• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

`

HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

KAJIAN

QUERY FEVER

PADA SAPI DI RUMAH POTONG

HEWAN CIBINONG:

HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Query fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Hario Pranaditya Munif Adinegoro B04090070

(4)

ABSTRAK

HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO. Kajian Query fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan MAWAR SUBANGKIT.

Query fever (Q fever) merupakan zoonosis yang disebabkan oleh agen Coxiella bunetii dan saat ini sudah hampir tersebar luas ke seluruh dunia. Ruminansia merupakan hewan yang paling beresiko terinfeksi Q fever. Penelitian tentang kajian histopatologi penyakit Q fever pada organ jantung dan limpa sapi dilakukan dari bulan Januari hingga Oktober 2013 di rumah potong hewan Cibinong dan laboratorium histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sampel yang digunakan adalah organ jantung dan limpa sapi yang diambil secara acak masing-masing berjumlah 50 sampel. Metode imunohistokimia dilakukan untuk menentukan sampel imunoreaktif dan non imunoreaktif. Hasil penelitian menunjukkan 9 sapi imunoreaktif dan 41 sapi non imunoreaktif terhadap antibodi anti C. burnetii. Gambaran lesio limpa menunjukkan deplesi pulpa putih, kongesti pulpa merah, dan akumulasi sel radang. Gambaran lesio pada jantung menunjukkan degenerasi otot jantung dan akumulasi sel radang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gambaran spesifik pada organ jantung dan limpa antara sapi imunoreaktif dan non imunoreaktif Q fever.

Kata kunci: Coxiella burnetii, imunohistokimia, sapi, Q fever.

ABSTRACT

HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO. Study on Query fever of Cattle at Cibinong Slaughterhouse: Histopathology of Spleen and Heart

.

Supervised by AGUS SETIYONO and MAWAR SUBANGKIT.

Query (Q) fever is a zoonoses caused by Coxiella burnetii agent and it has been almost widespread around the world. The ruminants are highly risk animal infected for Q fever disease. The study of Q fever disease on heart and spleen of cattle histopathologically was carried out from January to October 2013 at Cibinong slaughterhouse and histopathology laboratory, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University. Samples used were heart and spleen of 50 randomly slaughtered cattle. Immunohistochemical method was done to determine the immunoreactive and non immunoreactive of samples. The results showed that 9 samples were immunoreactive and 41 samples were not immunoreactive to anti C. burnetii antibody. The lesions of spleen indicated depletion of white pulp, congestion of red pulp, and accumulation of inflammatory cells. The lesions of heart revealed degeneration of heart muscle and accumulation of inflammatory cells. These results showed that there is no specific differences histopathologically between immunoreactive and non immunoreactive samples of heart and spleen of cattle due to Q fever.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KAJIAN

QUERY FEVER

PADA SAPI DI RUMAH POTONG

HEWAN CIBINONG:

HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA

DAN JANTUNG SAPI

HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Penelitian: Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung Nama : Hario Pranaditya Munif Adinegoro

NIM : B04090070

Disetujui oleh

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Pembimbing I

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Agus Setiyono MS PhD APVet dan drh Mawar Subangkit MSi APVet selaku pembimbing, serta tim peneliti Q fever (Wulandari Utami, Srimita K. Br. Sembiring, dan Andre Yudhi). Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kasnadi, Bapak Soleh SE, dan Bapak Endang selaku pegawai Laboratorium Histopatologi FKH IPB serta dokter hewan dan pegawai di rumah potong hewan Cibinong yang telah membantu penulis dalam memperoleh data penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Tulus Haryanto, ibunda Faridatun, adinda Ihza Agam Muhammad, dan seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... .... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

METODE PENELITIAN Waktudan Tempat Penelitian ... 3

Bahan dan Peralatan ... 3

Prosedur Penelitian ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Sediaan immunohistokimia ... 6

Pengamatan Sediaan haematoksilin-eosin ... 7

SIMPULAN ... ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 11

(11)

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi gejala peradangan organ jantung antara sapi positif

dan sapi negatif Q fever 7

2 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ jantung antara

sapi positif dan sapi negatif Q fever 8

3 Deskripsi gejala peradangan organ limpa antara sapi positif dan

sapi negatif Q fever 9

4 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa antara

sapi positif dan sapi negatif Q fever 9

DAFTAR GAMBAR

1 Imunoreaktif positif terhadap C. burnetii pada organ limpa (a) dan

organ hati (b) 6

2 Degenerasi otot jantung (a), akumulasi sel radang neutrofil (b),

serta akumulasi sel radang limfosit dan fibrosis (c). ……… 8 3 Gambaran deplesi pulpa putih (a), kongesti pulpa merah (b),

(12)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Query fever (Q fever) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Coxiella burnetii yang merupakan bakteri obligat intraseluler. Q fever bersifat zoonosis, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia maupun sebaliknya (Martens dan Samuel 2007). Penyakit ini umumnya cenderung menyerang hewan ruminansia, walaupun pada beberapa kasus juga ditemukan pada satwa liar dan hewan peliharaan lainnya. Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal ternak terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Penularan penyakit Q fever biasanya terjadi melalui aerosol (terhirup partikel spora C. burnetii yang terbawa angin) atau kontak langsung dengan jaringan sisa partus hewan yang terinfeksi (Ergas et al. 2006).

C. burnetii memiliki daya virulensi rendah tetapi memiliki infektivitas tinggi. Hal ini berarti satu organisme patogen dalam jumlah tunggal dapat menyebabkan infeksi pada inang. Selain itu, C. burnetii memiliki bentuk sporelike yang sangat tahan terhadap panas, udara kering, dan beberapa senyawa antiseptik standar. Hal ini memungkinkan C. burnetii untuk bertahan di lingkungan dalam periode lama (minggu atau bulan) dalam kondisi ekstrim (Byrne 2007).

Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap wabah Q fever. Hal ini didukung oleh banyaknya penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai peternak yang memungkinkan seringnya kontak dengan hewan yang terinfeksi dan penanganan bahan pangan asal ternak yang kurang baik. Di Indonesia, penyakit Q fever pertama kali ditemukan pada tahun 1937 dengan adanya 188 serum sapi yang positif mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Kaplan dan Bertagna 1955). Salah satu kendala penting adalah gejala klinis bentuk akut dari Q fever yang tidak patognomonis, yaitu pneumonia, keguguran, dan gejala lainnya yang belum didiagnosa sebagai Q fever (Mahatmi et al. 2007). Daging dan susu inang terinfeksi membahayakan bagi manusia. Menurut Guatteo et al. (2011), konsumsi daging dan susu ruminansia yang terinfeksi Q fever dan tidak dimasak dengan sempurna dapat menjadi sumber infeksi bagi manusia.

Penelitian Q fever telah banyak dilakukan di negara maju dan bahkan sekuensing genom dari C. burnetii telah dilakukan secara lengkap (Seshadri et al. 2003). Hal ini dilakukan karena C. burnetii berpotensi digunakan sebagai senjata biologis (Raoult 2002). Q fever merupakan masalah kesehatan penting di beberapa negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Korea, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Hasil survei di Jepang pada tahun 1954 menunjukkan bahwa 2.5% dari sapi dan 1.7% dari kambing yang diperiksa terbukti mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Kitaoka dalam Htwe et al. 1992).

(13)

2

tidak diketahui. Gejala-gejala penyakit akut seperti flu, demam tinggi, menggigil, kelelahan, malaise, mialgia, sakit tenggorokan, dan nyeri dada. Penyakit ini umumnya berlangsung dari seminggu sampai lebih dari tiga minggu. Beberapa studi menunjukkan bahwa risiko infeksi pada ruminansia bervariasi tergantung pada usia, jenis, kemampuan reproduksi, tingkat produksi susu dan tahap laktasi (McCuaghey et al. 2010).

Gejala klinis Q fever pada manusia meliputi bentuk akut yang tampak seperti influenza. Sedangkan bentuk kronis umumnya berjalan dalam waktu yang sangat lama, bahkan 20 tahun baru tampak adanya gejala seperti timbulnya sesak nafas dan batuk kardial akibat endokarditis yang berakhir fatal (Marrie 2003). Manifestasi klinis utama dari Q fever kronis adalah endokarditis pada inang dengan valvulopati, infeksi pembuluh darah, hepatitis atau sindrom kelelahan kronis.

Endokarditis dilaporkan lebih dari 800 kasus pada berbagai penelitian antara tahun 1949 dan 2005 (Tissout-Dupont dan Raoult 2007). Penelitian itu dilaksanakan di UK dan Irlandia dengan 227 kasus, Perancis dengan 264 kasus, Spanyol dengan 62 kasus, Israel dengan 35 kasus, Swiss dengan 21 kasus, Australia dengan 18 kasus, dan Kanada dengan 10 kasus. Di Perancis, 5% penyakit Q fever terjadi dalam bentuk endokarditis (Brouqui dan Raoult 2006). Kasus Q fever endokarditis sering terjadi pada pasien dengan cardiac defect atau immunocompromised (Maurin dan Raoult 1999). Diagnosis terhadap kasus ini menyebabkan gagal jantung, hepatomegali, sindrom inflamasi, anemia, dan leukopenia, serta penurunan fungsi hati (Houpikian et al. 2002). Sekarang, deteksi C. burnetii endokarditis menggunakan metode baru bernama autoimmunohistochemistry (Lepidi et al. 2006). Lepidi et al. (2006) mewarnai sampel katup jantung dengan pewarnaan imunohistokimia yang menggunakan antibody monoclonal dan hematoxylin counterstain. Terlihat dalam pewarnaan, C. bunetii berada pada sitoplasma makrofag.

Limpa merupakan organ pertahanan sekunder terbesar yang mengandung sel-sel limfosit dan menginisiasi respon imun terhadap antigen yang menginfeksi melalui darah (Kuper et al. 2002; Nolte et al. 2002; Balogh et al. 2004; Cesta 2006). Menurut Cesta (2006), Limpa berperan sebagai pusat sirkulasi sistemik. C. burnetii yang masuk ke dalam tubuh dapat membahayakan tubuh, sehingga sel pertahanan tubuh meresponnya agar dapat keluar dari tubuh. Limpa mengambil peranan penting dalam kejadian ini, sehingga lebih beresiko terserang C. burnetii daripada organ lain. Limpa dan jantung merupakan organ yang beresiko diserang infeksi C. burnetii. Penelitian terhadap infeksi Q fever pada organ jantung dan limpa belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga data yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran kejadian Q fever pada organ jantung dan limpa.

(14)

3 itu pengambilan antigen akan meminimalkan terjadinya hasil negatif palsu (Renshaw 2006).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan gambaran histopatologi organ limpa dan jantung sapi positif dan negatif terhadap infeksi C. burnetii.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan membandingkan gambaran histopatologi organ limpa dan jantung sapi positif dan negatif terhadap infeksi C. burnetii.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Januari hingga Oktober 2013. Pengambilan sampel dilakukan di RPH Cibinong, kabupaten Bogor. Pembuatan sediaan histopatologi dan pewarnaan imunohistokimia dilakukan di Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Peralatan

Pengambilan Sampel Organ

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel organ limpa dan jantung sapi potong yang diduga terinfeksi C. burnetii, larutan formalin, dan tabung tempat penyimpanan sampel organ.

Pembuatan Sediaan Histopatologi

Bahan dan alat untuk pembuatan sediaan histopatologi berupa gelas ukur, tissue cassette, tissue basket, tissue tang, parrafin embedding console, gelas objek, gelas penutup, automatic tissue processor, mikrotom, staining system, alat fotomicrograph, mikroskop cahaya, dan software image.

Pewarnaan Imunohistokimia

Xylene, etanol 95%, etanol 100%, phospat buffer saline (PBS), H2O2 0.3%,

(15)

4

Prosedur Penelitian

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan mengamati keadaan organ limpa dan jantung yang diduga menderita Q fever secara makroskopis. Sampel yang diduga terinfeksi diambil dengan memisahkan jaringan yang terinfeksi dari organ dan dimasukkan kedalam tabung yang berisi cairan formalin sebelum mendapakan tindakan lebih lanjut di laboratorium. Sampel yang diambil berjumlah 50 sampel organ dari 50 ekor sapi.

Sampel organ yang telah diambil dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm, dimasukkan ke dalam tissue cassette kemudian dilakukan proses dehidrasi dengan merendam sediaan tersebut secara berurutan ke dalam etanol 80%, 90%, etanol absolut I, etanol absolut II, xylene I, xylene II, parafin I, dan parafin II selama masing-masing 2 jam. Proses perendaman dilakukan secara otomatis dalam automatic tissue processor selama 20 jam.

Pembuatan Blok Parafin

Pertama jaringan dicuci dengan PBS, kemudian jaringan tersebut difiksasi dengan menggunakan buffer neutral formalin 10%. Selanjutnya dilakukan proses dehidrasi dengan menggunakan etanol bertingkat (80%, 96%, dan absolut). Jaringan yang telah didehidrasi kemudian di-clearing menggunakan xylene 2 kali, masing-masing 60 menit. Proses dilanjutkan dengan infiltrasi menggunakan parafin lunak selama 60 menit pada suhu 48°C, kemudian dilakukan pemblokan dalam parafin keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari. Parafin yang sudah mengeras ditempelkan pada holder untuk dilakukan pemotongan setebal 4–6 µm dengan mikrotom rotari.

Pemotongan Jaringan dalam Blok Parafin

Jaringan dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 5 mikrometer. Hasil potongan dimasukkan ke dalam air hangat 45°C dalam waterbath untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dengan gelas objek kemudian dikeringkan dalam inkubator 60°C.

Proses Deparafinisasi

Slide direndam didalam xylene sebanyak 2 kali dengan durasi masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan proses rehidrasi menggunakan etanol bertingkat (absolut III, absolut II, absolut I, 96%, 80%) masing-masing 5

(16)

5 ditetesi dengan antibodi sekunder berlabel biotin (DakoInc) dan inkubasi lagi selama 1 jam (1:200). Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali selama 5 menit dengan menggunakan PBS pH 7.2, kemudian ditetesi dengan SA-HKP (streptavidin horse radis peroxidase) (DakoInc) selama 40 menit (1:500). Slide dicuci lagi dengan menggunakan PBS pH 7.2 sebelum dilakukan proses aplikasi kromogen untuk HRP yaitu DAB (diamonobenzidine) (DacoInc) dan dibilas dengan H2O. Slide yang telah dibilas selanjutnya dicuci lagi sebanyak 3 kali selama

5 menit dengan menggunakan PBS pH 7.2. Proses selanjutnya dilakukan counter straining selama 10 menit dengan menggunakan Mayer Hematoksilin (lab vision), kemudian dilakukan pencucian dengan tap water dan dilanjutkan dengan proses mounting menggunakan PermountTM serta gelas penutup.

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)

Pewarnaan dimulai dengan merendam slide ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan Lithium Karbonat selama 15-30 kali, dibilas dengan air mengalir lagi. Selanjutnya jaringan dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama 2 menit. Sediaan dicuci dengan celupan alkohol 90% sebanyak 10 kali, alkohol absolut I 10 kali, alkohol absolut II selama 2 menit, xylene I selama 1 menit, xylene II selama 1 menit. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan menenetesi sediaan dengan perekat PermountTM kemudian ditutup dengan gelas penutup. Sediaan yang telah jadi diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat bagus atau tidak gambaran histopatologinya.

Pengamatan Sampel yang Telah Diwarnai

(17)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Sediaan Imunohistokimia

Pengamatan sampel dengan pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk menguji imunoreaktivitas organ terhadap infeksi C. burnetii. Sebanyak 9 dari 50 sampel yang diamati menunjukkan hasil positif terhadap Q fever. Sampel positif terdiri dari 8 sampel organ limpa dan 1 sampel organ hati. Sampel-sampel tersebut yaitu 3C, 12C, 13C, 14C, 26C, 27C, 28C, 34C, dan 41C. Hasil penelitian sampel organ limpa dan hati dengan metode peroxidase-based terhadap keberadaan antigen C. burnetii disajikan pada Gambar 1.

a b

Gambar 1 Imunoreaktif positif terhadap C. burnetii pada organ limpa dengan perbesaran 1000× (a) dan organ hati dengan perbesaran 400× (b). Kelainan yang terlihat dari hasil uji adalah warna coklat (kelainan pada Gambar 1 ditunjuk oleh tanda panah). Warna coklat yang terbentuk merupakan reaksi antara polyclonal rabbit anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB terhadap C. burnetii yang terdapat dalam jaringan. Hasil negatif terhadap polyclonal rabbit anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB ditunjukkan dengan tidak terlihatnya warna coklat dalam jaringan. Hal ini berarti jaringan tidak bersifat imunoreaktif terhadap antibodi. Hasil negatif yang diperoleh karena dalam jaringan memang tidak terdapat antigen C. burnetii.

(18)

7 Metode pewarnaan imunohistokimia ini didasarkan pada kemampuan imunogenik dan reaksi enzimatik dalam analisis lokasi antigen target. Reaksi imunologik akan ditandai dengan adanya reaksi yang terjadi antara antigen dan antibodi, sedangkan reaksi enzimatis ditandai dengan reaksi kimiawi antara enzim dan substrat. Beberapa keuntungan penggunaan pewarnaan imunohistokimia adalah menurunkan kemungkinan terjadi pewarnaan latar belakang dan meningkatkan spesifisitas pelabelan. Selain itu, pengambilan antigen akan meminimalkan terjadinya hasil negatif palsu (Renshaw 2006).

Pengamatan Sediaan Haematoksilin dan Eosin

Sediaan diwarnai dengan pewarnaan HE untuk melihat struktur jaringan termasuk kerusakan yang terjadi pada jaringan. Kerusakan yang terjadi pada jaringan sapi yang positif terinfeksi C. burnetii akan menunjukkan lesio yang kemungkinan disebabkan oleh agen. Pewarnaan HE ini digunakan untuk membandingkan lesio jaringan yang ditemukan pada sapi yang positif dan negatif Q fever.

Histopatologi Jantung

Pengamatan HE yang dilakukan terhadap sampel organ jantung menunjukkan hasil 47 normal, 2 gejala radang kronis, dan 1 gejala radang akut. Secara umum, sampel organ jantung hanya sedikit yang menunjukkan tanda peradangan. Peradangan pada jantung hanya terjadi pada sapi negatf Q fever. Hal tersebut terjadi karena masuknya agen asing selain C. burnetii ke dalam tubuh dan menyerang jantung. Deskripsi gejala peradangan organ jantung antara sapi positif dan negatif Q fever disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Deskripsi gejala peradangan organ jantung antara sapi positif dan sapi

(19)

8

Deskripsi lesio histopatologi organ jantung antara sapi positif dan negatif Q fever disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ jantung antara sapi positif dan sapi negatif Q fever

Lesio Positif Sapi Negatif

Degenerasi otot jantung 2/9 10/41

Sel radang

Jantung sapi dapat mengalami lesio karena masuknya agen asing dan diet pakan yang kurang baik. Lesio tersebut dapat berupa degenerasi otot jantung dan akumulasi sel radang. Gambaran lesio histopatologi organ jantung disajikan pada Gambar 2.

a b c

Gambar 2 Degenerasi otot jantung dengan perbesaran 400× (a), akumulasi sel radang neutrofil dengan perbesaran 1000× (b), serta akumulasi sel radang limfosit dan fibrosis dengan perbesaran 400× (c).

Degenerasi otot jantung (Gambar 2a) merupakan lesio yang umum. Baik sapi positif maupun negatif Q fever menunjukkan lesio yang mirip. Gambar 2b menunjukkan akumulasi sel radang neutrofil pada otot jantung, lesio ini dinamakan radang akut. Gambar 2c menunjukkan akumulasi sel radang limfosit dan fibrosis sehingga diduga gejala yang timbul berupa radang kronis. Menurut Valli (2007), limfositosis yang terjadi pada ruminansia merespon terjadinya penyakit kronis. Gambaran (b) dan (c) hanya dijumpai pada sapi negatif Q fever.

Otot jantung yang mengalami degenerasi akan kehilangan pola luriknya, sehingga warna menjadi pucat. Kejadian ini dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin E dan atau unsur selenium (Se) (Maxie dan Robinson 2007). Defisiensi terjadi kemungkinan hewan diberikan diet yang rendah kandungan vitamin E dan selenium.

(20)

9 area masuknya agen asing tersebut. Fibrosis ditandai dengan menebalnya jaringan ikat yang ada di dalam struktur organ jantung jika dilihat secara mikroskopis. Histopatologi Limpa

Peradangan pada limpa terjadi karena masuknya agen asing ke dalam tubuh dan menyerang limpa. Peradangan tersebut dapat bersifat akut, kronis, atau kronis aktif. Splenitis akut tidak terlihat pada sampel yang diamati. Splenitis kronis terlihat pada 6 sampel, yaitu 2 dari sapi positif dan 4 dari sapi negatif Q fever. Sedangkan splenitis kronis aktif terlihat pada 37 sampel yang terbagi menjadi 7 sapi positif dan 30 sapi negatif Q fever. Deskripsi gejala peradangan organ limpa antara sapi positif dan negatif Q fever disajikan pada tabel 3.

Tabel 3 Deskripsi gejala peradangan organ limpa antara sapi positif dan sapi negatif Q fever

Gejala radang Positif Sapi Negatif

Normal - 6/41

Akut - -

Kronis 2/9 4/41

Kronis aktif 7/9 31/41

Radang akut ditandai dengan akumulasi sel radang neutrofil. Radang kronis ditandai dengan akumulasi sel radang limfosit (lebih sering terlihat pada pulpa merah limpa). Radang kronis aktif gejalanya merupakan gabungan antara radang akut dan kronis, yaitu terdapat akumulasi sel radang limfosit dan juga neutrofil secara bersamaan.

Gambaran limpa yang diamati yaitu deplesi pulpa putih, kongesti pulpa merah, splenitis kronis, dan splenitis kronis aktif. Gambaran deplesi pulpa putih dapat terlihat pada 9 sampel yang berasal dari 4 sapi positif dan 5 sapi negatif Q fever. Kongesti pulpa merah dapat terlihat pada 25 sampel, berasal dari 7 sapi positif dan 18 sapi negatif Q fever.

Gambaran lainnya yang terlihat adalah akumulasi sel radang neutrofil dan limfosit pada pulpa merah limpa. Sel radang neutrofil dapat terlihat pada 7 sapi positif dan 30 sapi negatif Q fever. Sedangkan sel radang limfosit dapat terlihat pada 2 sapi positif dan 4 sapi negatif. Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa antara sapi positif dan sapi negatif Q fever disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa antara sapi positif dan sapi negatif Q fever

Lesio Positif Sapi Negatif

Deplesi pulpa putih 4/9 5/41

Kongesti pulpa merah 7/9 18/41

(21)

10

Lesio pada limpa menunjukkan adanya deplesi pulpa putih, kongesti pulpa merah, dan akumulasi sel radang. Lesio tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti pakan, manajemen pemeliharaan, proses pemotongan, maupun masuknya agen asing ke dalam tubuh sapi. Gambaran lesio histopatologi organ limpa disajikan pada Gambar 3.

a b

c d Gambar 3 Gambaran deplesi pulpa putih dengan perbesaran 400× (a), kongesti

pulpa merah dengan perbesaran 1000× (b), splenitis kronis dengan perbesaran 400× (c), dan splenitis kronis aktif dengan perbesaran 1000× (d).

Gambar 3a menunjukkan lesio berupa deplesi pulpa putih yang ditandai dengan celah antar sel yang terjadi pada pulpa putih dan juga inti sel pada pulpa putih mengalami karyoreksis, karyolisis, dan karyopiknosis (Suttie 2006). Susunan sel-sel pulpa putih normal adalah rapat. Namun, pada kejadian deplesi pulpa putih susunannya merenggang akibat sel-sel yang tidak beraturan bentuknya. Gambar 3b menunjukkan gejala kongesti pulpa merah yang ditandai dengan akumulasi pigmen hemosiderin. Akumulasi pigmen hemosiderin di pulpa merah limpa ini merupakan produk dari perombakan sel darah merah yang berlebihan karena terjadi kongesti pembuluh darah limpa. Pigmen hemosiderin seringkali terakumulasi dalam makrofag sehingga disebut hemosiderin-containing macrophages atau hemosiderofag. Kejadian ini dapat berasosiasi dengan kejadian hemoragi dan kongesti (Suttie 2006).

(22)

11 neutrofil yang merupakan tanda radang kronis aktif. Gambaran peradangan ini dapat ditemukan baik pada sapi positif maupun sapi negatif Q fever. Valli (2007) mengatakan bahwa limpa akan memberikan respon dengan cepat berupa infiltrasi sel radang neutrofil dalam jumlah besar pada marginal zone dan area sinus pada saat terjadi septisemia.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 dari 50 sampel positif Q fever. Lesio sapi positif Q fever menunjukkan degenerasi otot jantung, akumulasi sel radang pada jantung, deplesi pulpa putih limpa, kongesti pulpa merah limpa, dan akumulasi sel radang pada limpa. Lesio tersebut bukan merupakan lesio spesifik Q fever karena dapat ditemukan pada sapi negatif Q fever. Kelainan Q fever dapat dideteksi dengan lebih tepat dengan metode IHK. Oleh karena itu, pewarnaan IHK baik untuk mendeteksi Q fever.

DAFTAR PUSTAKA

Balogh R, Horvath G, Szakal AK. 2004. Immunoarchitecture of distinct reticular fibroblastic domains in the white pulp of mouse spleen. J Histochem Cytochem 52, 1287-98.

Brouqui P, Raoult D. 2006. New insight into the diagnosis of fastidious bacterial endokarditis. FEMS Immunol Med Microbiol. 47:1–13.

Byrne WR. 2007. Q fever. Medical Aspects of Chemical and Biological Warfare. 523–527.

Cesta MF. 2006. Normal structure, function, and histology of the spleen. Toxicol Pathol. 34:455-465

Ergas D, Keysari A, Edelstein V, Sthoeger ZM. 2006. Acute Q fever in Israel: clinical and laboratory study of 100 hospitalized patients. I M A J. 8:337– 341.

Guatteo R, Seegers H, Taurel AF, Joly A, Beaudeau FO. 2011. Prevalence of Coxiella burnetii infection in domestic ruminants: a critical review. Vet Microbiol. 14(9):1–16.

Houpikian P, Habib G, Mesana T, Raoult D. 2002. Changing clinical presentation of Q fever endokarditis. Clin Infect Dis. 34:E28–E331.

Htwe KK, Amano A, Sugiyama Y. 1992. Seroepidemiology of Coxiella bunetii in domestic and companion animals in Japan. Vet Record. (1992):131490. Kaplan MM, Bertagna P. 1955. The geographical distribution of Q fever. Bull. Wld.

Hlth. Org. 13:829-860.

(23)

12

Lepidi H, Coulibaly B, Casalta JP, Raoult D. 2006. Autoimmunohistochemistry. A new method for the histologic diagnosis of infective endokarditis. J Infect Dis. 193:1711–1717.

Mahatmi H, Setiyono A, Soejoedono RD, Pasaribu FH. 2007. Deteksi Coxiella burnetii penyebab Q fever pada sapi, domba dan kambing di Bogor dan Bali. J Vet. :180-182.

Marrie, T.J. 2003. C. burnetii pneumonia. Eur Resp J. 21(4):713–719.

Martens K, Samuel JE. 2007. Bacteriology of Coxiella: rickettsial diseases: 257– 270.

Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. J.Clin. Microbiol Rev. 12(4):518–533. Maxie MG, Robinson WF. 2007. Cardiovascular System. IN: Pathology of

Domestic Animals. Ed ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.

Mc Caughey C, Murray LJ, Mc Kenna JP, Menzies FD, Mc Cullough SJ, O’Neill HJ, Wyatt DE, Cardwell CR, Coyle PV. 2010. C. burnetii (Q fever) seroprevalence in cattle. Epidemiol Infect. 138:21–27.

Nolte MA, Hamann A, Kraal G, Mebius RE. 2002. The strict regulation of lymphocyte migration of splenic white pulp does not involve common homing receptors. Immunology 106. 299-307.

Raoult D. 2002. Q fever: Still a mysterious disease. Q. J. Med. 95:491-492.

Renshaw S. 2006. Immunochemical Staining Techniques Chapter 4. Immunohistochemistry: Methods Express. London (GB): Socion Pub Ltd. Seshadri R, Paulsen IT, Eisen JA. 2003. Complete genome sequence of the Q fever

pathogen Coxiella burnetii. PNAS. 100(9):5455–5460.

Stein A, Luoveau C, Lepidi H, Ricci F, Baylac P, Davoust B, Raoult D. 2005. Q fever Pneumonia: virulence of Coxiella burnetii pathovars in a murine model of aerosol infection. J.Infect Immun. 73(4):2469–2477.

Suttie AW. 2006. Histopathology of the Spleen. Toxicol Pathol. 34: 466-503. Tissot-Dupont, H., Raoult, D., 2007. Clinical aspects, diagnosis and treatment of Q

fever: Rickettsial diseases. 291–301.

(24)

13

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 30 Desember 1990 di kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara pasangan drs Tulus Haryanto dan dra Faridatun. Pada tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis sebelumnya yaitu SD Negeri

Linggapura 01 pada tahun 1997, SMP Islam Ta’allumul Huda Bumiayu pada tahun

Gambar

Gambar 1 Imunoreaktif positif terhadap C. burnetii pada organ limpa dengan
Tabel 4 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa antara sapi positif dan
Gambar 3 Gambaran deplesi pulpa putih dengan perbesaran 400× (a), kongesti

Referensi

Dokumen terkait

tanggal 4 Maret 2013, pekerjaan Perencanaan Teknis Manajemen Persampahan Kota Pendopo, maka peserta yang masuk dalam calon daftar pendek konsultan dan.

Sedangkan air, tempurung, dan sabut sebagai hasil samping ( by product ) dari buah kelapa juga dapat diolah menjadi berbagai produk yang nilai ekonominya tidak kalah dengan

Dari keseluruhan data titik sampel Desa Kuta Rakyat, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Karo yang diperoleh pada Tabel 4 maka diketahui nilai erosi yang tertinggi

Biaya Kerja sama dengan sistem StartUpKit Happy Bear.. PERHITUNGAN BIAYA OPERSIONAL

Bibit yang digunakan petani di Banjar Batusesa umumnya bibit yang berasal dari peranakan yang berasal dari usahatani bawang prei sebelumnya, sehingga biaya bibit

Petugas yang bertugas sebagai opera- tor SIMPUS di Puskesmas Jumanto- no tidak mempunya keahlian khusus sebagai operator SIMPUS.Operator SIMPUS yang baru biasanya

Pada umur terse- but, pertumbuhan kentang hitam di kondisi cahaya penuh lebih baik dan signifikan berbeda dengan per- lakuan intensitas cahaya lain untuk peubah diameter

Pada Proyek Pembangunan Jalan Bebas Hambatan Medan – Kualanamu (Jembatan Irigasi Tawang Sta.40+750) akan mencari nilai daya dukung aksilal perencanaan pondasi tiang