PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN DAN TEPUNG
TULANG IKAN LELE DUMBO (
Clarias gariepenus)
DALAM
MAKANAN BAYI PENDAMPING ASI
LILIS WIDIYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Konsentrat Protein dan Tepung Tulang Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus) dalam Makanan Bayi Pendamping ASI adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2011
Lilis Widiyawati
ABSTRACT
LILIS WIDIYAWATI. The Using of Fish protein Concentrate and Fishbone
Flour Made from Catfish (Clarias gariepenus) in Making Infant Food.
Supervised by JOKO SANTOSO and KOMARIAH TAMPUBOLON.
Low intake protein is the one problem nutrition in Indonesia especially for infant growth. Using Clarias gariepienus oversizes for protein resources can improve its economic value. Non edible portion from Clarias gariepienus
oversizes (bones) can used as calcium sources. Fish protein concentrate (FPC) and fishbone flour can used as protein and calcium resources respectively in infant food formula. The research was carried out to determine: (1) the best extraction method (extraction time and extraction repeating phase) to produce FPC, (2) the best method (wet and dry method) to produce fishbone flour and (3) the best infant food formulas. The most effective extraction method was 30 minutes with 3 times of repeating, produced type B of FPC. The profile of essential amino acid of FPC was adequate lysin, with histidin was a limiting essential amino acid. Fishbone flour that produced from wet method showed higher yield and total calcium than dry method. The infant food formulas B1 (75% skim milk : 25% FPC + 1g fishbone) and C1 (50% skim milk : 50% FPC + 1g fishbone) produced the best organoleptic properties. Both formulas had lower water and fat absorption and higher bulk density incomparison to commercial product. The infant food formulas have fulfilled WHO/FAO infant food standard based on proximate compotion. The protein digesbility of formulas B1 and C1 were 92,86% and 92 03% respectively. The profile of essential amino acid of formulas B1 and C1 was adeguate lysin with no was a limiting essential amino acid.
RINGKASAN
LILIS WIDIYAWATI. Pemanfaatan Konsentrat Protein Ikan dan Tepung Tulang Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus) dalam Makanan Bayi Pendamping ASI. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan KOMARIAH TAMPUBOLON.
Kekurangan Kalori Protein (KKP) pada bayi merupakan salah satu masalah gizi yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Salah satu cara mengatasinya dengan pemberian makanan bayi pendamping ASI (MP-ASI) berprotein tinggi. Konsentrat protein ikan merupakan bahan pangan berbentuk tepung dari ikan yang ditujukan untuk konsumsi manusia mempunyai kandungan protein tinggi yang dibuat dengan cara menghilangkan sebagian besar kadar lemak dan airnya. Ikan lele merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang merupakan komoditas budidaya ikan air tawar yang terus dikembangkan dan produksinya meningkat secara signifikan setiap tahun, dimana, 10% tiap produksinya merupakan ikan lele dumbo afkir. Ikan lele dumbo afkir adalah ikan indukan lele dumbo yang sudah tidak produktif, sejauh ini pemanfaatannya masih kurang sehingga ikan lele dumbo afkir dapat diproduksi menjadi konsentrat protein ikan dengan memanfaatkan bagian dagingnya dan sekaligus memanfaatkan limbah tulangnya dengan memproduksi menjadi tepung tulang ikan sebagai sumber kalsium yang nantinya dapat diaplikasikan kedalam MP-ASI untuk mengatasi masalah KKP, sesuai dengan syarat FAO (1991), yaitu mengandung protein minimal 15% dan kalsium 533,33 mg.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menentukan metode terbaik pembuatan KPI lele dumbo afkir dengan faktor lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi serta mempelajari karakteristik fisik, profil asam amino dan daya cerna protein
in vitro, (2) menentukan metode penepungan terbaik (metode basah dan kering) pada pembuatan tepung tulang ikan lele dumbo afkir serta mempelajari karakteristik fisik, dan kimia hasil metode terbaik, (3) menentukan formula terbaik hasil substitusi KPI lele dumbo afkir terhadap susu skim dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir pada MP-ASI dan karakteristik fisik, kimia, profil asam amino dan daya cerna protein in vitro serta membandingkan formula terpilih dengan produk komersial.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu pembuatan KPI lele dumbo afkir (1), pembuatan tepung tulang ikan lele dumbo afkir (2), formulasi MP-ASI (3). Penelitian tahap 1 menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu lama ekstraksi (20, 30, 40 menit) dan pengulangan tahapan ekstraksi (1, 2, 3, 4 kali). Penelitian tahap 2 menggunakan rancangan percobaan t-student
menghasilkan KPI lele dumbo afkir tipe B sesuai dengan FAO (1976) kadar lemak lebih dari 0,75%, yaitu1,24%, kadar protein lebih dari 67%, yaitu 81,60%, dengan kadar air yaitu 8,65% kurang dari 10%, rendemen 13,76%, bau 3,07 dan derajat putih 36,15%, daya serap air 3,56 g/mL, daya serap minyak 2,49 g/mL, densitas kamba 0,11 g/mL, daya cerna protein in vitro 99,35%, lisin merupakan asam amino esensial yang mempunyai jumlah tertinggi dan dan asam amino histidin sebagai asam amino pembatas. Nilai asam amino lisin tersebut telah memenuhi persyaratan KPI menurut FAO (1991), yaitu minimal 6,7%. Hasil penelitian tahap 2 menunjukkan metode penepungan basah dipilih sebagai metode terbaik berdasarkan jumlah total kalsium dan rendemen tinggi, yaitu masing-masing 4440 mg/100 g kalsium dan 88,14% tepung tulang lele dumbo afkir. Karakteristik tepung tulang ikan lele dumbo afkir metode terbaik, yaitu daya serap air 1,80 g/mL, daya serap minyak 2,03 g/g, densitas kamba 1,02 g/mL. Komposisi proksimat tepung tulang ikan lele afkir, yaitu kadar air 8,79% abu 72,77% protein 26, 41% lemak 5,53%, pH 8.
Hasil penelitian tahap 3 formula terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik adalah MP-ASI formula B1 (susu skim 75% : KPI 25% + tepung tulang 1 g) dan MP-ASI formula C1 ((susu skim 50% : KPI 50% + tepung tulang 1 g). Analisis karakteristik fisik menunjukkan bahwa produk komersial memiliki sifat daya serap air dan daya serap minyak lebih tinggi dibandingkan dengan formula kontrol, dan formula terpilih, akan tetapi memiliki densitas kamba yang lebih rendah dari formula terpilih. Kadar protein formula terpilih telah memenuhi persyaratan FAO (1991), yaitu minimal 15% serta kadar lemak formula B1 telah memenuhi persyaratan FAO (1991) 10-20%. Berdasarkan skor asam amino esensial formula terpilih memiliki kelebihan pada asam amino lisin dan tidak mempunyai nilai asam amino pembatas. Nilai daya cerna protein in vitro formula B1 dan C1 berturut-turut adalah sebesar 92,86% dan 92,03%.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PEMANFAATAN KONSENTRAT PROTEIN DAN TEPUNG
TULANG IKAN LELE DUMBO (
Clarias gariepenus
) DALAM
MAKANAN BAYI PENDAMPING ASI
LILIS WIDIYAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Pemanfaatan Konsentrat Protein dan Tepung Tulang Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus) dalam Makanan Bayi Pendamping ASI
Nama : Lilis Widiyawati
NRP : C 351080151
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ketua
Ir. Komariah Tampubolon, M.S Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penelitian ini yang berjudul: Pemanfaatan Konsentrat Protein dan Tepung Tulang Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepenus) dalam Makanan Bayi Pendamping ASI.
Terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Komariah Tampubolon, MS sebagai anggota komisi yang telah
mencurahkan waktu dan perhatian untuk membimbing dan memotivasi penulis.
2. Ir Heru Sumaryanto, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberi masukan dan saran.
3. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi., M.Si. selaku Ketua Program Studi yang tiada henti
memotivasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi di PS. Teknologi Hasil Perairan.
4. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP 2008, Kak Sil, Kak Nikma, Hafi, Soli, Uky, Teh Is, Bang Ridho, Erika dan Raspiana untuk kebersamaannya yang sangat bermakna bagi penulis.
5. Rekan-rekan seperjuangan S2 THP, khususnya Vivin, Fatma, Pak Untung, Mbak Vita, Mbak Mutia, Bu Jul, Pak Sidkun, Mbak Uci, Tyas, Fikri, dan Eka
yang telah membantu penulis selama menyelesaikan studi di THP.
6. Segenap karyawan serta staf THP IPB yang telah membantu penyelesaian studi penulis.
Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis mengakui bahwasannya penelitian ini masih ada kekuranganya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran untuk penyempurnaan dikemudian hari. Akhir kata, penulis mengharapkan karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya.
Bogor, Oktober 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 11 Agustus 1980 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Kasiban Makrus dan Siti Muarofah. Penulis merupakan istri dari Imam Basuki dan telah dikarunia dua orang putri Elok Wilujeng HZ dan Falihah Mumtaz Ilmi.
Penulis menyeleseikan pendidikan dasar hingga menengah atas di Kabupaten Kediri Jawa Timur. Penulis lulus dari MAN 3 Kediri tahun 1999 kemudian melalui jalur UMPTN penulis diterima pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya, dan menyelesaikannya pada tahun 2006. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor dengan bantuan Program Hibah Pendirian Politeknik Baru dari Politeknik Tanjung Balai, Asahan.
DAFTAR ISI
2.3 Tepung Tulang Ikan dan Kalsium ... 13
2.4 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ... 15
2.4.1 Bahan MP-ASI ... 17
2.4.2 Karakteristik makanan bayi pendamping ASI ... 17
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 21
3.2 Bahan dan Alat ... 21
3.3 Tahapan Penelitian ... 22
3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 22
3.3.2 Penelitian lanjutan ... 25
3.4 Prosedur analisis ... 27
3.4.1 Rendemen (Hadiwiyoto 1993)... 27
3.4.2 Uji organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1982) ... 27
3.4.3 Analisis daya serap air (Beuchat 1977) ... 28
3.4.4 Analisis daya serap minyak (Beuchat 1977) ... 28
3.4.5 Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) ... 28
3.4.6 Derajat putih (Faridah et al.2006) ... 28
3.4.7 Analisis kadar air (AOAC 1995) ... 29
3.4.8 Analisis kadar abu (AOAC 1995) ... 29
3.4.9 Analisis kadar lemak (AOAC 1995) ... 30
3.4.10 Analisis kadar protein (AOAC 1995) ... 30
3.4.11 Analisis kadar karbohidrat (By Different) ... 31
3.4 12 Pengukuran nilai pH (AOAC 1995) ... 31
3.4.13 Daya cerna protein in vitro (Hsu et al. 1977) ... 32
3.4.14 Analisis komposisi asam amino (AOAC 1995) ... 32
3.4.15 Analisis total Kalsium (Reitz et al. 1987) ... 33
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Proksimat lele Dumbo Afkir ... 37 4.2 Karakteristik KPI Lele Dumbo Afkir ... 37 4.2.1 Kadar lemak KPI lele dumbo afkir ... 38 4.2.2 Kadar protein KPI lele dumbo afkir ... 39 4.2.3 Derajat putih lele dumbo afkir ... 41 4.2.4 Bau KPI lele dumbo afkir ... 42 4.2.5 Rendemen KPI lele dumbo afkir ... 44 4.2.6 Penentuan metode pembuatan KPI lele dumbo afkir ... 45 4.2.7 Karakteristik KPI lele dumbo afkir ... 46 4.3 Karakteristik Tepung Tulang Lele Dumbo Afkir ... 49 4.3.1 Total kalsium tepung tulang lele dumbo afkir ... 50 4.3.2 Rendemen tepung tulang lele dumbo afkir ... 51 4.3.3 Karakteristik tepung tulang ikan lele dumbo afkir terbaik ... 51 4.4 Penelitian Lanjutan ... 54 4.4.1 Uji organoleptik skoring ... 55 4.4.2 Pemilihan formula MP-ASI terpilih ... 62 4.4.3 Karakteristik fisik formula MP-ASI terpilih ... 62 4.4.4 Komposisi gizi formula MP-ASI terpilih ... 66 4.4.5 Profil asam amino MP-ASI terpilih ... 69 4.4.6 Daya cerna protein in vitro MP-ASI terpilih ... 71 5 KESIMPULAN
5.1 Simpulan ... 73 5.2 Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi gizi ikan lele dumbo ... 11
2 Tabel spesifikasi KPI (FAO 1976) ... 12
3 Angka kecukupan gizi kalsium ... 15
4 Standar makanan tambahan bayi (FAO 1991) ... 18
5 Komposisi kimia ASI ... 19
6 Formula MP-ASI ... 26
7 Perlakuan formula MP-ASI ... 26
8 Komposisi proksimat ikan lele dumbo afkir ... 37
9 Karakteristik fisiko-kimia KPI lele dumbo afkir metode terbaik ... 46
10 Komposisi asam amino esensial KPI lele dumbo afkir metode terbaik . 49
11 Katakteristik tepung tulang lele dumbo afkir metode terbaik ... 52
12 Komposisi gizi MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan
MP-ASI produk komerisal ... 67
13 Profil asam amino esensial MP-ASI formula kontrol, formula terpilih
dan MP-ASI produk komerisal 70
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran penelitian ... 7
2 Ikan lele dumbo ... 10
3 Diagram alir penelitian pendahuluan ... 23
4 Diagram alir pembuatan KPI lele dumbo afkir modifikasi
Suzuki (1981) ... 24
5 Diagram alir pembuatan tepung tulang ikan lele dumbo afkir
modifikasi Kaya et al. 2008. ... 25 6 Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi
terhadap kadar lemak KPI lele dumbo afkir. Lama ekstraksi: 20 menit 30 menit 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 38
7 Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar protein KPI lele dumbo afkir Lama ekstraksi: 20 menit 30 menit 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... . 40
8 Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi terhadap derajat putih KPI lele dumbo afkir Lama ekstraksi: 20 menit 30 menit 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 42
9 Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi terhadap bau KPI lele dumbo afkir Lama ekstraksi: 20 menit 30 menit 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)... 43
10 Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi terhadap rendemen KPI lele dumbo afkir Lama ekstraksi: 20 menit
30 menit 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)... 45
11 Histogram rerata total kalsium tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b)
menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) 50
12 Histogram rerata rendemen tepung tulang ikan lele dumbo afkir Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 51
13 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kehalusan dalam mulut. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%),E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang ikan lele dumbo afkir; 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 56
14 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap kelengketan dalam mulut. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang ikan lele dumbo afkir; 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)... 57
15 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor
kemudahan ditelan. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%),E (100%:0%). Konsentrasi
tepung tulang ikan lele dumbo afkir; 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 58
16 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap bau.
Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%),E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang
ikan lele dumbo afkir; 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 59
17 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap rasa.
Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%). C (50%:50%), D (75%:25%),E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang
ikan lele dumbo afkir; 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 60
18 Histogram perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap kesukaan secara keseluruhan. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%),E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang ikan lele dumbo afkir; 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) ... 61
19 Histogram rerata perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap daya serap air. Substitusi (KPI : susu skim + tepung tulang ikan lele dumbo afkir);
A0 (kontrol) (0%:100% + 0 g), B1 (25%:75% + 1 g), C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip
berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)... 63
C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)... 64
21 Histogram rerata perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap densitas kamba. Substitusi (KPI : susu skim + tepung tulang ikan lele dumbo afkir); A0 (kontrol) (0%:100% + 0 g), B1 (25%:75% + 1 g), C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)... 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lembar penilaian uji skoring bau KPI lele dumbo afkir ... 83
2 Lembar penilaian uji organoleptik MP-ASI... 84
3 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai kadar lemak KPI lele dumbo afkir ... 86
4 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai kadar protein KPI lele dumbo afkir ... 88
5 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan pada nilai derajat putih KPI lele dumbo afkir ... 90
6 Rekapitulasi data organoleptik bau KPI lele dumbo afkir ... 92
7 Analisis ragam rendemen KPI lele dumbo afkir ... 94
8 Profil asam amino KPI lele dumbo afkir metode terbaik ... 96
9 Analisis uji t-student dan uji lanjut total kalsium tepung tulang ikan
lele dumbo afkir ... 97
10 Analisis uji t-student dan uji lanjut rendemen tepung tulang ikan lele dumbo afkir ... 98
11 Analisis Kruskal Wallis kehalusan dalam mulut formula MP- ASI ... 99
12 Analisis Kruskal Wallis kelengketan dalam mulut formula MP-ASI ... 100
14 Analisis Kruskal Wallis kemudahan ditelan dalam mulut formula
MP-ASI ... 101
14 Analisis Kruskal Wallis bau formula MP-ASI ... 102
15 Analisis Kruskal Wallis rasa formula MP-ASI ... 103
16 Analisis Kruskal Wallis kesukaan secara keseluruhan formula
MP-ASI ... 104
17 Analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan terhadap daya serap air MP-ASI formula kontrol, terpilih dan produk komersial ... 105
18 Analisis ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan terhadap daya serap minyak MP-ASI formula kontrol, terpilih dan produk komersial ... 106
19 Analisis ragam (ANOVA) dan uji Duncan desitas kamba MP-ASI
formula kontrol, terpilih dan produk komersial ... 107
20 Analisis ragam (ANOVA) proksimat formula MP-ASI terpilih ... 108
21 Profil asam amino MP-ASI formula kontrol, terpilih dan produk
komersial ... 111
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangKekurangan kalori protein (KKP) merupakan salah satu masalah gizi yang
masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Masa-masa rentan terjadinya masalah KKP
ini adalah pada usia bayi dan (bawah lima tahun) balita. Asupan gizi protein pada
usia bayi sangat penting sehingga memerlukan perhatian khusus karena asupan
gizi protein pada periode tersebut sangat berperan dalam proses tumbuh kembang
otak dan mental, selain juga berfungsi untuk mendukung pertumbuhan badannya.
Asupan gizi protein ini salah satunya dapat diberikan lewat makanan bayi
pendamping ASI (MP-ASI).
Ikan sebagai salah satu sumber protein dengan kandungan protein tinggi dan
profil asam amino esensial yang lengkap dapat menjadi solusi untuk
menanggulangi kasus defisiensi protein di Indonesia, yaitu dengan memproduksi
ikan dalam bentuk konsentrat protein ikan (KPI). Windsor (2008) mendefinisikan
KPI adalah tepung ikan yang ditujukan khusus untuk konsumsi manusia (fish flour) dan diproduksi dengan menghilangkan sebagian besar kandungan lemak dan air yang terdapat pada ikan sehingga KPI memiliki kandungan protein tinggi.
Kandungan protein yang tinggi dalam KPI sangat dibutuhkan dalam formulasi
MP-ASI.
Ikan lele merupakan salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang
terus dikembangkan dan produksinya meningkat secara signifikan setiap tahun.
Produksi ikan lele nasional pada tahun 2009 sebesar 200.000 ton, dan ditargetkan
meningkat 270.600 ton pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 meningkat menjadi
366.000 ton (DKP 2009). Jenis ikan lele yang populer dimasyarakat adalah lele
dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini dikarenakan ikan lele dumbo mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ikan lele lokal. Kelebihan tersebut
diantaranya, yaitu pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi
terhadap lingkungan yang tinggi, mempunyai rasa daging yang enak dan
kandungan gizi yang tinggi (Khairuman dan Khairul 2002). Salah satu
melebihi ukuran konsumsi, yang lebih dikenal dengan sebutan lele dumbo afkir
(induk ikan lele dumbo yang sudah tidak produktif).
Ikan lele dumbo afkir mencapai ukuran 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele
dumbo afkir ini jumlahnya mencapai 10% dalam tiap siklus produksinya. Hal ini,
dapat mengakibatkan kerugian bagi para pembudidaya akibat dari banyaknya ikan
lele dumbo afkir yang tidak laku dijual (Trobos 2008). Ikan lele dumbo afkir
tersebut sejauh ini pemanfaatannya masih kurang padahal mempunyai rendemen
yang tinggi, sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi konsentrat
protein ikan. Beberapa penelitian tentang KPI dari ikan air tawar yang telah
dilakukan antara lain oleh Sumaryanto et al. (1996) yang membuat KPI dari ikan nila merah dan mengevaluasi sifat fungsional dan nilai gizinya dengan hasil KPI
tipe A; Santoso et al. (2008) meneliti pengaruh lama dan pengulangan ekstraksi terhadap karakteristik fisiko–kimia KPI nila hitam dengan hasil KPI tipe B.
Kepala dan tulang ikan lele dumbo afkir sebagai hasil samping dari pembuatan
KPI lele dumbo afkir dapat dimanfaatkan menjadi tepung tulang ikan sumber
kalsium. Kalsium terutama pada tulang ikan membentuk kompleks dengan fosfor
dalam bentuk apatit atau trip-kalsium yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh,
yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982). Beberapa penelitian tentang tepung tulang
ikan antara lain telah diteliti oleh Thalib (2009) yang meneliti pemanfaatan tepung
tulang mandidihang (Thunus albacores) sebagai sumber kalsium dan fosfor serta penelitian Kaya et al. (2008) yang meneliti metode pembuatan tepung tulang ikan patin dengan hasil metode basah sebagai metode terbaik untuk pembuatan tepung
tulang ikan.
Khususnya bagi bayi, protein dan kalsium sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan tubuh serta perkembangan otak bayi. Protein ikan sangat
representatif untuk dimanfaatkan sebagai makanan bayi karena mempunyai
beberapa kelebihan antara lain kemudahan dicerna dan mengandung asam amino
esensial yang diperlukan tubuh manusia (Khasanah 2008). Kalsium pada bayi
diperlukan sebagai penunjang perkembangan fungsi motorik agar lebih optimal
antara lain penyusun tulang dan gigi, penghantar impuls syaraf, produksi dan
aktifitas enzim serta hormon (WNPG 2004). Tingginya kandungan protein dan
dibuat menjadi KPI dengan memanfaatkan bagian dagingnya (edible portion) dan memanfaatkan limbah tulang ikan (non-edible portion) dapat dibuat menjadi tepung tulang. Kedua produk antara yang dihasilkan dari ikan lele dumbo afkir
selanjutnya diaplikasikan dalam formulasi makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Penelitian tentang pemanfaatan KPI dalam formulasi MP-ASI antara lain
telah dilakukan oleh Rieuwpassa (2005) yang membuat biskuit konsentrat protein
ikan teri dan probiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi
IgA dan status gizi anak balita; Santoso et al. (2009) yang meneliti pengaruh substitusi susu skim dengan KPI nila hitam (Oreochromis niloticus) dalam makanan bayi sesuai persyaratan FAO (1991). Sejauh ini, pemanfaatan KPI lele
dumbo afkir sebagai pensubstitusi susu skim dalam MP-ASI dan sekaligus
dilakukan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir dalam produk
makanan bayi pendamping ASI belum pernah dilakukan, sehingga diharapkan
substitusi KPI lele dumbo afkir dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo
afkir dapat menghasilkan MP-ASI sesuai dengan syarat FAO (1991), yaitu
mengandung protein minimal 15% dan kalsium 533,33 mg.
Ketentuan yang harus dipenuhi oleh makanan pendamping ASI secara
umum, yaitu mengandung seluruh komponen gizi yang dibutuhkan oleh bayi,
bersifat mudah dicerna, disukai (diterima secara organoleptik) dan praktis dalam
penyajiannya (Zakaria 1999). Pemberian MP-ASI dengan substitusi KPI dan
penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir pada bayi diharapkan dapat
mendukung pertumbuhan bayi dan membiasakan bayi dengan berbagai bentuk
makanan yang mempunyai nilai gizi dan kemudahan dicerna.
1.2 Rumusan Masalah
Pemanfaatan lele dumbo afkir selama ini belum dilakukan secara optimal
dan berkesinambungan. Hal ini, terkait dengan ukuran lele dumbo afkir yang
cukup besar sehingga kurang diminati dipasaran. Ikan lele dumbo afkir memiliki
kandungan protein tinggi, sehingga dapat diproduksi menjadi konsentrat protein
(KPI) dan limbah tulangnya dapat diproduksi menjadi tepung tulang ikan lele
Dengan demikian, ikan lele dumbo afkir dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif sumber protein dan kalsium hewani dalam formulasi MP-ASI.
Potensi yang bernilai tinggi tersebut dapat membantu masyarakat
khususnya bagi bayi (6-24 bulan) untuk mengurangi masalah kurang gizi dalam
hal pemenuhan kebutuhan protein dan kebutuhan kalsium bagi tubuh. Oleh karena
itu, sebagai tahap awal dilakukan penelitian tentang pemanfaatan ikan lele afkir
untuk diproduksi menjadi KPI dan limbahnya menjadi tepung tulang yang yang
selanjutnya dapat diaplikasikan ke produk pangan MP-ASI. Produksi KPI lele
dumbo afkir tersebut perlu diarahkan untuk menghasilkan KPI yang bermutu
tinggi mempunyai karakteristik berbau ikan lemah, berkadar protein minimal
67,5% dan kandungan lemak maksimal 0,75% (Windsor 2008). Untuk
mendapatkan tepung KPI bermutu tinggi tersebut, maka perlu dikembangkan
penelitian yang berkaitan dengan proses penghilangan lemak dan air dengan cara
ekstraksi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses ekstraksi antara lain
adalah tahapan pengulangan ekstraksi dan lama ekstraksi, sedangkan untuk
mendapatkan tepung tulang dilakukan dengan 2 metode, yaitu dengan metode
penepungan basah (presto) dan metode penepungan kering (oven). Penentuan
formula MP-ASI terpilih berdasarkan uji organoleptik dengan perlakuan substitusi
KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Formula MP-ASI
terpilih dikarakterisasi lebih lanjut sifat fisik kimianya dan dibandingkan dengan
produk komersial.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
(1) Menentukan metode terbaik pada pembuatan KPI berbahan baku ikan lele
dumbo afkir dengan faktor lama dan pengulangan ekstraksi, serta
mempelajari karakteristik fisik, profil amino dan daya cerna protein in vitro
KPI terbaik.
(2) Menentukan metode penepungan terbaik pada pembuatan tepung tulang
berbahan ikan lele dumbo afkir dengan metode basah dan metode kering,
(3) Menentukan formula terpilih hasil substitusi KPI lele dumbo afkir terhadap
susu skim dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir pada MP-ASI
dan karakteristik fisik daya cerna protein in vitro, profil asam amino serta membandingkan MP-ASI formula terpilih dengan MP-ASI produk komersial.
1.4Hipotesis
(1) Metode pembuatan KPI lele dumbo afkir dengan perlakukan pengulangan
ekstrakasi dan lama ekstraksi serta interaksinya akan berpengaruh terhadap
kualitas KPI yang dihasilkan.
(2) Metode pembuatan tepung ikan lele dumbo afkir dengan metode basah dan
metode kering berpengaruh terhadap kandungan kalsium tepung tulang ikan.
(3) Substitusi KPI lele dumbo afkir terhadap susu skim dan penambahan tepung
tulang ikan lele dumbo afkir berpengaruh terhadap karakteristik organoleptik,
fisik dan kimia MP-ASI.
1.5 Kerangka Pemikiran
Lele dumbo afkir merupakan indukan ikan lele dumbo yang sudah tidak
produktif lagi serta tidak laku dijual di pasaran karena ukurannya yang terlalu
besar. Ikan lele dumbo afkir biasanya hanya dimanfaatkan pada kolam-kolam
pemancingan, sehingga perlu dicari alternatif penanganan masalah ini untuk
meningkatkan nilai tambah dari ikan lele dumbo afkir.
Pemanfaatan lele dumbo afkir ini salah satu caranya, yaitu dengan
memproduksinya menjadi konsentrat protein ikan (KPI) dengan memanfaatkan
bagian dagingnya (edible portion) dan limbah tulang ikan (non-edible portion) dibuat menjadi tepung tulang ikan. Konsentrat protein ikan dan tepung tulang ikan
lele dumbo afkir yang tinggi protein dan kalsium kemudian diaplikasikan dalam
produk makanan bayi pendamping ASI (MP-ASI).
Pembuatan KPI lele dumbo afkir yang akan dilakukan dibuat berdasarkan
modifikasi metode Suzuki (1981) dengan perlakuan lama ekstraksi
(20, 30, 40 menit) dan pengulangan tahapan ekstraksi (1, 2, 3, 4 kali)
menggunakan pelarut etanol food grade. Penentuan KPI terbaik berdasarkan pada kandungan protein minimal 67,5%, kadar lemak maksimal 0,75%, derajat putih
Tepung tulang ikan lele dumbo afkir dibuat mengacu metode
Kaya et al (2008) yang dilakukan dengan dua metode, yaitu metode basah (presto) dan metode kering (oven). Tepung tulang ikan lele dumbo afkir metode terbaik
dipilih berdasarkan jumlah total kalsium dan rendemen tinggi.
Pemilihan MP-ASI sebagai produk pangan yang disubstitusi KPI dan
tepung tulang ikan lele dumbo afkir diharapkan dapat digunakan untuk asupan
gizi bagi kelompok yang rentan kurang kalori protein (KKP), yaitu bayi usia 6-24
bulan. Windsor (2008) menyebutkan bahwa KPI merupakan bahan pangan yang
dapat digunakan dalam formulasi makanan bayi. Hal ini, diperkuat oleh hasil
penelitian Santoso et al. (1996) yang berhasil membuat formulasi makanan bayi (weaning food) dari campuran tepung beras dari KPI bandeng dengan kualitas yang telah memenuhi persyaratan FAO (1976). Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
Metode kering Metode basah Ikan lele
dumbo afkir
Daging ikan
KPI protein
Limbah tulang
Tepung tulang ikan
Perlakuan:
- Lama ekstraksi (20, 30, 40 menit)
- Pengulangan ekstraksi ( 1, 2, 3, 4 kali)
KPI dengan perlakuan terbaik
Tepung tulang metode terbaik
Formulasi MP-ASI ka
KPI + tepung tulang ikan
Meningkatkan nilai tambah ikan lele dumbo afkir.
KPI lele dumbo afkir sebagai sumber alternatif pemenuhan.
kebutuhan protein dan tepung tulang ikan lele dumbo afkir sebagai alternatif pemenuhan kebutuhan kalsium.
MP-ASI kaya protein dan kalsium untuk mencegah kelompok kurang kalori protein (KKP) dan kalsium pada bayi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lele Dumbo (Clarias gariepenus)
Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting
dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah
dibudidayakan dan harganya terjangkau. Ikan lele yang banyak dibudidayakan
dan dijumpai di pasaran adalah lele dumbo (Clarias gariepenus). Ikan lele dumbo secara umum mirip dengan lele lokal, akan tetapi ikan lele dumbo memiliki
ukuran lebih besar dibandingkan dengan ikan lele lokal. Pada tahun 2005 ikan lele
dumbo menjadi salah satu komoditas perikanan unggulan pada program
revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyudin 2007).
Ikan lele dumbo termasuk jenis ikan karnivora dan termasuk hewan
scavenger, yaitu ikan yang menyukai makanan yang telah busuk dan bersifat
nocturnal karena aktif mencari makan pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Ikan lele dumbo pada siang hari lebih suka diam dalam
lubang-lubang atau tempat-tempat gelap yang terlindung (Suyanto 1999).
Ikan lele dumbo termasuk ke dalam filum Chordata, kelas pisces, subkelas
teleostei, ordo ostariophysi, subordo siluroidea, dan genus Clarias. Ikan lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak
bersisik dan mulut besar, berwarna kelabu sampai hitam serta disekitar mulut
terdapat bagian nasal, maksila, mandibula. Bagian mandibula terdapat kumis yang
dapat digerakkan dan berfungsi untuk meraba makanannya. Kulit ikan lele dumbo
berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan
bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan
sirip tunggal sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada
sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil (Suyanto 1999)
Gambar 2 Ikan lele dumbo (koleksi pribadi).
Lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai terutama
didataran rendah sampai sedikit payau. Ikan lele dumbo mempunyai alat
pernafasan tambahan yang disebut aborecent, sehingga mampu hidup dalam air yang berkadar oksigen rendah (Astawan 2007).
Protein ikan secara umum merupakan protein yang istimewa karena
berfungsi sebagai penambah jumlah protein hewani yang dikonsumsi dan sebagai
pelengkap mutu protein dalam menu makanan. Komposisi gizi ikan lele dumbo
disajikan pada Tabel 1.
2.2 Konsentrat Protein Ikan (KPI)
Menurut Windsor (2008), konsentrat protein ikan (KPI) atau fish protein concentrate (FPC) adalah bahan pangan konsumsi manusia dari hasil olahan ikan yang telah dihilangkan kandungan lemak dan airnya, sehingga memiliki
kandungan protein yang lebih tinggi. Ibrahim (2009) mendefinisikan KPI sebagai
suatu bentuk bahan pangan untuk konsumsi manusia yang dibuat dari ikan utuh
atau bagian-bagiannya, dengan cara menghilangkan sebagian besar lemak dan
airnya sehingga kandungan protein produk menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan bahan segarnya. Konsentrat protein ikan dapat dibuat dari limbah ikan
atau bagian ikan yang tidak terpakai seperti ekor, kepala, sirip dan isi perut
Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele dumbo
Asam amino* Kandungan (mg/g protein)
Lisin 50,2
Finch (1977) diacu dalam Koesoemawardani dan Nurainy (2008)
menyatakan KPI adalah produk ekstrak dari ikan dengan menggunakan pelarut
organik seperti iso propanol, metanol, etanol atau 1,2 dikloroetan dengan variasi
waktu dan suhu yang berbeda untuk menghilangkan lemak dan air, sehingga
diperoleh kadar protein yang tinggi. Proses untuk menghilangkan air dan lemak
tersebut dapat dilakukan dengan pengepresan, pengeringan atau ekstraksi. Untuk
menghasilkan KPI yang bermutu tinggi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
antara lain jenis ikan, cara ekstraksi, tahap proses dan bahan baku. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan pelarut yang digunakan untuk
memisahkan protein, yaitu memiliki efek presipitasi yang baik, aman (uapnya
tidak berbahaya) dan dapat digunakan pada suhu dingin (Scopes 1987). FAO
(1976) diacu dalam Buckle (1987) mengklasifikasikan KPI menjadi 3 tipe, yaitu
Tabel 2 Spesifikasi KPI
Komponen Tipe A Tipe B Tipe C
Kandungan protein minimum (%) 67,5 65 65 Daya cerna pepsin minimum (%) 92 92 92 Jumlah lisin minimum (%) 6,7 dari
protein
Sumber: FAO (1976) diacu dalam Buckle et al. (1987)
Pembuatan konsentrat protein ikan dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu metode lama dan metode baru. Konsentrat protein ikan yang dibuat dengan
metode lama dimulai dengan penyiangan, pencucian, pemisahan daging ikan dan
penggilingan, kemudian daging ikan dikeringkan dengan oven bersuhu 45 oC
setelah itu dilakukan penepungan. Tepung ikan kemudian diekstrak dengan
menggunakan pelarut isopropanol untuk menghilangkan kandungan lemaknya,
setelah itu disaring dan dikeringkan kembali (Astawan 1990).
Konsentrat protein yang dibuat dengan metode kedua dimulai dengan
pemisahan daging, penghancuran dan pencucian daging dengan air dingin dan
perendaman dengan larutan NaCl 0,5-1% pada pH 7,4-7,8, pengurangan lemak
dengan larutan organik pada suhu 5 oC kemudian dilakukan pengeringan dan
penepungan (Suzuki 1981). Kelebihan utama metode pembuatan KPI cara baru
dibandingkan dengan cara lama adalah kemampuan rehidrasinya yang sangat
tinggi sehingga lebih mudah untuk diolah lebih lanjut serta mempunyai kecernaan
yang sangat tinggi, yaitu hampir setara dengan protein telur (Suzuki 1981).
Kadar protein tinggi yang dikandung KPI, menjadikan KPI sangat cocok
untuk digunakan sebagai bahan suplementasi bahan pangan berprotein rendah.
Konsentrat protein ikan telah diaplikasikan ke dalam bermacam-macam bentuk
bahan pangan antara lain ditambahkan pada pembuatan biskuit (Ibrahim 2010)
2.3 Tepung Tulang Ikan dan Kalsium
Tepung tulang ikan merupakan limbah hasil pengolahan ikan (non-edible portion) yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam industri pengolahan hasil pangan. Unsur utama penyusun tulang ikan adalah kalsium, fosfat dan
bahan-bahan yang mengandung nitrogen seperti asam-asam amino pembentuk protein
kolagen. Menurut Subangsihe (1996), keberadaan kalsium dan fosfor dalam
bentuk kalsium fosfat dalam tulang ikan mencapai 14% dari total susunan tulang
ikan, sisanya merupakan unsur lain seperti magnesium, natrium dan flourida.
Malde et al. (2010) menambahkan bahwa tulang ikan kaya akan mineral kalsium dan fosfor yang keberadaannya dalam tubuh sekitar 2% (bk).
Mineral kalsium pada tulang ikan dapat dimanfaatkan dalam bidang
pangan, tetapi terlebih dahulu perlu dilakukan proses pembuatan tepung tulang
ikan. Prinsip pembuatan tepung tulang ikan dilakukan melalui beberapa tahap,
yaitu pemanasan, pengeringan dan pengecilan ukuran. Pembuatan tepung ikan
dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) dengan pengukusan, pengeringan dan
penggilingan; (2) dengan pemasakan tulang ikan dengan uap dibawah tekanan
tertentu, sehingga diperoleh tulang ikan dalam bentuk remah dan digiling; (3)
pengabuan tulang ikan dengan pembakaran (Anggorodi 1985). Martinez et al. (2000) menyatakan bahwa tulang ikan yang sudah diolah dapat dijadikan bahan
supplemen mineral untuk makanan bayi (weaning food) karena mengandung Ca dan F serta Mg.
Hampir seluruh kalsium di dalam tubuh terdapat dalam tulang yang
berperan penting dalam pembentukan struktur dan kekuatan tulang dan gigi.
Sebagian kecil kalsium (1%) berada dalam jaringan lunak, cairan ekstra sel dan
plasma yang berperan dalam metabolisme dan pengaturan dalam tubuh.
Kalsium mempunyai dua fungsi, yaitu penyusunan dan pengaturan.
Kalsium bersama fosfor berperan sebagai penyusun utama tulang dan gigi.
Kalsium juga berperan dalam fungsi pengaturan seperti pengaturan metabolisme
darah, penghantar impuls saraf, produksi dan aktivitas enzim, pengaturan
permiabel membran, pengaturan siklus kontraksi otot jantung dan pemeliharaan
keseimbangan dan pemeliharaan asam basa dan elektrolit. Kalsium tulang dalam
sedangkan pada struktur tulang membentuk rangka yang mampu menyangga
tubuh serta tempat bersandarnya otot sehingga memungkinkan terjadinya gerakan
tubuh (Goulding 2000).
Anak yang sedang tumbuh memerlukan kalsium sebagai pembentuk tulang
yang lebih banyak daripada orang dewasa. Kalsium diperlukan pada usia dewasa
untuk mengatur keseimbangan kalsium di tulang, sedangkan pada usia tua
kalsium diperlukan untuk mengganti kehilangan kalsium di tulang akibat proses
demineralisasi. Proses pembentukan gigi mengikuti pembentukan pola tulang,
akan tetapi perombakan kalsiumnya tidak secepat pada tulang. Hal ini,
dikarenakan adanya unsur fluor yang dapat membantu gigi lebih mudah bertahan
dari pengeroposan sehingga membuat gigi lebih keras (Almatsier 2003).
Kalsium dalam cairan tubuh hanya berkisar 1% dan beredar sebagai ion
kalsium. Ion kalsium bertanggung jawab pada kontraksi otot, pembekuan darah,
penerusan impuls syaraf, sekresi hormon dan mengaktifkan reaksi enzim (Muctadi
2008). Angka kecukupan gizi kalsium rerata perhari dapat dilihat pada Tabel 3.
Kekurangan kalsium pada orang dewasa dapat menyebabkan osteoporosis,
yaitu gangguan pada tulang yang dapat menyebabkan penurunan secara bertahap
jumlah dan kekuatan jaringan tulang. Penurunan jumlah kalsium tersebut
disebabkan oleh terjadinya proses demineralisasi, yaitu tubuh yang kekurangan
kalsium sehingga akan mengambil simpanan kalsium yang ada pada tulang dan
gigi untuk digunakan pada bagian yang kekurangan kalsium tersebut. Kekurangan
kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan pengurangan massa dan
kekerasan tulang yang sedang dibentuk. Kelebihan kalsium yang diasup dalam
tubuh dapat berpengaruh negatif terhadap penyerapan seng, besi dan mangan.
Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat kelebihan kalsium dapat
Tabel 3 Angka kecukupan gizi kalsium
2.4 Makanan Bayi Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan bayi pendamping ASI, yaitu makanan tambahan yang diberikan
kepada bayi setelah bayi berusia 6 bulan sampai bayi berusia 24 bulan. Makanan
bayi pendamping ASI harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan
gizi bayi. Peranan makanan pendamping ASI, yaitu berguna untuk menutupi dan
melengkapi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI tetapi tidak
ASI berbeda dengan makanan sapihan karena makanan sapihan diberikan ketika
bayi tidak lagi mengkonsumsi ASI (Krisnatuti dan Yenrina 2007).
Pemberian makanan pendamping ASI bertujuan untuk menambah energi
dan zat-zat gizi yang diperlukan bayi untuk perkembangan dan pertumbuhannya,
karena dengan pemberian ASI saja tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi
secara terus menerus seiring dengan pertambahan usianya. Pertumbuhan dan
perkembangan anak yang tidak normal dapat diketahui dengan cara melihat
kondisi pertambahan berat badan anak. Hal ini, disebabkan antara lain oleh asupan
makanan bayi yang hanya mengandalkan ASI atau pemberian makanan tambahan
yang kurang memenuhi syarat. Pemberian makanan tambahan selain ASI sangat
membantu bayi dalam proses belajar makan dan bertujuan untuk mengajari makan
berbagai macam jenis makanan (Krisnatuti dan Yenrina 2007).
Pemberian makanan pendamping ASI perlu memperhatikan sifat-sifat
bahan makanan yang akan digunakan dalam MP-ASI. Pembuatan makanan
pendamping untuk bayi perlu memperhatikan beberapa hal antara lain, jumlah zat
gizi yang diperlukan bayi seperti kandungan protein dan kualitasnya, energi,
lemak, vitamin, mineral dan zat tambahan lainnya. Bahan makanan seperti telur,
daging, susu dan ikan mengandung mutu protein yang lebih tinggi dibandingkan
mutu protein bahan makanan nabati seperti kacang-kacangan dan biji-bijian
(Krisnatuti dan Yenrina 2007). Makanan pendamping ASI juga harus mempunyai
sifat fisik yang sesuai dengan penerimaan bayi, yaitu penampakan dan bau yang
dapat diterima oleh bayi. Makanan pendamping ASI untuk bayi sebaiknya mudah
disiapkan dalam waktu pengolahan dan penyajian yang singkat. Pemberian
MP-ASI harus memenuhi beberapa persyaratan (Zakaria 1999), yaitu:
(1) Makanan pendamping ASI harus memberikan semua zat gizi yang diperlukan
oleh bayi selain dari pemberian ASI untuk menjamin kecukupan kebutuhan
gizi bayi serta MP-ASI harus mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat
pengatur,
(2) bayi memerlukan lebih dari dua kali makan sehari sebagai komplemen
terhadap ASI,
(3) volume makanan yang diberikan tidak boleh terlalu banyak karena kapasitas
(4) bayi yang berumur kurang dari 6 bulan perlu diberi ASI sampai 6 kali sehari,
(5) Makanan bayi pendamping ASI sebaiknya diberikan setelah bayi selesai
menyusui agar bayi tidak terhambat untuk terus menyusu secara penuh,
(6) pada permulaan pemberian MP-ASI harus diberikan dalam bentuk halus
sampai umur 9 bulan, kemudian setelah 2 tahun sedikit demi sedikit diberikan
makanan seperti orang dewasa normal karena pada masa tersebut bayi sudah
mulai menyukai makanan orang dewasa.
2.4.1 Bahan MP-ASI
Makanan pendamping ASI dalam pembuatannya perlu memperhatikan
beberapa hal, yaitu bahan-bahan pangan yang digunakan aman untuk dikonsumsi
bayi dan perlu memperhatikan cara mencampurkan bahan-bahan untuk membuat
MP-ASI tersebut. Campuran bahan pangan untuk makanan bayi menurut
(Cameron dan Hovander 1983 diacu dalam Krisnatuti dan Yenrina 2000), terdiri
dari dua jenis, yaitu campuran pertama adalah campuran dasar (basic mix), terdiri dari serealia (biji-bijian), umbi-umbian dan kacang-kacangan. Campuran bahan
ini belum memenuhi kandungan zat gizi yang lengkap sehingga masih perlu
tambahan zat gizi yang lainnya, terutama kebutuhan zat vitamin dan mineral.
Campuran yang kedua adalah campuran ganda (multi mix), terdiri dari empat kelompok bahan pangan, yaitu:
a) makanan pokok sebagai bahan utama yang merupakan sumber karbohidrat
lebih dianjurkan berupa serealia,
b) sumber protein (hewani maupun nabati) misalnya susu, daging sapi, ayam,
ikan, telur dan kacang-kacangan,
c) sumber vitamin dan mineral, berupa sayuran dan buah-buahan yang berwarna
(terutama hijau tua dan jingga),
d) sumber tambahan energi berupa lemak, minyak atau gula yang berfungsi
untuk meningkatkan kandungan energi makanan campuran.
2.4.2 Karakteristik MP-ASI
Makanan bayi pendamping ASI harus memiliki sifat-sifat fisik tertentu
selain nilai gizi yang sesuai dengan kebutuhan bayi. Sifat fisik tersebut antara lain,
akan cepat memberikan rasa kenyang pada bayi, padahal ada kemungkinan bahwa
energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi belum terpenuhi. Sifat kamba ini
terdapat pada bahan karbohidrat atau bahan yang mengandung pati tinggi seperti
serealia dan umbi-umbian (Winarno 1990).
Zat gizi lain yang dibutuhkan bayi adalah lemak. Lemak berfungsi sebagai
sumber energi dan dapat memperbaiki cita rasa (memberikan rasa gurih). Menurut
Walker dan Rolls (1994) terdapat beberapa cara untuk meningkatkan densitas
energi makanan bayi, yaitu melalui penambahan energi dengan minyak dan
penambahan gula.
Pedoman umum di dalam mengembangkan formula makanan bayi
pendamping ASI adalah komposisi energi, protein dan lemak. FAO (1991)
menetapkan standar kecukupan gizi makanan bayi pendamping ASI untuk older infant, yaitu setiap 100 g bahan produk harus mengandung 400 kkal, protein sekitar 15 g, dan lemak 10 sampai 25 g. Persyaratan standar nilai gizi secara
lengkap terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4 Standar makanan tambahan untuk bayi (per 100 gram bahan)
Komposisi gizi Jumlah per 100 g
Energi (kkal) Minimal 400
Asam linoleat (g) Minimal 1,4
Asam folat (µg) Minimal 33,3
Serat makanan (g) Maksimal 5
Sebagai acuan perbandingan antara komponen gizi yang dikandung ASI
terhadap angka kecukupan gizi bayi dapat dilihat pada Tabel 5 yang dapat
dijadikan pertimbangan pemberian makanan pendamping ASI dalam rangka
pemenuhan kebutuhan gizi harian bayi yang direkomendasikan.
Tabel 5 Komposisi kimia ASI
Komposisi gizi ASI (per 100 mL)
Air 89,7
Energi (kkal) 66-75
Protein 0,95-1,72
Lemak (g) 4,2
Laktosa (g) 7,4
Vitamin D (µg) 0,01
Vitamin C (mg) 3,8
Tiamin (mg) 0,02
Riboflavin (mg) 0,03
Niasin (mg) 0,62
Vitamin B12 (µg) 0,01
Asam folat (µg) 5,2
Kalsium (mg) 35
Besi (mg) 0,08
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Mei 2011.
Bahan baku ikan lele dumbo afkir berasal dari petani lele di daerah Parung
Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium, yaitu
Laboratorium Program Studi THP Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB
(Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Mikrobiologi dan
Biokimia Hasil Perairan dan Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan),
Laboratorium Program Studi Ilmu Pangan (Laboratorium Pengolahan dan
Biokimia Pangan dan Gizi), Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas
Peternakan dan Laboratorium Terpadu IPB.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan KPI adalah ikan lele
dumbo afkir ukuran panjang 30-50 cm dengan berat 1-3 kg dan etanol 95% (food grade). Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung tulang adalah limbah tulang ikan lele afkir berupa tulang kepala dan tulang badan hasil
pembuatan KPI lele dumbo afkir. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk
analisis antara lain standar asam amino, larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat
dan trietilamin), larutan multienzim (tripsin, kimotripsin dan peptidase) standar
kalsium HClO4, HNO3, K2SO4, selenium, H2SO4, H2O2, petroleum benzena,
NaOH, HCl.
Peralatan yang digunakan pada penelitian terdiri dari peralatan untuk
pengolahan (pembuatan KPI, tepung tulang dan MP-ASI) dan peralatan untuk
analisis. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan KPI dan tepung tulang lele
dumbo afkir serta formulasi MP-ASI adalah neraca analitik, timbangan meja,
pisau, sendok, spatula, food processor, refrigerator, kain saring, stop watch,
blender kering, panci presto dan ayakan ukuran 100 mesh. Alat-alat yang
digunakan digunakan untuk analisis adalah whiteness, neraca analitik, desikator,
chromatograpy (HPLC), atomic absorption spechtrophotometer (AAS) dan peralatan gelas.
3.3 Tahapan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan KPI dari
daging ikan lele dumbo afkir dengan perlakuan lama ekstraksi dan pengulangan
tahapan ekstraksi serta pembuatan tepung tulang ikan dari tulang kepala dan
tulang badan hasil limbah pembuatan KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan,
dengan perlakuan metode penepungan tulang, yaitu metode basah (presto) dan
metode kering (oven). Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir dilakukan uji
organoleptik, fisika dan kimia sedangkan pada tepung tulang ikan lele dumbo
dilakukan uji fisika dan kimia. Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat
pada Gambar 3.
3.3.1 Penelitian pendahuluan
(1) Pembuatan KPI lele dumbo afkir
Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir dibuat berdasarkan modifikasi
metode Suzuki (1981). Faktor yang dipelajari dalam pembuatan KPI lele dumbo
afkir adalah lama ekstraksi (20, 30, 40 menit) menggunakan pelarut etanol 95%
dengan pengulangan ekstraksi (1, 2, 3, 4 kali). Konsentrat protein ikan lele dumbo
afkir yang dihasilkan selanjutnya dianalisis dengan uji organoleptik, fisik dan
kimia. Analisis yang dilakukan meliputi bau (Soekarto dan Hubeis 1982), derajat
putih (Faridah et al. 2006), kadar protein (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), dan rendemen (Hadiwiyoto 1993). Metode pembuatan KPI lele dumbo
afkir terbaik dipilih berdasarkan bau ikan lemah, derajat putih tertinggi, kadar
protein minimal 67,5%, kadar lemak minimal 0,75%, rendemen tertinggi.
Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir terbaik yang dipilih kemudian
dikarakterisasi lebih lanjut meliputi daya serap air (Beuchat 1977), daya serap
profil asam amino (AOAC 1995) dan daya cerna in vitro (Hsu et al. 1977). Tahapan proses pembuatan KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3 Diagram alir penelitian pendahuluan.
(2) Pembuatan tepung tulang ikan lele dumbo afkir
Tulang ikan limbah dari hasil pembuatan KPI lele dumbo afkir selanjutnya
dibuat menjadi tepung tulang dengan menggunakan metode Kaya et al. (2008) yang dimodifikasi. Tepung tulang ikan lele dumbo afkir dibuat menggunakan dua
metode penepungan, yaitu metode basah (presto) selama 1 jam suhu 115-120 oC
Ikan lele dumbo afkir
Pemfilletan dan penyiangan
Daging lumat
Pembuatan tepung tulang ikan Pembuatan KPI
Karakterisasi tepung tulang
dan metode kering (oven) selama 1,5 jam pada suhu 105 oC. Parameter yang
digunakan untuk menentukan metode penepungan terbaik adalah jumlah total
kalsium (Reitz et al. 1987) tertinggi dan rendemen tertinggi. Tepung tulang lele dumbo afkir hasil metode terbaik yang dipilih kemudian dikarakterisasi lebih
lanjut untuk mengetahui sifat-sifat fisik meliputi daya serap air (Beuchat 1977),
daya serap minyak (Beuchat 1977), densitas kamba (Wirakartakusumah et al.
1992), derajat putih (Faridah et al. 2006) dan kimia, yaitu kadar air (AOAC 1995), kadar protein (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar abu
(AOAC 1995), serta pH (AOAC 1995).
Gambar 4 Diagram alir pembuatan konsentrat protein ikan lele dumbo afkir (Modifikasi Suzuki 1981).
Pembersihan dan penggilingan
Daging lumat
Ekstraksi (etanol food grade 95%) perbandingan daging lumat
dan etanol 1:3 (b/v), suhu < 5 oC selama 20, 30, 40 menit
Penyaringan
Pengeringan
Penepungan dan pengayakan (100 mesh)
KPI lele dumbo afkir KPI
Pengulangan ekstraksi (1, 2, 3, 4 kali) Daging ikan lele
Gambar 5 Diagram alir pembuatan tepung tulang ikan lele dumbo afkir (Modifikasi Kaya et al. 2008).
3.3.2 Penelitian lanjutan
Pembuatan formula MP-ASI berdasarkan formula Mirdhayati (2004) yang
dimodifikasi. Perlakuan yang diujikan adalah 30 jenis formula MP-ASI yang
memiliki perbedaan dalam perbandingan sumber protein, yaitu substitusi KPI
terhadap susu skim (0%, 25%, 50%, 75% dan 100%) dan penambahan tepung
tulang lele (0, 1, 2, 3, 4 dan 5 g). Formula MP-ASI yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6, sedangkan komposisi bahan penyusun
formulasi MP-ASI dapat dilihat pada Tabel 7.
Tulang ikan lele dumbo afkir
Pencucian sampai bersih
Perebusan (100 oC) selama 2 jam
Pencucian dan pengecilan ukuran
Metode basah (dipresto
suhu150-120 oC, T 1-1,4 atm selama 1 jam)
Metode kering (pengovenan pada
suhu 105 oC selama 1,5 jam)
Pengeringan matahari
selama 3 jam (35 oC)
Penepungan dan pengayakan (100 mesh)
Tabel 6 Formula MP-ASI
Penelitian lanjutan bertujuan untuk menentukan formula MP-ASI terpilih
berdasarkan uji organoleptik dengan parameter kehalusan dalam mulut,
kemudahan ditelan, kelengketan dalam mulut, bau, rasa dan kesukaan secara
keseluruhan. Panelis adalah 30 orang ibu yang mempunyai anak bayi.
Tabel 7 Perlakuan formulasi MP-ASI
Sumber: Mirdhayati (2004)
Pembuatan MP-ASI mengacu pada metode Mirdhayati (2004), sedangkan
prosedur penyajian MP-ASI mengacu pada petunjuk penyajian MP-ASI produk
komersial. Pembuatan MP-ASI, yaitu dengan mencampurkan perbandingan susu
skim : KPI (100%:0%, 75%:25%, 50%:50%, 25%:75%, 0%:100%), tepung tulang
ikan lele dumbo afkir (0, 1, 2, 3, 4, 5 g), tepung beras, dekstrin, tepung gula dan
esens pisang. Minyak nabati kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit dan
diaduk rata sehingga didapatkan bubuk MP-ASI.
Prosedur penyajian MP-ASI mengacu pada petunjuk penyajian MP-ASI
komersial dengan cara, yaitu 24 g MP-ASI ditambah 125 mL air masak kemudian
diaduk dengan rata. Bubuk MP-ASI bersama air yang ditambahkan kemudian
didihkan selama 5 menit sambil diaduk hingga mengental setelah itu siap
disajikan dan dilakukan pengujian organleptik.
Formula MP-ASI terpilih, formula kontrol dan MP-ASI komersial
dianalisis lebih lanjut meliputi daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak
(Beuchat 1977), densitas kamba (Beuchat 1977), kadar air (AOAC 1995) kadar
protein (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar karbohidrat (by diffeence), kadar abu (AOAC 1995), total kalsium (Reitz et al. 1987), profil asam amino (AOAC 1995) dan daya cerna protein in vitro (Hsu et al. 1977).
3.4 Prosedur Analisis
3.4.1 Rendemen (Hadiwiyoto 1993)
Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input
dan output. Rendemen dihitung rumus:
3.4.2 Uji organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1982)
Uji organoleptik untuk sampel KPI lele dumbo afkir adalah uji skoring.
Panelis adalah 30 orang mahasiswa S1 dan S2 program studi Teknologi Hasil
Perairan IPB, yaitu dengan memberikan penilaian terhadap sampel berdasarkan
karakteristik setiap parameter tanpa membandingkan antara satu sampel dengan
sampel yang lainnya. Parameter penilaian yang diujikan adalah bau. Lembar
penilaian yang diberikan pada panelis terdapat pada Lampiran 1.
Uji organoleptik untuk sampel bubur MP-ASI adalah uji skoring dengan
panelis khusus, yaitu 30 orang ibu yang mempunyai anak bayi (6-24 bulan).
Panelis memberikan penilaian terhadap sampel berdasarkan karakteristik setiap
parameter tanpa membandingkan antara satu sampel dengan sampel lainnya.
Parameter yang diujikan meliputi kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan,
kelengketan dalam mulut, bau, rasa, dan kesukaan keseluruhan. Lembar penilaian
3.4.3 Daya serap air ( Beuchat 1977)
Sampel sebanyak 1 g dimasukkan kedalam tabung sentrifus lalu ditambah
dengan 10 mL akuades, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada
suhu kamar selama 30 menit. Setelah itu disentrifus pada 3.000 rpm selama
30 menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel diukur dengan
gelas ukur.
3.4.4 Daya serap minyak (Beuchat 1977)
Sebanyak 1 g sampel dan 10 mL minyak nabati dimasukkan ke dalam
tabung sentrifus, lalu diaduk dengan spatula selama 1 menit. Setelah didiamkan
selama 30 menit, tabung disentrifus pada 3000 rpm selama 30 menit. Volume
minyak yang bebas atau tidak terserap oleh sampel diukur dengan gelas ukur.
3.4.5 Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992)
Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 mL.
Densitas kamba dinyatakan dalam g/mL.
( ⁄ )
3.4.6 Derajat putih (Faridah et al. 2006)
Nilai derajat putih diukur dengan menggunakan Whitenessmeter. Prinsip kerja alat ini, yaitu melalui pengukuran indeks refleksi dari permukaan sampel
dengan sensor fotodioda. Semakin putih sampel, maka cahaya yang dipantulkan
semakin banyak, begitu pula sebaliknya semakin jelek sampel maka cahaya yang
tabung pada tempat yang telah disediakan. Nilai derajat putih dapat dilihat pada
monitor alat dan nilai yang tertera akan meningkat seiring dengan semakin tinggi
derajat putih sampel. Sebagai standar digunakan bubuk BaSO4. Derajat putih
dihitung menggunakan rumus:
3.4.7 Kadar air (AOAC 1995)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama satu jam dengan suhu
105 oC lalu didinginkan didalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga
berat konstan. Sampel sebanyak 2 g ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam
cawan porselin dan dikeringkan dalam oven 105 oC selama 5 jam. Cawan yang
berisi sampel setelah dikeringkan kemudian didinginkan di dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang hingga berat kostan. Apabila belum didapatkan
berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi ke dalam oven (105 oC) selama 30
menit. Penentuan kadar air menggunakan rumus:
3.4.8 Kadar abu (AOAC 1995)
Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama satu jam dengan suhu
105 oC, lalu didinginkan selama 30 menit dalam desikator dan ditimbang hingga
berat konstan. Sampel ditimbang sebanyak 2 g kemudian dimasukkan ke dalam
cawan porselin dan dipijarkan di atas kompor listrik hingga menjadi arang. Cawan
porselin berisi sampel yang telah menjadi arang dimasukkan ke dalam muffle
dengan suhu 600 oC selama 6 jam sampai menjadi abu berwarna keputih-putihan,
muffle dibiarkan sampai menunjukkan suhu kamar, kemudian baru dibuka tutupnya. Cawan porselen didinginkan dengan cara dimasukkan ke dalam oven
dingin. Cawan porselen yang telah dingin selanjutnya ditimbang. Kadar abu
dihitung dengan rumus:
3.4.9 Kadar lemak (AOAC 1995)
Labu lemak dikeringkan didalam oven (105 oC) kemudian ditimbang
hingga berat konstan. Sampel sebanyak 2 g dibungkus dengan kertas saring bebas
lemak kemudian dimasukkan ke dalam selongsong lemak. Selongsong tersebut
dimasukkan ke dalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 mL kloroform dimasukkan
ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama delapan jam, apabila pelarut sudah
terlihat jernih menandakan lemak telah terekstrak semua. Pelarut yang ada pada
labu lemak kemudian dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak setelah itu
dikeringkan dalam oven 105 oC selama 30 menit. Labu lemak kemudian
ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar lemak menggunakan
rumus:
3.4.10 Kadar protein (AOAC 1995)
Pengujian kadar protein dilakukan melalui tiga tahap, yaitu destruksi,
destilasi dan titrasi. Tahapan pengujian kadar protein adalah sebagai berikut :
a. Destruksi
Sampel ditimbang sebanyak 1-5 g kemudian dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl dan ditambah dengan kjeldahl tab selenium dan 10 mL H2SO4. Labu
diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 400 oC di dalam ruang asam.
Destruksi dilakukan hingga larutan menjadi bening (1-1,5 jam). Hasil
destruksi kemudian didinginkan dan diencerkan dengan akuades secara