• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN SEBARAN KOMUNITAS BINTANG LAUT

(ASTEROIDEA) DI PERAIRAN PULAU SAPUDI,

KABUPATEN SUMENEP, MADURA

IKHSAN ASHARI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2014

(4)

ABSTRAK

IKHSAN ASHARI. Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura. Dibimbing oleh

DIETRIECH GEOFFREY BENGEN dan BEGINER SUBHAN.

Salah satu biota laut yang belum banyak dieksplorasi adalah bintang laut (Asteroidea) di Indonesia, walaupun negara-negara lain Australia dan Jepang telah banyak memanfaatkannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas bintang laut (Asteroidea) dan mengetahui hubungan bintang laut (Asteroidea) dengan karakteristik habitatnya. Penelitian ini dilaksanakan pada Juni-Juli 2012, bertempat di pesisir Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura. Pengambilan data dilakukan dengan metode transek garis yang dibentangkan sepanjang 50 meter. Pada tiap transek garis yang dibentangkan, diletakan transek plot berukuran 1 x 1 meter. Analisis data yang digunakan adalah kerapatan jenis lamun, kepadatan, dominansi, dan pola penyebaran bintang laut serta hubungan antara bintang laut dengan karakteristik habitat. Bintang laut yang terdapat di Pulau Sapudi terdiri atas 4 spesies, yaitu Arcaster typicus, Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, dan Protoreaster nodosus, dengan Linkia sebagai jenis yang selalu ditemukan di setiap stasiun. Lamun sebagai salah satu habitat bintang laut di Pulau Sapudi terdiri atas 5 spesies , yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Jenis lamun Thalassia hemprichii paling mendominasi kerapatan lamun di Stasiun 1, Stasiun 3, dan Stasiun 4. Pada Stasiun 1 ditemukan 2 jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii dan Syringodium isoetifolium. Berdasarkan nilai Indeks Morisita, sebaran jenis Asteroidea di Pulau Sapudi terdiri atas 2 pola, yaitu mengelompok untuk jenis Protoreaster nodosus dan arcaster typicus dan seragam Linckia laevigata dan Culcita novaeguineae.

(5)

ABTRACT

Ikhsan Ashari. Structure and Distribution of Sea Stars (Asteroidea) in the waters of Sapudi island, Sumenep, Madura. Supervised by DIETRIECH GEOFFREY BENGEN and BEGINER SUBHAN.

One of the marine life which has not been widely known for its benefits are sea stars (starfish). Research on sea stars have not been widely reported or investigated in Indonesia compared to other countries such as Australia and Japan. The purpose of this research is to know the community structure of sea star (Asteroidea) and to know the relation between sea star with its characteristic of habitat. This study was conducted in June that starts with a site survey on June 28, 2012. Primary data collection at the study site on June 30, 2012 to July 3, 2012. This research was conducted in the coastal Sapudi Island, Sumenep, Madura. Data were collected by the line transect method which lay down along 50 meters. At each transect lines were laid 1 x 1 meter transect plots. Data analysis using the calculation of density of seagrass, density, dominance and the pattern of sea stars spreading and the relation between sea star and habitat characteristic. There are 4 species of starfish that can be found in the Sapudi Island, such as Arcaster typicus, Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, and Protoreaster nodosus. Linkia levigata is one of the starfish species that can be found in every station. Five species of seagrass as one of the starfish habitat can be found in Sapudi Island, such as Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, and Thalassia hemprichii. Thalassia hemprichii is the most dominated species in Site 1, Site 3, and Site 4. In Site 1, there can be found two types of seagrass, they are Thalassia hemprichii and Syringodium isoetifolium. Based on Morisita index, spread of Asteroidea in Sapudi Island consist of two species of distribution, such as cluster for Protoreaster nodosus and Arcaster typicus and kindred Linckia laevigata and Culcita novaeguineae.

(6)
(7)

STRUKTUR DAN SEBARAN KOMUNITAS BINTANG LAUT

(ASTEROIDEA) DI PERAIRAN PULAU SAPUDI,

KABUPATEN SUMENEP, MADURA

IKHSAN ASHARI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

SKRIPSI

Judul Skripsi : Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura

Nama : Ikhsan Ashari NIM : C54080045

Program Studi : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Disetujui oleh

.

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Pembimbing I

Beginer Subhan, S.Pi., M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas semua rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai. skripsi yang berjudul Struktur dan Sebaran Komunitas Bintang Laut (Asteroidea) di Perairan Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Ilmu & Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan.

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof . Dr. Ir. Dietriech G. Bengen. DEA selaku dosen pembimbing utama dan Bapak Beginner Subhan, S.Pi., M.Si selaku dosen pembimbing anggota yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian hingga tersusunnya skripsi ini dengan baik. Tidak lupa ucapan terima kasih ditujukan kepada kedua orang tua, keluarga, teman-teman ITK’45 dan teman - teman lainnya atas doa dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis serta kepada rekan-rekan kerja yang telah berkenan membantu dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung di lapang. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan maupun kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan ktitik dan saran sehingga skripsi ini lebih baik lagi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pihak lain yang membacanya

Bogor, Mei 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 1

METODE 1

Waktu dan Lokasi Penelitian 1

Pengambilan Data Bintang Laut 2

Pengambilan Contoh Lamun 3

Pengukuran Kualitas air 3

Pengukuran Substrat Dasar 4

Analisis Data 4

Kerapatan Jenis Lamun 4

Struktur Komunitas Bintang laut 4

Kepadatan 4

Dominansi 5

Pola Penyebaran 5

Hubungan Antara Bintang Laut dengan Karakteristik Habitat 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan 6

Karakteristik Tekstur/Fraksi Substrat Dasar 7

Vegetasi Lamun 7

Kepadatan Bintang Laut 10

Dominansi Bintang Laut 12

Pola Sebaran Jenis Bintang Laut 13

Hubungan Antara Bintang Laut dengan Lamun di Pulau Sapudi 14 Hubungan Antara Bintang Laut dengan Substrat di Pulai Sapudi 15

KESIMPULAN DAN SARAN 16

DAFTAR PUSTAKA 16

(12)

DAFTAR TABEL

1. Parameter kualitas air berikut satuan dan alat yang digunakan

untuk mengukurnya 4

2. Karakteristik fisika – kimiawi perairan di pesisir Pulau Sapudi 7 3. Karakteristik tekstur/fraksi substrat di pesisir Pulau Sapudi 8 4. Pola Sebaran Bintang Laut di Pulau Sapudi, Madura 13

DAFTAR GAMBAR

1. Peta Lokasi Stasiun Penelitian 2

2. Skema Penempatan Transek 3

3. Transek Plot Pengambilan Contoh Lamun 3

4. Enhalus acoroides 9

5. Kerapatan Jenis Lamun di pesisir Pulau Sapudi 10

6. Protoreaster 11

7. Kepadatan Bintang Laut di pesisir Pulau Sapudi 11 8. Indeks dominansi komunitas bintang laut di Pulau Sapudi 12 9. Sebaran bintang laut dan lamun di Pulau Sapudi 13 10. Grafik analisis korespondensi antara bintang laut dan lamun

di Pulau Sapudi 14

11. Grafik analisis faktorial korespondensi antara bintang laut dan substrat

dasar di Pulau Sapudi 15

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data parameter fisika dan kimiawi perairan di lokasi penelitian 18 2. Kepadatan bintang laut pada masing-masing transek kuadrat

di lokasi penelitian 20

3. Kerapatan Lamun 22

4. Hasil perhitungan indeks Morisita 23

5. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap komunitas lamun 24 6. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap substrat 25 7. Dokumentasi hasil penelitian jenis-jenis bintang laut dan lamun

(13)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Salah satu biota laut yang belum banyak diketahui manfaatnya adalah bintang laut. Penelitian tentang bintang laut belum banyak dilaporkan atau diteliti di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia dan Jepang. Bintang laut ditemukan dengan batas kedalaman 0 meter sampai dengan 6000 meter. Bintang laut yang hidup didunia saat ini di perkirakan sekitar 1800 jenis, yang termasuk kedalam kelas Asteroidae, yang terdiri dari 4 ordo, 26 famili, dan 144 genus (Aziz, 1996). Beberapa jenis bintang laut mempunyai warna yang cerah seperti merah, jingga, biru atau dengan berbagai pola yang menarik dengan warna-warna yang kontras. Oleh karena itu beberapa jenis bintang laut yang kecil sering digunakan pula sebagai penghias aquarium (Nontji, 1993).

Bintang laut, sebagai anggota kelompok Echinodermata, merupakan salah satu biota yang berasosiasi kuat dengan padang lamun dan berperan dalam siklus rantai makanan di ekosistem tersebut. Tingginya tutupan vegetasi lamun di perairan memungkinkan kehadiran berbagai biota yang berasosiasi dengan padang lamun termasuk bintang laut untuk mencari makan, tempat hidup, memijah dan tempat berlindung untuk menghindari predator (Supono dan Arbi, 2010).

Pulau sapudi terletak di antara gugusan pulau-pulau kecil di sebelah timur Pulau Madura. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Pulau ini kaya akan biota laut salah satunya dari jenis Enchinodermata seperti bintang laut, bulu babi, teripang dan lain-lain. Pada kondisi populasi bintang laut yang melimpah dapat menggangu keseimbangan ekologis yakni, berkurangnya populasi lamun yang selanjutnya akan menggangu hewan laut yang menggunakan lamun sebagai bagian dari hidupnya. Dengan demikian upaya pengendalian bintang laut tersebut sangat diperlukan. Untuk melakukan upaya-upaya pengendalian (pengelolaan) terhadap populasi bintang laut dibutuhkan informasi-informasi dasar khususnya mengenai struktur komunitas bintang laut dan mengetahui hubungan bintang laut dengan karakteristik habitatnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas bintang laut (Asteroidea) dan mengetahui hubungan bintang laut (Asteroidea) dengan karakteristik habitatnya.

METODE

Waktu dan lokasi penelitian

(14)

2

gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura, Sapudi merupakan pulau terluas kedua dengan luas sebesar 126,67 km² dan pulau dengan penduduk terbanyak. Pulau Sapudi terletak pada 114o15’ – 114o27 LS dan 7o3’ – 7o12’ BT, yang terdiri dari dua kecamatan yakni Kecamatan Nonggunong dan Kecamatan Gayam (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Stasiun Penelitian

Pengambilan data bintang laut

(15)

3

Gambar 2. Skema penempatan transek

Pengambilan Contoh Lamun

Pengambilan contoh lamun sebagai salah satu habitat bintang laut dilakukan pada masing-masing transek plot yang di dalamnya terdapat bintang laut. Skema transek plot untuk pengambilan contoh lamun berisi 25 bagian kuadran, pengamatan dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah tegakan lamun (Gambar 3).

Gambar 3. Transek plot pengambilan contoh lamun

Pengukuran Kualitas Air

(16)

4

Tabel 1. Parameter kualitas air berikut satuan dan alat yang digunakan untuk mengukurnya

Parameter Satuan Alat

Suhu 0C Termometer

Salinitas ‰ Retfraktometer

Kecerahan Cm Sechi Disk

Derajat keasaman (pH) - pH-meter

Kedalaman Cm Pipa Berskala

Pengukuran Substrat Dasar

Pengukuran substrat dasar dilakukan pada masing-masing stasiun pengamatan. Analisis substrat dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB untuk mengetahui fraksi substratnya.

Analisis data

Kerapatan Jenis Lamun

Kerapatan jenis lamun adalah jumlah total individu atau tegakan lamun dalam suatu unit area yang dihitung berdasarkan petunjuk English et al. (1994) sebagai berikut :

�� = �

Keterangan:

�� = Kerapatan jenis ke-I (ind/m2); �� = Jumlah total individu jenis ke-I (ind); A = Luas area total pengambilan contoh (m2)

Struktur komunitas Bintang Laut Kepadatan

(17)

5

Dominansi

Nilai indeks dominansi diguunakan untuk menggambarkan ada tidaknya dominansi suatu jenis dalam suatu komunitas, yang dihitung dengan menggunakan indeks dominansi Simpson (Magurran, 1988), sebagai berikut :

= [�

�=1

Keterangan:

C = Indeks dominansi; � = �/N; � = Jumlah individu pada jenis ke-i; N = Jumlah total individu dari semua jenis

Dengan kriteria: 0,00 < C≤ 0,50= Dominansi rendah

0,50 < C ≤ 0,75= Dominansi sedang

0,75 < C ≤ 1,00= Dominansi tinggi

Nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 0 sampai 1, jika nilai C mendekati 0 berarti bahwa tidak ada jenis yang mendominasi dan sebaliknya apabila nilai C mendekati 1 salah satu jenis yang mendominasi (Odum, 1971).

Pola penyebaran

Penentuan pola sebaran jenis suatu organisme pada habitatnya dapat di tentukan dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita (Khouw, 2009). Rumus untuk menghitung Indeks Sebaran Morisita sebagai berikut :

�� = � �

Hasil perhitungan Indeks Sebran Morisita dibandingakan dengan criteria sebagai berikut :

Id < 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat seragam Id = 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat acak

(18)

6

Hubungan antara Bintang Laut dengan Karakteristik Habitat

Adanya interaksi suatu organisme dengan karakteristik habitat tertentu dapat dipakai sebagai indikasi hadir tidaknya organisme tersebut pada suatu tempat dengan kepadatan yang tertentu pula. Evaluasi keterkaitan antara komunitas lamun dan bintang laut di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Analisis Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen, 2000), yang didasarkan pada matriks data i baris kerapatan lamun dan kepadatan bintang laut dan j kolom (stasiun) dimana kepadatan bintang laut dan kerapatan lamun ke-i untuk staske-iun ke-j terdapat pada barke-is ke-ke-i dan kolom ke-j. Matrke-iks datanya merupakan tabel kontigensi jenis bintang laut dengan lamun.Analisis koresponden diperoleh menggunakan software Statistica 8.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan

Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data, didapatkan hasil seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik fisika – kimiawi perairan di pesisir Pulau Sapudi.

Parameter Fisik Kimia Nama Stasiun

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Suhu di keempat Stasiun pengamatan memperlihatkan kisaran nilai antara 28-31 °C (Tabel 2). Dari hasil suhu yang diperoleh di keempat Stasiun tersebut masih berada pada kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme perairan (Effendi, 2003). Kisaran salinitas yang diperoleh pada pengamatan sangat bervariasi yaitu berkisar antara 29 - 31 ‰. Kisaran salinitas tertinggi terdapat pada Stasiun 1 yaitu 30 - 31 ‰. Stasiun 3 memiliki nilai salinitas terendah yaitu sebesar 29 ‰. Stasiun 2 memiliki kisaran salinitas yaitu sebesar 29 - 30 ‰. Stasiun 4 memiliki nilai salinitas sebesar 30 ‰. Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organism perairan, khususnya fauna makrobentos termasuk bintang laut adalah 15 – 35 ‰. Oleh karena itu kisaran salinitas yang terdapat pada keempat stasiun ini masih tergolong normal.

(19)

7

dengan pH yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup didalamnya (Odum, 1993). Effendi (2003) mengatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar 7 - 8,5.

Kecerahan suatu perairan erat hubungannya dengan penetrasi cuaca, waktu pengukuran dan cahaya yang masuk ke dalam perairan tersebut. Tingkat kecerahan pada stasiun pengamatan adalah 100% pada semua kedalaman (Tabel 2). Kedalaman perairan pada stasiun pengamatan berkisar antara 14 - 51 cm, hal ini dapat diartikan penetrasi cahaya dapat mencapai dasar perairan. Bintang laut pada umumnya ditemukan pada semua laut dan lautan, dengan batas kedalaman 0 - 6000 meter. Biota ini pada umumnya hidup bebas sebagai epifauna, baik menyendiri ataupun hidup berkelompok. Sebagian dari anggota bintang laut ini ada juga yang membenamkan diri dalam pasir atau lumpur (Aziz, 1996).

Karakteristik Tekstur/Fraksi Substrat Dasar

Karakteristik tekstur/fraksi substrat dasar di setiap Stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik tekstur/fraksi substrat di pesisir Pulau Sapudi

Nama stasiun Fraksi (%) Fraksi pasir mendominasi keempat stasiun pengamatan, diikuti oleh fraksi liat dan yang terkecil adalah nilai dari debu (Tabel 3). Fraksi pasir Stasiun 4 memiliki nilai fraksi tertinggi sebesar 95,99% dan fraksi pasir terkecil terdapat pada Stasiun 1 sebesar 92,29%. Untuk Stasiun 2 fraksi pasir sebesar 93,77% dan Stasiun 3 sebesar 94.94%. Fraksi liat memiliki nilai semakin kecil dari Stasiun 1 ke Stasiun 4. Stasiun 1 memiliki nilai sebesar 5,40%, Stasiun 2 sebesar 4,12%, Stasiun 3 sebesar 3,36%, dan Stasiun 4 sebesar 2,87%. Sedangkan untuk fraksi debu Stasiun 1 memiliki nilai sebesar 2,31%, Stasiun 2 sebesar 2,11%, Stasiun 3 sebesar 1,70%, dan Stasiun 4 sebesar 1,14%.

Umumnya masing-masing jenis bintang laut memiliki habitat yang spesifik seperti Protoreaster nodosus sering ditemukan di padang lamun dan sedikit ditemukan di karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir. Hal ini disebabkan makanan utamanya adalah lamun, detritus dan rumput laut (Susetiono, 2007).

Vegetasi Lamun

(20)

8

kehidupannya berlangsung di perairan laut dangkal (Kiswara dan Winarni 1994). Lamun hidup diperairan dangkal dan jernih, dan tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati pada kedalaman antara 2–12m. Beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh sampai 8–15m hingga 40m. tergantung pada faktor lingkungan seperti kecerahan, substrat, profil dasar perairan, kuat arus dan jenis lamun yang hidup di daerah tersebut (Kasijan dan Juwana 2009). Klasifikasi lamun di perairan pantai Indonesia (Phillips & Menez, 1988)

(21)

9

Gambar 4. Enhalus acoroides (koleksi pribadi)

Padang lamun telah diketahui sebagai salah satu ekosistem paling produktif di perairan pesisir atau laut dangkal (Thayer et al. 1975). Penelitian di Eropa, Amerika Utara, Australia dan Jepang menunjukkan bahwa padang lamun merupakan tempat berlindung, mencari makan atau sumber makanan untuk sejumlah besar hewan atau biota yang berasosiasi dengannya (Thorhaug dan Austin, 1986; Fonseca, 1987). Di perairan Indonesia, umumnya lamun tumbuh di daerah pasang-surut, pantai pesisir dan sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis et al. 1989). Dari 58 jenis lamun di dunia, 12 jenis di antaranya ditemukan di perairan Indonesia (Kuo dan Comb 1989; Den Haartog, 1970; Azkab, 2009). Vegetasi lamun di Pulau Sapudi termasuk vegetasi campuran (mixed seagrass beds), hal ini terlihat adanya asosiasi antara dua atau tiga jenis lamun pada beberapa transek kuadrat pengambilan data. Padang lamun di perairan indonesia umumnya termasuk padang lamunvegetasi campuran (Nienhuis et al, 1989). Lamun yang ditemukan di Pulau Sapudi terdiri dari 5 jenis yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Hingga kini, tercatat ada kurang lebih 12 jenis lamun di perairan Indonesia, yang termasuk kedalam 7 genera dan 2 famili (Azkab, 2006).

(22)

10

Keterangan: Cr= Cymodocea rotundata, Ea= Enhalus aocroides, Ho= Halophila ovalis,Si= Syringodium isoetifolium, dan Th= Thalassia hemprichii

Gambar 5. Kerapatan jenis lamun di pesisir Pulau Sapudi

Kerapatan lamun yang ditemukan pada Stasiun 2 hanya kerapatan lamun jenis Enhalus acoroides sebesar 78.50 ind/m². Kerapatan lamun tertinggi pada Stasiun 3 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 77.80 ind/m² dan kerapatan terendah pada jenis Cymodocea rotundata sebesar 4.00 ind/m². Kerapatan lamun tertinggi pada Stasiun 4 ditemukan pada jenis Thalassia hemprichii sebesar 55.07 ind/m² dan kerapatan terendah pada jenis Halophila ovalis sebesar 1.40 ind/m².

Kerapatan lamun terendah ditemukan di Stasiun 2, hal ini diduga karena sedikitnya jenis lamun yang terukur pada plot pengambilan data di Stasiun tersebut. Pada Stasiun 2 ditemukan satu jenis lamun saja yaitu jenis lamun Enhalus acroides dengan kerapatan 78.50 ind/m². Sedikitnya jenis lamun yang ditemukan pada Stasiun 2 juga disebabkan oleh jenis substratnya. Lokasi Stasiun 2 didominasi oleh substrat hamparan karang mati, dan rubble yang memungkinkan lamun sulit tumbuh. Menurut Kiswara (1994) lamun dapat tumbuh pada dasar lumpur, pasir, dan kerikil karang diantara karang hidup, cekungan batu karang maupun pada dasar dan berlumput dibawah naungan bakau. Hal lain juga bisa disebabkan karena lamun tidak terlindung pada saat air surut (Dahuri, 1996).

Kepadatan Bintang Laut

Bintang laut adalah salah satu anggota dari filum Echinodermata. Klasifikasi menurut Clark dan Rowe (1971) adalah sebagai berikut:

(23)

11

Gambar 6. Protoreaster nodosus (koleksi pribadi)

Pada kedalaman 0 sampai 20 meter diperairan terdapat 88 jenis bintang laut termasuk kedalam 38 genus dan 17 famili (Clark dan Rowe, 1971). Dari hasil penelusuran pustaka, di perairan Indonesia diperkirakan terdapat 400 jenis bintang laut atau sekitar 22% dari jumlah total bintang laut di dunia (Aziz, 1996)

Bintang laut yang dijumpai di Pulau Sapudi terdiri 4 jenis, yaitu Arcaster typicus, Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, Protoreaster nodosus. Bintamg laut yang selalu dijumpai pada tiap Stasiun pengamatan adalah jenis bintang laut Linckia laevigata, karena di setiap Stasiun pengamatan selalu ditemukan bintang laut jenis tersebut.

Keterangan: AT=Arcaster typicus, CN= Culcita novaeguineae, LL=Linckia laevigata,dan PN=Protoreaster nodosus

Gambar 7. Kepadatan bintang laut di pesisir Pulau Sapudi

(24)

12

terendah pada Protoreaster nodosus (0.2667 ind/m²). Pada Stasiun 3 ditemukan 2 jenis bintang laut yaitu Linckia laevigataI dan Culcita novaeguineae. Kepadatan tertinggi pada Stasiun 3 ditemukan pada jenis Linckia laevigata sebesar 0.8 ind/m² dan terendah ditemukan pada jenis bintang laut Culcita novaeguineae 0.0667 ind/m². Pada Stasiun 4 ditemukan 2 jenis bintang laut yaitu Linckia laevigata dan Protoreaster nodosus. Kepadatan pada Stasiun 4 ini dari jenis Linckia laevigata dan Protoreaster nodosus sama yaitu 0.2 ind/m². Tingginya kepadatan Linckia laevigata di Pulau Sapudi ini diduga berkaitan dengan yang cocok yang didominasi oleh karang mati dan padang lamun dengan substratnya pasir halus atau substrat keras.

Dominansi Bintang Laut

Dominansi merupakan suatu bentuk penguasaan dalam suatu perairan untuk mendapatkan makanan maupun tempat tinggal yang layak serta bertahan cukup lama (Sediadi, 2004) Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat

diketahui bahwa dominansi di perairan Pulau Sapudi mempunyai

indeks dominansi yang cukup beragam.

Gambar 8. Indeks dominansi komunitas bintang laut di Pulau Sapudi

Dari Gambar 8 terlihat nilai indeks dominansi tertinggi ada di Stasiun 3 yaitu 0,86. Hal ini dikarenakan adanya spesies yang mendominansi di perairan tersebut. Pada gambar 7 dapat kita lihat bahwa kepadatan bintang laut jenis Linckia laevigata pada Stasiun 3 sangat besar dibandingkan dengan bintang laut jenis lain yang di temukan. Oleh karena itu indeks dominansi di Stasiun 3 dikatakan tinggi. Nilai indeks domonansi pada Stasiun 1 yaitu 0.49 dan Stasiun 4 yaitu 0,50, yang berarti tidak ada jenis yang mendominansi perairan yang berarti setiap individu pada Stasiun pengamatan mempunyai kesempatan yang sama dan secara maksimal dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada didalam perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan peryataan Odum (1993) yang menyatakan bahwa nilai indeks dominansi yang tinggi menyatakan konsentrasi dominansi yang tinggi (ada individu yang mendominansi), sebaliknya nilai indeks dominansi yang rendah menyatakan konsentrasi yang rendah (tidak ada yang dominan).

0

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

(25)

13

Pola Sebaran Jenis Bintang Laut

Kondisi lingkungan perairan pada saat pengamatan sangat mempengaruhi pola sebaran jenis di suatu perairan. Penentuan pola sebaran jenis dengan menggunakan indeks morsita yang dimaksudkan untuk mengetahui sebaran jenis bintang laut yang terdapat di Pulau Sapudi membentuk pola sebaran seragam, mengelompok atau acak. Berdasarkan hasil perhitungan indeks morisita diketahui bahwa pola sebaran jenis bintang laut di Pulau Sapudi memiliki 2 pola sebaran jenis yaitu mengelompok dan seragam dimana Id < 1 dan Id > 1 tercantum pada Tabel 4.

Table 4. Pola sebaran bintang laut di Pulau Sapudi, Madura

spesies N ∑X ∑X² Id Pola Sebaran

Linckia laevigata 60 25 27 0.2 Seragam

Protoreaster nodosus 60 7 8 1.4286 Mengelompok

Arcaster typicus 60 7 17 14.286 Mengelompok

Culcita novaeguineae 60 1 1 0 Seragam

Pola sebaran jenis ini sama di semua Stasiun pengamatan nilai Id berkisar antara 0 – 14,29. Pada kondisi bintang laut yang sangat melimpah dapat menggangu keseimbangan ekologis yakni, berkurangnya populasi lamun yang selanjutnya akan mengganggu populasi hewan laut yang menggunakan lamun sebagai bagian dari hidupnya. Untuk melakukan upaya-upaya pengendalian (pengelolaan) terhadap populasi bintang laut dibutuhkan informasi-informasi dasar kelimpahan dan pola sebaran jenis bintang laut tersebut. Hal tersebut akan lebih relevan jika ditunjang dengan parameter fisika-kimia lingkungan perairan dan tekstur substrat guna memberikan informasi penting dalam upaya perlindungan dan keseimbangan ekologis.

(26)

14

Pada umumnya setiap jenis bintang laut memiliki habitat yang spesifik, seperti Protoreaster nodosus sering ditemukan di padang lamun dan sedikit ditemukan di karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir. Hal ini disebabkan makanan utamanya adalah lamun, detritus dan rumput laut (Susetiono, 2007).

Hubungan Antara Bintang Laut dengan Lamun di Pulau Sapudi

Hasil analisis koresponden sebaran 4 jenis bintang laut pada 5 jenis lamun di lokasi penelitian (Gambar 10) menunjukkan bahwa informasi maksimum sebaran spasial bintang laut terhadap lamun terpusat baik sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2). Sumbu 1 (F1) memiliki akar ciri dan ragam sebesar 0,68 (86,19%), sedangkan sumbu 2 (F2) memiliki akar ciri dan ragam sebesar 0,11 (13,81%).

Grafik analisis koresponden antara bintang laut dan lamun terlihat pada gambar 10.

Keterangan: At= Arcaster typicus, Cn= Culcita novaeguineae, Ll=Linckia laevigata, Pn=Protoreaster nodosus, Cr=Cymodocea rotundata, Ea= Enhalus acoroides, Ho=Halophila ovalis, Si=Syringodium isoetifolium, Th=Thalassia hemprichii

Gambar 10. Grafik analisis korespondensi antara bintang laut dan lamun di Pulau Sapudi

(27)

15

nilai cos² sebesar 0,99, dengan demikian Arcaster typicus memiliki hubungan atau asosiasi yang erat dengan lamun jenis Syringodium isoefolium yang memiliki nilai cos² sebesar 0,99, sedangkan Jenis bintang laut Linckia laevigata memiliki cos² sebesar 0,88, dengan demikian Linckia laevigata hubungan atau asosiasi yang cukup erat dengan lamun jenis Cymodocea rotundata yang memiliki nilai cos² sebesar 0,55, Enhalus acoroides sebesar 0,55 dan Halophila ovalis 0,55 pada kuadran 4 (+,-).

Nilai cos² yang mendekati nilai 1 terlihat lebih memiliki hubungan keterkaitan yang erat dan yang jauh dari nilai 1 memiliki keterkaitan yang relatif kecil seperti terlihat pada nilai cos² Protoreaster nodosus sebesar 0,10 dan Culcita novaeguineae 0,10. Keterkaitan 4 jenis bintang laut dengan 5 jenis lamun ini dikarenakan bintang laut tersebut memperoleh makanan (sebagai grazer di padang lamun) yang cukup, kondisi substrat yang cocok serta kondisi perairan yang cukup baik untuk kelangsungan hidupnya.

Hubungan Antara Bintang Laut dengan Substrat di Pulau Sapudi

Hasil analisis koresponden sebaran 4 jenis bintang laut pada substrat di lokasi penelitian menunjukkan bahwa informasi maksimum sebaran spasial bintang laut terhadap substrat terpusat F1 & F2. Sumbu 1 (F1) memiliki akar ciri dan ragam sebesar 0,0034 (96,54%), sedangkan sumbu 2 (F2) memiliki akar ciri dan ragam sebesar 0,0001 (3,46%) (Gambar 8).

Grafik analisis koresponden antara bintang laut dan substrat dasar perairan pada sumbu 1 dan 2 terlihat pada Gambar 11.

(28)

16

Dari gambar 8 terlihat bahwa keempat bintang laut memiliki hubungan atau asosiasi yang erat dengan substrat pasir. Aziz (1996) mengatakan bintang laut umumnya hidup bebas sebagai epifauna, baik menyendiri maupun hidup berkelompok dan ada juga yang membenamkan diri dalam pasir atau lumpur.

SIMPULAN DAN SARAN

Bintang laut yang ditemukan di Pulau Sapudi, Madura terdiri dari 4 jenis yaitu Arcaster typicus, Culcita novaeguineae, Linckia laevigata, dan Protoreaster nodosus. Bintang laut yang mendominansi pada setiap Stasiun adalah jenis bintang laut Linckia laevigata.

Pola sebaran bintang laut di Pulau Sapudi, Madura memiliki dua pola sebaran yaitu sebaran seragam (Id < 1) dan mengelompok (Id > 1). Sebaran bintang laut jenis Linckia laevigata berasosiasi dengan lamun jenis Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis. Bintang laut jenis Arcaster typicus berasosiasi dengan lamun jenis Syringodium isoetifolium. Bintang laut jenis Protoreaster nodosus dan Culcita novaeguineae berasosiasi dengan lamun jenis Thalassia hemprichii.

SARAN

Menurut saya perlu dilakukan penelitian mengenai tipe asosiasi tiap jenis bintang laut dengan jenis lamun. Selain itu juga perlu diteliti apakah keberadaan bintang laut di habitat lamun mengurangi populasi lamun terkait dengan bintang laut ada yang termasuk grazer di padang lamun.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A . 1996. Makanan dan Cara Makan Berbagai Jenis Bintang Laut. Majalah Oceano. Vol. XXI. (3) : 13 – 22. PO3. LIPI. Jakarta

Aziz, A dan P. Darsono. 1997. Bebebrapa Catatan Mengenai Fauna Ekhinodermata di Daerah Rataan Trumbu Bagian Selatan Gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II. P3O. LIPI. Jakarta. Hal 72 - 77.

Aziz, A dan P. Darsono. 2000. Komunitas Fauna Ekhinodermata di Pulau-Pulau Seribu Bagian Utara. Pesisir dan Panai Indonesia IV. P3O. LIPI. Jakarta. Hal 60 – 75.

Azkab, M.H. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana 31 (3): 45 – 55.

Azkab, M.H. 2009. Lamun (seagrass): Pedoman Inventarisasi Lamun. Pusat Penelitian Oseanografi, Jakarta: 25 hal.

Bengen, D.G. 2000. Teknis Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL IPB.

Brower, J. E. and J. H. Zar. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. WM. J. Brown Company Publ. Dubuque. Iowa. 94 p.

(29)

17

Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta. 305 h.

den Hartog, C. 1970. The Seagrass of The World. North-Holand Publ. Co, Amsterdam: 275pp.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.

English, S.C. Wilkinson dan V. Baker, 1994. Survey Manual for Tropical Marine Recourse. Australian Institute of Marine Science. Townsville. 390 h. Fonseca, M.S. 1987. The Management of Seagrass System. Trop, Coast, Area.

Manag. ICLARM. Newsletter 2 (2): 5 - 7.

Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 159 h.

Kajisman dan Juwana. 2009. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Biologi Laut. Jakarta: Djambatan.

Khouw, A. S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut. Pusat Pembelajaran Pengembangan Pesisir dan Laut. Jakarta: 285 h

Kiswara, W. Dam Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran Lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan. W Kiswara (eds.). Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Lombok Selatan dan Kondisi Lingkungannya. LIPI. Jakarta: hal 11 – 25.

Kuo, J. And A.J. Mc Comb. 1989. Seagras taxonomy, structure and development. In: A.W.D. Larkum, A.J. Comb & S.A Shepherd, (eds). Biology of seagrass : a treatise on the biology seagrasses with special reference to Australian region. Elssier, Amsterdam: 6 – 73.

Nienhuis, P.H., J. Cosssen and W. Kiswara. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2): 192 – 214.

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 368 hal.

Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Foundamental of Ecology oleh T. Samingan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Phillips, R.C. and G. Menez 1988. Seagrasses. Smithsonian Inst. Press.

Washington. 193 pp

Supono dan U. Y. Arbi. 2010 Struktur Komunitas Ekinodermata di Padang Lamun Perairan Kema, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi Indonesia.

Susetiono. 2007. Lamun dan Fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta : 99 hal

Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix. 1975. Structural and Fluctuation Aspects of a Recently Established Zostera Marina Community Estuarine Res. 1 : 518 – 540.

(30)

18

18

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data parameter fisika dan kimiawi perairan di lokasi penelitian

Parameter Habitat

STASIUN 1

LINE TRANSEK 1 LINE TRANSEK 2 LINE TRANSEK 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Kedalaman (cm) 15 24 35 47 51 14 15 15 17 25 17 23 24 30 33

Kecerahan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Suhu (⁰C) 29 28 28 28 28 30 30 29 30 30 30 30 30 30 30

Salinitas (‰) 30 30 31 31 31 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

pH 8.8 8.6 8.6 8.6 8.6 8.7 8.6 8.6 8.6 8.6 8.8 8.6 8.6 8.6 8.6

Parameter Habitat

STASIUN 2

LINE TRANSEK 1 LINE TRANSEK 2 LINE TRANSEK 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Kedalaman (cm) 35 37 37 38 40 35 46 17 17 17 35 15 20 31 40

Kecerahan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Suhu (⁰C) 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 30 30 30 30 30

Salinitas (‰) 29 29 29 29 30 29 29 29 29 30 29 29 29 29 30

pH 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6

(31)

19

Lampiran 1. Lanjutan

Parameter Habitat

STASIUN 3

LINE TRANSEK 1 LINE TRANSEK 2 LINE TRANSEK 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Kedalaman (cm) 15 15 20 40 30 10 15 32 30 35 10 20 27 25 30

Kecerahan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Suhu (⁰C) 31 31 31 31 31 31 30 31 30 30 30 30 30 30 30

Salinitas (‰) 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29 29

pH 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6

Parameter Habitat

STASIUN 4

LINE TRANSEK 1 LINE TRANSEK 2 LINE TRANSEK 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Kedalaman (cm) 35 20 25 25 30 10 15 15 25 25 15 15 25 20 25

Kecerahan 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Suhu (⁰C) 30 30 30 30 31 30 30 30 30 30 30 30 30 30 29

Salinitas (‰) 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30

pH 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6 8.6

Keterangan: Tq = transek kuadrat

(32)

20

20

Lampiran 2. Kepadatan bintang laut pada masing-masing transek kuadrat di lokasi penelitian

Jenis Bintang Laut

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 1 (ind/m²)

Line Transek 1 Line Transek 2 Line Transek 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Linckia laevigata 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0

Protoreaster nodosus 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Arcaster typicus 2 0 0 0 0 3 1 1 0 0 1 1 0 0 0

Jenis Bintang Laut

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 2 (ind/m²)

Line Transek 1 Line Transek 2 Line Transek 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Linckia laevigata 0 0 1 0 3 0 1 0 2 0 0 0 0 0 0

Protoreaster nodosus 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0

Jenis Bintang Laut

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 3 (ind/m²)

Line Transek 1 Line Transek 2 Line Transek 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Linckia laevigata 1 2 1 0 1 0 1 0 2 0 1 2 0 0 1

Culcita novaeguineae 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

(33)

21

Lampiran 2. Lanjutan

Jenis Bintang Laut

Kepadatan Bintang Laut Pada Masing-masing Transek Kuadrat di Stasiun 4 (ind/m²)

Line Transek 1 Line Transek 2 Line Transek 3

Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5 Tq1 Tq2 Tq3 Tq4 Tq5

Linckia laevigata 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

Protoreaster nodosus 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0

Keterangan : Tq = transek kuadrat

(34)

22

22

Lampiran 3. Kerapatan Lamun

Stasiun 1 Stasiun 2

Jenis lamun D=�/A satuan Jenis lamun D=�/A satuan

Syringodium isoetifolium 5.5333 ind/m2 Enhalus acoroides 78.5 ind/m2

Thalassia hemprichii 59.66666667 ind/m2

Stasiun 3 Stasiun 4

Jenis lamun D=�/A Jenis lamun D=�/A satuan

Thalassia hemprichii 77.8 ind/m2 Thalassia hemprichii 55.0666 ind/m2

Cymodocea rotundata 4 ind/m2 Cymodocea rotundata 4.8 ind/m2

Halophila ovalis 4.3333 ind/m2 Halophila ovalis 1.4 ind/m2

Enhalus acoroides 7.4 ind/m2 Syringodium isoetifolium 19.8 ind/m2

Enhalus acoroides 12.6 ind/m2

Keterangan :

D = kepadatan bintang laut (ind/m²); � = jumlah bintang laut (individu); A = luas petak pengambilan contoh (m²)

(35)

23

Lampiran 4. Hasil perhitungan indeks Morisita

Jenis Asteroidea N ∑X ∑X² (∑X)²

(∑X²)

-(∑X) (∑X)²(∑X)- Id = n * (∑X²)(∑X)-(∑X)/(∑X)²- Pola Sebaran

Linckia laevigata 60 25 27 625 2 600 0,2000 Seragam

Protoreaster nodosus 60 7 8 49 1 42 1,4285 Mengelompok

Arcaster typicus 60 7 17 49 10 42 14,2857 Mengelompok

Culcita novaeguineae 60 1 1 1 0 0 0 Seragam

Keterangan : N = jumlah total transek kuadrat; � = Jumlah setiap individu di setiap kuadran = � + � + ….; �2 = jumlah total individu yang diperoleh =� ²+ � ²+ ….; �� = Indeks Sebaran Morisita; � = jumlah petak pengambilan contoh;

Hasil perhitungan Indeks Sebran Morisita dibandingakan dengan criteria sebagai berikut : Id < 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat seragam

Id = 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat acak

Id > 1 maka pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok

(36)

24

Lampiran 5. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap komunitas lamun

a) Akar Ciri, Persentase Ragam, dan Komulatif Ragam pada Sumbu Faktorial

Akar Ciri (Eigenvalue) Sumbu Faktorial

Sumbu 1 Sumbu 2

Nilai 0,6834 0,1094

Ragam (%) 86,19% 13,81%

Komulatif Ragam (%) 86,8734 13,9194

Variabel koordinat cosine2 koordinat cosine2

Linckia laevigata 0,4242 0,8835 -0,1539 0,1164

Protoreaster nodosus 0,2698 0,0955 0,8301 0,9044

Arcaster typicus -1,7080 0,9993 -0,0429 0,0006

Culcita novaeguineae 0,2698 0,0955 0,8301 0,9044

Thalassia hemprichii 0,2231 0,3974 0,2746 0,6025

Enhalus acoroides 0,5132 0,5487 -0,4654 0,4512

Syringodium isoetifolium -2,0661 0,9960 -0,1297 0,0039

Cymodocea rutundata 0,5132 0,5487 -0,4654 0,4512

Halophila ovalis 0,5132 0,5487 -0,4654 0,4512

b) Matriks Kontingensi Jenis Bintang Laut dan Jenis Lamun

Nama Variable Th Ea Sr Cr Ho Total

Linckia laevigata 14 9 0 1 1 25

Protoreaster nodosus 4 0 0 0 0 4

Arcaster typicus 2 0 5 0 0 7

culcita schmideliana 1 0 0 0 0 1

(37)

25

Lampiran 6. Hasil Analisis Koresponden (CA) bintang laut terhadap substrat

a) Akar Ciri, Persentase Ragam, dan Komulatif Ragam pada Sumbu Faktorial

Akar Ciri (Eigenvalue) sumbu faktorial

sumbu 1 sumbu 2

Nilai 0,0001 0,0035

Ragam (%) 96,54% 3,4580

Komulatif Ragam (%) 96,5401 3,4615

Variabel koordinat cosine2 koordinat cosine 2 Linckia laevigata -0,0841 0,9849 -0,0104 0,0151 Protoreaster nodosus -0,0204 0,7085 0,0131 0,2915

Arcaster typicus 0,0298 0,9151 0,0091 0,0848

Culcita novaeguineae 0,0747 0,9758 -0,0118 0,0242

pasir 0,0146 0,9999 -0,00002 0,000002

debu -0,2366 0,9216 0,0690 0,0783

liat -0,2404 0,9832 -0,0314 0,0167

c) Matriks Kontingensi Jenis Bintang Laut dan Fraksi Substrat dasar

Nama Variable Pasir Debu Liat Total

Linckia laevigata 25 0 0 25

Protoreaster nodosus 4 0 0 4

Arcaster typicus 7 0 0 7

Culcita novaeguineae 1 0 0 1

(38)

26

Lampiran 7. Dokumentasi hasil penelitian jenis-jenis bintang laut dan lamun di Pulau Sapudi

Culcita novaeguineae Arcaster typicus Protoreaster nodosus

Linckia laevigata Enhalus acoroides Halophila ovalis

(39)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 April 1990 dari ayah Much. Zadi dan Ibu Murti Trisnowati. Penulis adalah putra ketiga dari 4 bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari MAN 2 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Ekologi Laut Tropis pada tahun ajaran 2011/2012. Penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB periode 2011/2012.

Penulis menyelesaikan studinya di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan melakukan penelitian yang berjudul

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Stasiun Penelitian
Gambar 2. Skema penempatan transek
Gambar 4. Enhalus acoroides (koleksi pribadi)
Gambar 5. Kerapatan jenis lamun di pesisir Pulau Sapudi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum, melakukan peran pembinaan dan fasilitasi teknis kepada pemerintah daerah, khususnya

Untuk mengurangi getaran pada sistem roda mobil maka yang harus dilakukan adalah proses balancing yaitu dengan memasang massa penyetimbang (counterweight) pada roda

Berhubung dengan itu maka ditetapkanlah Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1959, yang menentukan bahwa sebelum tersusun Majelis Permusyawaratan Rakyat menurut Undang- undang

Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM) diberikan kepada setiap Warga Negara Indonesia yang datang dari luar wilayah Kota Pontianak (tamu) serta bertempat tinggal tidak

Radang iris dan badan siliar menyebabkan penurunan permeabilitas dari blood-aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel radang

Menanggapi berbagai orientasi ideologis gerakan-gerakan Islam yang muncul, Muhammad Abduh (dalam Gibb: 1978:33) memperjuangkan pemurnian Islam dengan empat rumusan,

Upaya pengendalian potensi bahaya dan risiko kecelakaan secara administratif dari aspek pelatihan diketahui bahwa pelatihan yang ada cukup efektif sebagai upaya

Formulasi strategi pemasaran berdasarkan perilaku pembelian keripik pisang menunjukkan bahwa industri keripik pisang perlu menjaga harga jual pada kisaran harga yang