Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini menggunakan data hasil survei pemeliharaan pipa migas dan kabel listrik Pertamina, yang berada di pantai sebelah timur Kecamatan Balongan, Indramayu (Gambar 11). Proses akuisisi data dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tanggal 6 hingga 27 November 2010.
Gambar 11 Peta lokasi survei
Peralatan Survei dan Akuisisi Data
Peralatan yang digunakan dalam survei ini adalah subbottom profiler tipe Sparker yang ditarik di belakang kapal Baruna Jaya IV beserta Hydrophone single Channel yang berfungsi sebagai receiver. Proses kalibrasi dan akuisisi data menggunakan software SonarWiz Map. Pengambilan data substrat dasar perairan digunakan gravity corer (Lampiran 1), yaitu sistem pengambil contoh sedimen gravitasi yang terdiri dari 3 bagian yaitu pemberat, pipa, dan catcher (penahan). Penentuan posisinya digunakan Differential Global Positioning System/DGPS C-Nav dan DGPS SeaStar. Adapun spesifikasi peralatan yang digunakan dalam survei SBP ini adalah sebagai berikut:
a. 1 unit Seismic energy source
b. 1 unit Applied acoustic squid 500 sparker c. 1 set Hydrophone single channel 4.5 m d. 1 set komputer dan software SonarWiz Map 4 e. Peralatan sistem coring
11 Pengolahan Data Sub-bottom Profiler
Konversi data SBP
Data mentah (raw data) hasil akuisisi di SonarWiz diekspor dalam bentuk *.shp untuk diplotkan di peta lokasi survei dan dilihat informasi pada trace headers. Selanjutnya, data disimpan dalam format *.sgy (Gambar 12). Data SBP disesuaikan dengan lokasi pengambilan data substrat dasar (coring) di perairan survei dengan bantuan software ArcGIS. Jarak offset antar trace adalah 0.7626 meter. Nilai amplitudo tiap trace/jejak rekaman dari data SBP diekstrak/diekspor dalam *.txt (Lampiran 2) dengan software SeiSee. Secara sederhana yaitu sebagai berikut:
Gambar 12 Diagram alir konversi data SBP
Multi-processing pada penelitian ini meliputi pengolahan data SBP lebih lanjut untuk menghasilkan profil 2D, koefisien refleksi, dan analisis karakter sinyal dari sedimen menggunakan envelope.
Pengolahan data di Matlab
1. Contoh tampilan data awal (sebelum koreksi)
Setelah nilai amplitudo didapat, maka dilakukan editing di Excel sesuai dengan FFID (Field File ID/original field record number), shot point, dan trace number-nya. Selanjutnya, data awal tersebut ditampilkan/diplotkan dalam Matlab (Gambar 13).
Gambar 13 Contoh data SBP awal sebelum koreksi di lokasi dekat B19 dari kiri: (a) dalam bentuk wiggles (b) gray scale (c) color scale
Schuster (1998) menyatakan bahwa amplitudo seismik biasanya paling kuat berada paling dekat dengan sumber atau pada waktu-waktu awal. Akibatnya rekaman data sangat lemah atau tidak ada pantulan pada jejak (trace) offset yang jauh. Sinyal penting ini dapat ditampilkan dengan penguatan/gain, dengan mengalikan setiap trace dengan berbanding terbalik dari geometric spreading factor (jarak) atau atenuasi yang dapat dipulihkan dengan mengalikan eksponensial konstanta atenuasi (Persamaan 3).
v(t)*t atau π|πΌ|π‘ (3)
dimana v(t) adalah kecepatan pada waktu t , t adalah the two-way traveltime dan πΌ adalah kontanta atenuasi.
2. Koreksi Amplitudo
Mousa dan Al-Shuhail (2011) menjelaskan bahwa data seismik dalam keadaan mentah (raw data) biasanya menunjukkan penurunan yang nyata dalam amplitudo dari trace (jejak) rekaman. Beberapa faktor penyebab antara lain:
- Transmission loss: ini terjadi pada setiap reflektor geologi dimana bagian dari gelombang datang seismik yang menjalar akan dipantulkan
(reflected), dibelokkan (refracted), dihamburkan (scattered),
dilenturkan (diffracted) dan sebagainya. Tidak ada kehilangan dalam bentuk energi mekanik di sini karena energi yang hilang hanya menjalar di tempat lain.
- Geometric divergence: seperti gelombang seismik yang menyebar dari sumbernya, amplitudonya terurai dengan jumlah yang proporsional dengan perbandingan terbalik jarak dari sumber ke lokasi gelombang seismik menjalar.
- Absorption: ini terjadi dimana energi seismik dikonversi menjadi panas (heat) oleh pergesekan. Energi yang hilang ini proporsional terhadap eksponensial jarak dari sumber.
Koreksi amplitudo pada data dilakukan agar terjadi penguatan sinyal yang lemah. Pada koreksi ini dilakukan penguatan sinyal karena geometric divergence dan penyerapan energi (absorption). Adapun 2 skema (schemes) koreksi yang dilakukan, yaitu sebagai berikut:
- Independent amplitude correction: mengoreksi amplitudo
menggunakan sebuah fungsi skala umum untuk semua trace seperti penguatan melalui pengalian dengan power of time atau fungsi eksponensial (Persamaan 3). Pada penelitian ini dilakukan koreksi menggunakan power of time dengan persamaan sebagai berikut:
ππππππππ‘ππ(π‘) = π(π‘)π‘πΌ (4)
Dimana π(π‘) adalah amplitudo trace seismik untuk dikoreksi, t adalah
variabel independen waktu, dan πΌ adalah power of time yang
mengontrol perubahan dalam amplitudo. πΌ = 2 adalah t2-correction yang digunakan untuk koreksi geometrical spreading.
13 - Dependent amplitude correction: bergantung pada perkalian setiap sampel waktu dengan sebuah scalar yang diturunkan dari sebuah window data sekitar sampel. Teknik ini biasa disebut sebagai automatic gain control (AGC). Adapun koreksi yang dilakukan sebagai berikut: 1. Mengelompokkan atau segmentasi trace kedalam gerbang waktu
yang tetap (fixed time gates).
2. Menghitung nilai RMS (root mean square/ akar kuadrat rata-rata) dalam setiap gates/trace (Gadallah MR dan Fisher RL 2005).
π΄Μ = βπ1βπ π΄π2
π=1 (5)
dimana π΄Μ= amplitudo rms, An= amplitudo sampel dalam time gate, n= 1,2,β¦.N
3. Membagi RMS scaler yang diinginkan(Adesired) dengan nilai RMS
pada tahap ke-2 dan mengalikannya dengan amplitudo dari sampel pada setiap pusat gerbang/gate center.
4. Menginterpolasi diantara gate centers ini dan mengalikan hasil dengan amplitudo dari semua sampel sesuai waktunya.
Kita dapat melihat secara jelas peningkatan amplitudo yang dikuatkan (gain) atau dilakukan koreksi amplitudo pada Gambar 14. Selanjutnya, dilakukan analisis peningkatan gain setelah koreksi amplitudo dengan menampilkan (plot) envelope amplitudo trace rata-rata atau single trace dalam desibel (Gambar 15).
(a) (b) (c) Gambar 14 Hasil koreksi amplitudo: (a) power of time, (b) dan (c) power of time
& AGC dalam bentuk wiggles dan color scale
Rumus untuk menghitung envelope amplitudo (dB) adalah sebagai berikut (Mousa dan Al-Shuhail 2011):
πΈππ£πππππ(ππ΅) = 20 log (|π»ππππππ‘ ( π΄π
π΄πππ₯+ πππ )|) (6)
Dimana | | adalah nilai mutlak (absolute), Ai adalah amplitudo (mV) ke-i (i= 1,2,3..N), Amax adalah amplitudo maksimum, Hilbert adalah Hilbert transform, dan eps adalah floating-point relative accuracy.
(a) (b)
Gambar 15 Echo envelope (dB) dari data sebelum dan sesudah koreksi amplitudo pertama: (a) Envelope dari trace rata-rata dan (b) trace tunggal
3. Analisis spektrum dan bandpass filter
Data seismik utamanya dirusak oleh adanya noise atau energi yang tidak diinginkan dari berbagai jenis sumber yang ada. Umumnya noise atau derau dapat dikategorikan dalam 2 macam yaitu random (incoherent) noise dan coherent noise. Random noise adalah energi yang tidak bertalian (tidak jelas) antar trace ke trace. Biasanya seperti energi yang tidak berhubungan dengan sumber yang menghasilkan sinyal seismik. Contoh dalam seismik darat seperti penghambur dekat permukaan (near-surface scatterers), angin, hujan, dan instrumen lain yang menghasilkan suara. Contoh dalam seismik laut adalah efek gelembung udara yang dihasilkan dari sumber Sparker (Duchesne et al. 2007; Nieuwenhuise et al. 2012).
Coherent noise secara spasial adalah energi yang dihasilkan oleh sumber seismik. Energi tersebut tidak diharapkan yang bergabung dengan sinyal utama. Dalam land seismic contohnya seperti multipel refleksi (multiples), gelombang permukaan seperti ground roll, gelombang udara, dan gelombang yang terhambur secara koheren. Coherent noise adalah paling susah dan terkadang dianggap sebagai sinyal, ketidaksesuaian dalam pembuangan noise ini dapat berdampak interpretasi menjadi lebih kompleks. Random noise dapat dengan mudah dikurangi dengan beberapa cara seperti frequency filtering, dekonvolusi, stacking, dan sebagainya. Oleh karena itu, tujuan dari seismic data processing adalah untuk memperbaiki sebanyak mungkin the signal-to-noise ratio atau SNR (Mousa dan Al-Shuhail 2011).
15 Agar dapat melakukan analisis spektrum dan filter pada data seismik, dibutuhkan perubahan data dari bentuk domain waktu (time-space/t-x) ke bentuk domain frekuensi (frequency-space/f-x), yaitu dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) yang merupakan algoritma untuk menghitung Discrete Fourier Transform (DFT). Kegunaan umum dari fourier transform adalah untuk menemukan komponen frekuensi dari sebuah sinyal yang tertimbun atau tercampur dalam sebuah noise sinyal domain waktu (Matlab 2014). Adapun rumus umum dari fourier transform dan inverse transform adalah sebagai berikut:
πΉ(π) = β« π(π‘)πβββ βπππ‘ππ‘ dan π(π‘) =2π1 β« πΉ(π)πβββ πππ‘ππ (7)
Dimana π(π‘) adalah fungsi sinyal waktu, πΉ(π) adalah hasil transformasi Fourier dari π(π‘), t adalah waktu, π adalah frekuensi, dan ππππ‘ adalah Euler sinus cosinus (cos ππ‘ + π sin ππ‘).
Rumus di atas terlihat bahwa transformasi Fourier memberikan informasi kandungan frekuensi dari suatu sinyal fungsi waktu (π(π‘)), tetapi tidak memberikan informasi lokasi frekuensi-frekuensi tersebut dalam kawasan waktu. Oleh karena itu, untuk memperoleh informasi time-frequency dalam penelitian ini digunakan Short Time Fourier Transform (STFT). STFT adalah sebuah teknik yang dikembangkan oleh Denis Gabor, digunakan untuk analisis bagian kecil dari sebuah sinyal berdasarkan pada transformasi Fourier dan windowing. Hasil dari STFT ini adalah sinyal dipetakan menjadi sebuah fungsi 2 dimensi dalam waktu dan frekuensi. STFT ini dapat dihasilkan dengan menggunakan fungsi spectrogram di Matlab. Perhitungan Nyquist frequency (ππ) adalah sebagai berikut:
ππ= 2βπ‘1 (8)
Dimana ( ππ ) adalah sampling frequency (ππ = 1/βπ‘, Hz), βπ‘ adalah sampling interval (s), dan Nyquist interval adalah rentang frekuensi (the frequency range) dari 0 sampai ππ (Kearey et al. 2002).
Contoh penerapan FFT dari data seismik dalam penelitian ini adalah pada Gambar 16. Selanjutnya, menentukan finite impulse response (FIR) berupa bandpass filter atau melewatkan frekuensi sinyal dengan interval tertentu. Tujuan bandpass filter pada penelitian ini yaitu memfilter frekuensi sinyal data yang dianggap sebagai noise misalkan noise dari gelembung udara, multiple, dan noise acak dari lingkungan.
Bandpass filter pada penelitian ini digunakan rentang frekuensi yaitu 50,2000,3000,4900 Hz. Sebagai pembanding, Duchesne et al. (2007) menggunakan bandpass filter 30-60-330-380 Hz dalam pemrosesan data sparker. Hasil dari bandpass filter ini kemudian dilakukan inverse FFT untuk mengembalikan data dalam domain waktu lagi. Sehingga diperoleh hasil seperti pada Gambar 17.
(a) (b)
Gambar 16 Hasil dari Fast Fourier Transform data SBP: (a) sebelum dan (b) setelah bandpass filter. Color bars pada (a) dan (b) menunjukkan
nilai magnitudo dalam dB
Hasil dalam bentuk domain waktu-space (t-x) tertera pada Gambar 17.
Gambar 17 Data hasil bandpass filter dalam domain waktu dari kiri: (a) bentuk wiggles dan (b) color scale dengan amplitudo mV
4. Dekonvolusi spike menggunakan Wiener Optimum Filters
Setelah dilakukan filter frekuensi pada data seismik melalui Bandpass Filter, maka data menjadi diperhalus. Oleh karena itu, resolusi vertikal menjadi menurun karena hilangnya beberapa band frekuensi asli yang lebih lebar. Salah satu dari tujuan dekonvolusi adalah untuk meningkatkan vertikal resolusi dari data dengan
17 penekanan wavelet sumber (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Secara umum bentuk model konvolusi seismik adalah sebagai berikut:
π π(π‘) = π€(π‘) β π(π‘) + πΎ(π‘) (9)
Dimana π π(π‘) adalah sistem output atau trace seismik yang direkam, w(t) adalah sistem input atau wavelet yang dihasilkan oleh sumber seismik, e(t) adalah sistem respon atau serangkaian impuls yang sesuai dalam waktu dan amplitudo, serta disebut juga sebagai reflectivity (series), dan πΎ(π‘) adalah sebuah komponen random noise.
Dekonvolusi adalah bentuk inverse dari model konvolusi seismik yang digunakan untuk:
- Menghitung reflektifitas bumi e(t) yang diberikan dari trace seismik s(t) dan wavelet sumber w(t).
- Menghitung wavelet sumber w(t) yang diberikan dari trace seismik s(t) dan reflectivity e(t)
a. Dekonvolusi spike dengan Wiener Optimum Filtering
Pada dasarnya tujuan dari spike dekonvolusi adalah untuk menekan the source wavelet w(t) menjadi sebuah zero-phase spike atau πΏ(π‘). Ini berarti kita mengeliminasi efek dari wavelet sumber dan menyisakan hanya efek dari reflektifitas bumi dalam seismogram. Hal ini dapat dicapai dengan mengkonvolusikan trace seismik dengan inverse filter, h(t), dari wavelet sumber yang didefinisikan sebagai berikut:
π€(π‘) β β(π‘) = πΏ(π‘) (10) Mengambil Fourier transform dari persamaan 10 yaitu:
π(π)π»(π) = 1 (11)
Dimana W(f), H(f), dan 1 secara berurutan adalah Fourier transform dari w(t), h(t),
dan πΏ(π‘). Ringkasnya dekonvolusi spike dapat diselesaikan dengan
pengkonvolusian inverse filter, h(t), dengan seismic trace, s(t):
β(π‘) β π (π‘) = β(π‘) β [π€(π‘) β π(π‘)] = [β(π‘) β π€(π‘)] β π(π‘) = πΏ(π‘) β π(π‘) = π(π‘) (12) Wiener Optimum Filtering melibatkan pendisainan sebuah filter h(n) sehingga error E diantara output yang diharapkan d(n) dan aktual ouput y(n) adalah minimum. Aktual output diberikan sebagai:
π¦(π) = β(π) β π₯(π) (13) Dimana x(n) adalah input, maka :
πΈ = β [π(π) β {β(π) β π₯(π)}]2
Tujuannya adalah untuk menghitung koefisien filter (h(0), h(1), β¦β¦.., h(N-1)) sehingga error E adalah minimum, dimana panjang filter adalah N harus didefinisikan terlebih dahulu (Mousa dan Al-Shuhail 2011).
b. Autokorelasi
Korelasi menentukan tingkat kesamaan antara dua sinyal. Jika sinyal yang identik, maka koefisien korelasi adalah 1. Jika mereka benar-benar berbeda, koefisien korelasi adalah 0. Dan jika mereka identik dengan fase digeser persis 1800 maka koefisien korelasinya adalah -1. Ketika dua sinyal bebas (independent) dibandingkan maka diketahui sebagai cross-correlation dan ketika sinyal yang sama dibandingkan dengan fase bergeser salinan dari dirinya sendiri maka disebut autokorelasi (Gibbon 1996).
Karena random nature dari e(n), autokorelasinya re(n) adalah umumnya 0 dimana saja kecuali pada n = 0, dimana itu sama dengan energi dalam e(n):
ππ0 = β ππ 2(π)= π2(0) + π2(1) +β¦ (15) Oleh karena itu, re(n) dapat didekati sebagai:
ππ(π) = ππ0πΏ(π) (16)
Menggunakan fakta ini, kita dapat menurunkan sebuah hubungan di antara trace dan wavelet autokorelasi (rs(n) dan rw(n)) yang menghasilkan persamaan akhir sebagai berikut:
rs(n)= re0 rw(n) (17)
yang berarti bahwa autokorelasi trace seismik adalah sebuah versi skala dari autokorelasi dari wavelet sumber (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Untuk penerapan dekonvolusi spike dalam data diperlukan parameter sebagai berikut:
- Autocorrelation window (w): bagian dari trace seismik yang akan dipilih sebagai elemen dalam matrik autokorelasi.
- Filter length (N): panjang dari filter spiking h(n).
- Percent prewhitening (Ξ΅): jumlah dari white random noise yang digunakan dalam penambahan dalam matrik autokorelasi guna menstabilkan solusi.
Contoh hasil dari dekonvolusi spike pada data penelitian dapat dilihat pada Gambar 18. Selanjutnya dilakukan analisis berupa Power Spectral Density dari rata-rata keseluruhan trace menggunakan fungsi Periodogram. Dimana dapat dilihat peningkatan kerapatan/kepadatan daya spektral dari sebelum dan sesudah dekonvolusi spike dilakukan (Gambar 19).
19
Gambar 18 Hasil dekonvolusi spike dari data di lokasi B19: Kiri bentuk wiggles dan kanan color scale dalam mV
Gambar 19 Hasil analisis power spectral density dengan periodogram dari rata-rata seluruh trace sebelum dan sesudah dekonvolusi
Automatic gain control (AGC) dengan nilai RMS dilakukan lagi untuk penguatan sinyal sebagai kompensasi pelemahan amplitudo trace akibat kehilangan energi setelah dekonvolusi. Contoh hasil AGC setelah dekonvolusi spike dari data dengan nilai RMS (root mean square) atau akar kuadrat rata-rata tertera pada Gambar 20.
(a) (b)
Gambar 20 Hasil dekonvolusi spike dan AGC dari data di lokasi B19: (a) bentuk wiggles dan (b) color scale dalam mV
5. Dekonvolusi sparse spike menggunakan norma L1
Dekonvolusi norma L1 termasuk jenis seismik inversi, dimana diasumsikan model reflektivitas tertentu dan wavelet yang diestimasi berdasarkan asumsi model. Metoda sparse spike mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metoda dekonvolusi klasik yaitu pengontrol ekstra yang dapat digunakan sebagai estimasi full-bandwith reflektivitas. Metoda Norma L1 adalah metoda inversi rekursif dengan menggunakan asumsi βsparse spikeβ. Teori dasar metode ini dikemukakan oleh Oldenburg et al. tahun 1983 Pada bagian awalnya didiskusikan model konvolusional bebas noise (Abdullah 2008).
Prinsip dari metode ini hampir sama dengan dekonvolusi spike yaitu trace (s(t)) dikonvolusikan dengan wavelet sumber (w(t)) yang merupakan hasil model atau filter dalam bentuk zero-phase, sehingga dengan menggunakan metode inversi diperoleh reflektivitas r(t) sebagai berikut:
π (π‘) = π€(π‘) β π(π‘) (18) π = (π€ β π€ )β1π€ β π
π(π‘) = π€(π‘) β π (π‘)
Selanjutnya menggunakan aljabar linier norma L1 untuk meminimalisir penjumlahan dari kekuatan refleksi absolut, yaitu sebagai berikut:
21 π(π) = ||π€π β π ||2+ πΌ |π| (19)
dimana || || adalah nilai panjang vektor/norm dan πΌ adalah regularization parameter yaitu 0.1 (Sacchi 2008; Wang 2011).
Wavelet sumber diekstraksi dengan membuat wavelet ricker (zero-phase), wavelet ini dipilih karena memiliki noise yang minimum (sidelobe-nya zero-phase). Frekuensi yang digunakan adalah 800 Hz dengan sampling interval 0.0001 s (Gambar 21). Frekuensi 800 Hz digunakan karena pada frekuensi tersebut informasi yang dibawa dari data lebih optimal. Parameter inversi model sparse spike yang digunakan :
1. Regularization parameter 0.1 2. Maximum number of iterations 15 3. Processing sample rate 0.1 ms
4. Data yang digunakan adalah raw data setelah koreksi amplitudo
Gambar 21 Wavelet ricker yang diaplikasikan dalam model
Ringkasan sederhana dalam pengolahan data sub-bottom profiler atau multiprocessing menggunakan Matlab pada penelitian ini tertera pada Gambar 22. Dimana secara umum pengolahan ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian untuk menghasilkan profil 2 dimensi dari sedimen, bagian untuk menghasilkan koefisien reflektansi dari sedimen, dan bagian untuk analisis menggunakan envelope.
Gambar 22 Diagram alir pengolahan data SBP di Matlab
Perhitungan Analitis Data Sedimen
Data coring dari lokasi survei dilakukan analisis di laboratorium untuk menentukan nilai densitas (Ο) dan jenis sedimennya (Lampiran 3). Selanjutnya, untuk menentukan kecepatan gelombang seismik (c) dalam sedimen digunakan deskriptor sedimen mean grain size (MZ), yang diukur dalam unit logaritmik (APL 1997), yaitu sebagai berikut:
ππ = β3.32 πππ10ππ
0 (20)
Dimana d = diameter butiran sedimen (mm), d0 = panjang referensi (1 mm), dan Ο = notasi unit dari MZ.
Nilai dari MZ yang diperoleh, kemudian disubstitusikan kedalam persamaan regresi untuk mengestimasi kecepatan sedimen, hasil formula Bachman dan Hamilton. Bentuk persamaan regresinya adalah sebagai berikut (Saleh 2010):
πΆπ = 1952 β 86.3 ππ+ 4.14 ππ2 (21)
Perhitungan koefisien refleksi digunakan persamaan Zoeppritz, dengan prinsip dasar hukum Snellius dalam penentuan koefisien reflektivitas dari impedansi akustik (acoustic impedance, Z). Dimana impedansi akustik merupakan
23 produk dari perkalian densitas basah (Ο) dengan kecepatan penjalaran gelombang kompresi atau seismik (VP) dan amplitudo yang dipantulkan dapat ditentukan oleh koefisien refleksinya, yang mana didefinisikan sebagai fungsi impedansi akustik antar lapisan sedimen (Caulfield et al. 2005). Secara sederhana persamaan Zoeppritz yaitu sebagai berikut:
π΄1 + π΄2 = π΄0 dan π1π΄1 β π2π΄2 = βπ1π΄0, π =π΄1π΄0= (π2 β π1)/(π2 + π1) (22)
π = π΄2π΄0= 2π1/(π1 + π2) (23)
Dimana: A0= amplitudo datang/incident
A1= amplitudo yang dipantulkan
A2= amplitudo yang ditransmisikan
Z1= impedansi pada lapisan pertama Z2= impedansi pada lapisan kedua R adalah koefisien refleksi amplitudo T adalah koefisien transmisi amplitudo
Nilai R memiliki kisaran -1β€ R β€1 dan nilai negatif dari R menunjukkan adanya pembalikan fase dari Ο (1800) dari gelombang kompresi yang dipantulkan (Kearey et al. 2002). Hal ini terjadi jika impedansi pada lapisan pertama lebih besar daripada lapisan kedua.
Analisis Sedimen Berdasarkan Energi
Envelope merepresentasikan total energi sesaat (instantaneous), nilai amplitudonya bervariasi antara nol sampai amplitudo maksimum trace seismik. Envelope berhubungan langsung dengan kontras impedansi akustik yang berguna untuk mengetahui kontras impedansi akustik, bright spot, akumulasi gas, batas sekuen, efek ketebalan tuning (tuning thickness), ketidakselarasan, perubahan lithologi, perubahan lingkungan pengendapan, sesar, porositas, dan lainnya (Abdullah 2008). Secara matematis Envelope (E) dituliskan sebagai berikut:
πΈ(π‘) = βπ₯(π‘)2+ π¦(π‘)2 (24)
Dimana x(t) adalah data trace seismik riil (real seismic trace) dan y(t) adalah quadrature atau bagian dari imajiner trace seismik (imaginary trace).
Instantaneous amplitude atau envelope dari trace seismik kompleks adalah sebuah ukuran energi total (kinetik dan potensial) dari variasi waktu, termasuk di dalamnya respon refleksi seismik. Taner dan Sheriff (1977) dan Taner et al. (1979) mengenalkan sebuah konsep dari Hilbert Transform untuk menghitung Envelope. Pada dasarnya trace seismik kompleks terdiri dari sebuah komponen riil dan sebuah komponen imajiner. Komponen riil adalah trace seismik rekaman aktual dan komponen imajiner dihitung dengan menggunakan Hilbert Transform (AGI 1999).
Hilbert Transform pada dasarnya adalah sebuah jenis khusus dari filter yang mengganti semua frekuensi positif dari sebuah sinyal input dengan -900 dan semua
frekuensi negatif dengan +900. Jika x(t) adalah sinyal masukan, y(t) adalah sinyal keluaran, dan G(π) adalah Hilbert transform filter diekspresikan dalam domain frekuensi, maka proses Hilbert transform secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut (AGI 1999):
x(t) ο ο y(t) = H(x(t)) (25)
Dimana H(x(t)) adalah Hilbert transform dari x(t), j=ββ1 atau bilangan imajiner, dan sgn(π) didefinisikan sebagai berikut:
sgn(π)= +1 π > 0 = -1 π < 0 = 0 π = 0
Perhitungan Envelope dalam satuan decibel (dB) digunakan persamaan dari Mousa dan Al-Shuhail (2011), yaitu sebagai berikut:
πΈππ£πππππ(ππ΅) = 20 log (|π»ππππππ‘ ( π΄π
π΄πππ₯+ πππ )|)
Karena power (P) proporsional dengan kuadrat dari amplitudo sinyal (signal amplitude, A), maka diperoleh formula berikut (Kearey et al. 2002):
10 log10(π1 π2) = 10 log10( π΄1 π΄2)2 = 20 log10( π΄1 π΄2)
PCA (Principal Component Analysis) diterapkan untuk pengurangan dimensi dan analisis kelompok pada data, dengan menggunakan metode singular value decomposition/SVD. SVD adalah sebuah matrik Am x n yang dapat ditulis sebagai produk dari sebuah matrik column-orthogonal (saling bebas) Um x n , matrik diagonal Sn x n dengan elemen positif atau nol (the singular values), dan transpose dari sebuah matrik Vn x n (Sabeti et al. 2007; Rietsch 2008), yaitu sebagai berikut:
π΄ππ₯π = πππ₯π πππ₯π πππ₯ππ (26)
PCA adalah sebuah teknik statistik untuk melakukan pengurangan dimensi. Penggunaan PCA dapat menemukan arah dalam data dengan variasi tertinggi dan mengurangi secara dimensional dari data set yang besar dengan variabel yang saling berhubungan tanpa kehilangan informasi. Ide awal dari PCA berasal dari Pearson, sebagai sebuah metode untuk pencocokan bidang (fitting planes) dalam regresi linier. Pengaplikasian metode SDV terhadap matrik kovarian (covariance matrix) untuk mendapatkan eigenvalues dan eigenvectors-nya, dengan pengujian eigenvalues dan penentuan komponen mana yang berkontribusi secara signifikan terhadap trend utama dari data (maximum variance), kita dapat mengeliminasi kontribusi kecil yang termasuk dalam random noise (Sabeti et al. 2007). Sintak Matlab PCA dengan metode SVD ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
25 Ringkasan pengolahan data dari analisis sedimen menggunakan total energi sesaat (envelope) dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Perhitungan envelope data seismik setelah proses dekonvolusi spike dan normalisasi dengan nilai RMS.
2. Konversi envelope dalam bentuk decibel (dB)
3. Aplikasi PCA untuk mereduksi noise dengan metode SVD
4. Plotting data pendekatan hasil PCA atau trace sintetik hasil pendekatan svd, yaitu perkalian antara dua data principal component yang pertama (kolom 1 dan 2) dengan dua data koefisien yang pertama (baris 1 dan 2).
Adapun matrik data yang digunakan pada PCA yaitu sama setelah langkah pertama dan kedua di atas. Dimana terdiri dari data amplitudo yang tersusun per-trace dan per-twt (two-way travel time). Data ini masih terdapat noise permukaan dan memiliki frekuensi yaitu 50 Hz hingga 2000 Hz dan 3000 Hz hingga 4900 Hz.