KOMPUTASI DAN ANALISIS
MULTIPROCESSING
DATA
SUB-BOTTOM PROFILER
UNTUK KARAKTERISASI
SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT
SAIFUR ROHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komputasi dan Analisis Multiprocessing Data Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 4 Agustus 2015
Saifur Rohman C552130121
RINGKASAN
SAIFUR ROHMAN. Komputasi dan Analisis Multi-Processing Data Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK, TOTOK HESTIRIANOTO, dan IMAM MUDITA.
Peningkatan aktivitas manusia di bidang kelautan seperti operasi pengerukan (dredging), eksplorasi minyak dan gas, penambangan pasir mineral, dan berbagai penelitian kelautan telah mengakibatkan permintaan yang mendesak terhadap peta
dasar laut yang akurat. Sub-bottom Profiler (SBP) adalah sistem akustik yang
digunakan untuk menggambarkan lapisan sedimen dan batuan di bawah dasar laut, serta memberikan informasi tentang ketebalan sedimen dan stratigrafinya.
Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tiga tujuan utama yaitu sebagai berikut: (1) untuk menentukan profil (2D) dari lapisan sedimen permukaan dasar laut menggunakan pemrosesan sinyal digital; (2) untuk memperoleh nilai koefisien refleksi dari lapisan sedimen permukaan dasar laut dengan pemodelan dan teknik analitis; dan (3) untuk menganalisis lapisan sedimen berdasarkan pada nilai envelope.
Proses akuisisi data dilakukan menggunakan SBP jenis sparker single
channel oleh BPPT, yaitu survei pemeliharaan pipa migas dan kabel listrik Pertamina tahun 2010 yang berada di sebelah timur pantai Balongan, Indramayu. Pengambilan sampel sedimen dasar laut menggunakan gravity corer.
Hasil dari pengolahan data mentah SBP dengan Matlab di dekat lokasi B19 diperoleh profil 2D dari lapisan sedimen. Dimana terlihat jelas dasar laut dan reflektornya serta memiliki nilai koefisien refleksi dari sedimen permukaan berkisar 0.1079 hingga 0.2894. Selain itu, teknik analitis untuk estimasi parameter sedimen dari data laboratorium ditunjukkan sebagai pembanding. Hasil sedimennya berupa silt/lanau dengan nilai koefisien refleksi adalah 0.2807.
Hasil analisis dari lapisan sedimen pemukaan dasar laut di dekat lokasi B19 diperoleh nilai rata-rata evelope adalah -18,5825 dB. Principal Component Analysis diterapkan untuk membentuk pendekatan data seismik trace dan diperoleh berupa trace seismik dengan pengurangan noise yang signifikan.
SUMMARY
SAIFUR ROHMAN. Computation and Analysis of The Sub-Bottom Profiler Data Multiprocessing for Characterizing Near-Surface Sediment. Supervised by HENRY M. MANIK, TOTOK HESTIRIANOTO and IMAM MUDITA.
The increased human activity in the marine sector, such as dredging operations, oil and gas exploration, mineral sands mining and various marine research has led to an imperative demand for accurate seafloor maps. Sub-bottom profilers (SBP) are acoustic systems used to image sediment layers and rocks beneath the seabed, providing information about sediment thicknesses and stratigraphy.
Therefore, this research has three main objectives that include the following: (1) to determine the profile (2D) of the near-surface sediment layers using digital signal processing; (2) to obtain the value of the reflection coefficient of the near-surface sediment layers with modeling and analytical techniques; and (3) to analyze the sediment layers that was based on the value of instantaneous energy (envelope).
The process of data acquisition was conducted using SBP type of a single channel sparker by BPPT, that was the survey of oil and gas pipeline maintenance and electrical cable Pertamina in 2010, which was on the east coast Balongan, Indramayu. Whereas for seafloor sediment sampling was used gravity corer.
The results of the processing of the raw data with Matlab nearby B19 (coring) has been obtained 2D profile of seabed sediment and reflector, which was clearly visible and had a reflection coefficient value of the near-surface sediment about 0.1079 to 0.2894. In addition, analytical techniques for parameter estimation of sediment from laboratory data was performed as a comparison. The result of sediment in the form of silt with reflection coefficient value was 0.2807.
The results of the analysis from near-surface sediment layer nearby B19 has been obtained the mean value of instantaneous amplitude was -18.5825 dB. The principle component analysis was applied to synthetic seismic data and obtained a trace with significantly attenuated noise.
Keywords : SBP, signal processing, 2-dimensional, reflection coefficient, sediment layer
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMPUTASI DAN ANALISIS
MULTIPROCESSING
DATA
SUB-BOTTOM PROFILER
UNTUK KARAKTERISASI
SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT
SAIFUR ROHMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2015
Judul Tesis : Komputasi dan Analisis Multiprocessing Data Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut
Nama : Saifur Rohman
NIM : C552130121
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Henry M. Manik, S.Pi, MT Ketua
Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc Dr. Ir. Imam Mudita, M.Eng.Sc Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Kelautan
Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 hingga Juli 2015 ini ialah
seismik laut, dengan judul Komputasi dan Analisis Multiprocessing Data
Sub-Bottom Profiler untuk Karakterisasi Sedimen Permukaan Dasar Laut yang merupakan hasil Survei Pemeliharaan Pipa Migas Pertamina Balongan, Indramayu, yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) .
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Henry M. Manik, Dr. Totok Hestirianoto, dan Dr. Iman Mudita selaku pembimbing, serta Bapak Yudo Hariyadi dan Rahadian dari BPPT yang telah membantu selama pengumpulan data. Di samping itu, banyak terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) atas beasiswa BPPDN (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri) yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 5 Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2Ruang Lingkup Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 2
Konsep Dasar Seismologi 2
Trace seismik kompleks 4
Resolusi Vertikal dan Horizontal 4
Prinsip Kerja Sub-bottom Profiler 5
Interaksi Dasar Laut 7
Pemantulan dari permukaan dasar dan layer 7
Hamburan dasar laut 8
Spesifikasi Teknik SQUID 500 8
3 METODE PENELITIAN 10
Waktu dan Lokasi Penelitian 10
Peralatan Survei dan Akuisisi Data 10
Pengolahan Data Sub-bottom Profiler 11
Konversi data SBP 11
Pengolahan data di Matlab 11
Perhitungan Analitis Data Sedimen 22
Analisis Sedimen Berdasarkan Energi 23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26
Informasi Frekuensi Raw Data 26
Profil 2D di Lokasi Dekat B19 26
Koefisien Refleksi Hasil Pemodelan 28
Perhitungan Analitis Sedimen 31
Analisis Sedimen Berdasarkan Energi 33
DAFTAR ISI (lanjutan)
DAFTAR PUSTAKA 38
LAMPIRAN 40
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakteristik sistem dari berbagai kelas sub-bottom profiler 6
Tabel 2 Data kuantitatif trace di lokasi B19 30
Tabel 3 Hasil perhitungan nilai koefisien refleksi secara analitis 32
Tabel 4 Nilai pantulan energi dari sedimen jenis lanau 36
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sinyal seismik pada kertas perekaman garfik 3Gambar 2 Model konvolusi dari trace seismik refleksi 3
Gambar 3 Bermacam-macam refleksi multiple di dalam tanah berlapis 4
Gambar 4 Trace seismik komplek z (t) 4
Gambar 5 Energi dikembalikan ke sumber dari semua poin sebuah reflektor 5
Gambar 6 Pemasangan berbagai sistem sub-bottom profiler 6
Gambar 7 Refleksi dari dasar perairan 7
Gambar 8 Pantulan gelombang suara pada layers 8
Gambar 9 Hamburan gelombang suara di permukaan dasar 8
Gambar 10 Bentuk pulsa Squid 500 pada energi input 500 J 9
Gambar 11 Peta lokasi survei 10
Gambar 12 Diagram alir konversi data SBP 11
Gambar 13 Contoh data SBP awal sebelum koreksi di lokasi coring B19 11
Gambar 14 Hasil koreksi amplitudo 13
Gambar 15 Echo envelope (dB) dari data sebelum dan sesudah koreksi amplitudo pertama 14
Gambar 16 Hasil dari Fast Fourier Transform data SBP 16
Gambar 17 Data hasil bandpass filter dalam domain waktu 16
Gambar 18 Hasil dekonvolusi spike dari data di lokasi B19 19
Gambar 19 Hasil analisis power spectral density dengan periodogram 19
Gambar 20 Hasil dekonvolusi spike dan AGC dari data di lokasi B19 20
Gambar 21 Wavelet ricker yang diaplikasikan dalam model 21
Gambar 22 Diagram alir pengolahan data SBP di Matlab 22
Gambar 23 Hasil spectrogram dari trace ke 812 di lokasi B19 26
Gambar 24 Profil 2D di lokasi B19 27
Gambar 25 Hasil klasifikasi 28
Gambar 26 Nilai mutlak dari koefisien refleksi di lokasi B19 29
Gambar 27 Kiri adalah trace seismik hasil rekaman asli dan kanan adalah… 31
Gambar 28 Koefisien korelasi antara trace sintetik dengan trace seismik 31
Gambar 30 Nilai envelope dari keseluruhan data (mV) 33
Gambar 31 Kiri adalah envelope keseluruhan data (dB) sebelum PCA dan kanan adalah envelope hasil PCA 34
Gambar 32 Kanan adalah nilai envelope rata-rata dari keseluruhan data (dB) dan kiri adalah nilai envelope dari lokasi coring B19 35
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kapal dan peralatan survei yang digunakan 40Lampiran 2 Hasil analisis sedimen coring lokasi B19 dari Laboratorium 41
Lampiran 3 Contoh data amplitudo hasil ekstrak dari data SBP 42
Lampiran 4 Sintak Principal Component Analysis metode SVD 43
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan aktivitas di bidang kelautan seperti operasi pengerukan (dredging), eksplorasi minyak dan gas, penambangan pasir dan mineral, dan berbagai penelitian antara lain geologi kelautan, morfologi, dan oseanografi telah menyebabkan sebuah permintaan utama dalam peta-peta dasar laut yang akurat. Aplikasi seperti pemasangan pipa dan kabel laut membutuhkan pengetahuan dari topografi dasar laut dan informasi detil tentang komposisi dasar laut, baik sedimen permukaan maupun lapisan sedimen yang lebih dalam. Cara konvensional dari
perolehan informasi tentang komposisi seafloor, seperti pengambilan sampel
sedimen fisik secara langsung membutuhkan biaya yang mahal dan banyak menghabiskan waktu. Oleh karena itu, teknik menarik yang menyediakan cakupan spasial yang tinggi dengan biaya yang terbatas dan waktu yang cukup singkat sangat dibutuhkan. Salah satunya adalah penginderaan jauh menggunakan gelombang akustik (Saleh 2010).
Beberapa tahun terakhir, metode akustik juga telah digunakan untuk mengukur proses dan struktur sedimen skala kecil, dengan resolusi temporal dan spasial tinggi, dan telah banyak diadopsi oleh para peneliti kelautan karena kemampuannya dalam mengumpulkan data secara cepat dan tidak merusak (Davis et al. 2002, Kim et al. 2002). Sub-bottom Profiler (SBP) adalah sistem akustik tradisional yang digunakan untuk menggambarkan lapisan sedimen dan batuan di bawah dasar laut, memberikan informasi tentang ketebalan sedimen dan stratigrafi.
Teknik SBP mirip dengan yang digunakan oleh single-beam echosounders, tapi
pada frekuensi yang lebih rendah, sehingga gelombang suara mampu menembus dasar laut (English Heritage 2013).
Perumusan Masalah
Pengolahan data Sub-Bottom Profiler (SBP) pada umumnya berupa
penguatan sinyal dan pemfilteran noise (bandpass filter) untuk mendapatkan profil vertikal dari sedimen. Hasil yang diperoleh berupa profil 2 dimensi dengan resolusi yang rendah. Penelitian ini berusaha memperbaiki proses pengolahan data sederhana tersebut, dengan menitikberatkan pada pemrosesan sinyal digital lebih lanjut dari data mentah SBP, untuk menghasilkan peta 2 dimensi dari lapisan sedimen secara lebih detil menggunakan Matlab.
Pengaplikasian metode seismik inversi digunakan untuk memprediksi nilai koefisien refleksi lapisan sedimen. Teknik analitis perhitungan koefisien refleksi sedimen dari data laboratorium juga dilakukan sebagai pembanding hasil dari metode inversi. Analisis lanjut berupa nilai envelope digunakan untuk mengetahui karakter sinyal digital dari sedimen permukaan dasar laut.
Data akuisisi SBP lokasi coring B19 dipilih karena topografi dasar lautnya yang horizontal dan kualitas datanya yang baik. Diharapkan lebih stabil dan mudah dalam pengaplikasian pemodelan.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menentukan gambaran profil 2D dari lapisan sedimen permukaan dasar laut (near-surface sediment), memperoleh nilai koefisien refleksi dari lapisan sedimen permukaan dasar laut dengan pemodelan dan teknik analitis, dan menganalisis lapisan sedimen berdasarkan energi (envelope).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini yaitu memberikan informasi mengenai pemrosesan
sinyal data Sub-Bottom Profiler lebih lanjut menggunakan Matlab untuk
menghasilkan profil 2 dimensi yang lebih detil. Aplikasi metode seismik inversi juga dipakai untuk mengestimasi koefisien refleksi lapisan sedimen.
Analisis terhadap nilai koefisien refleksi dan amplitudo gelombang suara yang kembali, memungkinkan untuk memperoleh informasi mengenai struktur dan kekerasan dasar laut. Hasilnya digunakan sebagai identifikasi sedimen dasar laut yang membantu dalam penentuan lokasi pemasangan pipa dan kabel di dasar laut.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan data seismik refleksi di laut dangkal. Kajian lebih terfokus pada lapisan sedimen dasar laut hingga kedalaman kurang dari 30 m. Penelitian ini hanya menganalisis karakteristik sedimen permukaan dasar laut tertentu dikarenakan keterbatasan data yang dimiliki. Selain itu, pemrosesan sinyal digital untuk menghasilkan profil vertikal 2 dimensi tidak selengkap pada pemrosesan jenis seismik multi channel dikarenakan jenis data dari penelitian ini adalah single channel.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Seismologi
Dalam survei seismik, gelombang seismik dibuat oleh sebuah sumber yang dikontrol dan menjalar melalui bawah permukaan (the subsurface). Beberapa gelombang akan kembali ke permukaan setelah mengalami refraksi atau refleksi pada batas-batas geologi di dalam bawah permukaan. Instrumen yang dipasang di permukaan akan mendeteksi pergerakan tanah yang disebabkan oleh gelombang yang kembali dan karenanya mengukur waktu tiba gelombang pada rentang yang berbeda dari sumbernya. Waktu perjalanan (travel times) ini dapat dikonversi menjadi nilai kedalaman. Oleh karena itu, distribusi dari interface geologi bawah permukaan dapat dipetakan secara sistematik (Kearey et al. 2002).
Survei seismik pertama dilakukan sekitar tahun 1920. Dimana mewakili sebuah perkembangan alami dari metode yang telah lama dibangun, yaitu
3 direkam pada pengamatan seismologi, yang digunakan untuk menghasilkan informasi pada struktur internal bumi (Kearey et al. 2002).
Single channel reflection profiling adalah sebuah metode survei seismik yang sederhana tetapi efektif yang penggunaannya secara luas di lepas pantai (offshore). Sistem perekaman analog digunakan dalam single channel profiling adalah relatif murah untuk mengoperasikan. Tidak ada biaya pemrosesan dan rekaman seismik
dihasilkan secara real time dengan perekaman peta yang kontinyu dari bandpass
filter dan penguat sinyal, dan terkadang dengan TVG /time variable gain (Gambar 1) ( Kearey et al. 2002 ).
Gambar 1 Sinyal seismik pada kertas perekaman garfik dari sebuah rekorder oseanogarfik ( Kearey et al. 2002 )
Trace seismik mewakili respon kombinasi dari tanah yang berlapis dan sistem perekaman untuk sebuah pulsa seismik (Gambar 2). Setiap tampilan dari kumpulan
satu atau lebih trace seismik disebut seismogram. Kumpulan trace tersebut
mewakili respon dari serangkaian detektor/penerima untuk energi dari satu
tembakan disebut shot gather. Kumpulan trace yang berkaitan dengan respon
seismik pada satu titik tengah permukaan disebut common mid-point gather atau
CMP gather ( Kearey et al. 2002 ).
Gambar 2 Model konvolusi dari trace seismik refleksi (Kearey et al. 2002) Sinar gelombang (rays) yang kembali ke permukaan setelah mengalami
pemantulan pada antarmuka (interface) tunggal, yang dikenal sebagai primary
reflections. Selain itu, terdapat juga pola sinar yang kembali ke permukaan setelah
multiple reflections atau multiples (Kearey et al. 2002). Beberapa kemungkinan ray paths yang melibatkan refleksi multiple ditunjukkan pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3 Bermacam-macam refleksi multiple di dalam tanah berlapis ( Kearey et al. 2002 )
Trace seismik kompleks
Konsep dari trace seismik kompleks adalah diilustrasikan Gambar 4, dimana x (t) mewakili trace seismik riil dan y (t) adalah Hilbert transform dari x (t) atau
bagian imajiner dari x (t) yang didapat dengan Hilbert transform. Kebanyakan
software pemrosesan data seismik modern dan sistem interpretasi 3-D berisi
algoritma Hilbert transform dan mengizinkan pengguna untuk membuat fungsi y
(t) ditunjukkan Gambar 4.
Dua data vektor x (t) dan y (t) ditampilkan dalam space 3 dimensi (x, y, t)
dalam ilustrasi, dimana t adalah seismik traveltime, x adalah bidang data riil, dan y adalah bidang imajiner. Dalam format trace kompleks ini, trace seismik aktual x (t) hanya terbatas pada bidang x riil, dan y (t) adalah Hilbert transform dari x (t), hanya terbatas pada bidang y imajiner. Ketika x (t) dan y (t) ditambahkan secara vektor, hasilnya adalah sebuah trace seismik kompleks z (t) dalam bentuk spiral heliks yang membentang sepanjang, dan berpusat sekitar sumbu waktu t. Proyeksi fungsi kompleks ini z (t) ke bidang real adalah trace seismik riil, dan proyeksi dari z (t) ke dalam bidang imajiner adalah y (t), yang dihitung dengan Hilbert transform dari x (t) (AGI 1999).
Gambar 4 Trace seismik komplek z (t) (AGI 1999) Resolusi Vertikal dan Horizontal
Survei refleksi biasanya dirancang untuk memberikan penetrasi kedalaman tertentu dan tingkat resolusi tertentu dari geologi bawah permukaan di kedua
5 dimensi vertikal dan horizontal. Resolusi vertikal adalah sebuah ukuran kemampuan untuk mengenali individu, reflektor spasi dekat, dan ditentukan oleh panjang pulsa pada penampang seismik yang terekam. Sebuah pulsa yang
terpantulkan diwakili oleh sebuah wavelet sederhana, kemungkinan resolusi
maksimum adalah di antara seperempat dan seperdelapan dari panjang gelombang yang dominan dari pulsa (Kearey et al. 2002).
Ada dua kontrol utama pada resolusi horizontal dari sebuah survei refleksi, salah satunya intrinsik untuk proses fisik dari refleksi dan lainnya ditentukan oleh jarak detektor. Bagian dari reflektor dimana energi dikembalikan dalam setengah panjang gelombang dari kedatangan terpantul awal diketahui sebagai Fresnel zone atau bagian dari interface dari mana energi dikembalikan (Gambar 5).
Gambar 5 Energi dikembalikan ke sumber dari semua poin sebuah reflektor (Kearey et al. 2002)
Lebar zona Fresnel merupakan batas mutlak pada resolusi horizontal dari sebuah survei refleksi karena reflektor dipisahkan oleh jarak yang lebih kecil dari
ini yang tidak dapat secara individual dibedakan. Lebar w dari Fresnel zone
berhubungan dengan panjang gelombang dominan λ dari sumber dan kedalaman
reflektor z dengan 𝑤 = (2𝑧λ)
1
2 untuk z >> λ (Kearey et al. 2002).
Prinsip Kerja Sub-bottom Profiler
Sistem Sub-bottom profiling terdiri dari sumber suara, baik ditarik di
belakang kapal atau dipasang ke lambung, menghasilkan pulsa akustik yang diatur frekuensi, daya, dan durasi waktunya. Pulsa akustik yang dihasilkan dapat
digambarkan sebagai single-beam. Pulsa akustik bergerak melalui kolom air
(dipengaruhi oleh suhu air, salinitas dan konsentrasi bahan tersuspensi) dan menembus dasar laut (Gambar 6). Beberapa sinyal akustik dipantulkan dari dasar laut, sedangkan sisanya menembus dasar laut dan terpantulkan kembali ketika bertemu batas antara lapisan yang memiliki impedansi akustik yang berbeda.
Impedansi akustik material (Z) tergantung pada densitas bulk basah sedimen (ρ),
dan kecepatan gelombang (c), dimana:
Gambar 6 Pemasangan berbagai sistem sub-bottom profiler (Penrose et al. 2005) Perbedaan Sub-bottom Profiler (SBP) dengan seismik refleksi dangkal adalah SBP digunakan untuk menggambarkan lapisan sedimen sedikit di bawah permukaan dasar laut serta memberikan informasi ketebalan sedimen dan stratigrafinya. Sedangkan persamaannya ialah menggunakan metode yang sama yaitu seismik refleksi.
Tipe dari sub-bottom profiler (Tabel 1) dapat dikategorikan menjadi sistem frekuensi tinggi (1-30 kHz) dan sistem frekuensi tinggi yang menghasilkan profil resolusi rendah. Adapun contoh dari sistem frekuensi tinggi seperti sistem chirper dan pinger, sedangkan untuk frekuensi rendah seperti water and air guns, sparkers, sleeve exploders, bubble pursers, dan boomers. Dalam sistem frekuensi rendah, sumber energi mentransmisikan sinyal berisi spektrum yang luas dan membutuhkan
secara terpisah hydrophone array yang diderek untuk menerima sinyal pantulan
(Penrose et al. 2005).
Tabel 1 Karakteristik sistem dari berbagai kelas sub-bottom profiler (Penrose et al. 2005) System Operating frequency Acoustic source Receive array Typical resolution Depth of penetration Source mounting style Sparker 50 Hz – 4 kHz electrical spark in water towed streamer < 2 m 500 m towed Chirper swept 1–10 kHz swept frequency transducer (1-10 kHz) transducer ~0.05 m < 100 m hull mounted or towed Boomer 300 Hz – 3 kHz boomer plate towed streamer 0.5–2 m < 200 m towed sled Pinger tuned between 2 – 12 kHz(eg 3.5 kHz) combined piezo-transducer/ transceiver combined piezo-transducer/ transceiver 0.2 m 10 – 50 m hull mounted
7 Interaksi Dasar Laut
Interaksi gelombang akustik dengan dasar laut tergantung pada perbedaan impedansi antara dua lapisan. Impedansi adalah sebuah karakteristik medium yang sama dengan produk dari kepadatan dan perambatan kecepatan suara. Besarnya perbedaan impedansi antara air dan dasar laut berbatu dengan pertimbangan permukaan halus berarti permukaan dasar laut berperilaku sebagai reflektor hampir sempurna. Sebaliknya, pada sedimen lembut, ketidaksesuaian impedansi akustik jauh lebih sedikit yang berarti bahwa energi yang lebih besar akan mampu menembus batas ini.
Pemantulan dari permukaan dasar dan layer
Hukum Snellius menggambarkan hubungan antara sudut dan kecepatan gelombang di dua media yang berbeda (ε1, ε2). Dalam medium pertama ε1 sudut
datang αi adalah sama dengan sudut pantul αr (Gambar 7). Hukum ini juga
menyamakan rasio kecepatan bahan C1 dan C2 dengan rasio sinus sudut datang αi
dan sudut bias αR. Amplitudo dari gelombang yang dipantulkan adalah fungsi dari
koefisien refleksi R yang dinyatakan oleh persamaan (2), di mana (ρ1, c1) dan (ρ2,
c2) adalah densitas dan kecepatan suara dari masing-masing kedua media. Oleh
karena itu, amplitudo refleksi adalah fungsi dari jenis sedimen (Gambar 7):
Gambar 7 Refleksi dari dasar perairan (Abdullah 2008)
𝑅(𝜃) =𝜌𝜌2𝑐2sin(𝛼1)−𝜌1𝑐1sin(𝛼2)
2𝑐2sin(𝛼1)+𝜌1𝑐1sin(𝛼2) (2)
Gambar 8 Pantulan gelombang suara pada layers (Saleh 2010) Hamburan dasar laut
Pada bagian refleksi disebutkan bahwa echo dipantulkan kembali dari
antarmuka air dan sedimen yang benar-benar datar. Pada kenyataannya antarmuka tersebut jauh dari bidang datar yang membuat proses akustik jauh lebih kompleks dari yang dijelaskan sebelumnya dalam bagian refleksi. Gambar 9 menggambarkan fenomena dari hamburan (scattering) yang disebabkan oleh permukaan dasar laut yang tidak teratur dan pengaruhnya terhadap echo yang diterima.
Gambar 9 Hamburan gelombang suara di permukaan dasar (APL 1997)
Spesifikasi Teknik SQUID 500
Adapun spesifikasi teknik dari Applied acoustic squid 500 sparker (Lampiran 1) adalah sebagai berikut:
Maximum Energy rating: 1000 J
Number of sparker tips : 4 sets of 15 (Black Clusters- superceding white clusters) : 4 sets of 30 (Blue Clusters)
9 : 300 – 600 J (Blue Clusters)
Peningkatan input power akan menghasilkan penetrasi lebih dan juga peningkatan gelembung osilasi.
Overall length : 800 cm Overall width : 150 cm Weight : 3 kg
Buoyancy : Customer supplied Material : Nylon 66
Typical resolutions at 200 & 500 J : 14 / 36 cm
Adapun bentuk pulsa dari Squid 500 yaitu tertera pada Gambar 10.
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan data hasil survei pemeliharaan pipa migas dan kabel listrik Pertamina, yang berada di pantai sebelah timur Kecamatan Balongan, Indramayu (Gambar 11). Proses akuisisi data dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tanggal 6 hingga 27 November 2010.
Gambar 11 Peta lokasi survei
Peralatan Survei dan Akuisisi Data
Peralatan yang digunakan dalam survei ini adalah subbottom profiler tipe
Sparker yang ditarik di belakang kapal Baruna Jaya IV beserta Hydrophone single Channel yang berfungsi sebagai receiver. Proses kalibrasi dan akuisisi data menggunakan software SonarWiz Map. Pengambilan data substrat dasar perairan
digunakan gravity corer (Lampiran 1), yaitu sistem pengambil contoh sedimen
gravitasi yang terdiri dari 3 bagian yaitu pemberat, pipa, dan catcher (penahan).
Penentuan posisinya digunakan Differential Global Positioning System/DGPS C-Nav dan DGPS SeaStar. Adapun spesifikasi peralatan yang digunakan dalam survei SBP ini adalah sebagai berikut:
a. 1 unit Seismic energy source
b. 1 unit Applied acoustic squid 500 sparker
c. 1 set Hydrophone single channel 4.5 m
d. 1 set komputer dan software SonarWiz Map 4
11 Pengolahan Data Sub-bottom Profiler
Konversi data SBP
Data mentah (raw data) hasil akuisisi di SonarWiz diekspor dalam bentuk *.shp untuk diplotkan di peta lokasi survei dan dilihat informasi pada trace headers. Selanjutnya, data disimpan dalam format *.sgy (Gambar 12). Data SBP disesuaikan dengan lokasi pengambilan data substrat dasar (coring) di perairan survei dengan
bantuan software ArcGIS. Jarak offset antar trace adalah 0.7626 meter. Nilai
amplitudo tiap trace/jejak rekaman dari data SBP diekstrak/diekspor dalam *.txt
(Lampiran 2) dengan software SeiSee. Secara sederhana yaitu sebagai berikut:
Gambar 12 Diagram alir konversi data SBP
Multi-processing pada penelitian ini meliputi pengolahan data SBP lebih lanjut untuk menghasilkan profil 2D, koefisien refleksi, dan analisis karakter sinyal dari sedimen menggunakan envelope.
Pengolahan data di Matlab
1. Contoh tampilan data awal (sebelum koreksi)
Setelah nilai amplitudo didapat, maka dilakukan editing di Excel sesuai
dengan FFID (Field File ID/original field record number), shot point, dan trace
number-nya. Selanjutnya, data awal tersebut ditampilkan/diplotkan dalam Matlab (Gambar 13).
Gambar 13 Contoh data SBP awal sebelum koreksi di lokasi dekat B19 dari kiri: (a) dalam bentuk wiggles (b) gray scale (c) color scale
Schuster (1998) menyatakan bahwa amplitudo seismik biasanya paling kuat berada paling dekat dengan sumber atau pada waktu-waktu awal. Akibatnya rekaman data sangat lemah atau tidak ada pantulan pada jejak (trace) offset yang jauh. Sinyal penting ini dapat ditampilkan dengan penguatan/gain, dengan
mengalikan setiap trace dengan berbanding terbalik dari geometric spreading
factor (jarak) atau atenuasi yang dapat dipulihkan dengan mengalikan eksponensial konstanta atenuasi (Persamaan 3).
v(t)*t atau 𝑒|𝛼|𝑡 (3)
dimana v(t) adalah kecepatan pada waktu t , t adalah the two-way traveltime dan 𝛼
adalah kontanta atenuasi.
2. Koreksi Amplitudo
Mousa dan Al-Shuhail (2011) menjelaskan bahwa data seismik dalam keadaan mentah (raw data) biasanya menunjukkan penurunan yang nyata dalam amplitudo dari trace (jejak) rekaman. Beberapa faktor penyebab antara lain:
- Transmission loss: ini terjadi pada setiap reflektor geologi dimana bagian dari gelombang datang seismik yang menjalar akan dipantulkan
(reflected), dibelokkan (refracted), dihamburkan (scattered),
dilenturkan (diffracted) dan sebagainya. Tidak ada kehilangan dalam bentuk energi mekanik di sini karena energi yang hilang hanya menjalar di tempat lain.
- Geometric divergence: seperti gelombang seismik yang menyebar dari sumbernya, amplitudonya terurai dengan jumlah yang proporsional dengan perbandingan terbalik jarak dari sumber ke lokasi gelombang seismik menjalar.
- Absorption: ini terjadi dimana energi seismik dikonversi menjadi panas (heat) oleh pergesekan. Energi yang hilang ini proporsional terhadap eksponensial jarak dari sumber.
Koreksi amplitudo pada data dilakukan agar terjadi penguatan sinyal yang lemah. Pada koreksi ini dilakukan penguatan sinyal karena geometric divergence dan penyerapan energi (absorption). Adapun 2 skema (schemes) koreksi yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
- Independent amplitude correction: mengoreksi amplitudo
menggunakan sebuah fungsi skala umum untuk semua trace seperti
penguatan melalui pengalian dengan power of time atau fungsi
eksponensial (Persamaan 3). Pada penelitian ini dilakukan koreksi menggunakan power of time dengan persamaan sebagai berikut:
𝑓𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡𝑒𝑑(𝑡) = 𝑓(𝑡)𝑡𝛼 (4)
Dimana 𝑓(𝑡) adalah amplitudo trace seismik untuk dikoreksi, t adalah
variabel independen waktu, dan 𝛼 adalah power of time yang
mengontrol perubahan dalam amplitudo. 𝛼 = 2 adalah t2-correction
13 - Dependent amplitude correction: bergantung pada perkalian setiap
sampel waktu dengan sebuah scalar yang diturunkan dari sebuah
window data sekitar sampel. Teknik ini biasa disebut sebagai automatic gain control (AGC). Adapun koreksi yang dilakukan sebagai berikut:
1. Mengelompokkan atau segmentasi trace kedalam gerbang waktu
yang tetap (fixed time gates).
2. Menghitung nilai RMS (root mean square/ akar kuadrat rata-rata)
dalam setiap gates/trace (Gadallah MR dan Fisher RL 2005).
𝐴̂ = √𝑁1∑𝑁 𝐴𝑛2
𝑛=1 (5)
dimana 𝐴̂= amplitudo rms, An= amplitudo sampel dalam time gate,
n= 1,2,….N
3. Membagi RMS scaler yang diinginkan(Adesired) dengan nilai RMS
pada tahap ke-2 dan mengalikannya dengan amplitudo dari sampel pada setiap pusat gerbang/gate center.
4. Menginterpolasi diantara gate centers ini dan mengalikan hasil
dengan amplitudo dari semua sampel sesuai waktunya.
Kita dapat melihat secara jelas peningkatan amplitudo yang dikuatkan (gain) atau dilakukan koreksi amplitudo pada Gambar 14. Selanjutnya, dilakukan analisis
peningkatan gain setelah koreksi amplitudo dengan menampilkan (plot) envelope
amplitudo trace rata-rata atau single trace dalam desibel (Gambar 15).
(a) (b) (c) Gambar 14 Hasil koreksi amplitudo: (a) power of time, (b) dan (c) power of time
& AGC dalam bentuk wiggles dan color scale
Rumus untuk menghitung envelope amplitudo (dB) adalah sebagai berikut (Mousa dan Al-Shuhail 2011):
𝐸𝑛𝑣𝑒𝑙𝑜𝑝𝑒(𝑑𝐵) = 20 log (|𝐻𝑖𝑙𝑏𝑒𝑟𝑡 ( 𝐴𝑖
𝐴𝑚𝑎𝑥+ 𝑒𝑝𝑠)|) (6)
Dimana | | adalah nilai mutlak (absolute), Ai adalah amplitudo (mV) ke-i (i=
1,2,3..N), Amax adalah amplitudo maksimum, Hilbert adalah Hilbert transform, dan eps adalah floating-point relative accuracy.
(a) (b)
Gambar 15 Echo envelope (dB) dari data sebelum dan sesudah koreksi amplitudo pertama: (a) Envelope dari trace rata-rata dan (b) trace tunggal
3. Analisis spektrum dan bandpass filter
Data seismik utamanya dirusak oleh adanya noise atau energi yang tidak
diinginkan dari berbagai jenis sumber yang ada. Umumnya noise atau derau dapat dikategorikan dalam 2 macam yaitu random (incoherent) noise dan coherent noise. Random noise adalah energi yang tidak bertalian (tidak jelas) antar trace ke trace. Biasanya seperti energi yang tidak berhubungan dengan sumber yang menghasilkan sinyal seismik. Contoh dalam seismik darat seperti penghambur dekat permukaan (near-surface scatterers), angin, hujan, dan instrumen lain yang menghasilkan suara. Contoh dalam seismik laut adalah efek gelembung udara yang dihasilkan dari sumber Sparker (Duchesne et al. 2007; Nieuwenhuise et al. 2012).
Coherent noise secara spasial adalah energi yang dihasilkan oleh sumber seismik. Energi tersebut tidak diharapkan yang bergabung dengan sinyal utama.
Dalam land seismic contohnya seperti multipel refleksi (multiples), gelombang
permukaan seperti ground roll, gelombang udara, dan gelombang yang terhambur secara koheren. Coherent noise adalah paling susah dan terkadang dianggap sebagai sinyal, ketidaksesuaian dalam pembuangan noise ini dapat berdampak interpretasi
menjadi lebih kompleks. Random noise dapat dengan mudah dikurangi dengan
beberapa cara seperti frequency filtering, dekonvolusi, stacking, dan sebagainya.
Oleh karena itu, tujuan dari seismic data processing adalah untuk memperbaiki
sebanyak mungkin the signal-to-noise ratio atau SNR (Mousa dan Al-Shuhail
15 Agar dapat melakukan analisis spektrum dan filter pada data seismik, dibutuhkan perubahan data dari bentuk domain waktu (time-space/t-x) ke bentuk domain frekuensi (frequency-space/f-x), yaitu dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) yang merupakan algoritma untuk menghitung Discrete Fourier Transform (DFT). Kegunaan umum dari fourier transform adalah untuk menemukan komponen frekuensi dari sebuah sinyal yang tertimbun atau tercampur dalam sebuah noise sinyal domain waktu (Matlab 2014). Adapun rumus umum dari fourier transform dan inverse transform adalah sebagai berikut:
𝐹(𝜔) = ∫ 𝑓(𝑡)𝑒∞ −𝑖𝜔𝑡𝑑𝑡 −∞ dan 𝑓(𝑡) = 1 2𝜋∫ 𝐹(𝜔)𝑒 𝑖𝜔𝑡𝑑𝜔 ∞ −∞ (7)
Dimana 𝑓(𝑡) adalah fungsi sinyal waktu, 𝐹(𝜔) adalah hasil transformasi Fourier
dari 𝑓(𝑡), t adalah waktu, 𝜔 adalah frekuensi, dan 𝑒𝑖𝜔𝑡 adalah Euler sinus cosinus
(cos 𝜔𝑡 + 𝑖 sin 𝜔𝑡).
Rumus di atas terlihat bahwa transformasi Fourier memberikan informasi
kandungan frekuensi dari suatu sinyal fungsi waktu (𝑓(𝑡)), tetapi tidak memberikan
informasi lokasi frekuensi-frekuensi tersebut dalam kawasan waktu. Oleh karena
itu, untuk memperoleh informasi time-frequency dalam penelitian ini digunakan
Short Time Fourier Transform (STFT). STFT adalah sebuah teknik yang dikembangkan oleh Denis Gabor, digunakan untuk analisis bagian kecil dari sebuah sinyal berdasarkan pada transformasi Fourier dan windowing. Hasil dari STFT ini adalah sinyal dipetakan menjadi sebuah fungsi 2 dimensi dalam waktu dan frekuensi. STFT ini dapat dihasilkan dengan menggunakan fungsi spectrogram di
Matlab. Perhitungan Nyquist frequency (𝑓𝑁) adalah sebagai berikut:
𝑓𝑁= 2∆𝑡1 (8)
Dimana ( 𝑓𝑠) adalah sampling frequency (𝑓𝑠= 1/∆𝑡, Hz), ∆𝑡 adalah sampling interval
(s), dan Nyquist interval adalah rentang frekuensi (the frequency range) dari 0
sampai 𝑓𝑁 (Kearey et al. 2002).
Contoh penerapan FFT dari data seismik dalam penelitian ini adalah pada
Gambar 16. Selanjutnya, menentukan finite impulse response (FIR) berupa
bandpass filter atau melewatkan frekuensi sinyal dengan interval tertentu. Tujuan bandpass filter pada penelitian ini yaitu memfilter frekuensi sinyal data yang
dianggap sebagai noise misalkan noise dari gelembung udara, multiple, dan noise
acak dari lingkungan.
Bandpass filter pada penelitian ini digunakan rentang frekuensi yaitu 50,2000,3000,4900 Hz. Sebagai pembanding, Duchesne et al. (2007) menggunakan bandpass filter 30-60-330-380 Hz dalam pemrosesan data sparker. Hasil dari bandpass filter ini kemudian dilakukan inverse FFT untuk mengembalikan data dalam domain waktu lagi. Sehingga diperoleh hasil seperti pada Gambar 17.
(a) (b)
Gambar 16 Hasil dari Fast Fourier Transform data SBP: (a) sebelum dan (b) setelah bandpass filter. Color bars pada (a) dan (b) menunjukkan
nilai magnitudo dalam dB
Hasil dalam bentuk domain waktu-space (t-x) tertera pada Gambar 17.
Gambar 17 Data hasil bandpass filter dalam domain waktu dari kiri: (a) bentuk wiggles dan (b) color scale dengan amplitudo mV
4. Dekonvolusi spike menggunakan Wiener Optimum Filters
Setelah dilakukan filter frekuensi pada data seismik melalui Bandpass Filter, maka data menjadi diperhalus. Oleh karena itu, resolusi vertikal menjadi menurun karena hilangnya beberapa band frekuensi asli yang lebih lebar. Salah satu dari tujuan dekonvolusi adalah untuk meningkatkan vertikal resolusi dari data dengan
17
penekanan wavelet sumber (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Secara umum bentuk
model konvolusi seismik adalah sebagai berikut:
𝑠𝑛(𝑡) = 𝑤(𝑡) ∗ 𝑒(𝑡) + 𝛾(𝑡) (9)
Dimana 𝑠𝑛(𝑡) adalah sistem output atau trace seismik yang direkam, w(t) adalah
sistem input atau wavelet yang dihasilkan oleh sumber seismik, e(t) adalah sistem respon atau serangkaian impuls yang sesuai dalam waktu dan amplitudo, serta
disebut juga sebagai reflectivity (series), dan 𝛾(𝑡) adalah sebuah komponen random
noise.
Dekonvolusi adalah bentuk inverse dari model konvolusi seismik yang
digunakan untuk:
- Menghitung reflektifitas bumi e(t) yang diberikan dari trace seismik
s(t) dan wavelet sumber w(t).
- Menghitung wavelet sumber w(t) yang diberikan dari trace seismik s(t)
dan reflectivity e(t)
a. Dekonvolusi spike dengan Wiener Optimum Filtering
Pada dasarnya tujuan dari spike dekonvolusi adalah untuk menekan the
source wavelet w(t) menjadi sebuah zero-phase spike atau 𝛿(𝑡). Ini berarti kita
mengeliminasi efek dari wavelet sumber dan menyisakan hanya efek dari
reflektifitas bumi dalam seismogram. Hal ini dapat dicapai dengan
mengkonvolusikan trace seismik dengan inverse filter, h(t), dari wavelet sumber
yang didefinisikan sebagai berikut:
𝑤(𝑡) ∗ ℎ(𝑡) = 𝛿(𝑡) (10) Mengambil Fourier transform dari persamaan 10 yaitu:
𝑊(𝑓)𝐻(𝑓) = 1 (11)
Dimana W(f), H(f), dan 1 secara berurutan adalah Fourier transform dari w(t), h(t),
dan 𝛿(𝑡). Ringkasnya dekonvolusi spike dapat diselesaikan dengan
pengkonvolusian inverse filter, h(t), dengan seismic trace, s(t):
ℎ(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡) = ℎ(𝑡) ∗ [𝑤(𝑡) ∗ 𝑒(𝑡)] = [ℎ(𝑡) ∗ 𝑤(𝑡)] ∗ 𝑒(𝑡) = 𝛿(𝑡) ∗ 𝑒(𝑡) = 𝑒(𝑡) (12) Wiener Optimum Filtering melibatkan pendisainan sebuah filter h(n) sehingga error E diantara output yang diharapkan d(n) dan aktual ouput y(n) adalah minimum. Aktual output diberikan sebagai:
𝑦(𝑛) = ℎ(𝑛) ∗ 𝑥(𝑛) (13) Dimana x(n) adalah input, maka :
𝐸 = ∑ [𝑑(𝑛) − {ℎ(𝑛) ∗ 𝑥(𝑛)}]2
Tujuannya adalah untuk menghitung koefisien filter (h(0), h(1), …….., h(N-1))
sehingga error E adalah minimum, dimana panjang filter adalah N harus
didefinisikan terlebih dahulu (Mousa dan Al-Shuhail 2011).
b. Autokorelasi
Korelasi menentukan tingkat kesamaan antara dua sinyal. Jika sinyal yang identik, maka koefisien korelasi adalah 1. Jika mereka benar-benar berbeda,
koefisien korelasi adalah 0. Dan jika mereka identik dengan fase digeser persis 1800
maka koefisien korelasinya adalah -1. Ketika dua sinyal bebas (independent)
dibandingkan maka diketahui sebagai cross-correlation dan ketika sinyal yang
sama dibandingkan dengan fase bergeser salinan dari dirinya sendiri maka disebut autokorelasi (Gibbon 1996).
Karena random nature dari e(n), autokorelasinya re(n) adalah umumnya 0
dimana saja kecuali pada n = 0, dimana itu sama dengan energi dalam e(n):
𝑟𝑒0 = ∑ 𝑒2(𝑛)
𝑛 = 𝑒2(0) + 𝑒2(1) +… (15) Oleh karena itu, re(n) dapat didekati sebagai:
𝑟𝑒(𝑛) = 𝑟𝑒0𝛿(𝑛) (16)
Menggunakan fakta ini, kita dapat menurunkan sebuah hubungan di antara trace
dan wavelet autokorelasi (rs(n) dan rw(n)) yang menghasilkan persamaan akhir sebagai berikut:
rs(n)= re0 rw(n) (17)
yang berarti bahwa autokorelasi trace seismik adalah sebuah versi skala dari
autokorelasi dari wavelet sumber (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Untuk penerapan dekonvolusi spike dalam data diperlukan parameter sebagai berikut:
- Autocorrelation window (w): bagian dari trace seismik yang akan dipilih sebagai elemen dalam matrik autokorelasi.
- Filter length (N): panjang dari filter spiking h(n).
- Percent prewhitening (ε): jumlah dari white random noise yang digunakan dalam penambahan dalam matrik autokorelasi guna menstabilkan solusi.
Contoh hasil dari dekonvolusi spike pada data penelitian dapat dilihat pada
Gambar 18. Selanjutnya dilakukan analisis berupa Power Spectral Density dari
rata-rata keseluruhan trace menggunakan fungsi Periodogram. Dimana dapat
dilihat peningkatan kerapatan/kepadatan daya spektral dari sebelum dan sesudah dekonvolusi spike dilakukan (Gambar 19).
19
Gambar 18 Hasil dekonvolusi spike dari data di lokasi B19: Kiri bentuk wiggles dan kanan color scale dalam mV
Gambar 19 Hasil analisis power spectral density dengan periodogram dari rata-rata seluruh trace sebelum dan sesudah dekonvolusi
Automatic gain control (AGC) dengan nilai RMS dilakukan lagi untuk penguatan sinyal sebagai kompensasi pelemahan amplitudo trace akibat kehilangan energi setelah dekonvolusi. Contoh hasil AGC setelah dekonvolusi spike dari data dengan nilai RMS (root mean square) atau akar kuadrat rata-rata tertera pada Gambar 20.
(a) (b)
Gambar 20 Hasil dekonvolusi spike dan AGC dari data di lokasi B19: (a) bentuk wiggles dan (b) color scale dalam mV
5. Dekonvolusi sparse spike menggunakan norma L1
Dekonvolusi norma L1 termasuk jenis seismik inversi, dimana diasumsikan model reflektivitas tertentu dan wavelet yang diestimasi berdasarkan asumsi model.
Metoda sparse spike mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metoda
dekonvolusi klasik yaitu pengontrol ekstra yang dapat digunakan sebagai estimasi full-bandwith reflektivitas. Metoda Norma L1 adalah metoda inversi rekursif dengan menggunakan asumsi ‘sparse spike’. Teori dasar metode ini dikemukakan oleh Oldenburg et al. tahun 1983 Pada bagian awalnya didiskusikan model konvolusional bebas noise (Abdullah 2008).
Prinsip dari metode ini hampir sama dengan dekonvolusi spike yaitu trace
(s(t)) dikonvolusikan dengan wavelet sumber (w(t)) yang merupakan hasil model atau filter dalam bentuk zero-phase, sehingga dengan menggunakan metode inversi diperoleh reflektivitas r(t) sebagai berikut:
𝑠(𝑡) = 𝑤(𝑡) ∗ 𝑟(𝑡) (18)
𝑟 = (𝑤 ∗ 𝑤 )−1𝑤 ∗ 𝑠
𝑟(𝑡) = 𝑤(𝑡) ∗ 𝑠(𝑡)
Selanjutnya menggunakan aljabar linier norma L1 untuk meminimalisir penjumlahan dari kekuatan refleksi absolut, yaitu sebagai berikut:
21
𝑓(𝑟) = ||𝑤𝑟 − 𝑠||2+ 𝛼 |𝑟| (19)
dimana || || adalah nilai panjang vektor/norm dan 𝛼 adalah regularization parameter
yaitu 0.1 (Sacchi 2008; Wang 2011).
Wavelet sumber diekstraksi dengan membuat wavelet ricker (zero-phase),
wavelet ini dipilih karena memiliki noise yang minimum (sidelobe-nya
zero-phase). Frekuensi yang digunakan adalah 800 Hz dengan sampling interval 0.0001 s (Gambar 21). Frekuensi 800 Hz digunakan karena pada frekuensi tersebut
informasi yang dibawa dari data lebih optimal. Parameter inversi model sparse
spike yang digunakan :
1. Regularization parameter 0.1 2. Maximum number of iterations 15 3. Processing sample rate 0.1 ms
4. Data yang digunakan adalah raw data setelah koreksi amplitudo
Gambar 21 Wavelet ricker yang diaplikasikan dalam model
Ringkasan sederhana dalam pengolahan data sub-bottom profiler atau
multiprocessing menggunakan Matlab pada penelitian ini tertera pada Gambar 22. Dimana secara umum pengolahan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian untuk menghasilkan profil 2 dimensi dari sedimen, bagian untuk menghasilkan koefisien reflektansi dari sedimen, dan bagian untuk analisis menggunakan envelope.
Gambar 22 Diagram alir pengolahan data SBP di Matlab
Perhitungan Analitis Data Sedimen
Data coring dari lokasi survei dilakukan analisis di laboratorium untuk
menentukan nilai densitas (ρ) dan jenis sedimennya (Lampiran 3). Selanjutnya, untuk menentukan kecepatan gelombang seismik (c) dalam sedimen digunakan deskriptor sedimen mean grain size (MZ), yang diukur dalam unit logaritmik (APL 1997), yaitu sebagai berikut:
𝑀𝑍 = −3.32 𝑙𝑜𝑔10𝑑𝑑
0 (20)
Dimana d = diameter butiran sedimen (mm), d0= panjang referensi (1 mm), dan ϕ
= notasi unit dari MZ.
Nilai dari MZyang diperoleh, kemudian disubstitusikan kedalam persamaan
regresi untuk mengestimasi kecepatan sedimen, hasil formula Bachman dan Hamilton. Bentuk persamaan regresinya adalah sebagai berikut (Saleh 2010):
𝐶𝑠= 1952 − 86.3 𝑀𝑍+ 4.14 𝑀𝑍2 (21)
Perhitungan koefisien refleksi digunakan persamaan Zoeppritz, dengan prinsip dasar hukum Snellius dalam penentuan koefisien reflektivitas dari impedansi akustik (acoustic impedance, Z). Dimana impedansi akustik merupakan
23 produk dari perkalian densitas basah (ρ) dengan kecepatan penjalaran gelombang kompresi atau seismik (VP) dan amplitudo yang dipantulkan dapat ditentukan oleh koefisien refleksinya, yang mana didefinisikan sebagai fungsi impedansi akustik
antar lapisan sedimen (Caulfield et al. 2005). Secara sederhana persamaan
Zoeppritz yaitu sebagai berikut:
𝐴1 + 𝐴2 = 𝐴0 dan 𝑍1𝐴1 − 𝑍2𝐴2 = −𝑍1𝐴0,
𝑅 =𝐴1𝐴0= (𝑍2 − 𝑍1)/(𝑍2 + 𝑍1) (22)
𝑇 = 𝐴2𝐴0= 2𝑍1/(𝑍1 + 𝑍2) (23)
Dimana: A0= amplitudo datang/incident
A1= amplitudo yang dipantulkan
A2= amplitudo yang ditransmisikan
Z1= impedansi pada lapisan pertama Z2= impedansi pada lapisan kedua R adalah koefisien refleksi amplitudo T adalah koefisien transmisi amplitudo
Nilai R memiliki kisaran -1≤ R ≤1 dan nilai negatif dari R menunjukkan adanya
pembalikan fase dari π (1800) dari gelombang kompresi yang dipantulkan (Kearey
et al. 2002). Hal ini terjadi jika impedansi pada lapisan pertama lebih besar daripada lapisan kedua.
Analisis Sedimen Berdasarkan Energi
Envelope merepresentasikan total energi sesaat (instantaneous), nilai
amplitudonya bervariasi antara nol sampai amplitudo maksimum trace seismik.
Envelope berhubungan langsung dengan kontras impedansi akustik yang berguna
untuk mengetahui kontras impedansi akustik, bright spot, akumulasi gas, batas
sekuen, efek ketebalan tuning (tuning thickness), ketidakselarasan, perubahan
lithologi, perubahan lingkungan pengendapan, sesar, porositas, dan lainnya (Abdullah 2008). Secara matematis Envelope (E) dituliskan sebagai berikut:
𝐸(𝑡) = √𝑥(𝑡)2+ 𝑦(𝑡)2 (24)
Dimana x(t) adalah data trace seismik riil (real seismic trace) dan y(t) adalah
quadrature atau bagian dari imajiner trace seismik (imaginary trace).
Instantaneous amplitude atau envelope dari trace seismik kompleks adalah sebuah ukuran energi total (kinetik dan potensial) dari variasi waktu, termasuk di dalamnya respon refleksi seismik. Taner dan Sheriff (1977) dan Taner et al. (1979) mengenalkan sebuah konsep dari Hilbert Transform untuk menghitung Envelope. Pada dasarnya trace seismik kompleks terdiri dari sebuah komponen riil dan sebuah
komponen imajiner. Komponen riil adalah trace seismik rekaman aktual dan
komponen imajiner dihitung dengan menggunakan Hilbert Transform (AGI 1999). Hilbert Transform pada dasarnya adalah sebuah jenis khusus dari filter yang
frekuensi negatif dengan +900. Jika x(t) adalah sinyal masukan, y(t) adalah sinyal
keluaran, dan G(𝜔) adalah Hilbert transform filter diekspresikan dalam domain
frekuensi, maka proses Hilbert transform secara matematis dapat dinyatakan
sebagai berikut (AGI 1999):
x(t) y(t) = H(x(t)) (25)
Dimana H(x(t)) adalah Hilbert transform dari x(t), j=√−1 atau bilangan imajiner,
dan sgn(𝜔) didefinisikan sebagai berikut:
sgn(𝜔)= +1 𝜔 > 0 = -1 𝜔 < 0 = 0 𝜔 = 0
Perhitungan Envelope dalam satuan decibel (dB) digunakan persamaan dari Mousa dan Al-Shuhail (2011), yaitu sebagai berikut:
𝐸𝑛𝑣𝑒𝑙𝑜𝑝𝑒(𝑑𝐵) = 20 log (|𝐻𝑖𝑙𝑏𝑒𝑟𝑡 ( 𝐴𝑖
𝐴𝑚𝑎𝑥+ 𝑒𝑝𝑠)|)
Karena power (P) proporsional dengan kuadrat dari amplitudo sinyal (signal
amplitude, A), maka diperoleh formula berikut (Kearey et al. 2002):
10 log10(𝑃1 𝑃2) = 10 log10( 𝐴1 𝐴2)2 = 20 log10( 𝐴1 𝐴2)
PCA (Principal Component Analysis) diterapkan untuk pengurangan dimensi
dan analisis kelompok pada data, dengan menggunakan metode singular value
decomposition/SVD. SVD adalah sebuah matrik Am x n yang dapat ditulis sebagai
produk dari sebuah matrik column-orthogonal (saling bebas) Um x n , matrik
diagonal Sn x n dengan elemen positif atau nol (the singular values), dan transpose
dari sebuah matrik Vn x n (Sabeti et al. 2007; Rietsch 2008), yaitu sebagai berikut:
𝐴𝑚𝑥𝑛 = 𝑈𝑚𝑥𝑛 𝑆𝑛𝑥𝑛 𝑉𝑛𝑥𝑛𝑇 (26)
PCA adalah sebuah teknik statistik untuk melakukan pengurangan dimensi. Penggunaan PCA dapat menemukan arah dalam data dengan variasi tertinggi dan mengurangi secara dimensional dari data set yang besar dengan variabel yang saling berhubungan tanpa kehilangan informasi. Ide awal dari PCA berasal dari Pearson, sebagai sebuah metode untuk pencocokan bidang (fitting planes) dalam regresi linier. Pengaplikasian metode SDV terhadap matrik kovarian (covariance matrix)
untuk mendapatkan eigenvalues dan eigenvectors-nya, dengan pengujian
eigenvalues dan penentuan komponen mana yang berkontribusi secara signifikan
terhadap trend utama dari data (maximum variance), kita dapat mengeliminasi
kontribusi kecil yang termasuk dalam random noise (Sabeti et al. 2007). Sintak
Matlab PCA dengan metode SVD ini dapat dilihat pada Lampiran 4. G(𝜔) = -j sgn(𝜔)
25 Ringkasan pengolahan data dari analisis sedimen menggunakan total energi sesaat (envelope) dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Perhitungan envelope data seismik setelah proses dekonvolusi spike dan
normalisasi dengan nilai RMS.
2. Konversi envelope dalam bentuk decibel (dB)
3. Aplikasi PCA untuk mereduksi noise dengan metode SVD
4. Plotting data pendekatan hasil PCA atau trace sintetik hasil pendekatan svd, yaitu perkalian antara dua data principal component yang pertama (kolom 1 dan 2) dengan dua data koefisien yang pertama (baris 1 dan 2).
Adapun matrik data yang digunakan pada PCA yaitu sama setelah langkah pertama dan kedua di atas. Dimana terdiri dari data amplitudo yang tersusun per-trace dan
per-twt (two-way travel time). Data ini masih terdapat noise permukaan dan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Informasi Frekuensi dari Raw Data SBP
Hasil pemrosesan data mentah dari SBP dengan menggunakan Short Time
Fourier Transform (STFT) diperoleh informasi time-frequency tertera pada Gambar 23. Hasil spectrogram pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa kandungan informasi dari data awal SBP yaitu berada pada rentang 0 hingga 5000 Hz dan nilai mutlak amplitudo dari data trace ke-812 berkisar dari 4 hingga 26906 mV. Dimana panjang rekaman data dari 0 hingga 99.9 ms dan interval sampling 0.1 ms. SBP
jenis sparker umumnya berada pada rentang frekuensi 50 Hz hingga 4000 Hz
(Penrose et al. 2005). USGS (The United States Geological Survey) secara khusus
menyebutkan bahwa frekuensi untuk mini-sparker adalah 160 sampai 1200 Hz
(Sliter et al. 2008). Hasil di atas dapat kita ketahui terdapat noise dalam data,
misalnya terlihat pada frekuensi rendah dengan energi tinggi. Hal ini biasanya tipe noise yang dihasilkan dari air bubble atau gelembung udara yang dihasilkan dari alat ataupun dari multiple gelombang seismik (Duchesne et al. 2007; Nieuwenhuise et al. 2012).
Gambar 23 Hasil spectrogram dari trace ke 812 di lokasi B19 (scale bar dalam dB)
Hasil dari spectrogram ini kemudian dapat digunakan sebagai acuan dalam
27 itu, dapat mempermudah dalam mengetahui pada rentang frekuensi berapa sinyal utama yang dominan membawa informasi yang optimum. Sehingga STFT sangat membantu dalam mengetahui karakter frekuensi dari data awal atau raw data.
Profil 2D di Lokasi Dekat B19
Hasil dari pengolahan di Matlab diperoleh profil 2 dimensi secara vertikal (Gambar 24), dimana sumbu x menunjukkan rentang jarak pengukuran sekitar 45.756 m dan sumbu y menunjukkan kedalaman dalam meter. Peta profil 2D menunjukkan topografi dasar pada lokasi B19 yang relatif datar atau horizontal.
Kedalaman substrat dasar terlihat berada di kedalaman sekitar 13 meter. Reflektor pertama atau lapisan sedimen yang kontras densitasnya jelas terlihat pada kedalaman sekitar 27 meter. Hal ini berarti ketebalan sedimen di lapisan permukaan yang relatif homogen memiliki ketebalan 14 meter. Pada lapisan di bawah reflektor pertama menunjukkan stratigrafi yang cukup heterogen hingga kedalaman 50 meter. Selanjutnya, tidak ditemukan reflektor yang kedua hingga kedalaman lebih dari 75 meter.
Hasil dari sistem coring di lokasi B19 yaitu jenis sedimen permukaannya
berupa silt/lanau. Contoh sedimen yang dianalisis di laboratorium yaitu setebal 0.95
meter yang mewakili sinyal trace sekitar 2 milliseconds (ms). Posisi sedimen di
lokasi B19 adalah E 108028’14.48” dan S 06019’58.03’’. Penelitian lain
berdasarkan gravity core menunjukkan hasil jenis sedimen pada pantai utara
Indramayu berupa lanau pasiran dan lempung (Stephanie et al. 2014). Hasil profil 2 dimensi dalam 3 bentuk yang berbeda seperti tertera pada Gambar 24.
Gambar 24 Profil 2D di lokasi B19 dari kiri adalah: (a) dalam bentuk wiggles, (b) dalam color scale, dan (c) gray scale dalam amplitudo (mV)
Hasil di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa jenis sedimen permukaan di lokasi B19 berupa sedimen yang relatif homogen hingga reflektor pertama. Dimana lapisan sedimen lebih terlihat jelas perbedaan stratigrafinya pada lapisan kedua setelah reflektor pertama. Sehingga cukup membantu dalam mengetahui parameter yang ada dalam lapisan sedimen tersebut seperti kontras impedansi, layer atau heterogenitas, nilai amplitudo, dan karakter sinyal dari lapisan itu sendiri.
Informasi ketebalan sedimen dapat digunakan untuk mengestimasi besaran sumber daya yang ada. Informasi stratigrafi lapisannya juga dapat digunakan untuk mengetahui variasi jenis sedimen apa saja yang ada sebelum dilakuakan analisis
lebih lanjut secara in situ. Sehingga sangat membantu dalam menyediakan
informasi sedimen bawah permukaan laut.
Koefisien Refleksi Hasil Pemodelan
Hasil dari dekonvolusi sparse spike berupa estimasi full-bandwith
reflektivitas (Gambar 25). Oleh karena itu, kita dapat mengetahui pendekatan dari nilai koefisien refleksi yang ada di lokasi B19. Nilai koefisien refleksi dari hasil aplikasi pemodelan di lokasi B19 pada sedimen permukaan berkisar antara 0.1079 hingga 0.2894. Nilai koefisien refleksi negatif berarti bahwa impedansi di lapisan atas lebih besar dibanding lapisan di bawahnya. Nilai mutlak koefisien refleksi dari keseluruhan data di lokasi coring B19 atau pada trace ke-829 berkisar dari 1.1460
x 10-7 hingga 0.2955. Sedangkan nilai 0 berarti energi ditransmisikan atau
diteruskan seluruhnya dikarenakan impedansinya yang relatif homogen.
Koefisien refleksi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kontras impedansi antar lapisan sedimen. Dimana refleksi menunjukkan perbandingan nilai energi yang dipantulkan dibanding energi yang datang.
Gambar 25 Hasil klasifikasi: Kiri adalah nilai koefisien refleksi sedimen dari seluruh trace dan kanan adalah koefisien refleksi dari single trace
29
Sebagai pembanding, Caulfield et al. (2005) menghasilkan nilai koefisien
refleksi near-surface sediment berkisar 0.0420 - 0.3092. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai koefisien refleksi sedimen berbeda-beda. Hal ini dikarenakan lapisan sedimen bawah permukaan laut memiliki sifat fisis yang beragam. Analisis statistik
data digital di lokasi coring B19 (trace number 829) yaitu pada Gambar 26 dan
Tabel 2.
Nilai rata-rata dari koefisien refleksi di lokasi coring B19 adalah 0.0041
dengan kisaran nilai mutlaknya 1.1460 x 10-7 hingga 0.2955. Sedangkan nilai
standar deviasinya yaitu 0.0206 dari 860 data. Secara kualitatif dari hasil koefisien refleksi ini dapat diketahui terdapat 3 lapisan kelompok reflektansi dari sedimen yaitu kelompok reflektansi pada sedimen permukaan, kelompok reflektansi sedimen pada reflektor pertama, dan kelompok reflektansi di bawah reflektor pertama. Dimana nilai tertingginya berada pada kelompok sedimen permukaan (Tabel 2). Hal ini tentunya dipengaruhi oleh perbedaan kontras impedansi yang cukup tinggi antara air dan sedimen dasar laut berupa lanau. Ketebalan lapisan dari ketiga kelompok tersebut yaitu 11 meter, 5 meter, dan 14 meter (Gambar 26).
Gambar 26 Nilai mutlak dari koefisien refleksi di lokasi B19
Berdasarkan analisis kuantitatif nilai koefisien refleksi pada sedimen permukaan jenis lanau di lokasi coring B19 diperoleh nilai estimasi reflektansi
rata-rata permukaan yaitu 0.0304, nilai minimum 2.50 x 10-7, maksimum 0.2894, dan
standar deviasi sebesar 0.0673. Data lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Dimana pada waktu two-way traveltime (twt) dari 14.8 ms hingga 17.4 ms terdapat tiga nilai koefisien reflektansi yang signifikan menunjukkan perbedaan lapisan yaitu pada twt ke-14.8 ms diperoleh nilai reflektansi sebesar 0.1079, pada twt 15.6 ms sebesar 0.1870, dan pada twt ke-17.4 diperoleh nilai maksimum sebesar 0.2894.
Hal ini berarti pada sedimen jenis lanau di lokasi coring B19 memiliki nilai koefisien reflektansi pada bagian permukaan berkisar antara 0.1079 hingga 0.2894 (Tabel 2). Peningkatan nilai reflektifitas menunjukkan besarnya energi yang hilang
atau yang dipantulkan atau biasa disebut sebagai bottom loss dalam bentuk
logaritmik (Caulfield et al. 2005). Semakin tinggi koefisien reflektansinya maka menunjukkan kontras impedansi atau perbedaan impedasi antar lapisan tersebut semakin besar pula, yang tentunya dipengaruhi oleh densitas (kepadatan) dari masing-masing lapisan sedimen itu sendiri.
Tabel 2 Data kuantitatif trace sedimen permukaan di lokasi B19
Hasil dari pemodelan ini, kita juga dapat menganalisis seberapa dekat hubungan antara trace asli hasil perekaman alat setelah pemrosesan akhir dengan trace hasil pemodelan menggunakan sparse spike (predicted trace). Gambar 27 kita dapat mengetahui bahwa secara kualitatif data antara trace asli dengan trace hasil prediksi keduanya cukup memiliki kemiripan terutama pada bagian permukaan, dasar perairan (seafloor), dan reflektor pertama antar sedimen. Analisis lebih lanjut
hubungan antara data 2 trace tersebut, dilakukan pencarian korelasi secara
31 Trace asli hasil rekaman yang dibandingkan telah dilakukan pemrosesan sinyal lebih lanjut yaitu bandpass filter, dekonvolusi spike, dan normalisasi dengan
nilai RMS dari data. Cross correlation dipilih karena kedua data bersifat
independent atau saling bebas dan memiliki kesamaan. Hasil koefisien korelasi menunjukkan tingkat derajat keeratan antara keduanya. Dimana semakin besar nilai koefisien korelasinya yang mendominasi, maka semakin kuat pula kesamaannya.
Gambar 27 Kiri adalah trace seismik hasil rekaman asli setelah bandpass filter dan kanan adalah trace hasil prediksi/sintetik (hasil konvolusi koefisien
refleksi/r(t) dengan wavelet sumber/w(t))
Hasil korelasi pada Gambar 28 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi dari keduanya yang cukup baik yaitu berkisar antara 0.3741 hingga 1 dengan didominasi nilai lebih besar dari 0.6 sebesar 2591 dari total data 3481 atau sebesar 74.4 % dari keseluruhan data koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kuat jika lebih besar dari 0.8 dan tergolong lemah jika kurang dari 0.5 (MathBits 2015). Hal
ini berarti hubungan antara trace asli hasil perekaman (setelah pemrosesan)
memiliki derajat keeratan/kesamaan yang cukup kuat dengan trace sintetik/prediksi hasil metode inversi menggunakan sparse spike.
Perhitungan Analitis Sedimen
Hasil dari perhitungan manual koefisien refleksi di lokasi B19 dari data laboratorium (Lampiran 3) diperoleh bahwa dengan menggunakan persamaan Zoeppritz, nilai koefisien refleksi (R) antara sedimen jenis lanau/silt dengan air laut sebesar 0.2807. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hasil perhitungan koefisien refleksi dengan pemodelan (metode seismik inversi) dan manual menunjukkan nilai yang hampir sama tetapi lebih detil hasil dari pemodelan. Dimana hasil perhitungan manual berada dalam kisaran hasil pemodelan (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil perhitungan nilai koefisien refleksi secara manual dan model
Tabel 3 di atas menunjukkan perbandingan nilai koefisien refleksi dari sedimen jenis lanau dari penelitian sekarang dengan 2 penelitian yang lain. Dimana
hasilnya masih dalam rentang koefisien refleksi jenis silt di penelitian lain.
Sehingga dapat diketahui bahwa hasil dari perhitungan koefisien refleksi secara analitis masih dalam kisaran yang sama dengan hasil pemodelan menggunakan metode inversi dan hasil keduanya tidak memiliki perbedaan jauh dibanding perhitungan penelitian yang lain. Perbedaan ini tentunya dipengaruhi oleh kecepatan suara gelombang seismik dan nilai densitas dari sedimen itu sendiri.
Hasil dari pengukuran kecepatan suara di kolom air laut saat penelitian diperoleh nilai kecepatan sebesar 1542 m/s. Hasil aplikasi formula Bachman dan Hamilton yang telah diperbarui oleh laboratorium teknik Universitas Delft (Saleh 2010) diperoleh nilai estimasi kecepatan suara di sedimen lokasi B19 sebesar 1947.4701 m/s.
Hasil dari analisis sedimen coring dari laboratorium diperoleh nilai densitas
(𝜌) sebesar 1445 kg/m3. Oleh karena itu, nilai koefisien refleksi yang diperoleh dari
pemodelan dapat digunakan untuk mencari nilai kecepatan suara dari sedimen dengan menggunakan persamaan Zoeppritz. Hasilnya dapat digunakan sebagai pembanding hasil kecepatan suara di sedimen dengan formula Bachman dan Hamilton.
Hasil kecepatan suara dari sedimen jenis lanau, yang diturunkan dari koefisien refleksi dari pemodelan, diperoleh nilai sebesar 1984.7365 m/s. Nilai kecepatan ini berbeda sekitar 37.2664 m/s dibanding hasil menggunakan formula Bachman dan Hamilton. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan nilai koefisien reflektansi antara keduanya. Sehingga dapat dibuktikan bahwa nilai reflektansi dipengaruhi oleh nilai kecepatan suara pada medium itu sendiri. Dimana semakin tinggi perbedaan nilai kecepatan suara dan densitas antar kedua medium, maka semakin besar pula energi yang dipantulkan.