• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komputasi Dan Analisis Multi-Processing Data Sub-Bottom Profiler Untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komputasi Dan Analisis Multi-Processing Data Sub-Bottom Profiler Untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPUTASI DAN ANALISIS

MULTIPROCESSING

DATA

SUB-BOTTOM PROFILER

UNTUK KARAKTERISASI

SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT

SAIFUR ROHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komputasi dan Analisis

Multiprocessing Data Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 4 Agustus 2015

Saifur Rohman

C552130121

(4)

RINGKASAN

SAIFUR ROHMAN. Komputasi dan Analisis Multi-Processing Data Sub-Bottom

Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK, TOTOK HESTIRIANOTO, dan IMAM MUDITA.

Peningkatan aktivitas manusia di bidang kelautan seperti operasi pengerukan (dredging), eksplorasi minyak dan gas, penambangan pasir mineral, dan berbagai penelitian kelautan telah mengakibatkan permintaan yang mendesak terhadap peta

dasar laut yang akurat. Sub-bottom Profiler (SBP) adalah sistem akustik yang

digunakan untuk menggambarkan lapisan sedimen dan batuan di bawah dasar laut, serta memberikan informasi tentang ketebalan sedimen dan stratigrafinya.

Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yaitu sebagai berikut: (1) untuk menentukan profil (2D) dari lapisan sedimen permukaan dasar laut menggunakan pemrosesan sinyal digital; (2) untuk memperoleh nilai koefisien refleksi dari lapisan sedimen permukaan dasar laut dengan pemodelan dan teknik analitis; dan (3) untuk menganalisis lapisan sedimen berdasarkan pada nilai

envelope.

Proses akuisisi data dilakukan menggunakan SBP jenis sparker single

channel oleh BPPT, yaitu survei pemeliharaan pipa migas dan kabel listrik Pertamina tahun 2010 yang berada di sebelah timur pantai Balongan, Indramayu.

Pengambilan sampel sedimen dasar laut menggunakan gravity corer.

Hasil dari pengolahan data mentah SBP dengan Matlab di dekat lokasi B19 diperoleh profil 2D dari lapisan sedimen. Dimana terlihat jelas dasar laut dan reflektornya serta memiliki nilai koefisien refleksi dari sedimen permukaan berkisar 0.1079 hingga 0.2894. Selain itu, teknik analitis untuk estimasi parameter sedimen dari data laboratorium ditunjukkan sebagai pembanding. Hasil sedimennya berupa

silt/lanau dengan nilai koefisien refleksi adalah 0.2807.

Hasil analisis dari lapisan sedimen pemukaan dasar laut di dekat lokasi B19

diperoleh nilai rata-rata evelope adalah -18,5825 dB. Principal Component Analysis

diterapkan untuk membentuk pendekatan data seismik trace dan diperoleh berupa

trace seismik dengan pengurangan noise yang signifikan.

(5)

SUMMARY

SAIFUR ROHMAN. Computation and Analysis of The Sub-Bottom Profiler Data Multiprocessing for Characterizing Near-Surface Sediment. Supervised by HENRY M. MANIK, TOTOK HESTIRIANOTO and IMAM MUDITA.

The increased human activity in the marine sector, such as dredging operations, oil and gas exploration, mineral sands mining and various marine research has led to an imperative demand for accurate seafloor maps. Sub-bottom profilers (SBP) are acoustic systems used to image sediment layers and rocks beneath the seabed, providing information about sediment thicknesses and stratigraphy.

Therefore, this research has three main objectives that include the following: (1) to determine the profile (2D) of the near-surface sediment layers using digital signal processing; (2) to obtain the value of the reflection coefficient of the near-surface sediment layers with modeling and analytical techniques; and (3) to analyze the sediment layers that was based on the value of instantaneous energy (envelope).

The process of data acquisition was conducted using SBP type of a single channel sparker by BPPT, that was the survey of oil and gas pipeline maintenance and electrical cable Pertamina in 2010, which was on the east coast Balongan, Indramayu. Whereas for seafloor sediment sampling was used gravity corer.

The results of the processing of the raw data with Matlab nearby B19 (coring) has been obtained 2D profile of seabed sediment and reflector, which was clearly visible and had a reflection coefficient value of the near-surface sediment about 0.1079 to 0.2894. In addition, analytical techniques for parameter estimation of sediment from laboratory data was performed as a comparison. The result of sediment in the form of silt with reflection coefficient value was 0.2807.

The results of the analysis from near-surface sediment layer nearby B19 has been obtained the mean value of instantaneous amplitude was -18.5825 dB. The principle component analysis was applied to synthetic seismic data and obtained a trace with significantly attenuated noise.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KOMPUTASI DAN ANALISIS

MULTIPROCESSING

DATA

SUB-BOTTOM PROFILER

UNTUK KARAKTERISASI

SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT

SAIFUR ROHMAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Komputasi dan Analisis Multiprocessing Data Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut

Nama : Saifur Rohman

NIM : C552130121

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Henry M. Manik, S.Pi, MT Ketua

Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc Dr. Ir. Imam Mudita, M.Eng.Sc Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 hingga Juli 2015 ini ialah

seismik laut, dengan judul Komputasi dan Analisis Multiprocessing Data

Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut yang merupakan hasil Survei Pemeliharaan Pipa Migas Pertamina Balongan, Indramayu, yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) .

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Henry M. Manik, Dr. Totok Hestirianoto, dan Dr. Iman Mudita selaku pembimbing, serta Bapak Yudo Hariyadi dan Rahadian dari BPPT yang telah membantu selama pengumpulan data. Di samping itu, banyak terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) atas beasiswa BPPDN (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri) yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 5 Agustus 2015

(11)
(12)

DAFTAR ISI (lanjutan)

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 40

(13)

DAFTAR TABEL

Gambar 5 Energi dikembalikan ke sumber dari semua poin sebuah reflektor 5

Gambar 6 Pemasangan berbagai sistem sub-bottom profiler 6

(14)

Gambar 30 Nilai envelope dari keseluruhan data (mV) 33

Gambar 31 Kiri adalah envelope keseluruhan data (dB) sebelum PCA dan kanan adalah envelope hasil PCA 34

Gambar 32 Kanan adalah nilai envelope rata-rata dari keseluruhan data (dB) dan kiri adalah nilai envelope dari lokasi coring B19 35

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kapal dan peralatan survei yang digunakan 40

Lampiran 2 Hasil analisis sedimen coring lokasi B19 dari Laboratorium 41

Lampiran 3 Contoh data amplitudo hasil ekstrak dari data SBP 42

Lampiran 4 Sintak Principal Component Analysis metode SVD 43

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan aktivitas di bidang kelautan seperti operasi pengerukan (dredging), eksplorasi minyak dan gas, penambangan pasir dan mineral, dan berbagai penelitian antara lain geologi kelautan, morfologi, dan oseanografi telah menyebabkan sebuah permintaan utama dalam peta-peta dasar laut yang akurat. Aplikasi seperti pemasangan pipa dan kabel laut membutuhkan pengetahuan dari topografi dasar laut dan informasi detil tentang komposisi dasar laut, baik sedimen permukaan maupun lapisan sedimen yang lebih dalam. Cara konvensional dari

perolehan informasi tentang komposisi seafloor, seperti pengambilan sampel

sedimen fisik secara langsung membutuhkan biaya yang mahal dan banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, teknik menarik yang menyediakan cakupan spasial yang tinggi dengan biaya yang terbatas dan waktu yang cukup singkat sangat dibutuhkan. Salah satunya adalah penginderaan jauh menggunakan gelombang akustik (Saleh 2010).

Beberapa tahun terakhir, metode akustik juga telah digunakan untuk mengukur proses dan struktur sedimen skala kecil, dengan resolusi temporal dan spasial tinggi, dan telah banyak diadopsi oleh para peneliti kelautan karena kemampuannya dalam mengumpulkan data secara cepat dan tidak merusak (Davis

et al. 2002, Kim et al. 2002). Sub-bottom Profiler (SBP) adalah sistem akustik tradisional yang digunakan untuk menggambarkan lapisan sedimen dan batuan di bawah dasar laut, memberikan informasi tentang ketebalan sedimen dan stratigrafi.

Teknik SBP mirip dengan yang digunakan oleh single-beam echosounders, tapi

pada frekuensi yang lebih rendah, sehingga gelombang suara mampu menembus dasar laut (English Heritage 2013).

Perumusan Masalah

Pengolahan data Sub-Bottom Profiler (SBP) pada umumnya berupa

penguatan sinyal dan pemfilteran noise (bandpass filter) untuk mendapatkan profil

vertikal dari sedimen. Hasil yang diperoleh berupa profil 2 dimensi dengan resolusi yang rendah. Penelitian ini berusaha memperbaiki proses pengolahan data sederhana tersebut, dengan menitikberatkan pada pemrosesan sinyal digital lebih lanjut dari data mentah SBP, untuk menghasilkan peta 2 dimensi dari lapisan sedimen secara lebih detil menggunakan Matlab.

Pengaplikasian metode seismik inversi digunakan untuk memprediksi nilai koefisien refleksi lapisan sedimen. Teknik analitis perhitungan koefisien refleksi sedimen dari data laboratorium juga dilakukan sebagai pembanding hasil dari

metode inversi. Analisis lanjut berupa nilai envelope digunakan untuk mengetahui

karakter sinyal digital dari sedimen permukaan dasar laut.

Data akuisisi SBP lokasi coring B19 dipilih karena topografi dasar lautnya

(16)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menentukan gambaran profil 2D dari lapisan

sedimen permukaan dasar laut (near-surface sediment), memperoleh nilai koefisien

refleksi dari lapisan sedimen permukaan dasar laut dengan pemodelan dan teknik

analitis, dan menganalisis lapisan sedimen berdasarkan energi (envelope).

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu memberikan informasi mengenai pemrosesan

sinyal data Sub-Bottom Profiler lebih lanjut menggunakan Matlab untuk

menghasilkan profil 2 dimensi yang lebih detil. Aplikasi metode seismik inversi juga dipakai untuk mengestimasi koefisien refleksi lapisan sedimen.

Analisis terhadap nilai koefisien refleksi dan amplitudo gelombang suara yang kembali, memungkinkan untuk memperoleh informasi mengenai struktur dan kekerasan dasar laut. Hasilnya digunakan sebagai identifikasi sedimen dasar laut yang membantu dalam penentuan lokasi pemasangan pipa dan kabel di dasar laut.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data seismik refleksi di laut dangkal. Kajian lebih terfokus pada lapisan sedimen dasar laut hingga kedalaman kurang dari 30 m. Penelitian ini hanya menganalisis karakteristik sedimen permukaan dasar laut tertentu dikarenakan keterbatasan data yang dimiliki. Selain itu, pemrosesan sinyal digital untuk menghasilkan profil vertikal 2 dimensi tidak selengkap pada

pemrosesan jenis seismik multi channel dikarenakan jenis data dari penelitian ini

adalah single channel.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Dasar Seismologi

Dalam survei seismik, gelombang seismik dibuat oleh sebuah sumber yang

dikontrol dan menjalar melalui bawah permukaan (the subsurface). Beberapa

gelombang akan kembali ke permukaan setelah mengalami refraksi atau refleksi pada batas-batas geologi di dalam bawah permukaan. Instrumen yang dipasang di permukaan akan mendeteksi pergerakan tanah yang disebabkan oleh gelombang yang kembali dan karenanya mengukur waktu tiba gelombang pada rentang yang

berbeda dari sumbernya. Waktu perjalanan (travel times) ini dapat dikonversi

menjadi nilai kedalaman. Oleh karena itu, distribusi dari interface geologi bawah

permukaan dapat dipetakan secara sistematik (Kearey et al. 2002).

Survei seismik pertama dilakukan sekitar tahun 1920. Dimana mewakili sebuah perkembangan alami dari metode yang telah lama dibangun, yaitu

(17)

3 direkam pada pengamatan seismologi, yang digunakan untuk menghasilkan

informasi pada struktur internal bumi (Kearey et al. 2002).

Single channel reflection profiling adalah sebuah metode survei seismik yang

sederhana tetapi efektif yang penggunaannya secara luas di lepas pantai (offshore).

Sistem perekaman analog digunakan dalam single channel profiling adalah relatif

murah untuk mengoperasikan. Tidak ada biaya pemrosesan dan rekaman seismik

dihasilkan secara real time dengan perekaman peta yang kontinyu dari bandpass

filter dan penguat sinyal, dan terkadang dengan TVG /time variable gain (Gambar

1) ( Kearey et al. 2002 ).

Gambar 1 Sinyal seismik pada kertas perekaman garfik dari sebuah

rekorder oseanogarfik ( Kearey et al. 2002 )

Trace seismik mewakili respon kombinasi dari tanah yang berlapis dan sistem perekaman untuk sebuah pulsa seismik (Gambar 2). Setiap tampilan dari kumpulan

satu atau lebih trace seismik disebut seismogram. Kumpulan trace tersebut

mewakili respon dari serangkaian detektor/penerima untuk energi dari satu

tembakan disebut shot gather. Kumpulan trace yang berkaitan dengan respon

seismik pada satu titik tengah permukaan disebut common mid-point gather atau

CMP gather ( Kearey et al. 2002 ).

Gambar 2 Model konvolusi dari trace seismik refleksi (Kearey et al. 2002)

Sinar gelombang (rays) yang kembali ke permukaan setelah mengalami

pemantulan pada antarmuka (interface) tunggal, yang dikenal sebagai primary

reflections. Selain itu, terdapat juga pola sinar yang kembali ke permukaan setelah

(18)

4

multiple reflections atau multiples (Kearey et al. 2002). Beberapa kemungkinan ray paths yang melibatkan refleksi multiple ditunjukkan pada Gambar 3 berikut:

Gambar 3 Bermacam-macam refleksi multiple di dalam tanah berlapis

( Kearey et al. 2002 )

Trace seismik kompleks

Konsep dari trace seismik kompleks adalah diilustrasikan Gambar 4, dimana

x (t) mewakili trace seismik riil dan y (t) adalah Hilbert transform dari x (t) atau

bagian imajiner dari x (t) yang didapat dengan Hilbert transform. Kebanyakan

software pemrosesan data seismik modern dan sistem interpretasi 3-D berisi

algoritma Hilbert transform dan mengizinkan pengguna untuk membuat fungsi y

(t) ditunjukkan Gambar 4.

Dua data vektor x (t) dan y (t) ditampilkan dalam space 3 dimensi (x, y, t)

dalam ilustrasi, dimana t adalah seismik traveltime, x adalah bidang data riil, dan y

adalah bidang imajiner. Dalam format trace kompleks ini, trace seismik aktual x (t)

hanya terbatas pada bidang x riil, dan y (t) adalah Hilbert transform dari x (t), hanya

terbatas pada bidang y imajiner. Ketika x (t) dan y (t) ditambahkan secara vektor,

hasilnya adalah sebuah trace seismik kompleks z (t) dalam bentuk spiral heliks yang

membentang sepanjang, dan berpusat sekitar sumbu waktu t. Proyeksi fungsi

kompleks ini z (t) ke bidang real adalah trace seismik riil, dan proyeksi dari z (t)

ke dalam bidang imajiner adalah y (t), yang dihitung dengan Hilbert transform dari

x (t) (AGI 1999).

Gambar 4 Trace seismik komplek z (t) (AGI 1999)

Resolusi Vertikal dan Horizontal

(19)

5 dimensi vertikal dan horizontal. Resolusi vertikal adalah sebuah ukuran kemampuan untuk mengenali individu, reflektor spasi dekat, dan ditentukan oleh panjang pulsa pada penampang seismik yang terekam. Sebuah pulsa yang

terpantulkan diwakili oleh sebuah wavelet sederhana, kemungkinan resolusi

maksimum adalah di antara seperempat dan seperdelapan dari panjang gelombang

yang dominan dari pulsa (Kearey et al. 2002).

Ada dua kontrol utama pada resolusi horizontal dari sebuah survei refleksi, salah satunya intrinsik untuk proses fisik dari refleksi dan lainnya ditentukan oleh jarak detektor. Bagian dari reflektor dimana energi dikembalikan dalam setengah

panjang gelombang dari kedatangan terpantul awal diketahui sebagai Fresnel zone

atau bagian dari interface dari mana energi dikembalikan (Gambar 5).

Gambar 5 Energi dikembalikan ke sumber dari semua poin sebuah reflektor

(Kearey et al. 2002)

Lebar zona Fresnel merupakan batas mutlak pada resolusi horizontal dari sebuah survei refleksi karena reflektor dipisahkan oleh jarak yang lebih kecil dari

ini yang tidak dapat secara individual dibedakan. Lebar w dari Fresnel zone

berhubungan dengan panjang gelombang dominan λ dari sumber dan kedalaman

reflektor z dengan = λ untuk z >> λ (Kearey et al. 2002).

Prinsip Kerja Sub-bottom Profiler

Sistem Sub-bottom profiling terdiri dari sumber suara, baik ditarik di

belakang kapal atau dipasang ke lambung, menghasilkan pulsa akustik yang diatur frekuensi, daya, dan durasi waktunya. Pulsa akustik yang dihasilkan dapat

digambarkan sebagai single-beam. Pulsa akustik bergerak melalui kolom air

(dipengaruhi oleh suhu air, salinitas dan konsentrasi bahan tersuspensi) dan menembus dasar laut (Gambar 6). Beberapa sinyal akustik dipantulkan dari dasar laut, sedangkan sisanya menembus dasar laut dan terpantulkan kembali ketika bertemu batas antara lapisan yang memiliki impedansi akustik yang berbeda.

Impedansi akustik material (Z) tergantung pada densitas bulk basah sedimen (ρ),

dan kecepatan gelombang (c), dimana:

(20)

6

Gambar 6 Pemasangan berbagai sistem sub-bottom profiler (Penrose et al. 2005)

Perbedaan Sub-bottom Profiler (SBP) dengan seismik refleksi dangkal adalah

SBP digunakan untuk menggambarkan lapisan sedimen sedikit di bawah permukaan dasar laut serta memberikan informasi ketebalan sedimen dan stratigrafinya. Sedangkan persamaannya ialah menggunakan metode yang sama yaitu seismik refleksi.

Tipe dari sub-bottom profiler (Tabel 1) dapat dikategorikan menjadi sistem

frekuensi tinggi (1-30 kHz) dan sistem frekuensi tinggi yang menghasilkan profil

resolusi rendah. Adapun contoh dari sistem frekuensi tinggi seperti sistem chirper

dan pinger, sedangkan untuk frekuensi rendah seperti water and air guns, sparkers,

sleeve exploders, bubble pursers, dan boomers. Dalam sistem frekuensi rendah, sumber energi mentransmisikan sinyal berisi spektrum yang luas dan membutuhkan

secara terpisah hydrophone array yang diderek untuk menerima sinyal pantulan

(Penrose et al. 2005).

Tabel 1 Karakteristik sistem dari berbagai kelas sub-bottom profiler (Penrose et al.

(21)

7

Interaksi Dasar Laut

Interaksi gelombang akustik dengan dasar laut tergantung pada perbedaan impedansi antara dua lapisan. Impedansi adalah sebuah karakteristik medium yang sama dengan produk dari kepadatan dan perambatan kecepatan suara. Besarnya perbedaan impedansi antara air dan dasar laut berbatu dengan pertimbangan permukaan halus berarti permukaan dasar laut berperilaku sebagai reflektor hampir sempurna. Sebaliknya, pada sedimen lembut, ketidaksesuaian impedansi akustik jauh lebih sedikit yang berarti bahwa energi yang lebih besar akan mampu menembus batas ini.

Pemantulan dari permukaan dasar dan layer

Hukum Snellius menggambarkan hubungan antara sudut dan kecepatan

gelombang di dua media yang berbeda (ε1, ε2). Dalam medium pertama ε1 sudut

datang αi adalah sama dengan sudut pantul αr (Gambar 7). Hukum ini juga

menyamakan rasio kecepatan bahan C1 dan C2 dengan rasio sinus sudut datang αi

dan sudut bias αR. Amplitudo dari gelombang yang dipantulkan adalah fungsi dari

koefisien refleksi R yang dinyatakan oleh persamaan (2), di mana (ρ1, c1) dan (ρ2,

c2) adalah densitas dan kecepatan suara dari masing-masing kedua media. Oleh karena itu, amplitudo refleksi adalah fungsi dari jenis sedimen (Gambar 7):

Gambar 7 Refleksi dari dasar perairan (Abdullah 2008)

� = sin � − sin �

sin � + sin � (2)

(22)

8

Gambar 8 Pantulan gelombang suara pada layers (Saleh 2010)

Hamburan dasar laut

Pada bagian refleksi disebutkan bahwa echo dipantulkan kembali dari

antarmuka air dan sedimen yang benar-benar datar. Pada kenyataannya antarmuka tersebut jauh dari bidang datar yang membuat proses akustik jauh lebih kompleks dari yang dijelaskan sebelumnya dalam bagian refleksi. Gambar 9 menggambarkan

fenomena dari hamburan (scattering) yang disebabkan oleh permukaan dasar laut

yang tidak teratur dan pengaruhnya terhadap echo yang diterima.

Gambar 9 Hamburan gelombang suara di permukaan dasar (APL 1997)

Spesifikasi Teknik SQUID 500

Adapun spesifikasi teknik dari Applied acoustic squid 500 sparker (Lampiran

1)adalah sebagai berikut:

Maximum Energy rating:1000 J

Number of sparker tips :4 sets of 15(Black Clusters- superceding white clusters)

: 4 sets of 30(Blue Clusters)

(23)

9 : 300 – 600 J (Blue Clusters)

Peningkatan input power akan menghasilkan penetrasi lebih dan juga peningkatan gelembung osilasi.

Overall length : 800 cm

Overall width : 150 cm

Weight : 3 kg

Buoyancy : Customer supplied Material : Nylon 66

Typical resolutions at 200 & 500 J : 14 / 36 cm

Adapun bentuk pulsa dari Squid 500 yaitu tertera pada Gambar 10.

(24)

10

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan data hasil survei pemeliharaan pipa migas dan kabel listrik Pertamina, yang berada di pantai sebelah timur Kecamatan Balongan, Indramayu (Gambar 11). Proses akuisisi data dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tanggal 6 hingga 27 November 2010.

Gambar 11 Peta lokasi survei

Peralatan Survei dan Akuisisi Data

Peralatan yang digunakan dalam survei ini adalah subbottom profiler tipe

Sparker yang ditarik di belakang kapal Baruna Jaya IV beserta Hydrophone single

Channel yang berfungsi sebagai receiver. Proses kalibrasi dan akuisisi data

menggunakan software SonarWiz Map. Pengambilan data substrat dasar perairan

digunakan gravity corer (Lampiran 1), yaitu sistem pengambil contoh sedimen

gravitasi yang terdiri dari 3 bagian yaitu pemberat, pipa, dan catcher (penahan).

Penentuan posisinya digunakan Differential Global Positioning System/DGPS

C-Nav dan DGPS SeaStar. Adapun spesifikasi peralatan yang digunakan dalam survei SBP ini adalah sebagai berikut:

a. 1 unit Seismic energy source

b. 1 unit Applied acoustic squid 500 sparker

c. 1 set Hydrophone single channel 4.5 m

d. 1 set komputer dan software SonarWiz Map 4

(25)

11

Pengolahan Data Sub-bottom Profiler

Konversi data SBP

Data mentah (raw data) hasil akuisisi di SonarWiz diekspor dalam bentuk

*.shp untuk diplotkan di peta lokasi survei dan dilihat informasi pada trace headers.

Selanjutnya, data disimpan dalam format *.sgy (Gambar 12). Data SBP disesuaikan

dengan lokasi pengambilan data substrat dasar (coring) di perairan survei dengan

bantuan software ArcGIS. Jarak offset antar trace adalah 0.7626 meter. Nilai

amplitudo tiap trace/jejak rekaman dari data SBP diekstrak/diekspor dalam *.txt

(Lampiran 2) dengan software SeiSee. Secara sederhana yaitu sebagai berikut:

Gambar 12 Diagram alir konversi data SBP

Multi-processing pada penelitian ini meliputi pengolahan data SBP lebih lanjut untuk menghasilkan profil 2D, koefisien refleksi, dan analisis karakter sinyal

dari sedimen menggunakan envelope.

Pengolahan data di Matlab

1. Contoh tampilan data awal (sebelum koreksi)

Setelah nilai amplitudo didapat, maka dilakukan editing di Excel sesuai

dengan FFID (Field File ID/original field record number), shot point, dan trace

number-nya. Selanjutnya, data awal tersebut ditampilkan/diplotkan dalam Matlab (Gambar 13).

Gambar 13 Contoh data SBP awal sebelum koreksi di lokasi dekatB19 dari kiri:

(26)

12

Schuster (1998) menyatakan bahwa amplitudo seismik biasanya paling kuat berada paling dekat dengan sumber atau pada waktu-waktu awal. Akibatnya

rekaman data sangat lemah atau tidak ada pantulan pada jejak (trace) offset yang

jauh. Sinyal penting ini dapat ditampilkan dengan penguatan/gain, dengan

mengalikan setiap trace dengan berbanding terbalik dari geometric spreading

factor (jarak) atau atenuasi yang dapat dipulihkan dengan mengalikan eksponensial konstanta atenuasi (Persamaan 3).

amplitudo dari trace (jejak) rekaman. Beberapa faktor penyebab antara lain:

- Transmission loss: ini terjadi pada setiap reflektor geologi dimana bagian dari gelombang datang seismik yang menjalar akan dipantulkan (reflected), dibelokkan (refracted), dihamburkan (scattered),

dilenturkan (diffracted) dan sebagainya. Tidak ada kehilangan dalam

bentuk energi mekanik di sini karena energi yang hilang hanya menjalar di tempat lain.

- Geometric divergence: seperti gelombang seismik yang menyebar dari sumbernya, amplitudonya terurai dengan jumlah yang proporsional dengan perbandingan terbalik jarak dari sumber ke lokasi gelombang seismik menjalar.

- Absorption: ini terjadi dimana energi seismik dikonversi menjadi panas

(heat) oleh pergesekan. Energi yang hilang ini proporsional terhadap

eksponensial jarak dari sumber.

Koreksi amplitudo pada data dilakukan agar terjadi penguatan sinyal yang

lemah. Pada koreksi ini dilakukan penguatan sinyal karena geometric divergence

dan penyerapan energi (absorption). Adapun 2 skema (schemes) koreksi yang

dilakukan, yaitu sebagai berikut:

- Independent amplitude correction: mengoreksi amplitudo

menggunakan sebuah fungsi skala umum untuk semua trace seperti

penguatan melalui pengalian dengan power of time atau fungsi

eksponensial (Persamaan 3). Pada penelitian ini dilakukan koreksi

menggunakan power of time dengan persamaan sebagai berikut:

= � (4)

Dimana adalah amplitudo trace seismik untuk dikoreksi, t adalah

variabel independen waktu, dan � adalah power of time yang

mengontrol perubahan dalam amplitudo. � = adalah t2-correction

(27)

13 - Dependent amplitude correction: bergantung pada perkalian setiap

sampel waktu dengan sebuah scalar yang diturunkan dari sebuah

window data sekitar sampel. Teknik ini biasa disebut sebagai automatic gain control (AGC). Adapun koreksi yang dilakukan sebagai berikut:

1. Mengelompokkan atau segmentasi trace kedalam gerbang waktu

yang tetap (fixed time gates).

2. Menghitung nilai RMS (root mean square/ akar kuadrat rata-rata)

dalam setiap gates/trace (Gadallah MR dan Fisher RL 2005).

̂ = √∑�

= (5)

dimana ̂= amplitudo rms, An= amplitudo sampel dalam time gate,

n= 1,2,….N

3. Membagi RMS scaler yang diinginkan(Adesired) dengan nilai RMS

pada tahap ke-2 dan mengalikannya dengan amplitudo dari sampel

pada setiap pusat gerbang/gate center.

4. Menginterpolasi diantara gate centers ini dan mengalikan hasil

dengan amplitudo dari semua sampel sesuai waktunya.

Kita dapat melihat secara jelas peningkatan amplitudo yang dikuatkan (gain)

atau dilakukan koreksi amplitudo pada Gambar 14. Selanjutnya, dilakukan analisis

peningkatan gain setelah koreksi amplitudo dengan menampilkan (plot) envelope

amplitudo trace rata-rata atau single trace dalam desibel (Gambar 15).

(a) (b) (c)

Gambar 14 Hasil koreksi amplitudo: (a) power of time, (b) dan (c) power of time

(28)

14

Rumus untuk menghitung envelope amplitudo (dB) adalah sebagai berikut

(Mousa dan Al-Shuhail 2011):

� = log |���� ��

����+ | (6)

Dimana | | adalah nilai mutlak (absolute), Ai adalah amplitudo (mV) ke-i (i=

1,2,3..N), Amax adalah amplitudo maksimum, Hilbert adalah Hilbert transform, dan

eps adalah floating-point relative accuracy.

(a) (b)

Gambar 15 Echo envelope (dB) dari data sebelum dan sesudah koreksi amplitudo

pertama: (a) Envelope dari trace rata-rata dan (b) trace tunggal

3. Analisis spektrum dan bandpass filter

Data seismik utamanya dirusak oleh adanya noise atau energi yang tidak

diinginkan dari berbagai jenis sumber yang ada. Umumnya noise atau derau dapat

dikategorikan dalam 2 macam yaitu random (incoherent) noise dan coherent noise.

Random noise adalah energi yang tidak bertalian (tidak jelas) antar trace ke trace. Biasanya seperti energi yang tidak berhubungan dengan sumber yang menghasilkan sinyal seismik. Contoh dalam seismik darat seperti penghambur dekat permukaan (near-surface scatterers), angin, hujan, dan instrumen lain yang menghasilkan suara. Contoh dalam seismik laut adalah efek gelembung udara yang dihasilkan dari

sumber Sparker (Duchesne et al. 2007; Nieuwenhuise et al. 2012).

Coherent noise secara spasial adalah energi yang dihasilkan oleh sumber seismik. Energi tersebut tidak diharapkan yang bergabung dengan sinyal utama.

Dalam land seismic contohnya seperti multipel refleksi (multiples), gelombang

permukaan seperti ground roll, gelombang udara, dan gelombang yang terhambur

secara koheren. Coherent noise adalah paling susah dan terkadang dianggap sebagai

sinyal, ketidaksesuaian dalam pembuangan noise ini dapat berdampak interpretasi

menjadi lebih kompleks. Random noise dapat dengan mudah dikurangi dengan

beberapa cara seperti frequency filtering, dekonvolusi, stacking, dan sebagainya.

Oleh karena itu, tujuan dari seismic data processing adalah untuk memperbaiki

sebanyak mungkin the signal-to-noise ratio atau SNR (Mousa dan Al-Shuhail

(29)

15 Agar dapat melakukan analisis spektrum dan filter pada data seismik,

dibutuhkan perubahan data dari bentuk domain waktu (time-space/t-x) ke bentuk

domain frekuensi (frequency-space/f-x), yaitu dengan menggunakan Fast Fourier

Transform (FFT) yang merupakan algoritma untuk menghitung Discrete Fourier Transform (DFT). Kegunaan umum dari fourier transform adalah untuk menemukan komponen frekuensi dari sebuah sinyal yang tertimbun atau tercampur

dalam sebuah noise sinyal domain waktu (Matlab 2014). Adapun rumus umum dari

fourier transform dan inversetransform adalah sebagai berikut:

� = ∫∞ −��

−∞ dan = ∫ � �� � ∞

−∞ (7)

Dimana adalah fungsi sinyal waktu, � adalah hasil transformasi Fourier

dari , t adalah waktu, � adalah frekuensi, dan �� adalah Euler sinus cosinus

(cos � + � sin � .

Rumus di atas terlihat bahwa transformasi Fourier memberikan informasi

kandungan frekuensi dari suatu sinyal fungsi waktu ( ), tetapi tidak memberikan

informasi lokasi frekuensi-frekuensi tersebut dalam kawasan waktu. Oleh karena

itu, untuk memperoleh informasi time-frequency dalam penelitian ini digunakan

Short Time Fourier Transform (STFT). STFT adalah sebuah teknik yang dikembangkan oleh Denis Gabor, digunakan untuk analisis bagian kecil dari sebuah

sinyal berdasarkan pada transformasi Fourier dan windowing. Hasil dari STFT ini

adalah sinyal dipetakan menjadi sebuah fungsi 2 dimensi dalam waktu dan

frekuensi. STFT ini dapat dihasilkan dengan menggunakan fungsi spectrogram di

Matlab. Perhitungan Nyquist frequency ( ) adalah sebagai berikut:

�= (8)

Dimana ( ) adalah sampling frequency ( = 1/∆ , Hz), ∆ adalah sampling interval

(s), dan Nyquist interval adalah rentang frekuensi (the frequency range) dari 0

sampai (Kearey et al. 2002).

Contoh penerapan FFT dari data seismik dalam penelitian ini adalah pada

Gambar 16. Selanjutnya, menentukan finite impulse response (FIR) berupa

bandpass filter atau melewatkan frekuensi sinyal dengan interval tertentu. Tujuan

bandpass filter pada penelitian ini yaitu memfilter frekuensi sinyal data yang

dianggap sebagai noise misalkan noise dari gelembung udara, multiple, dan noise

acak dari lingkungan.

Bandpass filter pada penelitian ini digunakan rentang frekuensi yaitu

50,2000,3000,4900 Hz. Sebagai pembanding, Duchesne et al. (2007) menggunakan

bandpass filter 30-60-330-380 Hz dalam pemrosesan data sparker. Hasil dari

(30)

16

(a) (b)

Gambar 16 Hasil dari Fast Fourier Transform data SBP: (a) sebelum dan (b)

setelah bandpass filter. Color bars pada (a) dan (b) menunjukkan

nilai magnitudo dalam dB

Hasil dalam bentuk domain waktu-space (t-x) tertera pada Gambar 17.

Gambar 17 Data hasil bandpass filter dalam domain waktu dari kiri: (a) bentuk

wiggles dan (b) color scale dengan amplitudo mV

4. Dekonvolusi spike menggunakan Wiener Optimum Filters

Setelah dilakukan filter frekuensi pada data seismik melalui Bandpass Filter,

(31)

17

penekanan wavelet sumber (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Secara umum bentuk

model konvolusi seismik adalah sebagai berikut:

= ∗ + (9)

Dimana adalah sistem output atau trace seismik yang direkam, w(t) adalah

sistem input atau wavelet yang dihasilkan oleh sumber seismik, e(t) adalah sistem

respon atau serangkaian impuls yang sesuai dalam waktu dan amplitudo, serta

disebut juga sebagai reflectivity (series), dan adalah sebuah komponen random

noise.

Dekonvolusi adalah bentuk inverse dari model konvolusi seismik yang

digunakan untuk:

- Menghitung reflektifitas bumi e(t) yang diberikan dari trace seismik

s(t) dan wavelet sumber w(t).

- Menghitung wavelet sumber w(t) yang diberikan dari trace seismik s(t)

dan reflectivity e(t)

a. Dekonvolusi spike dengan Wiener Optimum Filtering

Pada dasarnya tujuan dari spike dekonvolusi adalah untuk menekan the

source wavelet w(t) menjadi sebuah zero-phase spike atau . Ini berarti kita

mengeliminasi efek dari wavelet sumber dan menyisakan hanya efek dari

reflektifitas bumi dalam seismogram. Hal ini dapat dicapai dengan

mengkonvolusikan trace seismik dengan inverse filter, h(t), dari wavelet sumber

yang didefinisikan sebagai berikut:

∗ ℎ = (10)

Mengambil Fourier transform dari persamaan 10 yaitu:

� = (11)

Dimana W(f), H(f), dan 1 secara berurutan adalah Fourier transform dari w(t), h(t),

dan . Ringkasnya dekonvolusi spike dapat diselesaikan dengan

pengkonvolusian inverse filter, h(t), dengan seismic trace, s(t):

ℎ ∗ = ℎ ∗ [ ∗ ] = [ℎ ∗ ] ∗ = ∗ = (12)

Wiener Optimum Filtering melibatkan pendisainan sebuah filter h(n)

sehingga errorE diantara output yang diharapkan d(n) dan aktual ouputy(n) adalah

minimum. Aktual output diberikan sebagai:

= ℎ ∗ (13)

Dimana x(n) adalah input, maka :

(32)

18

Tujuannya adalah untuk menghitung koefisien filter (h(0), h(1), …….., h(N-1))

sehingga error E adalah minimum, dimana panjang filter adalah N harus

didefinisikan terlebih dahulu (Mousa dan Al-Shuhail 2011).

b. Autokorelasi

Korelasi menentukan tingkat kesamaan antara dua sinyal. Jika sinyal yang identik, maka koefisien korelasi adalah 1. Jika mereka benar-benar berbeda,

koefisien korelasi adalah 0. Dan jika mereka identik dengan fase digeser persis 1800

maka koefisien korelasinya adalah -1. Ketika dua sinyal bebas (independent)

dibandingkan maka diketahui sebagai cross-correlation dan ketika sinyal yang

sama dibandingkan dengan fase bergeser salinan dari dirinya sendiri maka disebut autokorelasi (Gibbon 1996).

Karena random nature dari e(n), autokorelasinya re(n) adalah umumnya 0

dimana saja kecuali pada n = 0, dimana itu sama dengan energi dalam e(n):

= ∑ = + +… (15)

Oleh karena itu, re(n) dapat didekati sebagai:

= (16)

Menggunakan fakta ini, kita dapat menurunkan sebuah hubungan di antara trace

dan wavelet autokorelasi (rs(n) dan rw(n)) yang menghasilkan persamaan akhir

sebagai berikut:

rs(n)= re0 rw(n) (17)

yang berarti bahwa autokorelasi trace seismik adalah sebuah versi skala dari

autokorelasi dari wavelet sumber (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Untuk penerapan

dekonvolusi spike dalam data diperlukan parameter sebagai berikut:

- Autocorrelation window (w): bagian dari trace seismik yang akan dipilih sebagai elemen dalam matrik autokorelasi.

- Filter length (N): panjang dari filter spiking h(n).

- Percent prewhitening (ε): jumlah dari white random noise yang digunakan dalam penambahan dalam matrik autokorelasi guna menstabilkan solusi.

Contoh hasil dari dekonvolusi spike pada data penelitian dapat dilihat pada

Gambar 18. Selanjutnya dilakukan analisis berupa Power Spectral Density dari

rata-rata keseluruhan trace menggunakan fungsi Periodogram. Dimana dapat

dilihat peningkatan kerapatan/kepadatan daya spektral dari sebelum dan sesudah

(33)

19

Gambar 18 Hasil dekonvolusi spike dari data di lokasi B19: Kiri bentuk wiggles

dan kanan color scale dalam mV

Gambar 19 Hasil analisis power spectral density dengan periodogram dari

rata-rata seluruh trace sebelum dan sesudah dekonvolusi

Automatic gain control (AGC) dengan nilai RMS dilakukan lagi untuk

penguatan sinyal sebagai kompensasi pelemahan amplitudo trace akibat kehilangan

energi setelah dekonvolusi. Contoh hasil AGC setelah dekonvolusi spike dari data

dengan nilai RMS (root mean square) atau akar kuadrat rata-rata tertera pada

(34)

20

(a) (b)

Gambar 20 Hasil dekonvolusi spike dan AGC dari data di lokasi B19: (a) bentuk

wiggles dan (b) color scale dalam mV

5. Dekonvolusi sparse spike menggunakan norma L1

Dekonvolusi norma L1 termasuk jenis seismik inversi, dimana diasumsikan model reflektivitas tertentu dan wavelet yang diestimasi berdasarkan asumsi model.

Metoda sparse spike mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metoda

dekonvolusi klasik yaitu pengontrol ekstra yang dapat digunakan sebagai estimasi

full-bandwith reflektivitas. Metoda Norma L1 adalah metoda inversi rekursif dengan menggunakan asumsi ‘sparse spike’. Teori dasar metode ini dikemukakan oleh Oldenburg et al. tahun 1983 Pada bagian awalnya didiskusikan model konvolusional bebas noise (Abdullah 2008).

Prinsip dari metode ini hampir sama dengan dekonvolusi spike yaitu trace

(s(t)) dikonvolusikan dengan wavelet sumber (w(t)) yang merupakan hasil model

atau filter dalam bentuk zero-phase, sehingga dengan menggunakan metode inversi

diperoleh reflektivitas r(t) sebagai berikut:

= ∗ (18)

= ∗ −

= ∗

(35)

21

= || − || + � | | (19)

dimana || || adalah nilai panjang vektor/norm dan � adalah regularization parameter

yaitu 0.1 (Sacchi 2008; Wang 2011).

Wavelet sumber diekstraksi dengan membuat wavelet ricker (zero-phase),

wavelet ini dipilih karena memiliki noise yang minimum (sidelobe-nya

zero-phase). Frekuensi yang digunakan adalah 800 Hz dengan sampling interval 0.0001 s (Gambar 21). Frekuensi 800 Hz digunakan karena pada frekuensi tersebut

informasi yang dibawa dari data lebih optimal. Parameter inversi model sparse

spike yang digunakan :

1. Regularization parameter 0.1 2. Maximum number of iterations 15 3. Processing sample rate 0.1 ms

4. Data yang digunakan adalah raw data setelah koreksi amplitudo

Gambar 21 Wavelet ricker yang diaplikasikan dalam model

Ringkasan sederhana dalam pengolahan data sub-bottom profiler atau

multiprocessing menggunakan Matlab pada penelitian ini tertera pada Gambar 22. Dimana secara umum pengolahan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian untuk menghasilkan profil 2 dimensi dari sedimen, bagian untuk menghasilkan koefisien reflektansi dari sedimen, dan bagian untuk analisis menggunakan

(36)

22

Gambar 22 Diagram alir pengolahan data SBP di Matlab

Perhitungan Analitis Data Sedimen

Data coring dari lokasi survei dilakukan analisis di laboratorium untuk

menentukan nilai densitas (ρ) dan jenis sedimennya (Lampiran 3). Selanjutnya,

untuk menentukan kecepatan gelombang seismik (c) dalam sedimen digunakan

deskriptor sedimen mean grain size (MZ), yang diukur dalam unit logaritmik (APL

1997), yaitu sebagai berikut:

� = − . � (20)

Dimana d = diameter butiran sedimen (mm), d0 = panjang referensi (1 mm), dan ϕ

= notasi unit dari MZ.

Nilai dari MZ yang diperoleh, kemudian disubstitusikan kedalam persamaan

regresi untuk mengestimasi kecepatan sedimen, hasil formula Bachman dan Hamilton. Bentuk persamaan regresinya adalah sebagai berikut (Saleh 2010):

= − . � + . � (21)

Perhitungan koefisien refleksi digunakan persamaan Zoeppritz, dengan prinsip dasar hukum Snellius dalam penentuan koefisien reflektivitas dari

(37)

23 produk dari perkalian densitas basah (ρ) dengan kecepatan penjalaran gelombang

kompresi atau seismik (VP) dan amplitudo yang dipantulkan dapat ditentukan oleh

koefisien refleksinya, yang mana didefinisikan sebagai fungsi impedansi akustik

antar lapisan sedimen (Caulfield et al. 2005). Secara sederhana persamaan

Nilai R memiliki kisaran -1≤ R ≤1 dan nilai negatif dari R menunjukkan adanya

pembalikan fase dari π (1800) dari gelombang kompresi yang dipantulkan (Kearey

et al. 2002). Hal ini terjadi jika impedansi pada lapisan pertama lebih besar daripada lapisan kedua.

Analisis Sedimen Berdasarkan Energi

Envelope merepresentasikan total energi sesaat (instantaneous), nilai

amplitudonya bervariasi antara nol sampai amplitudo maksimum trace seismik.

Envelope berhubungan langsung dengan kontras impedansi akustik yang berguna

untuk mengetahui kontras impedansi akustik, bright spot, akumulasi gas, batas

sekuen, efek ketebalan tuning (tuning thickness), ketidakselarasan, perubahan

lithologi, perubahan lingkungan pengendapan, sesar, porositas, dan lainnya

(Abdullah 2008). Secara matematis Envelope (E) dituliskan sebagai berikut:

= √ + (24)

Dimana x(t) adalah data trace seismik riil (real seismic trace) dan y(t) adalah

quadrature atau bagian dari imajiner trace seismik (imaginary trace).

Instantaneous amplitude atau envelope dari trace seismik kompleks adalah sebuah ukuran energi total (kinetik dan potensial) dari variasi waktu, termasuk di

dalamnya respon refleksi seismik. Taner dan Sheriff (1977) dan Taner et al. (1979)

mengenalkan sebuah konsep dari Hilbert Transform untuk menghitung Envelope.

Pada dasarnya trace seismik kompleks terdiri dari sebuah komponen riil dan sebuah

komponen imajiner. Komponen riil adalah trace seismik rekaman aktual dan

komponen imajiner dihitung dengan menggunakan Hilbert Transform (AGI 1999).

Hilbert Transform pada dasarnya adalah sebuah jenis khusus dari filter yang

(38)

24

frekuensi negatif dengan +900. Jika x(t) adalah sinyal masukan, y(t) adalah sinyal

keluaran, dan G(�) adalah Hilbert transform filter diekspresikan dalam domain

frekuensi, maka proses Hilbert transform secara matematis dapat dinyatakan

sebagai berikut (AGI 1999):

x(t)   y(t) = H(x(t)) (25)

Dimana H(x(t)) adalah Hilbert transform dari x(t), j=√− atau bilangan imajiner,

dan sgn(�) didefinisikan sebagai berikut:

sgn(�)= +1 � > 0 = -1 � < 0 = 0 � = 0

Perhitungan Envelope dalam satuan decibel (dB) digunakan persamaan dari Mousa

dan Al-Shuhail (2011), yaitu sebagai berikut:

� = log |���� ( �

�+ )|

Karena power (P) proporsional dengan kuadrat dari amplitudo sinyal (signal

amplitude, A), maka diperoleh formula berikut (Kearey et al. 2002):

log (� ) = log� = log ( )

PCA (Principal Component Analysis) diterapkan untuk pengurangan dimensi

dan analisis kelompok pada data, dengan menggunakan metode singular value

decomposition/SVD. SVD adalah sebuah matrik Am x n yang dapat ditulis sebagai

produk dari sebuah matrik column-orthogonal (saling bebas) Um x n , matrik

diagonal Sn x n dengan elemen positif atau nol (the singular values), dan transpose

dari sebuah matrik Vn x n (Sabeti et al. 2007; Rietsch 2008), yaitu sebagai berikut:

� = � � �� (26)

PCA adalah sebuah teknik statistik untuk melakukan pengurangan dimensi. Penggunaan PCA dapat menemukan arah dalam data dengan variasi tertinggi dan mengurangi secara dimensional dari data set yang besar dengan variabel yang saling berhubungan tanpa kehilangan informasi. Ide awal dari PCA berasal dari Pearson,

sebagai sebuah metode untuk pencocokan bidang (fitting planes) dalam regresi

linier. Pengaplikasian metode SDV terhadap matrik kovarian (covariance matrix)

untuk mendapatkan eigenvalues dan eigenvectors-nya, dengan pengujian

eigenvalues dan penentuan komponen mana yang berkontribusi secara signifikan

terhadap trend utama dari data (maximum variance), kita dapat mengeliminasi

kontribusi kecil yang termasuk dalam random noise (Sabeti et al. 2007). Sintak

(39)

25 Ringkasan pengolahan data dari analisis sedimen menggunakan total energi

sesaat (envelope) dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Perhitungan envelope data seismik setelah proses dekonvolusi spike dan

normalisasi dengan nilai RMS.

2. Konversi envelope dalam bentuk decibel (dB)

3. Aplikasi PCA untuk mereduksi noise dengan metode SVD

4. Plotting data pendekatan hasil PCA atau trace sintetik hasil pendekatan svd,

yaitu perkalian antara dua data principal component yang pertama (kolom

1 dan 2) dengan dua data koefisien yang pertama (baris 1 dan 2).

Adapun matrik data yang digunakan pada PCA yaitu sama setelah langkah pertama

dan kedua di atas. Dimana terdiri dari data amplitudo yang tersusun per-trace dan

per-twt (two-way travel time). Data ini masih terdapat noise permukaan dan

(40)

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Informasi Frekuensi dari Raw Data SBP

Hasil pemrosesan data mentah dari SBP dengan menggunakan Short Time

Fourier Transform (STFT) diperoleh informasi time-frequency tertera pada

Gambar 23. Hasil spectrogram pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa kandungan

informasi dari data awal SBP yaitu berada pada rentang 0 hingga 5000 Hz dan nilai

mutlak amplitudo dari data trace ke-812 berkisar dari 4 hingga 26906 mV. Dimana

panjang rekaman data dari 0 hingga 99.9 ms dan interval sampling 0.1 ms. SBP

jenis sparker umumnya berada pada rentang frekuensi 50 Hz hingga 4000 Hz

(Penrose et al. 2005). USGS (The United States Geological Survey) secara khusus

menyebutkan bahwa frekuensi untuk mini-sparker adalah 160 sampai 1200 Hz

(Sliter et al. 2008). Hasil di atas dapat kita ketahui terdapat noise dalam data, misalnya terlihat pada frekuensi rendah dengan energi tinggi. Hal ini biasanya tipe

noise yang dihasilkan dari air bubble atau gelembung udara yang dihasilkan dari

alat ataupun dari multiple gelombang seismik (Duchesne et al. 2007; Nieuwenhuise

et al. 2012).

Gambar 23 Hasil spectrogram dari trace ke 812 di lokasi B19

(scale bar dalam dB)

Hasil dari spectrogram ini kemudian dapat digunakan sebagai acuan dalam

(41)

27 itu, dapat mempermudah dalam mengetahui pada rentang frekuensi berapa sinyal utama yang dominan membawa informasi yang optimum. Sehingga STFT sangat

membantu dalam mengetahui karakter frekuensi dari data awal atau raw data.

Profil 2D di Lokasi Dekat B19

Hasil dari pengolahan di Matlab diperoleh profil 2 dimensi secara vertikal (Gambar 24), dimana sumbu x menunjukkan rentang jarak pengukuran sekitar 45.756 m dan sumbu y menunjukkan kedalaman dalam meter. Peta profil 2D menunjukkan topografi dasar pada lokasi B19 yang relatif datar atau horizontal.

Kedalaman substrat dasar terlihat berada di kedalaman sekitar 13 meter. Reflektor pertama atau lapisan sedimen yang kontras densitasnya jelas terlihat pada kedalaman sekitar 27 meter. Hal ini berarti ketebalan sedimen di lapisan permukaan yang relatif homogen memiliki ketebalan 14 meter. Pada lapisan di bawah reflektor pertama menunjukkan stratigrafi yang cukup heterogen hingga kedalaman 50 meter. Selanjutnya, tidak ditemukan reflektor yang kedua hingga kedalaman lebih dari 75 meter.

Hasil dari sistem coring di lokasi B19 yaitu jenis sedimen permukaannya

berupa silt/lanau. Contoh sedimen yang dianalisis di laboratorium yaitu setebal 0.95

meter yang mewakili sinyal trace sekitar 2 milliseconds (ms). Posisi sedimen di

lokasi B19 adalah E 108028’14.48” dan S 06019’58.03’’. Penelitian lain

berdasarkan gravity core menunjukkan hasil jenis sedimen pada pantai utara

Indramayu berupa lanau pasiran dan lempung (Stephanie et al. 2014). Hasil profil

2 dimensi dalam 3 bentuk yang berbeda seperti tertera pada Gambar 24.

Gambar 24 Profil 2D di lokasi B19 dari kiri adalah: (a) dalam bentuk wiggles,

(42)

28

Hasil di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa jenis sedimen permukaan di lokasi B19 berupa sedimen yang relatif homogen hingga reflektor pertama. Dimana lapisan sedimen lebih terlihat jelas perbedaan stratigrafinya pada lapisan kedua setelah reflektor pertama. Sehingga cukup membantu dalam mengetahui parameter

yang ada dalam lapisan sedimen tersebut seperti kontras impedansi, layer atau

heterogenitas, nilai amplitudo, dan karakter sinyal dari lapisan itu sendiri.

Informasi ketebalan sedimen dapat digunakan untuk mengestimasi besaran sumber daya yang ada. Informasi stratigrafi lapisannya juga dapat digunakan untuk mengetahui variasi jenis sedimen apa saja yang ada sebelum dilakuakan analisis

lebih lanjut secara in situ. Sehingga sangat membantu dalam menyediakan

informasi sedimen bawah permukaan laut.

Koefisien Refleksi Hasil Pemodelan

Hasil dari dekonvolusi sparse spike berupa estimasi full-bandwith

reflektivitas (Gambar 25). Oleh karena itu, kita dapat mengetahui pendekatan dari nilai koefisien refleksi yang ada di lokasi B19. Nilai koefisien refleksi dari hasil aplikasi pemodelan di lokasi B19 pada sedimen permukaan berkisar antara 0.1079 hingga 0.2894. Nilai koefisien refleksi negatif berarti bahwa impedansi di lapisan atas lebih besar dibanding lapisan di bawahnya. Nilai mutlak koefisien refleksi dari

keseluruhan data di lokasi coring B19 atau pada trace ke-829 berkisar dari 1.1460

x 10-7 hingga 0.2955. Sedangkan nilai 0 berarti energi ditransmisikan atau

diteruskan seluruhnya dikarenakan impedansinya yang relatif homogen.

Koefisien refleksi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kontras impedansi antar lapisan sedimen. Dimana refleksi menunjukkan perbandingan nilai energi yang dipantulkan dibanding energi yang datang.

Gambar 25 Hasil klasifikasi: Kiri adalah nilai koefisien refleksi sedimen dari

(43)

29

Sebagai pembanding, Caulfield et al. (2005) menghasilkan nilai koefisien

refleksi near-surface sediment berkisar 0.0420 - 0.3092. Sehingga dapat dikatakan

bahwa nilai koefisien refleksi sedimen berbeda-beda. Hal ini dikarenakan lapisan sedimen bawah permukaan laut memiliki sifat fisis yang beragam. Analisis statistik

data digital di lokasi coring B19 (trace number 829) yaitu pada Gambar 26 dan

Tabel 2.

Nilai rata-rata dari koefisien refleksi di lokasi coring B19 adalah 0.0041

dengan kisaran nilai mutlaknya 1.1460 x 10-7 hingga 0.2955. Sedangkan nilai

standar deviasinya yaitu 0.0206 dari 860 data. Secara kualitatif dari hasil koefisien refleksi ini dapat diketahui terdapat 3 lapisan kelompok reflektansi dari sedimen yaitu kelompok reflektansi pada sedimen permukaan, kelompok reflektansi sedimen pada reflektor pertama, dan kelompok reflektansi di bawah reflektor pertama. Dimana nilai tertingginya berada pada kelompok sedimen permukaan (Tabel 2). Hal ini tentunya dipengaruhi oleh perbedaan kontras impedansi yang cukup tinggi antara air dan sedimen dasar laut berupa lanau. Ketebalan lapisan dari ketiga kelompok tersebut yaitu 11 meter, 5 meter, dan 14 meter (Gambar 26).

Gambar 26 Nilai mutlak dari koefisien refleksi di lokasi B19

Berdasarkan analisis kuantitatif nilai koefisien refleksi pada sedimen

permukaan jenis lanau di lokasi coring B19 diperoleh nilai estimasi reflektansi

rata-rata permukaan yaitu 0.0304, nilai minimum 2.50 x 10-7, maksimum 0.2894, dan

standar deviasi sebesar 0.0673. Data lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Dimana

pada waktu two-way traveltime (twt) dari 14.8 ms hingga 17.4 ms terdapat tiga nilai

(44)

30

Hal ini berarti pada sedimen jenis lanau di lokasi coring B19 memiliki nilai

koefisien reflektansi pada bagian permukaan berkisar antara 0.1079 hingga 0.2894 (Tabel 2). Peningkatan nilai reflektifitas menunjukkan besarnya energi yang hilang

atau yang dipantulkan atau biasa disebut sebagai bottom loss dalam bentuk

logaritmik (Caulfield et al. 2005). Semakin tinggi koefisien reflektansinya maka

menunjukkan kontras impedansi atau perbedaan impedasi antar lapisan tersebut semakin besar pula, yang tentunya dipengaruhi oleh densitas (kepadatan) dari masing-masing lapisan sedimen itu sendiri.

Tabel 2 Data kuantitatif trace sedimen permukaan di lokasi B19

Hasil dari pemodelan ini, kita juga dapat menganalisis seberapa dekat

hubungan antara trace asli hasil perekaman alat setelah pemrosesan akhir dengan

trace hasil pemodelan menggunakan sparse spike (predicted trace). Gambar 27 kita

dapat mengetahui bahwa secara kualitatif data antara trace asli dengan trace hasil

prediksi keduanya cukup memiliki kemiripan terutama pada bagian permukaan,

dasar perairan (seafloor), dan reflektor pertama antar sedimen. Analisis lebih lanjut

hubungan antara data 2 trace tersebut, dilakukan pencarian korelasi secara

(45)

31

Trace asli hasil rekaman yang dibandingkan telah dilakukan pemrosesan

sinyal lebih lanjut yaitu bandpass filter, dekonvolusi spike, dan normalisasi dengan

nilai RMS dari data. Cross correlation dipilih karena kedua data bersifat

independent atau saling bebas dan memiliki kesamaan. Hasil koefisien korelasi menunjukkan tingkat derajat keeratan antara keduanya. Dimana semakin besar nilai koefisien korelasinya yang mendominasi, maka semakin kuat pula kesamaannya.

Gambar 27 Kiri adalah trace seismik hasil rekaman asli setelah bandpass filter

dan kanan adalah trace hasil prediksi/sintetik (hasil konvolusi koefisien

refleksi/r(t) dengan wavelet sumber/w(t))

Hasil korelasi pada Gambar 28 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi dari keduanya yang cukup baik yaitu berkisar antara 0.3741 hingga 1 dengan didominasi nilai lebih besar dari 0.6 sebesar 2591 dari total data 3481 atau sebesar 74.4 % dari keseluruhan data koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kuat jika lebih besar dari 0.8 dan tergolong lemah jika kurang dari 0.5 (MathBits 2015). Hal

ini berarti hubungan antara trace asli hasil perekaman (setelah pemrosesan)

memiliki derajat keeratan/kesamaan yang cukup kuat dengan trace sintetik/prediksi

hasil metode inversi menggunakan sparse spike.

(46)

32

Perhitungan Analitis Sedimen

Hasil dari perhitungan manual koefisien refleksi di lokasi B19 dari data laboratorium (Lampiran 3) diperoleh bahwa dengan menggunakan persamaan

Zoeppritz, nilai koefisien refleksi (R) antara sedimen jenis lanau/silt dengan air laut

sebesar 0.2807. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hasil perhitungan koefisien refleksi dengan pemodelan (metode seismik inversi) dan manual menunjukkan nilai yang hampir sama tetapi lebih detil hasil dari pemodelan. Dimana hasil perhitungan manual berada dalam kisaran hasil pemodelan (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil perhitungan nilai koefisien refleksi secara manual dan model

Tabel 3 di atas menunjukkan perbandingan nilai koefisien refleksi dari sedimen jenis lanau dari penelitian sekarang dengan 2 penelitian yang lain. Dimana

hasilnya masih dalam rentang koefisien refleksi jenis silt di penelitian lain.

Sehingga dapat diketahui bahwa hasil dari perhitungan koefisien refleksi secara analitis masih dalam kisaran yang sama dengan hasil pemodelan menggunakan metode inversi dan hasil keduanya tidak memiliki perbedaan jauh dibanding perhitungan penelitian yang lain. Perbedaan ini tentunya dipengaruhi oleh kecepatan suara gelombang seismik dan nilai densitas dari sedimen itu sendiri.

Hasil dari pengukuran kecepatan suara di kolom air laut saat penelitian diperoleh nilai kecepatan sebesar 1542 m/s. Hasil aplikasi formula Bachman dan Hamilton yang telah diperbarui oleh laboratorium teknik Universitas Delft (Saleh 2010) diperoleh nilai estimasi kecepatan suara di sedimen lokasi B19 sebesar 1947.4701 m/s.

Hasil dari analisis sedimen coring dari laboratorium diperoleh nilai densitas

(�) sebesar 1445 kg/m3. Oleh karena itu, nilai koefisien refleksi yang diperoleh dari

pemodelan dapat digunakan untuk mencari nilai kecepatan suara dari sedimen dengan menggunakan persamaan Zoeppritz. Hasilnya dapat digunakan sebagai pembanding hasil kecepatan suara di sedimen dengan formula Bachman dan Hamilton.

(47)

33

Analisis Sedimen Berdasarkan Energi

Hasil dari analisis sedimen berdasarkan total energi sesaat pada lokasi coring

B19 tertera pada Gambar 29 dan 30.

Gambar 29 Hasil perhitungan data seismik: Kiri adalah data real dan imaginary

dari single trace dan kanan adalah nilai envelope dari single trace

Hasil Gambar 29 di atas dapat diketahui bahwa nilai amplitudo dari total

energi sesaat atau envelope dari single trace di lokasi B19 adalah tertinggi berada

pada permukaan air laut. Selanjutnya, hasil keseluruhan data trace tertera pada

Gambar 30. Dimana dapat kita lihat secara jelas keseluruhan energi tertinggi berada

pada permukaan air laut atau sea level. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang

(48)

34

mempengaruhinya yaitu antara lain transmission loss, geometric divergence, dan

absorption (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Faktor yang paling dominan karena dekat

dengan sumber sehingga noise dari alat yang dapat menimbulkan gelembung udara

dapat terekam lebih awal dengan energi yang tinggi dan frekuensi yang rendah (hasil STFT) dan juga adanya pengaruh koefisien refleksi antara air dan udara ketika gelombang seismik ditransmisikan oleh alat atau sumber suara yang tidak jauh dari muka laut. Schuster (1998) menjelaskan bahwa amplitudo seismik paling kuat berada paling dekat dengan sumber atau pada waktu awal. Akibatnya rekaman

data sangat lemah pada jejak offset yang jauh.

Selanjutnya, energi envelope tinggi berada pada antara air laut dan sedimen

dasar laut. Hal ini dipengaruhi oleh kontras impedansi antar kedua medium tersebut, sehingga energi yang dipantulkan besar atau memiliki koefisien reflektansi yang

tinggi, ketika energi seismik melewatinya. Energi envelope tertinggi ketiga yaitu

berada pada reflektor pertama antara dua jenis sedimen yang memiliki densitas yang berbeda, yaitu sedimen permukaan yang relatif homogen dengan sedimen di bawah batas reflektor pertama.

Gambar 30 menunjukkan bahwa kontras impedansi yang jelas dapat diketahui

dengan menggunakan envelope. Selain berguna untuk melihat kontras impedansi

akustik antar lapisan, envelope juga dapat digunakan untuk mengetahui antara lain

bright spot, akumulasi gas, ketidakselarasan, perubahan lithologi, perubahan lingkungan pengendapan, sesar, dan porositas (Abdullah 2008).

Penggunaan PCA dengan metode SVD diterapkan pada data envelope untuk

mengetahui pengelompokkan layer atau lapisan yang dominan tanpa terganggu

dengan adanya pengaruh noise acak (Random noise). Hasil analisis envelope

menggunakan Principal Component Analysis tertera pada Gambar 31.

Gambar 31 Kiri adalah envelope keseluruhan data (dB) sebelum PCA dan

Gambar

Gambar 30 Nilai envelope dari keseluruhan data (mV)                                             33
Gambar 2 Model konvolusi dari  trace seismik refleksi (Kearey et al. 2002)
Tabel 1 Karakteristik sistem dari berbagai kelas sub-bottom profiler (Penrose et al.
Gambar 7 Refleksi dari dasar perairan (Abdullah 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait