ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANAILLEGAL LOGGINGTAMAN HUTAN
RAYA (TAHURA) WAN ABDUL RACHMAN DI PESAWARAN
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK)
Oleh
MUTIA PANGESTI
Illegal logging merupakan masalah utama di sektor kehutanan. Kejahatan tersebut dapat memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban dan generasi yang akan datang.Illegal loggingmerupakan rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan eksport kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur dengan tegas larangan-larangan bagi setiap orang untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan yang terdapat dalam Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang 41 Tahun 1999 mengatur pelanggaran serta sanksi mengenai larangan. Sehubungan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Taman Raya Wan Abdul Rachman Di Pesawaran (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK).
Mutia Pangesti
dilengkapi dengan analisis empiris dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir yang berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Berdasarkan kesimpulan, maka disusun saran.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulakan bahwa (1) Putusan yang dijatuhkan hakim sangat jauh dari sanksi pasal yang dijatuhkan, dalam teori pertanggungjawaban pidana bertentangan dengan rasa keadilan. Pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK dijatuhi dengan hukuman maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) tetapi para terdakwa dihukum dengan hukuman 1 (satu) tahun 2 (bulan) dan denda Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah) (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana illegal loggingTaman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK tidak sesuai sesuai dengan peran yang mereka lakukan terdakwa I, Suryani alias Nani Bin Santari sebagai pelaku utama (dader), terdakwa II, Supriyadi Bin Satarip dan terdakwa III, Karim Bin Jarian sebagai pelaku yang membantu melakukan (medeplichtige), namun pada putusan pengadilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, majelis hakim memberikan putusan yang sama
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan adalah sumber daya alam yang sangat penting fungsinya untuk pengaturan tata air,
pencegahan banjir dan erosi, pemeliharaan kesuburan tanah dan pelestarian lingkungan hidup.
Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi keberlangsungan
pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Hutan
memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik dilihat
dari sisi ekologis maupun dilihat dari sisi sosial budaya. Bertolak dari fungsi dan manfaat hutan
sebagaimana diuraikan diatas, maka hutan harus diurus, dikelola dan dilindungi serta dijaga
kelestariannya agar dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat
Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Oleh karena itu, tepatlah
jika pemerintah melakukan berbagai kebijakan dalam rangka melestarikan hutan. Salah satu
bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka melestarikan hutan adalah melakukan perlindungan
hutan dan konservasi alam yang bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya,
agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi hutan dapat tercapai secara optimal.
Berkaitan dengan perlindungan hutan dalam rangka pelestarian hutan, Undang-Undang Nomor
agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Larangan-larangan tersebut diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Larangan-larangan yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dapat
dipatuhi dan tidak dilanggar oleh setiap orang, maka Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 dengan tegas menentukan bahwa pelanggaran terhadap larangan yang diatur dalam Pasal
50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan tindak pidana di bidang kehutanan yang
sering disebut dengan istilah illegal logging. Dilihat dari doktrin pertanggungjawaban pidana, tindak pidana di bidang kehutanan yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e jo Pasal 78 ayat
(5) dan Pasal 50 (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dalam
hal pertanggungjawaban pidana menganut doktrin mens-rea (asas kesalahan), kerena menempatkan kesengajaan sebagai unsur utama delik.
Roeslan Saleh (1982 : 20) menjelaskan bahwa doktrin mens-rea adalah adanya unsur subyektif adalah mutlak bagi pertanggungjawaban pidana. Artinya, pertanggungjawaban pidana menjadi
lenyap jika ada salah satu dari keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi yang memaafkan. Dengan
demikian, berdasarkan doktrin mens-rea, jika seseorang dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana, berarti orang tersebut benar-benar telah melakukan kesalahan yang tidak dapat
dimaafkan lagi dan kepadanya harus dikenakan pidana sesuai dengan kesalahannya.
Berkenaan dengan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dengan terjadinya tindak pidana,
jika yang bersangkutan dengan terjadinya tindak pidana lebih dari satu orang, berdasarkan Pasal
55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) terdapat 5
(lima) kategori pelaku tindak pidana, yaitu:
2. Pelaku yang menyuruh melakukan (doen plegen);
3. Pelaku yang turut melakukan (mede dader);
4. Pelaku yang sengaja membujuk melakukan (uitlooking);
5. Pelaku yang membantu melakukan (medeplichtige).
Berdasarkan ketentuan Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disingkat KUHAP), untuk menentukan pertanggungjawaban pidana seseorang
terhadap terjadinya tindak pidana, apakah sebagai dader; doen plegen; mede dader; uitlooking; ataumedeplichtige. Pengadilan harus mendasarkan pada sekurang-kurangnya :
1. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
2. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
3. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
4. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan
tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dengan pemidanaan atau tindak pidana yang
dijatuhkan.
Tindak pidana illegal logging merupakan salah satu kejahatan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan atau eksploitasi hutan secara berlebihan. Kerusakan tersebut menimbulkan
dapak negatif terhadap kehidupan manusia seperti banjir, tanah longsor, dan kerugian materil
terhadap kejahatan tersebut berupa pidana penjara atau pidana denda. Larangan bagi setiap orang
agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menimbulkan kerusakan hutan terdapat
dalam Pasal 50 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
diancam dengan pidana paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000 (lima milyar rupiah). Kenyataan menunjukan lain, Pengadilan Negeri Tanjung
Karang dalam Putusannya Nomor : 997/Pid.B/2009/PN.TK telah menjatuhkan pidana penjara
masing-masing selama 1 (satu) tahun dan denda Rp. 1.500.000 (satu juta lima ratus) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3
(tiga) bulan kepada terdakwa I, Suryani alias Nani Bin Santari; terdakwa II, Supriyadi Bin
Satarip; dan terdakwa III, Karim Bin Jarian sebagai bentuk pertanggungjawaban ketiga terdakwa
karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Merambah Hutan Dengan Melakukan Penebangan Pohon Serta Memungut Hasil Hutan Taman Raya Wan
Abdul Rachman Di Gunung Pesawaran Tanpa Memiliki Hak Atau Izin Dari Pejabat Yang
Berwenang”. Jaksa Penuntut Umum hanya mendakwa dan menuntut ketiga terdakwa dengan satu tindak pidana, yaitu “dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf b,c,k jo Pasal 78 ayat (2),(5),(7),(10),(15)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan selanjutnya diganti dengan Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjadi Undang-Undang jo Pasal 55 ayat (1).
Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK tidak memenuhi
menemukan nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat seperti tidak diungkapkan peran para
terdakwa dalam perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK. Terdakwa I, Suryani alias Nani Bin
Santari sebagai pelaku utama (dader), terdakwa II, Supriyadi Bin Satarip dan terdakwa III,
Karim Bin Jarian sebagai pelaku yang membantu melakukan (medeplichtige), namun pada
putusan pengadilan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, majelis hakim memberikan putusan
yang sama.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan analisis terhadap putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK melalui penulisan skripsi
yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK)”.
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam
skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidanaillegal loggingTaman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK ?
2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak
pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK ?
Ruang lingkup penelitian dalam penulisan skripsi ini dibatasi pada pembahasan terhadap
penentuan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging yang didakwa dan dituntut sebagai pelaku tindak pidanaillegal loggingmenurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
997/Pid.B/2009/PN.TK di Bandar Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK ?
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku
tindak pidanaillegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis :
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan secara teoritis adalah untuk pengembangan daya nalar dan daya pikir yang sesuai
mendapatkan data secara obyaktif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap masalah
yang ada khususnya masalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelakuillegal logging. b. Kegunaan Praktis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan bagi masyarakat dan bagi aparatur
penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum
pidana dan juga bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak
hukum pada khususnya bagi para hakim dalam menentukan pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan (illegal logging).
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau
kerangkan acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap
dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 125).
Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahawa
pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan
tindak pidana. Menurut Tolib Setiady (2010 : 145 ) menjelaskan bahwa orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan
demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak
pidana. Orang yang telah melakukan perbuatan pidana kemudian juga akan dipidana, tergantung
pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak.
Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut pada dasarnya mempunyai
telah melakukan perbuatan yang dilarang dan tercela, tentu tidak dipidana. Asas lex specialis generalis “tiada dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.
Dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang
dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan
hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab
maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung
jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan
sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan
ini dia mempunyai kesalahan.
Menurut Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moeljatno bahwa pertanggungjawaban pidana
adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah :
1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat;
Moeljatno (2008;37) menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab
harus ada:
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai
dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal);
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan
dengan kelakuannya yaitu : disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai;
Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu :
a. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk), definisi sengaja sebagai maksud adalah
apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat
sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah
tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya;
b. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya
harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga;
c. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar dapat ditimbulkan
suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama.
Kealpaan (culpa) adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang,
tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan
tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak
berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan
yang dilarang.
Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan
penduga-penduga sebagaimana diharuskan oeh hokum dan tidak mengadakan penghati-hati
sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan
a. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si
pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat
yang menyertai perbuatannya. Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan
pencegahan supaya tidak timbul akibat itu;
b. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi
apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya
suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan
atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana
bagi si pembuat.
Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (dua)
jenis alasaan penghapus pidana , yaitu :
a. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya
tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan;
b. Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisni ada alasan yang menghapuskan
kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana.
Menurut Roeslan Saleh (Leden Merpaung, 2010 : 22) Orang yang mampu bertanggungjawab itu
harus memenuhi 3 (tiga) syarat antara lain :
b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan
masyarakat;
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk menentukan adanya kemampuan
bertanggungjawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi faktor akal dan faktor kehendak. Akal
yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya
sesuai dengan yang dikenadaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat
diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan
mana yang tidak.
Doktrin atau asas mens-rea ini penulis gunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini karena sesuai dengan doktrin atau asas pertanggungjawaban pidana yang dianut oleh Pasal 78 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menjadi pokok bahan dalam penulisan skripsi ini,
yaitu rumusan “dengan sengaja” yang merupakan salah satu unsur dari doktrin atau asas mens-rea, yaitu “kesalahan” disamping “perbuatan”. Mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability) dengan dijatuhi sanksi pidana karena
telah melakukan suatu tindak pidana apabila tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut
dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. (Sutan Remy Sjahdeni,2007:33).
Hakim dalam menjatuhkan pidana banyak hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai
sebagai bahan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat di
dalam Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Undang-Undang- Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan
Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan
Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004, yaitu :
“ Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal- hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia .”
Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa :
“ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. “
Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah dia memeperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak,
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Istilah tidak memihak di sini haruslah
diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang
benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan
penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) :
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak.
Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim dapat menjatuhkan putusa
terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum
terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak
berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan
hukum (Andi Hamzah, 1996:103).
Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada undang- undang yang berlaku
saja tetapi juga harus berdasarkan nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini
dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yaitu Hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang
merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti
(Soerjono Soekanto, 1986 : 132).
Memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berhubungan dengan judul
skripsi ini, maka di bawah ini akan dibahas mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang
digunakan dalam penulisan skripsi sebagai berikut:
Merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahaan bagian itu
sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan
pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 32)
b. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan seseorang wajib menanggung segala sesuatu
yang ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat (liability based on fault) dan bukan
hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana atau akibat perbuatannya dapat
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya (Tolib Setiady, 2010 : 146)
c. Pelaku Tindak Pidana
Pelaku tindak pidana adalah (1) Pelaku utama atau disebut orang yang melakukan; (2) Pelaku
yang menyuruh melakukan; (3) Pelaku yang turut melakukan; (4) Pelaku yang sengaja
membujuk melakukan; (5) Pelaku yang membantu melakukan (Pasal 55 KUHP)
d. Illegal Logging
Rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga
kegiatan eksport kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak
sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai
suatu perbuatan yang merusak hutan (IGM Nurjanah, Teguh Prasetyo dan Sukardi (2005 :
15) )
e. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman terletak di Kec. Tanjung Karang Barat, Kedodong,
Gedong Tataan, Lampung. Kawasan konservasi ini menempati lahan seluas 22.244 hektar.
Areal ini memperoleh status resmi sebagai Taman Hutan Raya (TAHURA) berdasarkan
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami
penulisan skripsi ini secara keseluran. Sistematika penulisannya sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan, penelitian dan
ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual
serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta
pokok bahasan. Dalam bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan
studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataan dalam prakteknya.
III.METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisan yang
meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan
data serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK dan doktrin
pertanggungjawaban pidana yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
V. PENUTUP
Bab ini berisi mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertangggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan
tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan
(dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak
pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu
tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk
perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar
larangan pidana.
Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya
dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Kesalahan ditempatkan sebagai faktor
penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur dalam tindak
pidana. Dalam hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada
perbuatan atau tidak, melainkan pada apakah si terdakwa tercela atau tidak karena tidak
melakukan tindak pidana. Seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana
kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana,
tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila
dia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu
tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari
tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang
yang mampu bertanggung jawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Menurut Roeslan
Saleh (1982:86) seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab dapat dilihat dari beberapa hal
yaitu:
1. Keadaan Jiwanya
a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Idiot, gila, dan sebagainya);
c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotis, amarah yang meluap dan sebagainya). 2. Kemampuan Jiwanya
a. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya;
b. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak; c. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Menentukan pertanggungjawaban pidana kepada seseorang harus ada dua hal menurut Tri
Andrisman (2006 : 107 ) yaitu :
1. Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit)
2. Dapat dipidananya orang atau perbuatannya (strafbaarheid van der person)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan batasan, KUHP hanya
merumuskan secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan. Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1)
seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan
yaitu :
1. Jiwanya cacat dalam pertumbuhan;
2. Jiwanya terganggu karena penyakit.
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk
namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggung jawab itu sangat
sulit dan membutuhkan waktu dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap
orang dianggap mampu bertanggung jawab kecuali ada tanda-tanda yang menunjukan lain.
Untuk dapat dipidanakan pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Berdasarkan uraian diatas, menurut Tri Andrisman (2006 : 106):
Kesalahan mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat dalam arti keadaan jiwa si pembuat harus normal;
b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang merupakan kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf
Akan tetapi kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian.
Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggungjawaban
pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko dari perbuatan yang diperbuatnya
sesuai dengan undang-undang.
B. Pengertian Tindak PidanaIllegal Logging
Illegal logging dalam peraturan Perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah, illegal artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, dan log adalah kayu gelondongan,loggingartinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.
sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena itu
dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusakan hutan (IGM Nurjana, Teguh Prasetyo dan
Sukardi (2005 : 15)).
Illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual
beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang
berlaku, atau perbutan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan. Essensi yang paling penting
dalam praktek penebangan liar (illegal logging) adalah perusakan hutan yang akan berdampak
pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem
yang didalamnya mengandung tiga fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta
fungsi sosial.
Berdasarkan pada aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik
hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat
terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan prilaku
masyarakat adat setempat terhadap hutan.
Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) bagi
lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies
langka. Prinsip pelestarian hutan sebagaimana diindikasikan oleh tiga fungsi pokok tersebut,
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Oleh
pengolahan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan peranannya bagi kepentingan
generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi aktifitas illegal logging antara lain dengan mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu
secaraillegaldi kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia dan mengularkan Surat Edaran Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana
Kehutanan.
Upaya tersebut merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar (illegal
logging) yang diharapkan kelangsungan hutan di Indonesia dapat terselamatkan.
Tindak pidana illegal logging adalah masalah yang kompleks bagi pembangunan kehutanan namun menyadari arti pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup umat manusia pada umumnya
dan bangsa Indonesia pada khususnya, maka sudah seharusnya kita harus melakukan pelestarian
hutan serta melindungi keberadaannya demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri sehingga
dapat mencegah aksi para pelakuillegal logging yang hanya mencari keuntungan pribadi semata.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mengartikan illegal logging adalah setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan kata lain, berdasarkan Pasal 78 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999. Setiap perbuatan manusia atau badan hukum yang melanggar ketentuan Pasal 50
Undang-Undang Nommor 41 Tahun 1999 merupakan tindak pidana dibidang kehutanan atau
dikenal dengan istilahillegal logging.
Kasus illegal logging yang menjadi dasar dalam tindak pidananya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan didalamnya sudah jelas dianggap suatu
perbuatan yang melanggar hukum dan mendapatkan hukuman pidana seperti yang terdapat
dalam Pasal 50 ayat (1) dan (2) dan Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
Isi Pasal 50 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagai berikut:
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan;
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatn jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan.
Pengertian setiap orang ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak dapat ditafsirkan sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang dan tindakan melakukan yang diancam
dengan hukuman. Didalam pasal ini tidak perlu dibuktikan akibat dari perusakan hutan, yang
terpenting bahwa secara formal illegal loggingtelah mengandung muatan-muatan yang dilarang oleh Undang-Undang.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dapat dijadikan
dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terdapat kejahatan penebangan liar (illegal
logging) yaitu :
1. Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan;
4. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui patut diduga sebagai hasil hutanillegal;
5. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH);
6. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
Rumusan unsur-unsur pidana diatas sangat efektif untuk diterapkan kepada pelaku terutama
masyarakat yang melakukan pencurian kayu tanpa izin atau masyarakat yang diupah oleh
pemodal untuk melakukan penebangan kayu secara illegal dan kepada pelaku pengusaha yang melakukan pelanggaran konsesi penebangan kayu ataupun yang tanpa izin melakukan operasi
penebangan kayu. Akan tetapi perkembangan kasus penebangan liar (illegal logging) saat ini
justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah termasuk oknum pejabat
pemerintah daerah oknum PNS, oknum TNI, oknum pejabat penyelenggara Negara lainnya yang
justru menjadi bagian dari pelaku intelektual dalam penebangan liar (illegal logging) namun
belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.
D. Dasar Pertimbangan Hakim
Seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana (Criminal Liability) dengan dijatuhi
sanksi pidana karena telah melakukan sautu tindak pidana apabila tindak pidana, telah
melakukan perbuatan tersebut dengan tidak disengaja atau bukan karena kelalaiannya. (Sutan
Remy Sjahdeni,2007:33).
Pemidanaan adalah suatu proses. Sebelum proses itu berjalan, peranan hakim penting sekali.
Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan
pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Dalam Pasal 55 ayat (1) Konsep RUU KUHP 2005
1. Kesalahan pembuat tindak pidana;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pembuat tindak pidana;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;
6. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
8. Tindak pidana dilakukan dengan berencana;
9. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
10. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau;
11. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehingga hal ini akan memudahkan hakim dalam
menerapkan takaran pemidanaan. Selain itu, hakim dalam menjatuhkan pidana sangatlah banyak
hal-hal yang mempengaruhi, yaitu yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk
menjatuhkan putusan pemidanaan baik yang terdapat di dalam maupun di luar undang-undang.
Hakim mempunyai substansi untuk menjatuhkan pidana, akan tetapi dalam menjatuhkan pidana
tersebut hakim di batasi oleh aturan-aturan pemidanaan, masalah pemberian pidana ini bukanlah
masalah yang mudah seperti perkiraan orang, karena hakim mempunyai kebebasan untuk
KUHP tidak memuat pedoman pemberian pidana yang umum, ialah suatu pedoman yang dibuat
oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-asas yang perlu diperhatikan oleh hakim
1
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat
serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan
kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode sistematika, dan pemikiran
tertentu dengan jalan menganalisisnya (Soerjono Soekanto, 1986 : 43). Selain itu
juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang
timbul.
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah
pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatann yuridis
normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis
empiris artinya adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum
sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang
mempola. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian
pertanggungjawaban pelaku tindak pidana illegal logging yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK.
2
Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang
diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka
(Seorjono Soekanto, 1986 : 11).
Data yang diperguanakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis data,
yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan.
Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok
bahasan skripsi ini. Dalam hal ini data diperoleh dengan melakukan
wawancara terhadap hakim yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana
pelaku illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
997/Pid.B/2009/PN.TK).
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara
membaca, mengutip, dan menelaah peraturan perundang-undangan,
buku-buku, dokumen, kamus, artikel dan literatur hukum lainnya yang berkenaan
dengan permasalahan yang akan dibahas, yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yanga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
3
3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
b. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum
primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan
hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Bahan
hukum sekunder penelitian ini meliputi :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
997/Pid.B/2009/PN.TK.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi,
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, media massa,
artikel, makalah, nasakah, paper, jurnal, internet yang berkaitan dengan
masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari unit anilisis data, yang ciri-cirinya
akan diduga (Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 2006: 152)
Penulisan skripsi ini yang dijadikan populasi penelitian adalah Jaksa dari
4
Karang, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk menentukan
sample dan populasi, digunakan metode pengambilan sampel terhadap
pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran yang berhubungan dengan
pertanggungjawaban pidana yaitu purposive sampling yaitu bahwa dalam menetukan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan
kedudukan masing-masing sampel yang dianggap telah mewakili populasi
terhadap masalaah yang hendak diteliti atau dibahas. Dalam hal ini penulis
memilih petugas yang benar-benar memiliki kualifikasi dalam pelaksnaan
tugasnya sehingga yang akan dijadikan sampel dapat menjamin penelitian.
Responden yang dianggap dapat mewakili populasi dan mencapai tujuan
penulisn skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Jaksa dari Kejaksaan Negeri Tanjung Karang : 1 orang
2. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 orang
3. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
3 orang
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis
dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara
mengumpulkan data dengan membaca, memahami, dan mengutip,
5
perundang-undangan, buku-buku, media massa dan bahan tertulis lainnya
yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.
b. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh
data primer dengan metode wawancara (interview) secara langsung dengan
narasumber/responden sebagai usaha mengumpulkan data dengan
mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan daftar
pertanyaan secara tertulis.
2. Metode Pengolahan Data
Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka
data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Seleksi Data
Yaitu memeriksa dan memilih data sesuai dengan objek yang akan dibahas,
juga dengan mempelajari dan menelaah data yang diperoleh dari hasil
penelitian.
b. Klasifikasi Data
Yaitu mengklasifikasikan/mengelompokan data yang diperoleh menurut
jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.
c. Sistematisasi Data
Yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara
sistematis sehingga memudahkan interprestasi data dan tercipta keteraturan
6
E. Analisis Data
Tahap selanjutnya setelah pengolahan data selesai dilakukan adalah analisis
data. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan dipahami. Analisis data yang diperoleh dilakukan
melalui analisis kualitatif. Analisis kualitatif yaitu dengan cara menguraikan
data yang diperoleh dan menghubungkan satu dengan yang lain agar membentuk
suatu kalimat yang tersusun secara sistematis. Sedangkan dalam menarik
kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis menggunakan metode induktif,
yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat khusus
yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Berdasarkan
✁
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah diuraikan
dalam bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
a. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana illegal logging Taman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK dengan terdakwa Suryani
alias Nani Bin Santari, Supriyadi Bin Satarip dan Karim Bin Jarian, dijatuhi
pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan denda
sebesar Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah) dengan alat bukti (tiga)
buah golok dan 1 (satu) buah kampak, perbuatan para terdakwa telah
memenuhi Pasal 50 ayat (3) huruf b,c,k jo Pasal 78 ayat (2),(5),(7),(10),(15)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Para terdakwa
telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana menurut hukum
pidana yaitu para terdakwa mempunyai kemampuan untuk
bertanggungjawab, para terdakwa mempunyai unsur kesengajaan dalam
melakukan tindak pidana illegal logging dan perbuatan para terdakwa merupakan perbuatannya tidak menghapus pidana.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
997/Pid.B/2009/PN.TK pelaku tindak pidanaillegal logging dijatuhi dengan hukuman maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
✂ ✄
memuat alasan mengapa para terdakwa dihukum dengan hukuman 1 (satu)
tahun 2 (bulan) dan denda Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus rupiah) dan
putusan yang dijatuhkan hakim sangat jauh dari sanksi pasal yang
dijatuhkan, dalam teori pertanggungjawaban pidana bertentangan dengan
rasa keadilan.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap perkara
illegal logging sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim dalam perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK bersifat yuridis adalah alat bukti
yaitu adanya keterangan saksi M. Yusuf dan Yurdis yang melihat secara
langsung para terdakwa sedang merambah pohon di kawasan Taman Raya
Wan Abdul Rachman, adanya keterangan ahli Suharjo selaku staf Teknis
Korwil Kedondong, dan adanya keterangan terdakwa yaitu Suryani alias
Nani Bin Santari, Supriyadi Bin Satarip dan Karim Bin Jarian
Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis adalah:
a. Hal yang memberatkan yaitu perbuatan para terdakwa merugikan
keuangan negara, ekonomi maupun sosial dalam bidang kehutanan serta
bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat-giatnya
melakukan kegiatan penanaman sejuta pohon sebagai upaya melakukan
penghijauan kembali.
b. Hal yang meringankan yaitu para terdakwa mengakui terus terang
perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatannya serta terdakwa berlaku sopan dalam
☎6
Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara nomor
997/Pid.B/2009/PN.TK tidak memenuhi suatu unsur keadilan substansif
kerena hakim dalam memutus perkara tidak menggali dan menemukan
nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat seperti tidak diungkapkan peran para
terdakwa dalam perkara nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK. Terdakwa I, Suryani
alias Nani Bin Santari sebagai pelaku utama (dader), terdakwa II, Supriyadi
Bin Satarip dan terdakwa III, Karim Bin Jarian sebagai pelaku yang
membantu melakukan (medeplichtige), namun pada putusan pengadilan di
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, majelis hakim memberikan putusan
yang sama.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan, maka saran dan masukan yang dapat diberikan oleh
penulis adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana dengan memberikan sanksi terhadap pelaku
tindak pidana illegal logging yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinilai tidak memberikan efek
jera karena tidak memberikan batas pidana minimal dan denda minimal atas
perbuatan yang dilakukan pelaku yang telah melakukan tindak pidana
kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam
bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum
karena sanksi pidananya berat, yang berakibat pada perusakan hutan tidak,
jadi menurut penulis Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
✆7
lagi, serta majelis hakim dalam menjatuhkan pidana hendaknya berjenjang
sesuai dengan peran dari masing-masing terdakwa baik sebagai pelaku
utama, menyuruh malakukan, turut melakukan, sengaja membujuk
melakukan dan membantu melakukan (Pasal 55 KUHP).
2. Setiap putusan seorang hakim harus menyampaikan dasar-dasar
pertimbangan terhadap perkara yang sedang diperikasa. Hal ini merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu putusan hakim sesuai dengan Pasal
14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANAILLEGAL LOGGINGTAMAN HUTAN
RAYA (TAHURA) WAN ABDUL RACHMAN DI PESAWARAN
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK)
(Skripsi)
Oleh
MUTIA PANGESTI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ABSTRAK
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP
PERSEMBAHAN MOTTO
SANWACANA DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang... 1
B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7
D. Kerangkan Teoritis dan Konseptual ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana... 19
B. Pengertian Tindak PidanaIllegal Logging... 22
C. Dasar-Dasar dan Unsur-Unsur Tindak PidanaIllegal Logging.. 24
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ... 28
B. Sumber dan Jenis Data ... 29
C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 30
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31
E. Analisis Data ... 33
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 34
B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK ... 35
C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak PidanaIllegal LoggingTaman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK ... 40
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pelaku Tindak PidanaIllegal LoggingTaman Raya Wan Abdul Rachman di Pesawaran dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/ PN.TK ... 48
V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 58
B. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA
Andrisman, Tri. 2006. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum Unila.Bandar Lampung
Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana. Jakarta
Farid, Zainal Abidin. 2007.Hukum Pidana I. Sinar Grafika. Jakarta
Hamzah, Andi. 1996.Hukum Acara Pidana Indonesia.Sapta Artha Jaya. Jakarta
Marpaung, Leden. 2010.Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Sinar Garfika. Jakarta
Moeljatno. 2008.Asas-Asas Hukum Pidana.Rineka Cipta. Jakarta Muladi. 1998.Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Jakarta
Nurjana, IGM Teguh Prasetyo dan Sukardi. 2005. Hutan dan Permasalahannya. Genta Publishing. Yogyakarta
Saleh, Roeslan. 1982. Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta
Setiady, Tholib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta. Bandung
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi. 2006.Metode Penelitian Survai. Pustaka LP3ES. Jakarta
Sjahdeni, Sutan Remy. 2007.Pertanggungjawaban Korporasi. Grafiti. Jakarta Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Ui Press. Jakarta
Soemitro, Ronny Hanitijo.1994.Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta
Tim Penyusun Kamus.Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta
Universitas Lampung, 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2005
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK
Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANAILLEGAL LOGGING TAMAN HUTAN RAYA (TAHURA) WAN ABDUL RACHMAN DI PESAWARAN
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 997/Pid.B/2009/PN.TK)
Nama Mahasiswa :Mutia Pangesti No. Pokok Mahasiswa : 0812011062
Bagian : Hukum Pidana
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
DR. Maroni, S.H., M.H. Maya Shafira, S.H., M.H. NIP 1960310 198703 1 002 NIP 19770601 200501 2 002
2. Ketua Bagian Hukum Pidana
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua :DR. Maroni, S.H., M.H.
...
Sekretaris/Anggota :Maya Shafira, S.H., M.H.
...
Penguji Utama :Diah Gustiniati M, S.H., M.H.
...
2. Dekan Fakultas Hukum
Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung 27 November 1990, yang
merupakan anak ke-dua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda
Harjoko dan Ibunda Ery Dartina
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi
Bandar Lampung pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 2 (Teladan) Rawa Laut,
Bandar Lampung pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan studinya di Sekolah
Menengah Pertama Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah
Atas Negeri 6 Bandar Lampung pada tahun 2008. Penulis diterima di Fakultas Hukum
Universitas Lampung pada Tahun 2008 melalui seleksi Penelusuran Kemampuan
Akademik dan Bakat (PKAB).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu,
pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan
ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,
aku persembahkan karya sederhana ini kepada :
Ayah dan Bunda
Yang sangat aku sayangi, terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran, kasih sayang yang tulus serta
do a demi keberhasilanku
Almamater tercinta, Fakultas Hukum Universitas
MOTTO
masa lalu adalah sejarah, masa depan adalah impian dan masa
sekarang adalah anugrah. Jadikanlah anugrah dan sejarah untuk
SANWACANA
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Taman Hutan Raya (TAHURA) Wan Abdul Rachman Di Pesawaran (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
997/Pid.B/2009/PN.TK)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.
Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan
serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung dan .
3. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan saran dan masukan-masukan sehingga proses penyelesaian skripsi
4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama
penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah banyak
memberikan saran, masukan dan kritik membangunnya dalam penyempurnaan
skripsi ini.
6. Ibu Dona Raissa, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah banyak
memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik selama
penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.
8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu
persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
9. Bapak Itong Isnaini Hidayat, S.H.,M.H., Hartono, S.H., Agus Priambodo,
S.H.,M.H, dan Dr. Eddy Rifai S.H.,M.H., yang telah meluangkan waktunya
pada saat penulis melakukan penelitian.
10. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya
selama penyusunan skripsi.
11. Keluargaku tersayang, Gaek dan Eyang yang selalu menanti keberhasilanku,
Ayah dan Bunda yang selalu mendukung dan mendoakan untuk keberhasilanku,
kakakku M.Ilham Nugroho dan adikku Dhia Hasanah yang menjadi motivasiku
Pakde, Bude, Om, Tante dan semua saudara sepupuku terima kasih atas semua
dukungan dan doanya.
12. Terima Kasih Kepada keluarga besar Bapak Kuatno dan seluruh masyarakat di
Kelurahan Purwosari, Metro Utara atas kenangan yang telah diberikan selama
penulis menjalankan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
13. Sahabat-sahabatku tersayang : Kurnia Tiwi Habsari, Tri Yulinda, Krishnawati,
Putri Cahyani, Alfina Oktaviana, Mesy Riski Andanie, Anggun Zeltia Fitri,
Yopi Prasetya, Meta Sintia Dewi, Intan, Lala, Ira, Indri, dan teman-temanku
dimanapun berada tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas
dukungan, do’a,kebersamaan serta persahabatannya.
14. Teman-teman KKN di Kelurahan Purwosari, Metro : Dina Maryana, Sukma
Fenilia, Dwi Elok, Nicky Cahyani H, terima kasih atas kebersamaan dan
kenangan indah yang tak terlupakan yang pernah dilewati bersama.
15. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung angkatan 2008 yang
tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas motivasi dan bantuanya.
16. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman
berharga.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa
dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan
terutama bagi penulis. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan
dan kebaikan bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis