• Tidak ada hasil yang ditemukan

BACK-FLASHOVER ANALYSIS USING CONSTANT-PARAMETER DISTRIBUTED LINE (CPDL) TOWER MODEL OF 150 kV TRANSMISSION LINE (Bukit Kemuning Substation–Batu Raja Substation)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BACK-FLASHOVER ANALYSIS USING CONSTANT-PARAMETER DISTRIBUTED LINE (CPDL) TOWER MODEL OF 150 kV TRANSMISSION LINE (Bukit Kemuning Substation–Batu Raja Substation)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS BACK-FLASHOVER DENGAN MODEL MENARA

CONSTANT-PARAMETER DISTRIBUTED LINE (CPDL)

PADA SALURAN TRANSMISI 150 kV (GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja)

Oleh

Afriando Wirahadi

Fenomena back-flashover merupakan gangguan pada saluran udara tegangan

tinggi yang disebabkan oleh sambaran langsung (direct stroke) pada kawat tanah

dan menara. Back-flashover akan terjadi bila tegangan pada isolator saluran lebih

besar atau sama dengan tegangan kritis lompatan api isolator sehingga lompatan api terjadi pada isolator tersebut.

Untuk menganalisis fenomena back-flashover sangat sulit dilakukan dengan

metode pengukuran secara langsung, oleh sebab itu dilakukan analisis melalui simulasi dengan memodelkan parameter – parameter pada saluran transmisi, diantaranya model menara, isolator saluran, kawat tanah, kawat fasa, dan sistem pentanahan berdasarkan pemodelan IEEE Working Group. Pada penelitian ini

model parameter – parameter diatas disimulasikan dengan menggunakan perangkat lunak EMTP/ATP versi 2005 dan menggunakan model menara yang direkomendasikan di Jepang untuk penelitian surja petir, yaitu menggunakan model menara Constant-Parameter Distributed Line (CPDL).

Arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover menggunakan

waktu muka dan waktu ekor standar IEEE 1,2 x 50 µs pada fasa A sebesar 20 kA, fasa B sebesar 46 kA dan fasa C sebesar 116 kA. Sedangkan menggunakan standar CIGRE 3 x 77,5 µs pada fasa A sebesar 18 kA, fasa B sebesar 45 kA dan fasa C sebesar 97 kA. Berdasarkan perhitungan hasil simulasi jumlah sambaran yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa A sebanyak 5,98 sambaran

per 191,788 km/tahun, fasa B sebanyak 2,058 sambaran per 191,788 km/tahun dan fasa C sebanyak 0,33 sambaran per 191,788 km/tahun.

(2)

ABSTRACT

BACK-FLASHOVER ANALYSIS USING CONSTANT-PARAMETER DISTRIBUTED LINE (CPDL) TOWER MODEL

OF 150 kV TRANSMISSION LINE

(Bukit Kemuning Substation–Batu Raja Substation)

By

Afriando Wirahadi

Back-flashover phenomenon is disturbances on the overhead transmission lines which caused by direct stroke on the ground wire and towers. Back-flashover will be occures in which voltage higher or same with the Insulator Critical Flashover, the flashover happens on that insulator.

It is very difficult to back-flashover analisys which direct measuring methode, that is reason to analyze with simulation by modelling the parameters on the transmission lines such as, tower model, insulator model, grond wire, phase wire and grounding system based on IEEE Working Group model. In this research the parameters model that simulated by using EMTP/ATP Software 2005 version and using using tower model which recommended in Japan for lighting surge analysis, it is using Constant-Parameter Distributed Line (CPDL) tower model

(3)

ANALISIS

BACK-FLASHOVER

DENGAN MODEL MENARA

CONSTANT-PARAMETER DISTRIBUTED LINE

(

CPDL

) PADA

SALURAN TRANSMISI 150 kV

(GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja)

Oleh

AFRIANDO WIRAHADI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNIK

Pada

Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Lampung

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS

BACK-FLASHOVER

DENGAN MODEL MENARA

CONSTANT-PARAMETER DISTRIBUTED LINE

(

CPDL

) PADA

SALURAN TRANSMISI 150 kV

(GI Bukit Kemuning

GI Batu Raja)

(Skripsi)

Oleh

AFRIANDO WIRAHADI

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Persebaran muatan positif dan negatif di dalam awan menurut D.J Malan ... 6

2. Parameter tegangan uji impuls standar ... 8

3. Representasi menara saluran udara tegangan tinggi ... 11

4. Menara jenis cone ... 13

5. Menara jenis silinder ... 14

6. Penampang isolator piring ... 14

7. Isolator Gantung (Suspension) ... 15

8. Renteng isolator ... 16

9. Model isolator ... 16

10. Saluran fasa tunggal dengan dua penghantar paralel ... 17

11. Titik netral kapasitansi ... 18

12. Rangkaian fasa tiga ... 20

13. Konduktor berkas fasa tiga ... 22

14. Dua buah subkonduktor ... 24

15. Tiga buah subkonduktor ... 24

16. Empat buah subkonduktor ... 25

17. Susunan penghantar suatu saluran ganda fasa tiga ... 26

18. Driven Rod empat batang konduktor ... 32

19. Bekas isolator yang terkena flashover ... 33

20. Model menara isolator ... 38

21. Model isolator ... 39

22. Model sistem pengetanahan ... 41

23. Model untuk kawa fasa ... 42

24. Model untuk kawa tanah ... 43

25. Model Rangkaian 2 (dua) Menara ... 46

26. Diagram Alir Penelitian ... 47

27. Konfigurasi menara ... 49

28. Sistem pengetanahan pada Saluran Transmisi GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja ... 50

29. Kurva tegangan terhadap waktu back-flashover pada isolator ... 51

30. Rangkaian simulasi ... 52

31. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 10 kA ... 54

32. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 19 kA ... 54

33. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 20 kA ... 55

34. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 45 kA ... 56

35. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 46 kA ... 57

36. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 115 kA ... 59

37. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 116 kA ... 60

(6)

39. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan ampplitudo arus petir

pada fasa A ... 63

40. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan ampplitudo arus petir pada fasa B ... 64

41. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan ampplitudo arus petir pada fasa C ... 65

42. Grafik waktu back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir ... 66

43. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 10 kA ... 67

44. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 17 kA ... 68

45. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 18 kA ... 69

46. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 44 kA ... 70

47. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 45 kA ... 71

48. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 96 kA ... 72

49. Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 97 kA ... 74

50. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir... 75

51. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan ampplitudo arus petir pada fasa A ... 76

52. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan ampplitudo arus petir pada fasa B ... 77

53. Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan ampplitudo arus petir pada fasa C ... 78

(7)
(8)

a. Sistem pengetanahan Driven Rod satu batang konduktor ... 30

b. Sistem pengetanahan Driven Rod Empat batang konduktor .... 31

G. Lompatan Api Balik (Back-Flashover) ... 32

H. Jumlah Sambaran Kilat Ke Bumi, Lompatan Api dan Busur Api ... 33

III. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN ANALISIS A. Data GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja ... 48

B. Kurva tegangan terhadap waktu back-flashover isolator ... 51

C. Rangkaian Simulasi ... 52

D. Hasil Simulasi ... 53

1. back-flashover dengan waktu muka dan waktu ekor menggunakan standar IEEE Tf x Tt = 1,2 x 50 µs ... 54

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Ametani A dan Kawamura T. 2005. A Methode Of Lighting Surge Analysis Recommended in Japan Using EMTP. IEEE. Tokyo

D.J. Malan, 1963 Physic Of Lightning, The English Universities Press Ltd.,

London.

Dugel, Siti Rugayah Bte. 2007. Insulation Coordination Of Quadruple Circuit High Voltage Transmission Lines Using Atp-Emtp. Faculty of Electrical

Engineering.Malaysia Technology Of University. Kuala Lumpur

Hillal, Hamzah. 2007. Analisa Sistem Tenaga Listrik I. Pusat Pengembangan

Bahan Ajar-UMB. Bandung

Kind, Dieter. 1993. Pengantar Teknik Eksperimental Tegangan Tinggi. ITB.

Bandung.

Hutauruk, TS. 1991. Gelombang berjalan dan Proteksi Surja. PT.Erlangga.

Jakarta.

Kizilcay, M dan C Neuman. 2007. Backflashover Analysis for 110-kV Lines at Multi-Circuit Overhead Line Towers. International Conference on Power

Systems Transients. Lyon.

Martinez-Velasco, Juan A dan Ferley Castro-Aranda. 2005. Modelling Of Overhead Transmission Lines for Lighting Studies. IEEE. Canada

Marungsri, B., S. Boonpoke, A. Rawangpai, A. Oonsivilai, dan C.

Kritayakornupong. 2008. Study of Tower Grounding Resistance Effected Back Flashover to 500 kV Transmission Line in Thailand by using

ATP/EMT. Proceedings Of World Academy Of Science, Engineering And

Technology. Thailand.

M.A Uman, 2001, The Lightning Discharge, Dover Publication Inc., New York.

Nagaoka, Naoto., Akihiro Ametani,Toshihisa Funabashi, Nagahiro Inoue. 2005.

Tower Structure Effect on a Back-Flashover Phase. International

(10)

Pritindra, Chowdhuri. 1996. Electromagnetics Transients in Power Systems.

Research Studies Press LTD. England

Sugito, Agus. 2004. Analisis Back-Flashover Pada Saluran Transmisi 150 kV GI Natar – GI Teluk Betung Dengan Menggunakan Model EMTP. Universitas

Lampung. Bandar Lampung.

Suyanto, Muhammad. 2007. Analisis Perbaikan Sistem Pentanahan Pada Kaki Menara Saluran Transmisi Tegangan Tinggi 150 kV Bantul-Semanu Yogyakarta. Jurusan Teknik Elektro FTI ISTA. Yogyakarta.

Wibowo, Tito. 2007. Penentuan Kapasitas Arus Surja Alat Proteksi Petir (Spds) Yang Dibutuhkan Sebuah Gedung Yang Tersambar Petir Secara Langsung.

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Petir adalah suatu fenomena alam yang disebabkan karena adanya peluahan muatan elektrik di atmosfir yang memiliki arus sangat besar dan waktu yang sangat singkat sehingga sulit untuk dikendalikan. Fenomena alam ini ditandai dengan suara guruh dan kilatan cahaya yang diakibatkan oleh adanya peluahan muatan dalam jumlah besar dan cepat. Ada dua tipe umum peluahan petir yaitu : Petir yang terjadi antara awan dan permukaan tanah dan petir yang terjadi di dalam awan dan antar awan.

Setiap peluahan petir yang terjadi di dalam awan, antar awan maupun dari awan ke tanah, akan memunculkan radiasi elektrik dengan spektrum frekuensi sangat lebar (dalam orde kHz hingga orde MHz).

Oleh sebab itu, petir seringkali menyebabkan gangguan pada saluran transmisi. Gangguan petir pada saluran transmisi dapat berupa sambaran langsung (direct stroke) dan sambaran tak langsung (indirect stroke) yang dapat menyebabkan

terganggunya saluran transmisi dalam menghantarkan daya listrik. Pada saluran udara tegangan tinggi gangguan petir umumnya disebabkan oleh sambaran langsung (direct stroke) sedangkan sambaran tak langsung (indirect stroke) sangat

(12)

tak langsung (indirect stroke) lebih berpengaruh terhadap saluran udara tegangan

menengah5.

Untuk melindungi kawat-kawat fasa dari sambaran petir pada menara dipasangkan kawat tanah (ground wire). Gangguan yang disebabkan oleh sambaran langsung

(direct stroke) pada kawat tanah saluran udara tegangan tinggi adalah fenomena back-flashover. Arus petir yang menyambar pada menara atau kawat tanah akan

menyebabkan gelombang berjalan sepanjang kawat tanah kemudian arus surja petir akan mengalir ketanah melalui menara transmisi. Menara transmisi yang pada keadaan normal mempunyai potensial yang sama dengan potensial bumi akan mengalami kenaikan tegangan karena mengalirnya arus surja petir pada impedansi surja menara, impedansi surja kawat, dan tahanan pengetanahan.

Fenomena back-flashover terjadi bila tegangan pada isolator saluran lebih besar

atau sama dengan tegangan kritis lompatan api (critical flashover) isolator

sehingga lompatan api terjadi pada isolator tersebut

Tugas akhir ini akan menganalisis terjadinya fenomena back-flashover pada

isolator saluran udara tegangan tinggi 150 kV GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja menggunakan pemodelan EMTP/ATP dengan pemodelan menara transmisi yang direkomendasikan di Jepang.

5

(13)

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memodelkan parameter – parameter pada saluran transmisi berdasarkan IEEE Working Group, diantaranya model menara menggunakan model menara Constant-Parameter Distributed Line (CPDL), isolator saluran, kawat tanah,

kawat fasa, dan sistem pentanahan.

2. Mengetahui besarnya arus petir minimum yang dapat menyebabkan terjadinya back-flashover serta nilai tegangan dan waktu back-flashover.

3. Mengetahui fasa yang yang lebih dulu terjadi back-flashover saat terjadinya

sambaran langsung (direct stroke) pada kawat tanah.

4. Mengetahui probabilitas dan jumlah sambaran yang dapat menyebabkan

back-flashover pada kawat fasa.

C. Kerangka Teoritis

Dalam penelitian ini parameter – parameter pada sistem saluran transmisi, diantaranya menara transmisi, isolator saluran, kawat tanah, kawat fasa, dan sistem pentanahan dimodelkan berdasarkan IEEE Working Group. Model menara

menggunakan model yang direkomendasikan di Jepang untuk penelitian surja petir, yaitu menggunakan model menara Constant-Parameter Distributed Line (CPDL) 1.

1 Menara yang digunakan adalah menara model M. Ishii untuk menara dobel sirkuit untuk analisis

surja petir. Impedansi menara dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu Zt1, Zt2, Zt3, dan Zt4 dan

(14)

Model parameter – parameter diatas disimulasikan dengan menggunakan perangkat lunak EMTP/ATP versi 2005 untuk mendapatkan kurva tegangan impuls pada isolatorsaat kawat tanah diberi arus surja petir.

Fenomena back-flashover akan terjadi bila tegangan pada isolator saluran lebih

besar atau sama dengan tegangan kritis lompatan api isolator sehingga lompatan api terjadi pada isolator tersebut.

Penelitian ini mengabaikan adanya fenomena corona dan kondisi di setiap menara

transmisi di sepanjang saluran dianggap sama.

D. Hipotesis

Lompatan api balik (back-flashover) akan berpeluang lebih besar terjadi bila

amplitudo arus surja petir semakin tinggi dan waktu muka gelombang impuls-nya

semakin panjang atau semakin lama. Dan isolator yang paling berpeluang dapat terjadi lompatan api balik (back-flashover) adalah isolator yang terletak pada

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Petir

1. Proses Pembentukan Petir

Petir merupakan suatu peristiwa peluahan muatan listrik di atmosfir. Pada suatu keadaan tertentu dalam lapisan atmosfir bumi terdapat gerakan angin ke atas (updraft) membawa udara lembab. Semakin tinggi dari permukaan bumi, semakin

rendah tekanan suhunya. Uap air mengkondensasi menjadi titik air dan membentuk awan.

Angin keras dengan kecepatan 30000 – 40000 kaki yang bertiup ke atas membawa awan lebih tinggi. Pada ketinggian lebih dari 5 km, partikel uap air dan partikel aerosol yang ada di awan akan membeku menjadi kristal – kristal es dan kemudian turun lagi karena adanya gravitasi bumi. Karena air mengalami pergerakan acak vertikal dan horizontal, maka terjadilah pemisahan muatan listrik. Tetesan air yang berada di bagian atas awan biasanya bermuatan positif dan di bagian bawah bermuatan negatif.

(16)

terhadap awan, maka permukaan bumi dan awan dapat dianggap sebagai dua keping plat kondensator. Dengan demikian terjadi akumulasi muatan di awan yang polaritasnya berbeda dengan permukaan bumi. Jika medan listrik yang terjadi melebihi medan tembus udara, maka akan terjadi pelepasan muatan. Pada saat itulah terjadinya petir awan ke tanah.

.

Gambar 1: Persebaran muatan positif dan negatif di dalam awan menurut D.J Malan2

2 Kondisi ketidakmantapan di dalam atmosfer, dapat saja timbul akibat pemisahan tidak seperti

(17)

2. Tahapan Perambatan Petir

Petir awan ke tanah merupakan tembus listrik transien yang berlangsung dalam selang waktu ratusan mikrodetik dan merambat sepanjang beberapa kilometer dari awan ke permukaan bumi. Petir awan ke tanah berawal dari daerah sela antara daerah bermuatan positif P di dasar awan dan daerah bermuatan negatif N di atasnya. Elektron daerah N awan bergerak ke bawah menetralkan muatan positif di daerah P awan. Proses ini dikenal dengan proses peluahan awal. Selanjutnya elektron merambat menuju permukaan bumi dan menimbulkan lidah petir. Lidah petir yang pertama disebut pelopor awal. Arah langkah lidah petir berubah-ubah, sehingga rambatan petir tidak lurus dan patah-patah. Pelopor akan terus merambat selama pusat muatan di awan mampu memberikan muatan ke ujung pelopor melebihi kuat medan udara6.

Seluruh kejadian peluahan petir disebut kilat. Dan dapat terjadi selama 0,5 hingga 1 detik. Satu kilat terdiri dari beberapa peluahan, di antaranya 3 atau 4 pulsa arus tinggi yang disebut sambaran. Pada petir di dalam awan, yang merupakan peluahan yang terjadi di dalam satu awan (awan cumulonimbus), tanpa kontak

langsung dengan permukaan bumi. Peluahan petir jenis ini merambat antara daerah N bermuatan negatif dengan daerah P bermuatan positif di atasnya. Tipe peluahan petir yang lainnya adalah petir awan ke awan. Petir awan ke awan terjadi antara dua awan cumulonimbus yang berbeda muatan.

6

(18)

Dua tipe petir terakhir ini sangat jarang terjadi, dan sulit dikenali karena kedua petir ini mengacu kepada petir yang berada di dalam awan. Durasi waktu perambatan petir di dalam awan lebih pendek apabila dibandingkan dengan petir awan ke awan.

B. Gelombang Impuls

(a)

(b)

Gambar 2. Parameter tegangan uji impuls standar (a). tegangan impuls petir

(b). tegangan impuls pensaklaran (switching)

(19)

Dengan :

: Amplitudo arus puncak (kA) u(t) : Tegangan (kV)

Tr = TCR : Waktu muka gelombang (µs) Ts = Th : Waktu ekor gelombang (µs) S : Titik puncak

Gelombang impuls ini mempunyai bentuk gelombang aperiodik yang diredamkan (damped aperiodic) seperti pada waktu pelepasan muatan sebuah kapasitor

melalui sebuah tahanan yang induktif.

Gelombang yang dibangkitkan ini memiliki bentuk curam pada muka gelombang dan ekor gelombangnya memiliki bentuk yang pendek. Definisi muka gelombang (wave-front) dan ekor gelombang (wave-tail) ditetapkan dalam standar-standar

sedemikian rupa sehingga kesukaran untuk menetapkan permulaan gelombang dan puncak gelombang dapat diatasi.

Muka gelombang didefinisikan sebagai bagian dari gelombang yang dimulai dari titik nol sampai titik puncak, sedangkan sisanya disebut ekor gelombang. Tegangan impuls petir dinyatakan dengan bentuk 1,2/50 µs yang berarti suatu tegangan impuls mempunyai nilai Tr = 1,2 µs ± 30 % dan Ts = 50 µs ± 20 %. Pada kondisi lain, untuk mengamati tegangan impuls akibat pensaklaran (switching)

(20)

bentuk gelombang impuls 250/2500 µs yang berarti bahwa nilai waktu muka sebesar Tcr = 250 µs ± 20 %. dan waktu ekornya sebesar Th = 2500 µs ± 60 %. Besarnya waktu ekor tegangan impuls pensaklaran dapat juga diberi simbol Td yakni waktu dengan nilai tegangan sesaat lebih besar dari 0,9 sebagai pengganti dari nilai Th. Pada kondisi lainnya kurva-kurva tegangan impuls petir sering mengandung osilasi frekuensi tinggi dengan amplitudo yang tidak melebihi 0,05 Ûpada daerah puncak maksimumnya.

C. Menara Saluran Transmisi

Pada suatu sistem tenaga listrik, energi listrik yang dibangkitkan dari pusat pembangkit listrik ditransmisikan ke pusat-pusat pengatur beban melalui suatu saluran transmisi, saluran transmisi tersebut dapat berupa saluran udara atau saluran bawah tanah, namun pada umumnya berupa saluran udara. Energi listrik yang disalurkan lewat saluran transmisi udara pada umumnya menggunakan kawat telanjang sehingga udara digunakan sebagai media isolasi antara kawat penghantar tersebut dengan benda sekelilingnya dan untuk menyangga kawat penghantar dengan ketinggian dan jarak yang aman bagi manusia dan lingkungan sekitarnya, kawat-kawat penghantar tersebut dipasang pada suatu konstruksi bangunan yang kokoh, yang biasa disebut menara atau tower. Antara menara

listrik dan kawat penghantar disekat oleh isolator. Konstruksi tower besi baja

(21)

dibandingkan dengan penggunaan saluran bawah tanah serta pemeliharaannya yang mudah. Suatu menara atau tower listrik harus kuat terhadap beban yang

bekerja padanya, antara lain yaitu:

- Gaya berat tower dan kawat penghantar (gaya tekan).

- Gaya tarik akibat rentangan kawat.

- Gaya angin akibat terpaan angin pada kawat maupun badan tower.

Menara transmisi dapat dipresentasikan sebagai berikut :

Gambar 3 Representasi menara saluran udara tegangan tinggi

Dimana :

(22)

Vt adalah kecepatan propagasi petir yang sama dengan kecepatan cahaya sebesar 300 m/µs.

Zt jika menara berbentuk silinder adalah :

( )

Dimana :

Zt adalah Impedansi Surja Menara R adalah Tahanan Damping L adalah Induktansi Damping α adalah Koefisien Damping

γ adalah Koefisien Attenuasi

(23)

Gambar 4 Menara jenis cone

Dan jika menara tidak berbentuk silinder melainkan berbentuk cone, maka Zt

adalah :

[ { (

)}]

Dimana

r1, r2, r3 adalah radius puncak, tengah dan dasar menara adalah tinggi menara dari tengah ke puncak menara

adalah tinggi menara dari dasar ke tengah menara r1

h1

h2

h3

(24)

Gambar 5 Menara jenis Silinder

D. Isolator

Isolator berfungsi sebagai isolasi tegangan listrik antara kawat penghantar (konduktor) dengan tiang atau tanah. Umumnya dielektrik isolator terbuat dari bahan porselen, gelas, kertas, dan karet silikon (silicon rubber).

Gambar 6 Penampang isolator piring h1

h2

h

r2

r2

Jepitan Logam Semen

Porselen

(25)

Terlihat bahawa dari Gambar 6 diatas bahwa bagian utama dari isolator terdiri dari bahan dielektrik, jepitan logam, dan tonggak logam serta semen sebagai perekat jepitan logam dan tonggak logam dengan dielektrik. Menurut lokasi pemasangan, isolator terdiri dari isolator pasangan dalam (indoor) dan isolator

pasangan luar (outdoor) dan Secara konstruksi isolator terdiri dari isolator

pendukung dan isolator gantung (suspension). Isolator pendukung terdiri dari

isolator pin, post, dan pin-post.

Jenis isolator yang digunakan pada saluran udara tegangan tinggi pada umumnya adalah jenis isolator gantung (suspension). Isolator gantung (suspension) sering

disebut juga isolator piring. Isolator ini terdiri dari badan porselin yang diapit oleh elektroda-elektroda. Maka isolator memiliki sejumlah kapasitansi. Pada gandengan isolator terpasang spark gap pada kedua ujung isolator yang dipasang

sedemikian rupa seperti terlihat pada Gambar 8 Sehingga busur api tidak dapat mengenai isolator saat lompatan api terjadi. Karena itu isolator saluran dimodelkan dengan suatu kapasitansi yang terpasang pararel dengan saklar kerjanya terkontrol oleh tegangan.

(26)

Gambar 8 Renteng isolator

Nilai kapasitansi tipikal untuk isolator gantung adalah 80 pF/unit, sedangkan untuk isolator pin nilai kapasitansinya adalah 100 pF/unit. Apabila pada sebuah

string isolator terdapat 10 (sepuluh) isolator pin maka kapasitansi ekivalennya

adalah 100/10 = 10 pF/string.

Gambar 9 model isolator

E. Kawat Penghantar

1. Kapasitansi dan Reaktansi Kapasitif

a. Rangkaian Fasa Tunggal

Bila ada dua kawat paralel dipisahkan oleh media isolasi akan terbentuk kapasitor, jadi mempunyai sifat untuk menyimpan muatan listrik. Bila suatu perbedaan tegangan dipertahankan antara kedua kawat maka muatan-muatan listrik pada kawat-kawat tersebut mempunyai tanda-tanda yang berlawanan. Sebaliknya bila

SPARK GAP SPARK GAP

Lengan SPARK GAP

(27)

muatan listrik pada kedua kawat dipertahankan dengan tanda yang berlawanan, perbedaan tegangan akan timbul antara kedua kawat tersebut.

Pandanglah suatu saluran fasa tunggal dengan dua penghantar paralel berjarak d12 dengan jari-jari masing-masing rl dan r2 seperti pada Gambar 10. Dengan e12 adalah beda potensial antara kawat 1, kawat 2, dan penghantar mendapat muatan masing-masing q1 dan q2, maka kapasitansi antara dua penghantar tersebut diekspresikan sebagai berikut:

Dimana :

C12 = kapasitansi antara dua kawat (Farad) q1 = muatan penghantar 1 (C)

e12 = beda potensial antara kawat 1, kawat 2 (Volt) r1 = jari – jari kawat (meter)

d12 = jarak antara dua kawat (meter) h = tinggi kawat dari tanah

Gambar 10 Saluran fasa tunggal dengan dua penghantar paralel d12

r1 q1

(28)

Prosedur lain adalah dengan memandang suatu titik yang jauh yang berpotensial nol sebagai suatu elektroda kapasitor dan kemudian kapasitansi antara tiap kawat dengan titik tersebut diperhitungkan, maka akan diperoleh dua kapasitor antara tiap kawat dan titik yang mempunyai potensial nol. Tetapi antara kedua kawat pada kedua kapasitor yang terlihat pada Gambar 11 terhubung seri.

Gambar 11 Titik netral kapasitansi

Titik dengan potensial nol disebut titik netral kapasitansi (capacitance neutral point). Bila sistem itu simetris, titik netral berada tepat di tengah-tengah kedua

kawat itu. Sehingga :

Dimana:

C1 = kapasitansi kawat 1 terhadap netral, C2 = kapasitansi kawat 2 terhadap netral.

Jumlah kapasitansi antara kawat 1 dan kawat 2 yang terhubung seri,

(29)

Dan

Bila r1 = r2, sebagaimana biasanya dalam saluran-saluran tenaga listrik, maka :

Di dalam satuan praktis, menghitung kapasitansi per km untuk h = 1.000 meter, ln

diganti menjadi log serta untuk kawat udara = 8,855 x 10-12 F/m. Dengan

mengsubstitusi harga – harga tersebut ke persamaan (14) diperoleh :

Dalam Persamaan (15) r1 dan d12 dapat dianggap sama. Tetapi untuk praktisnya, dalam penjelasan disini r1 dan d12 dalam meter.

Bila gelombang berbentuk sinus, maka reaktansi kapasitif kawat 1 ditulis :

atau,

(30)

atau,

Dimana:

Bila f = 50 Hertz, maka:

b. Rangkaian Fasa Tiga

Gambar 12 Rangkaian fasa tiga r1,q1

d31 d12

d23 r2,q2

r3,q3

1

(31)

Di dalam praktiknya yang paling sering dihadapi adalah rangkaian-rangkaian fasa tiga. Pada Gambar 12 dapat dilihat suatu rangkaian fasa tiga dengan jarak antar kawat masing-masing d12, d13, dan d23. Kapasitansi saluran dapat ditulis sebagai berikut:

Dimana,

dan

atau

Dengan demikian, reaktansi kapasitif dapat ditulis:

(32)

2. KONDUKTOR BERKAS (BUNDLED CONDUCTORS)

Pada saluran tegangan ekstra tinggi (EHV), yaitu pada tegangan-tegangan yang lebih tinggi dari 230 kV, rugi-rugi korona, terutama interfensi dengan saluran komunikasi sudah sangat besar bila saluran transmisi itu hanya mempunyai satu konduktor per fasa. Untuk mengurangi gradien tegangan, dengan demikian mengurangi rugi-rugi korona dan interfensi dengan saluran komunikasi, jumlah konduktor per fasa dibuat 2, 3, 4, atau lebih. Saluran yang demikian disebut saluran transmisi dengan konduktor berkas (bundled conductor transmission line). Dengan menggunakan dua atau lebih konduktor per fasa, maka reaktansi saluran juga akan lebih kecil dan kapasitas hantar bertambah besar.

a. Reaktansi Induktif

Gambar 13 Konduktor berkas fasa tiga dAB

dBC A

B

C

1 2

3 n

1 2

3 n

1 2

3 n

(33)

Reaktansi induktif sistem fasa tiga dengan konduktor berkas dimana setiap berkas terdapat n buah penghatar seperti dapat dilihat pada Gambar 13 diekspresikan sebagai berikut:

Dengan demikian reaktansi induktif saluran dinyatakan oleh :

Dimana :

= meter, dan meter

b. GMR (Geometric Mean Radius)

GMR konduktor berkas dimana subkonduktor mempunyai jarak-jarak yang sama dan terletak pada suatu lingkaran dengan radius R, dapat diturnkan sebagai berikut:

 Bila pada saluran terdapat 2 buah subkonduktor, atau n = 2 (Gambar 14), maka:

(34)

Gambar 14 Dua buah subkonduktor

 Bila 3 buah subkonduktor, atau n = 3 (Gambar 15), maka:

√ √ √ √

Gambar 15 Tiga buah subkonduktor

 Bila 4 buah subkonduktor, atau n = 4 (Gambar 16), maka:

√ √ (√ ) √

dAB

dAC

dBC

A B C

S

R

(35)

Gambar 16 Empat buah subkonduktor

 Bila n buah subkonduktor, maka diperoleh bentuk umum:

c. Reaktansi Kapasitif

Reaktansi kapasitif konduktor berkas dapat ditulis sebagai berikut:

Bentuk persamaan untuk Xd1 telah diberikan dalam persamaan (32) sebagai berikut:

Persamaan untuk dapat ditulis sebagai :

S

S

S

(36)

Dan bila persamaan (30) dirobah dengan mengganti r’1 dengan r1, maka:

Dimana r1 adalah radius sub-konduktor.

3. SALURAN GANDA FASA TIGA

a. Reaktansi Induktif Saluran Ganda Fasa-Tiga

Suatu saluran ganda fasa-tiga mempunyai dua konduktor paralel per fasa dan arus terbagi rata antara kedua konduktor, baik karena susunan konduktor yang simetris maupun karena transposisi. Pada Gambar 17 diberikan potongan dari saluran ganda fasa-tiga. Konduktor – konduktor a dan d dihubungkan paralel, demikian juga konduktor-konduktor b dengan e dan konduktor – konduktor c dengan f.

(37)

Pada umumnya semua konduktor adalah identik dengan radius r1, jadi: Ia = Id, Ib = Ie, dan Ic = If. Bila saluran 1 jauh dari saluran 2 maka induktansi bersama antara konduktor-konduktor dapat diabaikan. Tetapi pada umumnya kedua saluran itu ditopang pada satu menara, jadi jarak-jarak antara konduktor tidak besar, sehinggta induktansi bersama tidak dapat diabaikan.

Sekalipun demikian, dalam praktek, sering diambil impedansi dari saluran ganda itu sama dengan separuh dari impedansi dari satu saluran, dengan kata lain pengaruh dari impedansi bersama itu diabaikan.

Dimana:

Untuk memperoleh hasil yang lebih teliti sebaiknya memperhitungkan pengaruh dari induktansi bersama dan untuk menghitung reaktansi induktif dari saluran ganda tersebut dapat juga digunakan metode GMR dan GMD yang telah dibahas sebelumnya. Jadi :

Dimana :

(38)

b. Reaktansi Kapasitif Saluran Ganda Fasa-Tiga

Sama halnya dengan reaktansi induktif, konsepsi GMD dan GMR dapat juga digunakan untuk menghitung reaktansi kapasitif dari saluran ganda fasa-tiga, dimana GMD sama dengan GMD pada persamaan (40) dan GMR pada persamaan (41) dengan mengganti r’1 menjadi r1.

Dimana:

F. PENGETANAHAN MENARA TRANSMISI

1. Tahanan Kaki Menara

(39)

penggunaan batang pengetanahan tergantung dari tahanan jenis tanah dimana menara transmisi tersebut berada.

Bila menggunakan batang pengetanahan, tahanan kaki menara dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Dimana :

R = tahanan kaki menara dalam Ohm

= tahanan jenis tanah dalam Ohm-m

L = panjang dari batang pengetanahan dalam meter

d = diameter batang pengetanahan dalam meter

Menurut persamaan diatas, tahanan kaki menara akan berkurang dengan menambah panjang batang pengetanahan. Tetapi hubungan ini tidak langsung dan akan mencapai satu titik dimana penambahan panjang batang pengetanahan hanya akan mengurangi tahanan kaki menara sedikit. Dalam hal ini digunakan batang pengetanahan paralel, persamaan diatas tetap dapat digunakan untuk menghitung tahanan kaki menara, bila variabel d diubah menjadi A dan jari-jari batang

pengetanahan sama sesuai dengan persamaan 10.2. Harga A adalah kelipatan

batang pengetanahan yang tergantung dari penempatan masing-masing batang pengetanahan sebagai berikut :

Penempatan :

(40)

4 batang diletakkan membentuk segiempat ⁄ (45) Dimana :

r = jari-jari dari masing-masing batang pengetanahan (harus sama) a = jarak antara batang pengetanahan

2. Sistem Pengetanahan Driven Rod

Untuk mendapatkan tahanan kaki menara yang kecil maka menara transmisi harus diketanahkan dengan menggunakan satu atau lebih batang pengetanahan (driven rod) atau sistem counterpoise.

Sistem pengetanahan Driven Rod merupakan sistem pengetanahan yang

menggunakan batang konduktor yang ditanam tegak lurus terhadap tanah. Sistem pengetanahan Driven Rod dapat menggunakan satu batang konduktor atau 4

batang konduktor

a. Sistem pengetanahan Driven Rod satu batang konduktor

Bila satu batang konduktor dengan panjang l dan memiliki radius r dan ditanam

tegak lurus pada tanah, maka tahanan, kapasitansi, dan induktansi dari konduktor besama tanah adalah :

( )

(41)

( )

b. Sistem pengetanahan Driven Rod empat batang konduktor

Bila empat batang konduktor dengan panjang l dan memiliki radius r dan ditanam

tegak lurus pada tanah, maka tahanan, kapasitansi, dan induktansi dari konduktor besama tanah adalah :

(

√ ⁄

)

[

√ ⁄

]

(42)

Gambar 18 Driven Rod empat batang konduktor

G. Lompatan Api Balik (Back-Flashover)

Lompatan api balik (back-flashover) merupakan fenomena yang terjadi saat kawat

tanah (Ground Wire) tersambar petir langsung (Direct Stroke).

Besarnya tegangan yang timbul pada isolator transmisi tergantung pada kedua parameter kilat, yaitu puncak dan kecuraman muka gelombang kilat. Tidak semua sambaran kilat dapat mengakibatkan lompatan api balik (back-flashover) pada

isolasi saluran.

Fenomena ini terjadi apabila saat kawat tanah tersambar petir dan sisa arus yang mengalir ke sistem pengetanahan kembali lagi ke puncak menara melalui menara transmisi dengan berosilasi. Lompatan api balik (back-flashover) pada saluran

terjadi bila tegangan yang timbul sangat besar dan melebihi kekuatan tegangan impuls V50% isolator.

l

(43)

Gambar 19 Bekas isolator yang terkena Flashover

( )

Dimana : K1 = 0,4 x L K2 = 0,71 x L

L = panjang renteng isolator

t = waktu tembus atau waktu lompatan api (µdet)

H. Jumlah Sambaran Kilat Ke Bumi, Lompatan Api Dan Busur Api

Jumlah sambaran kilat ke bumi adalah sebanding dengan jumlah hari guruh per tahun atau Iso Keraunic Level (IKL) di tempat itu. Dengan kesepakatan para

(44)

Tegangan Tinggi (SUTT) adalah : η = 0,86. Untuk menghitung jumlah sambaran kilat yang mungkin menyambar kawat transmisi dapat digunakan persamaan :

IK ( ) sambaran per 100 km/tahun6 (55)

Dimana : IKL = Iso Keraunic Level (Intensitas petir)

b = Jarak pemisah antara kedua kawat tanah (meter) = Tinggi kawat tanah pada menara (meter)

Untuk menghitung probabilitas total yang menimbulkan gangguan Back-Flashover perlu terlebih dahulu mengetahui probabilitas distribusi harga puncak

arus petir dengan menggunakan rumus empiris menurut Anderson-Erksson sebagai berikut :

Dimana : = Probabilitas arus petir

I = Amplitudo arus petir (kA)

Sedangkan hubungan antara waktu muka gelombang arus petir dengan frekuensi terjadinya dapat dilihat pada tabel 1 berikut6 :

Tabel 1 hubungan antara waktu muka gelombang arus petir dengan frekuensi terjadinya

Waktu untuk mencapai harga puncak Frekuensi Terjadinya (%)

Arus petir (µs)

Sampai 0,5 7

1 23

1,5 22

(45)

Sehingga jumlah sambaran yang dapat mengakibatkan back-flashover dapat

dihitung menggunakan persamaan :

( ) Sambaran per 100 km/ tahun6 (57) Dimana :

[∑ ]

6Pada saluran udara tegangan tinggi (SUTT) η = 0,85 dan dengan anggapan bahwa jumlah

(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Tegangan Tinggi dan Laboratorium Pengukuran Besaran Elektrik Laboratorium Teknik Elektro Terpadu Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Lampung dan Mulai Dilaksanakan Desember 2009 hingga Maret 2010.

B. Alat

(47)

C. Metode

Dalam tugas akhir ini, metode yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan Data

Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

a. Data menara transmisi, meliputi konfigurasi dan jenis menara yang digunakan, b. Data isolator saluran, meliputi jumlah, jenis, dimensi, panjang rentengan dan

BIL (Basic Insulating Level),

c. Data kawat tanah dan kawat fasa, meliputi jenis, diameter, jumlah konduktor berkas, dan panjang kawat,

d. Data sistem pentanahan, meliputi sistem pentanahan yang digunakan, diameter, jumlah, panjang, jarak antar batang konduktor dan resistivitas tanah.

2. Simulasi dan Pemodelan

Simulasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ATP versi EMTP tahun 2005 dan Microsoft Excel 2007.

(48)

a. Menara Transmisi

Menara transmisi yang digunakan pada penelitian ini adalah menara jenis silinder. Maka representasi dari menara transmisi adalah :

Gambar 20 Model menara isolator

Dimana :

(49)

Vt adalah kecepatan propagasi petir yang sama dengan kecepatan cahaya sebesar 300 m/µs.

[ { (

)}]

Dimana

adalah radius puncak, tengah dan dasar menara adalah tinggi menara dari tengah ke puncak menara

adalah tinggi menara dari dasar ke tengah menara

b. Isolator

Isolator yang digunakan pada saluran transmisi adalah isolator jenis gantung

(suspension insulator). Maka isolator dapat dimodelkan sebagai berikut :

Gambar 21 Model isolator

Nilai kapasitansi tipikal untuk isolator gantung adalah 80 pF/unit.dan S adalah

(50)

c. Back Flashover

Untuk menentukan besarnya tegangan lompatan api kritis dari rentengan isolator dapat digunakan persamaan :

pengetanahan dengan cara menanamkan batang-batang konduktor tegak lurus ke dalam tanah (vertikal).

Sistem yang digunakan adalah menggunakan 4 (empat) batang konduktor dengan panjang l, jarak antar batang konduktor s, dan masing-masing batang konduktor

mempunyai radius r, serta ditanam tegak lurus dalam tanah, maka pengetanahan

memiliki tahanan, induktansi, dan kapasitansi adalah :

(51)

Dimana :

= permitivitas relatif tanah

Sistem pengetanahan dimodelkan sebagai berikut :

Gambar 22 Model sistem pengetanahan

e. Kawat Fasa

Untuk menghitung induktansi dan kapasitansi pada saluran ganda tiga fasa dapat digunakan metode GMR dan GMD sebagai berikut :

√ meter

√ meter

√ meter Dimana,

(Geometric Mean Distance) = Jarak rata-rata geometrik

(Geometric Mean Radius) = Radius rata-rata geometrik

r = radius kawat fasa

(52)

sehingga nilai induktansi kawat fasa adalah :

Dan nilai kapasitansi kawat fasa adalah :

)

Maka impedansi surja ekivalen dan kecepatan propagasi kawat fasa adalah :

Gambar 23 Model untuk kawa fasa

√ ⁄

f. Kawat Tanah

Kawat tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah kawat tanah tunggal. Sehingga perhitungan impedansi surja kawat tanah bila tidak terjadi korona adalah:

 Bila tidak terjadi korona

( )

Dimana :

(53)

ht = tinggi rata – rata kawat tanah r = radius kawat tanah

Gambar 24 Model untuk kawat tanah

3. Pengambilan dan pengolahan data

Kurva tegangan impuls pada isolator dari rangkaian simulasi digunakan untuk mengetahui apakah terjadi lompatan api balik (back-flashover) atau tidak. Maka

untuk mendapatkan kurva tegangan impuls pada isolator pada rangkaian simulasi, data-data dari PT. PLN (Persero) pada saluran transmisi dimodelkan sedemikian rupa sehingga dapat disimulasikan dalam perangkat lunak ATP/EMTP.

 Langkah-langkah pengambilan data untuk mendapatkan kurva tegangan impuls pada isolator :

1. Membuat rangkaian pengganti atau model dari beberapa parameter saluran transmisi. Diantaranya : model menara, model isolator, model sistem penetanahan, kawat fasa, dan kawat tanah,

2. Menghitung data-data yang didapat dari PT. PLN (Persero) sebagai nilai pada parameter saluran transmisi,

(54)

4. Amplitudo Arus surja petir yang digunakan dalam simulasi adalah 10 kA sampai 120 kA,

5. Menjalankan rangkaian simulasi pada perangkat lunak ATP/EMTP, 6. Mencuplik kurva tegangan impuls pada isolator hasil running rangkaian

simulasi pada perangkat lunak ATP/EMTP, dan

7. Menyimpan kurva tegangan impuls tersebut dalam berbagai bentuk file sebagai bahan untuk mengolah data.

 Langkah-langkah untuk mendapatkan kurva V-t lompatan balik ( back-flashover) isolator :

1. Berpedoman kepada rumus untuk menentukan besarnya tegangan lompatan api kritis dari rentengan isolator, yaitu :

( )

Dimana : K1 = 0,4 x L K2 = 0,71 x L

L = panjang renteng isolator (m)

t = waktu tembus atau waktu lompatan api (µdet) 2. Menentukan panjang renteng isolator saluran, kemudian menghitung

nilai K1 dan K2.

3. Menentukan waktu tembus atau waktu lompatan api dan menghitung

.

4. Menghitung nilai tegangan lompatan api kritis back-flashover V50%

(55)

5. Menggabungkan nilai tegangan lompatan api kritis V50% dan waktu

tembus atau waktu lompatan api menggunakan Microsoft Excel 2007 agar dapat dijadikan kurva V-t lompatan balik (back-flashover)

isolator.

Setelah kurva tegangan impuls pada isolator dan kurva V-t back-flashover isolator

didapat, maka kedua kurva tersebut dapat diolah untuk menganalisis lompatan api balik (back-flashover).

 Langkah-langkah pengolahan data untuk menganalisis lompatan api balik (back-flashover) :

1. Menyimpan cuplikan tegangan impuls pada isolator dalam bentuk file “.txt” agar dapat diolah pada perangkat lunak Microsoft Excel 2007,

2. Menggabungkan kurva V-t lompatan balik (back-flashover) isolator dan

cuplikan tegangan impuls pada isolator menggunakan perangkat lunak

Microsoft Excel 2007,

3. Menemukan titik potong antara kedua kurva tersebut untuk mendapatkan titik lompatan balik (back-flashover) isolator dan kemudian

menganalisisnya.

 Langkah-langkah pengolahan data untuk mengetahui jumlah sambaran yang dapat mengakibatkan back-flashover :

1. Menentukan arus surja petir minimum yang yang dapat mengakibatkan

back-flashover pada Fasa A, B, dan C

(56)

Dimana :

= Probabilitas arus petir

I = Amplitudo arus petir (kA)

3. Menghitung probabilitas yang menimbulkan gangguan back-flashover,

menggunakan persamaan (56) :

4. Menghitung jumlah sambaran yang dapat mengakibatkan back-flashover

pada setiap Fasa menggunakan persamaan (55):

( )

Sambaran per 100 km/ tahun.

4. Rangkaian Penelitian

(57)

5. Diagram Alir Penelitian

Buat grafik fungsi V-t back-flashover isolator

(58)

IV. HASIL DAN ANALISIS

A. Data GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja

GI Bukit Kemuning – GI Batu Raja terbentang Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) sepanjang 191,788 Km dengan jumlah menara transmisi sebanyak 292 menara. Data – data Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) ini meliputi :

1. Data Kawat Konduktor

Data kawat konduktor terdiri dari data kawat fasa dan kawat tanah a. Data kawat fasa meliputi

Tipe Konduktor : ACSR

Luas Penampang : 240 mm2

Diameter : 1,75 x 10-2 m

b. Data kawat tanah meliputi

Tipe Konduktor : ACSR

Luas Penampang : 55 mm2

Diameter : 8,37 x 10-3 m

2. Data Menara Transmisi

(59)

SPAN rata-rata : 314,5 m

Type Menara : Aa

Sudut Fasa A, B, dan C : 0, 120 o, -120o

Jumlah menara : 292 menara

Gambar 27 konfigurasi menara

3. Data Sistem Pengetanahan

Sistem pengetanahan yang digunakan adalah sistem driven rod (langsung) 4 batang konduktor pentanahan.

Panjang Konduktor : 5 m

Diameter : 3,81 cm

9,12 m

15 m

33 m 4,5 m

4,5 m 6 m

6 m 6 m

(60)

Resistifitas tanah rata-rata : 2,41 Ω.m Jarak antar konduktor S1 : 10 m Jarak antar konduktor S2 : 10 m

Gambar 28 Sistem Pengetanahan pada Saluran Transmisi GI. Bukit Kemuning – GI Baturaja

4. Data isolator

Jumlah isolator per renteng : 11 piring Panjang renteng : 1,606 meter

Jenis isolator : Isolator gantung (Suspension insulator)

Standard CA – 501 EC

IEC Design : U120BS NGK Insulator Ltd.

Ukuran : 254 x 146 mm

BIL Spark Gap : 170 kV

l

(61)

B.Kurva tegangan terhadap waktu back-flashover isolator

Gambar 29 kurva Tegangan terhadap waktu back-flashover pada isolator

Kurva tegangan terhadap waktu back-flashover di atas didapat dari persamaan (53):

( )

Dengan mengambil sample waktu t = 1 µs sampai 10 µs dan panjang renteng

isolator adalah 1,606 meter. Terlihat bahwa dari kurva tersebut jika waktu semakin lama maka tegangan back-flashover isolator akan semakin kecil.

Pada Subbab ini penulis hanya menampilkan hasil perhitungan melalui kurva di atas, sedangkan Tabel hasil perhitungan lengkapnya dapat dilihat pada lampiran C.

(62)

-C.Rangkaian Simulasi

(63)

D.Hasil Simulasi

Penelitian dilakukan dengan arus surja 10 kA sampai 120 kA dengan interval simulasi setiap 10 kA yang menggunakan waktu muka dan waktu ekor menurut standar IEEE Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan standar CIGRE Tf x Tt = 3 x 77,5 µs.

Apabila pada nilai interval tertentu terjadi back-flashover , maka simulasi kembali

dilakukan diantara interval tersebut untuk memperoleh nilai back-flashover yang

lebih presisi dengan interval yang lebih kecil lagi yaitu 1 kA. Hal ini dilakukan untuk menentukan nilai arus surja minimum yang dapat menyebabkan back-flashover .

Kurva yang ditampilkan pada Bab IV ini adalah kurva tegangan impuls dan kurva tegangan terhadap waktu back-flashover isolator pada interval tertentu saat terjadi back-flashover dan interval dimana arus surja minimum yang mengakibatkan back-flashover pada setiap fasa.

(64)

1. back-flashover dengan waktu muka dan waktu ekor menggunakan standar IEEE Tf x Tt = 1,2 x 50 µs.

a. Isurja = 10 kA

Gambar 31 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 10 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 10 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan menyambar menara transmisi pada fasa A, fasa B dan fasa C tidak terjadi back-flashover .

b. Isurja = 19 kA

Gambar 32 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 19 kA

(65)

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 19 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs menyambar menara transmisi pada fasa A, fasa B dan fasa C tidak terjadi back-flashover .

c. Isurja = 20 kA

Gambar 33 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 20 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 20 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 6,715

µs dengan besarnya tegangan isolator 914,862 kV, sedangkan fasa B dan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(66)

d. Isurja = 45 kA

Gambar 34 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 45 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 45 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 0,998

µs dengan besarnya tegangan isolator 1782,682 kV, sedangkan fasa B dan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(67)

e. Isurja = 46 kA

Gambar 35 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 46 kA

(68)

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 46 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 0,983

µs dengan besarnya tegangan isolator 1796,868 kV dan fasa B terjadi pada waktu 5,976 µs dengan besarnya tegangan isolator 940,526 kV, sedangkan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(69)

Gambar 36 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 115 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 115 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 0,554

µs dengan besarnya tegangan isolator 2242,402 kV dan fasa B terjadi pada waktu 1,922 µs dengan besarnya tegangan isolator 1340,638 kV, sedangkan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(70)
(71)

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 116 kA, Tf x Tt = 1,2 x 50 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 0,514

µs dengan tegangan isolator 2524,992 kV dan fasa B terjadi pada waktu 1,723 µs dengan besarnya tegangan isolator 1400,215 kV, sedangkan fasa C terjadi pada waktu 8,924 µs dengan besarnya tegangan isolator 864,26 kV.

Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover pada Fasa A,

Fasa B, dan Fasa C dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover

pada Fasa A, Fasa B, dan Fasa C

Berdasarkan hasil simulasi menggunakan waktu muka dan waktu ekor standar IEEE Tf x Tt = 1,2 x 50 µs yang di presentasikan pada Tabel 2 dan grafik pada Gambar 38 arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover.

(72)

Gambar 38 Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir.

Untuk menentukan arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover pada fasa A, maka rentang arus petir 10 kA hingga 20 kA dilakukan

simulasi dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan grafik pada Gambar 39 di bawah ini :

Tabel 3. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover

pada Fasa A

Hubungan Vbfo terhadap amplitudo petir

FASA A

FASA B

(73)

Gambar 39 Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus

petir pada fasa A.

Dari Tabel 3 dan grafik pada Gambar 39 diatas arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa A terjadi saat amplitudo petir 20 kA,

karena amplitudo petir kurang dari atau sama dengan 19 kA tidak mengakibatkan back-flashover .

Selanjutnya hal yang sama dilakukan pada fasa B, untuk menentukan arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover pada fasa B rentang arus

petir 40 kA hingga 50 kA dilakukan simulasi dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 dan grafik pada Gambar 40 di bawah ini :

900 905 910 915

10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Tegangan

(kV

)

Arus (kA)

(74)

Tabel 4. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover pada Fasa B

Gambar 40 Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir

pada fasa B.

Dari Tabel 4 dan grafik pada Gambar 40 diatas arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa B terjadi saat amplitudo petir 46 kA,

karena amplitudo petir kurang dari atau sama dengan 45 kA tidak mengakibatkan back-flashover .

(75)

Kemudian pada fasa C, arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover terjadi pada rentang arus petir 110 kA hingga 120 kA, maka

dilakukan simulasi dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5 dan grafik pada Gambar 41 di bawah ini.

Tabel 5. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover pada Fasa B.

Arus Surja

Gambar 41 Grafik tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir

pada fasa C

Dari Tabel 5 dan grafik pada Gambar 41 diatas arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa C terjadi saat amplitudo petir 116 kA,

800 850 900 950

110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120

(76)

karena amplitudo petir kurang dari atau sama dengan 115 kA tidak mengakibatkan back-flashover .

Hubungan amplitudo arus petir dengan waktu terjadinya back-flashover pada

Fasa A, Fasa B, dan Fasa C dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini : Tabel 6. Hubungan amplitudo arus petir dengan waktu back-flashover

pada Fasa A, Fasa B, dan Fasa C

Gambar 42 Grafik Waktu back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir. 0.00

Hubungan tbfo terhadap amplitudo petir

(77)

Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 6 dan grafik pada Gambar 42 bahwa setiap kenaikan amplitudo arus petir akan menyebabkan waktu terjadinya back-flashover semakin cepat.

2. back-flashover dengan waktu muka dan waktu ekor menggunakan standar CIGRE Tf x Tt = 3 x 77,5 µs.

a. Isurja = 10 kA

Gambar 43 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 10 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 10 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs fasa A, fasa B dan fasa C pada menara transmisi tidak terjadi back-flashover .

(78)

b. Isurja = 17 kA

Gambar 44 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 17 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 17 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs, fasa A, fasa B dan fasa C pada menara transmisi tidak terjadi back-flashover .

(79)

Gambar 45 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 18 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 18 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 7,755

µs dengan besarnya tegangan isolator 887,819 kV, sedangkan fasa B dan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(80)

Gambar 46 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 44 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 44 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 1,122

µs dengan besarnya tegangan isolator 1688,718 kV, sedangkan fasa B dan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(81)

Gambar 47 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 45 kA

Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 45 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 1,08

µs dengan besarnya tegangan isolator 1718,96 kV dan fasa B terjadi pada waktu 5,919 µs dengan besarnya tegangan isolator 942,645 kV, sedangkan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(82)

f. Isurja = 96 kA

Gambar 48 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 96 kA

(83)

-Pada saat arus surja petir memiliki amplitudo 96 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 0,626

µs dengan besarnya tegangan isolator 2263,9 kV dan fasa B terjadi pada waktu 2,359 µs dengan besarnya tegangan isolator 1241,317 kV, sedangkan fasa C tidak terjadi back-flashover .

(84)

Gambar 49 Kurva tegangan impuls isolator saat tersambar petir 97 kA

Saat arus surja petir memiliki amplitudo 97 kA, Tf x Tt = 3 x 77,5 µs dan menyambar menara transmisi, back-flashover fasa A terjadi pada waktu 0,621

µs dengan tegangan isolator 2277,26 kV dan fasa B terjadi pada waktu 2,231 µs dengan besarnya tegangan isolator 1237,061 kV, sedangkan fasa C terjadi pada waktu 8,695 µs dengan besarnya tegangan isolator 866,969 kV.

Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover pada Fasa A,

(85)

Tabel 7. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover

Berdasarkan hasil simulasi menggunakan waktu muka dan waktu ekor standar CIGRE Tf x Tt = 3 x 77,5 µs yang di presentasikan pada Tabel 7 dan grafik pada Gambar 50 arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa A terjadi pada rentang 10 kA hingga 20 kA, fasa B terjadi

pada rentang 40 kA hingga 50 kA, dan fasa C terjadi pada rentang 90 kA hingga 100 kA.

Gambar 50 Grafik Tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir. 0

Hubungan Vbfo terhadap amplitudo petir

(86)

Untuk menentukan arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover pada fasa A, maka rentang arus petir 10 kA hingga 20 kA dilakukan

simulasi dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan grafik pada Gambar 51 di bawah ini :

Tabel 8. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover pada Fasa A

Arus Surja (kA) Tf x Tt Vbfo

Gambar 51 Grafik Tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir

pada fasa A

Dari Tabel 8 dan grafik pada Gambar 51 diatas arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa A terjadi saat amplitudo petir 18 kA,

(87)

karena amplitudo petir kurang dari atau sama dengan 17 kA tidak mengakibatkan back-flashover.

Hal yang sama dilakukan pada fasa B, untuk menentukan arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover pada fasa B terjadi antara interval

arus petir 40 kA hingga 50 kA sehingga dilakukan simulasi ulang terhadap interval tersebut dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 9 dan grafik pada Gambar 52 di bawah ini :

Tabel 9. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover pada Fasa B

Arus Surja (kA) Tf x Tt Vbfo

Gambar 52 Grafik Tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir

(88)

Dari Tabel 9 dan grafik pada Gambar 52 diatas arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa B terjadi saat amplitudo petir 45 kA,

karena amplitudo petir kurang dari atau sama dengan 44 kA tidak mengakibatkan back-flashover .

Pada fasa C, arus petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover

terjadi pada interval arus petir 90 kA hingga 100 kA, maka dilakukan simulasi dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 53 di bawah ini :

Tabel 10. Hubungan amplitudo arus petir dengan tegangan back-flashover

pada Fasa B

Gambar 53 Grafik Tegangan back-flashover terhadap kenaikan amplitudo arus petir

(89)

Dari Tabel 10 dan grafik pada Gambar 53 diatas arus petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover pada fasa B terjadi saat amplitudo petir 97

kA, karena amplitudo petir kurang dari atau sama dengan 96 kA tidak mengakibatkan back-flashover .

Hubungan amplitudo arus petir dengan waktu terjadinya back-flashover pada

Fasa A, Fasa B, dan Fasa C dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini : Tabel 11. Hubungan amplitudo arus petir dengan waktu back-flashover

pada Fasa A, Fasa B, dan Fasa C

Gambar 54 Grafik Waktu back-flashover terhadap kenaikan amplitudo

arus petir

Hubungan tbfo terhadap amplitudo petir

(90)

Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 11 dan grafik pada Gambar 54 bahwa setiap kenaikan amplitudo arus petir akan menyebabkan waktu terjadinya back-flashover semakin cepat.

3. Jumlah sambaran yang menyebabkan gangguan back-flashover

a. Arus surja petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover

pada Fasa A, B, dan C

Tabel 12. Arus surja petir minimum yang dapat mengakibatkan back-flashover

Waktu Muka FASA

(µs) FASA A (kA) FASA B (kA) FASA C (kA)

1,2 20 46 116

3 18 45 97

Setelah arus surja petir minimum yang dapat menyebabkan back-flashover didapat, maka dapat dihitung probabilitas terjadinya back-flashover padaarus surja petir minimum tersebut.

b. Nilai probabilitas distribusi harga puncak arus petir dengan menggunakan rumus empiris menurut Anderson-Eriksson :

(91)

I = 20 kA

I = 46 kA

I = 116 kA

I = 18 kA

I = 45 kA

I = 97 kA

Gambar

Gambar 12 Rangkaian fasa tiga
Gambar 13 Konduktor berkas fasa tiga
Gambar 16 Empat buah subkonduktor
Gambar 18 Driven Rod empat batang konduktor
+7

Referensi

Dokumen terkait