• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN DAN

STRATEGI REHABILITASI HUTAN MANGROVE

KECAMATAN BIREM BAYEUN DAN

KECAMATAN RANTAU SELAMAT

KABUPATEN ACEH TIMUR

NURLAILITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Nurlailita

(4)

RINGKASAN

NURLAILITA. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan WIDIATMAKA.

Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berperan sebagai peralihan antara daratan dan lautan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologi, sosial ekonomi dan fisik. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi rusak. Faktor utama yang menyebabkan kerusakan ini, antara lain alih fungsi hutan mangrove menjadi areal tambak, kebun kelapa sawit, pemukiman baru dan penebangan pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan bahan baku pembuatan arang.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi vegetasi mangrove, mengidentifikasi luas dan sebaran mangrove, menentukan tingkat kesesuaian lahan areal rehabilitasi mangrove dan merumuskan strategi rehabilitasi mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat. Penelitian dilakukan di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara “purposive” dan metode penelitiannya menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis vegetasi, analisis citra satelit, analisis luasan dan sebaran mangrove dengan Sistem Informasi Geografis, matriks kesesuaian lahan hutan mangrove, analisis spasial untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan mangrove dan analisis SWOT.

Hasil inventarisasi flora menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian dijumpai 10 jenis tumbuhan mangrove. Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, jenis-jenis yang dijumpai berada pada tingkat semai, pancang, tiang dan tingkat pohon. Jenis R. apiculata dan B. gymnorrhiza mempunyai Indeks Nilai Penting (INP) yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis yang lain.

Berdasarkan hasil analisis citra Satelit Landsat 7 ETM+, sebaran mangrove di lokasi penelitian terdapat di 9 desa, area hutan mangrove menyebar di kiri-kanan sungai dan tepi pantai. Untuk perubahan luasan hutan mangrove, terlihat bahwa dibandingkan dengan tahun 2007, maka pada tahun 2010 terjadi penambahan luasan hutan mangrove sekitar 160,93 ha (4,61%). Namun sebaliknya apabila data luas hutan mangrove tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2014, maka terjadi pengurangan luasan hutan mangrove sekitar 43,75 ha (1,2%).

Analisis matriks kesesuaian lahan hutan mangrove dan analisis spasial untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan mangrove, ada tiga jenis mangrove yang dapat digunakan untuk program rehabilitasi di lokasi penelitian, yaitu:

(5)

Berdasarkan diagram dan matriks SWOT, strategi rehabilitasi hutan mangrove di lokasi penelitian berada pada sel 1 pada domain kekuatan dan peluang yang merupakan strategi agresif. Strategi rehabilitasi mangrove yang memungkinkan untuk diterapkan di lokasi penelitian adalah memanfaatkan dukungan yang relatif tinggi dari pihak pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan perguruan tinggi; untuk melestarikan hutan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat.

(6)

SUMMARY

NURLALITA. The Evaluation of Land Suitability and Strategy of Mangrove Rehabilitation in Birem Bayeun and Rantau Selamat Sub-District East Aceh Regency. Supervised by CECEP KUSMANA and WIDIATMAKA.

Mangrove ecosystem has role of interface ecosystem between land and sea. It has social, economic and ecological functions. The decrease quality and quantity of mangrove resulted in adverse impacts like abrasion, declaning fisheries hauling, seawater intrusion farther to landward, and malaria epidemic. Birem Bayeun and Rantau Selamat Sub-district have mangrove forest in damaged condition because of conversion into fish ponds, oil palm plantations, and settlements.

The purpose of this research was to determine the condition level of mangrove vegetation, to identify the mangrove distribution, to determine the level of land suitability of rehabilitated mangrove areas and to formulate some strategies for mangrove rehabilitation. The research was conducted in Birem Bayeun and Rantau Selamat Sub-district east Aceh Regency, Aceh. Location and method of this research determined by purposive and descriptive with survey techniques. Some analyses done in this study are: the analysis of vegetation, extensive and distribution of mangrove, land suitability as well as the analysis of description and SWOT.

The results show that mangroves in the study area consist of 10 species at level of seedlings, saplings, poles and trees. In which R. apiculata and B. gymnorrhiza have are dominant species.

Based on the interpretation of citra image Landsat 7 ETM+, mangroves in the study area distribute at the river bank or the beach. In 2010, the areas of mangroves increased around 160,93 ha (4.61%) compared to 2007 and declined around 43,75 ha (1.2%) on 2014.

According to land suitability matrix and spatial analysis, there were three types of mangroves that can be used for rehabilitation programs in the study area like Avicennia spp., Bruguiera gymnorrhiza and Rhizophora spp. In land suitability level, Rhizophora spp. had the highest of land suitability around 2.170,74 ha (43.35%).

Based on the SWOT’s diagram and matrix, mangrove rehabilitation strategies were classified in cell 1 as aggressive strategy, so that it can be applied in the location of research to take advantage of government, NGOs and universities support to strengthen mangrove’s forests; in order to conserve the mangrove forests for community welfare.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN DAN

STRATEGI REHABILITASI HUTAN MANGROVE

KECAMATAN BIREM BAYEUN DAN

KECAMATAN RANTAU SELAMAT

KABUPATEN ACEH TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur

Nama : Nurlailita NIM : P052120041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DAA Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, atas segala karunia-Nya, sehingga Tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah rehabilitasi mangrove dengan judul: Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Bapak Dr Ir Widiatmaka, DAA yang

telah membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama menempuh

studi di institusi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Omo Rusdiana, M.ScFTrop sebagai penguji luar komisi yang telah

memberikan saran dan koreksi konstruktif. Terima kasih juga penulis disampaikan kepada Bupati Kabupaten Aceh Timur, Kepala BKPP Kabupaten Aceh Timur dan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur yang telah memberikan tugas belajar hingga penulis menyelesaikan program Magister di Sekolah Pascasarjana ini.

Selain itu, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Timur, Camat, masyarakat dan tokoh masyarakat Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur, segenap tenaga pengajar dan pegawai Program Studi PSL SPS IPB.

Penulis menyampaikan terimakasih dan rasa hormat setinggi-tingginya kepada suami tercinta Iswahyudi, SP MSi, (Alm) Abu Ahmad Dahlan Arifin, Umi Nurchalidjah, kakak, abang dan adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman PSL dan Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) atas kebersamaan selama ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam diskusi, saran, doa hingga tesis ini terselesaikan dengan baik.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Hutan Mangrove 7

Deskripsi Hutan Mangrove 7

Fungsi dan Manfaat Mangrove 7

Jenis-jenis Mangrove 8

Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove 9

Konsep Perlindungan dan Rehabilitasi Ekosistem Hutan Mangrove 10

Rehabilitasi Hutan Mangrove 12

Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan 13

Kesesuaian Lahan 14

Partisipasi Masyarakat 15

3 METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Bahan dan Alat 16

Rancangan Penelitian 16

Variabel/Peubah yang Diamati 16

Metode Pengumpulan Data 18

Metode Analisis Data 21

4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25

Letak dan Luas 25

Kondisi Biofisik 27

Kelas Lereng 20

Iklim 28

Jenis Tanah 30

Land System 33

Tutupan Lahan 35

Geologi 38

Kependudukan 20

(16)

Kepadatan Penduduk 20

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Hasil 41

Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Mangrove 41

Analisis Luas dan Sebaran Mangrove 42

Analisis Kesesuaian Lahan Rehabilitasi Hutan Mangrove 46

Matriks Kesesuaian Lahan Hutan Mangrove 46

Analisis Spasial Kesesuaian Lahan Areal Rehabilitasi Hutan

Mangrove 49

Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Mangrove 57

Strategi Rehabilitasi Hutan Mangrove 58

Analisis Faktor Strategis Internal 59

Analisis Faktor Strategis Eksternal 61 Penyusunan Matriks dan Diagram SWOT Rehabilitasi

Hutan Mangrove 63 Pembahasan 66

6 SIMPULAN DAN SARAN 80

Simpulan 80

Saran 80

DAFTAR PUSTAKA 82

LAMPIRAN 86

(17)

DAFTAR TABEL

1 Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis sifat fisik, kimia tanah dan air

18 2 Matriks jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data,

teknik analisa dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian

19 3 Matriks kesesuaian lahan rehabilitasi hutan mangrove 23

4 Matriks analisis SWOT 24

5 Luas wilayah lokasi penelitian 27

6 Kelas lereng lokasi penelitian 28

7 Jenis tanah di lokasi penelitian 30

8 Luas sebaran jenis tanah lokasi penelitian 31

9 Land System di lokasi penelitian 33

10 Tutupan lahan di lokasi penelitian 35

11 Sebaran formasi geologi di lokasi penelitian 38 12 Jumlah penduduk dan sex ratio di lokasi penelitian 40 13 Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai di lokasi

penelitian

41 14 Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove di lokasi

penelitian

42 15 Luas dan sebaran hutan mangrove dilokasi penelitian pada tiga

tahun pengamatan.

43 16 Perubahan luasan hutan mangrove di lokasi penelitian 43 17 Rincian kegiatan rehabilitasi mangrove di Kabupaten Aceh Timur

yang dilakukan oleh Satker BRR NAD-Nias.

44 18 Rincian kegiatan rehabilitasi mangrove di Kabupaten Aceh Timur 46 19 Hasil penilaian kriteria kesesuian lahan hutan mangrove 48 20 Kesesuaian lahan untuk rehabilitasi mangrove 49

21 Variabel faktor strategis internal 59

22 Variabel faktor strategis eksternal 61

23 Matriks perhitungan nilai SWOT 64

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

2 Keterkaitan antar tiga ekosistem utama pesisir 13 3

4

Desain petak contoh vegetasi di lapangan Peta pengambilan titik sampel

17 20 5 Tahapan untuk membuat peta sebaran dan luas hutan mangrove 22

6 Model matriks Grand Strategy 24

7 Peta administrasi lokasi penelitian 26

8 Peta kelas lereng lokasi penelitian 29

9 Peta jenis tanah lokasi penelitian 32

10 Peta Land System lokasi penelitian 34

11 Citra Landsat lokasi penelitian 36

12 Peta tutupan lahan lokasi penelitian 37

13 Peta geologi lokasi penelitian 39

14 15 16 17

Peta perubahan luasan mangrove Peta pasang/kelas penggenangan Peta tingkat salinitas

Peta tipe tekstur tanah

45 50 51 52 18 Peta kesesuaian lahan untuk Avicennia spp. 53 19 Peta kesesuaian lahan untuk B. gymnorrhiza 54 20 Peta kesesuaian lahan untuk Rhizophora spp. 55 21 Peta kesesuaian lahan untuk rehabilitasi mangrove 56

22 Diagram SWOT rehabilitasi hutan mangrove 64

23 Hutan mangrove yang tumbuh di muara Krueng Teungku Aramiyah

69 24 Kerusakan yang terjadi pada hutan mangrove di lokasi penelitian 70 25 Rehabilitasi mangrove di Desa Bayeun Kecamatan Rantau

Selamat

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat semai di Kecamatan Birem Bayeun

86 2 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat pancang di

Kecamatan Birem Bayeun

86 3 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat tiang di Kecamatan

Birem Bayeun

86 4 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat pohon di Kecamatan

Birem Bayeun

87 5 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat semai di Kecamatan

Rantau Selamat

87 6 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat pancang di

Kecamatan Rantau Selamat

88 7 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat tiang di Kecamatan

Rantau Selamat

88 8 Indeks Nilai Penting (INP) mangrove tingkat pohon di Kecamatan

Rantau Selamat

89

9 Hasil analisis tekstur tanah 90

10 Panduan Wawancara Kepala Dinas dan Kepala UPTD 91 11 Panduan Wawancara Nelayan/Petani, Masyarakat, dan Tokoh

Masyarakat

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove adalah hutan yang ditumbuhi vegetasi mangrove dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropika yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan masin. Jadi, ekosistem mangrove adalah suatu sistem dimana alam menjadi tempat berlangsungnya kehidupan yang memiliki hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, yang terdapat di wilayah pesisir, dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dan juga didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh pada perairan masin atau payau.

Ekosistem mangrove merupakan wilayah yang berperan sebagai peralihan antara daratan dan lautan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologi, sosial ekonomi dan fisik. Fungsi ekologi sebagai tempat mencari makan, memijah dan bertelurnya berbagai biota laut seperti ikan dan udang dan juga habitat untuk ikan yang menempati terumbu karang, padang lamun dan zona pelagis. Selain itu sebagai habitat berbagai jenis margasatwa. Fungsi sosial ekonomi sebagai penghasil kayu dan non kayu (produksi madu, penghasil tanin) serta jasa (potensi

ecotourism) dan fungsi fisik seperti penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak, pengolahan limbah organik (Chong et al. 1996; Cormier 2006; Kusmana 2007).

Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove dapat mengancam kelestarian mangrove sebagai habitat flora dan fauna. Selanjutnya hal ini akan mengancam kehidupan fauna yang menggantungkan kehidupannya pada ekosistem mangrove. Pemanfaatan mangrove yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan akan mengakibatkan kemunduran terhadap fungsi-fungsi ekosistem mangrove.

(22)

2

Faktor utama yang menyebabkan kerusakan ini antara lain alih fungsi hutan mangrove menjadi areal tambak, pembukaan kebun kelapa sawit, pembukaan pemukiman baru dan penebangan pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan bahan baku pembuatan arang. Dari fenomena tersebut dapat dilihat bahwa kebutuhan akan lahan untuk beraktivitas maupun untuk bermukim akan semakin tinggi seiring makin tingginya pertambahan jumlah penduduk. Apabila hal ini terus berlangsung, diperkirakan hutan mangrove di Kabupaten Aceh Timur akan segera lenyap dalam kurun waktu 7-10 tahun mendatang bila kegiatan perambahan, pembalakan dan pengalihfungsian lahan termasuk ekspansi (perluasan) kebun kelapa sawit terus saja dibiarkan dan tidak segera ditertibkan (Lembahtari 2013). Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian (Onrizal 2010).

Pada saat ini masyarakat telah banyak mendapat kerugian akibat dari kerusakan hutan mangrove. Misalnya, karena sedikitnya hutan mangrove menyebabkan kurangnya penahan gelombang pada saat terjadi tsunami di Provinsi Aceh. Selain kerusakan yang disebabkan oleh faktor alami seperti bencana alam, juga disebabkan perbuatan manusia yang sengaja maupun tidak sengaja mengambil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun untuk dijual dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Berdasarkan kenyataan di atas, diperlukan suatu upaya pemulihan dan peningkatan kemampuan fungsi dan produktifitas hutan dan lahan. Onrizal dan Kusmana (2008) menyatakan menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.

Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang memiliki hutan mangrove dalam kondisi rusak, yang sangat mendesak untuk dilakukan upaya rehabilitasi. Upaya perbaikan kondisi mangrove dapat dilakukan dengan usaha rehabilitasi dengan cara penanaman kembali mangrove dan hal ini telah dilakukan oleh berbagai pihak antara lain BPDAS Krueng Aceh, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pusat Studi Lingkungan di perguruan tinggi serta para pecinta lingkungan maupun masyarakat umum yang peduli terhadap lingkungan. Namun, hasil dari kegiatan tersebut sejauh ini kurang optimal. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan rehabilitasi tidak dilakukannya evaluasi kesesuaian lahan terhadap jenis mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik daerah tersebut, selain itu juga karena rendahnya tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan rehabilitasi. Patang (2012) menyatakan bahwa dalam pengelolaan dan pengembangan hutan mangrove diperlukan musyawarah antara pihak pemerintah dan masyarakat tentang model pengelolaan hutan mangrove yang dapat dikembangkan.

(23)

3 sumberdaya secara proporsional. Dengan demikian diharapkan tercipta daya dukung sumberdaya hutan dan lahan yang optimal dan lestari.

Perumusan Masalah

Kondisi hutan mangrove Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat saat ini telah mengalami kerusakan, disebabkan oleh perubahan lingkungan di sekitarnya dan tekanan langsung dan tidak langsung terhadap keberadaan hutan mangrove itu sendiri. Kondisi pengelolaan hutan di kedua kecamatan tersebut (prasarana dan sarana, sumberdaya manusia, dana, data, dan informasi) saat ini kurang optimal.

Faktor-faktor yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia atau pembangunan di darat (industri, pemukiman, dan pertanian) yang memberikan kontribusi tekanan berupa pencemaran (limbah cair), sedimentasi, dan sampah, serta aktivitas manusia di perairan laut (perhubungan, perikanan atau nelayan) yang memberikan dampak negatif (pencemaran minyak, abrasi) terhadap pantai. Faktor lain yang mendorong kerusakan hutan mangrove berasal dari aktivitas manusia pada hutan mangrove itu sendiri, berupa: budidaya tambak, pembukaan perkebunan kelapa sawit dan penebangan kayu bakau untuk bahan baku pembuatan arang. Meningkatnya kecenderungan pengrusakan ekosistem hutan mangrove seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat lokal seperti penebangan pohon mangrove yang dijadikan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga tanpa memperhatikan daya dukung dan daya pulihnya (Kusmana 2005). Aktivitas semua pihak pada ketiga tempat tersebut (daratan atau hulu, hutan mangrove, dan perairan laut) telah menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan dan keberlanjutan fungsi hutan mangrove.

Upaya rehabilitasi hutan mangrove yang mengalami kerusakan di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat telah menjadi perhatian pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pusat Studi Lingkungan di perguruan tinggi maupun masyarakat yang peduli terhadap lingkungan. Permasalahan utama di dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat adalah terjadinya penurunan luas hutan mangrove dari tahun ke tahun akibat penebangan liar, kesalahan teknis rehabilitasi dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam program rehabilitasi yang dilakukan sehingga diperlukan suatu strategi rehabilitasi mangrove yang berkelanjutan.

(24)

4

Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat empat rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana kondisi vegetasi mangrove pada saat ini di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat?

2. Berapa luasan dan bagaimana sebaran mangrove yang ada di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat?

3. Bagaimana tingkat kesesuaian lahan areal rehabilitasi mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat?

4. Bagaimana strategi rehabilitasi kawasan mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian lahan dan merumuskan strategi rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat. Untuk mencapai tujuan utama diatas maka dirancang tujuan antara sebagai berikut:

1. Menentukan kondisi vegetasi mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat.

2. Mengidentifikasi luas dan sebaran mangrove yang ada di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat.

3. Menentukan tingkat kesesuaian lahan areal rehabilitasi mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat.

4. Merumuskan strategi rehabilitasi kawasan mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dasar bagi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Aceh Timur, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pusat Studi Lingkungan di perguruan tinggi serta para pecinta lingkungan maupun masyarakat umum yang peduli terhadap lingkungan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove khususnya di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat.

Kerangka Pemikiran

(25)

5 Kabupaten Aceh Timur merupakan kabupaten yang mempunyai potensi hutan mangrove yang sangat menjanjikan. Namun lain halnya dengan kondisi hutan mangrove yang ada saat ini. Ribuan hektar hutan mangrove yang ada di Kabupaten Aceh Timur kini telah beralih fungsi menjadi areal tambak, perkebunan kelapa sawit dan pemanfaatan pohon mangrove untuk bahan baku pembuatan arang. Saat ini di Kabupaten Aceh Timur banyak terdapat dapur arang yang beroperasi secara ilegal. Rendahnya kesadaran masyarakat dan rendahnya komitmen Pemerintah Kabupaten Aceh Timur dalam pengelolaan hutan mangrove menyebabkan semakin rusaknya ekosistem mangrove.

Penghancuran hutan mangrove terlihat dengan adanya pengusaha perkebunan kelapa sawit yang menggunakan alat berat untuk menghancurkan ekosistem mangrove dan membuat tanggul-tanggul supaya air laut tidak lagi masuk ke areal pada saat pasang terjadi. Penggunaan alat berat berupa beco juga mempercepat kehancuran ekosistem mangrove. Hal ini sangat meresahkan masyarakat sehingga masyarakat yang dulu umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan pencari ikan, udang dan kepiting menjadi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Di tahun-tahun 1980-an masyarakat sangat mudah berusaha mencari ikan, udang dan kepiting, bahkan anak-anak sekalipun setiap pulang sekolah juga melakukan ini dan akan sangat membantu keluarganya. Namun sekarang hanya sebagian kecil yang memaksakan diri sebagai nelayan, itupun harus turun ke laut, kalau tidak demikian maka tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sungguh ironis memang, masyarakat yang sejak dulu tinggal di pesisir dengan mata pencaharian utama nelayan harus beralih mata pencaharian bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit yang juga jauh dari berkecukupan.

Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat merupakan kecamatan di Kabupaten Aceh Timur yang memiliki luasan hutan mangrove yang besar, namun pada saat ini sebagian besar hutan mangrove yang terdapat di kecamatan ini berada dalam kondisi rusak. Akibat dari kondisi ini, menyebabkan tingginya tingkat abrasi sehingga penduduk yang bermukim di desa-desa yang berada dekat pesisir harus direlokasi ke daerah lain yang lebih aman. Tingkat kerusakan mangrove yang makin luas menyebabkan multifungsi mangrove secara spasial dan temporal merosot tajam, sehingga daya dukungnya terhadap budidaya kawasan pesisir sangat rendah. Kerusakan mangrove ini perlu dicari solusinya agar dapat dirumuskan strategi untuk menciptakan kelestarian ekosistem mangrove dengan tetap dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

Seiring dengan semakin tingginya kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat, diperlukan strategi untuk rehabilitasi hutan mangrove tersebut. Agar permasalahan rehabilitasi mangrove dapat direpresentasikan, maka perlu pemahaman mengenai faktor-faktor penentu keberhasilan rehabilitasi mangrove. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman tentang kondisi vegetasi mangrove, luasan dan sebaran mangrove, kesesuaian lahan rehabilitasi mangrove dan tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi mangrove.

(26)

6

langsung dengan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut. Analisis kondisi vegetasi mangrove dilakukan untuk mengetahui kondisi sumberdaya mangrove yang mencakup kerapatan, frekuensi, tutupan serta nilai penting mangrove berdasarkan hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Luas dan sebaran mangrove dapat dianalisis menggunakan teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan mengadakan observasi langsung terlebih dahulu di lokasi penelitian. Kesesuaian lahan mangrove dapat dianalisis dengan menyusun matriks kesesuaian lahan hutan mangrove, analisis spasial untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan untuk hutan mangrove, analisis tingkat partisipasi masyarakat menggunakan analisis deskriptif, sedangkan analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity and Threat) digunakan untuk menyusun strategi rehabilitasi mangrove. Secara rinci kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Kerusakan ekosistem mangrove

(pengambilan kayu arang, perkebunan kelapa sawit dan

pembukaan tambak) Rehabilitasi hutan mangrove

Kondisi vegetasi mangrove

Kesesuaian lahan mangrove Luas dan sebaran

mangrove

Partisipasi masyarakat

Strategi Rehabilitasi Mangrove

Hutan mangrove

Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat

(27)

7

2

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove Deskripsi hutan mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968 dalam Kusmana et al. 2005). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Adapun dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata

mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob (Snedaker 1978 dalam Kusmana et al. 2005). Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Bengen (2004) menambahkan, hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu berkembang pada daerah pasang surut terutama pantai berlumpur seperti jenis-jenis Rhizophora, Avicennia, Bruguiera dan Sonneratia dimana jenis-jenis ini berasosiasi dengan jenis lain seperti nipah, anggrek dan tumbuhan bukan mangrove lainnya.

Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Adapun ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor

lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana 2009).

Fungsi dan manfaat mangrove

Fungsi mangrove menurut Kusmana et al. (2005) dikategorikan kedalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomis. Fungsi-fungsi ini secara lebih rinci disajikan dibawah ini.

Fungsi Fisik

- Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil; - Mempercepat perluasan lahan.

(28)

8

- Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan

angin kencang.

- Mengolah limbah organik.

Fungsi Biologis/Ekologis

- Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.

- Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung. - Sumber plasma nutfah.

Fungsi Ekonomis

- Hasil hutan berupa kayu.

- Hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan

makanan, tanin dan lain-lain.

- Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman,

pertambangan, industri, infrasruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain). Sumberdaya mangrove yang berpotensi dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan (lahan tambak, lahan pertanian, kolam garam, ekowisata) dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component

(masing-masing flora dan faunanya).

Jenis-jenis Mangrove

Di dunia dikenal banyak jenis mangrove yang berbeda-beda. Sampai saat ini tercatat telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies, berdasarkan pendapat berbagai pakar (Tomlinson 1986, Field 1995 dalam Kusmana et al. 2005). Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya terdapat sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesia disebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis (FAO 1985 dalam Kusmana et al. 2005). Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili.

Dari berbagai jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak

ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia spp.), bakau

(Rhizophora spp.), tancang (Bruguiera spp.) dan bogem atau pedada (Sonneratia

(29)

9 terbaik. Jenis-jenis tersebut dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Kusmana et al. 2005).

Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove

Saenger et al. (1983) menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membukakan akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.

Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat mebutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun diluar kawasan. Kegiatan pelestarian mangrove pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnnya bila keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen penggerak pelestarian hutan mangrove (Bengen 2001).

Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah: isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

a. Isu-isu Ekologi dan isu Sosial Ekonomi

Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

b. Isu Kelembagaan dan Perangkat Hukum

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pertanahan Nasional merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove sangat mendesak untuk dilakukan saat ini.

(30)

10

pengelolaan mangrove. Adapun yang mendesak diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut.

c. Strategi dan Pelaksanaan Rencana

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan pada data Tataguna Hutan Kesepakatan (Santoso 2000) yang terdiri atas: Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir) dan Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat di kawasan hutan juga terdapat di bukan kawasan hutan yang biasanya dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya.

Konsep Perlindungan dan Rehabilitasi Ekosistem Hutan Mangrove

Perlindungan hutan mangrove sebagai sumberdaya alam yang penting ditujukan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi masyarakat dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan kemampuannya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Dalam kegiatan perlindungan tersebut diperlukan pengembangan terhadap faktor-faktor pendukungnya antara lain:

1. Ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan potensi mangrove harus berpijak pada dukungan ilmu dan teknologi.

2. Diversifikasi pemanfaatan. Hutan mangrove merupakan salah satu induk sumberdaya hayati yang memungkinkan perluasan pemanfaatan dengan dasar genetika.

3. Keterpaduan pengelolaan. Setiap pelaksana kegiatan harus memenuhi tugas dan fungsinya secara konsisten dan seoptimal mungkin dalam kaitannya dengan semua kegiatan lain secara terpadu.

(31)

11

a. Save It (Mengamankan)

Mengamankan ekosistem mangrove berarti melindungi genetik, spesies, habitat, dan ekosistem dengan cara:

 Menjaga penurunan kualitas dari komponen-komponen utama ekosistem.  Mengembangkan upaya mengelola dan melindungi secara efektif.

 Mengendalikan spesies-spesies yang telah hilang kepada habitat aslinya dan memeliharanya di genetik bank seperti kebun raya atau fasilitas ex situ

lainnya.

b. Study It (Mempelajari)

Mempelajari hutan mangrove dengan dokumentasi mengenai karakteristik sifat biologi, ekologi, sosial ekonomi. Juga membina kesadaran akan nilai-nilai ekosistem mangrove, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menghargai adanya keanekaragaman alam serta memasukkan isu-isu ekosistem mangrove kedalam bagian kurikulum pendidikan.

c. Use It (Memanfaatkan)

Memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara lestari dan seimbang serta mengembangkan dengan teknik-teknik pemanfaatan yang dapat mempertahankan keberadaan ekosistem hutan mangrove. Ekosistem mangrove digunakan hanya untuk memperbaiki kehidupan manusia dan memberikan jaminan bahwa sumber-sumber ini dimanfaatkan secara bersama-sama dan secara adil.

Dahuri (1998), menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Untuk itu dalam pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah pesisir secara lestari perlu dilakukan penzonasian dalam pemanfaatannya. Hal ini dipertegas lagi oleh Aksornkoae (1993), zonasi mangrove merupakan salah satu langkah pertama untuk pengawasan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama, yaitu: a) Zona Pemeliharaan, merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak

terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai, dan erosi tanah.

b) Zona Perlindungan, merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal.

c) Zona Pengembangan, merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain.

(32)

12

Rehabilitasi Hutan Mangrove

Rehabilitasi ekosistem mangrove dilakukan dengan pendekatan penataan tata ruang kawasan pesisir. Kerusakan ekosistem mangrove tidak hanya disebabkan oleh aktifitas pada wilayah pesisir saja. Menurut Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik dan kimia di lingkungannya. Empat faktor utama yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: (a) frekuensi arus pasang; (b) salinitas tanah; (c) air tanah; dan (d) suhu air. Keempat faktor tersebut akan menentukan dominan jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.

Upaya perbaikan kondisi mangrove dapat dilakukan dengan usaha rehabilitasi dengan cara penanaman kembali mangrove. Hendrarto 1993 dalam

Setyawan et al. (2004), menyebutkan ada tiga permasalahan yang perlu diperhatikan dalam upaya rehabilitasi kawasan mangrove yaitu: upaya penghijauan kembali umumnya hanya menggunakan satu jenis mangrove saja, program ini mungkin tidak didasarkan pada perhitungan sistem tata letak/ruang daerah pantai, dan tidak disertakannya program monitoring untuk mengkaji keberhasilan program ini dalam memulihkan kembali ekosistem pantai.

Lewis dan Marshall 1997 dalam Setyawan et al. (2004), menyatakan bahwa beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan dalam rehabilitasi magrove adalah pengetahuan tentang autecology (ekologi individual dari suatu spesies) dari spesies mangrove di lokasi tersebut. Khususnya mengenai pola reproduksi, distribusi propagul, dan penanaman bibit; pengetahuan tentang pola hidrologi yang normal yang akan mengontrol penyebaran, keberhasilan penancapan dan pertumbuhan dari spesies mangrove yang dituju; mengukur tingkat perubahan yang telah terjadi dari lingkungan asli mangrove yang menyebabkan terhambatnya suksesi mangrove; mendesain program restorasi untuk menjaga kondisi hidrologi, dan menggunakan bibit mangrove alami untuk rehabilitasi; hanya melakukan penanaman benih langsung, atau menanam semaian hasil pengumpulan, atau menanam semaian hasil budidaya setelah menentukan bahwa rekrutmen alami tidak akan mampu menyediakan jumlah semaian yang tertanam dengan baik, tingkat stabilisasi, atau tingkat pertumbuhan yang ditetapkan sebagai tujuan proyek restorasi.

Sebagai kawasan penyangga, mangrove merupakan pelindung kawasan

laut terhadap pengaruh pantai dan pelindung daratan akibat pengaruh laut. Dahuri et al. (2001) menyebutkan bahwa perubahan yang terjadi pada ekosistem

(33)

13

Gambar 2 Keterkaitan antar tiga ekosistem utama pesisir (Sumber: Dahuri et al. 2001).

Pemanfaatan Hutan Mangrove Berkelanjutan

Menurut Kusmana et al. (2005), secara garis besar ada tiga bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang berkelanjutan yang dapat dilakukan oleh masyarakat:

(1) Tambak

a. Tambak Tumpangsari

Tambak tumpangsari ini merupakan unit tambak yang di dalamnya mengkombinasikan bagian lahan untuk pemeliharaan kepiting/ikan dan bagian lahan untuk penanaman mangrove.

b. Model Tambak Terbuka

Model tambak yang dimaksud merupakan kolam pemeliharaan ikan yang sama sekali tidak ada tanaman mangrovenya (kolam tanpa tanaman mangrove). Untuk memperbaiki lingkungan tambak, tanaman mangrove dapat ditanam di sepanjang saluran primer dan sekunder pinggir sungai maupun di sepanjang pantai.

(2) Hutan Rakyat

Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pemanfaatan mangrove yang dapat dikelola secara berkelanjutan yang mana hasil utamanya berupa kayu bakar atau arang atau serpih kayu;

(3) Budidaya mangrove untuk mendapatkan hasil selain kayu

Bentuk pemanfaatan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil hutan ikutan (hasil hutan bukan kayu), misalnya madu, tanin, pakan ternak, dan lain-lain; (4) Bentuk kombinasi pemanfaatan mangrove secara simultan untuk

(34)

14

Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Sebagai contoh lahan sangat sesuai untuk irigasi, lahan cukup sesuai untuk pertanian tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement).

Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi kualitatif ialah cara menilai kesesuaian lahan dalam mencari alternatif penggunaan secara spesifik dengan tidak mempertimbangkan aspek ekonominya, yang dijelaskan dengan cara kualitatif seperti kesesuaian tinggi, sedang, marginal dan tidak sesuai. Secara umum digunakan untuk survey tingkat tinjau. Klasifikasinya dibagi dalam tingkat order, kelas, subkelas, dan unit dengan tingkat dan jumlah faktor pembatasnya. Evaluasi kuantitatif ialah penetapan kesesuaian lahan secara kuantitatif dengan mempertimbangkan aspek ekonominya, yaitu dari produksi atau keuntungan lain yang diharapkan dari penggunaan lahan tersebut (FAO 1976 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Penggunaan lahan secara spesifik dari seperangkat spesifikasi teknis pada keadaan fisik, ekonomi, dan sosial tertentu. Hal ini dapat merupakan keadaan sekarang atau keadaan yang akan datang setelah dilakukan perubahan. Penggunaan lahan secara spesifik ini dilakukan dalam evaluasi pada tingkat detil secara kuantitatif. Jenis penggunaan lahan secara spesifik tidak hanya terdiri dari satu atau lebih jenis tanaman pada suatu areal lahan tertentu (FAO 1976 dalam

Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan berdasarkan keadaan lahan sekarang atau berdasarkan keadaan lahan setelah dilakukan perbaikan besar-besaran, yang mengubah ciri-ciri lahan dengan sangat tetap dan cukup tetap hasil pengubahannya. Kesesuaian Lahan aktual merupakan kesesuaian lahan saat dilakukan evaluasi lahan, tanpa ada perbaikan yang berarti dan tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor pembatas yang ada dalam suatu lahan. Dalam evaluasi lahan, kesesuaian lahan aktual yang memiliki kelas kesesuaian yang rendah dapat diperbaiki menjadi kelas kesesuaian yang lebih tinggi (potensial). Namun tidak semua kualitas lahan atau karekteristik lahan dapat diperbaiki dengan teknologi yang ada saat ini atau diperlukan tingkat pengelolaan yang tinggi untuk dapat diperbaiki.

Faktor-faktor pembatas dalam evaluasi lahan dibedakan atas faktor pembatas yang bersifat permanen dan non permanen. Faktor pembatas yang bersifat permanen merupakan pembatas yang tidak memungkinkan untuk diperbaiki dan kalaupun dapat diperbaiki, secara ekonomis sangat tidak menguntungkan. Faktor pembatas non permanen merupakan pembatas yang mudah diperbaiki dan secara ekonomis masih dapat memberikan keuntungan dengan masukan teknologi yang tepat.

(35)

15 biaya relatif rendah. Tingkat pengelolaan sedang, melakukan pengelolaan pada tingkat petani menengah, memerlukan modal yang cukup besar dan teknik pertanian sedang. Tingkat pengelolaan tinggi, melakukan pengelolaan hanya dapat dilakukan dengan modal yang relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar atau menengah (FAO 1976 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan. Partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di dalam masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dimaksudkan sebagai pelibatan atau keterlibatan masyarakat dalam suatu kegiatan atau kejadian tertentu yang mendukung pelestarian sumber daya hutan (Adisasmita 2006).

Dalam Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 2 menyebutkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas partisipatif. Agar partisipasi masyarakat dapat berjalan aktif menurut Munir (2004) dalam

Setyowati (2010), maka partisipasi masyarakat harus dibangun dengan tiga pilar, yaitu partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Partisipasi dibagi atas dua bagian yaitu berdasarkan jenis dan bentuknya. Partisipasi berdasarkan jenis dibagi atas enam, yaitu: pikiran, tenaga, pikiran dan tenaga, keahlian, barang dan uang. Adapun menurut bentuknya partisipasi dikategorikan menjadi tujuh, yaitu: konsultasi, sumbangan berupa uang atau barang, sumbangan dalam bentuk kerja yang biasanya dilakukan tenaga ahli setempat, aksi massa/gotong royong, mengadakan pembangunan dikalangan keluarga dari masyarakat setempat, mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh masyarakat setempat dan mendirikan proyek yang juga dibiayai oleh sumbangan dari luar lingkungan masyarakat (Santosa 1999

dalam Setyowati 2010). Tahapan partisipasi dibedakan menjadi empat tahap, yaitu: partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam manfaat dan partisipasi dalam evaluasi (Setyowati 2010).

(36)

16

3

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua kecamatan yaitu Kecamatan Birem Bayeun (Desa Keude Bayeun, Desa Birem Rayeuk, Desa Paya Peulawi, dan Desa Aramiah) dan Kecamatan Rantau Selamat (Desa Bayeun, Desa Alue Kumba, Desa Sarah Teubee, Desa Seunebok Dalam dan Desa Alue Raya Gampong) Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh selama 2 (dua) bulan yang dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Mei 2014. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara “purposive”, yaitu penentuan lokasi yang dipilih secara langsung atau sengaja dengan alasan bahwa pada lokasi tersebut terdapat hutan mangrove yang kondisinya rusak dan pada saat ini telah dilakukan upaya-upaya rehabilitasi.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pengumpulan data adalah panduan wawancara, citra satelit Landsat 7 ETM+ (tahun peliputan 2007, 2010 dan 2014), peta-peta Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat (peta administrasi, peta jenis tanah, peta land system, peta topografi dan peta penggunaan lahan). Alat yang digunakan adalah refraktometer, meteran, alat tulis menulis, kamera, binokuler, abney level, Global Position System (GPS), software Arc View 9.3, serta buku panduan pengenalan mangrove.

Rancangan Penelitian Variabel/ Peubah yang Diamati a) Data vegetasi mangrove

Pada jalur-jalur yang telah dibentuk, dibuat petak ukur bertingkat berbentuk bujur sangkar yang dibuat secara berselang seling. Masing-masing berukuran 20 m x 20 m (tingkat pohon), 10 x 10 m (tingkat tiang), 5 m x 5 m (tingkat pancang), dan 2 m x 2 m (tingkat semai) (Kusmana 1995). Bersamaan dengan pengukuran dilakukan pencatatan pada tally sheet yang meliputi jenis dan jumlah individu masing-masing jenis.

(37)

17

Keterangan:

: Petak contoh untuk semai (2 x 2 m) : Petak contoh untuk pancang (5 x 5 m) : Petak contoh untuk tiang (10 x 10 m) : Petak contoh untuk pohon (20 x 20 m)

Gambar 3 Desain petak contoh vegetasi di lapangan Tingkat pertumbuhan yang diukur dalam kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove, adalah sebagai berikut:

(a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai dengan tinggi < 1,5 m. (b) Pancang : Permudaan dengan tinggi ≥ 1,5 m sampai dengan diameter < 5 cm. (c) Tiang : Pohon-pohon muda yang mempunyai diameter 5 - < 10 cm.

(d) Pohon : Pohon dengan diameter ≥ 10 cm.

b)Data Sifat Tanah dan Air

Pengambilan data sifat fisik tanah, sifat kimia air, kelas penggenangan dan frekuensi pasang dilakukan pada lokasi yang sama dengan pengambilan data vegetasi. Peta pengambilan titik sampel vegetasi, tanah dan air di sajikan pada Gambar 4.

(38)

18

c) Data Partisipasi Masyarakat

Pemilihan informan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dan mengumpulkan data primer dilakukan secara sengaja (purposive sampling).

Informan yang dipilih dengan kriteria yang ditentukan antara lain masyarakat lokal, anggota kelompok tani/nelayan, tokoh masyarakat setempat yang memahami situasi dan kondisi lingkungan, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat, Kepala UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Timur dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Aceh Timur.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir 2005).

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung berupa data luas dan sebaran mangrove, data analisis vegetasi mangrove, data kesesuaian lahan rehabilitasi mangrove dan data partisipasi masyarakat. Jenis dan sumber data secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis sifat fisik tanah dan kimia air

No. Jenis Analisis Satuan Metoda Analisis

Tanah

1 Fisika Tanah

a. Tekstur tanah (% debu, % liat, % pasir)

Pipet dan ayakan

b. Topografi - Abney Level

Air

2 Kimia Air

(39)

19

Tabel 2 Matriks jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa dan keluaran berdasarkan tujuan penelitian

Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik

Pengumpulan Data Analisis Teknik Data

Analisis vegetasi a. Jenis Mangrove b. Indeks Nilai

Analisis SWOT Rumusan strategi rehabilitasi mangrove

(40)

20

Gambar 4 Peta pengambilan titik sampel

(41)

21

Metode Analisis Data a) Analisis Vegetasi Hutan Mangrove

Data yang diperoleh di lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP) (Cox 1985), digunakan untuk mengetahui jenis pohon dominan pada setiap tingkat pertumbuhan. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indeks yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis tumbuhan dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis tumbuhan bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut.

Persamaan-persamaan yang digunakan untuk pengolahan data vegetasi mangrove adalah sebagai berikut:

b)Analisis Luas dan Sebaran Mangrove

(42)

22

Gambar 5 Tahapan pembuatan peta sebaran dan luas mangrove

c) Analisis Kesesuaian Lahan Hutan Mangrove

Analisis kesesuaian lahan mencakup 2 tahapan analisis, yaitu: penyusunan matriks kesesuaian lahan hutan mangrove dan analisis spasial untuk

mengetahui tingkat kesesuaian lahan untuk hutan mangrove. 1. Penyusunan matriks kesesuaian lahan hutan mangrove

Penentuan kesesuaian lahan hutan mangrove didasarkan pada tipe pasang, kelas penggenangan (salinitas dan frekuensi pasang) dan tipe tekstur tanah. Dalam hal ini, Watson 1928 dan de Haan 1931 dalam Kusmana et al. 2005, membuat korelasi antara salinitas, frekuensi genangan pasang (kelas pengenangan), tipe tekstur tanah dan jenis pohon mangrove yang dapat tumbuh pada daerah yang bersangkutan. Matriks kesesuaian lahan mangrove disajikan pada Tabel 3.

2. Analisis spasial untuk mengetahui tingkat kesesuaian lahan untuk hutan mangrove.

Analisis spasial untuk kesesuaian lahan mangrove dilakukan berdasarkan hasil overlay (tumpang susun) peta administrasi, peta jenis tanah, peta land system, peta topografi, peta penggunaan lahan dan parameter-parameter kesesuaian lahan untuk mangrove (tipe pasang/kelas penggenangan, salinitas serta frekuensi pasang dan tipe tekstur tanah).

(43)

23

Tabel 3 Matriks kesesuaian lahan mangrove.

Tipe Pasang /Kelas

Tipe Tekstur Tanah Jenis Mangrove Dominan

1. All high tides Payau sampai masin, salinitas 10-20 ppt, 2. Medium high tides 10-19 hari/bulan,

salinitas 10-20 ppt 3.Normal high tides 9 hari/bulan, salinitas

10-20 ppt

4.Spring tides only Beberapa hari/bulan, salinitas 0 ppt

5.Storm highes tides only Air tawar sampai payau, salinitas 0 ppt (Jarang

Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi mangrove. Analisis deskriptif adalah metode analisis yang berusaha menjelaskan kondisi objek kajian menurut kriteria-kriteria tertentu sehingga bisa memberikan gambaran yang sesungguhnya terjadi di lokasi penelitian tersebut.

e) Analisis SWOT

Dalam penentuan strategi rehabilitasi hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan Analisis SWOT (Strenght/Kekuatan, Weakness/Kelemahan,

(44)

24

internal (Strenght/Kekuatan dan Weakness/Kelemahan) dan faktor eksternal (Opportunity/Peluang dan Threat/Ancaman) kondisi biofisik lingkungan, tingkat kesesuaian lahan, analisis spasial dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi mangrove diperlukan untuk merumuskan matriks SWOT dan pilihan alternatif strategi terbaik dalam kegiatan rehabilitasi mangrove di masa yang akan datang dalam rangka mewujudkan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Tahap analisis dengan menggunakan matriks SWOT dimaksudkan untuk merumuskan alternatif strategi rehabilitasi mangrove. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Rangkuti 2008). Dari analisis SWOT ini akan menghasilkan matriks SWOT.

Matriks SWOT menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi sebagaimana terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Matriks analisis SWOT Faktor Internal Faktor Eksternal

Kekuatan Kelemahan

Peluang Strategi

Kekuatan-Peluang

Strategi Kelemahan-Peluang

Ancaman Strategi

Kekuatan-Ancaman

Strategi Kelemahan-Ancaman

Sumber : David 2002.

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisa SWOT adalah sebagai berikut:

1. Analisis dan pembuatan matriks IFE (Internal Factor Evaluation). 2. Analisis dan pembuatan matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation). 3. Pembuatan diagram dan matriks SWOT. Model matriks grand strategy

dapat dilihat pada Gambar 6.

Sel 2 Sel 1

Sel 3 Sel 4

Gambar 6 Model Matriks Grand Strategy.

Kelemahan Kekuatan

(45)

25

4

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Letak dan Luas

Lokasi penelitian yang berada di Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat merupakan kecamatan yang termasuk didalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Timur. Kecamatan ini berada dibagian timur Kabupaten Aceh Timur dan terletak di pantai timur Provinsi Aceh. Secara visual, gambaran wilayah administrasi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Secara geografis lokasi penelitian terletak pada posisi antara 04° 20’ 32,43’’ – 04° 42’ 56,76” Lintang Utara dan 97° 41’ 17,00’’ – 98° 00’11,35’’ Bujur Timur. Ketinggian tempat berkisar antara 0-800 m diatas permukaan laut serta mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sungai Raya  Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka

 Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kota Langsa

(46)

26

Gambar 4 Peta administrasi lokasi penelitian

(47)

27 Lokasi penelitian mempunyai luas wilayah yang bervariasi. Kecamatan Birem Bayeun mempunyai luas wilayah 253,68 km2, sedangkan Kecamatan Rantau Selamat mempunyai luas wilayah 159,8 km2. Secara lebih rinci luas wilayah masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas wilayah lokasi penelitian

No. Desa Luas

(km2) No. Desa (kmLuas 2)

a. Kecamatan Birem Bayeun

1 Afd. II Buket 2,00 15 Buket Tiga 11,50

2 Alue Buloh 18,91 16 Bukit Seulemak 10,90

3 Alue Canang 17,00 17 Jambo Labu 7,11

4 Alue Drien 11,30 18 Kemuning Hulu 4,08

5 Alue Gadeng 21,50 19 Keude Birem 2,00

6 Peutow 9,00 20 Merbau Dua 1,70

7 Alue Nyamok 5,14 21 Paya Bili I 4,00

8 Alue Sentang 10,17 22 Paya Bili II 2,86

9 Alue Teh 14,00 23 Paya Peulawi 3,40

10 Aramiyah 8,30 24 Paya Rambong 9,00

11 Bayeun 2,00 25 Paya Tampah 5,63

12 Benteng 16,50 26 Perk. Alue Gadeng I 2,60

13 Birem Rayeuk 9,22 27 Perk. Alue Gadeng II 16,86 14 Blang Tualang 27,00

Total Luas Wilayah 253,68

b. Kecamatan Rantau Selamat

1 Alue Tuwi 18,00 8 Simpang Jernih 19,00

2 Alue Kool 16,00 9 Gampong Bayeun 8,00

3 Alue Punti 43,00 10 Sarah Tubee 4,00

4 Dama Sipot 9,00 11 Ranto Panjang 9,00

5 Simpang Peut 9,00 12 Alue Raya 7,50

6 Sarah Kayee 1,50 13 Seunebok Dalam 7,00

7 Alue Seulemak 0,80 14 Alue Kumba 8,00

Total Luas Wilayah 159,8

Sumber : BPS Kabupaten Aceh Timur 2013.

Kondisi Biofisik

Kelas Lereng

Data kelas lereng lokasi penelitian diperoleh dari Peta Rupabumi skala 1 : 25.000. Tampilan utuh dari lembar-lembar peta itu menjadi suatu Peta Kelas

Lereng. Rincian kelas kelerengan lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6 dan Peta kelas lereng lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8.

(48)

28

utara, ketinggian semakin menurun sampai ke daerah dataran rendah. Berdasarkan kelas lereng, kelas lereng lokasi penelitian terdiri atas 4 kelas, yaitu kelas kelerengan 0-8%, kelas kelerengan 9-15%, kelas kelerengan 16-25% dan kelas kelerengan 26-40%. Wilayah Kecamatan Birem Bayeun dan Kecamatan Rantau Selamat kelas lerengnya didominasi oleh kelas kelerengan 0-8% dengan luas masing-masing 41.320,63 ha (85,37%) dan 22.865,90 ha (94,04%).

Tabel 6 Kelas lereng lokasi penelitian

No. Kelas lereng (%)

Kecamatan

Birem Bayeun Rantau Selamat Kecamatan Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%)

1 0-8 41.320,63 85,37 22.865,90 94,04

2 9-15 792,77 1,64 27,79 0,11

3 16-25 20,44 0,04 1.422,66 5,85

4 26-40 6265,44 12,95 0 0

Total 48.399 100 24.316 100

Sumber : Peta Rupabumi skala 1 : 25.000 No Lembar 1209 - 141, 142 dan 1209 – 124 BAKOSURTANAL Th. 2011.

Iklim

(49)

29

Gambar 8 Peta kelas lereng lokasi penelitian

Gambar

Tabel 1  Parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis sifat fisik tanah
Tabel 2  Matriks jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa dan  keluaran berdasarkan tujuan penelitian
Gambar 4 Peta pengambilan titik sampel
Gambar 5 Tahapan pembuatan peta sebaran dan luas mangrove
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat peranan pemerintah yang didukung oleh lembaga donor dalam pelaksanaan program rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Baitussalam sebagai kegiatan

Pada zona 3, pengunjung dapat melihat view badan air sungai, satwa burung fresh water dan burung laut terutama yang menetap di hutan mangrove, satwa ikan,

Penelitian pertumbuhan Rhizophora mucronata Lamk pada kegiatan evaluasi tahun pertama rehabilitasi hutan mangrove bekas lahan tambak dilakukan di Desa Pulau Sembilan,

Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling. tersebar luas.Perbungaan terjadi sepanjang tahun.Anakan seringkali

Studi Fisik dan Pasang Surut Air Laut terhadap Penyebaran Jenis Rhizophora Hutan Mangrove Pantai Tampora Jatim.Fahutan.IPM.. 2003.Hutan Mangrove Fungsi

jenis tumbuhan yang menyususun hutan mangrove yaitu Rhizophora spb. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang

Hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan rehabilitasi mangrove Pulo Sarok Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil menemukan 4 jenis kepiting bakau (Scylla)

Hasil penelitian yang telah dilakukan di kawasan rehabilitasi mangrove Pulo Sarok Kecamatan Singkil Kabupaten Aceh Singkil menemukan 4 jenis kepiting bakau (Scylla)