• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

AGIL GILANG RAMADHAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi atau lembaga mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Agil Gilang Ramadhan

(4)

ABSTRAK

AGIL GILANG RAMADHAN. Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SUPRIYANTO.

Usaha pertambangan selalu terkait dengan kegiatan mengubah bentuk lahan sehingga menghancurkan ekosistem hutan dan isinya, antara lain hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kesuburan lahan dan toksisitas lahan. Setiap pemegang izin pertambangan diwajibkan melakukan kegiatan reklamasi yang bertujuan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan dan lahan yang rusak sehingga dapat berfungsi kembali sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Pemantauan Kesehatan Hutan/Forest Health Monitoring (FHM) merupakan metode yang dapat digunakan untuk memantau, menilai dan melaporkan status saat ini, perubahan dan kecenderungan jangka panjang kondisi suatu ekosistem hutan yang didasarkan kepada penilaian terhadap indikator-indikator terukur yang dapat menggambarkan kondisi tegakan secara komprehensif untuk pengambilan keputusan manajemen. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai status kesehatan hutan di areal reklamasi Site Sambarata PT Berau Coal dengan metode FHM. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap indikator yang terdiri dari produktivitas, kualitas tapak, vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk) dan biodiversitas tumbuhan bawah. Jumlah plot yang dibuat sebanyak 20 plot (5 klaster plot), mulai dari tahun tanam 2011, 2010, 2009, 2008 dan 2007. Hasil penelitian di lima klaster plot diperoleh status akhir kesehatan hutan termasuk dalam kategori sedang dengan nilai akhir masing-masing berturut-turut 20, 23, 26, 26 dan 26 dari nilai tertinggi 50.

Kata kunci: FHM, kesehatan hutan, pertambangan

ABSTRACT

AGIL GILANG RAMADHAN. Forest Health Status in Coal Mining Reclamation Areal PT Berau Coal East Kalimantan. Supervised by SUPRIYANTO.

Mining activity always related to land conversion that lead to the destruction of forest resources, among others biodiversity loss, land fertility degradation dan toxicity of land. Every mining license holder is required to held a reclamation activity in order to returning forest area and degraded land into its proper function. Forest Health Monitoring (FHM) is a method which can be used to monitor, assess and report the current forest status, changes and long term trends in forest ecosystem health by using measurable ecological indicators for making management decision. The aim of this study was to assess forest health status in reclamation areal in Sambarata Site PT Berau Coal using FHM method. Assessment was done using indicators such as productivity, site quality, vitality (tree damage condition and crown condition) and undergrowth biodiversity. Total amount of established plot was 20 plots (5 cluster plots), it was located in planting year of 2011, 2010, 2009, 2008 and 2007. The result showed that the forest health status was classified into fair with the values of 20, 23, 26, 26 and 26 of 50 respectively.

(5)

AGIL GILANG RAMADHAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(6)
(7)

Judul Skripsi : Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur

Nama : Agil Gilang Ramadhan NIM : E44090018

Disetujui oleh

Dr Ir Supriyanto Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah pemantauan kesehatan hutan, dengan judul Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Supriyanto selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Masyhuri, Bapak Seprinda selaku pembimbing di lapangan yang telah banyak memberi saran dan arahannya, Bapak Krispani, Bapak Eddy Sudayat, Bapak Rudi, Bapak Agus KBM dan Bapak-bapak pegawai harian yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan serta Bapak/Ibu Pegawai PT Berau Coal Kalimantan Timur atas kerjasama, fasilitas dan sarannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, kakak, adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, kepada Fitri, Khalid, Dina, Lody, Ayu dan teman-teman seperjuangan Silvikultur 46 yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk rehabilitasi areal bekas pertambangan.

Bogor, Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Bahan dan Alat 2

Prosedur Penelitian 2

HASIL 10

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 10

Penetapan dan Pembuatan Plot 12

Pengukuran Indikator Kesehatan Hutan 12

Penilaian Kesehatan Hutan 18

PEMBAHASAN 19

Produktivitas Pohon 19

Kualitas Tapak 20

Kerusakan Pohon 22

Kondisi Tajuk 24

Biodiversitas Tumbuhan Bawah 25

Tingkat Kesehatan Hutan 26

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 27

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 30

(10)

DAFTAR TABEL

1 Nilai skor produktivitas pada klaster plot berdasarkan nilai luas bidang

dasar (LBDS) 4

2 Nilai skor kualitas tapak pada klaster plot berdasarkan nilai KTK 5 3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan 5

4 Deskripsi kode lokasi kerusakan 6

5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan 6 6 Nilai skor kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI 7

7 Kriteria kondisi tajuk 8

8 Penentuan nilai VCR 8

9 Nilai skor kondisi tajuk pada klaster plot berdasarkan nilai VCR 8 10 Nilai skor biodiversitas pada klaster plot berdasarkan nilai indeks

kemerataan jenis Pielou 9

11 Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di areal Site Sambarata 10 12 Lokasi klaster plot FHM di Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan

Timur 12

13 Rekapitulasi data LBDS tegakan di lima klaster plot 12 14 Rata-rata ketebalan serasah dan ketebalan horizon O di lima klaster plot 13 15 Kandungan sifat kimia tanah di lima klaster plot 13 16 Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) di lima klaster plot 14 17 Sebaran lokasi kerusakan pohon di lima klaster plot 15 18 Sebaran tipe kerusakan pohon di lima klaster plot 15 19 Sebaran tingkat keparahan di lima klaster plot 16 20 Nilai PLI (Plot Level Index) di lima klaster plot 16 21 Rekapitulasi rasio tajuk hidup (LCR), kerapataan tajuk (CDs),

transparansi tajuk (FTr), diameter tajuk (CDia), dieback (CDb) dan nilai peringkat tajuk visual (VCR) di lima klaster plot 16 22 Keanekaragaman jenis, indeks keragaman jenis dan indeks kemerataan

jenis tumbuhan bawah 18

23 Skoring indikator dan nilai akhir kesehatan hutan 19

DAFTAR GAMBAR

1 Desain klaster plot FHM 3

2 Kondisi lapang (a) klaster plot 1 tahun tanam 2011 dan (b) klaster plot 2

tahun tanam 2010 17

3 Kondisi lapang (a) klaster plot 3 tahun tanam 2009, (b) klaster plot 4 tahun tanam 2008 dan (c) klaster plot 5 tahun tanam 2007 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta revegetasi PT Berau Coal Site Sambarata Blok A: (a) klaster plot 3 tahun tanam 2009, (b) klaster plot 4 tahun tanam 2008 dan (c) klaster

(11)

2 Peta revegetasi PT Berau Coal Site Sambarata Blok B-1: (a) klaster plot 1 tahun tanam 2011 dan (b) klaster plot 2 tahun tanam 2010 31 3 Analisis sifat kimia tanah pada klaster plot penelitian di Site Sambarata

PT Berau Coal Kalimantan Timur 32

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan usaha pertambangan batubara pada umumnya dilakukan dengan penambangan terbuka (open pit mining) yang akan menimbulkan dampak pada perubahan lanskap dan kondisi kehidupan masyarakat tempat kegiatan pertambangan terjadi (Sukandarrumidi 2010). Kegiatan usaha pertambangan dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positif yang ditimbulkan diantaranya memberikan pendapatan yang besar bagi negara dalam bentuk royalti, pajak, dan lain-lain. Namun kegiatan penambangan di kawasan hutan dan lahan selalu terkait dengan aktivitas mengubah bentuk lahan sehingga menghancurkan ekosistem hutan dan isinya. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kesuburan lahan, toksisitas lahan dan peningkatan erosi, sehingga untuk mengendalikannya perlu adanya usaha dalam pengurangan dampak negatif dari kegiatan penambangan seperti memulihkan kembali lahan bekas penambangan dengan melakukan kegiatan reklamasi lahan pasca tambang.

Pada dasarnya kegiatan penambangan tidak boleh merubah fungsi hutan. Terkait dengan kerusakan lingkungan hidup, telah dijelaskan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 45 bahwa penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan wajib dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga kegiatan reklamasi dan/atau rehabilitasi pada kawasan hutan bekas areal tambang menjadi kegiatan wajib yang dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Kegiatan reklamasi dilakukan bertujuan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan dan lahan yang rusak sebagai akibat usaha pertambangan sehingga kawasan hutan dan lahan dapat berfungsi kembali sesuai dengan fungsi hutan yang ditetapkan. Fungsi hutan di kawasan PT Berau Coal Kalimantan Timur menurut Tata Guna Lahan Kesepakatan (TGHK) adalah hutan produksi terbatas (HPT). Untuk itu kegiatan reklamasinya harus menjawab terciptanya fungsi hutan produksi terbatas (HPT). Kegiatan evaluasi terhadap areal reklamasi perlu dilakukan untuk mengetahui status keberhasilan pelaksanaan reklamasi yang telah dilakukan oleh pengelola pertambangan. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah Forest Heatlh Monitoring (FHM).

(14)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menilai status kesehatan hutan di areal reklamasi Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur berdasarkan metode

Forest Health Monitoring (FHM).

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data atau informasi tentang status kesehatan hutan di lokasi penelitian. Data atau informasi tersebut diharapkan dapat digunakan oleh PT Berau Coal sebagai bahan evaluasi terhadap kegiatan reklamasi yang telah dilakukan serta dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan manajemen dalam menjalankan kegiatan reklamasi dimasa mendatang yang lebih baik.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 bulan mulai dari bulan November 2013 sampai dengan bulan Februari 2014. Lokasi penelitian dilakukan di areal reklamasi lahan pasca tambang Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur.

Bahan dan Alat

Bahan atau objek penelitian ini adalah tegakan hasil reklamasi tahun tanam 2011, 2010, 2009, 2008 dan 2007. Alat yang digunakan dalam pengambilan data antara lain, peta areal reklamasi, GPS (Global Positioning System), meteran ukuran 50 m, pita tagging, pita meter, haga hypsometer, klinometer, densiometer,

magic card, parang, cangkul, kamera digital, kalkulator, mistar, plastik, tally sheet

dan alat tulis.

Prosedur Penelitian

Pembuatan plot pengamatan

Pembuatan plot didasarkan pada metode FHM yang disebut dengan klaster plot (Gambar 1). Setiap klaster plot mempunyai kriteria, yaitu terdiri dari 4

(15)

3

keseluruhan plot. Titik pusat subplot 2 terletak pada arah 3600 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36.6 m. Titik pusat subplot 3 terletak pada arah 1200 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36.6 m. Titik pusat subplot 4 terletak pada arah 2400 dari titik pusat plot 1 dengan jarak 36.6 m. Satu buah klaster plot juga terdiri dari 3 buah titik contoh tanah berbentuk lingkaran berdiameter 16 cm yang terletak diantara plot 1 – plot 2, plot 1 – plot 3, dan plot 1 – plot 4 (Putra 2004).

Jumlah klaster plot yang dibuat disesuaikan dengan tahun tanam yang terdapat di areal reklamasi Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur. Kriteria penempatan klaster plot FHM adalah areal reklamasi pada tahun tanam 2011, 2010, 2009, 2008 dan 2007, sudah terdapat tegakan, tegakannya cenderung rapat, areal memiliki luasan minimal 1 ha dan topografi relatif datar.

Indikator yang diukur

Dalam pengukuran kesehatan hutan pada areal reklamasi PT. Berau Coal, indikator yang digunakan terdiri dari produktivitas, kualitas tapak (Kapasitas Tukar Kation), vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk) dan biodiversitas tumbuhan bawah.

1. Produktivitas

Diameter pohon diukur pada ketinggian 1.3 m di atas permukaan tanah atau tergantung kepada kondisi lapangan khusus. Pohon yang memiliki diameter 20 cm atau lebih dikategorikan sebagai pohon, sementara pohon dengan diameter 10 – 20 cm dikategorikan sebagai tiang. Produktivitas pohon dihitung sebagai pertumbuhan luas bidang dasar (basal area). Luas bidang dasar (LBDS) per hektar diperhitungkan sebagai hasil dari perubahan seluruh LBDS pohon-pohon

(16)

4

yang hidup dalam suatu plot. Perumusan yang digunakan untuk menghitung nilai luas bidang dasar per hektar adalah (Cline 1995):

B = 14.872*1/4*π*d2 atau B = 2.471*1/4*π*d2

Keterangan: B = nilai luas bidang dasar per hektar d = diameter pohon setinggi dada (dbh)

14.872 = faktor konversi luasan subplot ke dalam hektar 2.471 = faktor konversi luasan annular plot ke dalam hektar Nilai skor produktivitas pada setiap klaster plot berdasarkan nilai luas bidang dasar (LBDS) dapat dilihat pada Tabel 1.

2. Kualitas tapak

Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 3 plot berbentuk lingkaran berdiameter 16 cm yang terletak diantara plot 1 – plot 2, plot 1 – plot 3, dan plot 1

– plot 4 (Gambar 1). Sebelum pengambilan contoh tanah dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengamatan dan pengukuran data seperti tumbuhan penutup dan ketebalan serasah. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada lapisan permukaan organik (lapisan O) dan lapisan permukaan mineral (lapisan A dan E). Pengambilan contoh tanah dilakukan pada kedalaman 0 – 10 cm di tiap plot, lalu dikompositkan. Contoh tanah yang telah dikomposit dianalisis sifat kimianya di laboratotium tanah.

Parameter pengukuran indikator kualitas tapak diperoleh dari hasil analisis sifat kimia tanah di laboratorium tanah. Penilaian kualitas tapak didasarkan dari kondisi Kapasitas Tukar Kation (KTK). Nilai KTK dapat menggambarkan tingkat kesuburan tanah dan dapat digunakan untuk menilai klasifikasi sifat fisik-kimia tanah dalam kondisi bagus, sedang atau rendah. Berdasarkan kriteria Pusat Penelitian Tanah (PPT) Bogor (Balai Penelitian Tanah 2005) klasifikasi nilai KTK, yaitu sangat rendah (< 5 me/100 g), rendah (5 – 16 me/100 g), sedang (17 – 24 me/100 g), tinggi (25 – 40 me/100 g) dan sangat tinggi (>40 me/100 g). Nilai skor kualitas tapak pada setiap klaster plot berdasarkan nilai KTK dapat dilihat Tabel 2.

Tabel 1 Nilai skor produktivitas pada klaster plot berdasarkan nilai luas bidang dasar (LBDS)

LBDS Skor

11.10 – 12.20 10 9.99 – 11.09 9

8.88 – 9.98 8 7.77 – 8.87 7 6.66 – 7.76 6 5.55 – 6.65 5 4.44 – 5.54 4 3.33 – 4.43 3 2.22 – 3.32 2 1.11 – 2.21 1

(17)

5

3. Vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk)

Vitalitas tegakan dapat dicirikan oleh kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk. Kondisi tajuk dapat menggambarkan kesehatan pohon secara umum. Ini salah satunya dibuktikan oleh Kasno et al. (2001), yaitu dengan adanya korelasi positif antara diameter tajuk dan kerapatan tajuk dengan pertumbuhan basal area. Pohon dapat melaksanakan fungsi fisiologisnya dengan normal dan tidak terganggu oleh hama penyakit, maka pohon dikatakan sehat. Apabila pohon diganggu oleh patogen atau oleh keadaan lingkungan tertentu sehingga salah satu atau lebih fungsi fisiologisnya terganggu sehingga terjadi penyimpangan dari keadaan normal, maka pohon tersebut sakit.

Kondisi kerusakan pohon terdiri dari tiga sistem kode berurutan yang menggambarkan lokasi terjadinya, yaitu pada akar, batang, cabang, tajuk, daun,

Tabel 2 Nilai skor kualitas tapak pada klaster plot berdasarkan nilai KTK

KTK Skor

Tabel 3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan

Kode Definisi Nilai ambang keparahan (pada kelas 10% -

99%)

01 Kanker, gol (puru) ≥ 20% dari titik pengamatan

02 Konk, tubuh buah (badan buah), dan

indikator lain tentang lapuk lanjut

Tidak ada, kecuali ≥ 20% pada akar ˃ 3 feet

(0,91 m) dari batang

03 Luka terbuka ≥ 20% dari titik pengamatan

04 Resinosis/gummosis ≥ 20% dari titik pengamatan

05 Batang pecah Tidak ada

06 Sarang rayap ≥ 20% dari titik pengamatan

11 Batang atau akar patah < 3 feet (0,91 m)

21 Hilangnya ujung dominan, mati ujung ≥ 1% pada dahan pada tajuk

22 Cabang patah atau mati ≥ 20% pada ranting atau pucuk

23 Percabangan atau brum yang berlebihan ≥ 20% pada ranting atau pucuk

24 Daun, kuncup atau tunas rusak ≥ 30% dedaunan penutupan tajuk

25 Daun berubah warna (tidak hijau) ≥ 30% dedaunan penutup tajuk

31 Lain-lain -

(18)

6

pucuk atau tunas, jenis kerusakan dan tingkat keparahan yang ditimbulkan pada pohon. Dampak kerusakan terhadap kesehatan pohon akan semakin rendah seiring dengan makin besarnya nomor kode, seperti kerusakan 01 akan memiliki dampak lebih besar jika dibandingkan kerusakan 31 (Tabel 3). Prioritas terbesar kerusakan diberikan pada kerusakan dengan kode lokasi terendah (Tabel 4). Pencatatan kerusakan pada pohon dilakukan untuk maksimum tiga kerusakan, dimulai dari lokasi dengan kode terendah (prioritas tertinggi). Jika suatu pohon memiliki lebih dari tiga kerusakan yang memenuhi nilai ambang keparahan, tiga kerusakan pertama ditemui dimulai dari akar yang dicatat. Kerusakan dicatat dalam kelas 10% hingga 99%, dimulai dari nilai ambang keparahan. Untuk kerusakan yang tidak memenuhi nilai ambang, akan diberikan nilai ‘0’ dalam tingkat keparahannya.

Parameter pengukuran kondisi kerusakan pohon (lokasi kerusakan, tipe kerusakan dan tingkat keparahan) dirumuskan dalam sebuah indeks kerusakan (IK), sebagai berikut:

IK = [xTipe kerusakan*yLokasi*zKeparahan]

Keterangan: x, y dan z adalah nilai pembobotan yang besarnya berbeda-beda bergantung kepada tingkat dampak relatif setiap komponen terhadap pertumbuhan dan ketahanan pohon (Tabel 5).

Tabel 4 Deskripsi kode lokasi kerusakan

Kode Definisi

0 Tidak ada kerusakan

1 Akar terbuka dan “stump” (12 inch (30 cm) di atas permukaan tanah)

2 Kerusakan pada akar dan antara akar dan batang bagian bawah

3 Kerusakan pada batang bagian bawah (di bawah pertengahan antara “stump” dan

dasar tajuk

4 Kerusakan pada batang bagian bawah yang terdapat pula pada batang bagian atas

5 Kerusakan pada batang bagian atas (di atas pertengahan antara “stump” dan dasar

tajuk

6 Kerusakan pada dahan utama yang terdapat pada bagian tajuk, di atas dasar tajuk

7 Kerusakan pada ranting (dahan-dahan kecil dan dahan lain selain dahan utama)

8 Kerusakan pada daun muda dan pucuk daun

9 Kerusakan pada tajuk

Sumber: USDA-FS 1997

Tabel 5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan

(19)

7

Nilai indeks kerusakan pada tingkat pohon (Tree Damage Level Index/TDLI) dan nilai indeks kerusakan pada tingkat plot (Plot Level Index/PLI) pada masing-masing klaster plot merupakan dasar untuk mengetahui kondisi kerusakan suatu vegetasi. Nilai indeks kerusakan dibagi menjadi dua tingkat yang berbeda, yaitu kerusakan pada tingkat pohon (TDLI) dan kerusakan pada tingkat plot (PLI) yang dirumuskan sebagai berikut:

Kerusakan Tingkat Pohon (TDLI) = (Tipe 1*Lokasi 1*keparahan 1) + (Tipe 2*Lokasi 2*keparahan 2) + (Tipe N*Lokasi N*keparahan N)

Kerusakan Tingkat Plot (PLI) = Rata-rata kerusakan [pohon1, pohon2, , pohon N] Nilai skor kondisi kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI kerusakan pohon dapat dilihat pada Tabel 6.

Parameter kondisi tajuk pohon yang diukur adalah LCR (Live Crown Ratio), CDs (Crown Density), CDb (Crown Dieback), FTr (Foliage Transparancy) dan CDWd (Crown Diameter Width) serta CD90 (Crown Diameter at 90º). Nisbah tajuk hidup (LCR), yaitu nisbah panjang batang pohon yang tertutup daun terhadap tinggi total pohon. Kerapatan tajuk (CDs), yaitu persentase cahaya matahari yang tertahan oleh tajuk yang tidak mencapai permukaan tanah. Dieback

(CDb), yaitu cabang dan ranting yang baru saja mati dimana bagian yang mati dimulai dari bagian ujung kemudian merambat ke bagian pangkal. Transparansi tajuk (FTr), yaitu persentase cahaya matahari yang dapat mencapai permukaan tanah. Diameter tajuk (CDia), yaitu rata-rata dari pengukuran panjang dan lebar tajuk yang bersangkutan.

Nisbah tajuk hidup, kerapatan tajuk, dieback dan transparansi tajuk diperhitungkan dalam kelas 5%, sedangkan diameter tajuk diperhitungkan hingga ketelitian 10 cm. Kelima parameter pengukuran tersebut dikumpulkan kedalam Peringkat Tajuk Visual (VCR/Visual Crown Rating). Nilai VCR diperhitungkan pada tingkat pohon, untuk kemudian dirata-ratakan untuk tiap pohon pada subplot sehingga diperoleh nilai untuk tingkat plot dan tingkat klaster (Putra 2004).

Parameter dalam pengukuran indikator kondisi tajuk dikumpulkan kedalam nilai VCR. VCR memiliki nilai 1 – 4 (Tabel 8) bergantung pada kriteria nilai pada masing-masing pengamatan parameter kondisi tajuk (Tabel 7). Rata-rata nilai

(20)

8

VCR setiap individu pohon yang terdapat dalam klaster plot merupakan nilai VCR klaster plot. Nilai skor kondisi tajuk pada klaster plot berdasarkan nilai VCR dapat dilihat pada Tabel 9.

4. Biodiversitas tumbuhan bawah

Pengamatan biodiversitas lebih ditujukan pada tumbuhan bawah, karena jenis tanaman pokoknya telah ditetapkan sejak awal oleh manajemen perusahaan yang relatif homogen yaitu jenis sengon laut (Paraserianthes falcataria), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), akasia (Acacia mangium) dan ketapang

Tabel 7 Kriteria kondisi tajuk (Anderson et al. 1992 dalam Putra 2004)

Parameter Nilai = 3 Nilai = 2 Nilai = 1

Rasio Tajuk Hidup ≥ 40% 20–35% 5–15%

Kerapatan Tajuk ≥ 55% 25–50% 5–20%

Transparansi Tajuk 0–45% 50–70% ≥ 75%

Dieback 0–5% 10–25% ≥ 30%

Diameter Tajuk ≥ 10,1 m 2,5–10 m ≤ 2,4 m

Tabel 8 Penentuan nilai VCR (Anderson et al. 1992 dalam Putra 2004) Nilai VCR Kriteria

4 Seluruh parameter bernilai 3, atau hanya 1 parameter memiliki nilai 2; tidak ada parameter bernilai 1.

3 Lebih banyak kombinasi antara nilai 3 dan 2 pada parameter tajuk, atau semua bernilai 2; tetapi tidak ada parameter bernilai 1.

2 Setidaknya 1 parameter bernilai 1, tetapi tidak semua parameter.

1 Semua parameter kondisi tajuk bernilai 1.

Tabel 9 Nilai skor kondisi tajuk pada klaster plot berdasarkan nilai VCR

VCR Skor

4 10

3.60 – 3,99 9 3.30 – 3.59 8 3.00 – 3.29 7 2.60 – 2.99 6 2.30 – 2.59 5 2.00 – 2.29 4 1.60 – 1.99 3 1.30 – 1.59 2 1.01 – 1.29 1

(21)

9

(Terminalia catappa). Pengamatan indikator ini dilakukan pada mikroplot berbentuk lingkaran dengan jari-jari 2.07 m yang terletak pada arah 900 dari titik pusat subplot dengan jarak 3.66 m. Data yang diamati yaitu semua jenis tumbuhan bawah dan jumlah dari masing-masing jenis tersebut.

Terdapat tiga tolak ukur yang digunakan pada indikator biodiversitas tumbuhan bawah, yaitu kekayaan jenis, kelimpahan jenis dan keragaman jenis. Penilaian biodiversitas didasarkan kondisi kemerataan jenis dengan menggunakan indeks kemerataan (Evenness Index) Pielou (Pielou 1969), dimana indeks ini mencakup penghitungan kekayaan jenis, distribusi relatif jenis dan keanekaragaman jenis. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

,

dengan nilai

Keterangan: J’ = indeks kemerataan jenis Pielou

H’ = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener

S = jumlah jenis yang ditemukan ni = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu

Suatu komunitas dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis mendekati 1 dan semakin kecil nilai indeks kemerataan jenis mengindikasikan bahwa penyebaran jenis tidak merata. Nilai skor biodiversitas tumbuhan bawah pada setiap klaster plot berdasarkan nilai indeks kemerataan jenis Pielou dapat dilihat pada Tabel 10.

Skoring indikator

Nilai skor diperoleh melalui transformasi terhadap nilai setiap parameter yang mewakili indikator kesehatan hutan. Skoring untuk setiap indikator diberikan pada interval 0 – 10. Nilai akhir kesehatan hutan didapat dari jumlah skoring dari seluruh indikator dengan interval 0 – 50. Semakin tinggi nilai skor menunjukkan tingkat kesehatan yang semakin tinggi. Kondisi kesehatan sangat rendah ditunjukkan oleh nilai (0 – 9), rendah (10 – 19), sedang (20 – 29), sehat (30 – 39) dan sangat sehat/ideal (40 – 50).

Tabel 10 Nilai skor biodiversitas tumbuhan bawah pada klaster plot berdasarkan nilai indeks kemerataan jenis Pielou

(22)

10

HASIL

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur berada dalam wilayah administrasi Desa Tasuk dan Desa Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Klasifikasi iklim di sekitar PT Berau Coal bertipe iklim Alfa menurut Koppen dan lebih dikenal dengan sebutan daerah hujan tropik, sedangkan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk dalam tipe iklim A (sangat basah). Rata-rata curah hujan per tahun adalah 2268.8 mm, jumlah hari hujan per tahun 174 hari dengan suhu minimum rata-rata bulanan 26.0°C dan suhu maksimum rata-rata bulanan 26.8°C. Intensitas penyinaran matahari berkisar antara 20 – 68.8 %, dengan lama penyinaran rata-rata tertinggi adalah 50.71 % pada bulan Agustus dan terendah pada bulan November dengan rata-rata 36.83 % (Amdal SMO 2000).

Jenis tanah dominan yang terdapat di Site Sambarata adalah jenis tanah Podsolik. Daerah Sambarata dan Birang memiliki kemiringan tanah yang bervariasi. Kelerengan 15 – 40 % (sebagian daerah timur dan barat Sambarata, bagian barat Birang, desa Tasuk dan gunung Tabur), >40 % (sebagian tengah Sambarata dan desa Birang). Kedalaman efektif tanah di kawasan Sambarata dan Birang adalah berkisar antara 30 cm sampai lebih dari 90 cm. Ditinjau dari tekstur tanahnya berkisar dari kasar sampai halus. Tekstur pasir, debu dan liat di daerah Sambarata berkisar antara (1.8 – 62.4)% dan di daerah Birang (21.6 – 50.8)%. Berdasarkan data hasil analisis sifat kimia tanah yang dilakukan di Laboratorium UNILAB tahun 1998, kondisi tanah di Site Sambarata termasuk dalam kategori masam sampai netral dengan nilai pH (H2O) = 3.0 – 7.0 dan pH (KCl) = 2.6 – 6.4.

Kandungan bahan organik tanah yang dinyatakan dengan C organik, dari hasil analisis data memiliki kandungan sebesar 0.51 – 4.01 %, untuk kandungan N-total sebesar 0.02 – 0.06 %, fosfor (P2O5) berkisar antara 4.9 – 6.8 mg/100 g dan nilai

tukar kation sebesar 4.7 – 13.6 me/100 g.

Kondisi awal lokasi penambangan batubara di Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur berada pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang dikelola oleh PT Rejosari Bumi atau hutan produksi yang dapat dikonversikan. Hutan produksi ini dikelola oleh PT Inhutani. Vegetasi semula merupakan vegetasi hutan dipterocarpaceae yang berubah menjadi hutan belukar setelah adanya penebangan oleh pemegang HPH. Dengan masuknya penduduk, pengusaha hutan dan kegiatan lainya yang memanfaatkan hutan, maka telah mengubah kondisi hutan yang ada sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan keadaan vegetasi yang dijumpai pada wilayah studi sebagian besar hutan sekunder, semak belukar, persawahan, ladang berpindah dan tanaman pekarangan. Jenis-jenis yang ditemukan di areal Site Sambarata dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di areal Site Sambarata

(23)

11

No. Nama lokal Nama ilmiah INP (%) 4 Dadap Erythirina lithosperma 3.22 5 Durian Durio zibethinus 7.64 6 Embacang Mangifera foetida 2.42 7 Gelam Macaranga trilobata 5.14 8 Gelagah Saccharum spontaneum 2.51 9 Hangkang Palaquium leiocarpum 5.79 10 Jali Coix lacryma-jobi 6.76 11 Jambu hutan Eugenia operculata 2.32 12 Jarang lalaki Achyranthes aspera 0.52 13 Karamunting Melastoma sp. 11.81 14 Kayu kapur Dryobalanops oiocarpa 1.26 15 Kaidan Dipeterocarpus warbugii 5.68 16 Kecapi Sandoricum koetjape 4.89 17 Keladan Dryobalanops sp. 5.60 18 Kemiri Aleurites moluccana 8.77 19 Kemidai punai Antidesma cuspidatum 5.35 20 Kenari Canarium sp. 1.26 21 Kepayang/picung Pangium edule 5.35 22 Kepuh/kapuk Ceiba pentandra 5.35 23 Kiendong Aporosa campanulata 4.97 24 Kondang Ficus consociata 4.97 25 Lilisungan Cyperus diffusus 0.65 26 Loa Ficus glomerata 5.35 27 Manggis hutan Garcinia celebica 1.26 28 Medang Litsea stiomanni 1.26 29 Meranti hitam Shorea sp. 2.16 30 Meranti/kalup Shorea eximia 2.16 31 Meranti/kenuar Shorea lepidopita 2.16 32 Merkukung Macaranga gigantea 1.16 33 Merawan Hopea mengerawan 1.16 34 Mersawa Anisoptera borneensis 1.16 35 Padi Oryza sativa 29.35 36 Paku uban Nephrolepis biserrata 2.24 37 Pegagan hutan Merremia peltata 4.23 38 Pisang Musa paradisiaca 10.12 39 Rambutan Nephelium lappaceum 2.85 40 Rambutan hutan Nephelium mutabile 3.40 41 Rengas Buchanania lucida 1.31 42 Rengas putin Semecarpus heterophylla 1.31 43 Rumput riang Themeda gigantea 15.92 44 Salam anjing Cleistanthus myrianthus 8.05 45 Sirih Piper betle 20.73 46 Sulakeban Antidesma stipulare 5.14 47 Terentang putih Campnosperma sp. 1.42 48 Terulak Calonyction aceatum 1.75 49 Ulin Eusideroxylon zwageri 11.20 50 Waru Hibiscus tiliaceus 15.45

(24)

12

Penetapan dan Pembuatan Plot

Lokasi yang dijadikan plot yaitu di areal reklamasi blok A pada disposal C3, disposal A3 dan disposal C10 serta di areal reklamasi blok B-1 pada disposal B2 dan disposal B4 (Lampiran 1 dan 2). Titik ikat klaster plot berupa plang areal reklamasi di setiap lokasi plot penelitian. Umumnya tegakan yang menyusun areal pada klaster plot penelitian yaitu jenis tanaman sengon. Komposisi jenis di klaster plot 4 dan 5 yaitu tegakan jenis sengon, sedangkan di klaster plot 1, 2 dan 3 terdapat campuran tegakan yang ditanam. Pada klaster plot 1 terdapat campuran jenis sengon laut dan jenis sengon buto dengan dominan jenis sengon laut . Pada klaster plot 2 terdapat campuran jenis sengon dan jenis akasia mangium dengan dominan jenis akasia mangium. Pada klaster plot 3 terdapat campuran jenis sengon dan jenis ketapang dengan dominan jenis sengon (Tabel 12).

Pengukuran Indikator Kesehatan Hutan

Produktivitas

Pengamatan produktivitas pada tahap awal ini dilakukan dengan mengukur luas bidang dasar (LBDS) tegakan pada umur 2, 3, 4, 5 dan 6 tahun (Tabel 13). Jumlah pohon yang hidup di setiap klaster plot per hektar termasuk rendah jika dibandingkan dengan jumlah pohon yang tumbuh normal pada jarak tanam 4x4 m, yaitu 625 individu/ha. Persentase hidup tertinggi hanya mencapai 53.6 % yang terdapat pada klaster plot 1, sedangkan persentase hidup terendah terdapat pada klaster plot 2 sebesar 29.6 %.

Tabel 12 Lokasi klaster plot FHM di Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur

Klaster

Titik ikat Titik pusat klaster plot

(GPS)

Ket: Az: Azimuth, LS: Lintang Selatan, BT: Bujur Timur

Tabel 13 Rekapitulasi data LBDS tegakan di lima klaster plot

(25)

13

Rendahnya persentase hidup di setiap klaster plot ini disebabkan sebagian besar oleh rendahnya kualitas tapak tegakan tersebut (lihat Tabel 14, 15 dan 16). Rendahnya jumlah pohon yang hidup akan berpengaruh terhadap rendahnya nilai LBDS di setiap klaster plot.

Nilai LBDS paling besar terdapat di klaster plot 4 tahun tanam 2008, yaitu sebesar 12.12 m2/ha. Jumlah pohon (kerapatan) dan diameter batang pohon setinggi dada (Husch 1963) akan mempengaruhi nilai LBDS dan volume tegakan per unit luas, selain itu peningkatan kualitas tempat tumbuh juga akan menyebabkan LBDS meningkat (Baker et al. 1979).

Kualitas tapak

Bahan organik meskipun jumlahnya hanya sekitar 3 – 5 %, tetapi memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat-sifat tanah. Bahan organik biasanya ditemukan diatas permukaan tanah seperti jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun, bunga dan buah. Pengamatan kualitas tapak dimulai dengan melakukan pengukuran ketebalan serasah dan lapisan permukaan organik (Tabel 14).

Ketebalan serasah dan horizon O di lokasi penelitian nilainya berfluktuatif. Kondisi ini dipengaruhi oleh jenis tegakan yang menyusun dan kondisi lingkungan pada areal tersebut. Pada klaster plot 2 tahun tanam 2010 memiliki ketebalan serasah paling tinggi, yaitu 3.5 cm. Hal ini menandakan bahwa pada klaster plot 2 tingkat proses dekomposisi bahan organiknya paling rendah. Kondisi ini juga dapat dilihat dari ketebalan horizon O. Pada klaster plot 2 memiliki ketebalan horizon O paling tipis, yaitu 0.07 cm. Hal ini menunjukkan sedikitnya bahan organik dan sisa-sisa serasah tanaman pada lapisan tersebut. Faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam proses dekomposisi adalah nisbah C/N, ukuran serasah, kelembaban, aerasi, suhu, pH dan mikroorganisme (Gaur 1981). Data analisis kimia tanah di lima klaster plot di Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur berdasarkan hasil dari analisis di Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (Lampiran 3). Karakteristik sifat kimia tanah yang dianalisis seperti nilai beberapa kandungan sifat kimia tanah (Tabel 15) dan nilai kapasitas tukar kation (Tabel 16) pada kedalaman 10 cm. Tabel 14 Rata-rata ketebalan serasah dan ketebalan horizon O di lima klaster plot

Klaster

Tabel 15 Kandungan sifat kimia tanah di lima klaster plot

Klaster

(26)

14

Hasil analisis pH tanah menunjukkan bahwa pH tanah di lokasi penelitian tergolong masam – sangat masam (3.24 – 4.82). Ispandi dan Munip (2005) menyatakan reaksi tanah atau pH tanah yang terlalu rendah menyebabkan tidak tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P, K, Ca, Mg dan unsur mikro yang menyebabkan tanaman mengalami kahat unsur hara sehingga hasil tanaman tidak optimal. Kandungan fosfor (P) di lokasi penelitian tegolong rendah – sangat rendah (1.14 – 7.22 ppm). Rendahnya nilai pH tanah menyebabkan kelarutan dari Al dan Fe cenderung naik. Kenaikan larutan Al dan Fe akan menjadi penyebab fixing phosphate yang tinggi, sehingga ketersediaan hara potensial P akan menurun dan menjadi masalah (Setiadi 2012).

Unsur hara lain yang juga dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu diantaranya unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Kandungan Ca di lokasi penelitian termasuk dalam kategori rendah – sangat rendah dengan nilai hingga < 2 me/100g, sedangkan kandungan Mg tergolong rendah – tinggi (0.54 – 4.90 me/100g). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kekahatan unsur Ca terhadap tanaman. Pada 3 klaster plot terdapat ketidakseimbangan jumlah Ca dan Mg, yaitu pada klaster plot 1, 3 dan 4. Kandungan Ca pada tanah yang normal seharusnya lebih besar daripada kandungan Mg. Kondisi ini akan menyebabkan pertumbuhan tanaman stagnan (Setiadi 2012).

Nilai KTK tanah di semua lokasi penelitian tergolong dalam kategori rendah (6.5 – 14.2 me/100g). Rendahnya nilai KTK tanah ini menunjukkan rendahnya kemampuan tanah untuk menjerap dan mempertahankan unsur-unsur hara tanah yang berguna untuk pertumbuhan tanaman. Pada klaster plot 2 tahun tanam 2010 memiliki nilai KTK terendah, yaitu sebesar 6.5 me/100g. Setiadi (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan pohon akan mengalami stagnasi bahkan kematian apabila kadar KTK tanah kurang dari 8 me/100g. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kesuburan pada klaster plot 2 sangat buruk dilihat secara umum dari nilai kapasitas tukar kationnya.

Vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk)

Parameter pengukuran dalam indikator kondisi kerusakan pohon terdiri dari tiga sistem kode berurutan yang menggambarkan lokasi terjadinya kerusakan, tipe kerusakan dan tingkat keparahannya. Sebaran lokasi ditemukannya kerusakan pada seluruh klaster plot dapat dilihat pada Tabel 17. Lokasi ditemukannya kerusakan didominasi pada lokasi 7 (ranting) yaitu sebanyak 196 pohon yang terdapat di setiap klaster plot, diikuti pada lokasi 9 (tajuk) sebanyak 89 pohon dan

Tabel 16 Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) di lima klaster plot

Klaster

(me/100g) Jenis tanaman Evaluasi 1 2011 2 tahun 12.5 Sengon laut dan

(27)

15

pada lokasi 6 (dahan/batang utama) sebanyak 75 pohon. Ketiga lokasi ditemukannya kerusakan tersebut terdapat di setiap klaster plot. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan di setiap klaster plot umumnya menyebar di lokasi 6 (dahan/batang utama), lokasi 7 (ranting) dan lokasi 9 (tajuk).

Sebaran tipe kerusakan pohon di seluruh klaster plot dapat dilihat pada Tabel 18. Di seluruh klaster plot ditemukan delapan tipe kerusakan. Tipe kerusakan yang banyak ditemukan yang ada di semua klaster plot yaitu tipe kerusakan cabang patah atau mati (kode 22). Tipe kerusakan ini dominan ditemukan di klaster plot 2, 4 dan 5 dengan jumlah masing-masing 35, 34 dan 26 pohon dari total 44, 91 dan 69 pohon terserang. Di klaster plot 1 tipe kerusakan yang dominan ditemukan yaitu tipe kerusakan luka terbuka (kode 03) dan juga cabang patah atau mati (kode 22) dengan jumlah 42 dan 41 pohon dari total 109 pohon terserang. Di klaster plot 3 tipe kerusakan yang dominan ditemukan yaitu tipe kerusakan daun, kuncup atau tunas rusak (kode 24) sebanyak 59 pohon dari total 98 pohon terserang.

Dari seluruh klaster plot, tipe kerusakan yang paling dominan ditemukan yaitu tipe kerusakan cabang patah atau mati (kode 22) sebanyak 164 pohon dan tipe kerusakan daun, kuncup atau tunas rusak (kode 24) sebanyak 83 pohon. Dua tipe kerusakan ini ditemukan di setiap klaster plot. Hal ini menunjukkan bahwa kedua tipe kerusakan ini sudah menyebar ke semua klaster plot pengamatan. Tipe kerusakan lain yang juga banyak ditemukan di setiap klaster plot yaitu, luka terbuka (kode 03) sebanyak 67 pohon dan tipe kerusakan konk, tubuh buah dan indikator lain tentang lapuk lanjut (kode 02) sebanyak 48 pohon.

Tingkat keparahan pada kerusakan yang ditemukan di lima klaster plot bervariasi berkisar antara 0 – 80 % (Tabel 19), namun didominasi pada tingkat 20 dan 30 % dengan keparahan kerusakan di seluruh klaster plot terbanyak pada tingkat 20 % sebanyak 216 pohon yang dominan di setiap klaster plot.

Tabel 17 Sebaran lokasi kerusakan pohon di lima klaster plot

Klaster

Tabel 18 Sebaran tipe kerusakan pohon di lima klaster plot

(28)

16

Nilai indeks kerusakan tingkat plot (Plot Level Index/PLI) pada klaster plot 4 tahun tanam 2008 memiliki nilai PLI paling besar daripada klaster plot lainnya dengan nilai 1.92 (Tabel 20). Hal ini menggambarkan bahwa pada klaster plot 4 memiliki kondisi kerusakan pohon paling besar/parah. Kondisi ini bisa dilihat dari banyaknya jumlah kerusakan pohon pada setiap tipe kerusakan yang ditemukan di klaster plot 4.

Pengamatan kondisi tajuk dilakukan dengan pengukuran terhadap parameter rasio tajuk hidup, kerapatan tajuk, transparansi tajuk, diameter tajuk dan dieback. Kondisi tajuk dapat diketahui dengan melihat nilai peringkat tajuk visual (VCR). Nilai peringkat tajuk visual (VCR) pada klaster plot dengan tegakan homogen lebih kecil daripada di klaster plot dengan tegakan yang ditanami jenis campuran. Nilai peringkat tajuk visual (VCR) paling tinggi terdapat pada klaster plot 2 dengan nilai 3.54 (Tabel 21). Kondisi tegakan di setiap klaster plot dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

Tabel 19 Sebaran tingkat keparahan di lima klaster plot Klaster

Tabel 20 Nilai PLI (Plot Level Index) di lima klaster plot

Klaster plot Tahun tanam Umur tegakan Nilai PLI Jenis tanaman 1 2011 2 tahun 1.46 Sengon laut dan

(29)

17

Biodiversitas tumbuhan bawah

Hasil identifikasi tumbuhan bawah di setiap klaster plot jumlahnya bervariasi (7 – 11 jenis). Hasil identifikasi jenis yang terdapat di lima klaster plot dapat dilihat pada lampiran 4. Penilaian indikator biodiversitas didasarkan kondisi Gambar 2 Kondisi lapang (a) klaster plot 1 tahun tanam 2011 dan (b) klaster plot 2

tahun tanam 2010

Gambar 3 Kondisi lapang (a) klaster plot 3 tahun tanam 2009, (b) klaster plot 4 tahun tanam 2008 dan (c) klaster plot 5 tahun tanam 2007

a

b

a

b

(30)

18

keanekaragaman dan kemerataan jenis dengan menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener indeks kemerataan jenis Pielou. Data hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 22.

Nilai indeks kemerataan jenis (J’) paling besar terdapat di klaster plot 4 (0.89), sedangkan nilai indeks kemerataan jenis (J’) paling kecil terdapat di klaster

plot 2 (0.57). Suatu komunitas dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis mendekati 1. Hal ini menunjukkkan bahwa pada klaster plot 2 penyebaran jenis tumbuhan bawahnya tidak merata dibandingkan klaster plot lainnya. Kondisi ini mengindikasikan rendahnya tingkat kelenturan pada klaster plot 2 yang menyebabkan tingkat kestabilan yang rendah di ekosistem tersebut, sehingga kemampuan ekosistem pada klaster plot 2 untuk kembali ke keadaan semua lebih lambat dibandingkan dengan klaster plot lainnya yang mempunyai nilai indeks kemerataan jenis lebih besar (0.66 – 0.89).

Jenis yang selalu dominan di lima klaster plot yaitu Paspalum notatum, Centrosema pubescens, Mikania micrantha dan Brachiaria mutica. Jenis-jenis tersebut dapat dijadikan rekomendasi sebagai tanaman cover crop untuk penutupan lahan sebelum dilakukan penanaman jenis pokok karena jenis-jenis tersebut dapat tumbuh dengan baik di beberapa jenis lahan dan jumlahnya melimpah, sehingga dapat menambah kadar bahan organik tanah atau lapisan horizon O dan mencegah erosi.

Penilaian Kesehatan Hutan

(31)

19

Analisis data yang sudah dilakukan yaitu pada indikator produktivitas pohon, kerusakan pohon, kondisi tajuk, kualitas tapak dan biodiversitas tumbuhan bawah. Skoring dari masing-masing indikator pada setiap klaster plot dapat dilihat pada Tabel 23.

Berdasarkan skoring pada setiap indikator, didapatkan kondisi kesehatan hutan di semua klaster plot pengamatan termasuk dalam kategori sedang. Nilai akhir kesehatan hutan berturut-turut mulai dari klaster plot 1, yaitu 20, 23, 26, 26 dan 26 dari nilai tertinggi 50. Tingkat kesehatan hutan di semua klaster plot termasuk dalam kategori sedang, namun nilai akhir kesahatan dari penjumlahan masing-masing indikatornya berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pendukung dan faktor penghambat. Kondisi ini pula yang nantinya akan membedakan keputusan manajemen yang diambil di masing-masing klaster plot.

PEMBAHASAN

Produktivitas Pohon

Hutan dikatakan produktif jika pertumbuhan untuk menghasilkan kayu masih normal atau lebih baik dari waktu ke waktu. Produktivitas dapat diperhitungkan sebagai perubahan luas bidang dasar (LBDS) individu pohon dua tahun berurutan yang juga menunjukkan pertumbuhan pohon (Cline 1995). Produktivitas suatu tegakan dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis dan eksternal (lingkungan). Secara fisiologis, setiap jenis pohon memiliki laju pertumbuhan yang berbeda-beda.

Pada umumnya tegakan yang menyusun areal di klaster plot penelitian yaitu tanaman jenis sengon. Komposisi jenis di klaster plot 1 (umur tanam 2 tahun), 4 (umur tanam 5 tahun) dan 5 (umur tanam 6 tahun) yaitu tegakan hanya jenis sengon. Pada klaster plot 2 (umur tanam 3 tahun) terdapat campuran jenis sengon dengan jenis akasia mangium. Pada klaster plot 3 (umur tanam 4 tahun) terdapat campuran jenis sengon dengan jenis ketapang.

Pada klaster plot 2 memiliki jumlah pohon per hektar yang paling rendah, yaitu 185 pohon/ha, hal ini dikarenakan tingginya kematian yang disebabkan oleh kualitas tapak rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang hanya mencapai 6.5 me/100g. Menurut Setiadi (2012), pertumbuhan

Tabel 23 Skoring indikator dan nilai akhir kesehatan hutan

(32)

20

pohon akan mengalami stagnasi bahkan kematian apabila nilai KTK tanah kurang dari 8 me/100g. Rendahnya jumlah pohon yang terdapat di klaster plot 2 berpengaruh terhadap nilai LBDS, dimana nilai LBDS paling kecil terdapat pada klaster plot 2 (2.67 m2/ha). Nilai ini masih lebih kecil daripada klaster plot 1 yang umur tegakannya lebih muda dari klaster plot 2, hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar yang lebih besar pada klaster plot 1, yaitu 335 pohon/ha. Nilai LBDS terbesar berada di klaster plot 4 (12.12 m2/ha), nilai ini lebih besar daripada klaster plot 5 yang umur tanamnya lebih tua dari klaster plot 4. Hal ini dipengaruhi oleh rata-rata diameter di klaster plot 4 yang lebih besar, yaitu 23.6 cm daripada di klaster plot 5 (19.4 cm). Kondisi perbedaan nilai LBDS ini memang dipengaruhi oleh jumlah pohon (kerapatan) dan diameter batang pohon setinggi dada (Husch 1963), selain itu peningkatan kualitas tempat tumbuh juga akan menyebabkan LBDS meningkat (Baker et al. 1979).

Rata-rata diameter di lima klaster plot penelitian berkisar antara 12.6 – 23.6 cm, dimulai dari umur tanam 2 – 6 tahun. Dengan kondisi lahan pasca tambang yang umumya tidak mendukung (marginal) bagi pertumbuhan tanaman, nilai ini masih lebih baik dibandingkan dengan rata-rata diameter di tegakan sengon Perum Perhutani, KPH Kediri. Pada rentang umur tanam yang sama, rata-rata diameter disana berkisar antara 5.03 – 20.33 cm (Riyanto dan Pamungkas 2010). Pada kondisi lingkungan yang lebih baik lagi di lokasi tanaman sengon yang ditanam monokultur di Jawa Barat yang berumur 2 – 4 tahun, rata-rata diameternya berkisar antara 15.03 – 27.01 cm (Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1990). Variasi dalam diameter ini disebabkan oleh perbedaan kondisi tempat tumbuh termasuk kualitas tempat tumbuh, ketinggian, kelerengan dan perlakuan silvikultur yang diterapkan.

Kualitas Tapak

Salah satu aspek penting dalam suksesnya reklamasi lahan bekas tambang yaitu kualitas tapak yang baik. Kualitas tapak secara implisit berarti produktivitas lahan atau kemampuan tanah dalam mendukung pertumbuhan tanaman. Salah satu komponen tanah yang dapat menunjukkan tingkat kesuburan tanah yaitu Kapasitas Tukar Kation (KTK).

Kapasitas Tukar Kation suatu tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation (Hakim et al

1986). KTK merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno 2007). Nilai KTK pada tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam menjerap unsur-unsur hara tanah hingga menjadi tersedia bagi tanaman.

(33)

21

dipengaruhi masih tebalnya serasah yang belum terdekomposisi sempurna sehingga lapisan tanah pada horizon O belum banyak terbentuk. Bahan organik tanah merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan nilai KTK. Pada 4 klaster plot lainnya nilai KTK berkisar antara 12 – 14.2 me/100g, nilai tersebut termasuk dalam kategori rendah berdasarkan kriteria penilaian Balai Penelitian Tanah (2005). Nilai KTK yang rendah menggambarkan kemampuan tanah untuk memegang hara juga rendah, sehingga ketersediaan hara bagi tanaman menjadi sedikit.

Hutan merupakan kesatuan ekosistem yang satu sama lainnya tak dapat dipisahkan (UU 41 1999), termasuk kualitas tanah yang mendukung pertumbuhan tegakan. Kemasaman tanah berkaitan erat dengan ketersediaan senyawa beracun dalam larutan tanah, jika pH rendah (< 4.5), maka kandungan Al dan Fe pada tanah dapat terlarut, sehingga dapat meracuni tanaman. Al dan Fe menjadi toksik jika pada tanah terdapat lebih dari 3 me/100g Al dan 1200 ppm Fe. Rendahnya pH tanah dan tingginya kandungan Al pada tapak di klaster plot 2 tahun tanam 2010 dan klaster plot 5 tahun tanam 2007 berpotensi toksik bagi tanaman. Kondisi tanah yang masam selain menimbulkan keracunan Al, juga menyebabkan kekahatan beberapa unsur hara. Kekahatan adalah kondisi dimana tanaman mengalami kekurangan pasokan hara (Munawar 2011). Di semua klaster plot penelitian terjadi kekahatan unsur P dengan nilai kandungan P tergolong rendah– sangat rendah. Kekahatan unsur P akan menghambat proses-proses pertumbuhan tanaman seperti pembelahan sel, pengembangan sel, respirasi dan fotosintesis yang berakibat akar sulit tumbuh hingga menyebabkan kematian pada tanaman.

Menurut Sukandarrumidi (2006), pirit merupakan salah satu senyawa penyusun mineral batubara. Kecenderungan tanah-tanah pada lahan pasca tambang batubara menjadi masam dijelaskan oleh keberadaan senyawa ini. Mineral pirit dapat bereaksi dengan oksigen dari atmosfir bebas dan air hujan dan membentuk larutan asam sulfat yang bersifat asam pekat. Pada semua klaster plot penelitian kandungan pirit tidak ada yang menyentuh level bermasalah. Ambang batas kandungan pirit menurut Setiadi (2012) adalah > 1.4 %, sedangkan pada klaster plot penelitian kandungan pirit berkisar antara 0 – 0.16 %.

Kandungan C-organik di semua klaster plot tergolong rendah hingga sangat rendah, dengan nilai kandungan berkisar antara 0.81 – 1.34 %. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mustofa (2007), kandungan bahan organik harus dipertahankan tidak kurang dari 2 %. Kandungan bahan organik di lokasi penelitian dapat dilihat dari ketebalan lapisan horizon O yang ketebalannya hanya berkisar antara 0.07 – 1.5 cm. Hal ini menggambarkan suplai bahan organik dari vegetasi yang tumbuh di atas tanah tersebut masih relatif sedikit dan belum sepenuhnya mengalami pelapukan. Hal ini juga terlihat dari ketebalan serasah di masing-masing klaster plot yang berkisar antara 1.7 – 3.5 cm.

(34)

22

akar yang terbatas dan warna daun yang kuning dan gugur yang biasanya ditunjukkan pertama kali oleh daun-daun tua.

C/N rasio adalah perbandingan karbon dan nitrogen yang terkandung dalam suatu bahan organik. Angka C/N rasio yang semakin besar menunjukkan bahwa bahan organik belum terdekomposisi sempurna. Angka C/N rasio yang semakin rendah menunjukkan bahwa bahan organik sudah terdekomposisi dan hampir menjadi humus. Pada klaster plot 1, 3, 4 dan 5 termasuk dalam kategori C/N rasio yang sedang dengan nilai berkisar antara 11.3 – 12.6, sedangkan pada klaster plot 2 termasuk dalam kategori tinggi dengan nilai 16.9. Hal ini menunjukkan bahwa Pada klaster plot 2 proses pelapukan pada tanah masih rendah atau tingkat laju dekomposisi bahan organik dalam tanah berjalan lambat. Kondisi ini disebabkan jenis akasia mangium pada klaster plot 2 yang memiliki laju dekomposisi pada serasahnya yang lambat dan keterbukaan lahan pada klaster plot 2 yang menyebabkan rendahnya kelembaban sehingga mikroorganisme pelapuk sulit hidup.

Menurut Setiadi (2012), pada lahan yang normal biasanya rasio Ca lebih tinggi dari Mg (Ca>Mg), namun pada beberapa lahan pasca tambang khususnya tambang nikel dan beberapa batubara kondisinya terbalik menjadi rasio Ca<Mg. pada lokasi penelitian terdapat tiga klaster plot yang mengalami kondisi tersebut, yaitu klaster plot 1, 3 dan 4. Keadaan rasio Ca<Mg menyebabkan molekul Mg akan lebih dulu diserap tanaman yang akan mengakibatkan tertutupnya titik masuk molekul Ca pada akar. Berkurangnya penyerapan Ca oleh akar akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dominan apikal pada tanaman, sehingga tanaman akan mengalami stagnasi. Ketidakseimbangan rasio Ca/Mg ini dapat diperbaiki dengan pemberian pupuk Ca dalam bentuk kapur (CaCO3) atau dolomit.

Kerusakan Pohon

Kerusakan pohon dapat disebabkan oleh faktor biotik dan abiotik seperti patogen, serangga, polusi udara, aktivitas manusia dan aktivitas alami lain yang mempengaruhi pertumbuhan pohon. Kerusakan yang disebabkan oleh satu atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kesehatan hutan. Identifikasi gejala dan tanda kerusakan memberikan informasi berharga mengenai kondisi hutan sehingga dapat mengetahui penyebab dari penyimpangan yang terjadi. Untuk pemantauan kesehatan hutan (FHM), gejala dan tanda kerusakan dilaporkan jika kerusakan dapat membunuh pohon atau mempunyai dampak dalam jangka panjang terhadap daya tahan pohon tersebut (USDA-FS 1999). Penilaian dalam indikator kerusakan pohon dilakukan dengan mengamati kondisi pohon, meliputi tiga sistem kode berurutan yang menggambarkan lokasi terjadinya kerusakan, tipe kerusakan dan tingkat keparahannya.

(35)

23

atau ranting, sehingga cabang atau ranting rentan patah dan dapat menimbulkan luka pada tanaman. Kondisi ini diduga terjadi karena adanya busuk pada akar tanaman akibat serangan jamur atau genangan air dalam tanah. Pada tipe kerusakan 24 gejala yang terlihat yaitu adanya kerusakan pada daun-daun sengon, kerusakan diduga terjadi karena adanya serangan dari hama kupu-kupu kuning (Eurema spp.), hal ini terlihat dari banyaknya populasi kupu-kupu kuning di sekitar lokasi pengamatan. Kerusakan pada bagian cabang, ranting dan daun akan mengakibatkan tajuk menjadi tidak berkembang dengan baik sehingga proses fotosintesis terganggu. Gangguan fotosintesis dapat mengakibatkan pertumbuhan pohon menjadi kurang optimal dan dapat menurunkan kualitas kayu.

Tipe kerusakan lain yang cukup banyak ditemukan yaitu tipe kerusakan luka terbuka (kode 03) dan tipe kerusakan konk, tubuh buah dan indikator lain tentang lapuk lanjut (kode 02). Tipe kerusakan tersebut ditemukan pada batang bagian bawah sampai batang bagian atas dan pada batang utama. Luka pada tipe kerusakan 03 diduga terjadi akibat patah cabang yang diikuti dengan pembusukan oleh jamur, kecepatan perambatan luka akibat jamur lebih cepat dibandingkan proses pemulihannya. Luka pada tanaman juga bisa diakibatkan kegiatan-kegiatan di lapangan seperti pemantauan, pemeliharaan atau penelitian. Luka terbuka akan menyebabkan pohon rentan terhadap penyakit, karena luka yang terbuka ini akan menjadi peluang bagi patogen (jamur, bakteri atau virus) untuk penetrasi dan menginfeksi tanaman, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada kayu gubal (Putra 2004). Kerusakan pada bagian batang bagian bawah, atas dan batang utama akan menyebabkan aktivitas pengangkutan air dan hara dari tanah ke daun terganggu. Terhambatnya pengangkutan air dan hara ini akan mempengaruhi produktivitas pohon.

Berdasarkan hasil pengamatan, dari total 543 pohon yang ditemukan dalam 5 klaster plot sebanyak 156 pohon tidak terdapat kerusakan (28.73%) dan 387 pohon terdapat kerusakan (71.27%). Dari total 387 pohon yang terdapat kerusakan, hanya 54 pohon yang belum mencapai ambang batas kerusakan (13.95%) dan 333 pohon mencapai ambang batas kerusakan (86.05%). Tingkat keparahan dominan sedikit berada di atas ambang batas, yaitu berkisar antara 20 – 30 % dengan tipe kerusakan yang tingkat pemulihannya relatif cepat seperti ranting patah atau mati dan daun, pucuk atau tunas yang rusak. Jadi, keputusan manajemen untuk menebang pohon-pohon tersebut tidak perlu dilakukan, kecuali pohon-pohon dengan tingkat keparahan yang cukup parah dan dengan tipe kerusakan yang memiliki dampak besar terhadap kualitas pohon tersebut dan akan berdampak terhadap tegakan sekitarnya, maka keputusan untuk menebang pohon tersebut perlu dilakukan.

(36)

24

Kondisi Tajuk

Kondisi tajuk dapat menggambarkan kesehatan pohon secara umum. Kasno

et al. (2001) menyataan bahwa adanya korelasi positif antara diameter dan kerapatan tajuk dengan pertumbuhan basal area. Bagian tumbuhan yang dapat menangkap sinar matahari dan merubahnya menjadi karbohidrat melalui proses fotosintesis adalah daun dengan klorofil dan stomata yang dimilikinya. Daun-daun tersebutlah yang dapat membentuk tajuk yang sempurna. Tajuk yang lebar dan lebat menggambarkan pertumbuhan yang cepat, sedangkan tajuk yang kecil dan jarang menunjukkan kondisi tapak tumbuh yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman atau ada pengaruh lainnya (seperti akibat hama, penyakit, kebakaran atau angin yang kencang).

Menurut Triwahyuningsih (2001) menjelaskan bahwa ada dua parameter tajuk yaitu diameter tajuk dan rasio tajuk hidup yang dapat merefleksikan ukuran tajuk. Tajuk yang lebar dan lebat akan menghasilkan fotosintesis lebih besar dibandingkan dengan tajuk yang kecil, sehingga ukuran tajuk mempunyai pengaruh tehadap keberlanjutan produktivitas pohon tersebut. Tajuk yang lebat dapat menampung curah hujan yang tinggi sehingga mencegah jatuhan hujan secara langsung ke tanah dan dapat mengurangi terjadinya erosi di lantai hutan. Tajuk yang lebat juga dapat menghasilkan serasah yang banyak sehingga dapat mengurangi evapotranspirasi serta memberikan kondisi yang lembab bagi tanah.

Pada klaster plot 1, 4 dan 5 tanaman pokok yang ditanam adalah jenis sengon, sedangkan pada klaster plot 2 dan 3 merupakan tegakan campuran 2 jenis tanaman. Pada klaster plot 2 tanaman pokok yang ditanam adalah jenis akasia dan sengon, sedangkan pada klaster plot 3 tanaman pokok yang ditanam adalah jenis sengon dan ketapang.

Menurut Kozlowsky (1962) dalam Kasno et al. (2001) menyebutkan bahwa kondisi pohon dengan rasio tajuk 1/3 menunjukkan kondisi pohon normal. Pada klaster plot 1, 4 dan 5 nilai rasio tajuk di bawah 1/3 (25%, 25% dan 24%). Hal ini berkaitan dengan banyak ditemukannya kerusakan tipe cabang patah atau mati pada pohon sengon di klaster plot tersebut yang mengakibatkan struktur tajuk rusak dan nilai LCR kecil. Pada klaster plot 2 dan 3 memiliki nilai rasio tajuk di atas 1/3 (72% dan 46%). Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanaman yang menyusun tegakannya. Pada klaster plot 2 dan 3 terdapat campuran jenis antara sengon dengan akasia dan sengon dengan ketapang. Jenis akasia dan ketapang memiliki struktur percabangan yang banyak dan rapat, sehingga nilai LCR lebih besar.

Kerapatan dan transparansi tajuk dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perubahan kerapatan tegakan, proses pengguguran daun baik yang disertai mati pucuk ataupun tidak dan juga dipengaruhi oleh perbedaan komposisi jenis yang menyusun tegakan tersebut. Pada kasus yang ditemukan di lapangan, perubahan kerapatan dan transparansi tajuk dipengaruhi adanya perbedaan komposisi jenis yang menyusun tegakan tersebut. Dalam keadaan normal persentase kerapatan tajuk berbanding terbalik dengan persentase transparansi tajuk. Persentase kerapatan tajuk ditambah persentase transparansi tajuk adalah 100%.

(37)

25

yang kecil dan tajuk yang terbuka, sehingga nilai nilai kerapatan tajuknya kecil. Pada klaster plot 2 dan 3 memiliki nilai kerapatan yang besar dikarenakan terdapat tanaman campuran jenis akasia dan ketapang yang memiliki daun yang lebar dan tajuk yang rapat sehingga nilai rata-rata kerapatan tajuknya lebih besar. Kondisi ini menunjukkan bahwa di areal tegakan yang disusun oleh tegakan jenis dominan sengon pada klaster plot 1, 4 dan 5 banyak cahaya yang mencapai lantai hutan melalui celah tajuk dan kuantitas cahaya yang sedikit dapat ditahan oleh daun dibandingkan pada klaster plot 2 dan 3.

Diameter tajuk merefleksikan perluasan aktual tajuk. Dari pengukuran yang dilakukan, angka rata-rata diameter tajuk memiliki trend meningkat seiring pertambahan umur tanam. Diameter tajuk yang lebar akan lebih banyak menangkap cahaya matahari, sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Berdasarkan kriteria kondisi tajuk, diameter tajuk di lima klaster plot (4.2 – 6.6 m) berada dalam kriteria sedang (2.5 – 10 m).

Kematian pucuk (dieback) merupakan salah satu parameter kondisi tajuk yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan hutan. Rata-rata nilai dieback paling tinggi terdapat di klaster plot 1 dengan nilai 4.6%, hal ini menunjukkan proporsi penutupan tajuk dan proses fotosintesis tidak terlalu terganggu karena rata-rata nilai dieback tergolong rendah.

Kondisi kesehatan tajuk dapat dilihat dari nilai VCR (Visual Crown Rating). Nilai VCR diperoleh dari penggabungan skor parameter-parameter tajuk yang diamati. Berdasarkan nilai VCR (Tabel 18), pada klaster plot 1, 4 dan 5 tergolong dalam kategori rendah (2.42, 2.61 dan 2.49). Pada klaster plot 2 dan 3 tergolong dalam kategori sedang (3.54 dan 3.25). Menurut Supriyanto et al. (2001), kondisi tajuk dari suatu struktur tegakan mungkin dapat mencerminkan kesehatan tegakan tersebut. Nilai VCR rendah menggambarkan kondisi tajuk yang jelek, hasil fotosintesis akan sedikit atau tidak optimal.

Biodiversitas Tumbuhan Bawah

Biodiversitas (keanekaragan hayati) merupakan indikator kesinambungan dinamika suksesi alami pada areal reklamasi. Kelenturan (resiliensi) didefinisikan sebagai kemampuan untuk kembali ke keadaan semula dengan cepat setelah mengalami kemunduran dan/atau perubahan. Semakin tinggi tingkat biodiversitas dalam hutan akan meningkatkan tingkat kelenturan hutan tersebut karena tingkat kelenturan hutan ditujukan oleh keragaman fungsi ekologi yang dimiliki, sehingga tingkat stabilitas ekosistem akan lebih tinggi. Penilaian indikator biodiversitas didasarkan kondisi keanekaragaman dan kemerataan jenis dengan menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener dan indeks kemerataan jenis Pielou.

Hasil identifikasi tumbuhan bawah di setiap klaster plot jumlahnya bervariasi (7 – 11 jenis). Jenis yang dominan dan ditemukan di lebih dari 2 klaster plot, yaitu Centrosema pubescens, Mikania micrantha, Paspalum notatum,

(38)

26

Nilai keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) disamping dapat menggambarkan keanekaragaman spesies, dapat juga menggambarkan produktivitas ekosistem, tekanan pada ekosistem dan kestabilan ekosistem.

Semakin tinggi nilai H’ maka semakin tinggi pula keanekaragaman spesies, produktivitas, tekanan dan kestabilan pada ekosistem. Nilai H’ di setiap plot

berkisar antara 1 < H’< 3. Menurut Magurran (1988), nilai H’ yang berkisar antara 1 < H’< 3 memiliki kriteria sedang. Hal ini menunjukkan pada setiap

klaster plot memiliki kondisi keanekaragaman jenis yang sedang (1.115 – 1.793) dengan produktivitas yang cukup, kondisi ekosistem yang cukup seimbang dan memiliki ketahanan terhadap tekanan ekologi yang sedang.

Nilai kemerataan jenis Pielou (J’) dapat menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Nilai J’ paling besar terdapat di klaster plot 4 (0.89), sedangkan nilai

J’ paling kecil terdapat di klaster plot 2 (0.57). Pada klaster plot 2 memiliki nilai

J’ rendah dikarenakan terdapat 2 jenis tumbuhan bawah yang jumlahnya mendominasi jenis yang lainnya, yaitu Paspalum notatum (310 tanaman) dan

Centrosema pubescens (200 tanaman), terhadap 5 jenis lainnya yang masing-masing hanya berjumlah 1 – 30 tanaman. Pada klaster plot lainnya hampir semua jenis jumlahnya merata dan pada klaster plot 4 yang jumlah masing-masing jenisnya paling merata, sehingga memiliki nilai J’ paling besar.

Tingkat Kesehatan Hutan

Penilaian tingkat kesehatan hutan didasarkan dari perhitungan skor setiap indikator, yaitu produktivitas, kerusakan pohon, kondisi tajuk, kualitas tapak dan biodiversitas tumbuhan bawah. Kondisi akhir penilaian kesehatan hutan di semua klaster plot termasuk dalam kategori sedang, dengan nilai akhir yang berbeda. Nilai akhir yang berbeda ini diperngaruhi oleh faktor pendukung dan faktor penghambat.

Umumnya nilai akhir kesehatan hutan yang rendah di setiap klaster plot dipengaruhi oleh kualitas tanah yang rendah. Klaster plot 1 tegakan umur 2 tahun memiliki nilai akhir paling kecil, yaitu 20 dari skor tertinggi 50. Hal ini dipengaruhi skor dari 4 indikator yang rendah (produktivitas, kerusakan pohon, kondisi tajuk dan kualitas tapak). Hanya pada indikator biodiversitas yang memiliki nilai baik, yaitu 7 dari skor tertinggi 10.

Klaster plot 2 tegakan umur 3 tahun memiliki skor 23. Nilai rendah dari indikator kualitas tapak dan produktivitas. Kondisi tanah klaster plot 2 memiliki nilai paling rendah. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai KTK yang sangat rendah, yaitu sebesar 6.5 me/100g, sehingga berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas pohon yang menyusun tegakannya dengan nilai LBDS hanya 2.67 m2/ha. Skor untuk biodiversitas di klaster plot 2 memiliki nilai paling kecil. Hal ini dipengaruhi kondisi kualitas tanah yang kurang baik untuk pertumbuhan tumbuhan bawah. Skor untuk indikator kerusakan pohon dan kondisi tajuknya cukup baik. Hal ini menggambarkan kondisi tajuk yang baik dengan rendahnya kerusakan yang terjadi pada setiap pohon yang menyusun tegakannya.

Gambar

Gambar 1 Desain klaster plot FHM (USDA-FS  1997)
Tabel 2  Nilai skor kualitas tapak pada klaster plot berdasarkan nilai KTK
Tabel 4  Deskripsi kode lokasi kerusakan  Kode  Definisi
Tabel 6  Nilai skor kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI  Rata-rata PLI  Skor
+5

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah karena pada celah Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah

Dasar pertimbangan pemilihan lokasi penelitian adalah Desa Sukorejo merupakan salah satu desa di Kabupaten Bondowoso yang merupakan sentra kopi Arabika sekaligus

Larva lalat sehari dari Famili Heptageniidae mempunyai nilai kelimpahan relatif yang tinggi pada Sungai Cengek daerah sebelum percabangan dan percabangan sebelah

Peran media massa dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat, menurut Ashadi sangat dipengaruhi oleh hubungan media massa itu sendiri dengan negara.. Ashadi

 Untuk lebih memahami pengetahuan tentang bahaya zat adiktif bagi kesehatan, guru membagikan LKPD membuat model tentang bahaya rokok bagi kesehatan (tar detector),

Selanjutnya, khusus pada bagian isi terdiri atas sepuluh berita yang terdistribusi ke dalam Tinjauaan Pers (tiga berita) dengan durasi waktu siar 5 menit ; segmen 1 terdiri atas

(4) Meningkatkan proses pembelajaran. Oleh karena itu, permainan domino dipilih sebagai media atau alat peraga dalam pembelajaran kosakata bahasa Jerman agar peserta didik

Pengesahan dokumen merupakan satu kewajiban pengurusan dalam Negeri Kedah boleh dilakukan secara elektronik sehingga membolehkan eDokumen dapat dipakai secara