• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi Frekuensi dari Raw Data SBP

Hasil pemrosesan data mentah dari SBP dengan menggunakan Short Time Fourier Transform (STFT) diperoleh informasi time-frequency tertera pada Gambar 23. Hasil spectrogram pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa kandungan informasi dari data awal SBP yaitu berada pada rentang 0 hingga 5000 Hz dan nilai mutlak amplitudo dari data trace ke-812 berkisar dari 4 hingga 26906 mV. Dimana panjang rekaman data dari 0 hingga 99.9 ms dan interval sampling 0.1 ms. SBP jenis sparker umumnya berada pada rentang frekuensi 50 Hz hingga 4000 Hz (Penrose et al. 2005). USGS (The United States Geological Survey) secara khusus menyebutkan bahwa frekuensi untuk mini-sparker adalah 160 sampai 1200 Hz (Sliter et al. 2008). Hasil di atas dapat kita ketahui terdapat noise dalam data, misalnya terlihat pada frekuensi rendah dengan energi tinggi. Hal ini biasanya tipe noise yang dihasilkan dari air bubble atau gelembung udara yang dihasilkan dari alat ataupun dari multiple gelombang seismik (Duchesne et al. 2007; Nieuwenhuise et al. 2012).

Gambar 23 Hasil spectrogram dari trace ke 812 di lokasi B19 (scale bar dalam dB)

Hasil dari spectrogram ini kemudian dapat digunakan sebagai acuan dalam pemfilteran data atau dipakai sebagai referensi dalam bandpass filter. Oleh karena

27 itu, dapat mempermudah dalam mengetahui pada rentang frekuensi berapa sinyal utama yang dominan membawa informasi yang optimum. Sehingga STFT sangat membantu dalam mengetahui karakter frekuensi dari data awal atau raw data.

Profil 2D di Lokasi Dekat B19

Hasil dari pengolahan di Matlab diperoleh profil 2 dimensi secara vertikal (Gambar 24), dimana sumbu x menunjukkan rentang jarak pengukuran sekitar 45.756 m dan sumbu y menunjukkan kedalaman dalam meter. Peta profil 2D menunjukkan topografi dasar pada lokasi B19 yang relatif datar atau horizontal.

Kedalaman substrat dasar terlihat berada di kedalaman sekitar 13 meter. Reflektor pertama atau lapisan sedimen yang kontras densitasnya jelas terlihat pada kedalaman sekitar 27 meter. Hal ini berarti ketebalan sedimen di lapisan permukaan yang relatif homogen memiliki ketebalan 14 meter. Pada lapisan di bawah reflektor pertama menunjukkan stratigrafi yang cukup heterogen hingga kedalaman 50 meter. Selanjutnya, tidak ditemukan reflektor yang kedua hingga kedalaman lebih dari 75 meter.

Hasil dari sistem coring di lokasi B19 yaitu jenis sedimen permukaannya berupa silt/lanau. Contoh sedimen yang dianalisis di laboratorium yaitu setebal 0.95 meter yang mewakili sinyal trace sekitar 2 milliseconds (ms). Posisi sedimen di lokasi B19 adalah E 108028’14.48” dan S 06019’58.03’’. Penelitian lain berdasarkan gravity core menunjukkan hasil jenis sedimen pada pantai utara Indramayu berupa lanau pasiran dan lempung (Stephanie et al. 2014). Hasil profil 2 dimensi dalam 3 bentuk yang berbeda seperti tertera pada Gambar 24.

Gambar 24 Profil 2D di lokasi B19 dari kiri adalah: (a) dalam bentuk wiggles, (b) dalam color scale, dan (c) gray scale dalam amplitudo (mV)

Hasil di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa jenis sedimen permukaan di lokasi B19 berupa sedimen yang relatif homogen hingga reflektor pertama. Dimana lapisan sedimen lebih terlihat jelas perbedaan stratigrafinya pada lapisan kedua setelah reflektor pertama. Sehingga cukup membantu dalam mengetahui parameter yang ada dalam lapisan sedimen tersebut seperti kontras impedansi, layer atau heterogenitas, nilai amplitudo, dan karakter sinyal dari lapisan itu sendiri.

Informasi ketebalan sedimen dapat digunakan untuk mengestimasi besaran sumber daya yang ada. Informasi stratigrafi lapisannya juga dapat digunakan untuk mengetahui variasi jenis sedimen apa saja yang ada sebelum dilakuakan analisis lebih lanjut secara in situ. Sehingga sangat membantu dalam menyediakan informasi sedimen bawah permukaan laut.

Koefisien Refleksi Hasil Pemodelan

Hasil dari dekonvolusi sparse spike berupa estimasi full-bandwith reflektivitas (Gambar 25). Oleh karena itu, kita dapat mengetahui pendekatan dari nilai koefisien refleksi yang ada di lokasi B19. Nilai koefisien refleksi dari hasil aplikasi pemodelan di lokasi B19 pada sedimen permukaan berkisar antara 0.1079 hingga 0.2894. Nilai koefisien refleksi negatif berarti bahwa impedansi di lapisan atas lebih besar dibanding lapisan di bawahnya. Nilai mutlak koefisien refleksi dari keseluruhan data di lokasi coring B19 atau pada trace ke-829 berkisar dari 1.1460 x 10-7 hingga 0.2955. Sedangkan nilai 0 berarti energi ditransmisikan atau diteruskan seluruhnya dikarenakan impedansinya yang relatif homogen.

Koefisien refleksi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kontras impedansi antar lapisan sedimen. Dimana refleksi menunjukkan perbandingan nilai energi yang dipantulkan dibanding energi yang datang.

Gambar 25 Hasil klasifikasi: Kiri adalah nilai koefisien refleksi sedimen dari seluruh trace dan kanan adalah koefisien refleksi dari single trace

29

Sebagai pembanding, Caulfield et al. (2005) menghasilkan nilai koefisien refleksi near-surface sediment berkisar 0.0420 - 0.3092. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai koefisien refleksi sedimen berbeda-beda. Hal ini dikarenakan lapisan sedimen bawah permukaan laut memiliki sifat fisis yang beragam. Analisis statistik data digital di lokasi coring B19 (trace number 829) yaitu pada Gambar 26 dan Tabel 2.

Nilai rata-rata dari koefisien refleksi di lokasi coring B19 adalah 0.0041 dengan kisaran nilai mutlaknya 1.1460 x 10-7 hingga 0.2955. Sedangkan nilai standar deviasinya yaitu 0.0206 dari 860 data. Secara kualitatif dari hasil koefisien refleksi ini dapat diketahui terdapat 3 lapisan kelompok reflektansi dari sedimen yaitu kelompok reflektansi pada sedimen permukaan, kelompok reflektansi sedimen pada reflektor pertama, dan kelompok reflektansi di bawah reflektor pertama. Dimana nilai tertingginya berada pada kelompok sedimen permukaan (Tabel 2). Hal ini tentunya dipengaruhi oleh perbedaan kontras impedansi yang cukup tinggi antara air dan sedimen dasar laut berupa lanau. Ketebalan lapisan dari ketiga kelompok tersebut yaitu 11 meter, 5 meter, dan 14 meter (Gambar 26).

Gambar 26 Nilai mutlak dari koefisien refleksi di lokasi B19

Berdasarkan analisis kuantitatif nilai koefisien refleksi pada sedimen permukaan jenis lanau di lokasi coring B19 diperoleh nilai estimasi reflektansi

rata-rata permukaan yaitu 0.0304, nilai minimum 2.50 x 10-7, maksimum 0.2894, dan

standar deviasi sebesar 0.0673. Data lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Dimana pada waktu two-way traveltime (twt) dari 14.8 ms hingga 17.4 ms terdapat tiga nilai koefisien reflektansi yang signifikan menunjukkan perbedaan lapisan yaitu pada twt ke-14.8 ms diperoleh nilai reflektansi sebesar 0.1079, pada twt 15.6 ms sebesar 0.1870, dan pada twt ke-17.4 diperoleh nilai maksimum sebesar 0.2894.

Hal ini berarti pada sedimen jenis lanau di lokasi coring B19 memiliki nilai koefisien reflektansi pada bagian permukaan berkisar antara 0.1079 hingga 0.2894 (Tabel 2). Peningkatan nilai reflektifitas menunjukkan besarnya energi yang hilang atau yang dipantulkan atau biasa disebut sebagai bottom loss dalam bentuk logaritmik (Caulfield et al. 2005). Semakin tinggi koefisien reflektansinya maka menunjukkan kontras impedansi atau perbedaan impedasi antar lapisan tersebut semakin besar pula, yang tentunya dipengaruhi oleh densitas (kepadatan) dari masing-masing lapisan sedimen itu sendiri.

Tabel 2 Data kuantitatif trace sedimen permukaan di lokasi B19

Hasil dari pemodelan ini, kita juga dapat menganalisis seberapa dekat hubungan antara trace asli hasil perekaman alat setelah pemrosesan akhir dengan trace hasil pemodelan menggunakan sparse spike (predicted trace). Gambar 27 kita dapat mengetahui bahwa secara kualitatif data antara trace asli dengan trace hasil prediksi keduanya cukup memiliki kemiripan terutama pada bagian permukaan, dasar perairan (seafloor), dan reflektor pertama antar sedimen. Analisis lebih lanjut hubungan antara data 2 trace tersebut, dilakukan pencarian korelasi secara kuantitatif antar 2 trace menggunakan korelasi silang (cross correlation).

31 Trace asli hasil rekaman yang dibandingkan telah dilakukan pemrosesan sinyal lebih lanjut yaitu bandpass filter, dekonvolusi spike, dan normalisasi dengan nilai RMS dari data. Cross correlation dipilih karena kedua data bersifat independent atau saling bebas dan memiliki kesamaan. Hasil koefisien korelasi menunjukkan tingkat derajat keeratan antara keduanya. Dimana semakin besar nilai koefisien korelasinya yang mendominasi, maka semakin kuat pula kesamaannya.

Gambar 27 Kiri adalah trace seismik hasil rekaman asli setelah bandpass filter

dan kanan adalah trace hasil prediksi/sintetik (hasil konvolusi koefisien refleksi/r(t) dengan wavelet sumber/w(t))

Hasil korelasi pada Gambar 28 dapat diketahui bahwa nilai koefisien korelasi dari keduanya yang cukup baik yaitu berkisar antara 0.3741 hingga 1 dengan didominasi nilai lebih besar dari 0.6 sebesar 2591 dari total data 3481 atau sebesar 74.4 % dari keseluruhan data koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kuat jika lebih besar dari 0.8 dan tergolong lemah jika kurang dari 0.5 (MathBits 2015). Hal ini berarti hubungan antara trace asli hasil perekaman (setelah pemrosesan) memiliki derajat keeratan/kesamaan yang cukup kuat dengan trace sintetik/prediksi hasil metode inversi menggunakan sparse spike.

Perhitungan Analitis Sedimen

Hasil dari perhitungan manual koefisien refleksi di lokasi B19 dari data laboratorium (Lampiran 3) diperoleh bahwa dengan menggunakan persamaan Zoeppritz, nilai koefisien refleksi (R) antara sedimen jenis lanau/silt dengan air laut sebesar 0.2807. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hasil perhitungan koefisien refleksi dengan pemodelan (metode seismik inversi) dan manual menunjukkan nilai yang hampir sama tetapi lebih detil hasil dari pemodelan. Dimana hasil perhitungan manual berada dalam kisaran hasil pemodelan (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil perhitungan nilai koefisien refleksi secara manual dan model

Tabel 3 di atas menunjukkan perbandingan nilai koefisien refleksi dari sedimen jenis lanau dari penelitian sekarang dengan 2 penelitian yang lain. Dimana hasilnya masih dalam rentang koefisien refleksi jenis silt di penelitian lain. Sehingga dapat diketahui bahwa hasil dari perhitungan koefisien refleksi secara analitis masih dalam kisaran yang sama dengan hasil pemodelan menggunakan metode inversi dan hasil keduanya tidak memiliki perbedaan jauh dibanding perhitungan penelitian yang lain. Perbedaan ini tentunya dipengaruhi oleh kecepatan suara gelombang seismik dan nilai densitas dari sedimen itu sendiri.

Hasil dari pengukuran kecepatan suara di kolom air laut saat penelitian diperoleh nilai kecepatan sebesar 1542 m/s. Hasil aplikasi formula Bachman dan Hamilton yang telah diperbarui oleh laboratorium teknik Universitas Delft (Saleh 2010) diperoleh nilai estimasi kecepatan suara di sedimen lokasi B19 sebesar 1947.4701 m/s.

Hasil dari analisis sedimen coring dari laboratorium diperoleh nilai densitas (𝜌) sebesar 1445 kg/m3. Oleh karena itu, nilai koefisien refleksi yang diperoleh dari pemodelan dapat digunakan untuk mencari nilai kecepatan suara dari sedimen dengan menggunakan persamaan Zoeppritz. Hasilnya dapat digunakan sebagai pembanding hasil kecepatan suara di sedimen dengan formula Bachman dan Hamilton.

Hasil kecepatan suara dari sedimen jenis lanau, yang diturunkan dari koefisien refleksi dari pemodelan, diperoleh nilai sebesar 1984.7365 m/s. Nilai kecepatan ini berbeda sekitar 37.2664 m/s dibanding hasil menggunakan formula Bachman dan Hamilton. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan nilai koefisien reflektansi antara keduanya. Sehingga dapat dibuktikan bahwa nilai reflektansi dipengaruhi oleh nilai kecepatan suara pada medium itu sendiri. Dimana semakin tinggi perbedaan nilai kecepatan suara dan densitas antar kedua medium, maka semakin besar pula energi yang dipantulkan.

33 Analisis Sedimen Berdasarkan Energi

Hasil dari analisis sedimen berdasarkan total energi sesaat pada lokasi coring B19 tertera pada Gambar 29 dan 30.

Gambar 29 Hasil perhitungan data seismik: Kiri adalah data real dan imaginary dari single trace dan kanan adalah nilai envelope dari single trace

Hasil Gambar 29 di atas dapat diketahui bahwa nilai amplitudo dari total energi sesaat atau envelope dari single trace di lokasi B19 adalah tertinggi berada pada permukaan air laut. Selanjutnya, hasil keseluruhan data trace tertera pada Gambar 30. Dimana dapat kita lihat secara jelas keseluruhan energi tertinggi berada pada permukaan air laut atau sea level. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang

mempengaruhinya yaitu antara lain transmission loss, geometric divergence, dan absorption (Mousa dan Al-Shuhail 2011). Faktor yang paling dominan karena dekat dengan sumber sehingga noise dari alat yang dapat menimbulkan gelembung udara dapat terekam lebih awal dengan energi yang tinggi dan frekuensi yang rendah (hasil STFT) dan juga adanya pengaruh koefisien refleksi antara air dan udara ketika gelombang seismik ditransmisikan oleh alat atau sumber suara yang tidak jauh dari muka laut. Schuster (1998) menjelaskan bahwa amplitudo seismik paling kuat berada paling dekat dengan sumber atau pada waktu awal. Akibatnya rekaman data sangat lemah pada jejak offset yang jauh.

Selanjutnya, energi envelope tinggi berada pada antara air laut dan sedimen dasar laut. Hal ini dipengaruhi oleh kontras impedansi antar kedua medium tersebut, sehingga energi yang dipantulkan besar atau memiliki koefisien reflektansi yang tinggi, ketika energi seismik melewatinya. Energi envelope tertinggi ketiga yaitu berada pada reflektor pertama antara dua jenis sedimen yang memiliki densitas yang berbeda, yaitu sedimen permukaan yang relatif homogen dengan sedimen di bawah batas reflektor pertama.

Gambar 30 menunjukkan bahwa kontras impedansi yang jelas dapat diketahui dengan menggunakan envelope. Selain berguna untuk melihat kontras impedansi akustik antar lapisan, envelope juga dapat digunakan untuk mengetahui antara lain bright spot, akumulasi gas, ketidakselarasan, perubahan lithologi, perubahan lingkungan pengendapan, sesar, dan porositas (Abdullah 2008).

Penggunaan PCA dengan metode SVD diterapkan pada data envelope untuk mengetahui pengelompokkan layer atau lapisan yang dominan tanpa terganggu dengan adanya pengaruh noise acak (Random noise). Hasil analisis envelope menggunakan Principal Component Analysis tertera pada Gambar 31.

Gambar 31 Kiri adalah envelope keseluruhan data (dB) sebelum PCA dan

35 Gambar 31 di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan total energi sesaat menggunakan PCA lebih baik dibanding tanpa PCA. Hal ini dikarenakan penggunaan PCA dapat menemukan arah dalam data dengan variasi tertinggi dan mengurangi secara dimensional data set yang besar dengan variabel yang tetap berhubungan tanpa kehilangan informasi (Sabeti et al. 2007). Sehingga noise dapat direduksi secara berarti dan stratigrafi lapisan sedimen lebih terlihat jelas. Dimana dari Gambar 31 di atas terlihat jelas terdapat lapisan atau layer yaitu pada kedalaman sekitar 27 meter, 30 meter, dan sedikit jelas ada pada kedalaman 40 meter. Pada kedalaman 80 meter dianggap sebagai noise dari eror data karena penetrasi atau resolusi horizontalnya yang tidak sampai.

Nilai rata-rata dari envelope sedimen permukaan dasar laut jenis lanau di lokasi coring B19 atau tepatnya pada trace ke-829 yaitu -18,5825 dB (Gambar 32). Dimana energi minimumnya sebesar -48.3831 dB dan energi maksimumnya sebesar 3.9971 dB berada pada permukaan air laut. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada nilai rata-rata keseluruhan trace di lokasi dekat B19, yaitu energi tertinggi setelah permukaan air laut adalah pada dasar perairan (seafloor), reflektor pertama, dan pada lapisan di kedalaman 40 meter.

Gambar 32 Kanan adalah nilai envelope rata-rata dari keseluruhan data (dB) dan kiri adalah nilai envelope dari lokasi coring B19

Hasil nilai total energi sesaat (envelope) dibandingkan dengan pengukuran energi berdasarkan bottom backscattering strength dengan penelitian lain yaitu pada Tabel 4. Dimana tidak berbeda jauh nilainya pada jenis sedimen berupa lanau/ silt. Perbedaan ini tentunya dipengaruhi oleh kecepatan suara, frekuensi, dan densitas sedimennya.

Costa et al. (2013) mencatat bahwa jenis sedimen lanau dan lanau berpasir memiliki nilai pantulan energi yaitu sebesar -15 dB hingga -20 dB. Berdasarkan pengukuran Bottom Surface Backscattering Strength (BSBS) menggunakan EK

500 Echosounder single frequency pada frekuensi 38 kHz. Dimana BSBS adalah sebuah hubungan logaritmik antara energi suara yang mencapai dasar (bottom) atau incident acoustic energy terhadap energi yang dipantulkan kembali oleh permukaan dasar laut.

Manik (2011) mengukur nilai pantulan energi rata-rata jenis sedimen lanau yang semakin mengecil nilai decibel-nya dengan semakin meningkatnya frekuensi yang digunakan. Pengukuran sedimen dasar laut dengan bottom backscattering strength (SS) menggunakan Echosounder multi-frequency (Tabel 4). Dimana SS diperoleh dari metode bottom echo integration (BEI) dari sedimen dasar laut. Tabel 4 Nilai pantulan energi dari sedimen jenis lanau (B19)

37

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pemrosesan sinyal dari data Sub-bottom Profiler dengan Matlab diperoleh peta berupa profil 2D sedimen dasar laut. Dimana hasil menunjukkan bahwa sedimen permukaan memiliki ketebalan sekitar 14 meter terhadap batas reflektor pertama atau batas lapisan antara dua sedimen yang berbeda. Nilai koefisien refleksi sedimen coring yang ada di permukaan pada lokasi B19 hasil aplikasi pemodelan berkisar dari 0.1079 hingga 0.2894. Perhitungan secara manual menunjukkan nilai koefisien refleksi yaitu 0.2807 dengan jenis sedimen permukaan berupa lanau. Koefisien refleksi hasil pemodelan lebih aplikatif dibanding perhitungan secara analitis, karena mampu mengestimasi koefisien refleksi lapisan sedimen yang lebih dalam. Hasil analisis berdasarkan total energi sesaat (envelope) diperoleh nilai energi rata-rata dari lapisan sedimen permukaan jenis lanau yaitu sebesar -18,5825 dB dan penggunaan PCA menunjukkan hasil stratigrafi yang lebih baik.

Saran

Pada proses ekstraksi nilai amplitudo dari data, jika memungkinkan data dapat diekstrak secara langsung dengan Matlab. Jika tidak bisa diekstrak secara langsung, maka dapat dengan bantuan software lain seperti SeiSee. Akan tetapi, kendalanya adalah dibutuhkan waktu yang lebih lama dan pengaturan data harus sesuai urutannya secara manual.

Dokumen terkait