• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI TEKNIS USAHATANI JAGUNG MANIS DI

KECAMATAN TENJOLAYA KABUPATEN BOGOR:

PENDEKATAN

DATA ENVELOPMENT ANALYSIS

MELISSA AMANDASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

MELISSA AMANDASARI. Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan AMZUL RIFIN.

Efisiensi merupakan aspek yang penting karena dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk pemilihan penarikan keputusan produksi terhadap alternatif yang tersedia. Penarikan keputusan produksi seringkali menjadi keharusan bagi petani mengingat dalam aktivitas usahatani seringkali terjadi kesenjangan (gap) antara produktivitas yang seharusnya dengan produktivitas yang dihasilkan. Salah satu bentuk efisiensi yang perlu diperhatikan di tingkat usahatani yaitu efisiensi teknis. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji keragaan usahatani dan penggunaan input produksi jagung manis, mengukur efisiensi teknis usahatani jagung manis, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

Di dalam melakukan kegiatan usahatani pada musim tanam 2013, sebagian besar petani (83.87 persen) menggunakan pola tanam padi-ubi jalar-jagung manis, dimana petani melakukan penanaman jagung manis pada akhir tahun karena mendekati tahun baru permintaan jagung manis akan meningkat. Terkait penggunaan input produksi, rata-rata petani responden masih belum menggunakan input sesuai dengan penggunaan input yang dianjurkan, seperti pada penggunaan pupuk urea, pupuk TSP, pupuk kandang, dan furadan.

Pengukuran efisiensi teknis dari usahatani jagung manis dalam penelitian ini menggunakan variabel input yang terdiri dari benih, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk kandang, furadan, tenaga kerja dalam keluarga, dan tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan variabel output yang digunakan yaitu produksi jagung manis dan produktivitas jagung manis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani jagung manis di Desa Gunung Malang tidak efisien secara teknis. Upaya peningkatan efisiensi dalam usahatani dapat dilakukan dengan cara menggunakan input-input produksi sesuai dengan komposisi yang dianjurkan. Penggunaan pupuk kandang, pupuk TSP, dan tenaga kerja luar keluarga memiliki nilai persentase input berlebih yang terbesar apabila dibandingkan dengan input-input produksi lainnya. Oleh karena itu, petani dapat mengurangi penggunaan pupuk pupuk kandang sebanyak 16.92%, pupuk TSP sebanyak 14.82%, dan tenaga kerja luar keluarga sebanyak 14.55% agar usahatani jagung manis yang dilakukan efisien secara teknis.

Peningkatan efisiensi dalam suatu usahatani salah satunya sangat dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi dari petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang yaitu tingkat pendidikan formal, jumlah tanggungan di dalam rumah tangga petani, dan keanggotaan dalam kelompoktani. Sedangkan variabel usia dan pengalaman usahatani tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efisiensi teknis usahatani jagung manis di lokasi penelitian.

(5)

SUMMARY

MELISSA AMANDASARI. Technical Efficiency of Sweet Corn Farm in Tenjolaya District, Bogor Regency: Data Envelopment Analysis Approach. Supervised by RITA NURMALINA and AMZUL RIFIN.

Efficiency is an important aspect because it can be used as a measuring tools to make a decision on the production with the availability of the alternatives. Decision making is a must for farmers because of the appearance of a productivity gap between the estimated productivity with the actual productivity. There are different types of efficiency, but technical efficiency is the one that need to be considered at the farm level.

The purpose of this research are to analyze the farming techniques and the use of sweet corn production inputs, to measure the technical efficiency of sweet corn farm, and to identify the factors that influence the technical efficiency of sweet corn farm in Gunung Malang, Tenjolaya district, Bogor regency. The data that are used in this research will be analyzed using a qualitative and quantitative analysis. In 2013 growing season, most of the farmers (83.87 percent) using the rice-sweet potato-rice-sweet corn cropping pattern to do their farming. Almost all of the farmers grow sweet corn at the end of the year because of the increasing of sweet corn demand at New Year. Related to the use of production inputs, farmers in Gulung Malang are not using the inputs in the right amount as being recommended by the government, such as the use of urea, TSP, manure, and Furadan.

The input variables that are used in this research to see the value of technical efficiency of sweet corn farm consists of seed, fertilizer (urea and TSP), manure, pesticide (Furadan), family labors, and the labor outside of the family. While the output variables that are used in this research are the production and the productivity of sweet corn. The result shows that the sweet corn farmers in Gunung Malang are technically inefficient. Using the inputs in the right amount as being recommended by the government can improve the efficiency of sweet corn farm. The use of manure, TSP, and labor outside of the family have the largest percentage of input slacks when compared to the other production inputs. Hence, farmers can reduce the use of manure for 16.92%, the use of TSP for 14.82%, and the use of labor outside the family for 14.55% to make the sweet corn farm technically efficient.

One of the factors that can influenced the improvement of farm efficiency is socio-economic factors of farmers. Factors that are affecting the technical efficiency of sweet corn farm in Gunung Malang are the level of formal education, the number of members in the household, and the membership in farmer groups. While the other variables like age and farming experience do not significantly affect the technical efficiency of sweet corn farm.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

EFISIENSI TEKNIS USAHATANI JAGUNG MANIS DI

KECAMATAN TENJOLAYA KABUPATEN BOGOR:

PENDEKATAN

DATA ENVELOPMENT ANALYSIS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si

(9)

Judul Tesis : Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis

Nama : Melissa Amandasari NIM : H351130716

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Ketua

Dr Amzul Rifin, SP. MA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah efisiensi dalam hal penggunaan input-input produksi, dengan judul Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr Amzul Rifin, SP. MA. selaku pembimbing, Dr Ir Anna Fariyanti, M.Si dan Dr. Ir. Suharno, M.Adev. selaku dosen penguji pada ujian tesis, serta Dr Ir Netti Tinaprilla, MM yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dodo dan Bapak Toapa dari Badan Pengembangan Pertanian Perikanan dan Kehutanan Cibungbulang, serta Bapak Anda dan Bapak Tata Sukarta beserta keluarga, yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada rekan-rekan Fast Track Angkatan 1 Program Studi Magister Sains Agribisnis dan rekan-rekan Tri University.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 9

Ruang Lingkup Penelitian 9

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Efisiensi Penggunaan Input Produksi dengan Konsep Pengukuran

Parametrik 9

Efisiensi Penggunaan Input Produksi dengan Pendekatan

Data Envelopment Analysis pada Beberapa Komoditi Pertanian 13 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis pada Beberapa

Komoditi Pertanian 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 16

Kerangka Pemikiran Teoritis 16

Kerangka Pemikiran Operasional 23

4 METODE PENELITIAN 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Jenis dan Sumber Data 25

Metode Penentuan Responden 26

Metode Pengumpulan Data 26

Metode Pengolahan dan Analisis Data 26

Definisi Operasional 31

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 31

Kondisi Geografis 31

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 32

Kondisi Sarana dan Prasarana 34

Kondisi Pertanian 34

Karakteristik Petani Responden 35

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 39

Keragaan Usahatani Jagung Manis di Desa Gunung Malang 39 Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Desa Gunung Malang 57 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis Usahatani Jagung

(12)

7 SIMPULAN DAN SARAN 70

Simpulan 70

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 78

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi jagung

menurut wilayah, 2011-2013 2

2 Produktivitas jagung di enam provinsi sentra jagung di Indonesia

tahun 2010-2013 3

3 Luas wilayah berdasarkan penggunaannya di Desa Gunung Malang

tahun 2012 32

4 Jenis mata pencaharian penduduk Desa Gunung Malang

pada tahun 2012 33

5 Distribusi penduduk Desa Gunung Malang berdasarkan

tingkat pendidikan pada tahun 2012 34

6 Sebaran kepemilikan luas lahan jagung manis dari petani responden

di Desa Gunung Malang tahun 2014 39

7 Sebaran status kepemilikan lahan petani responden

di Desa Gunung Malang tahun 2014 40

8 Sebaran status usahatani petani responden di Desa Gunung Malang

tahun 2014 40

9 Nilai rata-rata dari Constant Return to Scale Technical Efficiency (CRSTE), Variable Return to Scale Technical Efficiency (VRSTE),

dan Scale Efficiency (SE) petani responden 58

10 Sebaran variabel yang digunakan oleh tiga petani responden 60 11 Sebaran variabel yang digunakan oleh lima petani responden 61 12 Nilai input berlebih (input slack) rata-rata dari seluruh responden 62 13 Variabel-variabel yang digunakan dalam regresi Tobit 65 14 Hasil regresi Tobit petani responden di Desa Gunung Malang 66 15 Sebaran perbandingan nilai efisiensi teknis antara petani

yang tergabung dalam kelompoktani dan petani

yang tidak tergabung dalam kelompoktani 68

16 Sebaran usia dan pengalaman usahatani dari petani responden

yang efisien secara teknis 69

DAFTAR GAMBAR

1 Produktivitas Jagung Manis per Hektar dari Petani Responden

pada Tahun 2013 di Desa Gunung Malang 6

2 Kurva Deterministic Production Frontier 17

3 Efisiensi Teknis dan Efisiensi Alokatif 18

4 Pengukuran Efisiensi dan Input Slack 22

(14)

di Desa Gunung Malang pada musim tanam tahun 2013-2014 42

7 Bedengan untuk menanam jagung manis 44

8 Kegiatan penanaman jagung manis 45

9 Pemupukan dilakukan di antara tanaman jagung manis 46

10 Kegiatan penyiangan 47

11 Kegiatan pembumbunan 47

12 Hama belalang yang menyerang tanaman jagung manis 48 13 Sebaran petani responden berdasarkan penggunaan benih per hektar

pada periode tanam tahun 2013-2014 di Desa Gunung Malang 50 14 Benih jagung manis varietas Talenta dan Jambore 51 15 Sebaran petani responden berdasarkan penggunaan pupuk urea

dan pupuk TSP per hektar pada periode tanam tahun 2013-2014

di Desa Gunung Malang 52

16 Sebaran petani responden berdasarkan penggunaan pupuk kandang per hektar pada periode tanam tahun 2013-2014

di Desa Gunung Malang 53

17 Furadan 3R 54

18 Sebaran petani responden berdasarkan penggunaan furadan per hektar

pada periode tanam tahun 2013-2014 di Desa Gunung Malang 55 19 Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani jagung manis

petani responden per hektar pada periode tanam tahun 2013-2014

di Desa Gunung Malang 56

20 Distribusi skor efisiensi teknis pada model DEA

Variable Return to Scale (VRS) untuk masing-masing petani responden 58

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kerangka Pemikiran Operasional Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor

melalui Pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) 78 2 Karakteristik petani responden di Desa Gunung Malang,

Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor tahun 2014 79 3 Constant Return to Scale Technical Efficiency Scores,

Variable Return to Scale Technical Efficiency Scores,

Scale Efficiency, dan Return to Scale dari setiap Petani Responden 80 4 Sebaran Input Berlebih (Input Slack) dari setiap Petani Responden 81

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung merupakan bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah padi, sehingga sebagai salah satu sumber bahan pangan, jagung telah menjadi komoditas utama setelah padi. Bahkan, jagung dijadikan sebagai bahan pangan utama di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Madura dan Nusa Tenggara. Jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, yang sampai saat ini pengembangannya terus dilakukan, serta dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti industri etanol (Purwono dan Hartono 2005). Industri yang banyak menggunakan jagung sebagai bahan baku yaitu industri pakan ternak dan industri non-pangan, serta industri makanan dan minuman. Peranan jagung yang dapat digunakan dalam berbagai industri tersebut membuat budidaya jagung memiliki prospek yang sangat baik, baik dari harga jual maupun permintaannya (Tim Karya Tani Mandiri 2010).

Selama periode 2005-2009, kebutuhan jagung nasional untuk bahan industri pakan ternak, makanan, dan minuman terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kebutuhan jagung nasional dalam kurun waktu lima tahun tersebut menunjukkan peningkatan dari 12.26 juta ton pipilan kering (pada tahun 2005) menjadi 17.66 juta ton pipilan kering (pada tahun 2009), dengan laju peningkatan sebesar 11.38 persen per tahun. Proyeksi kebutuhan jagung nasional pada tahun 2013 sekitar 23.61 juta ton dan pada tahun 2014 dibutuhkan sekitar 26.29 juta ton bahan baku jagung (Departemen Pertanian 2009). Kebutuhan jagung nasional yang tinggi tersebut perlu diimbangi dengan kontinuitas produksi dalam negeri yang baik. Luas panen dan produktivitas jagung yang mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun menyebabkan produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 hingga 2013 cenderung berfluktuasi. Meskipun pada tahun 2012 produksi jagung di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah produksi tersebut belum mampu mengimbangi jumlah konsumsi jagung di Indonesia. Pada tahun 2011, konsumsi jagung di Indonesia mencapai 18 800 000 ton, sedangkan jumlah produksi jagung yang dihasilkan hanya 17 643 250 ton (Badan Pusat Statistik 2013). Konsumsi jagung yang tinggi menyebabkan permintaan jagung di Indonesia menjadi tinggi pula, sedangkan tingginya permintaan tersebut tidak seimbang dengan ketersediaan jagung di dalam negeri.

(16)

2

peningkatan produksi yang relatif besar terdapat di Provinsi Lampung, Gorontalo, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat. Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi jagung menurut wilayah pada tahun 2011-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi jagung menurut wilayah, 2011-2013a

Daerah penghasil utama jagung di Indonesia pada tahun 2013 adalah Pulau Jawa, yaitu sekitar 71.4% dari produksi nasional (Badan Pusat Statistik 2013). Beberapa daerah sentra produksi jagung di Pulau Jawa pada tahun 2013 cenderung mengalami peningkatan produktivitas, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah (Tabel 2). Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi jagung di Indonesia yang memiliki produktivitas jagung tertinggi apabila dibandingkan dengan sentra jagung lainnya.

(17)

3 Tabel 2 Produktivitas jagung di enam provinsi sentra jagung di Indonesia tahun

2010-2013a

Provinsi Produktivitas (ku/ha)

2010 2011 2012 2013b

Jawa Timur 44.42 45.21 51.08 48.03

Jawa Tengah 48.41 53.30 54.97 55.09

Lampung 37.25 38.13 39.46 51.43

Sumatera Utara 50.13 50.71 55.41 55.87

Sulawesi Selatan 44.27 47.80 46.58 45.62

Jawa Barat 60.08 64.23 69.22 72.06

aSumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2013).; bAngka Sementara.

Salah satu sentra produksi jagung di Provinsi Jawa Barat terdapat di Kabupaten Bogor dengan luas panen sebesar 750 hektar dan produksi sebesar 2 956 ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2012). Meskipun sebagai salah satu sentra jagung di Jawa Barat, Kabupaten Bogor memiliki jumlah produksi yang sangat rendah apabila dibandingkan dengan Kabupaten Garut yang merupakan sentra produksi jagung di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, pengembangan potensi jagung di Kabupaten Bogor perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan produksi jagung nasional.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012), produksi jagung di Kabupaten Bogor pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produktivitas. Pada tahun 2009, produksi jagung mengalami peningkatan sebesar 3 373 ton dan peningkatan produktivitas sebesar 2.54 kuintal per hektar. Namun pada tahun 2010 dan 2011, produksi jagung di Kabupaten Bogor cenderung mengalami penurunan, yang diiringi dengan penurunan luas panen.

(18)

4

yang menyatakan bahwa peningkatan efisiensi teknis dapat meningkatkan produksi (Bakhsh et al. 2006) dan menekan biaya usahatani sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani (Ogundari dan Ojo 2007). Peningkatan efisiensi teknis usahatani jagung di Kabupaten Bogor perlu dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi jagung.

Tipe jagung yang dikembangkan di daerah Kabupaten Bogor pada umumnya adalah jagung manis. Tanaman jagung manis sudah banyak dikenal di daerah Jawa Barat daripada di daerah lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya permintaan benih jagung manis yang mencapai 50 ton pada tahun 2006 untuk provinsi Jawa Barat, sedangkan untuk provinsi Jawa Timur hanya 20 ton1. Permintaan terhadap jagung manis juga terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat dan permintaan dari pasar tradisional, restoran, hotel, dan swalayan-swalayan yang membutuhkan pasokan dalam jumlah yang cukup besar. Konsumsi jagung muda (semi) di Indonesia pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu sebesar 17.86% dibandingkan dengan tahun 2010.

Terkait umur tanaman, jagung manis memiliki umur produksi yang lebih singkat apabila dibandingkan dengan jagung jenis lainnya, yaitu dapat dipanen pada umur 75-80 hari. Waktu panen yang singkat ini menyebabkan perputaran modal petani menjadi semakin cepat. Selain itu, budidaya jagung manis tergolong lebih mudah karena tidak memerlukan proses pengeringan lebih lanjut seperti dalam budidaya jagung pada umumnya (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2013, komunikasi pribadi). Beberapa alasan tersebut membuat banyak petani di Kabupaten Bogor memilih untuk menanam jagung manis. Di samping itu, pertumbuhan terbaik untuk jagung manis yaitu di daerah beriklim tropik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengembangan jagung manis di Indonesia, khususnya di Kabupaten Bogor, mempunyai prospek yang cukup baik.

Salah satu daerah penghasil jagung manis di Kabupaten Bogor adalah Kecamatan Tenjolaya. Luas panen jagung manis di Kecamatan Tenjolaya pada tahun 2011 sebesar 89 hektar dengan tingkat produksi sebesar 297 ton. Peningkatan luas panen dan tingkat produksi jagung manis terbesar di Kabupaten Bogor pada tahun 2011 terjadi di Kecamatan Tenjolaya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012). Selain itu, produktivitas jagung manis di Kecamatan Tenjolaya pada tahun 2011 juga mengalami peningkatan menjadi 4.00 ton per hektar dari 3.93 ton per hektar pada tahun sebelumnya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012). Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Tenjolaya berpotensi untuk dilakukan kegiatan budidaya jagung manis.

Peningkatan produksi jagung manis di Kecamatan Tenjolaya menandakan adanya peningkatan minat petani dalam melakukan aktivitas usahatani jagung manis. Peningkatan minat petani dalam melakukan usahatani jagung manis perlu diikuti dengan peningkatan efisiensi teknis dalam melakukan usahatani jagung manis. Tingkat efisiensi teknis usahatani jagung manis salah satunya dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-ekonomi petani dan penggunaan faktor-faktor produksi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat penerimaan,

1

Anonim. 2012. Laris Manis Bisnis Sweet Corn. [internet]. [diacu 2013 Mei 7]. Tersedia dari:

(19)

5 tingkat pengeluaran, serta tingkat pendapatan usahatani jagung manis. Ketersediaan benih berkualitas, banyaknya jumlah tenaga kerja pertanian yang tersedia, ketersediaan lahan yang cukup luas, serta manajemen usahatani yang cukup baik merupakan potensi yang perlu dikembangkan secara optimal dalam melakukan budidaya jagung manis, sehingga dapat menjadikan Kabupaten Bogor sebagai salah satu sentra produksi jagung manis, serta memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.

Perumusan Masalah

Permintaan terhadap jagung manis terus mengalami peningkatan, tidak hanya dari swalayan-swalayan tetapi saat ini jagung manis juga dibutuhkan oleh tempat-tempat pariwisata dan tempat-tempat keramaian lainnya dalam bentuk jagung bakar maupun jagung rebus. Namun saat ini pengembangan jagung manis di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini dapat terlihat dari masih rendahnya produksi dan produktivitas jagung manis dalam negeri. Rendahnya produksi jagung manis di Indonesia secara umum disebabkan oleh masih rendahnya jumlah penggunaan benih berkualitas, kelangkaan pupuk, belum berkembangnya kelembagaan di tingkat petani, teknologi panen dan pasca panen yang belum memadai, serta lahan garapan yang sempit (Tim Karya Tani Mandiri 2010).

Desa Gunung Malang merupakan salah satu desa di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor yang berpotensi untuk dilakukan pengembangan usahatani jagung manis (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2012). Tanaman jagung manis menjadi sangat populer di Desa Gunung Malang pada tahun 1990-an. Pada tahun tersebut, banyak petani yang mulai tertarik untuk melakukan budidaya jagung manis. Petani melakukan budidaya jagung manis karena beberapa alasan, yaitu permintaannya yang masih sangat tinggi, nilai jual yang lebih tinggi dan lebih mudah diserap oleh pasar, serta pemasaran yang cukup mudah (Petugas Penyuluh Lapang Kecamatan Tenjolaya 2014, komunikasi pribadi). Selain itu, perawatan tanaman jagung manis juga tidak serumit tanaman sayuran lainnya dan memiliki waktu panen yang lebih cepat daripada jagung pipil, yaitu sekitar 75-80 hari, sehingga perputaran modal petani menjadi lebih cepat.

Desa Gunung Malang memiliki jumlah produksi dan luas panen jagung manis terbesar di Kecamatan Tenjolaya (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2011). Akan tetapi, luas panen dan tingkat produksi jagung manis di Desa Gunung Malang mengalami penurunan masing-masing sebesar 75 hektar dan 945 kuintal pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2011). Penurunan luas panen dan tingkat produksi jagung manis di Desa Gunung Malang diduga karena adanya pengaruh iklim dan masih rendahnya tingkat efisiensi pada penggunaan faktor-faktor produksi di dalam melakukan usahatani jagung manis (Petugas Penyuluh Lapang Kecamatan Tenjolaya 2014, komunikasi pribadi).

(20)

6

tersebut diduga karena adanya perbedaan tingkat penggunaan faktor-faktor produksi di dalam melakukan usahatani jagung manis. Hal ini salah satunya dapat terlihat pada rata-rata penggunaan input produksi dari petani responden seperti pupuk kimia dan pupuk kandang yang masih belum sesuai dengan penggunaan pupuk yang dianjurkan. Rata-rata penggunaan pupuk kandang dari petani responden sebesar 3 016.07 kg per hektar, sedangkan rata-rata penggunaan pupuk kandang yang dianjurkan sebesar 5 000.00 kg per hektar2. Produktivitas per hektar dari usahatani jagung manis petani responden pada tahun 2013 di Desa Gunung Malang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Produktivitas jagung manis per hektar dari petani responden pada tahun 2013 di Desa Gunung Malang

Berdasarkan Gambar 1 maka perbaikan dalam penggunaan faktor-faktor produksi di dalam melakukan usahatani jagung manis perlu dilakukan agar produktivitas usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang dapat meningkat. Upaya peningkatan efisiensi dalam suatu usahatani salah satunya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial-ekonomi dari petani.

Dalam praktik usahatani, meskipun petani telah memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam melakukan suatu kegiatan usahatani untuk komoditas pertanian, namun petani tersebut tidak selalu dapat mencapai tingkat efisiensi seperti yang diharapkan. Meskipun mempergunakan satu set teknologi yang sama, pada musim yang sama, dan di lahan yang sama, keragaman pada hasil akan selalu muncul. Hal ini disebabkan hasil yang dicapai pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor yang dapat dikendalikan (internal), faktor yang tidak dapat dikendalikan (eksternal), maupun faktor yang mempengaruhi intensitas input

2 Sinar Tani. 2010. Panen Jagung Terpadat Pecahkan Rekor MURI. [internet]. [diacu 2014 Maret 3]. Tersedia dari: http://diperta.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/153.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920212223242526272829303132333435

Produ

ktivita

s

(Ton

/Ha

)

(21)

7 dan harga relatifnya (Coelli et al. 1998). Faktor-faktor internal berkaitan sangat erat dengan kapabilitas manajerial petani dalam melaksanakan praktik usahatani (Sumaryanto dan Siregar 2003). Hal-hal yang tercakup dalam faktor ini adalah tingkat penguasaan teknologi pembibitan, budidaya, pascapanen, serta kemampuan petani mengakumulasikan dan mengolah informasi yang relevan dengan usahataninya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukannya secara tepat (Saptana 2012).

Kualitas sumberdaya manusia (petani) merupakan faktor internal yang sangat penting. Semakin tinggi kualitas SDM petani, diharapkan akan semakin tinggi pula kemampuan petani di dalam mengadopsi teknologi, mengelola usahatani, dan melakukan pengambilan keputusan, sehingga dapat meningkatkan efisiensi usahatani. Variabel-variabel seperti pendidikan formal, pendidikan informal, keterlibatan pada kelembagaan pertanian, pengalaman berusahatani, manajemen usahatani, jumlah tanggungan dalam keluarga, dan usia petani merupakan beberapa indikator penting yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor penentu tingkat efisiensi usahatani.

Kapabilitas manajerial berkaitan erat dengan kemampuan petani dalam mengumpulkan dan mengolah informasi, sehingga dapat menambah pengetahuan petani. Sebagian besar pengetahuan tersebut diperoleh melalui bimbingan dan penyuluhan, belajar secara mandiri, belajar dari petani lain atau pembelajaran dari orang tua secara turun-temurun, pengalaman, maupun dari sumber-sumber informasi lainnya. Oleh karena itu, kemampuan baca tulis petani juga ikut mempengaruhi karena saat ini sebagian besar informasi yang tersedia adalah dalam bentuk tulisan yang dapat diakses dari berbagai media.

Wujud kapabilitas manajerial dalam aspek budidaya usahatani tercermin dalam aplikasi usahatani dan kualitas keputusan yang diambil. Jenis input yang digunakan, jumlah input yang digunakan (kuantitas), mutu input yang digunakan (kualitas), kombinasi input-input yang digunakan, waktu penggunaan, serta cara pengaplikasiannya merupakan unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan oleh petani dalam melakukan pengambilan keputusan. Kapabilitas manajerial akan tercermin dari output yang dihasilkan pada saat panen. Jika produksi yang diperoleh mendekati potensi maksimum yang dapat diperoleh di suatu lingkungan yang serupa, maka dapat dikatakan bahwa petani tersebut telah mengelola usahataninya dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat produksi atau produktivitas yang dicapainya mendekati produksi frontier (Saptana 2012).

Selain faktor-faktor sosial-ekonomi dari petani, upaya peningkatan efisiensi dalam suatu usahatani sangat dipengaruhi oleh teknik budidaya yang dilakukan dan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam melakukan kegiatan usahatani, seperti benih, pupuk kimia, pupuk kandang, pestisida, dan tenaga kerja. Terkait budidaya jagung manis, petani di Desa Gunung Malang menghadapi beberapa kendala, diantaranya yaitu adanya keterbatasan modal dan lahan, adanya ancaman penyakit bulai, mahalnya harga benih, kurangnya pengetahuan petani mengenai anjuran dalam pemakaian pupuk dan obat pertanian, serta adanya pengaruh iklim yang dapat mengurangi produksi jagung manis.

(22)

8

dalam hal pembelian benih berkualitas. Mahalnya harga benih jagung manis dan terbatasnya modal petani menyebabkan petani membeli benih yang lebih murah namun tidak berkualitas, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman jagung manis menjadi kurang optimal. Selain itu, petani jagung manis di Desa Gunung Malang umumnya belum melakukan pemupukan sesuai dengan dosis yang dianjurkan, sehingga produktivitas jagung manis menjadi tidak optimal.

Serangan penyakit bulai juga mempengaruhi produktivitas jagung manis di Desa Gunung Malang. Produktivitas jagung manis yang terserang penyakit bulai akan mengalami penurunan, sehingga dibutuhkan obat-obatan pertanian yang dapat mengurangi serangan penyakit tersebut. Umumnya keterbatasan modal menyebabkan petani membeli obat-obatan pertanian dalam jumlah yang lebih sedikit dari jumlah kebutuhan yang seharusnya, sehingga obat pertanian yang disemprotkan ke tanaman yang tertular penyakit tidak mampu memberikan pengaruh yang besar bagi produktivitas jagung manis.

Penggunaan faktor-faktor produksi dalam budidaya jagung manis serta kemampuan manajerial yang berasal dari diri petani melalui faktor-faktor sosial-ekonomi akan mempengaruhi efisiensi teknis petani di dalam melakukan usahatani jagung manis. Oleh karena itu, analisis efisiensi teknis diperlukan untuk melihat tingkat efisiensi penggunaan input-input produksi dari petani responden dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana keragaan usahatani dan penggunaan input produksi jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor?

2. Apakah usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor sudah efisien secara teknis?

3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibahas sebelumnya, maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengkaji keragaan usahatani dan penggunaan input produksi jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.

2. Mengukur efisiensi teknis usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.

(23)

9

Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan informasi kepada petani sebagai pertimbangan dalam upaya meningkatkan produksi, produktivitas, dan pendapatan dari usahatani jagung manis.

2. Menjadi bahan informasi untuk pihak-pihak pengambil kebijakan dalam mencari alternatif pemecahan masalah usahatani jagung manis, khususnya di wilayah Bogor.

3. Memberikan manfaat bagi pembaca, baik sebagai tambahan pengetahuan maupun sebagai referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian berjudul Efisiensi Teknis Usahatani Jagung Manis di Kecamatan Tenjolaya Kabupaten Bogor: Pendekatan Data Envelopment Analysis ini difokuskan pada pembahasan mengenai komoditi jagung manis. Penelitian ini dibatasi pada analisis keragaan usahatani, analisis efisiensi teknis, dan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani jagung manis di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Penelitian ini hanya berfokus pada analisis efisiensi teknis, sehingga tidak mengakomodasi efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis efisiensi teknis adalah pendekatan non parametrik, yaitu Data Envelopment Analysis (DEA) dan Regresi Tobit.

Pada penelitian ini, usahatani yang akan menjadi sampel adalah usahatani jagung manis yang dilakukan secara monokultur. Petani yang dijadikan responden pada penelitian ini terbatas pada petani yang melakukan budidaya jagung manis pada musim tanam 2013-2014 di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data penggunaan input dan penjualan jagung manis pada musim tanam 2013-2014.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Efisiensi Penggunaan Input Produksi dengan Konsep Pengukuran

Parametrik

Efisiensi merupakan aspek yang penting karena dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk pemilihan penarikan keputusan produksi terhadap alternatif yang tersedia. Efisiensi merupakan indikator keberhasilan yang mengukur kinerja

dengan cara mengevalusi unit produksi (Alviya 2011). Penarikan keputusan

(24)

10

petani, seperti iklim dan kurangnya kemampuan manajerial petani dalam mengalokasikan sumberdaya untuk kegiatan usahatani. Perbedaan hasil yang disebabkan oleh kedua faktor tersebut menyebabkan senjang produktivitas antara produktivitas potensial usahatani dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani. Salah satu bentuk efisiensi yang perlu diperhatikan di tingkat usahatani yaitu efisiensi teknis. Efisensi teknis berhubungan dengan kemampuan petani untuk berproduksi pada kurva frontier isoquan. Efisiensi teknis dapat dicapai ketika petani mampu memproduksi pada tingkat output maksimum dengan menggunakan sejumlah input tertentu, atau dengan menggunakan input minimum untuk memproduksi tingkat output tertentu. Kedua definisi dari efisiensi teknis tersebut dikenal sebagai pengukuran efisiensi berorientasi output (output-oriented) dan pengukuran efisiensi berorientasi input (input-oriented). Penggunaan salah satu pendekatan dapat dilakukan tergantung pada kemampuan petani dalam mengontrol kedua hal tersebut (output atau input). Namun secara umum, petani memiliki kontrol yang lebih besar terhadap input dibandingkan output. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Pugliese (2011) dan Dhungana et al. (2004) pada komoditi jagung dan beras.

Dua konsep alternatif untuk mengestimasi fungsi frontier dan pengukuran efisiensi teknis yaitu non parametrik dan parametrik (Coelli et al. 1998). Keunggulan pendekatan non parametrik adalah tidak menghendaki bentuk fungsi yang khusus untuk merepresentasikan teknologi yang ada. Kelemahan utamanya yaitu bersifat deterministik dan mengasumsikan bahwa semua deviasi dari frontier adalah inefisiensi.

Alternatif lain untuk mengestimasi fungsi frontier dan pengukuran efisiensi teknis adalah dengan menggunakan pendekatan parametrik. Pendekatan parametrik dapat digunakan untuk estimasi fungsi produksi, fungsi biaya, dan fungsi keuntungan dan dapat menggunakan beberapa metode estimasi (Ordinary Least Square/OLS atau Maximum Likelihood/ML) dengan data empiris untuk mengestimasi parameter dari fungsi tersebut (Coelli et al. 1998). Pendekatan parametrik dapat dibedakan menjadi pendekatan parametrik deterministik dan parametrik stokastik (Bravo-Ureta dan Pinherio 1993).

Model frontier deterministik mengasumsikan bahwa deviasi dari frontier disebabkan oleh adanya inefisiensi, sedangkan pendekatan frontier stokastik mengijinkan adanya gangguan acak (error term). Model fungsi frontier stokastik mengintegrasikan struktur gangguan acak atas dua hal, yakni komponen yang merefleksikan inefisiensi (berhubungan dengan faktor-faktor yang dapat dikontrol petani yang sangat terkait dengan keterampilan teknis dan kapabilitas manajerial petani) dan komponen yang menangkap gangguan yang tidak dapat dikontrol oleh petani, seperti faktor perubahan iklim (kekeringan dan kebanjiran), serangan OPT, dan fluktuasi harga.

(25)

11 pendekatan parametrik stokastik dan pendekatan non parametrik, yaitu terletak pada diperlukannya bentuk fungsional tertentu dan semua penyimpangan dari frontier dikategorikan sebagai inefisiensi teknis. Pendekatan ini mempunyai asumsi implisit bahwa semua variasi acak adalah karena inefisiensi teknis dan tidak diperbolehkan adanya variasi acak diluar kontrol petani. Pendekatan frontier deterministik belum mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan bahwa kinerja usahatani dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berada di luar kontrol petani (Saptana 2012).

Salah satu metode estimasi tingkat efisiensi teknis dengan pendekatan parametrik yang banyak digunakan adalah melalui pendekatan frontier statistik stokastik atau frontier stokastik, yang dalam implementasinya menggunakan Stochastic Production Frontier (SPF). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Aigner et al. (1977) dan pada saat yang bersamaan juga dilakukan oleh Meeusen dan Van Den Broek (1977). Pengembangan pada tahun-tahun berikutnya banyak dilakukan seperti oleh Coelli et al. (1998), Waldman (1984), dan Greene (1993). Pendekatan SPF juga banyak digunakan oleh peneliti seperti Erwidodo (1992a dan 1992b), Siregar (1987), Sumaryanto (2001), dan Sumaryanto et al. (2003) untuk melakukan estimasi efisiensi usahatani padi di beberapa daerah sentra produksi di Indonesia. Pendekatan ini juga telah digunakan Sukiyono (2005) pada usahatani cabai merah di Rejang Lebong. Selanjutnya Saptana (2011) menggunakan SPF dengan memasukkan unsur risiko pada usahatani cabai merah di Jawa Tengah. Demikian juga halnya Nahraeni (2012) yang menggunakan SPF dengan memasukkan nilai keberlanjutan untuk usahatani kentang dan kubis di Jawa Barat. Kekuatan utama dari pendekatan parametrik stokastik adalah dengan memasukkan gangguan stokastik (error term). Pendekatan ini memisahkan deviasi-deviasi dari frontier atas inefisiensi sistematik atau aktual dari usahatani dan komponen-komponen acak yang bersifat stokastik dan bukan karena inefisiensi dalam pengelolaan usahatani (Coelli et al. 1998). Kelemahan utama pendekatan fungsi produksi parametrik stokastik adalah menghendaki secara eksplisit bentuk fungsi yang menggambarkan teknologi yang ada, membutuhkan asumsi tentang distribusi inefisiensi, dan tidak dapat digunakan untuk kasus multi output.

Tinjauan historis perkembangan pendekatan pengukuran efisiensi secara lebih terperinci terdiri atas : (1) Frontier non parametrik, yang dalam pengukurannya menggunakan Total Factor Productiviy (TFP) dan Data Envelopment Analysis (DEA), (2) Frontier parametrik deterministik, (3) Frontier statistik deterministik, (4) Frontier statistik stokastik yang belum memasukkan unsur risiko; (5) Frontier statistik stokastik yang telah memasukkan unsur risiko; dan (6) Penggunaan frontier statistik stokastik dengan memasukkan nilai keberlanjutan (Saptana 2012).

(26)

12

bekerja dalam proses produksi dan parameter yang mencerminkan kapabilitas manajerial usahatani dalam model SPF diestimasi secara simultan agar konsisten (Kumbhakar 1987; Kumbhakar dan Lovell 2000); (c) Penggunaan model SPF belakangan dengan mengasumsikan heterokedastis, juga telah berhasil memasukkan unsur risiko; dan (d) Penggunaan model SPF juga telah berhasil memasukkan nilai keberlanjutan.

Bravo-Ureta et al. (2007) mengkaji sebanyak 167 hasil studi empiris dengan komposisi sebagai berikut : 42 studi menggunakan metode non parametrik, 32 studi menggunakan metode parametrik deterministik, dan 117 menggunakan metode frontier parametrik stokastik. Hasil studi menunjukkan bahwa metode frontier parametrik stokastik adalah metode yang banyak digunakan oleh para peneliti di bidang pertanian, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa studi dengan model frontier parametrik stokastik lebih sesuai untuk kajian-kajian usahatani tanaman pangan, karena usaha ini sangat dipengaruhi oleh gangguan acak yang disebabkan oleh faktor eksternal.

Penggunaan metodologi frontier banyak digunakan di negara-negara berkembang (Kalirajan 1981; Kalirajan dan Shand 1989; Kalirajan 1991; Bauer 1990; Battese 1992; Battese dan Coelli 1995; dan Beck 1991), juga ditemui di beberapa negara maju (Wilson et al. 1998; Fogasari dan Latruffe 2007; dan Lambarraa et al. 2007), serta di Indonesia (Erwidodo 1990; Sumaryanto 2001; Siregar dan Sumaryanto 2003; Sumaryanto 2003; Wahida 2005; Fauziyah 2010; Saptana 2011, dan Nahraeni 2012). Model frontier stokastik telah digunakan secara luas dalam analisis efisiensi usahatani terutama untuk usahatani padi, terutama di Asia, yaitu Bangladesh, China, India, Indonesia, Jepang, Pakistan, Filipina, dan Srilanka.

Battese (1992) memberikan ulasan komprehensif tentang aplikasi frontier produksi parametrik untuk usaha pertanian, khususnya usahatani padi. Ogundari dan Ojo (2007) juga melakukan studi efisiensi teknis, alokatif dan efisiensi ekonomi untuk ubi kayu di Osun State, Nigeria. Sementara itu, Wilson et al. (1998) memberikan ulasan tentang aplikasi frontier produksi kentang di Inggris dengan menggunakan data sekunder dari Departemen Pertanian, Perikanan, dan Pangan. Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) menyampaikan ulasan komprehensif tentang aplikasi berbagai metode frontier untuk usaha pertanian di negara berkembang dengan menguji sebanyak 30 studi dari 14 negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman padi merupakan tanaman yang paling banyak diteliti diantara usahatani lainnya. Coelli (1995) juga menyimpulkan hal yang serupa di dalam surveinya, dengan melaporkan 11 aplikasi frontier untuk usahatani padi dari 38 makalah yang dikaji.

(27)

13 namun nilai efisiensi teknisnya sudah tergolong tinggi masing-masing sebesar 0.84 dan 0.73.

Efisiensi Penggunaan Input Produksi dengan Pendekatan Data Envelopment

Analysis pada Beberapa Komoditi Pertanian

Konsep pengukuran efisiensi yang sering digunakan yaitu pengukuran efisiensi parametrik dan non parametrik. Keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk memperoleh suatu frontier yang akurat. Namun, kedua metode tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Purwantoro 2006). Pendekatan non parametrik yang umumnya digunakan yaitu Data Envelopment Analysis (DEA), dengan menggunakan metode linear programming di dalam aplikasinya. Metode ini telah diaplikasikan oleh Fare et al. (1985) yang melibatkan analisis multi input, multi output, dan variable return to scale. Pendekatan non parametrik lain yang telah banyak dilakukan adalah pendekatan Total Factor Productivity (TFP) (Coelli et al. 1998).

Pendekatan DEA dapat menggunakan sedikit data dan memerlukan lebih sedikit asumsi, sehingga sample yang lebih sedikit dapat dipergunakan (Purwantoro 2006). Namun demikian, kesimpulan secara statistika tidak dapat diambil apabila menggunakan metode non parametrik. Perbedaan utama lainnya yaitu pendekatan parametrik memasukkan random error pada frontier, sementara pendekatan DEA tidak memasukkan random error (Saptana 2012). DEA tidak dapat memperkirakan adanya sample error yang tak terhingga, khususnya jika variabel input dan output relatif lebih banyak dibandingkan dengan banyaknya observasi (Hadad 2003). Sebagai konsekuensinya, pendekatan DEA tidak dapat memperhitungkan faktor-faktor yang menyebabkan inefisiensi seperti pengaruh sosio-ekonomi dan lain-lain. Dengan demikian, pendekatan non parametrik digunakan untuk mengukur inefisiensi secara lebih umum (Cooper et al. 2002).

Keuntungan relatif penggunaan DEA dibandingkan dengan teknik parametrik yaitu di dalam mengukur efisiensi, DEA mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi (benchmark) yang dapat membantu untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari ketidakefisienan, yang merupakan keuntungan utama dalam aplikasi manajerial (Heidari et al. 2011). Selain itu, DEA tidak memerlukan spesifikasi yang lengkap dari bentuk fungsi yang menunjukkan hubungan produksi dan distribusi dari observasi apabila dibandingkan dengan pendekatan parametrik. Namun secara umum, tidak terdapat perbedaan hasil estimasi efisiensi teknis yang cukup signifikan antara pendekatan parametrik dan non parametrik. Iraizoz et al. (2003) telah berhasil membuktikan hal tesebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi tomat dan asparagus di Navarra, Spanyol relatif tidak efisien, baik dihitung menggunakan pendekatan parametrik maupun non parametrik. Keputusan untuk menggunakan salah satu metode dalam melakukan estimasi efisiensi teknis tergantung pada tujuan penelitian, data yang tersedia, dan preferensi pribadi peneliti (Wadud dan White 2000).

(28)

14

komoditi pertanian di beberapa negara yang berbeda. Aplikasi metodologi DEA tersebut umumnya dilakukan di negara-negara berkembang (Dhungana et al. 2004; Yusuf dan Malomo 2007; Dao dan Lewis 2008; Abatania et al. 2012; Pugliese 2011; dan Ogunniyi 2012) dan beberapa juga dijumpai di negara-negara maju (Iraizoz et al, 2003; Fogasari dan Latruffe 2007; dan Kirner et al. 2007). Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa efisiensi teknis pada berbagai komoditi pertanian di beberapa negara diestimasikan relatif tidak efisien. Hanya dalam penelitian Yusuf dan Malomo (2007) diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa mayoritas petani relatif sudah efisien di dalam penggunaan faktor-faktor produksinya.

Dhungana et al. (2004) dalam penelitiannya terhadap usahatani padi di Nepal menemukan bahwa petani tidak efisien secara teknis dalam penggunaan faktor-faktor produksi usahatani. Terdapat beberapa input yang penggunaannya berlebih dan terdapat pula beberapa input yang penggunaanya dinilai masih kurang apabila dibandingkan dengan usahatani referensi yang dianggap efisien menurut model. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Ethiopia. Seperti yang dikutip dari penelitian Pugliese (2011), mayoritas petani di Ethiopia relatif masih tidak efisien dalam melakukan kegiatan usahataninya. Hal ini juga serupa dengan yang diungkapkan oleh Ogunniyi (2012) dalam penelitiannya bahwa mayoritas petani jagung di Nigeria tidak efisien di dalam penggunaan faktor-faktor produksi usahatani. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa mayoritas petani responden beroperasi pada kondisi decreasing return to scale.

Pendekatan DEA banyak dilakukan untuk melihat efisiensi teknis dari beberapa tanaman pangan, seperti padi dan jagung, namun aplikasi pendekatan DEA untuk komoditas jagung manis masih jarang dilakukan, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis pada Beberapa Komoditi Pertanian

Studi tentang sumber efisiensi teknis pada usahatani memperhatikan peran keputusan manajerial dan variabel sosio-ekonomi dari petani. Keputusan manajerial menentukan kemampuan seorang petani sebagai manajer untuk memilih kombinasi input dan pola output usahatani yang dipandang tepat, varietas dan jumlah benih, dosis dan jenis pupuk, waktu aplikasi pemupukan dan pestisida, teknik dan sistem tanam, serta teknik panen dan pasca panen. Variabel sosio-ekonomi bukan bagian dari proses produksi fisik, tetapi mempunyai pengaruh terhadap variabel keputusan manajemen. Variabel sosio-ekonomi paling banyak digunakan untuk menerangkan variasi tingkat usahatani, baik pada tanaman padi maupun tanaman lainnya dalam hal efisiensi teknis.

(29)

15 digunakan untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi (Pugliese 2011; Dhungana et al. 2004; dan Ogunniyi 2012).

Variabel-variabel yang umumnya digunakan dalam literatur untuk menjelaskan tingkat efisiensi pada beberapa komoditi pertanian yaitu usia petani, ukuran lahan usahatani, pengalaman dan spesialisasi petani, penggunaan layanan penyuluhan dan tingkat pendidikan petani, ketersediaan dan aksessibilitas air irigasi, aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi, rotasi tanaman, pendapatan, serta kombinasi input (Phillips dan Marble 1986; Kalirajan dan Shand 1989; Bravo Ureta dan Rieger 1991; Bravo Ureta dan Evenson 1994; Parikh et al. 1995; Ahmad dan Bravo-Urtea 1996; Lewelyn dan Williams 1996; Seyoum et al. 1998; Amara dkk. 1999; Sharma et al. 1999; Wilson et al. 2001; Iraizoz et al. 2003; dan Kirner et al. 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Abatania et al. (2012) menunjukkan bahwa berdasarkan model regresi OLS, usia secara signifikan dapat mempengaruhi efisiensi teknis dari produksi tanaman di Ghana Utara. Secara umum, usia memiliki hubungan positif dengan efisiensi teknis. Hal ini berarti bahwa semakin bertambah usia seorang petani, maka tingkat efisiensi teknisnya juga akan semakin tinggi. Namun menurut Saptana (2012), usia petani tidak dapat menjelaskan secara signifikan mengenai efisiensi teknis.

Terkait dengan ukuran usahatani, terdapat beberapa perbedaan pada hasil yang diperoleh mengenai hubungan antara ukuran usahatani dan efisiensi teknis. Rios dan Shively (2005) serta Xu dan Jeffrey (1998) menemukan hubungan yang signifikan antara inefisiensi teknis dan ukuran usahatani. Namun beberapa studi tidak menemukan hubungan yang signifikan antara inefisiensi teknis dengan ukuran usahatani (Dav dan Hossain 1995; Erwidodo 1990; Squires dan Tabor 1991; dan Iraizoz et al. 2003).

Kontak dengan pelayanan penyuluhan pertanian merupakan variabel penting dalam menerangkan inefisiensi teknis. Variabel kontak dengan pelayanan penyuluhan pertanian dan akses terhadap kredit menunjukkan hubungan yang negatif dengan inefisiensi teknis dalam studi yang dilakukan oleh Kalirajan dan Shand (1989), begitu pula dengan aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi yang menunjukkan hubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada usahatani kentang di Inggris (Wilson et al. 1998). Pendapatan non usahatani juga memiliki hubungan yang negatif dengan inefisiensi teknis (Xu dan Jeffrey 1998), sedangkan variabel pengalaman bertani memiliki pengaruh yang signifikan dan positif di dalam mempengaruhi efisiensi teknis, dimana petani yang memiliki pengalaman lebih lama dan lebih banyak cenderung lebih efisien di dalam melakukan kegiatan produksinya (Yusuf dan Malomo 2007).

(30)

16

Pugliese (2011), Abatania et al. (2012), dan Ogunniyi (2012) menambahkan beberapa variabel yang dianggap dapat mempengaruhi efisiensi teknis secara signifikan, seperti status perkawinan, ukuran rumah tangga petani, jenis kelamin dari kepala keluarga, penggunaan tenaga kerja luar keluarga, lokasi geografis relatif dari lahan, penggunaan benih varietas unggul, dan pengeluaran rumah tangga usahatani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja luar keluarga akan dapat meningkatkan efisiensi teknis dari suatu usahatani (Abatania et al. 2012). Selain itu, disimpulkan juga bahwa petani yang berjenis kelamin pria memiliki tingkat efisiensi teknis yang lebih rendah dibandingkan dengan petani yang berjenis kelamin wanita.

3

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Teori Produksi dan Fungsi Produksi

Pada suatu proses produksi, terdapat istilah hubungan input dengan output yang merupakan hubungan antara tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dengan produksi yang diperoleh. Produk yang dihasilkan oleh suatu proses produksi tergantung pada kuantitas dan jenis faktor produksi yang digunakan pada proses produksi tersebut. Hubungan antara faktor produksi dan produksi yang dihasilkan ini dapat dilihat pada fungsi produksi.

Fungsi produksi merupakan hubungan fisik antara input dan output (Soekartawi et al. 2002). Input seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim, dan sebagainya mempengaruhi besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Misalnya Y adalah produksi dan Xi adalah input i, maka besarnya Y akan tergantung pada

besarnya X1, X2, X3, ..., Xm yang digunakan pada fungsi tersebut. Secara aljabar,

hubungan Y dan X dapat ditulis sebagai berikut: Y = f(X1, X2, X3, ..., Xm)

Dimana:

Y = Jumlah produksi yang dihasilkan

X = Faktor produksi yang digunakan atau variabel yang mempengaruhi Pada dasarnya fungsi produksi dapat dinyatakan secara sistematis maupun dengan kurva produksi. Kurva tersebut menggambarkan hubungan fisik faktor produksi dan hasil produksinya, dengan asumsi hanya satu faktor produksi yang berubah dan faktor produksi lainnya dianggap tetap (cateris paribus). Fungsi produksi batas (frontier production function) menggambarkan output maksimal yang dapat dihasilkan dalam suatu proses produksi dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat teknologi tertentu (Coelli et al. 2005). Adapun kurva produksi deterministic frontier dapat dilihat pada Gambar 2.

(31)

17

dapat dicapai dari satu set input yang digunakan pada tingkat teknologi tertentu. Semua titik yang berada diantara production frontier dan sumbu x akan membentuk satu set produksi yang baik. DMU (Decision Making Unit) yang efisien secara teknis beroperasi di sepanjang frontier, sedangkan DMU yang tidak efisien beroperasi di luar frontier. Sebagai contoh, titik A merupakan titik yang tidak efisien secara teknis sedangkan titik B dan C merupakan titik yang efisien secara teknis. DMU yang beroperasi pada titik A tidak efisien karena secara teknis DMU tersebut masih dapat meningkatkan output ke titik B tanpa memerlukan tambahan input atau dapat pula mengurangi input ke titik C tanpa mengurangi output.

Konsep Efisiensi

Secara teoritis, efisiensi merupakan salah satu parameter kinerja yang mendasari seluruh kinerja sebuah organisasi. Konsep efisiensi pertama kali diperkenalkan oleh Farrell pada tahun 1957. Efisiensi dari suatu perusahaan biasanya memiliki definisi dalam dua sisi. Pertama, ketika mendefinisikan efisien sebagai keberhasilan suatu perusahaan dalam memproduksi berbagai kemungkinan output dari kumpulan input. Kedua, efisiensi akan dicapai ketika perusahaan berhasil untuk memilih suatu set yang optimal dari input untuk menghasilkan output tertentu.

Konsep efisiensi berkaitan dengan konsep fungsi produksi. Efisiensi didefinisikan dengan melihat bagaimana sebuah unit kerja mencapai hasil dengan membandingkan input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Efisiensi berkaitan dengan jumlah korbanan yang dikeluarkan oleh unit kerja dalam mencapai tujuan. Jika dianggap terlalu besar atau terlalu kecil, maka unit kerja relatif tidak efisien. Efisiensi harus berupa perhitungan kuantitatif dan dapat diukur. Efisien dalam hal input yang digunakan akan menghasilkan produktivitas yang tinggi, sebagai tujuan dari semua organisasi dalam setiap kegiatan.

Konsep efisiensi berisi tiga hal, yaitu efisiensi teknis (TE), efisiensi alokatif (AE), dan efisiensi ekonomi (EE). Menurut Coelli et al. (2005), efisiensi ekonomi akan terjadi dengan sendirinya jika efisiensi teknis dan efisiensi alokatif dapat dicapai. Efisiensi teknis dan efisiensi alokatif berdasarkan Coelli et al. (2005) dapat

(32)

18

dilihat pada Gambar 3, dengan asumsi suatu perusahaan menggunakan dua input (x1 dan x2) untuk memproduksi satu output (y).

Garis CC' adalah garis yang menggambarkan harga relatif dari biaya relatif dari input yang digunakan dalam proses produksi (Gambar 3). Biaya relatif penggunaan input akan minimum jika garis CC' menyinggung kurva isokuan (SS’). Isokuan mewakili berbagai kombinasi dari dua faktor yang menggambarkan bahwa perusahaan efisien dalam menghasilkan output. Titik A menunjukkan input dari dua faktor, per unit output, yang digunakan perusahaan untuk pengamatan.

Gambar 3 Efisiensi Teknis dan Efisiensi Alokatif Sumber: Coelli et al. (1998)

Titik D menunjukkan kondisi perusahaan yang efisien dalam menggunakan dua faktor produksi pada rasio yang sama seperti titik A. Pada titik ini dihasilkan output yang sama seperti A dengan menggunakan 0D/0A dari masing-masing faktor. Titik ini juga menjelaskan bahwa perusahaan memproduksi 0D/0A kali lebih banyak output dari penggunaan input yang sama. Hal ini dapat didefinisikan sebagai efisiensi teknis dari perusahaan (Farrell 1957).

Sebuah konsep efisiensi didekati dari dua pendekatan sisi, yaitu orientasi input dan output (Coelli et al. 2005). Pada konsep orientasi input, dibutuhkan ketersediaan informasi harga input dan kurva isoquant yang menunjukkan kombinasi input yang digunakan untuk menghasilkan output pada tingkat tertentu. Sedangkan pendekatan pada sisi output adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat sejauh mana jumlah output secara proporsional meningkat tanpa mengubah jumlah input yang digunakan.

Konsep Efisiensi Teknis

(33)

19 sebagai kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan output dengan sejumlah input yang tersedia (Ellis 1988).

Menurut Koopmans (1951), produsen secara teknis efisien apabila adanya peningkatan output atau dapat pula terjadi apabila adanya pengurangan setidaknya satu input untuk menghasilkan suatu output. Apabila dihasilkan nilai efisiensi teknis sama dengan satu, maka menunjukkan bahwa suatu DMU efisien secara teknis dan apabila diperoleh skor kurang dari satu maka menunjukkan bahwa suatu DMU inefisien secara teknis (Cooper et al. 2002).

Pengukuran Efisiensi Teknis

Konsep pengukuran efisiensi teknis yang sering digunakan yaitu pengukuran efisiensi parametrik dan non parametrik. Keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk memperoleh suatu frontier yang akurat. Namun, kedua metode tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai (Coelli et al. 2005). Pengukuran efisiensi teknis menggunakan metode parametrik yang umumnya digunakan adalah metode Stochastic Frontier Analysis (SFA). SFA mengasumsikan bahwa semua entitas adalah tidak efisien. SFA juga menghitung adanya noise dan dapat digunakan untuk pengujian hipotesis. Selain itu, SFA dapat digunakan untuk mengukur efisiensi teknis, efisiensi alokatif, perubahan teknis, dan perubahan TFP (jika berupa data panel). SFA memiliki keunggulan dapat digunakan untuk mengukur data panel dan cross-section. Namun beberapa kelemahan dari metode SFA yaitu SFA mensyaratkan spesifikasi bentuk fungsi dan bentuk distribusi unit yang tidak efisien. Dengan penggunaan informasi harga disamping kuantitas, kesalahan pengukuran tambahan mungkin dimasukkan dalam hasil. Unit yang tidak efisien yang diperoleh dari perhitungan merupakan hasil perhitungan dari efisiensi teknis dan alokatif.

Konsep pengukuran efisiensi teknis lainnya yang sering digunakan yaitu pengukuran efisiensi non parametrik. Pendekatan non parametrik yang umumnya digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA), dengan menggunakan metode linear programming di dalam aplikasinya. DEA mengasumsikan bahwa tidak semua entitas adalah efisien. DEA mampu menganalisis lebih dari satu input dan/atau output dengan menggunakan model linear programming yang menghasilkan nilai efisiensi tunggal untuk setiap penelitian. DEA adalah teknik berbasis program linier untuk mengukur efisiensi unit organisasi yang dinamakan Decision Making Units (DMU).

(34)

20

DMU adalah organisasi-organisasi atau entitas-entitas yang akan diukur efisiensinya secara relatif terhadap sekelompok entitas lainnya yang homogen. Homogen dapat diartikan sebagai kondisi dimana input dan output dari DMU yang dievaluasi harus sama/sejenis. DMU dapat berupa entitas komersial maupun publik, seperti bank komersial atau pemerintah, sekolah swasta atau negeri, rumah sakit, dan sebagainya. DEA pada dasarnya membentuk sebuah garis batas (frontier) dengan menggunakan unit-unit yang efisien. Kemampuan normatif lainnya dari metode DEA adalah dapat menyarankan seberapa besar perbaikan yang diperlukan dari setiap DMU yang tidak efisien dari sisi penggunaan input produksi.

Konsep Pengukuran Efisiensi Teknis berorientasi Input dalam Model DEA

Efisiensi teknis berorientasi input digunakan untuk mengetahui jumlah input yang dapat dikurangi secara proporsional tanpa mengubah kuantitas output yang dihasilkan. TE (technical efficiency) dan AE (allocative efficiency) berorientasi input berdasarkan Coelli et al. (1998) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 menggambarkan unit isokuan dari perusahaan yang efisien (SS’). Jika perusahaan menggunakan satu set input, yang didefinisikan oleh titik A, untuk menghasilkan satu unit output, maka inefisiensi teknis dari perusahaan adalah jarak DA. Titik ini menunjukkan jumlah dimana semua input secara proporsional dikurangi tanpa menyebabkan adanya penurunan output. Hal ini juga dapat dinyatakan dalam persentase dengan rasio DA/0A. Rasio ini merupakan persentase dimana semua input dikurangi untuk mencapai output yang efisien secara teknis. Efisiensi teknis (TE) dari suatu DMU umumnya diukur dengan rasio seperti pada Persamaan 1.

TEi= 0D/0A ………(1)

Dimana : TEi adalah efisiensi teknis berorientasi input

Apabila nilai yang dihasilkan adalah satu, maka nilai ini menunjukkan bahwa suatu DMU sepenuhnya efisien secara teknis. Titik D pada Gambar 3 menunjukkan titik dimana suatu DMU efisien secara teknis karena terletak pada kurva isokuan yang efisien. Jika harga input diketahui, yang diwakili oleh CC’ (kemiringan isocost) pada Gambar 3, maka memungkinkan untuk dilakukan pengukuran efisiensi alokatif.

Nilai efisiensi alokatif (AE) dari DMU yang beroperasi pada titik A didefinisikan sebagai rasio seperti pada Persamaan 2.

AEi = 0B/0D ………(2)

Dimana : AEi adalah efisiensi alokatif berorientasi input

(35)

21

EEi= 0B/0A ……….………(3)

Dimana : EEi adalah efisiensi ekonomi berorientasi input

Titik BA juga dapat menggambarkan pengurangan biaya. Nilai efisiensi ekonomi (EE) juga dapat dihitung dengan Persamaan 4.

TEi x AEi= ( 0D/0A ) x ( 0B/0D ) ………...………(4)

Perhitungan tersebut dapat dilakukan karena nilai efisiensi teknis (TE) dan efisiensi alokatif (AE) akan memberikan nilai efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Pengukuran efisiensi teknis (TE), efisiensi alokatif (AE), dan efisiensi ekonomi (EE) berkisar antara nol sampai satu.

Variable Return to Scale dalam Model DEA

Dalam perkembangannya, DEA mengalami modifikasi yang pertama kali diperkenalkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper pada tahun 1984, sehingga modelnya dinamakan model BCC DEA. Berbeda dengan model CCR yang menggunakan asumsi constant return to scale (CRS), model BCC menggunakan asumsi variable return to scale (VRS). Model DEA CRS hanya tepat digunakan ketika suatu DMU berada dalam kondisi skala optimal. Ada beberapa kondisi yang membuat DMU tidak beroperasi pada skala yang optimal, yaitu akibat persaingan tidak sempurna, kendala keuangan, dan lain-lain. Asumsi CRS mensyaratkan suatu DMU mampu menambah atau mengurangi input dan output-nya secara linier tanpa mengalami kenaikan atau penurunan nilai efisiensi. Sedangkan asumsi VRS tidak mengharuskan perubahan input dan output suatu DMU berlangsung secara linier, sehingga diperbolehkan terjadinya kenaikan (increasing returns to scale/IRS) dan penurunan (decreasing returns to scale/DRS) nilai efisiensi (Cooper et al. 2002). Model ini memungkinkan perhitungan efisiensi teknis tanpa efek scale efficiencies (SE). Efek ini dapat terjadi jika model CRS digunakan ketika tidak semua perusahaan berada pada skala yang optimal dan menyebabkan perhitungan efisiensi teknis dipengaruhi oleh efek ini.

Model VRS memperhitungkan nilai variasi efisiensi sehubungan dengan ukuran skala DMU (Decision Making Unit). Pengukuran efisiensi setiap DMU hanya mengacu kepada DMU yang memiliki ukuran yang sama. Oleh karena itu, DMU yang tidak efisien merupakan hasil yang diperoleh dari pengukuran dengan DMU yang memiliki ukuran yang sama. Hal ini tidak diterapkan dalam model CRS. Oleh karena itu, dalam model DEA VRS, suatu DMU dapat dibandingkan dengan DMU yang lebih besar atau lebih kecil daripada ukuran DMU tersebut.

Secara matematis, perhitungan efisiensi teknis menggunakan model variable return to scale dinyatakan sebagai berikut:

Min �,� �,

− �� + �� ≥ ,

��� − �� ≥ ,

I ′� =

(36)

22

Dimana I1 adalah vektor Ix1, θ adalah pengurangan proporsional input yang mungkin untuk DMU ke-i dengan asumsi output konstan, dan λ adalah bobot dari DMU ke-j.

Dalam perhitungan efisiensi teknis menggunakan model VRS, nilai dari skala efisiensi untuk masing-masing perusahaan akan diperoleh. Nilai ini diperoleh dari rasio nilai efisiensi teknis, baik dengan menggunakan DEA CRS ataupun DEA VRS. Berdasarkan perhitungan ini, diketahui bahwa nilai efisiensi teknis pada model DEA CRS meliputi dua komponen, satu karena skala inefisiensi dan yang lainnya akibat inefisiensi teknis murni. Suatu DMU inefisien jika terdapat perbedaan dalam nilai efisiensi teknis CRS dan VRS yang diperoleh. Hal ini juga dapat terjadi jika DMU hanya memiliki inefisiensi teknis murni apabila nilai yang diperoleh dalam CRS dan VRS sama dan dipastikan bahwa nilai efisiensi teknis lebih kecil dari satu (Coelli et al. 1998).

Slack

DMU yang efisien memungkinkan peneliti untuk memperkirakan efficiency frontier dari data yang diperoleh. Berdasarkan hal tersebut, DMU yang berada pada efficiency frontier merupakan DMU yang efisien dan sebaliknya DMU yang tidak berada pada efficiency frontier merupakan DMU yang inefisien. Slack menunjukkan tingkat inefisiensi dari DMU yang tidak efisien dan menunjukkan adanya kinerja yang kurang baik dari sisi input, output, atau keduanya. Jika input yang digunakan tidak efisien, maka dikenal dengan istilah input slack, sedangkan apabila output yang dihasilkan masih belum efisien, maka dikenal dengan istilah output slack. Secara umum, input slack adalah pengurangan secara proporsional input yang digunakan agar unit tersebut mencapai titik efisien dimana DMU yang paling efisien berada. Konsep ini diilustrasikan pada Gambar 4, dengan asumsi suatu DMU menggunakan dua input (x1 dan x2) untuk memproduksi satu output (y). Gambar 4 menunjukkan adanya dua DMU yang efisien, yaitu C dan D, yang menjadi efficiency frontier, serta dua DMU yang tidak efisien, yaitu A dan B. Efisiensi teknis dari DMU A dan B masing-masing yaitu 0A’/0A dan 0B’/0B (Farrell 1957). Namun, titik A masih dapat mengurangi input-nya yaitu X2

Gambar

Tabel 1 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi jagung menurut wilayah, 2011-2013a
Tabel 2 Produktivitas jagung di enam provinsi sentra jagung di Indonesia tahun 2010-2013a
Gambar 1 Produktivitas jagung manis per hektar dari petani responden pada tahun
Gambar 3  Efisiensi Teknis dan Efisiensi Alokatif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Begitu pula Ibn al-As\i>r al-Ka>tib (W:637H) memberi arti dan makna yang sama antara dua kata tersebut. Adapun definisi tasybi>h, dari sekian banyak ilmuwan yang

Selanjutnya hasil wawancara dengan Staf Bidang Perindustrian Kabupaten Bireuen, dala m pengembangan industri kelapa secara terpadu Staf Bidang Perindustrian

impor dan dikelola oleh Bank Indonesia (Jimmy Benny 2003:1406).. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui Kurs Dollar Amerika, Pendapatan Perkapita, dan Cadangan

Untuk mengetahui perbandingan penggunaan limbah gypsum dengan semen sebagai bahan stabilisasi tanah lempung ditinjau dari parameter hasil uji konsolidasi,

Hal tersebut mengingat bahwa ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah cair industri tapioka yang diperkaya dengan penambahan glukosa dan amonium sulfat sebagai media alternatif starter bakteri asam laktat

Siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran sebanyak 4 siswa, yang tuntas 20 siswa dengan persentase ketuntasan belajar 83,3% Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan pembelajaran

Standar Operasi Pengolahan (SOP) yang biasa disebut juga Good Manufacturing Practices juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan PMMT/HACCP. Standar