penulis

mengucapkan terimakasih.

Medan, Juli 2009

(7)

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI IKAN DI HULU SUNGAI ASAHAN PORSEA

ABSTRAK

Penelitian tentang “Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan Porsea” telah dilakukan pada bulan Januari 2009. Titik pengambilan sampel dipilih dengan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dari 5 stasiun dan pada tiap stasiun dilakukan 30 kali ulangan. Sampel diambil dengan menggunakan jala. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Dari hasil penelitian didapatkan ikan yang termasuk ke dalam kelas Osteicthyes, terdiri dari 4 ordo, 8 famili, 12 genus dan 12 spesies. Nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi terdapat pada Gambusia sp. dengan nilai masing-masing sebesar 9,505 ind/m2, 57,891% dan 40%. Nilai Kepadatan dan Kepadatan Relatif terendah terdapat pada Osteochilus sp. yaitu 0,014 ind/m2 dan 0,086% serta Frekuensi Kehadiran terendah terdapat pada Clarias batrachus, Cyprinus carpio, Osteochilus sp.dan Oxyeleotris marmorata yaitu senilai 10%. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 2,109 dan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 1,929. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 5 yaitu 0,941 dan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 0,849. Pola distribusi dari setiap spesies yang diperoleh tergolong berkelompok dan normal. Dari hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa penetrasi cahaya berkorelasi positif dengan keanekaragaman ikan dan COD (Chemical Oxygen Demand) berkorelasi negatif dengan keanekaragaman ikan.

Kata kunci: Hulu Sungai Asahan, Ikan

(8)

THE DIVERSITY AND DISTRIBUTION OF FISH IN UPPER COURSE OF ASAHAN RIVER PORSEA

ABSTRACT

Research about “The Diversity And Distribution Of Fish In Upper Course Of Asahan River Porsea” was investigated in January 2009. Purposive Random Sampling Method was applied in choosing place sampling station. Samples were taken from 5 stations and in each station was done 30 times restarting. Samples were taken by using netss. Identifiying was done in Natural Resources Management and Environment Laboratory, Biology Department, Mathematics and Natural Sciences Faculty of North Sumatera University.

The results of research was found fish belong to Osteicthyes class, consist of 4 order, 8 family, 12 genera and 12 spesies. The highest population density, relative density and relative frequency was presented by Gambusia sp. for each value 9,505 ind/m2, 57,891% and 40%. The lowest population density and relative density was presented by Osteochilus sp. namely 0,014 ind/m2 and 0,086% and the lowest relative frequency was presented by Clarias batrachus, Cyprinus carpio, Osteochilus sp. and Oxyeleotris marmorata with value 10%. The highest index of diversity was found 2nd station namely 2,109 and the lowest index of diversity was found 4th station namely 1,929. The highest index of equitability was found 5th namely 0,941 and the lowest index of equitability was found 2nd station namely 0,849. The pattern of distribution from each spesies of fish was categorized as clumped and reguler. From the correlation analisys showed that light penetration gave positif correlation (same direction) with index of fish diversity and COD (Chemical Oxygen Demand) gave negatif correlation with index of fish diversity.

(9)

DAFTAR ISI

1.5Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4

2.1 Ekosistem Sungai 4

2.2 Biologi Ikan 5

2.3 Taksonomi Ikan 5

2.4 Ekologi Ikan 6

2.5 Faktor Fisik-Kimia Air 7

2.5.1 Temperatur 8

2.5.2 Intensitas Cahaya 9

2.5.3 Penetrasi Cahaya 9

2.5.4 Arus 10

2.5.5 DO (Disolved Oxygen) 10

2.5.6 pH (Derajat Keasaman) 11

2.5.7 BOD (Biological Oxygen Demand) 12

3.3 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 16

3.4 Analisis Data 18

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 21

4.1 Jenis-jenis Ikan dan Klasifikasi 21

4.2 Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan Relatif (KR %)

dan Frekuensi Kehadiran (FK %) Ikan Pada Setiap Stasiun Penelitian 28 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

(10)

4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) Pada Setiap Stasiun Penelitian 36

4.5 Nilai Indeks Morista Pada Setiap Stasiun Penelitian 37

4.6 Faktor Fisik Kimia Perairan 38

4.6.1 Suhu 39

4.6.2 Intensitas Cahaya 39

4.6.3 Penetrasi Cahaya 40

4.6.4 Arus 40

4.6.5 pH (Derajat Keasaman) 41

4.6.6 DO (Disolved Oxygen) 42

4.6.7 Kejenuhan Oksigen 42

4.6.8 BOD (Biological Oxygen Demand) 43

4.6.9 COD (Chemical Oxygen Demand) 44

4.6.10 Kandungan Organik Substrat 44

4.6 Analisis Korelasi 45

Bab 5. Kesimpulan dan Saran 47

5.1 Kesimpulan 47

5.2 Saran 48

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.3. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran 18

Faktor Fisik Kimia Perairan

Table 4.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang didapat pada Stasiun Penelitian 21 Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan Relatif (KR %)

dan Frekuensi Kehadiran (FK %) Ikan Pada Setiap Stasiun Penelitian 28 Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Pada Setiap Stasiun Penelitian 35

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) Pada Setiap Stasiun Penelitian 36

Tabel 4.5 Nilai Indeks Morista Pada Setiap Stasiun Penelitian 37

Tabel 4.6 Nilai Faktor Fisik-Kimia Yang Diperoleh Pada Setiap

Stasiun Penelitian 38

Tabel 4.7 Nilai Korelasi Yang Diperoleh Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan Dengan Keanekaragaman Ikan Yang Diperoleh Dari Setiap Stasiun

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 52

Lampiran B : Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BDO5 53

Lampiran C : Bagan Kerja Untuk Mengukur COD 54

Lampiran D : Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat 55

Lampiran E : Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai

Besaran Temperatur Air 56

Lampiran F : Foto Lokasi Penelitian 57

Lampiran G : Peta Lokasi Penelitian 58

Lampiran H : Data Mentah Penelitian 59

Lampiran I : Contoh Perhitungan 62

Lampiran J : Hasil Analisis Korelasi 64

Lampiran K : Hasil Analisis COD 65

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Cyprinus. Carpio 22

Gambar 2. Mystacoleucus padangensis 22

Gambar 3. Osteochilus sp. 23

Gambar 4. Puntius sp. 23

Gambar 5. Aplocheilus panchax 24

Gambar 6. Gambusia sp. 24

Gambar 7. Trichogaster sp. 25

Gambar 8. Trichopsis sp. 25

Gambar 9. Tilapia mossambica 26

Gambar 10. Channa sp. 26

Gambar 11. Oxyeleotris marmorata 27

Gambar 12. Clarias batrachus 27

Gambar 13. Stasiun 1 57

Gambar 14. Stasiun 2 57

Gambar 15. Stasiun 3 57

Gambar 16. Stasiun 4 57

Gambar 17. Stasiun 5 57

(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dipandang dari sudut hidrologis, sungai berperan sebagai jalur transport terhadap

aliran permukaan, yang mampu mengangkut berbagai jenis bahan dan zat. Bagi ilmu

limnologi sungai merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme air yang

memberikan gambaran kualitas dan kuantitas dari hubungan ekologis yang terdapat di

dalamnya, termasuk terhadap perubahan yang diakibatkan oleh ulah manusia. Sungai

merupakan sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara

komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya. Adanya dinamika

tersebut akan mengakibatkan suatu sungai berada dalam keseimbangan ekologis

sejauh sungai itu tidak menerima bahan-bahan asing dari luar. Pada batas-batas

kisaran tertentu pengaruh bahan asing ini masih dapat ditolerir dan kondisi

keseimbangan masih tetap dapat dipertahankan (Barus, 2004, hal: 85).

Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara, Indonesia.

Sungai ini mengalir dari mulut Danau Toba, melintasi Kota Tanjung Balai dan

berakhir di teluk Nibung, Selat Malaka

Daerah aliran danau Toba adalah suatu batasan daerah menurut kondisi topografi

dimana semua air hujan yang turun di daerah tersebut akan mengalir ke dalam danau,

ada juga yang menyebutnya Daerah Tangkapan Air (DTA) atau Catchment Area.

Daerah aliran ini dibatasi oleh kontur ketinggian yang mengelilingi danau dan

melintasi Porsea dimana sungai Asahan sepanjang 150 Km mengalirkan air keluar

dari danau sampai Selat Malaka, tepatnya di lokasi bendungan pengatur Siruar. Luas

daerah aliran Danau Toba ini seperti sebelumnya adalah 3.480 Km2. Daerah aliran

Danau Toba selanjutnya akan disebut sebagai daerah aliran hulu Sungai Asahan.

Daerah Aliran Sungai Asahan ini adalah suatu daerah yang dibatasi secara topografi

(15)

Batasan daerah aliran ini dimulai dari Bendungan Pengatur Siruar sampai ke hilir

berbatasan dengan laut Selat Malaka (Loebis,1999, hal: 9,27).

Perubahan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi

suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila pada suatu daerah misalnya, kepadatan

suatu organisme berlimpah, dan karena suatu sebab faktor lingkungannya berubah

maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara drastis, umpamanya karena

adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun. Sebaliknya, bila pada suatu daerah

kepadatan suatu jenis organisme rendah, karena adanya pencemaran dapat pula terjadi

peningkatan kepadatan suatu jenis organisme rendah, karena adanya pencemaran

dapat pula terjadi peningkatan kepadatan populasi yang tinggi, umpamanya

pencemaran zat organik dapat menyebabkan kepadatan populasi bakteri pembusuk

meningkat. Jelas ada suatu hubungan yang erat antara organisme dengan

lingkungannya (Suin, 2002, hal: 1).

Menurut Connel (1987, hal: 159), diantara komponen biotik, ikan merupakan

salah satu organisme akuatik yang rentan terhadap perubahan lingkungan terutama

yang diakibatkan oleh aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setiap jenis ikan agar dapat hidup dan berkembang biak dengan baik harus dapat

menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dimana ikan itu hidup.

Daerah aliran Hulu Sungai Asahan telah terdapat berbagai aktivitas manusia

seperti pemukiman, pertanian, pabrik dan pertambakan ikan. Dengan adanya berbagai

aktivitas tersebut limbah yang dihasilkan secara langsung maupun tidak langsung

dibuang ke badan perairan yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas

perairan dan biota air khususnya ikan. Sehubungan dengan hal tersebut maka

dilakukan penelitian tentang ”Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan Porsea”.

(16)

Adanya berbagai aktivitas di sepanjang aliran Hulu Sungai Asahan

mengakibatkan perubahan faktor fisik-kimia perairan yang juga berdampak pada

keanekaragaman dan distribusi ikan. Sejauh ini belum diketahui bagaimana

keanekaragaman dan distribusi ikan di bagian Hulu Sungai Asahan.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui keanekaragaman dan distribusi ikan di Hulu Sungai Asahan.

b. Untuk mengetahui hubungan keanekaragaman dan distribusi ikan dengan faktor

fisik-kimia di Hulu Sungai Asahan.

1.4 Hipotesis

a. Terdapat perbedaan keanekaragaman dan distribusi ikan pada setiap stasiun

penelitian.

b. Terdapat hubungan antara faktor fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman

dan distribusi ikan.

1.5 Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman dan distribusi ikan di Hulu

Sungai Asahan.

b. Memberikan informasi penting bagi instansi terkait dan masyarakat di sekitar

aliran Sungai Asahan mengenai pengaruh berbagai aktivitas yang mengakibatkan

perubahan faktor fisik-kimia perairan yang berpengaruh terhadap

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara

alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir. Air hujan

yang jatuh ke permukaan bumi dalam perjalanannya sebagian kecil menguap dan

sebagian besar mengalir dalam bentuk alur-alur kecil, kemudian menjadi alur-alur

sedang seterusnya mengumpul menjadi satu alur besar (Loebis et al, 1993, hal: 3).

Ekosistem lotik/sungai dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona

krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi

rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan helokrenal, yaitu mata air yang membentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran dari beberapa mata air akan membentuk

aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona rithral dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epirithral

(bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah dari aliran sungai di zona

rithral) dan hyporithral (bagian paling akhir dari zona rithral). Setelah melewati zona

hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relief lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal (bagian atas dari zona

potamal), metapotamal (bagian tengah) dan hypopotamal (bagian akhir darim zona

potamal) (Barus, 2004, hal: 82).

(18)

Ikan merupakan vertebrata aquatik dan bernafas dengan insang (beberapa jenis ikan

bernafas melalui alat tambahan berupa modifikasi gelembung renang/gelembung

udara). Mempunyai otak yang terbagi menjadi regio-regio. Otak itu dibungkus dalam

kranium (tulang kepala) yang brupa kartilago (tulang rawan) atau tulang menulang.

Ada sepasang mata. Kecuali ikan-ikan siklomata, mulut ikan itu disokong oleh rahang.

Telinga hanya terdiri dari telinga dalam, berupa saluran-saluran semisirkular, sebagai

organ keseimbangan. Jantung berkembang baik. Sirkulasinya menyangkut aliran

seluruh darah dari jantung melalui insang lalu ke seluruh bagian tubuh lain. Tipe

ginjal adalah profonefros dan mesonefros (Brotowidjoyo, 1993, hal: 181).

Tubuh ikan terdiri atas caput, truncus dan caudal. Batas yang nyata antara

caput dan truncus disebut tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan

ekor disebut anus. Kulit ikan terdiri dari dermis dan epidermis. Dermis terdiri dari

jaringan pengikat dilapisi oleh epitelium. Diantara sel-sel epitelium terdapat kelenjar

uniselular yang mengeluarkan lendir yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin

(Radiopoetra, 1990, hal: 456).

2.3 Taksonomi Ikan

Menurut Laili & Parsons (1993, hal: 48), ikan terbagi ke dalam tiga kelas berdasarkan

taksonominya yaitu:

a. Kelas Agnatha

Kelas ini meliputi ikan primitif seperti lamprey. Kelompok ini berumur 550 juta

tahun yang lalu dan sekarang hanya tinggal 50 spesies. Ikan ini tidak memiliki

sirip-sirip berpasangan tetapi memiliki sirip punggung dan satu sirip ekor.

Menurut Brotowidjoyo (1994, hal: 181), kelas Agnatha tidak berahang, mulut

bulut di sebelah anterior, kulit lunak berlendir, lubang hidung tunggal disebelah

dorsal. Faring dengan 7 atau lebih celah insang dan terbuka secara tidak langsung.

Notokorda persisten (tetap ada seumur hidup) dan secara tidak sempurna

(19)

dari cairan tubuh atau organ tubuh ikan lain dengan jalan mengisapnya. Contohnya

ikan hantu (hagfish, Myxine sp.) dan belut laut (lamprey, Petromyzon sp.). b. Kelas Chondrichthyes

Kelas ini memiliki ciri yaitu adanya tulang rawan dan tidak mempunyai sisik.

Kelas ini juga termasuk kelas yang primitif dengan umur 450 juta tahun yang lalu

dan sekarang hanya mempuyai 300 spesies. Misalnya seperti ikan pari dan hiu dan

makanannya biasanya adalah plankton dan organisme bentik. Menurut

Brotowidjoyo (1994, hal: 185), ikan-ikan dengan mulut ventral, disokong oleh

rahang. Skeleton dari tulang rawan. Kulit tertutup dengan sisik-sisik plakoid, ada

dua pasang sirip dan sirip kaudal kebanyakan heteroserkal. Ruang hidung

berpasangan, faring dengan 5-7 celah insang. Kelamin terpisah, fertilisasi

eksternal atau internal.

c. Kelas Osteichtyes

Kelas ini meliputi ikan teleostei yang merupakan ikan tulang sejati. Kelompok ini

merupakan ikan yang terbesar jumlahnya dari seluruh ikan, dimana melebihi

20.000 spesies dan ditemukan 300 juta tahun yang lalu.

2.4 Ekologi Ikan

Ikan mendiami semua tempat dari air tawar ke air asin. Ikan merupakan hewan

vertebrata yang berkembang dalam air dengan menggunakan insang untuk mengambil

oksigen dari lingkungan air disekitarnya. Ikan juga mempunyai anggota tubuh berupa

sirip untuk menjaga keseimbangan dalam air sehingga ia tidak tergantung pada arus

atau gerakan air yang disebabkan oleh angin (Sumich, 1992, hal: 152).

Air merupakan tempat ikan untuk melakukan berbagai macam aktivitas dalam

seluruh siklus hidupnya. Semua fungsi vital ikan seperti makan, pencernaan,

pertumbuhan, respon pada stimulus dan reproduksi tergantung pada air. Pada ikan

aspek terpenting dalam air adalah oksigen yang terlarut dalam air, garam yang terlarut,

(20)

Ikan sebagai hewan air memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak

dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan

organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Misalnya, sebagian hewan yang

hidup di air, baik itu di perairan tawar maupun di perairan laut menyebabkan ikan

harus dapat mengetahui kekuatan maupun arah arus, karenanya ikan dilengkapi

dengan organ yang dikenal sebagai linea lateralis. Organ ini tidak ditemukan pada

hewan darat. Contoh lain, perbedaan konsentrasi antara medium tempat hidup dan

konsentrasi cairan tubuh memaksa ikan melakukan osmoregulasi untuk

mempertahankan konsentrasi cairan tubuhnya akibat difusi dan osmosis. Bila hal itu

tidak dilakukan maka ikan laut dapat menjadi ikan kering yang asin, sedangkan ikan

air tawar dapat mengalami kematian akibat kelebihan air (Fujaya, 2002, hal: 4).

Penyebaran ikan di perairan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan

yang dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu: faktor biotik, faktor abiotik,

faktor teknologi, dan kegiatan manusia. Faktor biotik yaitu faktor alam yang hidup

atau jasad hidup, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dan faktor abiotik mencakup

faktor fisik dan kimia yaitu cahaya, suhu, arus, garam-garam mineral, angin, pH,

oksigen terlarut, salinitas dan BOD. Sedangkan faktor teknologi dan kegiatan manusia

berupa hasil teknologi dan kegiatan-kegiatan lain baik yang sifatnya memperburuk

lingkungan seperti pabrik yang membuang limbahnya ke perairan maupun yang

memperbaiki lingkungan seperti pelestarian daerah pesisir (Rifai et al, 1983, hal: 44).

2.5 Faktor Fisik-Kimia Air

Dalam studi Ekologi pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan

untuk mengetahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan

populasi organisme yang diteliti. Faktor fisika di air antara lain adalah temperatur,

cahaya, kecerahan, arus, dan daya hantar listrik. Adapun faktor kimia air antara lain

kadar oksigen terlarut, pH, alkalinitas, kesadahan, BOD, COD, unsur-unsur dan zat

(21)

2.5.1 Suhu

Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih tinggi. Untuk

memanaskan sebanyak 1 kg air dari 15 0C menjadi 16 0 misalnya, dibutuhkan energi

sebesar 1 kcal. Untuk hal yang sama, udara hanya membutuhkan energi sebesar

seperempatnya. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur

air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan

berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam

ekosistem air sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum VAN’T HOFFS,

kenaikan temperatur sebesar 10 0 C (hanya pada kisaran temperatur yang masih dapat

ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat.

Akibat meningkatkan laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen

meningkat, sementara di lain pihak dengan naiknya temperatur akan menyebabkan

kelarutan oksigen dalam air akan berkurang (Barus, 2004, hal : 44).

Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme, karena itu penyebaran

organisme baik di lautan maupun di perairan tawar dibatasi oleh suhu perairan

tersebut. Suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Secara

umum laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dan dapat menekan

kehidupan ikan bahkan menyebabkan kematian bila peningkatan suhu sampai ekstrem

(drastis). Kisaran suhu optimum bagi kehidupan ikan adalah 25-520C. Bila suhu

rendah ikan akan kehilangan nafsu makan, sebaliknya bila suhu terlalu tinggi ikan

akan stres bahkan mati kekurangan oksigen. Baik suhu rendah maupun terlalu tinggi

dapat membahayakan ikan, karena beberapa patogen berkembang baik pada suhu

tersebut (Kordi, 2004, hal: 176-177).

2.5.2 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan. Intensitas

cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung

(22)

proses fotosintesis akan terhambat sehigga oksigen dalam air makin berkurang,

dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk metabolismenya (Barus, 1996, hal: 43).

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya

dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator,

membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara

tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai

makanan (Rifai et al, 1983, hal: 47).

2.5.3 Penetrasi Cahaya

Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air. Dengan mengetahui

kecerahan suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada

kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak

keruh, yang agak keruh, dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak

pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah

kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik

untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau lebih. Karena bila kecerahan

kurang dari 45 cm, batas pandangan ikan akan berkurang (Kordi, 2004, hal: 181-182).

Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yan terlarut dalam air, lumpur,

potongan tanaman yang mengendap dan populasi organisme misalnya fitoplankton

sehingga membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman

(Odum, 1994, hal: 94).

2.5.4 Arus

Arus sangat penting sebagai faktor pembatas, terutama pada aliran air. Pengaruh arus

terhadap organisme aquatik adalah ancaman bagi organisme tersebut dihanyutkan oleh

arus yang deras. Oleh karena itu organisme mempunyai adaptasi morfologis yang

(23)

morfologis yang khas untuk bertahan pada habitat yang berarus deras. Selain itu

adaptasi yang dilakukan oleh organisme akuatik terhadap arus deras adalah melakukan

kompensasi terhadap hanyut dengan melakukan gerakan melawan arus. Pada

prinsipnya organisme akuatik akan berusaha mencari perlindungan untuk

menghindarkan diri dari ancaman hanyut, terutama pada substrat batu-batuan besar

yang terlindung dari arus air yang deras (Odum, 1994, hal: 94).

Menurut Kordi (2004, hal: 182), arus air sangat membantu pertukaran air,

membersihkan timbunan sisa metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang

sangat dibutuhkan ikan. Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena

menyebabkan ikan stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang,

kecepatan arus yang ideal sekitar 0,2-0,5 meter/detik.

2.5.5 Kelarutan Oksigen (DO=Disolved Oxygen)

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang paling penting dalam ekosistem air,

terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air.

Umumnya kelarutan oksigen dalam air terbatas. Dibandingkan dengan kadar oksigen

di udara yang mempunyai konsentrasi sebanyak 21% volum air yang hanya mampu

menyerap oksigen sebanyak 1% volum saja. Apabila oksigen di dalam air terdapat

dalam bentuk terlarut disebut sebagai keadaan aerob, terdapat dalam bentuk tidak

terlarut tetapi berikatan dengan unsur lain seperti NO2 dan NO3, disebut dalam

keadaan anoksik. Apabila tidak terdapat sama sekali oksigen dalam air, baik yang

terlarut maupun yang membentuk ikatan dengan unsur lain disebut kedaan anaerob.

Kelarutan oksigen didalam air sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur dan jumlah

garam terlarut dalam air (Barus, 2004, hal: 56).

Hewan darat dan hewan air sama-sama memerlukan oksigen untuk proses

kehidupannya. Namun, kandungan oksigen di udara dan di air sangat berbeda.

Kandungan oksigen di air hanya 5% atau kurang dibanding kandungan oksigen di

udara. Rendahnya kandungan oksigen dalam air menyebabkan hewan air harus

(24)

Bersamaan dengan itu, insang juga harus mengeluarkan ion-ion berlebih yang masuk

ke dalam tubuh. Semua ini memerlukan energi metabolik (Fujaya, 2002, hal: 5).

2.5.6 pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan

suasana asam suatu perairan. Air dikatakan basa apabila pH > 7 dan dikatakan asam

apabila pH < 7. Secara alamiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi

karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari fitoplankton dan

tanaman air mengkomsumsi CO2 dalam proses fotosintesis yang menghasilkan O2

dalam air mengkomsumsi O2 dalam proses respirasi yang menghasilkan CO2, suasana

ini menyebabkan kandungan air menurun (Arie, 1998, hal: 101).

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod

(1973) menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Hal ini

tergantung, pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta

jenis dan stadium organisme. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun

sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan

menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Kehidupan organisme

aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada umumnya organisme aquatik

toleran pada kisaran nilai pH netral menyatakan pH yang ideal bagi organisme aquatik

pada umumnya terdapat antara 7-8,5 (Odum, 1994, hal: 34).

2.5.7 BOD (Biological Oxygen Demand)

BOD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan mikroorganisme aerobik dalam

proses penguraian senyawa organik yang diukur pada temperatur 20˚C. Pengukuran

yang umunya dilakukan adalah pengukuran setelah lima hari (BOD5). Jumlah

senyawa organik yang diuraikan setelah lima hari inkubasi sudah mencapai kurang

lebih 70%. Faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa

(25)

menguraikan senyawa organik yang diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob

yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah

oksigen yang dibutuhkan untuk proses penguraian itu (Barus, 2004, hal: 65-66).

Menurut Wardhana (2004, hal: 93), bahwa Biological Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan

buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Sebenarnya peristiwa

penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air

lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan

mengandung oksigen yang cukup. Jumlah mikroorganisme tergantung pada tingkat

kebersihan air. Air yang jernih biasanya mengandung mikroorganisme yang relatif

lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah tercemar oleh bahan buangan.

2.5.8 COD (Chemical Oxygen Demand)

Menurut Wardhana (2004, hal: 93), bahwa Chemical Oxygen Demand atau kebutuhan

oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di

dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Menurut Asdak (1995, hal: 534),

bahwa COD adalah indikator tingkat pencemaran yang lain dan dapat dimanfaatkan

untuk memprakirakan secara kasar besarnya angka BOD. Angka indikator

pencemaran air ini kurang dimanfaatkan karena ia tidak dapat menunjukkan secara

memadai jumlah oksigen yang dikonsumsi dalam proses oksidasi pada aliran air

alamiah meskipun angka COD dapat ditentukan hanya dalam waktu beberapa jam saja

karena tidak bertumpu pada aktivitas bakteri seperti yang terjadi pada BOD.

Nilai COD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses

oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/L. dengan menukur nilai COD maka

akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses

oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis

(26)

2.5.9 Kandungan Organik Substrat

Menurut Seki (1982, hal: 56), komponen organik utama yang terdapat di dalam air

adalah asam amino, protein, karbohidrat, dan lemak. Sedangkan komponen lain

seperti asam organik, hidrokarbon vitamin, dan hormon juga ditemukan di perairan.

Tetapi hanya 10% dari material organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke

dasar perairan.

Keadaan substrat dasar badan air juga penting diketahui. Kehidupan

organismme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar

badan air. Dengan mengetahui bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan

didapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di

(27)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan

sampel ikan adalah ”Purposive Random Sampling” dengan menentukan lima stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 30 kali ulangan pengambilan

sampel.

3.1.1 Deskripsi Area

a. Stasiun 1

Stasiun ini terletak di Desa Parparean, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba

Samosir, yang secara geografis terletak pada 02026’07,5” LU – 099008’58,6” BT.

Daerah ini merupakan daerah kontrol. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur

berpasir.

b. Stasiun 2

Stasiun ini terletak di Desa Porsea, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba

Samosir, yang secara geografis terletak pada 02026’36,4” LU – 099009’28,5” BT,

daerah ini dijumpai pemukiman penduduk dan pertambakan ikan. Substrat pada

(28)

c. Stasiun 3

Stasiun ini terletak di Desa Dolok Nauli, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba

Samosir, yang secara geografis terletak pada 02o26’25,5” LU dan 99o11’37,0” BT.

Daerah ini merupakan lokasi pertanian. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur

berpasir.

d. Stasiun 4

Stasiun ini terletak di Desa Siruar, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba

Samosir, yang secara geografis terletak pada 02028’2,1” LU – 99012’15,3” BT.

Daerah ini merupakan tempat pembuangan limbah cair yang berasal dari pabrik Toba

Pulp Lestari. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur berpasir.

e. Stasiun 5

Stasiun ini terletak di Desa Siruar, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba

Samosir, yang secara geografis terletak pada 02028’29,8” LU – 099012’14,5” BT.

Daerah ini terletak di bendungan Siruar yang digunakan sebagai PLTA untuk PT.

INALUM. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur berpasir.

3.2 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan pada bulan January 2009 di aliran Hulu Sungai

Asahan. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tanggok dengan luas

tanggok 0,1017 m2 dan jala tebar dengan luas mata jala 1 cm2 dan luasjala 7,065 m2.

Pada masing-masing stasiun dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 kali ulangan.

Tiap pengambilan sampel dibuat jarak ± 1 m dan selang waktu sekitar ± 5 menit setiap

pengambilan sampel. Ikan yang didapat diambil beberapa ekor dari tiap jenis ikan

yang didapat dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang berisi alkohol 70% sebagai

(29)

Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya

Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku

identifikasi seperti Kottelat et al., (1993) dan Saanin (1968).

3.3 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan

Faktor fisik dan kimia perairan yang diukur mencakup:

a. Suhu

Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang dimasukkan ke

dalam badan air ± 3 menit kemudian dibaca skala yang tertera pada termometer.

b. Penetrasi Cahaya

Diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan

air sampai keping seechi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke

dalam air.

c. Intensitas Cahaya

Diukur dengan menggunakan lux meter yang diletakkan ke arah datangnya

cahaya, kemudian dibaca angka yang tertera pada lux meter tersebut.

d. pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter

ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat

(30)

e. DO (Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda Winkler. Sampel

air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian

dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).

f. BOD5 (Biological Oxygen Demand)

Pengukuran BOD5 dilakukan dengan menggunakan metoda Winkler. Sampel

air yang diambil dari dasar perairan inkubasi selama 5 hari pada suhu 200C. Bagan

kerja terlampir (Lampiran B).

g. COD (Chemycal Oxygen Demand)

Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia

Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

Bagan kerja terlampir (Lampiran C).

h. Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu,

substrat yang diperoleh dari dasar suatu ekosistem air dibawa ke laboratorium untuk

dilakukan analisis bahan organik substrat. Setelah substrat dihomogenkan lalu

ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C

sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering digerus di lumpang dan

dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C

agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam

tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam. Kemudian substrat yang tertinggal

(31)

KO = x100% A

B

A−

dengan:

KO = Kandungan organik

A = Berat konstan substrat

B = Berat abu

(Barus, 2004, hal: 140)

Analisa kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat

Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan

kerja terlampir (Lampiran D).

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang

digunakan dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan

2 Penetrasi Cahaya Cm Keping Seechi In-situ

3 Intensitas Cahaya Candela Lux Meter In-situ

4 pH air - pH air In-situ

5 DO Mg/l Metoda Winkler In-situ

6 Kecepatan Arus m/s Stopwatch, meteran dan gabus In-situ

7 Kejenuhan Oksigen % - Laboratotium

8 BOD5 Mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium

9 COD Mg/l Metoda Refluks Laboratorium

10 Kandungan Organik substrat % Oven dan Tanur Laboratorium

3.4 Analisis Data

Data ikan yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif,

frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks ekuitabilitas, indeks

similaritas, indeks morista dan analisa korelasi menurut Michael (1984) dan Krebs

(1985) sebagai berikut:

a. Kepadatan Populasi (K)

(32)

b. Kepadatan Relatif (KR)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

FK = x100%

d. Indeks Diversitas Shannon – Wienner (H’)

H’= -

pilnpi

dimana :H’ = indeks diversitas Shannon-Wienner pi = proporsi spesies ke-i

In = logaritma nature

pi =Σ ni/N (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

dengan nilai H’: 0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang

H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wiener

(H’), dimana:

Dengan nilai H’: > 2,0 = Tidak Tercemar 1,6-2,0 = Tercemar Ringan 1,0-1,6 = Tercemar Sedang <1,0 = Tercemar Berat/Parah

e. Indeks Keseragaman/Equitabilitas (E)

(33)

f. Indeks Similaritas (IS)

N = Jumlah total individu dalam total plot

2

X

∑ = Kuadrat jumlah individu per plot untuk total plot Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut:

Jika: Id = 1 (Distribusi diacak) Id < 1 (Distribusi normal) Id > 1 (Distribusi bergerombol)

O2 (t) = Nilai konsentrasi yang sebenarnya (pada tabel, lampiran E) sesuai dengan temperatur.

i. Analisis Korelasi

Analisa korelasi dianalisa menggunakan Analisa Korelasi Pearson dengan

metode komputerisasi SPSS Ver.13.00. Analisa korelasi digunakan untuk melihat

(34)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jenis-jenis Ikan dan Klasifikasi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Hulu Sungai Asahan Porsea, didapatkan

12 jenis ikan yang termasuk kedalam kelas Osteicthyies, seperti terlihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang didapat pada Stasiun Penelitian

KELAS ORDO FAMILI GENUS SPESIES NAMA

Deskripsi umum dari jenis ikan yang diperoleh dari penelitian berdasarkan buku

Kottelat (1993), Sterrer (1986) dan Saanin (1968) adalah sebagai berikut:

1. Cyprinus carpio

Ikan mas (goldfish) mempunyai ciri-ciri badan agak pipih dan memanjang, ukuran

dan warna badan sangat beragam. Bagian belakang jari-jari terakhir, sirip dubur

mengeras dan bergerigi, 4 buah sungut atau tidak ada, sirip punggung mempunyai

(35)

Gambar 1: Cyprinus carpio

2. Mystacoleucus padangensis

Ikan dewasa berukuran panjang 65 sampai 80 mm, atau seukuran jari telunjuk

orang dewasa. Ikan ini berwarna keperakan dan mengkilap. Terdapat duri keras

mendatar di depan sirip punggung yang kadang-kadang tertutupi oleh sisik, sirip

dubur dengan 8-9 jari-jari lemah bercabang, 2 sungut atau tidak ada (gambar 2).

Gambar 2: Mystacoleucus padangensis

3. Osteochilus sp.

Merupakan ikan sungai yang lincah. Warna sisik kelabu kehijauan dengan

bintik-bintik merah pada sisik perut bagian samping. Sisik perut berwarna seperti perak,

mulutnya dikelilingi suatu hiasan yang berbentuk telapak kuda. Terdapat 5,5 sisik

antara awal sirip punggung dan gurat sisi, tidak ada tubuh keras pada moncong.

6-9 baris bintik-bintik berwarna sepanjang barisan sisik (walaupun tidak selalu

jelas), terdapat bintik bulat besar pada batang ekor yang dikelilingi 16 sisik dan

bagian depan sirip punggung dikelilingi 26 sisik, 12-8,5 jari-jari bercabang pada

(36)

Gambar 3: Osteochilus sp.

4. Puntius sp.

Bentuk badan hampir segi tiga dan pipih, sisik relatif besar dengan warna

keperakan atau warna putih keabu-abuan. Pada sisik terdapat proyeksi dari pusat

ke pinggir seperti jari-jari pada roda yang mengarah ke samping tidak melengkung

ke arah belakang terdiri dari tonjolan keras. Tidak ada sungut pada moncong, gurat

sisi tidak sempurna dengan 6-7 sisik berpori, jari-jari terakhir sirip punggung halus

di bagian belakang, batang ekor di kelilingi 8 sisik (gambar 4).

Gambar 4: Puntius sp.

5. Aplocheilus panchax

Semua jenis anggota ikan ini berwarna cerah dan populasi berbeda dicirikan oleh

perbedaan pola warna. Dikatakan sebagai predator larva nyamuk yang efisien dan

terdapat melimpah di parit-parit perkotaan. Satu bintik hitam pada sirip punggung

dan bintik hitam mengkilap pada kepala. Sirip punggung hitam dan sirip analis

(37)

Gambar 5: Aplocheilus panchax

6. Gambusia sp.

Bersifat melahirkan anak, sirip dubur pada jantan mengalami perubahan menjadi

gonopodium yang berfungsi untuk mengeluarkan sperma yang kemudian masuk

ke dalam tubuh betina. Mata, mulut dan gigi kecil. Sirip dorsal terletak di tengah

punggung serta sirip pektoral pendek, dan tubuh berbintik-bintik hitam (gambar

6). Memakan larva nyamuk, serangga dan udang-udangan. Dapat ditemukan di

sungai-sungai dan danau-danau bahkan di kawasan beriklim sedang.

Gambar 6: Gambusia sp. 7. Trichogaster sp.

Badan memanjang dan pipih, bermulut kecil dengan bibir yang tipis, satu jari-jari

sirip perut yang terdepan berubah menjadi semacam benang yang dapat

digerak-gerakkan, punggung berwarna hijau kehitaman, tetapi warna pada bagian perut

lebih terang dan sisiknya kecil-kecil. Kehijauan sampai kebiruan dengan beberapa

pita warna miring berwarna gelap dan sebuah bercak di tengah sisi pada pangkal

sirip ekor. Sirip perut mempunyai jari-jari seperti filamen yang panjangnya hampir

(38)

Gambar 7: Trichogaster sp.

8. Trichopsis sp.

Ujung-ujung sirip ekor, sirip punggung dan sirip dada meruncing, mempunyai tiga

garis warna gelap memanjang (kadang-kadang 2 atau 4). Sirip punggung

berjari-jari keras 2-4. bagian yang lemah dari sirip punggung, sirip dubur dan sirip ekor

memanjang. Hidung lebih pendek daripada mata (gambar 8).

Gambar 8: Trichopsis sp.

9. Tilapia mossambica

Badan abu-abu atau kuning, 2-5 bercak gelap di samping badan dan beberapa

bercak lebih dekat bagian punggung, pada saat berbiak yang jantan menjadi hitam

dengan pinggiran sirip ekor dan sirip punggung merah, serta bagian bawah kepala

berwarna putih (gambar 9). Warna jenis ikan ini berubah-ubah tergantung

lingkungan dan jenis kegiatannya. Merupakan ikan konsumsi yang utama, terkenal

(39)

Gambar 9: Tilapia mossambica

10.Channa sp.

Bentuk badan bulat di depan dan pipih di belakang. Punggungnya berwarna coklat

tua kehitaman, perutnya putih kecoklatan. Pinggiran sirip punggung, sirip dubur

dan sirip ekor putih, 3-3,5 sisik antara gurat sisi dan bagian depan jari-jari sirip

punggung, pita warna gelap melintang di badan tetapi makin menghilang pada

ikan dewasa (gambar 10).

Gambar 10: Channa sp.

11.Oxyeleotris marmorata

Terdiri dari 80-90 deret sisik sepanjang badan, sisik di depan sirip punggung

60-65, tidak ada bercak pada batang ekor. Merupakan jenis terbesar dari ikan-ikan

belosoh. Deretan gigi pada luar rahang atas membesar 60-102 deret sisik

sepanjang sisi badan. Mata besar menonjol ke luar dan dapat digerak-gerakkan,

bentuk mukanya cekung dengan ujung kepala gepeng, mulut lebar, tebal dengan

(40)

Gambar 11: Oxyeleotris marmorata

12.Clarias batracus

Ikan berkumis yang terdapat di perairan tawar Afrika, Syria, India dan Asia

Tenggara. Bentuk badannya memanjang menyerupai belut dengan badan silindris,

kepalanya datar, lebar dan keras, mulutnya lebar dengan 4 pasang sungut panjang

di sekelilingnya, warna badan kecoklatan atau kehitaman serta memiliki sebuah

sirip punggung yang panjang tetapi tidak berduri. Mempunyai organ nafas

tambahan yang memungkinkan mereka hidup di perairan yang miskin oksigen

bahkan di luar air (gambar 12).

(41)

Rosida Ambarita : Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Di Hulu Sungai Asahan Porsea, 2010.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan

Relatif (KR %) dan Frekuensi Kehadiran (FK %) ikan seperti pada tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Individu (ind/m2), Kepadatan Relatif (KR %) da Frekuensi Kehadiran (FK %) Ikan Pada Setiap Stasiun Penelelitian

(42)

d. Stasiun 4 : Limbah pabrik TPL

(43)

Rosida Ambarita : Keanekaragaman Dan Distribusi Ikan Di Hulu Sungai Asahan Porsea, 2010.

57,891% dan 40%. Tingginya K, KR dan FK dari Gambusia sp. pada stasiun tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan atau faktor fisik, kimia dan biologis yang

mendukung pertumbuhan dari ikan jenis Gambusia sp seperti pH, suhu dan tumbuhan air pada stasiun 1 tersebut. Menurut Kottelat (1993, hal: 127), keberhasilan dari

perkembangbiakan dari ikan yang termasuk Poecilidae ini karena makanannya

bermacam-macam berupa larva nyamuk, serangga dan udang. Dalam

http://ofish.com/Spesies/aplocheilus_panchax.php- 22k –, diakses tanggal 22 Mei

2009 menyatakan bahwa Gambusia sp. ditemukan di kolam, saluran irigasi, kanal, reservoir, atau bahkan daerah manggrove. Lebih suka hidup pada perairan jernih

dengan tanaman terapung padat. Hidup pada selang pH 6-8, suhu 20-25C.

Nilai K, KR dan FK terendah pada stasiun 1 terdapat pada Osteochilus sp. yaitu 0,014 ind/m2, 0,086% dan 10%. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan

yang tidak mendukung pertumbuhan Osteochilus sp. seperti arus dan kanopi yang kurang pada stasiun 1 tersebut. Menurut Evy (2001, hal: 30-31), ikan nilem

(Osteochilus sp.) menyukai tempat yang terlindung dari sinar matahari oleh tumbuhan air atau daun-daunan dan menyukai air jernih dan airnya harus bergerak.

Dari data yang terdapat pada tabel 4.2 dapat kita lihat bahwa pada stasiun 2

yang memiliki nilai K dan KR tertinggi terdapat pada Gambusia sp. Dengan nilai masing-masing sebesar 6,277 ind/m2 dan 38,198%. Tingginya K dan KR dari

Gambusia sp. pada stasiun tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan atau faktor fisik-kimia yang mendukung pertumbuhan dari ikan jenis Gambusia sp. seperti suhu, pH dan banyaknya tumbuhan air berupa eceng gondok pada stasiun 2 tersebut.

Menurut Kottelat (1993, hal: 127), keberhasilan dari perkembangbiakan dari ikan

yang termasuk Poecilidae ini karena makanannya bermacam-macam berupa larva

nyamuk, serangga dan udang. Dalam http://ofish.com/Spesies/aplocheilus_panchax.p

hp- 22k –,diakses tanggal 22 Mei 2009 menyatakan bahwa Gambusia sp. ditemukan di kolam, saluran irigasi, kanal, reservoir, atau bahkan daerah manggrove. Lebih suka

hidup pada perairan jernih dengan tanaman terapung padat. Hidup pada selang pH 6-8,

(44)

panchax, Channa sp., Mystacoleucus padangensis, Trichogaster sp. dan Trichopsis

sp. yaitu 26,667%. Tingginya FK dari jenis ikan tersebut pada stasiun tersebut

disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhannya.

Nilai K, KR dan FK terendah untuk stasiun 2 terdapat pada Osteochilus sp. dan Oxyeleotris marmorata yaitu 0,019 ind/m2, 0,116% dan 13,33%. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan Osteochilus

sp. dan Oxyeleotris marmorata seperti tutupan vegetasi yang kurang dan kandungan organik substrat yang rendah pada stasiun 2 ini . Menurut Evy (2001, hal: 30-31), ikan nilem (Osteochilus sp.) menyukai tempat yang terlindung dari sinar matahari oleh tumbuhan air atau daun-daunan dan menyukai air jernih dan airnya harus bergerak.

Menurut Komarudin (2000, hal: 6), Oxyeleotris marmorata hidup baik pada perairan tawar, biasanya pada tempat yang berarus tenang, berlumpur, pada kedalaman

kira-kira 40 cm. Ikan ini hidup di dasar perairan, hanya sekali-sekali saja menyembul ke

permukaan. Tempat agak gelap, terlindung di balik batu-batuan atau tumbuhan air

sangat disukainya sebagai tempat mengintip mangsa.

Dari tabel 4.2 dapat kita lihat bahwa pada stasiun 3 dimana K dan KR tertinggi

terdapat pada Gambusia sp. Dengan nilai masing-masing sebesar 8,522 ind/m2 dan 52,552%. Sedangkan FK tertinggi terdapat pada Gambusia sp. dan Trichogaster sp. yaitu 26,667%. Tingginya K dan KR dari Gambusia sp. pada stasiun tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dari ikan jenis

Gambusia sp. seperti pH, suhu dan tumbuhan air pada stasiun 3. Dan ikan ini juga mempunyai kisaran toleransi yang tinggi terhadap lingkungan tersebut. Menurut

Kottelat (1993, hal: 127), keberhasilan dari perkembangbiakan dari ikan yang

termasuk Poecilidae ini karena makanannya bermacam-macam berupa larva

nyamuk, serangga dan udang. Dalam http://ofish.com/Spesies/aplocheilus_panchax.p

hp- 22k –,diakses tanggal 22 Mei 2009 menyatakan bahwa Gambusia sp. ditemukan di kolam, saluran irigasi, kanal, reservoir, atau bahkan daerah manggrove. Lebih suka

hidup pada perairan jernih dengan tanaman terapung padat. Hidup pada selang pH 6-8,

(45)

Nilai K dan KR terendah pada stasiun 3 terdapat pada Oxyeleotris marmorata

yaitu 0,014 ind/m2, 0,087% dan FK terendah terdapat pada Oxyeleotris marmorata

dan Clarias batrachus yaitu 10,000%. Rendahnya nilai K, KR dan FK ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan jenis ikan tersebut

karena pada daerah ini memiliki kandungan organik substrat yang sedikit atau relatif

tidak berlumpur. Padahal ikan jenis Oxyeleotris marmorata dan Clarias batrachus

menyukai tempat yang berlumpur. Menurut Komarudin (2000, hal: 6), Oxyeleotris marmorata hidup baik pada perairan tawar, biasanya pada tempat yang berarus tenang, berlumpur, pada kedalaman kira-kira 40 cm. Ikan ini hidup di dasar perairan,

hanya sekali-sekali saja menyembul ke permukaan. Tempat agak gelap, terlindung di

balik batu-batuan atau tumbuhan air sangat disukainya sebagai tempat mengintip

mangsa. Menurut Evy (2001, hal: 39), bahwa daerah asal ikan lele adalah rawa-rawa

air tawar dan sungai. Makanan utama ikan lele adalah cacing, udang-udangan, larva

serangga, ikan-ikan kecil dan berbagai bahan organik di dasar perairan.

Dari data yang terdapat pada tabel 4.2 dapat kita lihat bahwa pada stasiun 4 K,

KR dan FK tertinggi terdapat pada Gambusia sp. dan Channa sp. dengan nilai masing-masing sebesar 5,900 ind/m2, 32,514% dan 23,333%. Tingginya K, KR dan

FK dari ikan jenis ini pada stasiun 4 disebabkan oleh kondisi lingkungan yang

mendukung pertumbuhan dari ikan jenis ini. Menurut Kottelat (1993, hal: 127), ikan

yang termasuk Poecilidae ini karena makanannya bermacam-macam berupa larva

nyamuk, serangga dan udang. Dalam ofish.com/Spesies/aplocheilus_panchax.php-

22k –, diakses tanggal 22 Mei 2009 menyatakan bahwa Gambusia sp. ditemukan di kolam, saluran irigasi, kanal, reservoir, atau bahkan daerah manggrove. Lebih suka

hidup pada perairan jernih dengan tanaman terapung padat. Hidup pada selang pH 6-8,

suhu 20-25C. Menurut

menyatakan bahwa ikan gabus(Channa sp.) biasa didapati d

dan saluran-saluran air hingga ke

kecil,

memiliki kemampuan bernapas langsung dari udara, dengan menggunakan semacam

(46)

Nilai K, KR dan FK terendah di stasiun 4 terdapat pada jenis Tilapia mossambica dengan nilai masing-masing sebesar 0,024 ind/m2 , 0,130% dan 13,333%. Rendahnya K, KR dan FK dari ikan jenis Tilapia mossambica disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan dari ikan jenis tersebut

misalnya untuk berkembangbiak. Menurut

toleransi yang besar terhadap kadar garam

setelah dewasa kecepatannya ini akan menurun. Ikan ini mulai berbiak pada umur

sekitar 3 bulan, dan setelah itu dapat berbiak setiap 1½ bulan sekali. Setiap kalinya,

puluhan butir telur yang telah dibuahi akan dierami dalam mulut induk betina, yang

memerlukan waktu sekitar seminggu hingga menetas. Dengan demikian dalam waktu

beberapa bulan saja,

cukup mudah beradaptasi dengan aneka lingkungan perairan dan kondisi ketersediaan

makanan.

Dari tabel 4.2 dapat kita lihat bahwa pada stasiun 5 K dan KR tertinggi

terdapat pada Gambusia sp. dengan nilai masing-masing sebesar 4,589 ind/m2 dan 32,865%. Frekuensi Kumulatif (FK) tertinggi terdapat pada jenis Gambusia sp. dan

Channa sp. yaitu 20 %. Tingginya K, KR dan FK dari ikan jenis tersebut pada stasiun 5 disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dari ikan jenis

tersebut . Menurut Kottelat (1993, hal: 127), ikan yang termasuk Poecilidae ini karena

makanannya bermacam-macam berupa larva nyamuk, serangga dan udang. Dalam

http://ofish.com/Spesies/aplocheilus_panchax.php- 22k –, diakses tanggal 22 Mei 2009 menyatakan bahwa Gambusia sp. ditemukan di kolam, saluran irigasi, kanal, reservoir, atau bahkan daerah manggrove. Lebih suka hidup pada perairan jernih

dengan tanaman terapung padat. Hidup pada selang pH 6-8, suhu 20-25C. Menurut

(Channa sp.) biasa didapati di

(47)

langsung dari udara, dengan menggunakan semacam

Nilai K dan KR terendah di stasiun 5 terdapat pada jenis Cyprinus carpio dan

Oxyeleotris marmorata dengan nilai masing-masing sebesar 0,189 ind/m2 dan 1,352%. Frekuensi Kumulatif (FK) terendah terdapat pada jenis Cyprinus carpio dan

Clarias batrachus yaitu 10,000%. Rendahnya K, KR dan FK dari ikan jenis tersebut pada stasiun 5 disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung

pertumbuhan dari ikan jenis tersebut seperti kedalaman, arus, suhu dan ketersediaan

pakan. Menurut

bahwa ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak

terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau danau.

Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150-600 meter di atas

permukaan air

daerah asal ikan lele adalah rawa-rawa air tawar dan sungai. Makanan utama ikan lele

adalah cacing, udang-udangan, larva serangga, ikan-ikan kecil dan berbagai bahan

organik di dasar perairan. Menyukai tempat yang berlumpur.

Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa Aplocheilus panchax, Clarias batrachus, Gambusia sp., Mystacoleucus padangensis dan Tilapia mossambica terdapat pada seluruh stasiun penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh kemampuan ikan tersebut

dalam beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan perairan yang terjadi

dan kisaran toleransi yang luas terhadap faktor-faktor fisik, kimia, biologi dan

ketersediaan nutrisi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan ikan tersebut.

Misalnya untuk oksigen terlarut, Clarias batrachus memiliki organ pernapasan tambahan berupa labirin yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara

sehingga mampu hidup pada daerah yang memiliki kadar oksigen yang sedikit atau

bahkan di luar air untuk beberapa lama.

Jenis ikan Channa sp.dan Oxyeleotris marmorata terdapat pada seluruh stasiun penelitian kecuali pada stasiun 1 sebagai kontrol yang dianggap memiliki pencemaran

paling sedikit. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Channa sp. dan

(48)

Ikan Cyprinus carpio dan Osteochilus sp. terdapat pada stasiun 1, 2, 5 dan tidak terdapat pada stasiun 3 dan 4. Pada stasiun 3 dan 4 batas penetrasi cahaya merupakan

batas yang paling rendah dari seluruh stasiun penelitian. Dari hasil penelitian ini dapat

diketahui bahwa Cyprinus carpio dan Osteochilus sp. Dapat hidup pada perairan yang jernih dengan batas penetrasi cahaya >2 meter.

Ikan dari jenis Puntius sp. hanya diperoleh pada stasiun 1, 2 dan 3 sedangkan pada stasiun 4 dan 5 tidak diperoleh Puntius sp.. Hal ini disebabkan oleh nilai oksigen terlarut yang cukup rendah serta tingginya Chemical Oxygen Demand (COD) pada stasiun tersebut dibandingkan dengan stasiun lainnya. Dari data tersebut dapat kita

ketahui bahwa Puntius sp. Hidup pada perairan yang memiliki nilai oksigen terlarut yang tinggi (>5,5 mg/l) dan nilai COD yang rendah. Untuk jenis ikan Trichogaster sp. terdapat pada stasiun 1, 2, 3, 4 dan tidak terdapat pada stasiun 5. Hal ini disebabkan

oleh suhu dan kecepatan arus yang terendah meskipun kisarannnya tidak terlalu jauh

dengan stasiun lain, namun untuk kandungan organik stasiun 5 merupakan yang

tertinggi dan kisarannya cukup jauh dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa Trichogaster sp. Tidak sesuai pada daerah yang memiliki kandungan organik substrat yang tinggi.

Jenis ikan Trichopsis sp. hanya terdapat pada stasiun 1 dan 2, sedangkan pada stasiun 3, 4 dan 5 tidak diperoleh ikan Trichopsis sp. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan Trichopsis sp. tidak sesuai hidup pada daerah yang terdapat aktivitas pertanian, pembuangan limbah cair pabrik dan bendungan. Nilai Indeks

Similaritas juga menunjukkan bahwa stasiun 1 dan 2 termasuk kedalam kategori yang

sangat mirip, dimana kategori tersebut dapat juga menunjukkan bahwa faktor fisik,

kimia dan biologis stasiun ini tidak jauh berbeda khususnya untuk jumlah oksigen

terlarut.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, stasiun yang dapat dikategorikan

cocok dan sesuai untuk perkembangan jenis ikan tertentu adalah stasiun 1 untuk ikan

Gambusia sp. dengan KR 57,891% dan FK 40%, stasiun 2 Aplocheilus panchax dan

(49)

atau cocok untuk berkembang. Hal ini mungkin disebabkan oleh kandungan limbah

cair yang langsung dibuang ke badan perairan yang menyebabkan terjadinya

perubahan faktor fisik-kimia perairan. Seperti yang diterangkan oleh Suin (2002, hal:

1) bahwa perubahan faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kepadatan

populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila pada suatu daerah misalnya,

kepadatan suatu organisme berlimpah, dan karena suatu sebab faktor lingkungannya

berubah maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara drastis, umpamanya

karena adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun. Sebaliknya, bila pada suatu

daerah kepadatan suatu jenis organisme rendah, karena adanya pencemaran dapat pula

terjadi peningkatan kepadatan suatu jenis organisme rendah, karena adanya

pencemaran dapat pula terjadi peningkatan kepadatan populasi yang tinggi,

umpamanya pencemaran zat organik dapat menyebabkan kepadatan populasi bakteri

pembusuk meningkat. Jelas ada suatu hubungan yang erat antara organisme dengan

lingkungannya. Menurut Barus (2004, hal: 126), suatu habitat dikatakan cocok dan

sesuai bagi perkembangan suatu organisme apabila nilai KR >10% dan FK >25%.

4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian

diperoleh Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) seperti

pada tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Pada Setiap Stasiun Penelitian

Keterangan Stasiun

1 2 3 4 5

Indeks Keanekaragaman (H’) 2,084 2,109 1,968 1,929 2,067

Indeks Keseragaman (E) 0,905 0,849 0,896 0,928 0,941

Dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa indeks keanekaragaman tertinggi terdapat

pada stasiun 2 yaitu 2,180 dan terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 1,932. sedangkan

nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 5 yaitu senilai 0,949 dan

terendah pada stasiun 2 yaitu 0,877. Tinggi rendahnya indeks keanekaragaman dan

(50)

faktor fisik-kimia perairan dan ketersediaan nutrisi atau pakan yang pada akhirnya

akan mempengaruhi kekayaan dan keseragaman jenis spesies yang terdapat pada

daerah tersebut. Dari data tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa indeks

keanekaragaman setiap stasiun penelitian termasuk rendah karena H’ bernilai

1,929-2,109 atau dengan kata lain berada pada 0 < H’ < 2,30. Menurut Barus (2004, hal:

121), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi

apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang

relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari

sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut

mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Menurut Krebs ( 1985, hal: 523) menyatakan bahwa, keanekaragaman rendah

bila 0 < H’ < 2,30, keanekaragaman sedang bila 2,302 < H’ < 6,907 dan

keanekaragaman tinggi bila H’ > 6,907. Apabila indeks keseragaman mendekati 0

maka semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus

tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi tersebut.

Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi ikan menunjukkan keseragaman

jumlah individunya merata. Menurut Begon et al., (1986), nilai diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan dengan tingkat pencemaran yaitu apabila H’<1

tercemar berat, apabila nilai 1<H<3 tercemar sedang dan apabila nilai H’>3 tidak

tercemar/bersih. Dari kategori diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seluruh

stasiun penelitian termasuk mengalami pencemaran pada tingkat tercemar sedang.

4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) Pada Setiap Stasiun Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh Nilai Indeks Similaritas (IS) pada

setiap stasiun penelitian seperti pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Nilai Indeks Similaritas (IS) Pada Setiap Stasiun Penelitian

Gambar

Tabel 3.3. Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran
Tabel 3.3 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik
Tabel 4.1 Klasifikasi dan Jenis Ikan yang didapat pada Stasiun Penelitian
Gambar 2: Mystacoleucus padangensis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan membawa semua dokumen asli yang di Upload pada tahap pemasukan dokumen penawaran, serta dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan dalam Dokumen Pengadaan, serta

Jumlah calon penyedia barang/jasa yang telah mendaftar mengikuti lelang Pengadaan barang modal peralatan dan mesin KPP Pratama Ciamis tahun anggaran 2012

14.00 WIB, melalui situs www.lpse.depkeu.go.id, kami Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kantor Pertanahan Kota Bandung telah melakukan Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing) untuk

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Presiden. Bidang Pers Media

Hendro Gunawan, MA

Siswa kemudian berdiskusi beberapa teman dalam kelompok kecil untuk menjawab pertanyaan tentang bagian tumbuhan lain yang berfungsi untuk

For objective evaluation, we com- pare our algorithm with other state-of-the-art methods: original SRCNN (Dong et al., 2014), modified CNN resampling method with noisy training

[r]